BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan Tumbuhan nimba (Azadirachta indica A. Juss.) merupakan tumbuhan yang dapat tumbuh pada jenis tanah berpasir maupun tanah liat. Wilayah penyebaran nimba yaitu Asia Tenggara dan Asia Selatan, termasuk Pakistan, Sri Lanka, Thailand, Malaysia serta Indonesia. Di Indonesia tumbuhan ini banyak tumbuh di Bali, Lombok, Jawa Barat khususnya Subang, dan di daerah pantai Utara Jawa Timur.Namun, dalam jumlah kecil pohon nimba sudah tersebar di seluruh wilayah Indonesia (Sukrasno, 2003). 2.1.1 Sistematika Tumbuhan Sistematika tumbuhan daun nimba menurut Tjitrosoepomo (1988) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Rutales
Suku
: Meliaceae
Marga
: Azadirachta
Jenis
: Azadirachta indica A. Juss.
6 Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Nama Daerah Nama daerah dari tumbuhan ini adalah nimba (Sunda), intaran (Bali dan Nusa Tenggara), mimba, membha dan mempeuh (Madura) (Sukrasno, 2003). 2.1.3 Nama Asing Nama daerah dari tumbuhan ini adalah: Inggris
: Neem
India
: Weple
2.1.4 Morfologi Tumbuhan Tumbuhan nimba berupa pohon, dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 30 m dengan diameter batang mencapai 2-5 m. Batangnya tegak dan didukung oleh sistem perakaran berupa akar tunggang. Permukaan batangnya kasar, berkayu dan memiliki kulit kayu yang tebal. Daun majemuk, ujung daun meruncing, tepi bergerigi. Susunan tulang daun menyirip, lebar daun sekitar 2 cm dan panjangnya 5 cm, berwarna hijau. Bunga majemuk, berkelamin dua, tersusun diranting secara aksilar. Benang sari 10, berbentuk silindris dan berwarna putih kekuningan. Putiknya berbentuk lonjong dengan warna coklat muda. Bakal buah beruang tiga, tangkai bunga berbentuk silindris dengan panjang sekitar 8-15 cm. kelopak bunga berwarna hijau. Mahkota bunga berwarna putih. Buahnya buah batu, berbentuk bulat lonjong seperti melinjo dengan ukuran maksimum 2 cm. Buah yang matang berwarna atau hijau kekuningan (Sukrasno, 2003). 2.1.5 Kandungan Kimia Daun Nimba Menurut
Biswas
(2002),
daun
nimba
mengandung
Azadirachtin
(menghambat hormon pertumbuhan serangga), nimbin dan nimbidin (antimikroba, antivirus, bakterisida dan fungisida), salanin (penambah nafsu makan),
7 Universitas Sumatera Utara
meliantriol (repellent atau penghalau serangga), galic acid (antiradikal bebas), epicatechin dan catechin (antialergi) dan polisakarida sebagai imunomodulator. 2.1.6 Khasiat Daun Nimba Daun nimba mempunyai banyak manfaat, terutama dalam dunia kesehatan, namun penggunaannya secara tradisional di Indonesia kurang populer. Seiring dengan semakin berkembang penggunaan tanaman obat dalam dunia kesehatan dengan semboyan back to nature, keingintahuan masyarakat terhadap khasiat dan manfaat tanaman obat semakin berkembang. Informasi yang mendukung pemanfaatan daun nimba diperoleh juga dari negara tetangga yang memiliki populasi nimba terbesar di dunia, yaitu India. Di Indonesia, daun nimba sudah dicantumkan dalam buku resmi mengenai obat dari bahan alam. Di beberapa negara seperti India, tanaman nimba digunakan sebagai pencegah kehamilan karena terbukti dapat mematikan sperma. Begitu juga artikel-artikel ilmiah terutama dari para penulis India telah banyak mengungkapkan berbagai aktivitas farmakologi daun nimba misalnya sebagai antijamur, antivirus, obat cacing, antialergi dan antikanker (Sukrasno, 2003).
2.2 Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Ditjen POM, 2000). Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak yaitu sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua
8 Universitas Sumatera Utara
pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995). Untuk ekstraksi Farmakope Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air, etanol, dan etanol-air atau eter. Penyarian pada perusahaan obat tradisional masih terbatas pada penggunaan penyari air, etanol, atau etanolair. Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri dari 2 cara, yaitu: a. Cara dingin Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin terdiri dari: i. Maserasi Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. ii. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. b. Cara panas Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara panas terdiri dari: i. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
9 Universitas Sumatera Utara
ii. Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. iii. Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar (40 - 50oC). iv. Infus Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96 - 98oC) selama waktu tertentu (15 - 20 menit). v. Dekok Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000).
