BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam detik atau menit). Gejala-gejala ini berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian (Ginsberg, 2007). Stroke masih merupakan masalah kesehatan yang utama. Di dunia, stroke merupakan penyebab kematian kedua, sedangkan di United States, stroke merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Sekitar 795.000 orang di USA mengalami stroke setiap tahunnya, sekitar 610.000 mengalami serangan stroke yang pertama dan 185.000 merupakan stroke yang berulang. Stroke juga merupakan penyebab 134.000 kematian pertahun (Goldstein dkk., 2011). Stroke menjadi semakin penting, karena bukan hanya menjadi masalah bagi negara-negara maju tetapi juga bagi negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Berdasarkan data World Health Organization (2014) stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan yang utama di Indonesia. Pada tahun 2012 terdapat 328.500 kematian akibat stroke di Indonesia. Laporan ini sejalan dengan Hasil Riset Kesehatan Dasar yang menunjukkan terjadi peningkatan
1
2
prevalensi stroke di Indonesia dari 8,3 per1000 penduduk di tahun 2007 menjadi 12,1 per1000 penduduk di tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Sumatera Barat sebagai salah satu provinsi di Indonesia menempati urutan ke 10 prevalensi stroke tertinggi di Indonesia. Prevalensi stroke di Sumatera Barat sebesar 7,4 per mil (Riskesdas, 2013). Cukup tingginya angka prevalensi stroke di Sumatera Barat menjadi perhatian pemerintah, dengan didirikannya Rumah Sakit Stroke Nasional (RSSN) di Bukittinggi. Stroke dapat memberikan gejala sisa atau dampak lanjut. Bagi penderita stroke yang telah selesai menjalani perawatan di rumah sakit, pencegahan serangan stroke berulang dan penanganan gejala sisa adalah hal yang utama. Berbagai dampak pasca stroke adalah depresi, kepikunan, gangguan gerak dalam melakukan aktivitas sehari-hari, nyeri, epilepsi, tulang keropos, dan gangguan menelan (Pinzon & Asanti, 2010). Depresi adalah suatu gangguan perasaan hati dengan ciri sedih, merasa sendirian, rendah diri, putus asa, biasanya disertai tanda-tanda retardasi psikomotor atau kadang-kadang agitasi, menarik diri dan terdapat gangguan vegetatif seperti insomnia dan anoreksia (Kaplan dkk, 2010). Depresi sering terjadi pada pasien pasca-stroke, karena saat terjadi iskemik pada otak, ada beberapa ketidakmampuan melakukan fungsi-fungsi fisik dalam melakukan ADL, seperti menggerakkan anggota tubuh bagian tertentu, sehingga pasien
3
merasa tidak mampu dan tidak berdaya sehingga terjadinya depresi (Ratnasari, 2012).
Penurunan
kemampuan
fungsi
mobilisasi
dan
perawatan
diri
memunculkan rasa frustasi dan kemarahan terhadap diri sendiri yang mengakibatkan penurunan harga diri, sehingga pada awal serangan penderita stroke cenderung memiliki harga diri rendah (Rahmawati, 2010). Prevalensi depresi pada pasien pasca stroke cukup tinggi berkisar antara 2550%, tergantung dari seleksi penderita, kriteria diagnostik yang digunakan dan lamanya waktu pemeriksaan ulang berikutnya (follow-up) setelah terjadinya serangan stroke (Andri & Susanto, 2008). Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Jiwa Indonesia menyatakan bahwa insiden depresi pasca stroke berkisar 11-68% pada 3-6 bulan pasca stroke dan tetap tinggi sampai 1-3 tahun kemudian (Gumilan, 2013). Sedangkan angka kejadian depresi pasca stroke di RSSN Bukittinggi sebesar 61,5% (Hayulita, 2014). Penyebab terjadinya depresi pasca stroke adalah faktor neurobiologik dan psikologik. Faktor neurobiologik adalah kerusakan anatomik dan vaskularisasi di otak yang menyebabkan ketidakseimbangan neurotransmitter (uptake dan reuptake, hiper dan hipoaktivasi neurotransmitter akibat infark jaringan otak) yang langsung menyebabkan gangguan perilaku dan emosional (depresi). Sedangkan faktor psikologik adalah stressor yang bersifat “Kehilangan” (loss of love objeck). Kehilangan kegagahan, kebebasan gerak, kemandirian, aktivitas yang memuaskan
4
