BAB II TINJAUAN TEORETIS A. Model Pembelajaran Kooperatif 1. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Model Pembelajaran adalah pedoman atau petunujuk strategi mengajar yang dirancang untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran. Pedoman ini memuat tanggung jawab pendidik dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Salah satu tujuan dalam dari penggunaan model pembelajaran adalah meningkatkatkan kemampuan peserta didik selama belajar. Model pembelajaran merupakan kerangka dasar pembelajaran atau prosedur sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tertentu. Model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student oriented), terutama untuk mengatasi permasalahan dalam proses pembelajaran, termasuk peserta didik yang tidak bisa bekerja sama dengan sesamanya. Pembelajaran kooperatif mengupayakan peserta didik mampu mengajarkan sesuatu kepada peserta didik lainnya. Mengajar teman sebaya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempelajari sesuatu dengan baik pada waktu bersamaan. Peserta didik menjadi narasumber bagi peserta didik lainnya. Pembelajaran kooperatif berbeda dengan metode diskusi dalam kelas. “Pembelajaran kooperatif berasal dari kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu
(
Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to-PDF-Converter.net22
kelompok atau tim.” Slavin dalam Isjoni mengemukakan, “In cooperative learning methods, student work together in four member teams to master material initially presented by the teacher”. Uraian tersebut memberikan gambaran bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran peserta didik belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif sehingga dapat merangsang peserta didik lebih bergairah dalam belajar. Pembelajaran kooperatif mengandung arti bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama. Dalam kegiatan kooperatif, peserta didik mencari hasil yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompok. Belajar kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok itu. Prosedur pembelajaran kooperatif didesain untuk mengaktifkan peserta didik melalui inkuiri dan diskusi dalam kelompok kecil. Anita Lie menyebut pembelajaran kooperatif dengan istilah pembelajaran gotong royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama dengan peserta didik lain dengan tugas-tugas yang tersruktur. Lebih lanjut Muslim Ibrahim berpendapat bahwa: Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang menitikberatkan pada pengelompokan peserta didik dengan tingkat kemampuan akademik yang berbeda ke dalam kelompok-kelompok kecil. Dalam model pembelajaran ini peserta didik diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerjasama dengan baik dalam kelompoknya, seperti menjelaskan kepada teman kelompoknya, menghargai pendapat temannya, diskusi dengan teratur, dan masing-masing peserta didik punya tanggung jawab tersendiri dalam proses pembelajaran, sehingga mereka saling membantu. Johnson sebagaimana dikutif Isjoni, memberikan batasan tentang pembelajaran kooperatif bahwa:
Cooperanon means working together to accomplish shared goals. Within coopera-tive activities individuals seek outcomes that are beneficial to all other groups mem-bers. Cooperative learning is the instructional use of small groups that allows stu-dents to work together to maximize their own and each other as learning. Berdasarkan uraian tersebut, pembelajaran kooperatif mengandung arti bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama. Dalam kegiatan kooperatif, peserta didik mencari hasil yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompok. Belajar kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok itu. Prosedur pembelajaran kooperatif didesain untuk mengaktifkan peserta didik melalui inkuiri dan diskusi dalam kelompok kecil. Pada dasarnya pembelajaran kooperatif mengandung pengertian sebagai suatu sikap atau prilaku bersama dalam bekerja atau saling membantu dalam struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok, keberhasilan kelompok sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri. Pembelajaran kooperatif juga dapat diartikan sebagai suatu struktur tugas bersama dalam kebersamaan di antara sesama anggota kelompok. Cooperative learning (belajar kooperatif) lebih dari sekadar belajar kelompok karena dalam belajar kooperatif ada struktur dorongan atau tugas yang bersifat kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan yang bersifat interdepedensi efektif di antara anggota kelompok. Hubungan kerja seperti itu memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa yang dapat dilakukan peserta didik untuk mencapai keberhasilan belajar berdasarkan kemampuan dirinya secara individu dan andil dari anggota kelompok lain selama belajar bersama dalam kelompok. Pembelajaran kooperatif yang juga dikenal dengan istilah cooperative learning, merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan atau tim
kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda (heterogen). Sistem penilaian dilakukan terhadap kelompok. Setiap kelompok akan memperoleh penghargaan (reward), jika kelompok mampu menunjukkan prestasi yang dipersyaratkan. Dengan demikian setiap anggota kelompok akan mempunyai ketergantungan positif. Ketergantungan semacam itulah yang selanjutnya akan memunculkan tanggung jawab individu terhadap kelompok dan keterampilan interpersonal dari setiap anggota kelompok. Setiap individu akan saling membantu, mereka akan mempunyai motivasi untuk keberhasilan kelompok, sehingga setiap individu akan memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan kontribusi demi keberhasilan kelompok. Ada banyak alasan mengapa pembelajaran kooperatif tersebut memasuki mainstream (kelaziman) praktik pendidikan. Selain bukti-bukti nyata tentang keberhasilan pendekatan ini, pada masa sekarang masyarakat pendidikan semakin menyadari pentingnya peserta didik berlatih berpikir, memecahkan masalah, serta menggabungkan kemampuan dan keahlian. Walaupun memang pendekatan ini akan berjalan baik jika diterapkan di kelas yang peserta didiknya punya kemampuan merata, namun sebenarnya kelas dengan kemampuan peserta didik yang bervariasi lebih membutuhkan pendekatan ini. Karena dengan mencampurkan peserta didik dengan kemampuan yang beragam tersebut, maka peserta didik yang kurang akan sangat terbantu dan termotivasi oleh peserta didik yang mempunyai kemampuan lebih. Demikian juga peserta didik yang mempunyai kemampuan akademik tinggi akan semakin terasah pemahamannya. Pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan peserta didik bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama.
Pembelajaran kooperatif disusun dalam sebuah usaha untuk meningkatkan partisipasi peserta didik, mempasilitasi peserta didik dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok, serta memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama dengan peserta didik yang berbeda latar belakangnya. Jadi dalam pembelajaran kooperatif peserta didik berperan ganda, yaitu sebagai peserta didik maupun guru. Dengan bekerja secara kolaboratif untuk mencapai sebuah tujuan bersama, maka peserta didik akan mengembangkan keterampilan berhubungan kepada sesama manusia yang akan sangat bermanfaat dalam kehidupan luar sekolah. Pembelajaran kooperatif bukan bermaksud untuk menggantikan pendekatan kompetitif (persaingan). Nuansa kompetitif dalam kelas akan sangat baik bila diterapkan secara sehat. Pendekatan kooperatif ini adalah sebagai alternatif pilihan dalam mengisi kelemahan kompetisi, yakni hanya sebagian peserta didik saja yang akan bertambah pintar, sementara yang lainnya semakin tenggelam dalam ketidaktahuannya. Tidak sedikit peserta didik yang kurang pengetahuannya merasa malu bila kekurangannya diekspos. Kadang-kadang motivasi persaingan akan menjadi kurang sehat bila peserta didik saling menginginkan agar peserta didik lainnya tidak mampu, katakanlah dalam menjawab soal yang diberikan guru. Sikap mental inilah yang dirasa perlu untuk mengalami improvement (perbaikan). Proses pembelajaran dengan model kooperatif bertujuan untuk merangsang dan menggugah potensi peserta didik secara optimal dalam suasana belajar pada kelompok-kelompok kecil yang bervariasi kemampuan dan jenis kelaminnya. Dalam model pembelajaran ini, peserta didik pada saat belajar dalam kelompok akan berkembang
suasana belajar yang terbuka dalam dimensi kesejawatan atau hubungan pribadi yang saling membutuhkan, serta demokrasi antara pendidik dengan peserta didik, dan peserta didik dengan peserta didik lainnya sehingga lebih memungkinkan pengembangan nilai, sikap, moral dan ketrampilan sosial. Model pembelajaran kooperatif mendukung peserta didik dalam belajar, kerja kelompok dapat memberikan kesempatan pada peserta didik untuk menggunakan keterampilan bertanya membahas suatu masalah memotivasi peserta didik yang masih malu-malu untuk aktif, dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, mengembangkan kepemimpinan berdiskusi, interaksi dengan peserta didik lebih banyak, informasi yang didapatkan lebih banyak, serta kesimpulan yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan.