2.3 Uraian Leukosit Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh. Leukosit sebagian dibentuk disumsum tulang (granulosit, monosit dan sedikit limfosit) dan sebagian lagi dijaringan limfe (limfosit dan sel-sel plasma). Setelah dibentuk selsel ini diangkut dalam darah menuju berbagai bagian tubuh untuk digunakan. Kebanyakan sel darah putih ditranspor secara khusus ke daerah yang terinfeksi dan mengalami peradangan serius (Guyton, 2008). Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap zat-zat asing. Ada enam macam sel darah putih yang secara 10 Universitas Sumatera Utara
normal ditemukan dalam darah yaitu neutrofil polimorfonuklir, eusinofil polimorfonuklir, basofil polimorfonuklir, monosit, limfosit dan kadang-kadang sel plasma. Sel-sel polimorfonuklir seluruhnya mempunyai gambaran granular sehingga disebut granulosit. Granulosit dan monosit melindungan tubuh terhadap organisme penyerang terutama dengan cara mencernanya yaitu fagositosis. Fungsi utama sel limfosit dan sel-sel plasma berhubungan dengan sistem imun. Fungsi trombosit terutama mengaktifkan mekanisme pembekuan darah. Pada manusia dewasa dapat dijumpai sekitar 7000 sel darah putih per mikroliter darah. Persentase normal dari sel darah putih yaitu neutrofil polimorfonuklir 62%, eusinofil polimorfonuklir 2,3%, basofil polimorfonuklir 0,4%, monosit 5,3% dan limfosit 30% (Guyton, 2008).
2.4 Jenis-Jenis Leukosit 2.4.1 Granulosit Granulosit memiliki granul kecil didalam protoplasmanya, memiliki diameter sekitar 10 - 12 mikron. Berdasarkan pewarnaan granul, granulosit dibagi menjadi tiga kelompok: a. Neutrofil Neutrofil disebut juga sebagai polimorfonuklear (PMN), karena inti memiliki berbagai jenis bentuk dan bersegmen (Tizard, 2000). Neutrofil berupa sel bundar dengan diameter 12 µm, memiliki sitoplasma yang bergranula halus dan di tengah terdapat nukleus bersegmen. Neutrofil matang/dewasa yang berada dalam peredaran darah perifer memiliki bentuk inti yang terdiri dari dua sampai lima segmen, sedangkan neutrofil yang belum matang (neutrofil band) akan 11 Universitas Sumatera Utara
memiliki bentuk inti seperti ladam kuda (Colville dan Bassert, 2008). Menurut Junqueira dan Caneiro (2005), neutrofil dikenal sebagai garis pertahanan pertama (first line of defense). Neutrofil bersama dengan makrofag memiliki kemampuan fagositosis untuk menelan organisme patogen dan sel debris (Lee, et al., 2003). Neutrofil merupakan sistem imun bawaan, dapat memfagositosis dan membunuh bakteri (Weiner, et al., 1999). Kemampuan neutrofil untuk membunuh bakteri berasal dari enzim yang terkandung dalam granul yang dapat menghancurkan bakteri maupun virus yang sedang difagosit. Granul neutrofil tersebut sering disebut dengan lisosom (Colville dan Basster, 2008). Neutrofil diproduksi di dalam sumsum tulang bersamaan dengan sel granulosit lainnya, kemudian bersirkulasi atau disimpan dalam depo marginal neutrofil setelah 4-6 hari masa produksi. Neutrofil segera mati setelah melakukan fagosit terhadap agen penyakit dan akan dicerna oleh enzim lisosom, kemudian neutrofil akan mengalami autolisis yang akan melepaskan zat-zat degradasi yang masuk ke dalam jaringan limfe. Jaringan limfe akan merespon dengan mensekresikan histamin dan faktor leukopoietik yang akan merangsang sumsum tulang untuk melepaskan neutrofil muda untuk melawan infeksi (Dellman dan Brown, 1992). Penyakit yang disebabkan oleh agen bakteri, pada umumnya menyebabkan peningkatan jumlah neutrofil dan akan tampak neutrofil muda. Neutrofil memiliki granul yang tidak berwarna, mempunyai inti sel yang terangkai, kadang seperti terpisah-pisah, protoplasmanya banyak bintik-bintik halus dan banyaknya sekitar 60-70%. Neutrofil merupakan leukosit darah perifer yang paling banyak (Feldman, 2000).
