BAB II TINJAUAN TENTANG PAJAK DAERAH DAN KAWASAN HIJAU
Dalam Bab II ini akan diuraikan teori dan konsep yang terkait dengan Pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk obyek pajak pada jalur hijau dan kawasan limitasi di Kabupaten Badung Provinsi Bali. Keterkaitan antara landasan teori pada Bab I dengan teori pada Bab II ini adalah untuk menambah dan memperjelas serta mempertajam teori dan konsep dalam penulisan tesis ini, khususnya teori dan konsep yang digunakan untuk mencari jawaban dari masalah yang telah dirumuskan. Pembahasan dalam penulisan Bab II ini meliputi Teori Perpajakan, Konsep Pajak Daerah dan Kawasan Hijau yang sistematika pemaparannya sebagai berikut : 1. Pajak Dalam sub-bab ini diuraikan mengenai pengertian pajak, asas-asas dan syarat-syarat pemungutan pajak, fungsi pajak dan subyek serta obyek pajak. 2. Pajak Daerah Dalam sub-bab ini diuraikan mengenai pengertian pajak daerah, jenis-jenis pajak daerah, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai pajak daerah dan diakhiri dengan bahasan tentang kewenangan Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan Perpajakan. 3. Kawasan Jalur Hijau dan Limitasi
38
39 2.1 Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Ditinjau dari jumlah pendapatan yang diterima oleh negara, penerimaan pajak merupakan penerimaan yang dominan dari seluruh penerimaan negara. Banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, tetapi pada intinya mempunyai maksud dan tujuan yang sama. Berikut ini adalah beberapa pengertian mengenai pajak oleh para ahli, yaitu: Banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh R. Santoso Brotodiharjo, pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.52 Menurut Waluyo pengertian Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. 53 Menurut Rochmat Soemitro pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. 54 Pengertian ini kemudian disempurnakan menjadi, pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus”-nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment. 52
Adrian Sutedi, 2011, Hukum Pajak, Penerbit Grafika, Jakarta, hal. 8. Waluyo, 2009, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, hal. 2. 54 Siti, Resmi, 2009, Perpajakan: Teori dan Kasus, Edisi Kelima, Salemba Empat, Jakarta, 53
hal. 17.
40 Pengertian pajak menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UUKUP Tahun 2007) adalah sebagai berikut; “Pajak adalah kontribusi wajib pada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Berdasarkan pengertian pajak yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 1. luran dan rakyat kepada negara yang berhak memungut pajak hanyalah negara. luran tersebut berupa uang (bukan barang). 2. Berdasarkan Undang-Undang Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 3. Tanpa jasa timbal (kontraprestasi) dan negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat di tunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaranpengeIuaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.1.2 Asas-Asas dan Syarat-Syarat Pemungutan Pajak 2.1.2.1 Asas-Asas Pemungutan Pajak Asas-asas pelaksanaan pemungutan pajak dapat dijumpai adanya beberapa asas, yaitu: asas yuridis, asas ekonomis, asas umum dan merata, asas domisili, asas sumber, asas kebangsaan, asas waktu, asas rentabilitas dan asas resiprositas.55
55
Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas Dan Dasar Perpajakan Jilid 1, Rafika Aditama, Bandung, hal. 39
41 1. Asas Yuridis Asas ini mensyaratkan bahwa pemungutan pajak harus berdasar undang-undang, artinya pemungutan pajak tersebut harus terlebih dulu mendapat persetujuan rakyat (melalui wakil-wakil rakyat). Di Indonesia hal tersebut tertuang dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi : “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”, yang setelah dilakukan amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 selanjutnya dicantumkan dalam Pasal 23 A, yang berbunyi : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”. 2. Asas Ekonomi Dalam asas ini disyaratkan bahwa pelaksanaan pemungutan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Pajak harus dapat dibayar dari penghasilan rakyat dan tidak boleh menghalangi usahanya dalam menuju ke kebahagiaan rakyat; b. Pajak tidak boleh menghalang-halangi lancarnya usaha perdagangan dan industri atau produksi; c. Pajak tidak boleh bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum. Kepentingan umum jangan sampai dirugikan, misalnya bantuan terhadap bencana alam menurut saluran-saluran tertentu yang dilakukan oleh orang-orang atau badan dapat dianggap sebagai pengeluaran yang
42 dapat dipergunakan untuk mengurangi jumlah penghasilannya dalam rangka menghitung penghasilan bersih. 3. Asas Umum dan Merata Umum artinya adalah bahwa dalam asas ini menyatakan bahwa pemungutan pajak harus dikenakan kepada semua orang (yang memenuhi syarat) tanpa pandang bulu dan merata artinya tekanan beban pajaknya sama (sesuai dengan kemampuan masing-masing Wajib Pajak). 4. Asas Domisili Asas ini memberikan kewenangan kepada negara untuk memungut pajak kepada wajib pajak (tax payer) yang bertempat tinggal di wilayahnya. Dengan kata lain pemungutan pajak didasarkan atas tempat tinggal atau domisili Wajib Pajak. Misalnya, apabila seorang Warga Negara Indonesia (WNI) memperoleh penghasilan dari Indonesia dan dari luar Indonesia maka pemerintah Indonesia berwenang memungut pajak kepada WNI yang bersangkutan baik atas penghasilan yang diperoleh dari Indonesia maupun dari luar tersebut. 5. Asas Sumber Asas ini memberikan kewenangan kepada negara asal sumber pendapatan yang diperoleh oleh wajib pajak. Dengan kata lain pemungutan pajak didasarkan atas letak sumber pendapatan yang diperoleh tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. Misalnya, jika seorang Warga Negara Asing (WNA) memperoleh penghasilan dari Indonesia, maka berdasar atas asas ini pemerintah Indonesia berwenang memungut pajak kepada WNA tersebut.