2. Teori yang Melandasi Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif bernaung dalam perspektif konstruktivisme. Pembelajaran ini muncul dari konsep bahwa peserta didik akan lebih muda menemukan dan memahami konsep yang sulit apabila mereka saling berdiskusi dengan temannya. Peserta didik secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Jadi hakikat sosial dan penggunaan kelompok sejawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran kooperatif. Teori konstruktivisme ini dikembangkan oleh Piaget pada pertengahan abad ke 20. Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut
berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya pada tahap sensori motor, anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan. Piaget berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna, sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Teori konstruktivisme ini menyatakan bahwa peserta didik harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi peserta didik agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner. Menurut teori konstruktivisme ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa pendidik tidak hanya sekadar memberikan pengetahuan kepada peserta didik akan tetapi Peserta didik harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Dalam hal tersebut Pendidik dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan peserta didik untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar peserta didik menjadi sadar menggunakan strategi mereka untuk belajar. Pendidik dapat memberi peserta didik anak tangga yang membawa peserta didik ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan peserta didik sendiri yang harus memanjat anak tangga
tersebut. Mc. Brien dan Brandt dalam Isjoni menyebut konstruktivisme sebagai suatu pendekatan pengajaran yang berdasarkan pada penyelidikan tentang bagaimana manusia belajar. Ide dasar dari teori ini adalah peserta didik aktif membangun pengetahuannya sendiri. Otak peserta didik dianggap sebagai mediator yang menerima masukan dari dunia luar dan menentukan apa yang akan dipelajari. Pembelajaran secara konstruktivisme mengarahkan peserta didik membina pengetahuan dengan menguji ide dan pendekatan yang ada, kemudian mengimplikasikannya pada situasi baru dan mengintegrasikan pengetahuan baru yang diperoleh dengan binaan intelektual yang akan diwujudkan. Dasar pemikiran teori konstruktivisme adalah pembelajaran efektif yang menghendaki pendidik mengetahui pandangan peserta didik tentang fenomena yang menjadi subjek pengajaran kemudian gagasan yang telah dimiliki peserta didik dikembangkan melalui langkah-langkah intermediat dan berakhir dengan gagasan yang telah dimodifikasi. Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Konstruktivisme adalah satu pandangan bahwa peserta didik membina sendiri pengetahuan atau konsep secara aktif berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang ada. Dalam proses ini, peserta didik akan menyesuaikan pengetahuan yang diterima dengan pengetahuan yang ada untuk membina pengetahuan baru. Pembelajaran konstruktivis mengarahkan pendekatan
peserta didik untuk membina pengetahuan dengan menguji ide dan berdasarkan
pengetahuan
dan
pengalaman
yang
ada,
kemudian
mengimplikasikannya pada satu situasi baru dan mengintegrasikan pengetahuan baru yang
diperoleh dengan binaan intelektual yang akan diwujudkan. Manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi arti pada pengetahuan sesuai pengalamannya. Pengetahuan itu rekaan dan tidak stabil. Oleh karena pengetahuan itu adalah konstruksi manusia dan secara konstan manusia mengalami pengalaman-pengalaman baru, maka pengetahuan itu tidak pernah stabil. Pemahaman yang diperoleh manusia senantiasa bersifat tentatif dan tidak lengkap. Pemahaman akan semakin mendalam dan kuat jika diuji melalui pengalaman-pengalaman baru. Secara garis besar terdapat beberapa teori pembelajaran yang mendukung pembelajaran kooperatif yang merupakan pengembangan teori Konstruktivisme yaitu sebagai berikut: a. Teori Belajar Bermakna David Ausubel Inti dari dari teori Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna. Belajar bermakna merupakan suatu proses dikuatkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. David Ausubel yang mengembangkan teori ini adalah seorang ahli psikologi pendidikan. menurut Ausubel bahan yang di pelajari haruslah bermakna (meaning full). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah data, fakta dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat peserta didik. Agar terjadi belajar bermakna, konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif peserta didik. Menurut Suparno, pembelajaran bermakna adalah suatu konsep pembelajaran informasi baru dihubungkan dengan struktur pemahaman yang sudah dimiliki seseorang yang
sedang dalam proses pembelajaran. Pembelajaran bermakna terjadi bila peserta didik mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya bahan pelajaran itu harus cocok dengan kemampuan pelajar dan harus relevan dengan kemampuan kognitif yang dimilikinya. Oleh karena itu, pelajaran harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki peserta didik, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya. Penerapan teori Ausubel dalam mengajar memiliki beberapa prinsip yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah advance organizers (pengatur awal). Pengatur awal mengarahkan peserta didik ke materi yang akan dipelajari dan menolong mereka untuk mengingat kembali informasi pelajaran yang telah dilaluinya dan dapat digunakan dalam membantu menanamkan pengetahuan baru. Suatu pengatur awal dapat dianggap sebagai pertolongan mental dan disajikan sebelum materi baru. Teori Ausubel dalam membantu peserta didik menanamkan pengetahuan baru dari suatu materi, sangat diperlukan konsep-konsep awal yang sudah dimiliki peserta didik dengan konsep yang akan dipelajari. Sehingga apabila dikaitkan dengan pembelajaran kooperatif
peserta didik mampu
mengerjakan permasalahan yang autentik sangat memerlukan konsep awal yang sudah dimiliki peserta didik sebelumnya untuk suatu penyelesaian nyata dari permasalahan yang ditemukan. Penerapan teori Ausubel dalam pembelajaran sejarah misalnya, bukan hanya sekadar menekankan kepada pengertian konsep-konsep sejarah belaka, tetapi bagaimana melaksanakan dan meningkatkan proses pembelajaran tersebut sehingga pembelajaran benar-benar menjadi bermakna. Dengan pembelajaran kooperatif tentu materi sejarah yang dipelajari peserta didik tidak hanya sekadar menjadi sesuatu yang dihafal dan diingat, melainkan ada sesuatu yang dapat dipraktikkan dan dilatihkan dalam situasi nyata yang
terlibat dalam pemecahan masalah. Dengan demikian pembelajaran kooperatif akan dapat mengusir rasa jenuh dan bosan. Pemecahan masalah secara berkelompok dalam pembelajaran kooperatif lebih bermanfaat bagi peserta didik dan merupakan strategi yang efisien dalam mengembangkan kemampuan kognitifnya. Kekuatan dan kebermaknaan proses pemecahan masalah dalam pembelajaran sejarah terletak dalam kemampuan pelajar dalam mengambil peran pada kelompoknya dan peserta didik juga harus diberi kebebasan untuk membangun pengetahuannya sendiri. b. Teori Perkembangan Kognitif Piaget Teori perkembangan Piaget yang mewakili aliran konstruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka. Menurut teori Piaget, setiap individu pada saat tumbuh mulai dari bayi yang baru dilahirkan sampai menginjak usia dewasa mengalami empat tingkat perkembangan kognitif, yaitu:
1) Sensori motor (0-2 tahun) 2) Pra operasional (2-7 tahun) 3) Operasional konkret (7-11 tahun) 4) Operasional formal (11 tahun ke atas) Bila merujuk pada teori Piaget, maka pelajar yang berada pada jenjang SMP/MTs (usia berkisar antara 12-14/15 tahun), termasuk tingkat operasional formal. Pada periode ini anak dapat menggunakan operasi-operasi konkretnya untuk membentuk operasi-operasi yang lebih kompleks. Kemajuan utama pada anak selama periode ini ialah ia tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda-benda atau peristiwa-peristiwa konkret. Ia mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak. Karena itu pembelajaran kooperatif dapat diterapkan
pada jenjang ini (SMP/MTs). Proses pembelajaran yang dialami seorang anak pada tahap sensori motor tentu lain dengan yang dialami seorang yang sudah mencapai tahap kedua (pra operasional) dan lain lagi yang dialami peserta didik yang telah sampai pada tahap yang lebih tinggi (operasional konkret dan operasional formal). Secara umum, semakin tinggi kemampuan kognitif seseorang, semakin teratur (dan juga semakin abstrak) cara berpikirnya. Dalam kaitan ini seorang pendidik seyogyanya memahami tahap-tahap perkembangan anak didiknya, serta memberikan materi belajar dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut. Pada masa ini peserta didik telah menyesuaikan diri dengan realita konkrit dan harus berpengetahuan. Oleh karena itu dalam meningkatkan kualitas kognitif peserta didik, pendidik dalam melaksanakan pembelajaran harus lebih ditujukan pada kegiatan pemecahan masalah atau latihan meneliti dan menemukan. Uraian teori Piaget di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan pembelajaran harus melibatkan partisipasi peserta didik. Sehingga menurut teori ini pengetahuan tidak hanya sekadar dipindahkan secara verbal tetapi harus dikonstruksi dan direkonstruksi peserta didik. Sebagai realisasi teori ini, maka dalam kegiatan pembelajaran peserta didik haruslah bersifat aktif dan pembelajaran kooperatif termasuk salah satu model pembelajaran aktif dan partisipatif. c. Teori Pembelajaran Sosial Vygotsky Vygotsky merupakan salah seorang tokoh konstruktivisme yang telah banyak memberi sumbangan dalam pembelajaran. Teori Vygotsky ini lebih menekankan pada aspek sosial dalam pembelajaran. Menurut Vygotsky bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun
tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan mereka yang disebut zone of proximal development, yaitu daerah tingkat perkembangan sedikit di atas daerah tingkat perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan dan kerja sama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut. Ide penting lain yang diturunkan Vygotsky adalah scaffolding, yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada anak pada tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian menguranginya dan memberi kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab saat mereka mampu. Bantuan yang diberikan oleh pendidik dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan masalah, memberikan contoh atau bantuan dalam bentuk lain yang memungkinkan peserta didik dapat mandiri. Dengan demikian tingkat perkembagan potensial dapat disalurkan melalui model pembelajaran kooperatif. Dalam teori Vygotski ini dijelaskan ada hubungan langsung antara domain kognitif dengan sosial budaya. Kualitas berpikir peserta didik dibangun dalam ruang kelas, sedangkan aktivitas sosialnya dikembangkan dalam bentuk kerjasama antara peserta didik dengan peserta didik lainnya, di bawah bimbingan orang dewasa dalam hal ini adalah pendidik. Dukungan teori Vygotsky terhadap model pembelajaran kooperatif adalah penekanan belajar sebagai proses dialog interaktif. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran berbasis sosial. Model pembelajaran kooperatif didasarkan pada filsafat homo homini socius. Berlawanan dengan teori Darwin, falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah mahluk sosial. Dialog interaktif (interaksi sosial) adalah kunci dari semua kehidupan sosial. Tanpa kehidupan sosial tidak akan mungkin ada kehidupan bersama.