12 Universitas Sumatera Utara
b. Eusinofil Eusinofil merupakan nama yang diberikan oleh Ehrlich yang didasarkan pada afinitas sel terhadap pewarnaan anionik, seperti eosin (Hirsch dan Hirsch, 1980). Menurut Weiss dan Wardrop (2010), sel ini memiliki kemampuan melawan parasit cacing, dan bersamaan dengan basofil atau sel mast sebagai mediator peradangan dan memiliki potensi untuk merusak jaringan inang. Eusinofil adalah sel multifungsi yang memegang peranan fisiologis dan untuk melakukan fagositosis selektif terhadap kompleks antigen dan antibodi. Eusinofil mengandung profibrinolisin, diduga berperan mempertahankan darah dari pembekuan (Effendi, 2003). Menurut Junqueira dan Caneiro (2005), eosinofil berdiameter 10-15 µm, inti bergelambir dua, sitoplasma dikelilingi butir-butir asidofil yang cukup besar berukuran 0,5 – 1,0 µm, dengan jangka waktu hidup berkisar antara tiga sampai lima hari. Eosinofil berperan aktif dalam mengatur alergi akut dan proses perdarahan, investasi parasit, memfagosit bakteri, memfagosit antigen-antibodi kompleks, memfagosit mikoplasma dan memfagosit ragi. Eusinofil memiliki granul berwarna merah dengan pewarnaan asam, ukuran dan bentuknya hampir sama dengan neutrofil, tetapi granula dalam sitoplasma lebih besar. Jumlah nya hanya 1-4%. Sel ini sangat penting dalam respon terhadap penyakit parasitik dan alergi. Eusinofilia pada hewan merupakan peningkatan jumlah eusinofil dalam darah, dapat terjadi karena infeksi parasit, reaksi alergi dan kompleks antigen antibodi setelah proses imun.
13 Universitas Sumatera Utara
c. Basofil Proses pematangan basofil terjadi di dalam sumsum tulang dalam waktu sekitar 2,5 hari. Basofil akan beredar dalam aliran darah dalam waktu yang singkat (±6 jam) tetapi dalam jaringan dapat hidup selama 2 minggu (Hirai, 1997). Basofil akan masuk ke dalam jaringan sebagai respon terhadap inflamasi (Jain, 1993). Menurut Junqueira dan Caneiro (2005), basofil berdiameter 10-12 µm, dengan inti dua gelambir atau bentuk inti tidak beraturan, banyaknya berkisar antara 0-1%. Granul basofil mengandung heparin, histamin, asam hialuron, kondroitin sulfat, seroton, dan beberapa faktor kemotaktik. Sel mast dan basofil berperan pada beberapa tipe reaksi alergi, karena tipe antibodi yang menyebabkan reaksi alergi, yaitu Immunoglobulin E (IgE) mempunyai kecenderungan khusus untuk melekat pada sel mast dan basofil (Guyton, 2008). Bukti keterlibatan basofil dalam reaksi alergi yaitu timbulnya kondisi rinitis, urtikaria, asma, alergi, konjungtivitis, gastritis akibat alergi, dananafilaksis akibat induksi obat atau induksi gigitan serangga (Casolaro, et al., 1990). 2.4.2 Agranulosit Agranulosit dibagi menjadi dua kelompok: a. Limfosit Limfosit adalah leukosit jenis agranulosit yang mempunyai ukuran dan bentuk yang bervariasi. Limfosit merupakan satu-satunya jenis leukosit yang tidak memiliki kemampuan fagositik banyaknya berkisar antara 20-35%. Pengamatan pada sediaan apus darah yang diwarnai, dapat dibedakan terhadap adanya limfosit besar dan limfosit kecil. Limfosit kecil berdiameter 6 - 9 µm, inti besar dan kuat mengambil zat warna, dikelilingi sedikit sitoplasma yang berwarna biru pucat. Limfosit besar berdiameter 12-15 µm, memiliki lebih banyak sitoplasma, inti 14 Universitas Sumatera Utara
lebih besar dan sedikit lebih pucat dibandingkan dengan limfosit kecil (Junqueira dan Caneiro, 2005). Limfosit memiliki fungsi utama yaitu memproduksi antibodi sebagai respon terhadap benda asing yang difagosit makrofag (Tizard, 2000).
