BAB II
TINJAUAN TEORETIS
2.1
Tinjauan Teoretis
2.1.1
Pengertian Analisis Menurut Peter Salim dan Yenni Salim (2002) dalam Kamus Bahasa
Indonesia Kontemporer menjelaskan bahwa : a. Analisis adalah proses pemecahan masalah yang dimulai dengan hipotesis (dugaan, dan sebagainya) sampai terbukti kebenarannya melalui beberapa kepastian (pengamatan, percobaan, dan sebagainya). b. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (perbuatan, karangan dan sebagainya) untuk mendapatkan fakta yang tepat (asal usul, sebab, penyebab sebenarnya, dan sebagainya). c. Analisis adalah proses pemecahan masalah (melalui akal) kedalam bagian-bagiannya berdasarkan metode yang konsisten untuk mencapai pengertian tentang prinsip-prinsip dasarnya. 2.1.2
Pengertian Pajak Menurut P. J. A. Andriani (1991:2) yang telah diterjemahkan oleh R.
Santoso Brotodiharjo dalam buku “Pengantar ilmu hukum pajak”, pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib 8
9
membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum
berhubung
dengan
tugas
negara
yang
menyelenggarakan pemerintahan” Sedangkan menurut Prof. Supramono (2010) pajak didefinisikan sebagai iuran tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran-pengeluaran umum. Unsur-unsur pajak antara lain : 1. Pajak merupakan iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak adalah negara, baik melalui pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Iuran yang dibayarkan berupa uang, bukan barang. 2. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang. Sifat pemungutan pajak adalah dipaksakan berdasarkan kewenangan yang diatur oleh UndangUndang beserta aturan pelaksanaannya. 3. Tidak ada kontraprestasi secara langsung oleh pemerintah dalam pembayaran pajak. 4. Digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. 2.1.2.1 Teori Pemungutan Pajak Dalam kaitannya dengan fungsi budgetair, pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan penerimaan negara yang ditempuh melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak. Ekstensifikasi ditempuh melalui perluasan, baik
10
obyek maupun subyek pajak, sedangkan intensifikasi ditempuh melalui peningkatan kepatuhan subyek pajak yang telah ada. Pemungutan pajak yang dilaksanakan oleh suatu negara khususnya Indonesia didasarkan atas beberapa teori. Teori-teori tersebut, antara lain : 1. Teori asuransi Dalam perjanjian asuransi, dinyatakan bahwa setiap peserta asuransi wajib untuk membayar premi asuransi dengan tujuan sebagai perlindungan bagi orang yang bersangkutan atas keselamatan dan harta bendanya maka perusahaan asuransi akan membayar klaim asuransi yang sebenarnya berasal dari premi yang dibayarkan oleh anggota lainnya. Demikian halnya dengan pajak, wajib pajak yang melakukan pembayaran pajak disamakan dengan pembayar premi. Beberapa pakar menentang teori akuntansi sebagai dasar pemungutan pajak karena dalam hal timbul kerugian, tidak ada penggantian secara langsung dari negara, serta antara pembayaran jumlah pajak dengan jasa yang diberikan oleh negara tidaklah terdapat hubungan langsung. 2. Teori kepentingan Dalam teori ini, pembebanan pajak kepada masyarakat didasarkan atas besarnya kepentingan masyarakat dalam suatu negara. Kepentingan yang dimaksud adalah perlindungan masyarakat atas jiwa dan hartanya yang seharusnya diselenggarakan oleh pemerintah. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika pengeluaran negara untuk perlindungan ini dibebankan kepada masyarakat.
11
3. Teori daya pikul Teori ini menyatakan bahwa biaya-biaya atas perlindungan yang diberikan oleh negara kepada warga negara haruslah dipikul oleh segenap orang yang menikmatinya dalam bentuk pajak. Dengan berdasarkan pada asas keadilan, pajak yang dikenakan terhadap masyarakat tergantung dari daya pikul masing-masing masyarakat. Daya pikul seseorang dapat diukur berdasarkan
besarnya
penghasilan
yang telah
mempertimbangkan
pengeluaran seseorang sehingga masyarakat dengan penghasilan yang lebih tinggi memiliki daya pikul yang lebih tinggi pula. 4. Teori bakti Masyarakat dianggap memiliki kewajiban mutlak yaitu berbakti kepada negara. Untuk membuktikan baktinya, masyarakat harus menyadari bahwa pajak adalah suatu kewajiban. Oleh karena itu, negara memiliki hak mutlak untuk memungut pajak dari masyarakat. Teori bakti dikenal juga sebagai teori kewajiban pajak mutlak. Berkebalikan dengan ketiga teori sebelumnya yang tidak mengutamakan negara di atas kepentingan warganya, teori ini mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan masyarakat. 5. Teori asas daya beli Teori ini beranggapan bahwa pajak digunakan untuk menarik daya beli masyarakat. Pajak yang dipungut oleh negara dapat mengurangi penghasilan yang akan digunakan oleh masyarakat untuk konsumsi sehingga akibat dari pemungutan pajak adalah berkurangnya daya beli
12
masyarakat secara individu. Pada akhirnya, negara akan menyalurkan kembali daya beli yang sudah ditarik ini kepada masyarakat secara umum dalam bentuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. 2.1.2.2 Asas Pemungutan Pajak Menurut Adam Smith setelah diterjemahkan oleh Prof. Supramono (2010), pemungutan pajak seharusnya didasarkan atas asas : a. Equality Harus terdapat keadilan, serta persamaan hak dan kewajiban di antara Wajib Pajak dalam suatu negara. Persamaan hak dan kewajiban berarti tidak boleh ada diskriminasi di antara Wajib Pajak. Akan tetap, pemungutan pajak hendaknya memperhatikan kemampuan Wajib Pajak untuk membayar pajak dan sesuai dengan manfaat yang diminta Wajib Pajak dari pemerintah. Keadilan mensyaratkan bahwa setiap sumbangan Wajib Pajak untuk pemerintah sebanding dengan kepentingan dan manfaat yang diminta. Keadilan dalam pemungutan pajak ini dibedakan menjadi dua, antara lain : 1) Keadilan horizontal Keadilan horizontal berarti beban pajak yang sama kepada semua Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan sama dengan jumlah tanggungan yang sama pula tanpa membedakan jenis penghasilan atau sumber penghasilan.