Kerja sama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Tanpa kerja sama tidak akan ada keluarga, organisasi dan kehidupan bersama lainnya. secara umum tanpa interaksi sosial tidak akan ada pengetahuan yang disebut sebagai pengetahuan sosial. Itulah sebabnya di dalam al-Qur’a>n Allah menganjurkan umat manusia untuk selalu bekerjasama dan saling tolong menolong dalam kebaikan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan, sebagaimana dalam Q.S. al-Ma>idah/5: 2, yaitu sebagai berikut:
¢… (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ Terjemahnya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. Dalam al-Qur’a>n terdapat konsep al-Na>s yang mengacu kepada manusia sebagai mahluk sosial, yakni mahluk yang keberadaannya saling bergantung antara satu dengan yang lainnya. Konsep tolong-menolong sebagaimana dianjurkan oleh al-Qur’a>n tersebut merupakan sebuah kewajiban yang harus direalisasikan bagi manusia dalam kehidupannya. Manusia tidak bisa hidup dalam kesendirian tanpa bantuan dari sesamanya. Teori konstruktivisme sosial Vygotsky telah meletakkan arti penting model pembelajaran kooperatif.
Konstruktivisme
sosial Vygotsky menekankan bahwa
pengetahuan dibangun dan dikonstruksi secara mutual. Peserta didik berada dalam konteks sosiohistoris. Keterlibatan dengan orang lain membuka kesempatan bagi mereka
mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman. Dengan cara ini, pengalaman dalam konteks sosial memberikan mekanisme penting untuk perkembangan pemikiran peserta didik. 3. Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif Slavin, Abrani dan Chambers yang merupakan tokoh yang mengembangkan model pembelajaran kooperatif berpendapat bahwa belajar melalui kooperatif dapat dijelaskan dari beberapa perspektif, yaitu perpektif motivasi, persfektif sosial, perspektif perkembangan kognitif dan perspektif elaborasi kognitif. Perspektif motivasi berarti bahwa penghargaan yang diberikan kepada kelompok memungkinkan setiap anggota kelompok saling membantu. Dengan demikian, keberhasilan setiap individu pada dasarnya adalah keberhasilan kelompok. Perspektif sosial mengandung arti bahwa melalui pembelajaran kooperatif setiap peserta didik saling membantu dalam belajar karena mereka menginginkan semua anggota kelompok memperoleh keberhasilan. Bekerja secara tim dengan mengevaluasi keberhasilan sendiri oleh kelompok, merupakan iklim yang bagus,
setiap anggota kelompok
menginginkan semuanya memperoleh keberhasilan. Sedangkan perspektif perkembangan kognitif berarti bahwa dengan adanya interaksi antar anggota kelompok dapat mengembangkan prestasi peserta didik untuk berpikir mengolah berbagai informasi. Elaborasi kognitif mengandung arti bahwa setiap peserta didik akan membina informasi untuk menambah pengetahuan kognitifnya. Pembelajaran kooperatif berbeda dengan strategi pembelajaran yang lain. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari proses pembelajaran yang lebih menekankan kepada proses kerjasama dalam kelompok. Tujuan yang ingin dicapai tidak hanya kemampuan akademik dalam pengertian penguasaan bahan pelajaran, akan tetapi juga adanya unsur
kerja sama untuk penguasaan materi tersebut. Adanya kerjasama inilah yang menjadi cirri khas pembelajaran kooperatif. Adapun karakteristrik pembelajaran kooperatif dijelaskan di bawah ini. a. Pembelajaran Secara Tim Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran secara tim. Tim merupakan tempat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu tim harus membuat semua peserta didik belajar. Semua anggota tim harus saling membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran. Setiap kelompok bersifat heterogen, artinya setiap kelompok terdiri atas anggota yang memiliki kemampuan akademik, jenis kelamin, dan latar belakang sosial yang berbeda. Hal ini di dimaksudkan agar setiap anggota kelompok dapat saling memberi dan menerima, sehingga setiap anggota tim dapat memberi kontribusi terhadap keberhasilan kelompok. b. Didasarkan pada Manajemen Kooperatif Sebagaimana pada umumnya, manajemen mempunyai empat fungsi pokok, yaitu: fungsi perencanaan, fungsi organisasi, fungsi pelaksanaan dan fungsi kontrol. Demikian juga dalam pembelajaran kooperatif. Fungsi perencanaan menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif memerlukan perencanaan yang matang agar proses pembelajaran berjalan secara efektif. Fungsi pelaksanaan menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif harus dilaksanakan sesuai dengan perencanaan melalui langkah-langkah pembelajaran yang telah ditentukan. Fungsi organisasi menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan pekerjaan bersama antar setiap anggota kelompok. Fungsi kontrol menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif perlu ditentukan kriteria keberhasilan baik melalui tes maupun nontes. dengan demikian pembelajaran kooperatif akan berjalan sesuai dengan harapan kalau keempat fungsi manajemen tersebut dapat diterapkan.