Kebanyakan sel limfosit berada pada jaringan limfoid dan akan
bersirkulasi kembali secara konstan ke pembuluh darah (Colville dan Bassert, 2008). Limfosit dapat digolongkan menjadi dua yaitu limfosit B dan limfosit T. Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang berperan dalam respon imunitas humoral untuk memproduksi antibodi, sedangkan limfosit T akan berperan dalam respon imunitas seluler (Junqueira dan Caneiro, 2005). b. Monosit Monosit adalah leukosit berukuran terbesar, berdiameter 15 - 20 µm dengan populasi berkisar antara 2 - 8% dari jumlah leukosit total. Sitoplasma monosit berwarna biru abu-abu pucat dan berinti lonjong seperti ginjal atau tapal kuda (Junqueira dan Caneiro, 2005). Monosit dibentuk di sumsum tulang, dan setelah dewasa akan bermigrasi dari darah ke jaringan perifer. Monosit akan berdiferensiasi menjadi berbagai subtipe jaringan tergantung dari proses inflamasi yang terjadi. Fungsi monosit adalah membersihkan sel debris yang dihasilkan dari proses peradangan atau infeksi, memproses beberapa antigen yang menempel pada membran sel limfosit menjadi lebih antigenik sehingga dapat mudah dicerna oleh monosit dan makrofag dan menghancurkan zat asing yang masuk ke dalam tubuh (Colville dan Bassert, 2008).
15 Universitas Sumatera Utara
2.5 Ovalbumin (Putih Telur) Ovalbumin (OVA) adalah bahan yang dipakai pada banyak penelitian, dapat merangsang pembentukan respon imun ke arah Th2 dominan. Ovalbumin merupakan protein utama yang berasal dari putih telur ayam berupa glikoprotein dengan berat molekul 45.000 dalton (Sugimoto, 1999).
2.6 Alergi Alergi adalah suatu keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh pajanan suatu antigen tertentu yang menimbulkan reaksi imunologi yang berbahaya pada pajanan berikutnya. World Allergy Organization (WAO) menunjukkan prevalensi alergi terus meningkatkan dengan angka 30-40% populasi dunia. Di Indonesia sendiri, walaupun belum ada angka pastinya, namun beberapa peneliti memperkirakan bahwa peningkatan kasus alergi di Indonesia mencapai 30% pertahunnya. Anak usia sekolah lebih 40% mempunyai 1 gejala alergi, 20% mempunyai asma, 6 juta mempunyai dermatitis (alergi kulit). Penderita hay fever lebih dari 9 juta orang (Anindya, 2013). Alergi terjadi melalui tahap-tahap aktivasi sel-sel imunokompeten, aktivasi sel-sel struktural dan aktivasi sel-sel mast, eusinofil dan basofil, reaksi mediator dengan target organ dan tahap timbulnya gejala (Kapsenberg dan Kalinski, 2003). Alergen yang berhasil masuk tubuh akan diproses oleh antigen presenting cells (APC). Peptida alergen yang dipresentasikan oleh APC menginduksi aktivasi limfosit T. aktivasi limfosit T oleh APC yang memproses alergen akan mengaktivasi limfosit Th2 untuk memproduksi sitokin-sitokinnya (Kapsenberg dan Kalinski, 2003). 16 Universitas Sumatera Utara
Reaksi hipersensitivitas meliputi sejumlah peristiwa auto-imun dan alergi serta merupakan kepekaan berbeda terhadap suatu antigen eksogen atas dasar proses imunologi. Pada hakekatnya reaksi imun tersebut walaupun bersifat merusak, berfungsi melindungi organisme terhadap zat-zat asing yang menyerang tubuh. Bila suatu protein asing masuk berulangkali kedalam aliran darah seorang yang hipersensitif, maka limfosit B akan membentuk antibodi IgE. IgE mengikat diri pada membran sel mast tanpa menimbulkan gejala. Apabila kemudian antigen yang sama atau yang mirip rumus bangunnya memasuki darah lagi, maka IgE akan mengenali dan mengikat padanya. Hasilnya adalah suatu reaksi alergi akibat pecahnya membran sel mast. Sejumlah zat perantara dilepaskan, yakni histamin bersama serotonin, bradikinin dan asam arakidonat, yang kemudian diubah menjadi prostaglandin dan leukotrien. Zat-zat ini menarik makrofag dan neutrofil ketempat infeksi untuk memusnahkan sel asing tersebut. Disamping itu juga mengakibatkan beberapa gejala antara lain bronkokonstriksi, vasodilatasi dan pembengkakan jaringan sebagai reaksi terhadap masuknya antigen. Mediator tersebut secara langsung atau melalui susunan saraf otonom menimbulkan bermacam-macam penyakit alergi penting, seperti asma, rinitis alergi (hay fever) dan eksim. Gejala reaksi alergi tergantung pada lokasi dimana reaksi alergen-antibodi berlangsung, misalnya di hidung (rinitis alergi), dikulit (eksim, urtikaria = biduran, kaligata), mukosa mata (conjunctivitis) atau di bronchi (serangan asma). Gejala tersebut juga dapat timbul bersamaan waktu diberbagai tempat, misalnya pada asma, demam merang dan eksim.