13
2) Keadilan vertikal Keadilan vertikal berarti pemungutan pajak adil. Jika Wajib Pajak dalam kondisi ekonomi yang sama maka akan dikenakan pajak yang sama. b. Certainty Penetapan pajak harus jelas, tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak terutang, kapan harus dibayar, dan batas waktu pembayarannya. Pemungutan pajak yang jelas akan memberikan kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak sehingga akan meningkatkan kesadaran Wajib Pajak. c. Convenience Pemungutan pajak harus memperhatikan kenyamanan (convenience) dari Wajib Pajak, dalam arti pajak harus dibayar oleh Wajib Pajak pada saatsaat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak, yaitu pada saat memperoleh penghasilan (pay as you earn). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan Wajib Pajak berupaya secara ilegal menghindari kewajiban membayar pajak karena pajak dipungut saat penghasilan tersebut diterima. d. Economics Biaya untuk pemungutan pajak harus seminim mungkin. Dengan biaya pemungutan yang minimal, diharapkan dapat menghasilkan penerimaan pajak yang sebesar-besarnya. Dengan prinsip tersebut, pemerintah (pusat dan daerah) dapat melakukan rasionalisasi dalam pemungutan pajak
14
sehingga hanya pajak yang menghasilkan penerimaan besar dengan biaya rendah yang akan dikembangkan, sedangkan pajak yang pemasukannya kecil dan memerlukan biaya yang besar akan ditinggalkan. 2.1.2.3 Syarat Pemungutan Pajak Berdasarkan asas pemungutan pajak dan untuk menghindari perlawanan pajak, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Pemungutan pajak harus adil Pemungutan pajak yang adil berarti pajak yang dipungut harus adil dan merata sehingga harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak dan sesuai dengan manfaat yang diminta Wajib Pajak dari pemerintah. b. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang Untuk mewujudkan pemungutan yang adil, pemungutan pajak harus dapat memberikan kepastian hukum bagi negara dan warga negaranya. Oleh karena itu, pemungutan pajak harus didasarkan atas Undang-Undang yang disahkan oleh lembaga legislatif. Untuk mewujudkannya, pemungutan pajak dilandaskan atas Undang-Undang Pasal 23 Ayat 2 UUD 1945. c. Pemungutan pajak tidak mengganggu perekonomian Negara menghendaki agar perekonomian negara dan masyarakat dapat senantiasa meningkat. Pemungutan pajak yang merupakan penyerapan sebagian sumber daya dari masyarakat tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi dan perdagangan yang akan mengakibatkan kelesuan perekonomian negara. Oleh karena itu, dimungkinkan pemberian
15
fasilitas perpajakan sejauh pemberian fasilitas ini berdampak positif bagi perekonomian negara. d. Pemungutan pajak harus efisien Biaya untuk pemungutan pajak haruslah seminimal mungkin dan hasil pemungutan pajak hendaknya digunakan secara optimal untuk membiayai pengeluaran negara seperti yang tercantum dari APBN. Oleh karena itu, pemungutan pajak harus menggunakan prinsip cost and benefit analysis, dalam arti biaya pemungutan pajak harus lebih kecil daripada pajak yang dipungut. e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana sehingga akan memudahkan Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. 2.1.2.4 Pengelompokan Pajak Di Indonesia, jenis-jenis pajak dapat dikelompokkan menurut golongan, sifat, dan lembaga pemungutannya. Berikut ini pengelompokan jenis-jenis pajak dapat dilihat pada Gambar 1 berikut :
Jenis Pajak
Menurut Golongan
Pajak Lansung
Pajak tak Lansung
Menurut Sifat
Pajak Subjektif
Pajak Objektif
Gambar 1 Klasifikasi Pajak Sumber : Prof. Supramono. 2010
Menurut Pemungut
Pajak Pusat
Pajak Daerah
16