c. Keterampilan Bekerja Sama. Kemauan untuk bekerjasama kemudian dipraktikkan melalui aktifitas dan kegiatan yang menggambarkan keterampilan dalam bekerjasama. Dengan demikian peserta didik harus didorong untuk mau berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota lain. Peserta didik harus dibantu mengatasi berbagai hambatan dalam berkomuniksi, sehingga setiap peserta didik dapat menyampaikan ide, mengemukakan pendapat dan memberikan kontribusi kepada keberhasilan kelompok. Keberhasilan pembelajaran kooperatif ditentukan oleh keberhasilan secara kelompok. Oleh karena itu, poses kerjasama sangat ditekankan. Setiap anggota kelompok bukan hanya harus diatur tugas dan tanggung jawab masing-masing, akan tetapi juga ditanamkan perlunya saling membantu. Model pembelajaran kooperatif menempatkan pendidik bukan sebagai orang yang serba tahu yang dengan otoritas yang dimilikinya dapat menuangkan berbagai ide dan gagasan, melainkan hanya sebagai salah satu sumber informasi, penggerak, pendorong, dan pembimbing agar peserta didik dengan kemauannya sendiri dapat melakukan kegiatan pembelajaran yang selanjutnya mengarah pada terjadinya masyarakat belajar (learning society). Pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekadar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur pembelajaran kooperatif yang membedakannya dengan pembelajaran kelompok tradisional. Jadi tidak, semua belajar kelompok bisa dianggap sebagai pembelajaran kooperatif. Untuk mencapai hasil yang maksimal terdapat lima unsur penting yang harus ada dalam pembelajaran kooperatif, yaitu: a. Positive Interdependence (Saling Ketergantungan Positif). Kelompok bukanlah semata-mata sekumpulan orang. kumpulan disebut kelompok apabila ada intraksi, mempunyai tujuan, dan berstruktur. Kelompok merupakan satu kesatuan. Dalam pembelajaran kooperatif, pendidik dituntut menciptakan suasana yang
mampu mendorong agar peserta didik merasa saling membutuhkan antarsesama. Penyelesaian tugas dalam kelompok sangat ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota. Dengan demikian, semua anggota kelompok akan merasa saling ketergantungan. b. Personal Responsibility (Tanggung Jawab Perseorangan) Meskipun pembelajaran kooperatif menampilkan wujudnya dalam belajar kelompok, akan tetapi penilaian dalam rangka mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap suatu materi pelajaran dilakukan secara individual. Nilai kelompok didasarkan atas rata-rata hasil belajar semua anggotanya. Oleh karena itu tiap anggota kelompok harus memberikan kontribusi demi keberhasilan kelompoknya. c. Face to face Promotive Interaction (Interaksi Promotif) Pembelajaran kooperatif memberi ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka, saling memberikan informasi, dan saling membelajarkan. Interaksi promotif akan memberikan pengalaman yang berharga kepada setiap anggota kelompok untuk bekerja sama, menghargai setiap perbedaan, memanfaatkan kelebihan masing-masing setiap anggota, dan mengisi kekurangan masing-masing. Kegiatan interaksi ini akan membentuk sinergi yang menguntungkan kepada semua anggota kelompok. Oleh karena itu, inti dari interaksi promotif ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan. d.
Interpersonal Skill (Komunikasi antar Anggota)
Unsur ini menghendaki agar peserta didik dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kemampuan peserta didik mengungkapkan idenya secara lisan di depan umum. Selain itu juga dituntut
untuk mampu mendengarkan dan menanggapi secara positif pendapat orang lain. Untuk dapat melakukan partisipasi dan komunikasi, maka peserta didik perlu dibekali kemampuan untuk menjadi komunikator yang baik. e. Group Processing (Evaluasi Proses Kelompok) Melaui pemrosesan kelompok dapat diidentifikasi urutan atau tahapan dari kegiatan kelompok. Tujuan dari pemrosesan kelompok adalah meningkatkan efektifitas anggota dalam memberikan kontribusi terhadap kegiatan kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok. Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil belajar berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Untuk mencapai hasil belajar itu model pembelajaran kooperatif menuntut kerjasama dan interdependensi peserta didik dalam struktur tugas, struktur tujuan dan struktur reward-nya. Struktur tugas berhubungan dengan bagaimana tugas diorganisir sedangkan struktur tujuan dan reward mengacu pada pada derajat kerja sama atau kompetisi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Manfaat pembelajaran kooperatif adalah dapat mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam wujud infut pada level individual. Di samping itu, belajar kooperatif dapat mengembangkan solidaritas sosial di kalangan peserta didik. Dengan belajar kooperatif diharapkan kelak akan muncul generasi baru yang memiliki prestasi akademik yang cemerlang dan memiliki solidaritas sosial yang kuat. Berdasarkan berbagai pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif mempunyai perbedaan yang perinsipil dengan pembelajaran kelompok. Hal-hal yang membedakan pembelajaran kooperatif dengan pembelajaran kelompok tradisional dapat di lihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.1: Perbedaan Kelompok Belajar Kooperatif dengan Kelompok Belajar
Tradisional Kelompok Belajar Kooperatif
Kelompok Belajar Tradisional
Adanya saling ketergantungan positif, saling membantu, dan saling memberikan motivasi sehingga ada interaksi promotif. Adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi pelajaran tiap anggota kelompok, dan kelompok diberi umpan balik tentang hasil belajar para anggotanya. Kelompok belajar heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik dan sebagainya. Keterampilan sosial yang diperlukan dalam kerja gotong royong secara langsung diajarkan.
Guru sering membiarkan adanya peserta didik yang mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok
Pada saat proses pembelajaran berlangsung guru terus melakukan pemantauan melalui observasi.
Pemantauan melalui observasi dan intervensi sering tidak dilakukan oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung
Akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok Kelompok belajar bisanya homogen, tidak memperhatikan keseragaman kemampuan peserta didik. Keterampilan sosial sering diabaikan, tidak secara langsung diajarkan.
4. Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong peserta didik aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pembelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Dalam model belajar ini terdapat tahap-tahap dalam penyelenggaraannya. Jigsaw ini telah dikembangkan dan diuji coba oleh Elliot Aroson dan teman-teman dari Universitas Texas, dan diadopsi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas Jhon Hopkins. Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya. Dengan demikian pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong peserta didik aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai
prestasi yang maksimal. Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi pembelajaran dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya. Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan model pembelajaran yang menekankan peserta didik untuk belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang secara heterogen dan bekerjasama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok lain. Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab peserta didik terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Peserta didik tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, peserta didik saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan. Pada model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal, yaitu kelompok induk peserta didik yang beranggotakan peserta didik dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam, kelompok ini disebut juga home teams. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli atau kelompok pakar (expert group), yaitu kelompok peserta didik yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal. Para anggota dari kelompok asal yang berbeda, bertemu dengan topik yang sama dalam kelompok ahli untuk berdiskusi dan membahas materi yang ditugaskan pada
masing-masing anggota kelompok serta membantu satu sama lain untuk mempelajari topik mereka tersebut. Setelah pembahasan selesai, para anggota kelompok kemudian kembali pada kelompok asal dan mengajarkan pada teman sekelompoknya apa yang telah mereka dapatkan pada saat pertemuan di kelompok ahli. Jigsaw didesain selain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab peserta didik secara mandiri juga dituntut saling ketergantungan yang positif (saling memberi tahu) terhadap teman sekelompoknya. Selanjutnya di akhir pembelajaran, peserta didik diberi kuis secara individu yang mencakup topik materi yang telah dibahas. Kunci model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini adalah interdependensi setiap peserta didik terhadap anggota tim yang memberikan informasi yang diperlukan dengan tujuan agar dapat mengerjakan kuis atau soal dengan baik. Proses pembelajaran dengan model kooperatif tipe jigsaw bertujuan untuk merangsang dan menggugah potensi peserta didik secara optimal dalam suasana belajar pada kelompok-kelompok kecil yang bervariasi kemampuan dan jenis kelaminnya. Dalam model pembelajaran ini, peserta didik pada saat belajar dalam kelompok akan berkembang suasana belajar yang terbuka dalam dimensi kesejawatan atau hubungan pribadi yang saling membutuhkan, serta demokrasi antara pendidik dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik sehingga lebih memungkinkan pengembangan nilai, sikap, moral dan ketrampilan sosial. Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw mendukung peserta didik dalam belajar, kerja kelompok dapat memberikan kesempatan pada peserta didik untuk menggunakan keterampilan bertanya membahas suatu masalah memotivasi peserta didik yang masih malu-malu untuk aktif, dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, mengembangkan kepemimpinan berdiskusi, interaksi dengan peserta didik lebih banyak,
informasi yang didapatkan lebih banyak, serta kesimpulan yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan. 5. Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw Persiapan pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, disusun langkah-langkah pokok sebagai berikut; (1) pembagian tugas, (2) pemberian lembar ahli, (3) mengadakan diskusi, (4) mengadakan kuis. Adapun urutan langkah-langkah perilaku pendidik dengan model pembelajaran kooperatif dijelaskan oleh Arends yang dikutif dalam Isjoni sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 2.2 : Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw Fase
Indikator
1
Mengklarifikasikan tujuan dan establishing set
2
Mempresentasikan informasi
3
Mengorganisasikan peserta didik ke dalam tim-tim belajar
4
Membantu kerja tim dan belajar
5
Mengujikan berbagai materi
6
Memberikan penghargaan/ pengakuan
Kegiatan guru Guru menjelaskan tujuan-tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi peserta didik belajar, serta establishing set. Guru mempresentasikan informasi kepada peserta didik secara verbal atau dengan teks. Guru menjelaskan kepada peserta didik tata cara membentuk tim-tim belajar dan membantu kelompok untuk melakukan transisi yang efisien. Guru mebantu tim-tim belajar selama mereka mengerjakan tugasnya. Guru menguji pengetahuan peserta didik tentang berbagai materi belajar atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil-hasil kerjanya. Guru mencari cara untuk mengakui usaha dan prestasi individual maupun kelompok.