dan menggembirakan, kewibawaan, daya pikir, dan keterampilan teknis (Wicaksana, 2008) Berdasarkan hasil penelitian Hayulita (2014) faktor-faktor yang menyebabkan depresi pada pasien pasca-stroke adalah dukungan keluarga yang tidak baik, lama menderita stroke ≥ 6 bulan, disertai penyakit penyerta, pendidikan rendah, usia lansia, mengalami penurunan fungsi kognitif, mengalami gangguan fungsional. Serta penelitian Haghgoo et al (2013) menyatakan keterbatasan dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari /ADL (Activity of Daily Living) juga menyebabkan depresi pada pasien pasca stroke. ADL adalah fungsi dan aktivitas individu yang normalnya dilakukan tanpa bantuan orang lain. ADL pasca stroke merupakan masalah yang menarik perhatian para professional kesehatan. Menurut (Smeltzer & Bare, 2002) terdapat kira-kira 2 juta orang bertahan hidup dari stroke yang mempunyai kecacatan, dari angka ini 40% memerlukan bantuan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Hal ini didukung oleh penelitian Haghggo et al (2013), menemukan sekitar 65,5% penderita stroke ketergantungan dan membutuhkan bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan aktivitas kehidupan sehari-hari. Gangguan fungsi motorik berupa kelumpuhan satu sisi tubuh. Ini merupakan salah satu akibat stroke yang paling sering terjadi, kejadian kelumpuhan fungsi motorik diperkirakan 80%. Kelumpuhan biasanya terjadi di sisi yang berlawanan dari letak lesi di otak,
5
karena adanya pengaturan representasi silang oleh otak. Gangguan lainnya berupa gangguan penglihatan, afasia, gangguan persepsi. Stroke merupakan penyakit yang harus mendapat perhatian penting. Sebab apabila sudah terkena, penyakit ini bisa membuat penderita sangat tergantung kepada orang lain, terutama keluarga. Setiap pekerjaan, mulai dari makan, mandi, berpakaian, dan sebagainya, tidak bisa dikerjakan sendiri dikarenakan gangguan fungsi motorik akibat stroke. Tetapi tidak semua pasien yang bisa mendapatkan bantuan atau dukungan dari keluarga, dikarenakan kurangnya pengetahuan keluarga dan waktu yang tersita untuk mengurus pasien dikarenakan anggota keluarga juga perlu bekerja. Karena itu penerimaan keluarga terhadap pasien menjadi sangat penting, semakin besar keterlibatan keluarga semakin besar juga peluang pasien untuk cepat sembuh (Sutrisno, 2007). Dukungan keluarga sangat penting untuk menjaga dan memaksimalkan penyembuhan dan pemulihan fisik dan kognitif pasien (Wurtiningsih, 2012). Berdasarkan penelitian Primasari (2011) menyatakan bahwa dukungan keluarga bagi penderita stroke dapat meningkatkan perasaan optimis dalam menghadapi kehidupannya saat ini dan di masa mendatang dan lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya atau aktivitas kehidupan sehari-harinya. Keluarga merupakan sistem pendukung utama pemberi pelayanan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) anggota keluarga. Dukungan keluarga merupakan sesuatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat
6
dipercaya, sehingga seseorang akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai dan mencintainya (Setiadi, 2008). Rumah Sakit Stroke Nasional (RSSN) Bukittinggi merupakan satu-satunya Rumah Sakit rujukan khusus penyakit stroke di Sumatera Barat. Berdasarkan data dari RSSN Bukittinggi pada tahun 2016 didapatkan bahwa pasien stroke yang melakukan rawat jalan di poliklinik RSSN Bukittinggi pada tahun 2014 adalah 1.478 orang dengan rata-rata kunjungan perbulan 123 orang. Sedangkan pada tahun 2015 yang melakukan rawat jalan sekitar 1.570 orang dengan rata-rata kunjungan perbulan 130 orang. Data tersebut menunjukkan peningkatan kunjungan penderita stroke di poliklinik RSSN Bukittinggi (Medical Record RSSN Bukittinggi, 2016). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Poliklinik RSSN Bukittinggi terhadap 10 orang pasien pasca stroke yang melakukan rawat jalan dengan melakukan wawancara
menggunakan kuesioner aktivitas sehari-hari,
dukungan keluarga dan kuesioner depresi, didapatkan hasil berupa 3 dari 10 orang mengalami ketergantungan total dimana pasien tergantung dalam aktivitas berjalan, tidur ke duduk, toileting, mandi, makan, berpakaian, naik turun tangga. 5 dari 10 orang mengalami ketergantungan sebagian dimana tergantung dalam aktivitas maka, mandi, berjalan tidak mampu, naik turun tangga, tidur ke duduk. 2 dari 10 orang mandiri dalam melakukan aktivitas sehari-harinya.