43 6. Asas Kebangsaan Asas kebangsaan ini menghubungkan pengenaan pajak dengan kebangsaan dari suatu negara sehingga pengenaan/pemungutan pajak didasarkan atas kebangsaan Wajib Pajak. Asas ini mengandung dua arti yaitu : a. Dalam arti aktif ; artinya negara berwenang memungut pajak kepada semua warga negaranya dimana pun berada. b. Dalam arti pasif ; artinya negara berwenang untuk memungut pajak terhadap warga negara asing yang tinggal di wilayah negaranya. 7. Asas Waktu Asas ini mensyaratkan bahwa pemungutan pajak harus dilakukan pada saat Wajib Pajak dalam keadaan mampu membayar pajak. Misalnya, memungut pajak pada saat rakyat menikmati panen atau saat wajib pajak yang berstatus pegawai mendapat gaji, jangan memungut pajak saat rakyat dalam keadaan paceklik. 8. Asas Rentabilitas Asas ini mensyaratkan bahwa biaya pemungutan pajak tidak boleh lebih besar dari pajaknya, atau dengan kata lain pemungutan pajak harus memberikan hasil. Salah satu fungsi pajak adalah fungsi budgetair atau fungsi keuangan, yaitu untuk mendapatkan keuangan yang sebesarbesarnya bagi negara, sehingga jika pemungutan pajak akan merugikan negara atau tidak menghasilkan, maka pemungutan pajak tidak perlu dilakukan.
44 9. Asas Resiprositas Asas ini menyatakan bahwa negara memberikan kebebasan subyektif dengan syarat timbal balik. Misalnya, duta besar suatu negara yang berada di Indonesia dapat dibebaskan membayar pajak tertentu dengan syarat bahwa negara dari duta besar tersebut juga membebaskan duta besar Indonesia di negara sahabat tersebut. Berbeda dengan pendapat Rochmat Soemitro yang membagi asas-asas pemungutan pajak menjadi 9 (sembilan) asas seperti yang dikemukakan di atas, Mardiasmo membagi asas pemungutan pajak menjadi 3 (tiga) asas saja, yaitu:56 1. Asas domisili (asas tempat tinggal) 2. Asas sumber 3. Asas kebangsaan
2.1.2.2 Syarat-Syarat Pemungutan Pajak Menurut Rochmat Soemitro, pemungutan pajak harus memenuhi syaratsyarat yaitu syarat yuridis, syarat ekonomis, syarat finansial, dan syarat sosiologis, yang diuraikan sebagai berikut:57 1. Syarat yuridis mengharuskan bahwa undang-undang pajak yang menjadi dasar pelaksanaan perpajakan harus memberikan kepastian hukum, memberikan keadilan, dan juga harus memberikan manfaat. 2. Syarat ekonomis mensyaratkan bahwa pemerintah dalam memungut pajak harus benar-benar memperhatikan dampak ekonomi pada individu, jangan sampai pajak merupakan beban bagi individu atau warga masyarakat. 56 57
Mardiasmo, 2009, Perpajakan, Edisi Revisi, Andi, Yogyakarta, hal. 7. Rochmat Soemitro, Op.Cit, hal. 42.
45 3. Syarat finansial mensyaratkan bahwa dalam pemungutan pajak harus memberikan hasil atau cukup memberikan hasil pada kas negara, jangan sampai biaya yang digunakan untuk memungut pajak melebihi hasil dari pajak. 4. Syarat sosiologis mensyaratkan bahwa pajak harus dipungut sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta memperhatikan keadaan dan situasi masyarakat pada waktu itu. Karena pajak adalah untuk keperluan masyarakat dan dipungut dari anggota masyarakat, maka pungutan pajak harus mendapatkan persetujuan dari masyarakat.
2.1.3 Fungsi Pajak Pajak mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal di atas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu: 1. Fungsi Anggaran (budgetair) Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. 2. Fungsi Mengatur (regulerend) Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan.
46 3. Fungsi stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. 4. Fungsi redistribusi pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat
2.1.4 Subyek Pajak dan Obyek Pajak 2.1.4.1 Subyek Pajak Pengertian subjek pajak berbeda dengan pengertian wajib pajak. Pengertian subjek pajak tidak dapat ditemukan baik dalam UUKUP tahun 1983 maupun dalam perubahan-perubahannya sampai dengan yang terakhir saat ini yaitu UUKUP tahun 2007. Namun dalam UUKUP tahun 2007 hanya dijelaskan tentang pengertian wajib pajak, yaitu orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan
perpajakan
ditentukan
untuk
melakukan
kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Pengertian subjek pajak dapat ditemukan dalam beberapa Undang-Undang Pajak yang tergolong Hukum Pajak Materiil, seperti yang dapat dilihat di UndangUndang tentang Pajak Penghasilan (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008) dijelaskan mengenai subjek pajak yaitu :
47 1. Dalam Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa yang menjadi Subjek Pajak adalah : (a) 1) orang pribadi atau perseorangan; dan 2) warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak; dan (b) badan; dan (c) bentuk usaha tetap. 2. Dalam Pasal 2 ayat (2) dinyatakan Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri. Selanjutnya yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah : (a) orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; (b) badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia; dan (c) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. Subjek Pajak luar negeri adalah : (a) orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; (b) orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan
48 dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa : (a) tempat kedudukan manajemen; (b) cabang perusahaan; (c) kantor perwakilan; (d) gedung kantor; (e) pabrik; (f) bengkel; (g) pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan; (h) perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; (i) proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; (j) pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; (k) orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; (l) agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia. 3. Pasal 3 dijelaskan tentang badan dan orang yang tidak termasuk Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yaitu : (a) badan perwakilan negara asing; (b) pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia
49 tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; (c) organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat : (1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; (2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota; dan (d) pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. 4. Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan dinyatakan bahwa yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak menurut Undang-undang ini. Selanjutnya mengenai Wajib Pajak pengertiannya ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 UUKUP 2007, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Orang pribadi atau badan dalam hukum pajak merupakan subjek pajak, sehingga wajib pajak adalah
50 juga merupakan subjek pajak. Oleh karena itu, subjek pajak (orang pribadi atau badan) yang memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam UndangUndang Perpajakan adalah Wajib Pajak. Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
2.1.4.2 Obyek Pajak Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan 2008 menyatakan, yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk: 1. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