Pembelajaran dalam kooperatif dimulai dengan pendidik menginformasikan
tujuan-tujuan dari pembelajaran dan memotivasi peserta didik untuk belajar. Fase ini diikuti dengan penyajian informasi dalam bentuk teks bukan verbal. Kemudian dilanjutkan langkah-langkah peserta didik di bawah bimbingan pendidik bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas yang saling bergantung. Fase terakhir dari pembelajaran kooperatif meliputi penyajian produk akhir kelompok atau menguji apa yang telah dipelajari oleh peserta didik dan pengenalan kelompok dan usaha-usaha individu. Anita Lie mengemukakan bahwa dalam penerapan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw diperlukan langkah-langkah secara sistematis dalam pengaplikasiannya yang meliputi: ”orientasi, pengelompokan, pembentukan dan pembinaan kelompok expert, diskusi (pemaparan) kelompok ahli dalam group, tes (penilaian), dan pengakuan kelompok.” Adapun implementasi dari langkah-langkah di atas dalam pembelajaran di kelas dapat diuraikan sebagai berikut: a.
Orientasi Pendidik menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan diberikan, memberikan
penekanan tentang manfaat penggunaan metode jigsaw dalam proses belajar mengajar, mengingatkan senantiasa percaya diri, kritis, dan kooperatif dalam model pembelajaran ini. Peserta didik diminta belajar konsep secara keseluruhan untuk memperoleh gambaran keseluruhan dari konsep. Bisa juga pemahaman konsep ini menjadi tugas yang sebelumnya harus sudah dibaca di rumah. b.
Pengelompokan Misalkan dalam kelas ada 20 orang peserta didik, sudah diketahui kemampuan
akademiknya dan sudah dirangking (peserta didik tidak perlu tahu), dibagi dalam empat
kelompok. 25% (rangking 1-5) kelompok sangat baik, 25% (rangking 6-10) kelompok baik, 25% selanjutnya (rangking 11-15) kelompok sedang, dan 25% (rangking 15-20) adalah kelompok rendah. Selanjutnya peserta didik dibagi menjadi 5 group (A-E) yang isi tiap-tiap groupnya heterogen dalam kemampuan mengenai materi yang dipelajari. Berilah indek 1 untuk peserta didik dalam kelompok sangat baik, indek 2 untuk kelompok baik, indek 3 untuk kelompok sedang, dan indek 4 untuk kelompok rendah. Misalkan (A1) berarti group A dari kelompok sangat baik, (A4) group A dari kelompok rendah). Anggota tiap group akan berisi seperti tergambar berikut ini: Group A {A1, A2, A3, A4} Group B {B1, B2, B3, B4} Group C {C1, C2, C3, C4} Group D {D1, D2, D3, D4} Group E {E1, E2, E3, E4} Kelompok yang sudah terbentuk tersebut berisi anggota kelompok yang heterogen baik segi kemampuan akademik, status sosial, begitupula jenis kelamin. Hal ini dimaksudkan agar anggota kelompok tersebut bisa saling mengisi kekurangan masing-masing. c.
Pembentukan dan Pembinaan Kelompok Expert Selanjutnya group itu dipecah menjadi kelompok yang akan mempelajari materi
yang diberikan dan dibina supaya jadi expert, berdasarkan indeknya. Hal tersebut dapat dilihat seperti berikut: Kelompok 1 {A1, B1, C1, D1, E1} Kelompok 2 {A2, B2, C2, D2 ,E2} Kelompok 3 {A3, B3, C3, D3 ,E3} Kelompok 4 {A4, B4, C4, D4 ,E4} Kelompok 5 {A5, B5, C5, D5, E5)
Setiap kelompok diharapkan bisa mempelajari topik yang diberikan dengan sebaik-baiknya sebelum ia kembali ke kelompok asalnya sebagai tim ahli atau expert, tentunya peran pendidik cukup penting dalam fase ini. d.
Diskusi (Pemaparan) Kelompok Ahli dalam Group Expertist (peserta didik ahli) dalam konsep tertentu ini, masing masing kembali
dalam group semula. Pada fase ini kelima group (1-5) memiliki ahli dalam konsep-konsep tertentu (Worksheet 1-5). Selanjutnya pendidik mempersilakan anggota group untuk mempresentasikan keahliannya kepada groupnya masing-masing, satu persatu. Proses ini diharapakan akan terjadi sharing pengetahuan antara mereka. Aturan dalam fase ini adalah: 1) Peserta didik memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap anggota tim mempelajari materi yang diberikan. 2) Memperolah pengetahuan baru adalah tanggung jawab bersama, jadi tidak ada yang selesai belajar sampai setiap anggota menguasai konsep. 3) Tanyakan pada anggota group sebelum tanya pada pendidik. 4) Pembicaraan dilakukan secara pelan agar tidak mengganggu group lain. 5) Akhiri diskusi dengan “merayakannya” agar memperoleh kepuasan. e.
Tes (Penilaian). Pada fase ini pendidik memberikan tes tertulis untuk dikerjakan oleh peserta didik
yang memuat seluruh konsep yang didiskusikan. Pada tes ini peserta didik tidak diperkenankan untuk bekerjasama. Jika mungkin tempat duduknya agak dijauhkan. f.
Pengakuan Kelompok Penilaian pada pembelajaran kooperatif berdasarkan skor peningkatan individu,
tidak didasarkan pada skor akhir yang diperoleh peserta didik, tetapi berdasarkan pada seberapa jauh skor itu melampaui rata-rata skor sebelumnya. Setiap peserta didik dapat memberikan kontribusi poin maksimum pada kelompoknya dalam sistem skor kelompok. Peserta didik memperoleh skor untuk kelompoknya didasarkan pada skor kuis mereka yang melampaui skor dasar mereka. Perhitungan skor peningkatan, dan kriteria penghargaan kelompok seperti apa yang telah diuraikan sebelumnya. B. Model Pembelajaran Langsung 1. Pengertian dan Karakteristik Model Pembelajaran Langsung Model pembelajaran langsung atau direct instruction dikenal dengan sebutan “active learning atau juga dinamakan whole class teaching”. Model pembelajaran langsung ini merupakan bentuk dari pendekatan yang berorientasi kepada guru (teacher centered appproch) atau lebih dikenal dengan pembelajaran ekspositori. Pembelajaran langsung ini sangat ditentukan oleh pendidik, artinya pendidik berperan penting dan dominan dalam proses pembelajaran. Penyebutan ini mengacu pada gaya mengajar pendidik terlibat aktif dalam mengusung isi pelajaran kepada peserta didik dan mengajarkannya kepada seluruh peserta didik dalam kelas. Pembelajaran langsung lebih menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang pendidik kepada peserta didik, agar peserta didik dapat menguasai materi secara optimal. Dalam strategi pembelajaran ini peserta didik tidak dituntut untuk menemukan materi karena materi pelajaran seakan-akan sudah jadi. Pendidik secara langsung menyampaikan objek materi, sedangkan peserta didik dianggap hanya datang menerima materi secara langsung dari pendidik. Pembelajaran langsung adalah suatu model pembelajaran yang bersifat teacher center. Menurut Arends sebagaimana dikutif Trianto mengemukakan bahwa: Model pembelajaran langsung adalah salah satu pendekatan mengajar yang dirancang
khusus untuk menunjang proses belajar peserta didik yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah. Pembelajaran langsung ini merupakan pembelajaran yang terpusat kepada pendidik, artinya pendidik lebih dominan dalam kegiatan pembelajaran. Peserta didik kurang terlatih dalam membangun gagasan-gagasan kreatif, menjalin komunikasi dan kerjasama dengan peserta didik lainnya. sedangkan dalam pembelajaran yang berorientasi pada peserta didik (student centered approach) menekankan pada upaya memfasilitasi belajar dengan tujuan utama membantu peserta didik mencapai integritas pribadi, efektifitas pribadi dan penghargaan diri secara realitas. Teori pendukung pembelajaran langsung adalah teori behaviorisme dan teori belajar sosial. Teori Belajar Behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gagne dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran Behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori Behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Teori ini bertitik tolak pada pandangan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku, artinya bahwa peserta didik sebagai organisme yang merespon terhadap stimulus dari dunia sekitarnya. Teori ini lebih dikenal dengan istilah stimulus, respon, dan organisme, (SOR). Fungsi pendidik dalam kaitannya dengan teori ini adalah menyajikan stimulus tertentu yang dapat membangkitkan respon peserta didik berupa hasil belajar yang diingingkan. Untuk mengatur proses stimulus-respon secara sistematis, bahan pelajaran
harus dipilah-pilah menjadi butir-butir informasi lalu diurut secara tepat, dimulai dari yang sederhana sampai kepada yang paling kompleks. Berdasarkan kedua teori tersebut, pembelajaran langsung menekankan belajar sebagai perubahan perilaku. Jika behaviorisme menekankan belajar sebagai proses stimulus respon bersifat mekanis, maka teori belajar sosial beraksentuasi pada perubahan prilaku bersifat organis melalui peniruan. Model pembelajaran langsung yang diistilahkan lain dengan strategi belajar ekspositori memiliki beberapa karakteristik. Pertama, strategi ekspositori dilakukan dengan cara menyampaikan materi pelajaran secara verbal, artinya bertutur secara lisan merupakan alat utama dalam melakukan strategi ini, oleh Karena itu model pembelajaran ini sering diidentikkan dengan ceramah. Kedua, biasanya materi pelajaran yang disampaikan adalah materi pelajaran yang sudah jadi, seperti data atau fakta, konsep-konsep tertentu yang harus dihafal sehingga tidak menuntut peserta didik untuk berpikir ulang. Ketiga, tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelejaran itu sendiri. Artinya setelah proses pembelajaran berakhir peserta didik dapat memahaminya dengan benar dengan cara dapat mengungkapkan kembali materi yang telah diuraikan. Dalam pembelajaran langsung yang disamakan dengan pembelajaran ekspositori ini terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan yaitu: 1) Prinsip berorientasi pada tujuan, 2) prinsip komunikasi; 3) prinsip kesiapan; 4) prinsip berkelanjutan. Kegiatan pembelajaran lebih difokuskan pada penguasaan peserta didik pada tujuan pembelajaran. Oleh karena itu tujuan pembelajaran harus dirumuskan secara operasional yang dapat diukur dan kemudian dalam penyusunan tes hasil belajar harus disesuaikan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan berpikir tingkat tinggi sangat sulit untuk dicapai ketika menggunakan metode ini seperti kemampuan menganalisis, sintesis dan mengevaluasi. Hal ini disebabkan karena
pendidik menjadi pusat kegiatan pembelajaran sementara peserta didik menjadi objek pembelajaran yang hanya menerima materi yang sudah jadi. 2. Langkah-langkah Pelaksanaan Model Pembelajaran Langsung Model pembelajaran langsung adalah strategi pembelajaran yang digunakan untuk mengajarkan konsep dan keterampilan. Apabila model pembelajaran ini digunakan oleh guru, maka pendidik mempunyai tanggung jawab untuk mengindentifikasikan tujuan pembelajaran dan tanggung jawab yang besar terhadap penstrukturan materi atau keterampilan.
diharapkan
dalam kegiatan
pembelajaran,
peseta
didik
mampu
mengemukakan idenya, memahami suatu konsep dari materi pembelajaran yang telah dipelajarinya. Sintaks atau pelaksanaan model pembelajaran langsung terdiri dari lima fase yaitu: mempersiapkan peserta didik, menjelaskan atau mendemonstrasikan, menuntut berlatih, memberikan umpan balik dan memperluas latihan. Rangkuman kelima fase ini dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 2.3 : Sintaks Model Pembelajaran Langsung Fas e 1
2
Indikator Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan peserta didik Mendemontrasikan pengetahuan atau keterampilan
Aktivitas Guru Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, informasi latar belakang pelajaran, pentingnya pelajaran, mempersiapkan peserta didik untuk belajar Guru mendemontrasikan keterampilan yang benar, atau menyajikan informasi tahap demi tahap.
3
Membimbing pelatihan
Guru merencanakan dan memberi bimbingan pelatihan awal.
4
Mengecek pemahaman dan memberi umpan balik
Guru mengecek apakah peserta didik telah berhasil melakukan tugas dengan baik, memberi umpan balik.
5
Meberikan kesempatan Guru mempersiapkan kesempatan melakukan untuk pelatihan dan pelatihan lanjutan dengan pelatihan khusus pada penerapan penerapan kepada situasi lebih kompleks. Model pembelajaran langsung ini dirancang khusus untuk menunjang proses belajar
peserta didik yang berkaitan dengan pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik, yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah. Pembelajaran langsung ini memerlukan perencanaan dan pengaturan yang cermat dari pihak guru. Sistem pengelolaan pembelajaran yang dilakukan guru harus menjamin terjadinya keterlibatan peserta didik terutama melalui memperhatikan, mendengarkan, dan resitasi atau Tanya jawab dan peserta didik diorientasikan pada tugas. C. Prestasi Belajar 1. Pengertian Prestasi Belajar Noehi Nasution mengemukakan di dalam bukunya Evaluasi Proses dan Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam menyatakan bahwa: Prestasi Belajar adalah semua upaya yang diusahakan pendidik bersama peserta didik dalam proses belajar mengajar yang akan membawa pengaruh pada diri peserta didik. Menurut Nana Sudjana ”prestasi belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah mereka menerima pengalaman belajarnya”. Sedangkan Molyono Abdurrahman berpendapat bahwa ”prestasi belajar adalah kemampuan yang diperoleh peserta didik setelah melalui kegiatan belajar.” Prestasi belajar peserta didik pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku, oleh karena itu, prestasi belajar dapat diartikan nilai dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan atau diciptakan secara individu serta kelompok. prestasi belajar juga merupakan hasil usaha atau hasil belajar yang dicapai seseorang dalam belajar yang maksimal dan hasil usahanya tersebut dapat bersifat sementara dan dapat pula menetap. Berdasarkan beberapa batasan tentang prestasi di atas dapat dipahami bahwa
prestasi itu diperoleh apabila seseorang telah melakukan kegiatan. Jadi prestasi belajar adalah suatu hasil yang telah dicapai peserta didik setelah melakukan kegiatan pembelajaran. Dengan demikian keberhasilan peserta didik setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dapat dilihat dari prestasi belajar yang dicapainya. Prestasi belajar merupakan realisasi atau merupakan pemekaran dari kecakapan-kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki oleh seseorang. Penguasaan hasil belajar seseorang dapat dilihat dari prilakunya, baik dalam bentuk penguasaan pengetahuan, keterampilan berfikir, maupun keterampilan motorik. Peserta
didik
dikatakan
mengalami
pembelajaran
apabila
ia
mampu
mengembangkan pengetahuannya dan kemudian membangun pengetahuan baru sehingga mencapai taraf understanding (pemahaman) yang sebenarnya. Dalam proses pembelajaran sudah seharusnya didorong untuk mempertajam, memperluas, memperkaya dan kemudian menstrukturkan kembali pengetahuan yang diperoleh sesuai dengan logika yang dibangunnya sendiri. Prestasi belajar selalu dinyatakan dalam bentuk perubahan tingkah laku pada diri yang belajar, sedangkan perubahan tingkah laku yang diharapkan setelah melakukan proses pembelajaran itu tertuang dalam perumusan tujuan pembelajaran. Sementara tujuan pembelajaran harus senantiasa mengacu kepada tiga ranah yang dikenal dalam taksonomi Bloom yaitu: 1) cognitive domain (ranah penguasaan intelektual), 2) affective domain (ranah sikap dan nilai), 3) psycomhotor domain (ranah keterampilan atau kemampuan berprilaku). Ketiga ranah tersebut tidak berdiri sendiri tapi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan bahkan membentuk hubungan hierarki. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peserta didik dapat dikatakan berhasil dalam belajarnya apabila mampu
melakukan perubahan pada dirinya dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor. 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Peserta Didik Prestasi yang dicapai individu merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhinya baik internal maupun eksternal. Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, misalnya dapat di pandang dari sudut belajar, proses belajar atau situasi belajar. Secara umum prestasi belajar dipengaruhi oleh faktor internal yaitu faktor yang ada di dalam diri individu dan faktor eksternal yaitu faktor yang berada di luar dari individu. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar peserta didik adalah sebagai berikut : a. Faktor internal Faktor internal adalah faktor yang mempengaruhi belajar yang berasal dari dalam diri peserta didik itu sendiri, yaitu menyangkut seluruh aspek pribadi peserta didik baik yang menyangkut fisiologis maupun psikologisnya. 1) Aspek fisiologis Aspek fisiologis merupakan aspek yang mempengaruhi prestasi belajar peserta didik yang berhubungan dengan kondisi fisik peserta didik. Aspek ini meliputi kesehatan dan cacat tubuh. Proses belajar seseorang akan terganggu jika kesehatannya terganggu, selain itu juga ia akan cepat lelah, kurang semangat, mudah pusing, mengantuk jika badannya lemah, kurang darah dan gangguan-gangguan fungsi alat indera serta tubuhnya. Selain faktor kesehatan, cacat tubuh juga merupakan aspek fisik yang bisa mempengaruhi belajar peserta didik. Cacat tubuh adalah sesuatu yang menyebabkan kurang baik atau kurang sempurna mengenai tubuh dan badan, seperti buta, tuli, patah kaki dan lain-lain. Keadaan cacat tubuh juga mempengaruhi belajar. Peserta didik yang cacat tubuh, belajarnya juga akan terganggu.