Menurut Prof. Supramono (2010) dalam buku yang berjudul Perpajakan Indonesia, pengelompokan jenis-jenis pajak di antaranya adalah : 1. Jenis pajak menurut golongannya a. Pajak Langsung Pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contohnya, Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak langsung karena pengenaan pajaknya adalah langsung kepada Wajib Pajak yang menerima penghasilan, tidak dapat dilimpahkan kepada Wajib Pajak lain. b. Pajak tak langsung Pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke pihak lain. Contohnya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak tak langsung karena yang menjadi Wajib Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seharusnya adalah penjualan. Dalam hal ini, penjualnyalah yang mengakibatkan adanya pertambahan nilai, tetapi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dapat digeser kepada pembeli (pihak lain). 2. Jenis pajak menurut sifatnya a. Pajak subyektif Pajak yang didasarkan atas keadaan subyeknya, memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak yang selanjutnya dicari syarat obyektifnya (memperhatikan keadaan Wajib Pajak). Contohnya, Pajak Penghasilan
17
(PPh) adalah pajak subyektif karena pengenaan PPh memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak yang menerima penghasilan. b. Pajak Obyektif Pajak yang berpangkal pada obyeknya, tanpa memperhatikan diri Wajib Pajak, Contohnya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). PPN merupakan peningkatan nilai dari suatu barang, bukan penjual yang meningkatkan nilai barang. PBB dikenakan terhadap keadaan dari tanah dan bangunan, bukan dari keadaan pemiliknya. 3. Jenis pajak menurut lembaga pemungutannya a. Pajak pusat (negara) Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Contohnya, Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), bea materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Jika jenis pajak adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dikaitkan dengan jenis pajak menurut golongan dan sifatnya maka tersebut tampak dalam Tabel 1 berikut :
18
Tabel 1 Pengelompokan Pajak Pusat MENURUT SIFATNYA MENURUT GOLONGAN JENIS KET PAJAK PAJAK TAK PAJAK PAJAK LANGSUNG LANGSUNG SUBYEKTIF OBYEKTIF PPh √ √ PPNdan PPnBM √ √ Bea material √ √ PBB √ √ BPHTB √ √ Sumber : P. J. A. Andriani. 1991 b. Pajak daerah Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah. Pajak daerah diatur dalam PP No. 18 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan PP No. 34 Tahun 2000. c. Pajak provinsi Contohnya, Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, serta Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. d. Pajak kabupaten/kota Contohnya pajak hotel, pajak restaurant, pajak hiburan, pajak reklame, dan pajak penerangan jalan. Selain pengelompokan tersebut, pajak juga dapat dibedakan menjadi dua, antara lain : 1) Pajak final
19
Pajak final berati pajak yang telah dibayarkan oleh Wajib Pajak melalui pemungutan atau pemotongan pihak lain dalam tahun berjalan tidak dapat dikreditkan atau dikurangkan pada total PPh yang terutang pada akhir tahun saat pengisian SPT Tahunan PPh. Contoh dari pajak final adalah sebagai berikut : a) Penghasilan berupa bunga deposit dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, serta bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi. b) Penghasilan berupa hadiah undian c) Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura. d) Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, serta persewaan tanah dan/ atau bangunan. 2) Pajak tidak final Sebagian besar pajak yang berlaku di Indonesia adalah pajak tidak final. Pajak tidak final adalah pajak yang telah dibayarkan oleh Wajib Pajak melalui pemungutan atau pemotongan pihak lain dalam tahun berjalan dan dapat dikreditkan pada total PPh yang
20
terutang pada akhir tahun saat pengisian SPT Tahunan. Misalnya, Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23, dan 24 serta PPN. 2.1.3
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut Nurlan Darise pada buku yang berjudul Akuntansi Keuangan
daerah bahwa Pendapatan Asli daerah yang selanjutnya disingkat menjadi PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah. Sumber-sumber PAD terdiri dari : a. Pajak daerah b. Retribusi daerah c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan d. Lain-lain PAD yang sah Jenis pajak daerah dan retribusi daerah dirinci menurut objek pendapatan sesuai dengan undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup : a. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah BUMD. b. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah BUMN. c. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.