51 2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; 3. laba usaha; 4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: a. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; b. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota; c. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha; d. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihakpihak yang bersangkutan; 5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya; 6. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; 7. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; royalti;
52 8. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; 9. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; 10. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; 11. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; 12. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; 13. premi asuransi; 14. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; 15. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Undang-undang tentang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (3), yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah : 1. bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak; 2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; 3. warisan;
53 4. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; 5. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah; 6. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa; 7. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan b. bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut; 8. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; 9. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
54 10. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi; 11. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha; 12. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: a. merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan b. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
2.1.5 Tarif Pajak 2.1.5.1 Tarif Pajak Pada Umumnya Pengaturan tarip pajak dapat diketemukan dalam Hukum Pajak Materiil. Tarip digunakan sebagai dasar untuk menetapkan besarnya utang pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi ataupun badan. Dalam praktik pemungutan pajak, tarip pajak yang digunakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan pajak dapat berupa tarip-tarip pajak sebagai berikut : 1. Tarip proporsional/sebanding Tarip proporsional atau sebanding adalah tarip pajak yang persentasenya tetap atau tidask berubah, artinya semakin besar jumlah yang dipakai
55 sebagai dasar menentukan besarnya pajak yang terutang maka semakin besar pula jumlah utang pajak yang harus dibayar. Namun, kenaikan besarnya utang pajak tersebut diperoleh dengan persentase yang sama/tetap. Misalnya dalam Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang mewah (UndangUndang Nomor 18 Tahun 2000) dinyatakan bahwa untuk Pajak Pertambahan Nilai ditetapkan 10 % (sepuluh per seratus). 2. Tarip tetap Tarip tetap adalah tarip pajak yang besarnya tetap terhadap berapapun jumlah atau nilai objek yang dikenakan pajak. Misalnya tarip dalam menetapkan besarnya pajak berupa bea meterai atas diterbitkannya dokumen suatu perjanjian sebesar Rp. 6.000,00 (enam ribu rupiah). 3. Tarip progresif Tarip progresif adalah tarip pajak yang persentase pengenaannya semakin meningkat bila jumlah atau nilai objek yang dikenai pajak. Misalnya tarip dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan yang menentukan bahwa bagi wajib pajak orang pribadi akan dikenai tarip sesuai dengan lapisan penghasilan kena pajak. Apabila dilihat dari kenaikan persentase tarifnya, dalam tarip progresif dikenal : a. Tarip progresif progresif, yaitu kenaikan persentase tarifnya semakin besar; b. Tarip progresif tetap, yaitu kenaikan persentase tarifnya tetap;
56 c. Tarip progresif degresif, yaitu kenaikan persentase tarifnya semakin kecil. 4. Tarip degresif Tarip progresif adalah tarip pajak yang persentase pengenaannya semakin menurun sejalan dengan pertambahan penghasilan atau dengan kata lain persentase tarip yang digunakan akan semakin kecil jika jumlah atau nilai objek yang dikenai pajak semakin besar. Dalam penerapannya tarip progresif juga dapat berupa degresif progresif, degresif tetap dan degresif degresif.
2.1.5.2 Tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Dasar pengenaan PBB adalah “Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)”. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama Mentri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat. Besarnya persentase ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional. NJOP ditentukan per wilayah berdasarkan keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dengan terlebih dahulu memperhatikan : 1. Harga rata-rata diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar; 2. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan telah diketahui harga jualnya 3. Nilai perolehan baru 4. Penentuan nilai jual objek pengganti
57 Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengkalikan tarif pajak dengan NJKP.58 Pajak Bumi dan Bangunan
= Tarif Pajak x NJKP = 0,5% x (Persentase NJKP x (NJOP-NJOPTKP))
Besarnya persentase NJKP ditentukan sebagai berikut : 1. Sebesar 40% dari NJOP untuk : a. Objek pajak perkebunan; b. Objek pajak kehutanan; c. Objek pajak lainnya, yang wajib pajak perseorangan dengan NJOP atas bumi dan bangunan sama atau lebih dari Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 2. Sebesar 20% dari NJOP untuk : a. Objek pajak pertambangan; b. Objek pajak lainnya yang NJOP kurang dari 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 3. Rumus penghitungan PBB = Tarif x NJKP a. Jika NJKP = 40% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya PBB = 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP) = 0,2% x (NJOP-NJOPTKP) b. Jika NJKP = 20% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya PBB = 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP) = 0,1% x (NJOP-NJOPTKP)
58
Mardiasmo, 2009, Perpajakan, Edisi Revisi, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta, hal. 317.
58 2.2 Pajak Daerah 2.2.1 Pengertian Pajak Daerah Pajak Daerah merupakan salah satu pendapatan asli daerah yang diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah untuk memajukan daerah tersebut, antara lain dapat ditempuh suatu kebijaksanaan yang mewajibkan setiap orang untuk membayar pajak sesuai dengan kewajibannya. Setiap daerah berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonom). Pajak Daerah menurut Mardiasmo adalah pajak yang dipungut oleh daerah berdasarkan peraturan pajak yang ditetapkan oleh daerah (melalui Perda) untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga pemerintah daerah.59 Menurut Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 Perubahan atas Undangundang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan Pajak Daerah adalah : “Iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.” Apabila memperhatikan prinsip umum perpajakan yang baik dengan bertitik tolak dengan pendapat Adam Smith dan ekonom-ekonom Inggris yang lain, maka menurut Musgrave haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Penerimaan/pendapatan harus ditentukan dengan tepat; 2. Distribusi beban pajak harus adil artinya setiap orang harus dikenakan pembayaran pajak sesuai dengan kemampuannya; 3. Yang menjadi masalah penting adalah bukan hanya pada titik mana pajak tersebut harus dibebankan, tetapi oleh siapa pajak tersebut akhirnya harus ditanggung.
59
Mardiasmo, Op.Cit, hal. 62.