Kesehatan dan cacat tubuh seperti yang telah dijelaskan di atas merupakan hal yang punya pengaruh besar terhadap prestasi belajar seseorang. Oleh karena itu, agar seseorang dapat belajar dengan baik haruslah mengusahakan kesehatan badannya tetap terjamin dengan cara selalu mengindahkan ketentuan-ketentuan tentang bekerja, belajar, istirahat, tidur, olahraga rekreasi dan ibadah. Oleh karena itu, kesehatan seseorang berpengaruh terhadap belajarnya. 2) Aspek Psikologis (a) Intelegensi Intelegansi adalah kecakapan yang terdiri dari tiga jenis yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan ke dalam situasi yang baru dengan cepat dan efektif, mengetahui/menggunakan konsep-konsep yang abstrak secara efektif, mengetahui dan mempelajarinya secara cepat. Tingkat kecerdasan atau intelegensi (IQ) peserta didik tidak dapat diragukan lagi, sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar peserta didik ini bermakna, semakin tinggi kemampuan intelegensi seorang peserta didik maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses. Sebaliknya semakin rendah kemampuan intelegensi seorang peserta didik maka semakin kecil peluangnya meraih sukses. Seorang peserta didik yang mempunyai intelegensi yang lemah akan mengalami kesulitan apabila diperhadapkan pada persoalan yang melebihi kemampuannya. Oleh karena itu seorang pendidik harus meneliti tingkat intelegensi dari peserta didiknya, jangan sampai diberikan tugas yang tidak sanggup peserta didik tersebut menyelesaikannya. (b) Minat Minat (Interest) adalah kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Minat merupakan suatu hal yang sangat penting bagi
seseorang dalam melakukan berbagai aktivitas dengan baik. Sebagai suatu gejala kejiwaan, minat bukan saja mampu mewarnai prilaku seseorang tetapi lebih dari itu minat mendorong seseorang malakukan sesuatu dan menyebabkan seseorang tersebut menaruh perhatian dan merelakan dirinya untuk terikat pada kegiatan tersebut. Dengan demikian minat merupakan proses yang terjadi sebagai reaksi terhadap rangsangan yang diterima dari luar. Dengan minat tersebut seseorang akan lebih senang terhadap sesuatu dibandingkan dengan yang lain. Minat besar pengaruhnya terhadap belajar, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat peserta didik, maka peserta didik tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada daya tangkap baginya. Bahan pelajaran yang menarik peserta didik lebih mudah dipelajari karena minat menambah daya tarik seorang peserta didik terhadap pelajarannya. Tidak adanya minat seorang anak terhadap suatu pelajaran akan timbul kesulitan belajar. (c) Bakat Bakat atau Aptitude menurut Hilgrad adalah ”the capacity of learn”, dengan perkataan lain bakat adalah kemampuan untuk belajar. Kemampuan ini baru akan terealisasi menjadi kecakapan yang nyata sesudah belajar atau berlatih. Orang yang berbakat mengetik misalnya akan lebih cepat mengetik dengan lancar dibandingkan dengan orang yang kurang berbakat di bidang itu. Bakat adalah potensi atau kacakapan dasar yang dibawa sejak lahir. Setiap individu mempunyai bakat yang berbeda-beda. Seseorang yang berbakat pada suatu bidang boleh jadi akan ketinggalan pada bidang yang lain. Jadi jelaslah bakat itu mempengaruhi belajar peserta didik. Seseorang akan mudah mempelajari sebuah pelajaran yang sesuai dengan bakatnya.
Apabila bahan pelajaran yang dipelajari peserta didik sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajarnya akan lebih baik karena peserta didik tersebut akan lebih senang belajar. Namun sebaliknya apabila mempelajari bahan pelajaran yang berbeda dengan bakatnya akan cepat bosan, mudah putus asa dan tidak senang. Oleh karena itu seorang pendidik harus mengetahui bakat yang dimiliki seorang peserta didik dan menempatkan peserta didik belajar di sekolah sesuai dengan bakat yang dimilikinya. (d) Motivasi Motivasi diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan energi yang ada pada diri manusia, sehingga akan bergelut dengan persoalan gejala kejiwan, perasaan dan juga emosi, untuk kemudian bertindak atau melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri peserta didik yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai. Jadi motivasi itu dapat dirangsang oleh faktor dari luar, dan juga motivasi itu bisa tumbuh melalui ransangan dari dalam diri seseorang. Motivasi erat sekali hubungannya dengan tujuan yang akan dicapai, di dalam menentukan tujuan itu perlu berbuat. Sedangkan yang menjadi penyebab berbuat adalah motivasi itu sendiri sebagai daya penggerak atau pendorongnya. Dalam proses pembelajaran haruslah diperhatikan apa yang dapat mendorong peserta didik agar dapat belajar dengan baik, sehingga dapat mempengaruhi prestasi belajar. b. Faktor eksternal Faktor eksternal adalah faktor yang mempengaruhi belajar yang berasal dari luar diri peserta didik yaitu faktor lingkungan keluarga, faktor lingkungan sekolah dan faktor
lingkungan masyarakat 2) Lingkungan keluarga Keluarga merupakan kesatuan hidup bersama yang dikenal oleh anak, oleh karena itu keluarga dikenal sebagai primary community yaitu sebagai lingkungan pendidikan pertama dan utama. Keluarga disebut sebagai lingkungan pendidikan pertama karena dalam keluarga inilah anak pertama kalinya mendapatkan pendidikan dan bimbingan. Dan keluarga disebut sebagai lingkungan pendidikan yang utama karena sebagian besar hidup anak berada dalam keluarga, maka pendidikan yang paling banyak didapatkan oleh anak adalah di lingkungan keluarga. Sifat-sifat orang tua, praktik pengelolaan keluarga, suasana dan situasi keluarga semuanya dapat memberikan pengaruh baik maupun buruk terhadap kegiatan belajar dan hasil yang dicapai peserta didik dalam belajar. 2) Lingkungan sekolah Lingkungan sosial sekolah sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar peserta didik, karena lingkungan sekolah selalu menantang peserta didik untuk selalu berfikir secara alamiah dan obyektif serta berbuat sebagaimana yang harus dilakukan untuk orang-orang dewasa sehingga semua komponen di sekolah dapat memberikan sumbangsih dalam mencapai kedewasaan. Lingkungan sosial sekolah seperti para guru, staf administrasi, relasi peserta didik dengan teman-temannya dan sarana dan pra sarana belajar bisa mempengaruhi semangat belajar peserta didik. Para pendidik yang selalu menunjukkan sikap yang simpatik dan memperlihatkan suri teladan yang baik dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar peserta didik. 3) Lingkungan Masyarakat
Masyarakat turut serta memikul tanggung jawab pendidikan serta mempunyai tanggung jawab yang besar dalam memberi arah terhadap pendidikan anak. Komponen ini dianggap juga berpengaruh karena mau tidak mau peserta didik atau pelajar akan berhubungan langsung dengan komponen ini sehingga baik buruknya seorang peserta didik sangat dipengaruhi oleh baik buruknya lingkungan yang ia tempati. Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa yang dapat mempengaruhi hasil belajar peserta didik adalah faktor internal peserta didik itu sendiri
berupa faktor
kesehatan, intelegensi, minat, bakat, motivasi, serta kesiapan dan faktor eksternal yang berupa pengaruh lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. D. Kerangka Teoretis 1. Landasan Religius Landasan religius yang dimaksud dalam hal ini adalah dasar yang bersumber dari ajaran Islam, karena Islam adalah agama yang kompleks yang mengatur berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Landasan religius dalam penelitian ini adalah; al-Qur’a>n, hadis, dan ijtihad\. Ketiga hal tersebut merupakan sumber hukum Islam yang paling otentik.