21
Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup : a. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan b. Jasa giro c. Pendapatan bunga d. Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah e. Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/ atau pengadaan barang dan atau jasa oleh daerah. f. Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. g. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan. h. Pendapatan denda pajak. i. Pendapatan denda retribusi. j. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan. k. Pendapatan dari pengembalian. l. Fasilitas sosial dan fasilitas umum. m. Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan. n. Pendapatan dari angsuran/ cicilan penjualan. 2.1.3.1 Target Pendapatan Daerah Target Pendapatan Daerah menurut Soelarno (1999) adalah perkiraan hasil perhitungan pendapatan daerah secara minimal dicapai dalam satu tahun
22
anggaran. Agar perkiraan pendapatan daerah dapat dipertanggungjawabkan di dalam penyusunannya, maka memerlukan perhitungan terhadap faktor-faktor sebagai berikut : 1. Realisasi penerimaan pendapatan daerah dari tahun anggaran yang lalu dengan memperlihatkan faktor pendukung yang menyebabkan tercapainya realisasi tersebut dan faktor-faktor yang menghambatnya. 2. Kemungkinan pencairan jumlah tunggakan tahun-tahun sebelumnya yang diperkirakan dapat ditagih minimal 35% dari tunggakan sampai dengan tahun berlalu. 3. Data potensi pajak dan estimasi perkembangan dan perkiraan penerimaan dari penetapan tahun berjalan minimal 80% dari pendapatan. 4. Data potensi obyek pajak dan estimasi perkembangan dan perkiraan penerimaan dari penetapan tahun berjalan minimal 80% dari penetapan. 5. Keadaan sosial ekonomi dan tingkat kesadaran masyarakat selaku wajib pajak. 6. Perkembangan tersedianya saran dan prasarana serta biaya pungutan. 2.1.4
Pajak Daerah Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mempunyai dasar hukum,
yaitu Undang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah diatur oleh Undang-undang No.28 Tahun 2009. Menurut Undang-undang No. 28 Tahun 2009 mengenai Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah yang selanjutnya kemudian disebut
23
dengan pajak yaitu bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jenis-jenis pajak daerah antara lain : Pajak Hiburan, Pajak Restoran, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Golongan C, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. 2.1.5
Pajak Reklame 2.1.5.1 Pengertian Pajak Reklame Menurut peraturan daerah tentang penyelenggaraan reklame dan pajak
reklame pada bab 1 pasal 1 peraturan daerah kota surabaya, reklame adalah sekumpulan alat, perbuatan atau media yang menurut bentuk dan corak ragamnya untuk tujuan komersil, dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memujikan suatu barang, jasa atau orang, ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau yang dapat dilihat, dibaca dan/ atau didengar dari suatu tempat oleh umum, kecuali yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/ atau Pemerintah Daerah. Pajak reklame adalah salah satu pajak daerah yang merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah yang mempunyai posisi strategis di dalam hal pendanaan pembiayaan di daerah.
24
Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut pasal 79 Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yaitu : 1. Pendapatan Asli Daerah, terdiri dari : a. Hasil pajak daerah b. Retribusi daerah c. Bagian laba BUMD d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah 2. Dana perimbangan keuangan pusat daerah 3. Pinjaman Daerah 4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah Berdasarkan penjelasan di atas menunujukkan bahwa PAD merupakan bagian dari pendapatan daerah yang salah satunya bersumber dari pajak. Pajak reklame pajak yang di pungut atas penyelenggaraan reklame. 2.1.5.2 Objek pajak reklame dan ruang lingkup pajak reklame Penyelenggaraan reklame yang ditetapkan sebagai objek Pajak Reklame menurut peraturan daerah tentang penyelenggaraan reklame dan pajak reklame pada bab 1 pasal 1 peraturan daerah kota surabaya adalah sebagai berikut : a. Reklame Megatron Adalah sebuah reklame yang bersifat tetap (tidak dapat dipindahkan) menggunakan layar monitor maupun tidak, brupa gambar dan/ atau tulisan yang dapat berubah-ubah, terprogram dan menggunakan tenaga listrik. Termasuk didalamnya Videotron dan atau Electronic Display.
25
b. Reklame Papan/ Billboard Adalah sebuah reklame yang bersifat tetap (tidak dapat dipindahkan) terbuat dari papan, kayu, seng, tinplate, colibrite, vynil, aluminium, fiber glass, kaca, batu, tembok atau beton, logam atau bahan lain yang sejenis, dipasang pada tempat yang disediakan (berdiri sendiri) atau digantung atau ditempel atau dibuat pada bangunan tembok, dinding, pagar, tiang, dan sebagianya baik bersinar, disinari, maupun yang tidak bersinar. c. Reklame Berjalan Adalah sebuah reklame yang di tempatkan pada kendaraan atau benda yang dapat bergerak, yang diselenggarakan dengan menggunakan kendaraan atau dengan cara di bawa/ didorong/ ditarik oleh orang. Termasuk didalamnya reklame pada gerobak/ rombong, kendaraan baik bermotor ataupun tidak. d. Reklame Baliho Adalah reklame yang terbuat dari papan kayu atau bahan lain dan dipasang pada konstruksi yang tidak permanen dan tujuan materinya mempromosikan suatu even atau kegiatan yang bersifat insidentil. e. Reklame Kain Adalah
reklame
yang
tujuan
materinya
jangka
pendek
atau
mempromosikan suatu even atau kegiatan yang bersifat insidentil dengan menggunakan bahan kain, termasuk plastik atau bahan lain yang sejenis. Termasuk di dalamnya adalah spanduk, umbul-umbul, bendera, flag chain
26
(rangkaian bendera), tenda, krey, banner, giant banner dan standing banner. f. Reklame Selebaran Adalah reklame yang berbentuk lembaran lepas, diselenggarakan dengan cara disebarkan, diberikan atau dapat diminta dengan ketentuan tidak untuk ditempelkan, dilekatkan, dipasang, digantung pada suatu benda lain, termasuk didalamnya adalah brosur, leafleat, dan reklame dalam undangan. g. Reklame Melekat atau stiker Adalah reklame yang berbentuk lembaran lepas diselenggarakan dengan cara ditempelkan, dilekatkan, dipasang atau digantung pada suatu benda. h. Reklame Film atau slide Adalah reklame yang diselenggarakan dengan cara menggunakan klise (celluloide) berupa kaca atau film, ataupun bahan-bahan lain yang sejenis, sebagai alat untuk diproyeksikan dan/ atau dipancarkan. i. Reklame Udara Adalah reklame yang diselenggarakan di udara dengan menggunakan balon, gas, laser, pesawat atau alat lain yang sejenis. j. Reklame Suara Adalah reklame yang diselenggarakan dengan menggunakan kata-kata yang diucapkan atau dengan suara yang ditimbulkan dari atau oleh perantaraan alat.
27
k. Reklame Peragaan Adalah reklame yang diselenggarakan dengan cara memperagakan suatu barang dengan atau tanpa disertai suara. l. Reklame Sign Net Adalah reklame jenis Papan yang diselenggarakan secara berjajar dilokasi bukan persil dengan jumlah lebih dari satu dan memiliki elevasi rendah. Ditinjau dari subyek pajak, obyek pajak, serta wajib pajak dan dasar pengenaan pajak reklame, menurut Peraturan Daerah No. 22 tahun 2002 yaitu : Tabel 2 Pengenaan Pajak Reklame No.
Keterangan
Pajak Reklame
1.
Obyek Pajak
Semua penyelenggaraan reklame
2.
Subyek Pajak
Orang
atau
pribadi
badan
yang
menyelenggarakan atau memesan reklame 3.
Wajib Pajak
Orang
pribadi
atau
badan
yang
menyelenggarakan reklame 4. Dasar Pengenaan Pajak Nilai Sewa Reklame Sumber : Marihot P. Siahaan. 2005 2.1.5.3 Tidak termasuk sebagai objek pajak reklame a. Penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya; b. Label atau merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
28
c. Nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan tempat usaha atau profesi diselenggrakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur nama pengenal usaha atau profesi tersebut; d. Reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah; e. Penyelenggaraan reklame lainnya yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Subjek Pajak Reklame Subjek pajak reklame adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan reklame. Wajib Pajak Reklame Wajib pajak reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan reklame. Dasar Pengenaan Pajak Reklame a) Dasar pengenaan pajak reklame adalah nilai sewa reklame b) Dalam hal reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 ditetapkan berdasarkan nilai kontrak reklame. c) Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media reklame.
29
d) Cara perhitungan nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat 3 ditetapkan dengan peraturan daerah. e) Hasil perhitungan nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat 5 ditetapkan dengan peraturan kepala daerah. Pajak Terutang Reklame Pajak terutang : Tarif pajak x dasar pengenaan pajak (DPP). Besaran pokok pajak reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat 2 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat 6 UU RI No. 28 tahun 2009. 2.1.5.4 Nilai Pajak Reklame Nilai Pajak Reklame menurut peraturan daerah tentang penyelenggaraan reklame dan pajak reklame pada bab II pasal (2) dan (3) peraturan daerah kota surabaya adalah : Pasal 2 1. Besarnya pajak reklame dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. 2. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 25% (dua puluh lima persen). 3. Dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Nilai Sewa Reklame.
30
Pasal 3 1. Penetapan Nilai Pajak Reklame dibulatkan ke atas menjadi kelipatan Rp. 100,00 (seratus rupiah). 2. Apabila suatu objek pajak reklame dapat digolongkan lebih dari satu jenis reklame, maka nilai pajaknya ditetapkan menurut jenis reklame yang tarifnya paling tinggi. 2.1.5.5 Penyelenggaraan Reklame Penyelenggaraan reklame menurut peraturan daerah tentang penyelenggaraan reklame dan pajak reklame pada peraturan daerah kota surabaya antara lain : Pasal 12 Penyelenggaraan Reklame harus sesuai dengan kepribadian dan budaya bangsa, tidak boleh bertentangan dengan norma keagamaan, kesopanan, ketertiban, keamanan, kesusilaan dan kesehatan. Pasal 13 1. Untuk menunjang estetika kota, keamanan dan keselamatan masyarakat serta untuk mengatur reklame dalam suatu komposisi yang baik sehingga lebih efektif dalam menyampaikan pesan, penyelenggaraan reklame di kawasan tertentu diatur dalam ketentuan mengenai Kawasan Penataan Reklame.
31
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai kawasan penataan reklame dan penyelenggaraan reklame pada kawasan penataan reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. Pasal 14 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan reklame pada bangunan fasilitas publik milik/dikuasai oleh Pemerintah Daerah diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. Pasal 15 (1) Penyelenggara Reklame wajib : a. Memasang plat izin atau stempel masa berlaku izin dan ukuran bidang reklame yang dapat terlihat jelas oleh umum; b. memasang nama dan nomor telepon biro reklame yang dapat terlihat dengan jelas oleh umum, bagi reklame terbatas; c. memelihara benda-benda dan alat-alat yang dipergunakan untuk reklame agar selalu dapat berfungsi dan dalam kondisi baik; d. menyelesaikan pembongkaran reklame paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah izin berakhir; e. menanggung
segala
akibat
jika
penyelenggaraan
bersangkutan menimbulkan kerugian pada pihak lain; f. membayar Biaya Jaminan Bongkar.
reklame
yang
32
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya biaya jaminan bongkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. Pasal 16 Setiap orang atau badan dilarang menyelenggarakan reklame : a. di lokasi persil kantor instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Daerah; b. pada bangunan atau tempat-tempat lain yang diatur dengan Peraturan Kepala Daerah; c. pada titik-titik yang tidak sesuai dengan ketentuan Kawasan Penataan Reklame yang diatur dengan Peraturan Kepala Daerah; d. dengan materi minuman beralkohol/minuman keras. Pasal 17 Penyelenggaraan reklame harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. diselenggarakan dengan tidak menutup pandangan rambu, lampu pengatur dan kamera lalu lintas; b. konstruksi reklame dapat dipertanggungjawabkan menurut persyaratan teknis sesuai ketentuan yang berlaku; c. menggunakan dua atau lebih tiang konstruksi bagi reklame dengan luas bidang paling sedikit 30 m2 (tiga puluh meter persegi);
33
d. lampu reklame yang dipasang diarahkan ke bidang reklame sehingga tidak menyilaukan pandangan pemakai jalan; e. instalasi listrik yang dipasang harus memenuhi persyaratan teknis sehingga tidak membahayakan keselamatan umum. Pasal 18 Lokasi penyelenggaraan reklame dibedakan atas lokasi bukan persil dan lokasi persil. Pasal 19 (1) Penyelenggaraan reklame di Lokasi Bukan Persil harus memenuhi ketentuan: a. mendapat persetujuan tertulis dari pemilik atau yang menguasai lahan; b. mendapat persetujuan tertulis pemilik persil, apabila bidang reklame masuk kedalam/di atas persil; c. luas bidang reklame paling besar 50 m2 (lima puluh meter persegi); d. tidak menutup/mengganggu pandangan perlintasan terhadap sebidang kereta api; e. jarak dari rel kereta api sampai bidang/konstruksi reklame terdekat harus mendapat rekomendasi dari PT.KAI; f. jarak
jaringan kabel listrik tegangan menengah keatas harus medapat
rekomendasi dari PT. PLN;
34
g. tidak mengganggu fungsi atau merusak sarana dan prasarana kota serta tidak mengganggu pemeliharaannya; h. kaki konstruksi tidak boleh berada di saluran air, sungai atau badan jalan; (2) Penyelenggaraan reklame di trotoar harus memenuhi ketentuan: a. lebar trotoar paling sedikit 1,5 m (satu setengah meter); b. di bawah trotoar tidak terdapat saluran tepi yang lebarnya sama atau lebih besar dari lebar trotoar; c. diameter tiang reklame paling besar 10 % (sepuluh persen) dari lebar trotoar; d. titik pondasi/sepatu kaki konstruksi (pilecap) harus terletak pada sisi trotoar yang berbatasan/ berdekatan dengan persil; e. titik pondasi/ sepatu kaki konstruksi (pile cap) tidak berada di atas saluran tepi (apabila di bawah trotoar terdapat saluran tepi); f. titik pondasi/ sepatu kaki konstruksi (pile cap) dan bidang reklame tidak mengganggu/ merusak jaringan utilitas baik yang berada di bawah (dalam tanah) maupun di atas; g. ketinggian/ elevasi dari pondasi/ sepatu kaki konstruksi (pile cap) harus rata dengan permukaan trotoar;
35
h. bidang reklame tidak melebihi sisi trotoar bagian luar, yang berbatasan dengan badan jalan, dan tinggi bidang reklame paling sedikit 3 (tiga) meter; i. mendapat persetujuan tertulis pemilik persil, apabila bidang reklame masuk kedalam/diatas persil (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga bagi penyelenggaraan reklame pada sejalur tanah dan di bahu jalan. (4) Dalam hal pada ruas jalan terdapat sejalur tanah, maka penyelenggaraan reklame dilarang dilaksanakan di trotoar dan/ atau di bahu jalan. (5) Dalam hal pada ruas jalan tidak terdapat sejalur tanah, maka penyelenggaraan reklame dapat dilaksanakan pada trotoar. (6) Penyelenggaraan reklame di median jalan atau jalur hijau atau pulau jalan, bidang reklame dilarang melebihi median atau pulau jalan yang bersangkutan. Pasal 20 Penyelenggaraan reklame di Lokasi Persil sebagaimana dimaksud dalam pasal 18, harus memenuhi ketentuan: a. mendapat persetujuan tertulis dari pemilik persil; b. bidang reklame beserta konstruksinya, tidak diperbolehkan menembus atap bangunan; c. bidang reklame tidak boleh melebihi GSP;
36
d. penyelenggaraan reklame menempel pada bangunan dapat dipasang dengan ketentuan bidang reklame tidak melebihi GSP; e. penyelenggaraan reklame di atas bangunan, diselenggarakan dengan ketentuan bidang reklame tidak boleh melebihi bidang atap tempat reklame tersebut; f. penyelenggaraan reklame di halaman, lebar bidang reklame tidak boleh melebihi 60% (enam puluh persen) dari lebar sisi halaman tempat reklame tersebut diselenggarakan. Pasal 21 (1) Reklame yang diselenggarakan di Bando Jalan, Jembatan, atau Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) lebar bidang reklame paling besar 3 (tiga) meter dan luas bidang reklame paling besar 50 m2 (lima puluh) meter persegi. (2) Jarak antara bando jalan atau antara JPO dan bando jalan dalam satu ruas jalan paling sedikit 500 (lima ratus) meter. (3) Penyelenggara reklame bando jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memperoleh dan melaksanakan rekomendasi dari Dinas Perhubungan. (4) Reklame yang diselenggarakan pada Jembatan Penyeberangan Orang (JPO), letak bidang reklame dengan ketinggian 1,5 m (satu setengah meter) di atas lantai jembatan penyeberangan orang.