59 4. Pajak harus dipilih sedemikian rupa untuk meminimumkan terhadap keputusan perekonomian dalam hubungannya dengan pasar efisien. 5. Struktur pajak harus memudahkan penggunaan kebijakan fiscal untuk mencapai stabilitasi dan pertumbuhan ekonomi. 6. Sistem pajak harus menerapkan administrasi yang wajar dan tegas/pasti serta harus dipahami oleh wajib pajak. 7. Biaya administrasi dan biaya-biaya lain harus serendah mungkin jika dibandingkan dengan tujuan-tujuan lain.60 Untuk mempertahankan prinsip tersebut di atas, maka perpajakan daerah harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih besar dari ongkos pemungutannya; 2. Relatif stabil, artinya penerimaan pajak tidak berfluktuasi terlalu besar, kadang-kadang meningkat secara drastis dan ada kalanya menurun secara tajam; 3. Basis pajaknya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay). Melihat definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Pajak daerah merupakan pajak dalam konteks daerah yang dapat dipungut oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota. Diatur berdasarkan Peraturan Daerah dan hasilnya untuk membiayai pembangunan daerah. Dari segi kewenangan pemungutan pajak atas objek pajak daerah, pajak daerah dibagi menjadi 2 (dua) yakni : 1. Pajak Daerah yang dipungut oleh provinsi 2. Pajak Daerah yang dipungut oleh Kabupaten /kota
60
Rochmat Soemitro, Op.Cit, hal. 15-16.
60 Perbedaan kewenangan pemungutan antara pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, yakni sebagai berikut : 1. Pajak provinsi kewenangan pemungutan terdapat pada Pemerintah Daerah Provinsi, sedangkan untuk pajak kabupaten/kota kewenangan pemungutan terdapat pada Pemerintah Daerah kabupaten/kota. 2. Objek pajak kabupaten/kota lebih luas dibandingkan dengan objek pajak provinsi dan objek pajak kabupaten/kota masih dapat diperluas berdasarkan peraturan pemerintah sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada. Sedangkan pajak provinsi apabila ingin diperluas objeknya harus melalui perubahan dalam undang-undang. Perpajakan Daerah oleh K. J. Davey61 dapat diartikan sebagai berikut: 1. Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dengan pengaturan dari daerah sendiri; 2. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penetapan tarifnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah; 3. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh Pemerintah Daerah. 2.2.2 Jenis-Jenis Pajak Daerah Kriteria Pajak daerah secara spesifik dapat diuraikan dalam 4 (empat) hal yakni : 1. Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah berdasarkan pengaturan yang dilaksanakan oleh daerah itu sendiri; 2. Pajak yang dipungut berdasarkan pengaturan dari pemerintah pusat tetapi penetapan besarnya tarif pajak oleh pemerintah daerah; 3. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh pemerintah daerah itu sendiri; 61
hal. 39.
K. J. Davey, 1988, Pembiayaan Pemerintahan Daerah, Universitas Indonesia, Jakarta,
61 4. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat, tetapi hasil pemungutannya diberikan kepada pemerintah daerah. Pajak daerah di Indonesia dapat di golongkan berdasarkan tingkatan Pemerintah Daerah, yaitu pajak daerah tingkat Provinsi dan pajak daerah tingkat Kabupaten/Kota. Penggolongan pajak seperti tersebut di atas diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dalam Undangundang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Pasal 2 ayat (1) dan (2)) serta Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tentang obyek, subyek, dasar pengenaan pajak dan ketentuan tarif dari pajak daerah yang berlaku, baik sebelum maupun sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Selanjutnya Pajak Daerah saat ini yang hak kewenangan pemungutnya dapat diklasifikasikan menurut wilayah pemungutan pajak dapat dibagi menjadi : 1. Pajak Daerah Provinsi, yaitu pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah provinsi, terdiri dari : a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. e. Pajak Rokok. 2. Pajak Daerah Kabupaten/Kota, yaitu pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota, terdiri dari :
62 a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Reklame; d. Pajak Hiburan; e. Pajak Parkir; f. Pajak Penerangan Jalan; g. Pajak Pengambilan dan Pengelohan Bahan galian Golongan C; h. Pajak Air Tanah; i.
Pajak Sarang Burung Walet;
j.
Pajak Bumi dan Bangunan;
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Tarif pajak Provinsi yang berlaku dalam rangka keseragaman akan diatur dalam suatu peraturan pemerintah. Sesuai dengan ketentuan dalam undangundang pajak daerah provinsi yang seragam ditentukan dalam suatu peraturan pemerintah. Dalam hal ini, yang berlaku saat ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Sedangkan pajak daerah Kabupaten/Kota, khususnya yang menyangkut masalah tarif pajak Kabupaten/Kota ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan perlakuannya sama dengan tarif yang terdapat dalam Undang-undang pajak daerah. Tarif tersebut merupakan tarif tertinggi yang dapat ditetapkan oleh pemerintah daerah Kabupaten/kota dalam pemungutan pajak daerah.
63 2.2.3 Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah 2.2.3.1 Pajak Bumi dan Bangunan 1. Dasar Hukum Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.62 2. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan.63 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dimaksud adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994). Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak yang dikenakan terhadap objek pajak berupa bumi dan/atau bangunan.64 Sedangkan menurut Waluyo Pajak Bumi dan Bangunan adalah Pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan Objek Pajak yaitu Bumi dan Bangunan, keadaan Subjek (siapa
62
Mardiasmo, Op.Cit, hal. 20. Mardiasmo, Op.Cit, hal. 311. 64 Agus Setiawan dan Hardi, 2006, Perpajakan Bendaharawan Pemerintah, Rajawali, Jakarta, hal. 125. 63
64 yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang.65 Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan adalah pungutan pajak yang dikenakan terhadap bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia dan atau bangunan yang meliputi konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. 3. Asas Pajak Bumi dan Bangunan Berikut ini adalah asas-asas Pajak Bumi dan Bangunan:66 a. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan b. Adanya kepastian hukum c. Mudah dimengerti dan adil d. Menghindari pajak berganda 4. Termasuk Dalam Pengertian Bangunan Berikut ini yang termasuk dalam pengertian bangunan baik pendirian untuk perumahan tempat tinggal, tempat usaha, dan tempat yang diusahakan lainnya menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 adalah : a. Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan komplek bangunan. b. Jalan tol, galangan kapal, dermaga. c. Tempat olahraga, kolam renang. d. Pagar mewah, taman mewah. 65 66
Waluyo, Op.Cit, hal. 196. Mardiasmo, Op.Cit, hal. 311.
65 e. Tempat penampungan/kilang minyak, air, dan gas, pipa minyak. f. Fasilitas lain yang memberikan manfaat. 5. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/ atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.67 Menurut UndangUndang Nomor 12 Tahun 1985 definisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data objek menurut ketentuan Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan. 6. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Pasal 10 ayat (1) Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk membantu atau memberitahukan besarnya pajak terutang kepada Wajib Pajak. Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan surat SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) berdasarkan SPOP (Surat Pemberitahuan Objek Pajak) wajib pajak. 7. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli. Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau Nilai Jual Objek Pajak Pengganti.68 Yang dimaksud dengan :
67 68
Erly Suandy, 2008, Hukum Pajak, Edisi Empat, Salemba Empat, Jakarta, hal. 157. Mardiasmo, Op.Cit, hal. 312.
66 a. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkan dengan objek pajak lain yang sejenis, yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya. b. Nilai Perolehan Baru adalah suatu cara pendekatan/ metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut. c. Nilai Jual Pengganti adalah suatu pendekatan/ metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut. Besarnya NJOP ditentukan berdasarkan klasifikasi : a. Objek pajak sektor perdesaan. b. Objek pajak sektor perkebunan. c. Objek pajak sektor kehutanan atas hak pengusaha hutan, hak pengusaha hasil hutan, izin pemanfaatan kayu serta izin sah lainnya selain hak pengusaha hutan tanaman industri. d. Objek pajak sektor kehutanan atas hak pengusahaan hutan tanaman industri. e. Objek pajak sektor pertambangan minyak dan gas bumi. f. Objek pajak sektor pertambangan energi panas bumi. g. Objek pajak sektor pertambangan non migas selain penambangan energi panas bumi dan galian C.
67 h. Objek pajak sektor pertambangan non migas galian C. i.
Objek pajak sektor pertambangan yang dikelola berdasarkan karya atau kontrak kerjasama.
j.
Objek pajak bidang usaha perikanan laut.
k. Objek pajak bidang usaha perikanan darat. l.
Objek pajak yang bersifat khusus.
8. Objek Pajak Objek pajak PBB yang dimaksud adalah bumi dan atau bangunan. Klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan perhitungan pajak yang terutang.69 Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktorfaktor sebagai berikut : a. Letak b. Peruntukan c. Pemanfaatan d. Kondisi lingkungan dan lain-lain Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut : a. Bahan yang digunakan b. Rekayasa c. Letak d. Kondisi lingkungan dan lain-lain 69
Mardiasmo, Op.Cit, hal. 313.
68 Pada dasarnya semua tanah dan bangunan yang berada di wilayah negara kita ini bisa dimasukkan sebagai “objek Pajak”. Namun terhadap tanah dan bangunan tertentu dapat dikecualikan atau tidak dikenakan pungutan Pajak Bumi dan Bangunan. Objek pajak atau tanah dan bangunan yang dikecualikan/tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut :70 a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan, antara lain : 1) Dibidang ibadah, contoh : masjid, gereja, vihara, pura. 2) Diidang sosial, contoh : panti asuhan, tanah wakaf. 3) Di bidang kesehatan, contoh : rumah sakit pemerintah. 4) Di bidang pendidikan, contoh : sekolah/madrasah, pesantren. 5) Di bidang kebudayaan nasional, contoh : museum, candi. b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu. 1) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani sesuatu hak dan lain-lain. 2) Tanah atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatic atau konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. Artinya bila tanah/gedung perwakilan RI dinegara tertentu tidak dikenai PBB, hal yang sama kita perlakukan terhadap tanah/gedung negara tersebut yang ada disini. 70
Mardiasmo, Op.Cit, hal. 314.
69 3) Bangunan yang digunakan oleh perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. c. Objek pajak yang digunakan oleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. d. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan untuk masing-masing kabupaten/kota dengan besar setinggitingginya Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap wajib pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar, sedangkan objek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP. 9. Subjek Pajak Berikut ini yang menjadi subjek pajak yaitu :71 a. Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti kepemilikan hak. b. Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1 yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak. c. Dalam hal atas suatu objek belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1 sebagai wajib pajak.
71
Mardiasmo, Op.Cit, hal. 316.
70 d. Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam no.3 dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak dimaksud. e. Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak dalam no.4 disetujui, maka Direktorat Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak sebagaimana dalam no.3 dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud. f. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya. g. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dalam no.4 Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui. 10. Tarif Pajak Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 jo UndangUndang Nomor 12 Tahun 1994 tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (lima per sepuluh persen). 11. Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Dasar pengenaan PBB adalah “Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)”. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama Mentri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat. Dasar perhitungan pajak adalah yang
71 ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya persentase ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional. NJOP ditentukan per wilayah berdasarkan keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dengan terlebih dahulu memperhatikan : a. Harga rata-rata diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar; b. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan telah diketahui harga jualnya c. Nilai perolehan baru d. Penentuan nilai jual objek pengganti.
2.2.3.2 Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Pajak Daerah Pengalihan pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (selanjutnya disebut BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (selanjutnya disebut PBB-P2) dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah merupakan suatu bentuk tindak lanjut kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Bentuk kebijakan tersebut dituangkan ke dalam Undangundang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (selanjutnya disebut Undang-Undang PDRD). Hal ini adalah titik balik dalam pengelolaan BPHTB dan pengelolaan PBB-P2. Dengan pengalihan ini maka kegiatan
proses
pendataan,
penilaian,
penetapan,
pengadministrasian,
pemungutan/penagihan dan pelayanan PBB-P2 akan diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota).
72 Adanya kebijakan tersebut maka kegiatan proses pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan atau penagihan dan pelayanan PBBP2 akan diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Sehingga dengan kebijakan yang baru pemerintah daerah memperoleh pendapatan tambahan, yang awalnya hanya menerima tujuh jenis pajak, setelah adanya pengalihan pemerintah daerah menerima empat tambahan jenis pajak menjadi sebelas jenis pajak, empat tambahan jenis pajak tersebut adalah pajak air tanah, pajak sarang burung walet, PBB-P2, dan BPHTB. Dalam pengalihan tersebut, penerimaan PBB-P2 akan sepenuhnya masuk ke pemerintah Kabupaten/Kota sehingga diharapkan mampu meningkatkan jumlah pendapatan daerah. Pada saat PBB dikelola oleh pemerintah pusat, PBB masuk dalam akun dana bagi hasil, setelah dialihkan menjadi pajak daerah PBB masuk dalam akun Pendapatan Asli Daerah. Ketika PBB dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah Kabupaten/Kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8%. Setelah pengalihan ini semua pendapatan dari sektor PBB-P2 akan masuk ke dalam kas pemerintah daerah.72 Pengalihan PBB-P2 tidak dilakukan secara serentak oleh masing-masing daerah di Indonesia tergantung pada kesiapan masing-masing daerah. Tujuan Pengalihan pengelolaan PBB-P2 menjadi pajak daerah sesuai dengan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah: 1. meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah 2. memberikan peluang baru kepada daerah untuk mengenakan pungutan baru (menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah), 72
www.pajak.go.id, diakses 26 Maret 2015.
73 3. memberikan kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi dengan memperluas basis pajak daerah, 4. memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif pajak daerah, dan 5. menyerahkan
fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan
pengaturan pada daerah. Ada beberapa alasan peralihan pengelolaan PBB-P2 kepada Pemerintah Daerah, yaitu sebagai berikut. 1. Transparansi dan akuntabilitas dinilai akan dapat lebih diwujudkan jika pengelolaan PBB diserahkan kepada masing-masing daerah otonom. Hal ini pada gilirannya akan membawa iklim demokrasi yang lebih baik dan berakar langsung pada persoalan-persoalan konkrit di daerah yang bersangkutan. Mereka melihat bahwa pembiayaan kebutuhan daerah yang sebagian besar dibiayai dana transfer dari pusat kurang mencerminkan akuntabilitas dari pengenaan pajak daerah dan tidak memberikan insentif bagi daerah untuk menggunakan anggaran secara efisien. Asumsinya jika pembiayaan kebutuhan daerah dibiayai sebagian besar dari alokasi dana pusat, maka otomatis kurang memberikan dorongan kepada daerah untuk menggunakan
dana
tersebut
bagi
peningkatan
pelayanan
kepada
masyarakat. Selanjutnya bila derajat transparansi dan akuntabilitas pengelolaan pajak tersebut tinggi, maka kesadaran untuk membayar pajak dan retribusi daerah atas pelayanan publik yang langsung mereka nikmati juga makin tinggi. Bersamaan dengan itu pemerintah daerah akan terdorong untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat karena setiap
74 pembebanan kepada masyarakat memerlukan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. 2. Objek pajak PBB-P2 dan BPHTB bersifat immobile, dalam arti tidak dapat direlokasi ke daerah lainnya, sehingga lebih pantas apabila dijadikan pajak daerah. 3. Objek PBB-P2 dan BPHTB tersebut lokasinya berada di suatu daerah kabupaten/kota, dan aparat pemerintah daerah jelas lebih mengetahui dan lebih memahami karakteristik dari objek dan subjeknya sehingga kecil kemungkinan wajib pajak dapat menghindar dari kewajiban perpajakannya. Pemerintah pusat lebih suka untuk mengalihkan PBB-P2 menjadi pajak daerah didasarkan karena adanya beberapa kenyataan,73 antara lain sebagai berikut. 1. Mayoritas negara maju menyerahkan urusan Pajak Properti (jika di Indonesia adalah PBB) menjadi urusan pemerintah daerah. 2. Migas (minyak dan gas bumi) sudah tidak bisa lagi diandalkan sebagai sumber pendapatan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), mengingat Indonesia tidak lagi menjadi negara pengekspor minyak bumi, sebaliknya kini sebagai negara yang mengimpor minyak bumi. Akibatnya, sumber pendapatan bagi APBN bergeser dari penerimaan migas kepada penerimaan pajak. Dengan demikian, pajak menempati posisi strategis dalam APBN. 3. Reformasi birokrasi di tubuh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) telah berhasil membentuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama yang 73
Supriyanto, Heru, 2012, Peluang dan Tantangan Pengalihan PBB-P2 dan BPHTB, Online, http://www.formasi.com/index.php?page=showartikel&id=9, diakses 26 Maret 2015.
75 merupakan peleburan dari KPP, Kantor Pelayanan PBB (KP PBB), Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak. Jika diamati, keberadaan PBB dengan sejumlah
permasalahan
dan
tidak
diimbangi
dengan
jumlah
penerimaannya, memang bisa dirasakan mengganggu konsentrasi Ditjen Pajak sebagai tulang punggung pemenuhan APBN, sehingga pembentukan KPP Pratama ini merupakan cara cerdas membuat biaya pemungutan PBB menjadi lebih efisien. Berdasarkan Undang-Undang PDRD, maka sejak tanggal 1 Januari 2010 Pemerintah Kabupaten/Kota sudah diperbolehkan untuk menerima pengalihan PBB-P2 dan BPHTB, atau paling lambat 31 Desember 2013. Berikut ini merupakan ketentuan pengalihan PBB-P2: 1. Pengalihan PBB P2 hanya dapat dilakukan pada 1 Januari tahun pengalihan; 2. Pengalihan PBB P2 sebelum tahun 2014 pemerintah daerah harus memberitahu menteri keuangan dan menteri dalam negeri paling lambat tanggal 30 Juni sebelum tahun pengalihan; 3. Penyampaian pemberitahuan dilampiri dengan peraturan daerah.
2.2.4 Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan Perpajakan Penerapan desentralisasi sistem perpajakan dalam bidang kebijakan fiscal di samping kebijakan moneter, merupakan kebijakan yang tengah dilaksanakan oleh banyak negara. Pajak berfungsi sebagai pengumpul dana untuk pelayanan publik dan memperbaiki ketidaksempurnaan pasar sehingga tercipta efisiensi ekonomi sektor publik. Pajak juga digunakan untuk alat redistribusi pendapatan dan kekayaan.