7
Sebanyak 5 dari 10 orang mendapatkan dukungan keluarga yang tinggi dari keluarga dimana
keluarga mendukung dalam hal emosional, instrumental,
dukungan penghargaan, dan informasi. 2 dari 10 orang mendapatkan dukungan keluarga sedang dimana keluarga jarang menanyakan keluhan yang dirasakan pasien, keluarga jarang melibatkan pasien dalam musyawarah keluarga, keluarga jarang mendengarkan saran yang diberikan pasien, keluarga membiarkan pasien untuk memakan apa saja yang disukai, keluarga jarang menjelaskan pentingnya makan sayuran untuk kesehatan, keluarga tidak pernah mengingatkan untuk mengontrol berat badan,, keluarga jarang untuk menemani untuk berolahraga. 3 dari 10 orang mendapatkan dukungan keluarga rendah dimana keluarga keluarga tidak pernah mengingatkan untuk berolahraga setiap hari, keluarga jarang mengetahui jadwal pemeriksaan pasien, keluarga tidak melibatkan dalam musyawarah keluarga, keluarga jarang mendengarkan saran yang diberikan oleh pasien, keluarga jarang mengajak pasien apabila ada acara keluarga diluar rumah, keluarga tidak pernah menjelaskan pentingnya makan sayur dan buah untuk kesehatan, keluarga tidak pernah menjelaskan pentingnya olahraga teratur, keluarga jarang menyediakan makanan khusus rendah garam. Sebanyak 8 dari 10 orang mengalami depresi dimana pasien jarang menghilangkan sedih meskipun keluarga dan teman-teman ikut menghibur, sangat jarang merasa hidup pasien sama baiknya dengan orang lain, agak sering merasa sedih, sering menangis, sangat jarang merasa bahagia, sering merasa
8
tertekan, sering merasa hidup telah gagal, agak sering sedikit bicara, sangat jarang menikmati hidup, hampi setiap waktu sulit memulai sesuatu. 2 dari 10 orang tidak mengaalami depresi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu “Apakah ada Hubungan kemampuan Activity of Daily Living dan Dukungan Keluarga dengan Depresi pada Pasien Pasca Stroke di Poliklinik Neurologi Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi Tahun 2016?” C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kemampuan Activity of Daily Living dan dukungan keluarga dengan depresi pada pasien pasca stroke di Poliklinik Neurologi Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi Tahun 2016. 2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi distribusi frekuensi karakteristik pasien pasca stroke di Poliklinik Neurologi Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi Tahun 2016
9
b. Mengidentifikasi distribusi frekuensi kemampuan Activity of Daily Living pada pasien pasca stroke di Poliklinik Neurologi Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi Tahun 2016 c. Mengidentifikasi distribusi frekuensi dukungan keluarga pada pasien pasca stroke di Poliklinik Neurologi Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi Tahun 2016 d. Mengidentifikasi distribusi frekuensi depresi pada pasien pasca stroke di Poliklinik Neurologi Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi Tahun 2016 e. Mengidentifikasi hubungan kemampuan Activity of Daily Living dengan depresi pada pasien pasca stroke di Poliklinik Neurologi Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi Tahun 2016 f. Mengidentifikasi hubungan Dukungan Keluarga dengan depresi pada pasien pasca stroke di Poliklinik Neurologi Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi Tahun 2016 D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Profesi Keperawatan Sebagai tambahan pengetahuan untuk dunia keperawatan, agar perawat mengetahui hubungan kemampuan Activity of Daily Living dan dukungan keluarga dengan depresi pada pasien pasca stroke .
10
2. Bagi Institusi Pendidikan Diharapkan penelitian ini menjadi bahan literatur dalam konsep perawatan pasien pasca stroke. 3. Bagi peneliti selanjutnya Penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman untuk penelitian selanjutnya pada perawatan penyakit stroke dengan sudut pandang yang berbeda dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan.