10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Epidemiologi Tuberkulosis masih merupakan masalah infeksi serius di dunia. Berdasarkan survei data, terjadi peningkatan kasus TB paru di dunia dari 9,24 juta kasus baru (140 per 100.000 populasi) pada tahun 2006 menjadi 9,27 juta kasus TB paru di dunia (139 per 100.000 populasi) pada tahun 2007. Sebanyak 55% kasus di dunia berada di Asia, 31% di Afrika dan tiga daerah lainnya (Amerika, Eropa dan Mediterania Timur) dengan jumlah kasus yang sedikit (WHO, 2009). Laporan terakhir dari WHO menyatakan bahwa Indonesia menempati urutan ke 4 terbanyak kasus TB di dunia setelah bertahun-tahun dilaporkan menempati rangking ke 3 di dunia. India, Cina, Afrika Selatan, Indonesia dan Pakistan, menempati lima rangking tertinggi di dunia dalam hal jumlah insiden kasus tuberkulosis (WHO, 2012). Di Indonesia diperkirakan terdapat 0,53 juta kasus baru TB setiap tahunnya dan 91.000 orang meninggal dalam setahun (WHO, 2009). Menurut
Survei
Kesehatan
Rumah
Tangga
(SKRT)
Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (2001), penyakit infeksi dan parasit merupakan
penyebab
kematian
nomor
dua
setelah
penyakit
kardiovaskular pada semua kelompok usia di Indonesia pada tahun 2000, dan TB merupakan penyebab kematian nomor satu dari kelompok penyakit infeksi. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 dalam
10
11 Depkes RI (2008) melaporkan TB adalah penyebab kematian kedua setelah strok pada semua golongan umur. Pada tahun 2007, di Sumatera Utara ditemukan 15.799 penderita TB untuk semua golongan umur dan 13.369 diantaranya adalah kasus baru dengan BTA positip (Depkes RI, 2008). Demikian pentingnya masalah tuberkulosis ini sehingga WHO pada tahun
1993
menetapkan
bahwa
tuberkulosis
merupakan
global
emergency di dunia (WHO, 2003).
2.2. Reaksi Imunologi Pejamu terhadap Infeksi Tuberkulosis Sistem pertahanan tubuh manusia terhadap infeksi M. tuberculosis terdiri atas sistem imun non spesifik (innate immunity) dan sistem imun spesifik antigen (aquired immunity atau adaptive immunity). Sistem imun nonspesifik mempunyai peran esensial dalam membatasi perkembangan M. tuberculosis dan terutama dilakukan oleh makrofag. Masuknya kuman M. tuberculosis ke dalam tubuh adalah melalui saluran nafas dengan cara inhalasi droplet. Jika sistem pertahanan pada saluran nafas tidak dapat mengeluarkan atau menghalangi masuknya kuman tersebut maka kuman akan sampai ke saluran nafas bawah dan mencapai alveoli. Pertahanan pertama begitu kuman sampai ke saluran nafas bawah adalah makrofag alveoli dan juga sel dendritik. Interaksi makrofag dan sel dendritik dengan M. tuberculosis mencakup ikatan antara M. tuberculosis pada reseptor makrofag dan sel dendritik melalui reseptor
seperti
Toll-like
receptor
11
(TLR),
nucleotide-binding
12 oligomerization domain-(NOD-) like receptor (NLRs) dan C-type lectins termasuk mannose receptor, DC-SIGN dan Dectin-1. Reseptor lain yang potensial termasuk complement receptor, scavenger receptor, surfactan protein A receptor (Sp-A) dan reseptor kolesterol. Interaksi antara M. tuberculosis dengan TLR menginduksi aktivasi faktor transkripsi nukleus / Nucleus Factor kappa B (NF-κB) dan produksi sitokin proinflamatori seperti TNF-α, IL-1, IL-12, kemokin dan nitric oxide (NO) melalui jalur yang tergantung dengan myeloid differentiation primary response protein 88 (MyD88-dependent)
atau
jalur
tidak
tergantung
MyD88
(MyD88
independent pathway). Interaksi ini juga menghasilkan respon imun inat berupa antimikrobial (Ahmad, 2011). Kemudian mikroorganisme difagosit oleh makrofag, terjadi fusi fagolisosom dan proses penghancuran dan pembunuhan M. tuberculosis dengan cara pembentukan reactive oxygen intermediate (ROI), reactive nitrogen intermediate (RNI), lingkungan asam dalam lisosom dan enzim hidrolitik (Raja, 2004). Interleukin-12
yang
dihasilkan
oleh
makrofag
juga
dapat
merangsang produksi Interferon gamma (IFN-γ) oleh natural killer cell / sel NK dan sel T, diferensiasi sel T CD4 (Cluster of Differentiation-4) menjadi sel T helper 1 (Th-1) yang memproduksi IFN-γ dan juga meningkatkan fungsi sitolitik sel NK dan sel CD8. Interferon-γ merupakan sitokin aktivator makrofag yang kuat (Baratawijaya & Rengganis, 2009). Tahap selanjutnya pada perkembangan imunitas pejamu adalah transport patogen dari paru menuju ke aliran getah bening yang dilakukan
12
13 oleh sel dendritik yang matang untuk dipresentasikan kepada sel T naive. Proses ini menginisiasi respon imun adaptif atau sistem imun spesifik antigen (Bhatt & Salgame, 2007). Mekanisme respon imun spesifik antigen merupakan interaksi antara sel limfosit dengan antigen presenting cell (APC) terutama sel dendritik dan makrofag. Antigen presenting cell akan mempresentasikan protein kuman dalam bentuk peptida kepada sel limfosit T sehingga menimbulkan respon imun selular. Antigen dipresentasikan kepada sel limfosit T melalui 2 jalur yaitu kepada sel limfosit Th1 CD4 melalui Major histocompatibility complex (MHC) kelas II dan kepada sel limfosit Th1 CD8 melalui MHC kelas I. Fungsi utama sel CD4 adalah produksi sitokin termasuk IFN-γ yang mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan basil. Fungsi lain sel limfosit Th1 CD4 adalah membantu berkembangnya respon sel Th1 CD8, induksi apoptosis sel yang terinfeksi, dan menurunkan viabilitas bakteri. Sel Th1 CD8 mampu melisiskan sel yang terinfeksi dan mengurangi jumlah bakteri intraselular karena adanya perforin, granzim dan granulisin. Selain itu sel T CD8 juga dapat menghasilkan IFN-γ yang penting untuk aktivasi makrofag. Walaupun sel efektor utama yang berperan dalam cell mediated immunity adalah sel limfosit T CD4 yang mempunyai tipe antigen reseptor αβ, juga dikenal sel limfosit tipe antigen γδ yang mempunyai perlindungan imunitas terhadap infeksi TB. Sel T γδ mampu mensekresi sitokin seperti IFN-γ, mempunyai aktivitas sitotoksik, dapat bertindak sebagai antigen precenting cell dan
13
14 memberi sinyal kostimulator yang diperlukan untuk menginduksi proliferasi sel T αβ (Hernandez, et al., 2007). Mekanisme pertahanan lain yang penting adalah apoptosis makrofag yang terinfeksi. Vesikel yang terbentuk dari apoptosis yang mengandung antigen ditangkap oleh sel dendritik untuk mengaktivasi sel Th1 CD8. Sel Th1 CD8 yang diaktivasi ini menghasilkan IFN-γ, yang menyebabkan
makrofag
yang
terinfeksi
menghasilkan
RNI
untuk
membunuh M. tuberculosis intraselular (Ahmad, 2011). Komponen respon imun nonspesifik lain adalah Nramp, neutrofil dan sel NK. Nramp sangat penting dalam transport nitrit dari kompartemen intraselular seperti sitosol menuju lingkungan yang lebih asam seperti fagolisosom, yang akan diubah menjadi NO. Defek pada produksi Nramp meningkatkan kerentanan terhadap M. tuberculosis. Neutrofil juga dapat memfagosit M. tuberculosis dan mengandung defensin yang dapat memperantarai pembunuhan makrofag. Sel natural killer dapat melisiskan patogen atau monosit yang terinfeksi serta dapat mensekresi sitokin terutama IFN-γ (Raja, 2004). Protein Nramp1 juga diketahui sebagai pompa kation divalen seperti Fe2+, Mn2+ yang berperan meningkatkan keasaman fagosom, pempercepat fusi fagolisosom dan meningkatkan efek bakterisidal dari makrofag (Agranoff, et al., 1999; Jabado, et al., 2000). Efek vitamin D terhadap imunitas terhadap infeksi M. tuberculosis akhi-akhir ini menarik perhatian. Efek imunitas vitamin D terhadap infeksi TB diawali dengan stimulasi M. tuberculosis terhadap makrofag melalui
14
15 reseptor TLR. Sinyal tersebut mengaktifkan ekspresi reseptor vitamin D dan 25-hidroksivitamin D-1α-hidroksilase (1-OHase). Enzim 1-OHase mengubah 25(OH)D menjadi bentuk aktifnya, yaitu 1,25 dihidroksivitamin D [1,25(OH)2D]. Kemudian 1,25(OH)2D memasuki inti sel, yang akan meningkatkan
ekspresi
cathelicidin,
suatu
peptida
yang
mampu
meningkatkan imunitas non spesifik dan merangsang penghancuran agen seperti M. tuberculosis (Holick, 2007).