76 Pajak dipungut oleh pemerintah pada setiap tingkatan, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Pada berbagai negara sebagian besar pajaknya dipungut oleh pemerintah pusat. Sementara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota memungut sebagian kecil dari jenis pajak tertentu saja. Perkembangan selanjutnya melalui kebijakan desentralisasi sistem perpajakan, beberapa jenis pajak yang semula dipungut oleh pemerintah pusat, dilimpahkan kewenangan pemungutannya kepada pemerintah daerah, serta beberapa jenis pajak lainnya dibagihasilkan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Desentralisasi
sistem
perpajakan
adalah
pelimpahan
kewenangan
pemajakan dan penggunaan dana bagi hasil pajak kepada pemerintah daerah. Desentralisasi sistem perpajakan bertujuan agar daerah mampu mengurus dan mengelola rumah tangganya sendiri secara mandiri, termasuk menyangkut penyediaan sumber dana penyelenggaraan pemerintahan dari penerimaaan pajak. Kebijakan desentralisasi sistem perpajakan yang termasuk dalam kebijakan desentralisasi fiskal diterapkan di Indonesia mulai tahun 2001. Sebelumnya selama 30 tahun lebih Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat sentralistik. Kebijakan ini tertuang dalam bentuk perundang-undangan yang mengatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan perundangan tentang pajak dan retribusi daerah. Perimbangan keuangan mengatur tentang bagi hasil pajak dan sumber daya alam serta dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Perundangan pajak dan retribusi daerah mengatur jenis pajak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk memungutnya.
77 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menegaskan kewenangan yang menjadi urusan pemerintah daerah, terutama pemerintah kabupaten/kota adalah pelayanan publik dasar. Kualitas pelayanan publik ini terutama dalam penyediaan barang dan jasa untuk pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan serta sarana dan prasarana umum. Sementara pemerintah pusat hanya menangani kewenangan dalam urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional, dan agama. Menurut Soemitro ditinjau dari aspek ekonomi, pajak merupakan pemindahan sumber daya dari sektor privat/perusahaan ke sektor publik/negara yang digunakan untuk membiayai keperluan negara.74 Sedangkan Adriani menyatakan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan undangundang yang dapat dipaksakan dengan tidak menerima kontra prestasi langsung yang dapat ditunjuk. Pajak merupakan penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara dalam menyelenggarakan pemerintahan.75 Sistem pemungutan pajak yang mudah dan didukung partisipasi masyarakat dalam bentuk kepatuhan untuk membayar pajak, merupakan impian setiap pemerintahan. Richard A. Musgrave yang turut mengembangkan fiscal federalism theory mengemukakan prinsip yang luas dalam penyerahan kewenangan pemungutan pajak dengan menggunakan kriteria keadilan dan efisiensi.76
Pemungutan pajak dari masyarakat harus bersifat adil. Asas Equity dalam perpajakan mencakup dua aspek. Pertama, ability to pay principle di mana pajak
74
Rahmat Soemitro, 1982, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Bandung, hal.62. R. Santoso Brotodihardjo, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika Aditama, Bandung, hal. 56. 76 Richard A. Musgrave, 1993, Public Finance in Theory and Practice. Fifth Edition, McGraw-Hill Book Company, USA, hal. 37. 75
78 dibebankan kepada pembayar pajak sesuai dengan kemampuan membayarnya. Kedua, benefit principle di mana setiap pembayar pajak membayar pajak sejalan dengan manfaat yang dinikmatinya dari kegiatan pemerintah.77 Pemungutan pajak merupakan kewenangan negara yang diamanahkan oleh konstitusi, sebagaimana tertulis pada Pasal 23A UUD NRI 1945 Amandemen III yang berbunyi: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Kebijakan pemungutan perpajakan merupakan instrumen kebijakan fiskal yang ditetapkan pemerintah dalam melakukan fungsi alokasi, distribusi, regulasi, dan stabilitasi.78 Ryaas Rasyid menyatakan bahwa untuk membebaskan pemerintah pusat dari beban yang tidak perlu, dan untuk mendorong kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah dan masyarakat
daerah dalam
mengejar
kesejahteraan, maka desentralisasi menjadi suatu keharusan. Termasuk dalam hal ini adalah penyerahan sebagian kewenangan pemungutan perpajakan dari pemerintah pusat kepada pemerintahan di bawahnya.79 Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan dan kewenangan untuk memungut pajak.80 Shah mengemukakan kerangka acuan alternatif dalam penyerahan kewenangan pemungutan pajak menggunakan kriteria efisiensi dalam administrasi pajak dan untuk memenuhi kebutuhan fiskal. Tingkat pemerintahan yang memiliki informasi yang paling baik atas basis pajak, akan 77
Ibid. Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave, 1989, Public Finance in Theory and Practice, McGraw-Hill Inc, Singapore, hal. 79. 79 Ryaas Rasyid, 2005, ”Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya,” dalam Desentralisasi & Otonomi Daerah, Editor Syamsudin Haris. LIPI Press, Jakarta, hal. 54. 80 Siddik, Machfud, 2002, “Format Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat Dan Daerah Yang Mengacu Pada Pencapaian Tujuan Nasional,” Makalah pada Seminar Nasional “Public Sector Scorecard”, Jakarta. 78
79 menjadi tingkat pemerintahan yang bertanggung jawab untuk mengenakan pajak atas basis tersebut.81 Devano dan Rahayu mengemukaan tentang sistem perpajakan dalam arti sebagai suatu kumpulan atau satu kesatuan terdiri dari: (1) hukum pajak (tax law) yaitu peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah sebagai pemungut pajak dengan rakyat sebagai pembayar pajak, (2) kebijakan perpajakan (tax policy) yaitu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah dan (3) administrasi perpajakan (tax administration) yaitu tata cara atau prosedur pengenaan dan pemungutan pajak.82
2.3 Kawasan Jalur Hijau dan Limitasi Jalur Hijau yang dimaksud dalam Perda ini adalah Ruang Terbuka Hijau yang berupa pertanian lahan basah (persawahan) yang dilestarikan keberadannya secara berkelanjutan dengan tujuan untuk melestarikan lahan sawah beririgasi, membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar tidak saling mengganggu. Sebaran Kawasan Jalur Hijau, ditetapkan dengan luas kurang lebih 2.776,3 ha (dua ribu tujuh ratus tujuh puluh enam koma tiga hektar) meliputi : 1. Kecamatan Petang dengan luas kurang lebih 300,7 ha (tiga ratus koma tujuh hektar); 2. Kecamatan Abiansemal dengan luas kurang lebih 807,5 ha (delapan ratus tujuh koma lima hektar); 81
A. Shah, 1994. “Intergovernmental Fiscal Relations in Indonesia,” Issue and Reform Options. World Bank Discussion Paper, Washington DC. 82 Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, 2006. Perpajakan: Konsep, Teori dan Isu, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 41.