17 Universitas Sumatera Utara
Penggolongan Reaksi alergi dapat digolongkan berdasarkan prinsip kerjanya dalam 4 tipe hipersensitivitas, yakni tipe I-IV. Tipe I Hipersensitivitas tipe I merupakan suatu respon jaringan yang terjadi secara cepat secara khusus hanya dalam bilangan menit setelah terjadi interaksi antaraalergen dengan antibodi IgE yang sebelumnya berikatan pada permukaan sel mast dan basofil pada pejamu yang tersensitisasi. Bergantung pada jalan masuknya hipersensitivitas tipe I dapat terjadi sebagai reaksi lokal yang benarbenar mengganggu misalnya rinitis alergi, asma dan anafilaksis. Banyak reaksi tipe I yang terlokalisasi mempunyai dua tahap yang ditentukan secara jelas yaitu respon awal, ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular dan spasme otot polos yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5 hingga 30 menit setelah terpajan oleh suatu alergen dan menghilang setelah 60 menit dan kedua reaksi fase lambat yang muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eusinofil serta sel peradangan akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.Sel mast dan basofil merupakan inti dari terjadinya hipersensitivitas tipe I (Robbins, 2007). Tipe II Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Antigen tersebut dapat merupakan molekul intrinsik normal sebagai membran sel atau matriks ekstraseluler atau dapat merupakan antigen eksogen yang diadsorbsi 18 Universitas Sumatera Utara
misalnya metabolit obat. Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua mekanisme yaitu lisis langsung atau opsonizasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai komplemen, antibodi yang terikat pada antigen permukaan sel menyebabkan fiksasi komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis melalui kompleks penyerang membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan fragmen komplemen C3b teropsonisasi rentan pula terhadap fagositosis. Sel darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui mekanisme ini, meskipun antibodi yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit dapat menyebabkan fagositosis gagal. Hal ini terjadi karena adanya pelepasan enzim lisosom eksogen dan metabolit toksik misalnya sindrom Goodpasture. Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan reaksi transfusi, anemia hemolitik dan reaksi obat (Robbins, 2007). Tipe III Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigenantibodi,
diikuti
dengan
aktivasi
komplemen
dan
akumulasi
leukosit
polimorfonuklir.Kompleks imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti bakteri dan virus atau antigen endogen seperti DNA. Kompleks antigen-antibodi terbentuk selama berlangsungnya berbagai respon imun dan menunjukkan mekanisme pembersihan antigen yang normal. Kompleks imun patogen terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian mengendap dalam jaringan ataupun terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam. Tempat pengendapan kompleks imun yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung dan pembuluh darah kecil, contohnya pada serum sickness akut penyakit kompleks imun sistemik (Robbins, 2007).
19 Universitas Sumatera Utara
Tipe IV Hipersensitivitas tipe IV disebut juga imunitas seluler yang merupakan mekanisme utama respons terhadap berbagai macam mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus serta agen ekstrasel seperti fungi, protozoa dan parasit. Namun proses ini dapat pula menyebabkan kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal maupu sebagai respon terhadap antigen sendiri pada penyakit autoimun. Contoh lain reaksi hipersensitivitas seluler adalah sesuatu yang disebut dengan sensitivitas kulit kontak terhadap bahan kimiawi seperti poison dan penolakan graft. Oleh karena itu hipersensitivitas tipe VI diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus bukan antibodi. Bentuk alergi tipe I s/d III berkaitan dengan imunoglobulin dan imunitas humoral (cairan tubuh), artinya ada hubungan dengan plasma. Hanya tipe IV berdasarkan imunitas seluler (limfosit T) (Robbins, 2007).
20 Universitas Sumatera Utara