Gambar 2.1. Mekanisme respon imun terhadap infeksi tuberkulosis (dikutip dari Leandro, 2009).
Ada 3 kemungkinan yang dapat terjadi pada orang yang terpapar dengan M. tuberculosis. Pada sebagian kecil individu, M. tuberculosis dengan segera akan dieliminasi oleh pejamu pada waktu inhalasi, yang kemungkinan besar karena innate immunity yang tinggi. Frekuensi dan
15
16 penyebab belum diketahui dengan pasti. Pada kelompok kedua, yaitu kelompok terbanyak, respons innate tidak dapat memberikan proteksi terhadap infeksi. Sitokin efektor Th1 dari respon imun adaptif penting untuk membatasi pertumbuhan bakteri. Walaupun sistem imun adaptif yang dihasilkan memberikan proteksi tetapi tidak dapat menghasilkan imunitas steril. Penderita ini akan tetap terinfeksi secara laten dan dapat terjadi reaktivasi penyakit jika imunitas melemah atau menderita penyakit yang menurunkan imunitas. Pada kelompok ketiga yang berjumlah hanya sekitar 10%, sistem imun adaptif gagal mengontrol replikasi inisial sehingga terjadi TB primer (Bhatt & Salgame, 2007).
2.3. Faktor Risiko Terjadinya Tuberkulosis Hanya 10% dari sepertiga penduduk dunia yang diperkirakan WHO telah terinfeksi kuman M. tuberculosis akan berkembang menjadi penyakit. Setelah terinfeksi kuman TB, sebagian besar manusia menghasilkan respon imun yang efektif untuk membatasi atau mencegah terjadinya penyakit. Tapi faktor risiko yang ada seperti usia lanjut, konsumsi alkohol, diabetes tak terkontrol, infeksi kuman HIV dan penggunaan
imunosupresive
seperti
kortikosteroid
diketahui
dapat
menyebabkan berkembangnya penyakit (Bellamy, et al., 1998). 2.3.1. Tuberkulosis dan HIV Penderita HIV mempunyai risiko 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang tidak terinfeksi HIV untuk menderita TB. Pada penderita HIV, limfosit CD4 berkurang jumlah dan fungsinya. Hal ini
16
17 menyebabkan sistem imun berkurang kemampuannya untuk mencegah pertumbuhan dan penyebaran M. tuberculosis (Harriers, et al., 1997). 2.3.2. Faktor lingkungan Lingkungan yang kumuh dan padat penduduk sering mempercepat berkembangnya
TB.
Sirkulasi
yang
jelek
dapat
memperbesar
kemungkinan terjadinya penularan. Sinar ultraviolet dapat membunuh kuman M. tuberculosis. Adanya pajanan dari orang dekat (close contact) yang biasanya terjadi jika tinggal bersama penderita TB mempermudah penularan. Faktor kemiskinan juga berperan dalam berkembangnya tuberkulosis seperti orang yang tidak mempunyai tempat tinggal. Selain itu penyalahgunaan obat merupakan faktor yang penting juga (Lobue, et al., 2008; Hopewell & Bloom, 2000). 2.3.3. Asal kelahiran Di negara dengan insidens tuberkulosis yang rendah seperti Amerika Serikat, dilaporkan bahwa kasus tuberkulosis banyak terjadi pada penduduk yang berasal dari negara lain yang insidens tuberkulosisnya tinggi dan juga disebabkan karena meningkatnya angka penderita HIVAIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) (Lobue, et al., 2008; Hopewell & Bloom, 2000). 2.3.4. Penurunan daya tahan tubuh Diabetes melitus dan penyakit berat lainnya seperti kanker dapat menurunkan imunitas tubuh. Penggunan obat-obatan imunosupresif seperti kortikosteroid pada penderita alergi ataupun penyakit autoimun, atau yang akan menjalani transplantasi juga dapat menurunkan imunitas.
17
18 Ini semua dapat menyebabkan berkembangnya TB (Lobue, et al., 2008; Hopewell & Bloom, 2000). 2.3.5. Merokok Mekanisme spesifik efek asap rokok pada infeksi pernafasan dan inflamasi terus diteliti tapi masih banyak yang belum diketahui. Asap rokok diketahui mempunyai efek signifikan pada epitel pernafasan dan makrofag alveolar.
Rokok
secara
langsung
mempengaruhi
integritas
dan
permeabilitas dan mengganggu mucociliary clearance (Dye & Adler, 1994; Jones et al., 1980). Asap rokok mengaktifkan makrofag alveolar untuk memproduksi mediator inflamasi, reactive oxygen species dan enzim proteolitik (Stampli & Anderson, 2009). Asap rokok juga mengurangi kemampuan makrofag alveolar untuk memfagosit bakteri dan pengenalan terhadap patogen (Berenson et al., 2006; Hodge et al., 2007). Pada perokok dan COPD terjadi penurunan anti oksidan katalase dan super oxide dismutase (SOD) dibandingkan bukan perokok, yang menunjukkan adanya peningkatan stres oksidatif (Tavilani, et al., 2012). Merokok
juga
mempengaruhi
autophagi
makrofag
alveolar.