a. Al-Qur’a>n Al-Qur’a>n bukan hanya doktrin teoritis semata yang hanya mengatur aqidah dan syari’ah dalam arti sempit, tetapi al-Qur’a>n juga mengatur berbagai aspek kehidupan manusia yang besifat fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena al-Qur’a>n bersifat fungsional maka nilai-nilai ajarannya tidak hanya berlaku pada awal turunnya, melainkan berfungsi untuk manusia kapan dan di mana pun berada. Kedudukan al-Qur’a>n sebagai dasar pendidikan dalam Islam dapat dilihat dari beberapa ayat al-Qur’a>n yang
menunjukkan hal tersebut. Ayat pertama yang diturunkan Allah merupakan perintah membaca yang termaktub dalam Q.S. al-‘Alaq/96: 1-5 yaitu sebagai berikut:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ Terjemahnya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ayat tersebut menjelaskan tentang perintah membaca yang mengisyaratkan bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang Allah sangat anjurkan. Selain ayat tersebut Allah swt. Juga berfiman dalam Q.S. A>li ‘Imra>n/3: 104 yaitu sebagai berikut:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ Terjemahnya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. Berdasarkan ayat tersebut di atas dapat diketahui bahwa betapa besar tanggung
jawab umat atau masyarakat dalam menyeruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Akhirnya dapatlah dipahami bahwa pendidikan dalam Islam adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap pribadi muslim terhadap dirinya, keluarganya, bahkan kepada seluruh manusia tanpa kecuali. b. H{adis\ H{adis\ secara umum adalah segalah sesuatu yang yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan dan taqrir beliau. Nabi Muhammad saw. yang membawa misi menyempurnakan akhlak manusia banyak memberikan anjuran menuntut pendidikan, diantara hadis\ tersebut adalah sebagai berikut:
:
Artinya:
(
)
Dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: perintahkan anak-anakmu untuk melaksanakan shalat apabila mereka telah berusia tujuh tahun, dan apabila telah berusia sepuluh tahun maka pukullah mereka (apabila tetap tidak mau melaksanakan shalat) dan pisahkan tempat tidur mereka. (HR. Abu Daud). Dalam hadis\ tersebut Rasulullah saw. Mengajarkan kepada umatnya agar membiasakan prilaku baik kepada anak sejak dini dan menanamkan kedisplinan pada saat telah menginjak masa balig. Dengan demikian jelaslah bahwa Islam sangat memperhatikan pendidikan anak untuk hidup beragama dengan benar sehingga mereka tumbuh menjadi orang dewasa yang berakhlak mulia dan mampu menjalankan pola hidup sesuai dengan norma-norma agama. c. Ijtihad Ijtihad diartikan sebagai usaha yang sungguh-sungguh dalam memperoleh hukum syara’, berupa konsep yang operasional melalui metode istimbat (deduktif maupun induktif) dari al-Qur’a>n dan sunnah. Ijtihad adalah menggunakan akal dalam menetapkan hukum yang belum diatur oleh al-Qur’a>n dan as-Sunnah. Dalam praktiknya ijtihad tidak keluar dari al-Qur’a>n dan as-Sunnah sebagai sandaran utama, hanya saja dalam operasionalnya menggunakan pendekatan akal. Hasil pemikiran para mujtahid dapat dijadikan dasar dalam pendidikan Islam, terlebih lagi jika ijtihad itu telah menjadi konsensus umum, yang sudah barang tentu eksistensinya lebih kuat. 2.
Landasan Yuridis Formal Negara Indonesia adalah Negara hukum, sesuai dengan pasal 1 ayat 3
Undang-Undang dasar Negara Indonesia tahun 1945. Konsekuensi Indonesia sebagai Negara hukum, bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh warga negara harus berdasarkan hukum. Begitupula penyelenggaraan pendidikan selalu didasari dengan aturan hukum yang menjadi landasan yuridis formal. Undang-undang tersebut diantaranya adalah:
a. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 Dalam melaksanakan proses pendidikan di indonesia, maka pemerintah telah merumuskan undang-undang sebagai landasan berpijak. Salah satu dari undang-undang tersebut adalah Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang di dalamnya tertuang tujuan pendidikan nasional. Bab II Pasal 3 dari Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional tersebut dijelaskan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Undang-Undang tersebut tersebut menjelaskan tujuan pendidikan nasional yang menjadi tujuan utama segala aktifitas di bidang pendidikan dalam Negara Indonesia. b. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 Undang-undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam Bab II Pasal 6 menjelaskan tentang kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional, yaitu sebagai berikut: Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Sedangkan pada bab IV pasal 10 undang-undang tersebut, juga dijelaskan tentang kompetensi yang harus dimiliki oleh guru yang meliputi kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab III Pasal 7 ayat 1 yang menjelaskan kelompok mata pelajaran Agama termasuk Sejarah Kebudayaan Islam yaitu: Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/ MTs/ SMPLB/ Paket B, SMA/ MA/ SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan. Dalam peraturan pemerintah tersebut dijelaskan bahwa pendidikan agama mencakup pembinaan etika, budi pekerti, dan akhlak mulia di segala bidang demi pengembangan kepribadian peserta didik. d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 55 tahun 2007 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan pasal 1 ayat I dan 2 menjelaskan tentang tujuan pendidikan agama dan keagamaan yaitu sebagai berikut: Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan agama dan pendidikan keagamaan mempunyai fungsi membentuk kepribadian dan keterampilan peserta didik dalam menjalankan ajaran agamanya. Landasan religius yang berupa al-Qur’a>n, h{adis\ dan ijtihad serta landasan yuridis formal yang berupa undang-undang dan peraturan pemerintah seperti yang telah
dikemukakan di atas juga menjadi landasan dalam menerapkan penelitian tentang pengaruh model Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dengan model pembelajaran langsung dalam mempengaruhi prestasi belajar peserta didik pada mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Tsanawiyah Negeri Mangempang Kabupaten Barru. Dalam melakukan penelitian eksperimen ini, maka pembelajaran dilakukan dengan dua kelas yang mendapat perlakuan berbeda, satu kelas dinamakan kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran langsung, yang menjadikan sumber pembelajaran terpusat pada pendidik, sementara kelas yang satu adalah kelas eksperimen dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yang mengutamakan interaksi saling asuh antar peserta didik, atau pembelajaran yang lebih menonjolkan sifat kerjasama. Sebelum pembelajaran dimulai, pada kedua kelas tersebut dilakukan tes awal (pretest) untuk mengukur kemampuan awal peserta didik tentang materi yang akan disajikan. Setelah proses pembelajaran berlangsung pada kedua kelas, maka kembali dilakukan evaluasi akhir (post test) untuk mengukur keberhasilan model pembelajaran yang diterapkan. Hasil evaluasi dari kedua kelas tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis statistik infrensial t-test untuk mengetahui apakah model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar peserta didik pada mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Tsanawiyah Negeri Mangempang Kabupaten Barru. Jika konsep Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw terhadap mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam dibuat dengan skema kerangka pikir dalam tindak lanjut operasional karya ilmiah, maka dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:
Pendidik
Pembelajaran
Peserta Didik
Kelas Eksperimen
Sumber Belajar
Kelas Kontrol
Evaluasi Pretest
Evaluasi Pretest
Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw
Model Pembelajaran Langsung
Evaluasi Post test
Evaluasi Post test Prestasi Belajar
Gambar : Skema Kerangka Pikir