37
Pasal 22 Penyelenggaraan reklame Sign Net harus memenuhi ketentuan: a. ketinggian paling banyak 3 (tiga) meter; b. jarak antara reklame Sign Net paling sedikit 25 (dua puluh lima) meter; c. jarak reklame paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari persimpangan jalan dan tempat berbalik arah; d. penyelenggaraan Reklame Sign Net di media jalan: 1) dengan lebar 5 (lima) meter atau lebih, luas Sign Net paling besar 4 m² (empat meter persegi); 2) dengan lebar kurang dari 5 (lima) meter, luas Sign Net paling besar 2 m² (dua meter persegi). Pasal 23 Penyelenggaraan reklame insidentil jenis Kain harus memenuhi ketentuan: a. tidak boleh diselenggarakan pada tiang lampu pengatur lalu lintas, tiang kamera lalu lintas, tiang listrik, tiang telepon, pohon dan pagar; b. tidak boleh diselenggarakan pada bidang atau konstruksi reklame jenis Megatron dan jenis Papan; c. tidak boleh diselenggarakan melintang di atas jalan;
38
d. materi reklame bersifat jangka pendek atau mempromosikan suatu kegiatan yang bersifat insidentil. Pasal 24 Penyelenggaraan
reklame
insidentil
jenis
melekat
tidak
diperbolehkan
ditempelkan pada rambu lalu lintas, tiang listrik, tiang Penerangan Jalan Umum (PJU), tiang telepon atau sarana dan prasarana kota lainnya. Pasal 25 Penyelenggaraan reklame insidentil jenis Baliho harus memenuhi ketentuan: a. luas bidang reklame paling besar 24 m2 (dua puluh empat) meter persegi; b. materi reklame yang mempromosikan suatu kegiatan atau event yang bersifat insidentil. Pasal 26 Penyelenggaraan reklame insidentil Balon Udara, titik jatuhnya tidak boleh berada pada Ruang Milik Jalan. Pasal 27 (1) Penyelenggaraan reklame pada kendaraan bermotor harus sesuai dengan desain dan konstruksi rumah-rumah pada kendaraan bermotor dimaksud. (2) Penyelenggaraan reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk reklame jenis megatron.
39
Pasal 28 (1) Setiap penyelenggara reklame dapat merubah materi reklame, kecuali reklame insidentil. (2) Perubahan materi reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat dilakukan dalam masa pajak berjalan dan hanya bagi kategori materi yang sama. (3) Perubahan materi reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus berukuran sama dan sebangun dengan materi sebelumnya. (4) Perubahan materi reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus terlebih dahulu diberitahukan secara tertulis kepada Kepala Daerah. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. Pasal 29 Bangunan konstruksi reklame dilarang tanpa materi reklame. Menurut Indra bastian pada bukunya yang berjudul Sistem Akuntansi Sektor Publik : konsep untuk pemerintahan daerah, Pendapatan Asli Daerah adalah semua pendapatan yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Kelompok PAD diklasifikasikan menjadi empat jenis pendapatan :
40
a. Pajak Daerah : Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Kendaraan di Atas Air di Bawah Tanah, Pajak Air Permukaan. b. Retribusi Daerah seperti : Retribusi pelayanan kesehatan, Retribusi pemakaian kekayaan daerah, Retribusi pasar grosir dan atau pertokoan, Retribusi penjualan produksi usaha daerah, Retribusi izin trayek kendaraan penumpang, Retribusi air, Retribusi jembatan timbang, Retribusi kelebihan muatan, Retribusi perizinan pelayanan, dan pengendalian. c. Bagian Laba Perusahaan Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan seperti : bagian laba Bank Pembangunan Daerah (BPD), bagian laba Perusahaan Daerah, dan hasil investasi pada pihak ketiga. d. Lain-lain PAD yaitu semua PAD yang bukan berasal dari pajak, retribusi dan laba usaha daerah, antara lain : hasil penjualan barang milik daerah, penerimaan jasa giro, penerimaan ganti rugi atas kekayaan daerah (TP/TGR), denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, penerimaan bunga deposito. Kelompok Belanja diklasifikasikan menjadi lima kelompok yaitu :
41
a. Belanja Administrasi Umum : belanja untuk melaksanakan kegiatan pelayanan aparatur yang tidak mengakibatkan penambahan kekayaan (aset). b. Belanja Operasi, Pemeliharaan Sarana, dan Prasarana Publik adalah belanja untuk melaksanakan kegiatan pelayanan publik yang tidak mengakibatkan penambahan kekayaan (aset). c. Belanja Modal/Investasi adalah belanja yang mengakibatkan penambahan kekayaan (aset). d. Belanja transfer adalah belanja untuk kegiatan amal tanpa mengharapkan adanya pengembalian atau imbalan. e. Belanja Tak Tersangka adalah belanja untuk kegiatan yang tidak dapat direncanakan dan bersifat luar biasa (force major). 2.1.6
Pengertian Pertumbuhan Ekonomi Menurut Boediono dalam bukunya yang berjudul Teori Pertumbuhan
Ekonomi adalah suatu proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang, dimana penekanannya pada tiga hal yaitu proses, output perkapita dan jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi adalah suatu “proses” bukan suatu gambaran ekonomi pada suatu saat. Disini kita melihat aspek dinamis dari suatu perekonomian, yaitu melihat bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Tekanannya pada perubahan atau perkembangan itu sendiri.
42
Pertumbuhan ekonomi juga berkaitan dengan kenaikan “output perkapita”. Dalam pengertian ini teori tersebut harus mencakup teori mengenai pertumbuhan GDP dan teori mengenai pertumbuhan penduduk. Sebab hanya apabila kedua aspek tersebut dijelaskan, maka perkembangan output perkapita bisa dijelaskan. Kemudian aspek yang ketiga adalah pertumbuhan ekonomi dalam perspektif jangka panjang, yaitu apabila selama jangka waktu yang cukup panjang tersebut output perkapita menunjukkan kecenderungan yang meningkat. 2.1.6.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi 1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik Menurut para ahli ekonomi klasik seperti Adam Smith dan David Ricardo, ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu sebagai berikut : 1) Jumlah Penduduk 2) Persediaan barang-barang modal 3) Luas tanah dan kekayaan alam 4) Penerapan teknologi 2. Teori Pertumbuhan Ekonomi Schumpeter Peranan pengusaha atau wirausahawan sangat penting dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Itulah salah satu hal yang ditekankan oleh Schumpeter dalam teorinya. Pengusaha akan terus-
43
menerus melakukan inovasi untuk mendapatkan hal-hal baru yang berguna bagi usahanya dan dapat meningkatkan keuntungan yang diperoleh. Adapun bentuk inovasi-inovasi yang dilakukan oleh pengusaha antara lain mencari lokasi pasar yang baru, meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses produksi, dan mencari sumber bahan mentah. Untuk menjalankan inovasi yang telah ditemukan tentu membutuhkan modal. Pengusahan akan meminjam modal tersebut untuk keperluan investasi usahanya. Akibat dari investasi tersebut adalah kenaikan pendapatan nasional yang mendorong peningkatan konsumsi masyarakat. Karena konsumsi meningkat dan menimbulkan investasi baru oleh pengusaha. 3. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neoklasik Beberapa teori pertumbuhan ekonomi dari aliran neoklasik adalah sebagai berikut : 1) Teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar 2) Teori pertumbuhan ekonomi solow 4. Teori Pertumbuhan Ekonomi Rostow Menurut Rostow, pertumbuhan ekonomi terdiri atas beberapa tahap berikut : 1) Perekonomian Tradisional
44
2) Perekonomian Transisi 3) Perekonomian Lepas Landas 4) Perekonomian Menuju Kedewasaan 5) Perekonomian dengan Tingkat Konsumsi yang Tinggi 2.1.7. Penelitian Terdahulu Hal ini di maksudkan untuk menggali informasi serta membandingkan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya tentang Pajak Reklame yang sudah diteliti oleh peneliti lain. Beberapa penelitian terdahulu mengenai Pajak Reklame antara lain : 1. Restuti Kusuma Wardani (2011) dengan penelitiannya yang berjudul Analisis Penerimaan Pajak Reklame dalam Hubungannya dengan Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Sidoarjo. Pada penelitian tersebut, penulis menganalisis tentang Pajak Reklame terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2009. 2. Dini Nurmayasari (2010) dengan penelitiannya yang berjudul Analisis Penerimaan Pajak Reklame Kota Semarang. Pada penelitian tersebut, penulis menganalisis tentang bagaimana pengaruh variabel jumlah penduduk, jumlah industri, dan PDRB perkapita terhadap penerimaan pajak reklame di Kota Semarang pada tahun 1985 sampai dengan tahun 2008
45
3. Lintan Gupita Prasedyawati (2013) dengan penelitiannya yang berjudul Analisis Penerimaan Pajak Reklame di Kota Semarang 1920-2011. Pada penelitian tersebut, penulis menganalisis tentang evektifitas Pajak Reklame terhadap Pendapatan Asli Daerah dan Analisis Koefisien Korelasi di Kota Semarang pada tahun 1920 sampai dengan tahun 2011. 4. Donna Dwi Istianto (2011) dengan penelitiannya yang berjudul Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penerimaan Pajak Reklame di Kabupaten Semarang Tahun 2000-2009. Pada penelitian tersebut, penulis menganalisis tentang Pajak Reklame terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Semarang pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 dengan menggunakan Uji Asumsi Klasik. 2.2
Rerangka Pemikiran Pajak Reklame
PAD
Pertumbuhan Ekonomi
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian Dalam penelitian ini Pajak Reklame diduga mempunyai pengaruh terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah, dimana apabila penerimaan Pajak Reklame bertambah maka akan mempengaruhi kenaikan Pendapatan Asli Daerah. Kemudian apabila Pendapatan Asli Daerah meningkat, secara otomatis akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi juga.