Autophagi adalah proses selular yang menangkap dan mendaur ulang organela sitoplasmik yang rusak atau agregasi protein melalui jalur lisosomal. Fagositosis dan penghantaran patogen ke lisosom termasuk dalam proses autophagi. Pada makrofag alveolar perokok terjadi defek pada fungsi autophagi yang dapat berkontribusi meningkatkan kerentanan terhadap infeksi virus (Hansdottir, 2011).
18
19 Tikus yang dipaparkan terhadap asap rokok,
pada paru dan
limpanya terdapat M. tuberculosis yang lebih banyak pada saat isolasi dibandingkan tikus kontrol. Terdapat peningkatan jumlah M. tuberculosis intraselular pada isolat makrofag manusia yang merokok dibandingkan bukan perokok. Makrofag alveolar manusia dan THP-1 makrofag manusia yang dipaparkan terhadap ekstrak asap rokok yang mengandung nikotin atau akrolin menunjukkan peningkatan M. tuberculosis intraselular (Shang et al., 2011). Studi epidemiologi memperlihatkan perokok mempunyai kadar vitamin D yang lebih rendah dibandingkan bukan perokok (Brot et al., 1999; Need et al., 2002). Tapi belum ada bukti hubungan merokok dengan cathelicidin. Ekstrak asap rokok meningkatkan ekspresi gen beta defensin tapi ekspresi gen cathelicidin tidak berubah terhadap pajanan rokok tersebut (Pierson, et al., 2013). 2.3.6. Alkohol Alkohol dapat menghasilkan efek toksik langsung pada sistem imun yang
menyebabkan
pejamu
lebih
rentan
terhadap
penyakit
TB.
Mycobacterium tuberculosis yang terinhalasi akan dihancurkan oleh makrofag alveolar. Jika makrofag tidak mampu melakukannya maka bakteri akan bermultiplikasi di dalamnya. Penelitian invitro menunjukkan meningkatnya kemampuan survival dan bertumbuhnya Mycobacterium avium intraselular oleh paparan alkohol (Bermudez, 1994). Alkohol juga menurunkan respons sistem NO terhadap infeksi Mycobacterium dan menginhibisi fagositosis (Gamble, et al., 2006). Percobaan pada tikus
19
20 menunjukkan alkohol dapat menginhibisi pembentukan granuloma, produksi IL-2, produksi IFNγ, dan proliferasi CD4+ (Mason, et al., 2004). Migration Inhibition Factor (MIF) adalah salah satu sitokin yang produksinya diinhibisi oleh adanya alkohol. Alkohol juga menurunkan produksi
sitokin
seperti
TNF-α,
IL-1
dan
IL-6.
Alkohol
dapat
mempengaruhi aktivasi sel T sehingga populasi Th2 (imunitas humoral) mendominasi populasi Th1 (imunitas selular, yang bertanggung jawab terhadap infeksi TB). Perubahan ini mengganggu keseimbangan antara dua tipe dasar sistem imun, sehingga menurunkan pertahanan imun dan meningkatkan kerentanan terhadap TB (Gamble, et al., 2006). Hubungan antara penggunaan alkohol dan TB juga dapat diterangkan melalui pola sosial yang spesifik, yang dapat meningkatkan risiko seseorang terpajan terhadap infeksi TB. Contohnya adalah bar tempat peminum dapat menjadi sumber penularan sesama peminum (Diel, et al., 2002), orang yang tidak mempunyai tempat tinggal (Haddad, et al., 2005), dan penjara (Fazel, et al., 2006). Peminum alkohol sering mengalami defisiensi vitamin D karena alkohol dapat menyebabkan penurunan sekresi enzim pencernaan, mengurangi absorbsi nutrien karena rusaknya sel yang melapisi lambung dan usus dan mempengaruhi transport ke dalam darah. Alkohol menginhibisi absorbsi lemak sehingga mengganggu absorbsi vitamin A, E dan D yang biasanya diabsorbsi bersamaan dengan diet lemak. Defisiensi vitamin D pada alkoholik juga dapat disebabkan karena kurangnya asupan vitamin D akibat buruknya diet pada peminum (NIH, 1993). Selain itu
20
21 alkohol juga dapat merusak liver seperti terjadinya sirosis hepatis yang berakibat defisiensi vitamin D akibat penurunan hidroksilase pada liver dan penurunan produksi vitamin D binding protein (Malham et al., 2011). 2.3.7. Faktor genetik pejamu. Saat ini didapat bukti-bukti bahwa faktor genetik berperan dalam kerentanan individu terhadap TB. Penelitian terhadap orang kembar monozigot dan dizigot, analisis famili, penelitian secara kasus kontrol, dan penelitian terhadap kandidat gen yang terlibat dalam kerentanan terhadap TB merupakan salah satu bukti keterlibatan genetik. Rangkaian genom manusia merupakan awal dari analisa sistematis terhadap keragaman genetik manusia. Single nucleotide polymorphism (SNP) yaitu berubahnya satu nukleotida menjadi nukleotida lain, seperti adenin menjadi guanin merupakan variasi DNA yang paling sering (Kwiatkowski, 2000). Single nucleotide polimorfisme adalah daerah pada DNA di mana terdapat variasi nukleotioda dari orang ke orang. Variasi ini dapat mempengaruhi kecepatan transkripsi gen, stabilitas RNA messenger, atau kuantitas dan aktivitas dari protein yang dihasilkan. Polimorfisme dapat merupakan marker genetik yang dapat diturunkan dari orang tua ke anak. Akhir-akhir ini SNP menjadi populer sebagai pilihan yang dipakai dalam mempelajari marker genetik untuk mempelajari ciri genetik yang kompleks (Bid & Mittal, 2003).
2.4. Kandidat Gen yang Berhubungan dengan Kerentanan terhadap
21
22 Tuberkulosis pada Manusia Berkembangnya TB merupakan hasil interaksi yang kompleks antara pejamu, patogen dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Beberapa gen pejamu terlibat dalam proses ini. Penelitian terhadap famili yang terlibat, serta kemajuan teknik biomolekular saat ini seperti penentuan SNP, memungkinkan dilakukannya identifikasi terhadap kandidat gen yang
berhubungan
dengan
kerentanan
terhadap
TB.
Hubungan
polimorfisme kandidat gen dan kerentanan / ketahanan terhadap TB pada berbagai populasi di dunia dapat dilihat pada tabel 2.1. Terlihat adanya beberapa gen yang berbeda yang mempengaruhi kerentanan terhadap TB. Satu kandidat gen memberikan hasil yang berbeda pada setiap populasi. Jadi, pada satu populasi, satu kandidat gen dapat berhubungan dengan kerentanan terhadap TB, sedangkan pada populasi lain gen tersebut berhubungan dengan ketahanan terhadap TB, ataupun tidak ada hubungan sama sekali dengan TB. Beberapa kandidat gen polimorfisme yang banyak dihubungkan dengan kerentanan dan ketahanan terhadap TB pada grup etnik yang berbeda di antaranya gen NRAMP1, Vitamin D Receptor (VDR), Human leucocyte antigen (HLA), IL-1, Interferon-γ, TNF-α, IL-10 (Delgado, et al., 2002). Polimorfisme lain yang berhubungan dengan kerentanan atau ketahanan terhadap TB yaitu gen TLR, Nitric Oxide Synthase 2 (NOS 2) dan Vitamin D Binding Protein (VDBP)(Leandro, et al., 2009). Tabel 2.1. Hubungan antara kandidat gen polimorfisme dan TB di berbagai populasi
22
23
Kandidat gen polimorfisme yang diteliti NRAMP1 -D543N -3’ untranslated region (3’ UTR) -Intron 4 (INT4) -5’ CA repeat -236 SNP VDR -TaqI -FokI TNF-α promoter -307 SNP -237 SNP -1030 SNP -862 SNP -865 SNP -375 SNP -243 SNP IL-10 promoter -1082 SNP -819,-592 linked SNPs IL-1 gene complex - IL-1β-511 SNP - IL-1β+3953 SNP - Il-Ra INT2
Populasi yang dihubungkan dengan polimorfisme Kerentanan
Ketahanan
Tidak ada hubungan
Gambia, Jepang Gambia, Korea
Kamboja Kamboja
Guinea, Taiwan Taiwan
Gambia, Guinea Gambia
Jepang
Kamboja Guinea, Gambia, Kamboja
Gambia
Hindus Gujarat, Kamboja Hindus Gujarat, Kamboja
India India
Kamboja Kamboja Kamboja Kamboja Kamboja Kamboja Kamboja
Kamboja Kamboja
Gambia Gambia, Kamboja
India India
India, Gambia, Kamboja Gambia, Kamboja Kamboja
Gambia
Sumber : Delgado, 2002. 2.5. Vitamin D 2.5.1. Biosintesis dan degradasi vitamin D pada regulasi metabolisme kalsium, fosfor dan tulang. Vitamin D merupakan prohormon steroid. Vitamin ini diwakili oleh sekelompok senyawa steroid yang terutama terdapat pada hewan, tanaman dan ragi. Vitamin D yang berasal dari makanan didapat terutama dari diet tinggi minyak ikan dan disebut dengan vitamin D2 (ergokalsiferol) sedangkan vitamin D3 (kolekalsiferol) adalah vitamin D3 yang dihasilkan melalui penyinaran sinar matahari terhadap 7-dehidroklesterol dalam tubuh hewan dan manusia (Hayes, et al., 2003).
23
24 Manusia memperoleh vitamin D dari paparan sinar matahari, diet dan suplemen. Terpaparnya kulit oleh sinar matahari mengkatalisis langkah pertama biosintesis vitamin D. Sinar ultraviolet B masuk ke kulit, memutuskan cincin B pada 7-dehidrokolesterol sehingga mengubah 7dehidrokolesterol menjadi previtamin D3 yang dengan cepat berubah menjadi vitamin D3. Pemaparan yang berlebihan terhadap sinar matahari mendegradasi previtamin D3 dan vitamin D3 menjadi inaktif, sehingga tidak terjadi intoksikasi vitamin D3 (Hayes, et al., 2003; Holick, 2007). Gambar di bawah ini memperlihatkan struktur kimia ergosterol dan 7-dehidrokolesterol yang dengan adanya sinar ultraviolet B berubah menjadi previtamin D2 dan D3, dan pada akhirnya menghasilkan vitamin D2 dan D3.
Gambar 2.2. Proses pembentukan vitamin D (dikutip dari Bikle, 2009).
24
25 Vitamin D yang berasal dari diet bersatu menjadi chylomicron dan ditransport oleh sistem limfatik menuju sirkulasi vena. Vitamin D dari kulit dan diet dapat disimpan dan dilepaskan oleh sel-sel lemak. Vitamin D yang ada di sirkulasi diikat oleh vitamin D binding protein (pengikat vitamin D) yang akan mengangkut vitamin D ke liver. Di liver vitamin D dikatalisis oleh enzim D-25-hidroksilase (25-OHase) yang disandi oleh gen CYP2D25 menjadi 25-hidroksi vitamin D (yang juga sering ditulis dengan 25-(OH)D atau 25D), yang biasa digunakan untuk menentukan status vitamin D pasien. Kemudian 25hidroksivitamin D dimetabolisme di ginjal oleh enzim 25-hidroksivitamin D1α-hidroksilase (CYP27b1) yang disandi oleh gen CYP27B1 menjadi bentuk aktifnya, yaitu 1α,25-dihidroksivitamin D dengan rumus kimia 1α25-(OH)2D (Hayes, et al., 2003) atau sering ditulis dengan 1,25D atau 1,25(OH)2D. Inaktivasi 1α-25-(OH)2D juga terjadi di ginjal sama seperti pada jaringan target lainnya seperti usus dan tulang, dilakukan oleh enzim 25hidroksivitamin D-24 hidroksilase (24 OH-ase) yang disandi oleh gen CYP24. Enzim ini mengkatalisasi inaktivasi 25 hidroksivitamin D dan 1,25dihidroksivitamin D menjadi bentuk inaktif secara biologi yaitu asam kalsitroik yang dapat larut dalam air. Melalui umpan balik negatif, 1,25(OH)2D menurunkan sintesisnya sendiri. Selain itu 1,25(OH)2D meningkatkan ekspresi 25-hidroksivitamin D-24-hidroksilase (24-OHase) untuk mengkatabolis 1,25(OH)2D menjadi asam kalsitroik, bentuk inaktif yang larut dalam air yang diekskresikan ke dalam empedu (Holick, 2007).
25
26 Absorbsi kalsium di usus kecil ditingkatkan oleh 1,25(OH)2D
26
27 dengan cara berinteraksi dengan vitamin D receptor-retinoic acid x-
27
28 receptor complex (VDR-RXR) yang meningkatkan ekspresi ephitelial
28
29 calcium channel transient receptor potential cation channel, subfamily V,
29
30 member 6 (TRPV6) dan calbindin 9K, suatu calcium-binding protein
30
31 (CaBP). Reseptor di osteoblast juga dapat mengenal 1,25(OH)2D,
31
32 menyebabkan peningkatan ekspresi receptor activator of nuclear factor-κB ligand (RANKL). RANK, reseptor untuk RANKL pada proosteoklas, mengikat RANKL, dan mempercepat proosteoklas menjadi osteoklas yang
matang. Osteoklas yang matang melepaskan kalsium dan fosfat dari tulang, sehingga mempertahankan kadar kalsium dan fosfat dalam darah. Kadar fosfat dan kalsium yang adekuat meningkatkan mineralisasi kerangka (Holick, 2007). 32
33
Gambar 2.3. Sintesis dan metabolisme vitamin D dalam regulasi metabolisme kalsium, fosfor dan tulang (dikutip dari Holick, 2007).
.2.5.2. Fungsi non skeletal vitamin D Selain berfungsi dalam regulasi metabolisme kalsium, fosfor dan tulang, vitamin D mempunyai aksi atau fungsi nonskeletal. Otak, prostat, payudara dan usus adalah sebagian dari beberapa jaringan, seperti juga sel-sel imunitas, yang mempunyai reseptor vitamin D dan respon terhadap 1,25-dihidroksivitamin D, bentuk aktif vitamin D. Beberapa dari jaringan dan sel ini mengekspresikan enzim 25-hidroksivitamin D-1α-hidroksilase (Holick, 2007). Ketika konsentrasi 25(OH)D (25 hidroksivitamin D) kira-kira 30 ng per mililiter, risiko beberapa kanker berkurang. Diyakini bahwa produksi lokal 1,25(OH)2D pada payudara, kolon, prostat dan jaringan lain mengatur berbagai gen yang mengontrol proliferasi, termasuk p21 dan p27, dan juga inhibisi angiogenesis dan induksi diferensiasi dan apoptosis. Sekali 1,25(OH)2D menyelesaikan tugas dalam memelihara proliferasi dan diferensiasi sel, maka akan mendorong ekspresi dari enzim 25hidroksivitamin D-24-hidroksilase (24-OHase) sehingga meningkatkan katabolisme 1,25(OH)2D menjadi asam kalsitroik. Jadi, 1,25(OH)2D yang diproduksi secara lokal tidak memasuki sirkulasi dan tidak mempengaruhi metabolisme kalsium. Kelenjar paratiroid juga mempunyai aktivitas 1OHase, dan produksi lokal 1,25(OH)2D menginhibisi ekspresi dan sintesis
33
34 hormon paratiroid (Holick, 2007). Sedangkan 1,25(OH)2D yang dihasilkan oleh ginjal memasuki sirkulasi dan menurunkan produksi renin (Li, 2003) serta menstimulasi sekresi insulin pada sel-sel beta di pankreas (Chiu, et al., 2004). Defisiensi vitamin D juga berhubungan dengan peningkatan risiko kardiovaskular karena pada otot jantung 1,25-dihidroksivitamin D meningkatkan kontraktilitas miokard (Lee, et al., 2008).
Gambar
2.4.
Metabolisme
25-hidroksivitamin
D
menjadi
1,25-
dihidroksivitamin D dalam fungsi nonskeletal (dikutip dari Holick, 2007).
Monosit atau makrofag yang terpapar dengan lipopolisakarida atau M. tuberculosis meningkatkan regulasi gen reseptor vitamin D dan gen 25hidroksivitamin
D-1α-hidroksilase.
Peningkatan
produksi
1,25-
dihidroksivitamin D menghasilkan sintesis cathelicidin, suatu peptida yang 34
35 mempunyai kemampuan menghancurkan M. tuberculosis seperti juga terhadap agen infeksius lainnya. Selain itu 1,25-dihidroksivitamin D juga adalah imunomodulator yang penting. Gambar 2.4. memperlihatkan metabolisme 25-hidroksivitamin D menjadi 1,25-dihidroksivitamin D dalam fungsi nonskeletal (Holick, 2007). 2.5.3. Fungsi imunologi vitamin D terhadap tuberkulosis. Sudah sejak lama vitamin D diduga mempunyai peran dalam imunitas terhadap TB. Sebelum era kemoterapi, TB diobati dengan memberikan suplementasi vitamin D, diet yang mengandung vitamin D tinggi seperti minyak ikan dan sinar matahari pada sanatorium. Terapi ini menghasilkan efek yang dramatik dalam mengobati TB kulit (Rook, 1988). Beberapa penelitian invitro menerangkan peran vitamin D terhadap makrofag. Penambahan vitamin D terhadap makrofag yang terinfeksi M. tuberculosis
meningkatkan
kemampuan
dalam
mengeliminasi
M.
tuberculosis ditemukan oleh Rockett et al. (1998) melalui induksi peningkatan ekspresi reactive nitrogen intermediates, melalui
reactive
oxygen intermediate oleh Sly et al. (2001), dan melalui efek antimikrobial cathelicidin oleh Liu et al. (2007). Penelitian invitro oleh Martineau et al. (2007), dengan memberikan vitamin D dosis tunggal 2,5 mg ternyata dapat meningkatkan kemampuan mengeliminasi M. tuberculosis. Peran vitamin D terhadap infeksi TB telah banyak diteliti. Ditemukan adanya peningkatan kerentanan terhadap TB pada ras yang lebih berpigmen dan juga orang yang hidup pada daerah yang kurang sinar matahari (Takiff, 2007). Banyak penelitian yang menghubungkan
35
36 defisiensi vitamin D dengan meningkatnya risiko menderita TB di antaranya
penelitian dari Indonesia (Setiabudiawan, 2010) dan India
(Sasidharan & Rajeev, 2002). Penelitian meta analisis oleh Nnoaham dan Clarke (2008) menemukan adanya hubungan antara kadar vitamin D yang rendah dengan risiko menderita TB aktif. Efek imunitas vitamin D terhadap infeksi TB diawali dengan stimulasi M .tuberculosis terhadap makrofag. Sewaktu makrofag atau monosit distimulasi melalui reseptornya, toll-like receptor 2/1 (TLR2/1) oleh agen infeksius seperti M. tuberculosis atau lipopolisakaridanya, sinyal tersebut mengaktifkan ekspresi reseptor vitamin D (VDR) dan 25hidroksivitamin D-1α-hidroksilase (1-OHase). Kadar 25- hidroksivitamin D [25(OH)D / 25 D]≥ 30 ng (≥75 nmol per liter) memberikan substrat yang adekuat untuk 1-OHase mengubah 25(OH)D menjadi bentuk aktifnya, yaitu 1,25 dihidroksivitamin D [1,25(OH)2D]. Kemudian 1,25(OH)2D memasuki inti sel, yang akan meningkatkan ekspresi cathelicidin, suatu peptida
yang
mampu
meningkatkan
imunitas
non
spesifik
dan
merangsang penghancuran agen seperti M. tuberculosis. Selain efek antimikrobial cathelicidin, 1,25(OH)2D yang dihasilkan oleh monosit atau makrofag juga memberi efek lokal pada sel limfosit T yang mengatur sintesis sitokin dan juga memberi efek pada sel limfosit B yang mengatur sintesis imunoglobulin (Holick, 2007). Proses masuknya vitamin D dari serum hingga menghasilkan cathelicidin diterangkan dan terlihat pada gambar 2.5. di bawah ini.
36
37
Gambar 2.5. Mekanisme pengambilan, metabolisme dan reseptor vitamin D pada makrofag (dikutip dari Chun, 2008).
Vitamin D [ 25-hidroksivitamin D / 25D / 25(OH)D ] dalam serum yang ditemukan terikat dengan vitamin D binding protein (DBP) atau dalam bentuk bebas, diinternalisasi oleh makrofag baik melalui difusi pasif 25D yang bebas atau melalui megalin (meg)-mediated uptake. Intraselular 25D kemudian ditranslokasikan ke mitokondria 25-hidroksivitamin D-1αhidroksilase (CYP27b1) yang dihubungkan dengan constitutive heat-shock protein 70 (hsc70). Kemudian 1,25-dihidroksivitamin D (1,25D) yang dihasilkan oleh CYP27b ditranslokasikan ke dalam nukleus yang berpotongan dengan hsc70 dan Bcl-2-associated athanogene (BAG-1). Di dalam inti 1,25D berikatan dengan Vitamin D Receptor (VDR) yang kemudian membentuk heterodimer dengan Retinoid X Receptor (RXR). Interaksi antara dimer VDR-XDR dan vitamin D Respons Elements (VDRE) pada promotor gen target seperti protein antimikrobial cathelicidin (LL37) dikontrol oleh VDRE-binding protein (VDRE-BP). Regulasi transkripsi LL37 yang diperantarai oleh 1,25D meningkatkan kemampuan 37
38 protein antimikrobial untuk membunuh bakteri dalam fagolisosom (Chun et al., 2008).
2.6. Reseptor Vitamin D 2.6.1 Fungsi dan struktur reseptor vitamin D Analisis struktur dan fungsi Reseptor Vitamin D memperlihatkan 5 domain yang berfungsi pada RVD dengan dua domain utama yaitu Nterminal zinc finger DNA binding domain (DBD), dan C-terminal ligand binding domain (LBD), dan ada 427 asam amino pada RVD. Domain AB adalah daerah yang pendek dengan fungsi yang belum terlalu jelas. Variasi polimorfisme yang meniadakan tiga asam amino pertama pada Nterminal meningkatkan potensi transaktivasi karena berinteraksi lebih baik dengan faktor transkripsi TFIIB. (Bouillon, et al., 2008; Haussler, et al., 2008). Inti protein dari VDR DNA-binding domain diorganisasi dalam 2 modul beratom Zinc dengan sinyal terletak di antara jari-jari dua Zinc yang berfungsi penting yaitu translokasi nukleus RVD. Bagian tengah heliks yang dibentuk oleh residu pada sisi terminal C dari jari zinc yang pertama masuk secara langsung ke dalam lekukan utama dari bagian tengah VDRE. Perpanjangan terminal C memberi spesifisitas tambahan. (Hayes, et al., 2003). Daerah hinge dari RVD penting untuk kemampuan fleksibilitas RVD ketika DNA berinteraksi melalui DBD dan juga interaksi LBD dengan protein koaktivator (Haussler, et al., 2003).
38
39 Ligand binding domain terdiri dari 12 α-heliks, mempresentasikan permukaan RVD untuk heterodimerisasi dengan RXR (heliks 7,9,10, dan lain-lain), dan juga untuk transaktivasi melalui interaksi dengan koaktivator (Co-Act). Koaktivator berinteraksi dengan RVD terdiri dari heliks H3 dan H12 (pada domain F atau AF2) dan daerah N-terminal jari Zinc. Reseptor Vitamin D juga membentuk kompleks dengan faktor transkripsi seperti TFIIB dekat N-terminus dari RVD, juga dengan korepresor seperti produk gen Hr yang berhubungan dengan daerah hinge dan H3 (Haussler et al., 2008).
Gambar 2.6. Diagram skematik Reseptor Vitamin D (dikutip dari Haussler, 2008)
.
Sewaktu 1,25(OH)2D terikat, RVD mengalami fosforilasi dan
konformasi
permukaannya
direkonfigurasi
menghasilkan
pelepasan
korepresor. Selain itu sebagai respon dari ikatan tersebut, RVD merekrut pasangan dimerisasinya yaitu RXR dan berikatan dengan VDRE. Kedua reseptor ini berinteraksi secara simetris dengan LBD, tapi dengan DBD berinteraksi secara asimetris, dengan RXR yang lebih compact dan RVD 39
40 dalam keadaan konfigurasi yang extended antara LBD dan DBD. Modulasi ekspresi gen tidak diperantarai secara langsung oleh ikatan heterodimer VDR/RXR terhadap DNA, tapi lebih tergantung kepada kemampuan dimer ini untuk merekrut coregulatory protein complexes, sebagai pengganti korepresor yang selama ini ‘menenangkan’ ekspresi gen (Bouillon, et al., 2008). Sewaktu terjadi rekonfigurasi RVD akibat ikatan dengan ligand, koaktivator permukaan dapat mengikat RVD. Studi memperlihatkan coactivator exchange terjadi dalam kompleks transkriptional pada reseptor inti promotor. Yang pertama direkrut adalah koaktivator famili CBP/p300 dan famili protein p160, termasuk steroid receptor coactivators (SRCs) seperti SRC-1. Protein-protein ini mempunyai aktivitas asetiltransferase histon intrinsik dengan cara asetilasi ekor histon, membuka struktur kromatin sehingga menciptakan lingkungan kromatin yang permisive untuk terjadinya transkripsi gen. Berikutnya yang dikrekrut adalah vitamin D receptor interacting protein (DRIP) / T3 receptor auxiliary protein (TRAP), sementara DRIP205 / TRAP 220 berikatan secara langsung dengan heterodimer VDR/RXR. Selanjutnya faktor transkripsi basal, seperti RNA polimerase II direkrut ke daerah mulainya transkripsi dan sebagai hasilnya transkripsi gen target dimulai (Bouillon, et al., 2008, Haussler, et al., 2008, Chiba, et al., 2000). Selain itu ekspresi gen juga dapat dipengaruhi oleh pengaturan kembali dalam array nukleosom, yang diperantarai ole ATPdependent chromatin remodeling complexes diantaranya kompleks tipe SWI / SNF (Bouillon, et al., 2008).
40
41
Gambar 2.7 Skema regulasi transkripsi gen RVD ( dikutip dari Bouillon, 2008)
2.6.2. Polimorfisme gen Reseptor Vitamin D Reseptor Vitamin D memiliki gen yang terdiri dari struktur intron/exon yang kompleks dan terdapat pada kromosom 12 manusia atau tepatnya 12cen-q12. Gen ini terdiri dari 15 exon dan ada kira-kira 75 kilobase genom DNA. Exon IA melalui IF menyandi daerah 5’ untranslated, exon II dan III menyandi DNA-binding domain dan ekson VI-
41
42 IX
menyandi
ligand-binding
region.
Ekson
IX
juga
mengandung
keseluruhan daerah 3’UTR (Zmuda, et al., 2000). Sedikitnya ada 22 mutasi yang berhubungan dengan gen Reseptor Vitamin D yang pernah dilaporkan. Perubahan nukleotida tunggal yang menghasilkan substitusi asam amino pada daerah DNA dan ligand binding adalah jenis mutasi yang utama. Single Nukleotide Polymorphism (SNPs ) yang ada yaitu FokI, BsmI, ApaI dan TaqI dapat diketahui dengan adanya enzim restriksi yang dapat mendeteksi variasi tersebut. Teknik yang dipakai untuk mengetahui adanya polimorfisme ini adalah dengan cara PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction - Restriction Fragment Length Polymorphism) (Zmuda, et al., 2000). FokI menunjukkan transisi C-T (ACG-ATG) pada daerah pertama dari dua daerah potensial inisiasi translasi di exon II. Individu dengan alel C (ditandai dengan F) memulai translasi pada daerah ATG yang kedua dan ketidakadaan tiga asam amino terminal –NH2 dari panjang keseluruhan protein reseptor vitamin D. Sebaliknya individu dengan alel T (ditandai dengan f) memulai translasi pada daerah ATG pertama dan mensintesis seluruh panjang protein reseptor vitamin D (427 asam amino) (Zmuda, et al., 2000). BsmI bekerja di intron 8 (antara ekson VIII dan IX), membuktikan perubahan G-A; alel G ditandai dengan B dan alel A ditandai dengan b. ApaI bekerja di intron 8 (antara ekson VIII dan IX), membuktikan perubahan T-G; alel T ditandai dengan A dan alel G ditandai dengan a. Substitusi nukleotida T-C (ATT-ATC) yang menghasilkan silent transition
42
43 pada codon 352 di exon IX diditeksi oleh enzim restriksi TaqI (Zmuda, et al., 2000). Varian ApaI dan BsmI berada di intron antara exon VIII dan IX, diketahui menghasilkan splicing errors. Walaupun polimorfisme ApaI dan BsmI terletak pada intron, tetapi perubahan pada rangkaian atau urutan intron dapat mempengaruhi ekspresi protein (Gyorffy et al., 2002). Polimorfisme TaqI tidak mungkin mempengaruhi fungsi reseptor vitamin D, karena kedua alel menyandi isoleusin pada asam amino 352. Tetapi ada penelitian menunjukkan bahwa polimorfisme TaqI bisa mempengaruhi keseimbangan TH1 vs TH2. Homozigot ‘tt’ cenderung menghasilkan respon imun tipe TH1 dan homozigot ‘TT’ menghasilkan respon tipe TH2. Individu dengan homozigot ‘tt’ ditemukan resisten terhadap TB paru, menunjukkan bahwa respon imun tipe TH1 adalah protektif pada individu dengan TB (Roy, et al., 1999). Varian FokI adalah kandidat fungsional yang paling mungkin karena perbedaan struktural yang disebabkan kedua alel dapat mempengaruhi fungsi dari protein RVD (Arai, et al., 1997). Polimorfisme yang lain diketahui adalah mononucleotide repeat [(A)n] polimorphism dengan variasi pada panjang dari 13-24 adenosin (12 alel) (poly(A)) yang terjadi pada daerah 3’ untranslated gen RVD. Distribusi dari ukuran alel adalah bimodal dimana individu dapat diklasifikasikan mempunyai alel pendek (A13-A17) dan alel yang panjang (A18-A24) (Zmuda, et al., 2000).
43
44
Gambar 2.8. Diagram skematik gen RVD dan lokasi polimorfisme (dikutip dari http://www.genomos.eu)
2.7. Cathelicidin Cathelicidin adalah suatu polipeptida antimikrobial yang memegang peranan penting dalam sistem pertahanan imun non spesifik pada mamalia dalam melawan infeksi bakteri yang invasif. Cathelicidin dihasilkan oleh beberapa sel yaitu sel monosit, neutrofil, epitel, sel mast dan makrofag alveolar. Polipeptida antimikrobial disintesis sebagai preprotein dan disimpan sebagai proprotein inaktif. Untuk menjadi aktif secara biologi polipeptida ini harus dilepaskan dari proprotein dengan proteolytic cleavage dan dilepaskan secara exocytosis ke eksterior atau ke fagolisosom (S∅rensen, 2005). 44
45 Sel makrofag alveolar pada manusia adalah sel utama yang menghasilkan
cathelicidin
setelah
terinfeksi
oleh
M.
tuberculosis.
Makrofag distimulasi oleh M. tuberculosis melalui reseptor makrofag, TollLike Receptor (TLR) yaitu TLR-2, TLR-4, dan TLR-9, dan TLR-9 adalah reseptor yang paling kuat distimulasi oleh M. tuberculosis. Cathelicidin tidak terdeteksi pada granuloma tuberkulosis, yang artinya cathelicidin berpartisipasi hanya pada infeksi awal. Sehingga disimpulkan bahwa cathelicidin sangat berperan penting dalam respon imun inat melawan M. tuberculosis (Rivas-Santiago, et al., 2008). Penelitian level cathelicidin dari sel mononuklear darah tepi 65 orang penderita TB paru dibandingkan 60 orang subjek normal mendapatkan kadar cathelicidin yang lebih rendah secara signifikan pada penderita TB paru (Selvaraj, et al., 2009). Yamshchikov et al. (2010) mendapatkan nilai kadar cathelicidin dalam serum penderita tuberkulosis sebelum diobati sebesar 49,5 ng/ml (SD: 23,8 ng/ml; dengan interval 8,2-111,2 ng/ml; n=95).
2.8. Suku Batak Batak merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. Nama
ini
merupakan
sebuah
terminologi
kolektif
untuk
mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli, Sumatera Timur dan Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola dan Batak Mandailing.
45
46 Banyak pendapat tentang asal usul suku Batak. Ada yang mengatakan suku Batak berasal dari Thailand, dari Burma, dari India, dari Yunan di Cina Selatan, dari Formosa Taiwan, dari Vietnam, dari Toraja, dari Sumatera Selatan, dari Lampung bahkan dari suku Mon di Malaysia. Berdasarkan sejumlah fakta dan hasil penelitian, menurut Bungaran Antonius Simanjuntak, nenek moyang bangsa Batak berasal dari keturunan Mansyuria dari ras Mongolia yang hidup di daerah Utara Tibet sekitar 7.000 tahun lalu. Pada masa itu, nenek moyang orang Batak diusir oleh suku Barbar Tartar dari tanah leluhurnya di Utara Tibet. Kemudian suku Mansyuria ini bermigrasi ke pegunungan Tibet melalui Tiongkok (Cina). Bersama dua rekannya dari Belanda dan Thailand, juga berdasarkan sejumlah literatur yang ada dan adanya budaya yang sama, Bungaran mendapati bahwa setelah dari pegunungan Tibet, suku Mansyuria turun ke Utara Burma atau perbatasan dengan Thailand. Suku Mansyuria yang terus dikejar oleh suku Barbar Tartar kembali bergerak menuju arah Timur ke Kmer Kamboja dan ke Indocina (Zul, 2013). Suku Mansyuria menjadi manusia kapal dari Indocina menuju Filipina, kemudian ke Sulawesi Utara atau Toraja. Mengikuti angin Barat, mereka berlayar ke arah Lampung dan akhirnya naik ke Danau Toba. Saat berlayar dari Indocina, sebagian suku Mansyuria melewati Tanah Genting Kera di Semenanjung Melayu dan berlayar menuju pantai Timur Sumatera dan mendarat di Kampung Teluk Aru di Aceh. Setelah itu mereka bermigrasi ke Tanah Karo dan meneruskan perjalanan ke Danau Toba. Penerus keturunan Mansyuria ini tidak hanya menetap di Danau Toba
46
47 tetapi juga di wilayah Barus dan di Tanah Karo. Lama perjalanan migrasi suku Mansyuria dari tanah leluhur di Utara Tibet hingga keturunannya menetap di Danau Toba, Barus dan Karo sekitar 2.000 tahun (Zul, 2013).