80 3. Kecamatan Mengwi dengan luas kurang lebih 1.421,4 ha (seribu empat ratus dua puluh satu koma empat hektar); 4. Kecamatan Kuta Utara dengan luas kurang lebih 236,5 ha (dua ratus tiga puluh enam koma lima hektar); dan 5. Kecamatan Kuta dengan luas kurang lebih 10,1 ha (sepuluh koma satu hektar). Secara fisik jalur hijau dapat dibedakan menjadi jalur hijau alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun jalur hijau non-alami atau binaan yang seperti taman, lapangan olah raga, dan kebun bunga. Multi fungsi penting jalur hijau ini sangat lebar spektrumnya, yaitu dari aspek fungsi ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan ekonomi. Secara ekologis jalur hijau dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan suhu kota tropis yang panas terik. Bentuk-bentuk jalur hijau perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, taman hutan kota, taman botani, jalur sempadan sungai dan lainlain. Secara sosial-budaya keberadaan jalur hijau dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi, dan sebagai tetenger (landmark) kota yang berbudaya. Bentuk jalur hijau yang berfungsi sosial-budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU, dan sebagainya. Secara arsitektural jalur hijau dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan di Kabupaten Badung. Sementara itu jalur hijau juga dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahanlahan kosong menjadi lahan pertanian/perkebunan (urban agriculture) dan
81 pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan. Sementara itu secara struktur, bentuk dan susunan jalur hijau dapat merupakan konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. jalur hijau dengan konfigurasi ekologis merupakan jalur hijau yang berbasis bentang alam seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, pesisir dsb. jalur hijau dengan konfigurasi planologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota seperti jalur hijau perumahan, jalur hijau kelurahan, jalur hijau kecamatan, jalur hijau kota maupun taman-taman regional/nasional. Sedangkan dari segi kepemilikan jalur hijau dapat berupa jalur hijau publik yang dimiliki oleh umum dan terbuka bagi masyarakat luas, atau jalur hijau privat (pribadi) yang berupa taman-taman yang berada pada lahan-lahan pribadi. Dalam masalah Kabupaten Badung, jalur hijau merupakan bagian atau salah satu sub-sistem dari sistem Kabupaten Badung secara keseluruhan. Jalur hijau sengaja dibangun secara merata di seluruh wilayah Kabupaten untuk memenuhi berbagai fungsi dasar yang secara umum dibedakan menjadi: 1. Fungsi bio-ekologis (fisik), yang memberi jaminan pengadaan jalur hijau menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara, pengatur iklim mikro, agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap (pengolah) polutan media udara, air dan tanah, serta penahan angin;
82 2. Fungsi
sosial,
ekonomi
(produktif)
dan
budaya
yang
mampu
menggambarkan ekspresi budaya lokal, jalur hijau merupakan media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, tempat pendidikan, dan penelitian; 3. Ekosistem perkotaan; produsen oksigen, tanaman berbunga, berbuah dan berdaun indah, serta bisa mejadi bagian dari usaha pertanian, kehutanan, dan lain-lain; 4. Fungsi estetis, meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik (dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukiman, maupun makro: lansekap kota secara keseluruhan). Mampu menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga di Kabupaten Badung. Juga bisa berekreasi secara aktif maupun pasif, seperti: bermain, berolahraga, atau kegiatan sosialisasi lain, yang sekaligus menghasilkan ’keseimbangan kehidupan fisik dan psikis’. Dapat tercipta suasana serasi, dan seimbang antara berbagai bangunan gedung, infrastruktur jalan dengan pepohonan hutan kota, taman kota, taman kota pertanian dan perhutanan, taman gedung, jalur hijau jalan, bantaran rel kereta api, serta jalur biru bantaran kali. Manfaat jalur hijau di Kabupaten Badung secara langsung dan tidak langsung, sebagian besar dihasilkan dari adanya fungsi ekologis, atau kondisi ’alami’ ini dapat dipertimbangkan sebagai pembentuk berbagai faktor. Berlangsungnya fungsi ekologis alami dalam lingkungan perkotaan secara seimbang dan lestari akan membentuk kota yang sehat dan manusiawi. Taman tempat peletakan tanaman sebagai penghasil oksigen (O2) terbesar dan penyerap karbon dioksida (CO2) dan zat pencemar udara lain, khusus di siang hari,
83 merupakan pembersih udara yang sangat efektif melalui mekanisme penyerapan (absorbsi) dan penyerapan (adsorbsi) dalam proses fisiologis, yang terjadi terutama pada daun, dan permukaan tumbuhan (batang, bunga, dan buah). Adanya jalur hijau sebagai “paru-paru kota”, di Kabupaten Badung maka dengan sendirinya akan terbentuk iklim yang sejuk dan nyaman. Kenyamanan ini ditentukan oleh adanya saling keterkaitan antara faktor-faktor suhu udara, kelembaban udara, cahaya, dan pergerakan angin. jalur hijau membantu sirkulasi udara. Pada siang hari dengan adanya jalur hijau, maka secara alami udara panas akan terdorong ke atas, dan sebaliknya pada malam hari, udara dingin akan turun di bawah tajuk pepohonan. Pohon, adalah pelindung yang paling tepat dari terik sinar matahari, di samping sebagai penahan angina kencang, peredam kebisingan dan bencana alam lain, termasuk erosi tanah. Bila terjadi tiupan angin kencang di ‘atas’ kota tanpa tanaman, maka polusi udara akan menyebar lebih luas dan kadarnya pun akan semakin meningkat. Sementara itu yang dimaksud kawasan limitasi pada Peraturan Bupati Badung Nomor 89 Tahun 2012 tentang Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Untuk Kondisi Tertentu Objek Pajak Pada Jalur Hijau dan Kawasan Limitasi, yang mengacu pada Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan bahwa Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang: a. digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan; b. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
84 c. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu; d. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak; e. digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan f. digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Berdasarkan dengan hal tersebut diatas maka Bupati Badung membuat Peraturan Bupati Badung Nomor 89 Tahun 2012 tentang Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Untuk Kondisi Tertentu Objek Pajak Pada Jalur Hijau dan Kawasan Limitasi menyatakan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diberikan sebesar 100 % (seratus persen) kepada Wajib Pajak atas Pajak yang terutang.