2.9. Hubungan Polimorfisme Gen RVD dan Kerentanan terhadap TB Penelitian
awal
menemukan
genotip
tt
homozigot
sedikit
dipresentasikan pada penderita TB paru pada populasi di Gambia, menunjukkan kemungkinan genotip tt homozigot adalah protektif dengan OR=0,53. Sebaliknya, genotip TT berhubungan dengan penurunan kerentanan pada wanita India Selatan (Takiff, 2007). Liu melakukan penelitian pada populasi tentara di Cina dan mendapatkan genotip FF berhubungan dengan ketahanan terhadap TB. Penelitian ini dilakukan pada populasi yang hampir homogen karena sampel berasal dari tentara yang berasal dari lingkungan yang sama tapi penelitian dilakukan hanya pada laki-laki dan tidak dilakukan pemeriksaan kadar vitamin D dalam darah (Liu, et al., 2004). Enam penelitian lain oleh Bornman, Delgado, Lombard,
Roth,
Soborg
dan
Wilkinson
pada
populasi
tertentu
menunjukkan tidak ada hubungan antara gen RVD dengan kerentanan terhadap TB, walaupun penelitian di Peru mendapatkan genotip Tt dan FF berhubungan dengan konversi kultur sputum yang lebih cepat setelah terapi inisiasi (Takif, 2007). Penelitian di London pada bangsa India Gujarati, defisiensi vitamin D dalam serum berhubungan dengan kerentanan terhadap TB, dan terjadi kerentanan terhadap TB pada
47
48 individu dengan genotip Tt atau TT jika disertai adanya defisiensi vitamin D (Wilkinson, et al., 2000). Gao et al. (2010) melakukan penelitian meta-analisis hubungan antara
polimorfisme
gen
Reseptor
Vitamin
D
dan
TB
dengan
membedakan populasi berdasarkan etnis. Hasilnya yaitu pada populasi Asia, genotip FokI ff menunjukkan hubungan yang positip dengan terjadinya TB (OR 2.0, 95% CI 1.3-3.2) dan genotip BsmI bb berhubungan terbalik dengan terjadinya TB (OR 0.5, 95% CI 0.4-0.8). Tidak satupun dari polimorfisme gen Reseptor Vitamin D ini berhubungan secara signifikan dengan terjadinya TB pada populasi Afrika dan Amerika Selatan.
48
49 2.10. Kerangka Teori Mycobacterium tuberculosis Kadar vitamin D dalam serum
Makrofag CYP 27b1 1,25 D (bentuk aktif vitamin D) 1,25 + VDR → VDR + RXR VDR VDR+RXR+VD RECathelicidin Polimorfismegen gen Polimorfisme VDR
(LL37)
Keterangan:
MHC Kelas I →
Lysis sel yang terinfeksi Apoptosis sel yang terinfeksi
IL 12 MHC Kelas TNFα, II → IFNγ ROI RNI
Merokok
Baktersidal
Faktor kuman Gen Diabetes Penyakit berat : ginjal, liver Konsumsi kostikoteroid,
TNFα, IFN γ
IL 12
Fagosom Sakit
TNFα, IFNγ
Sel NK
Alkohol
Sehat
Fagolisosom Genetik
Merokok, Malnutrisi Sosio ekonomi Imunosupresive :
Gen-gen l i
Enzim hidrolitik Gambar 2.9. Kerangka Teori Lingkungan asam Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti
Variabel bebas (independen)
: - polimorfisme gen Reseptor Vitamin D
Variabel tergantung (dependen) : - Sakit TB paru
2.11. Hipotesis Penelitian 1. Polimorfisme FokI gen Reseptor Vitamin D berpengaruh terhadap kerentanan terjadinya tuberkulosis paru suku Batak. 2. Polimorfisme BsmI gen Reseptor Vitamin D berpengaruh terhadap kerentanan terjadinya tuberkulosis paru suku Batak.
49
50 2.12. Kerangka Konsep Variabel bebas
Variabel tergantung
Polimorfisme FokI Gen Reseptor Vitamin D
TB Paru
Polimorfisme BsmI Gen Reseptor Vitamin D
Variabel perancu yang di k kl i Gangguan pejamu • HIV/AIDS
Variabel perancu yang dimatching Faktor Pejamu - Usia - Jenis kelamin - Etnik
Variabel perancu yang dikontrol dengan analisis Kebiasaan - Merokok - Konsumsi alkohol
imunitas
• Diabetes Melitus • Penyakit berat lain : liver, ginjal, dsb • Konsumsi steroid & sedang kemoterapi
Gambar 2.10. Kerangka Konsep Kuman M. tuberculosis masuk ke saluran nafas melalui inhalasi droplet dan jika sistem pertahan pada saluran nafas tidak dapat menghalanginya maka kuman mencapai alveoli. Terdapat makrofag dan sel dendritik di alveoli yang merupakan pertahanan pertama menghadapi kuman M. tuberculosis melalui ikatan antara M. tuberculosis pada receptor makrofag dan sel dendritik. Hal ini menginduksi aktivasi faktor transkripsi nukleus (NF-κB) dan produksi sitokin proinflamatori seperti IL-12. Kemudian
mikroorganisme
difagosit
oleh
makrofag,
terjadi
fusi
fagolisosom dan proses penghancuran dan pembunuhan kuman dengan cara pembentukan reactive oxygen intermediate (ROI), reactive nitrogen intermediate (RNI), lingkungan asam dalam lisosom dan enzim hidrolitik.
50
51 Mekanisme respon imun spesifik antigen merupakan interaksi antara sel limfosit dan antigen presenting cell yaitu dendritik dan makrofag yang akan mempresentasikan protein kuman dalam bentuk peptida kepada sel limfosit T. Ini menimbulkan respon imun selular. Antigen dipresentasikan kepada sel limfosit T melalui 2 jalur yaitu kepada sel limfosit T helper 1 CD4 melalui MHC kelas II dan kepada sel limfosit T helper 1 CD8 melalui MHC kelas I. Fungsi utama sel CD4 dan CD8 adalah produksi sitokin termasuk IFN-γ yang mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan basil. Sel Th1 CD8 mampu melisiskan sel yang terinfeksi dan mengurangi jumlah bakteri intraselular . Efek imunitas vitamin D terhadap infeksi TB diawali dengan stimulasi M. tuberculosis terhadap makrofag melalui reseptornya, toll-like receptor. Sinyal tersebut mengaktifkan ekspresi reseptor vitamin D dan 25-hidroksivitamin D-1α-hidroksilase (1-OHase) sehingga mengubah 25(OH)D menjadi bentuk aktifnya, yaitu 1,25 dihidroksivitamin D [1,25(OH)2D]. Kemudian 1,25(OH)2D memasuki inti sel, meningkatkan ekspresi cathelicidin, suatu peptida yang mampu meningkatkan imunitas non spesifik dan bersifat bakterisidal terhadap M. tuberculosis. Sakit atau tidaknya seorang yang terinfeksi kuman M. tuberculosis ditentukan oleh banyak faktor. Faktor tersebut dapat berasal dari faktor kuman, lingkungan dan pejamu seperti adanya penyakit yang menurunkan daya tahan tubuh seperti umur, DM, HIV/AIDS, kanker dan penyakit berat lainnya, malnutrisi, sosioekonomi, pemakaian obat imunosupresive, kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol dan faktor genetik.
51
52 Pada penelitian ini usia, jenis kelamin dan etnik antara kelompok kasus dan kontrol disepadankan. Faktor perancu menderita HIV / AIDS, diabetes mellitus dan penyakit berat lainnya serta sedang mengkonsumsi obat bersifat imunosupresive dieksklusi. Faktor perancu konsumsi alkohol dan merokok yang dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi M. tuberculosis, antara lain dengan cara menurunkan kemampuan makrofag, dikendalikan dengan analisis statistik. Peran genetik dalam penelitian ini dikaitkan dengan adanya gen tertentu pada seseorang yang membuat orang tersebut lebih rentan terhadap TB paru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah gen VDR polimorfisme FokI dan BsmI berperan terhadap kerentanan seseorang terhadap TB paru, sehingga orang tersebut mempunyai risiko lebih tinggi untuk menjadi sakit TB paru dibandingkan orang lain.
52