BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis 2.1.1
Pengertian Tuberkulosis Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
basil Mycobacterium tuberculosis (Kumar & Clark, 2012). Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang telah lama dikenal dan sampai saat ini masih menjadi penyebab utama kematian didunia (Saptawati, 2012). Sebagian besar kuman TB menyerang paru atau disebut TB paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya yang disebut TB ekstra paru seperti organ pleura, kelenjar lymphe, tulang, dll, jika tidak dilakukan pengobatan atau pengobatannya tidak adekuat, akan terjadi penyakit kronik dan menyebabkan kematian. Penyakit ini ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan terinfeksi (Prasenohadi, 2012, Adiatama, 2008 dan PDPI, 2006). 2.1.2 Etiologi Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis complex (MTb), yang terdiri dari empat spesies utama yaitu Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium microti. Bakteri ini berbentuk batang, dengan ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um. Sebagian besar bakteri terdiri dari asam lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinomanan. Lipid ini yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam, sehingga disebut sebagai bakteri tahan asam (BTA). Bakteri ini dapat hidup pada udara yang kering maupun basah karena Mycobacterium tuberculosis complex (MTb) mempunyai sifat dormant. Karena sifat dormant itu bisa menghidupkan bakteri yang sudah inaktif menjadi aktif (Lawrence Green, 2010).
9
Gambar 2. Gambaran bakteri Mycobakterium tuberkulosis 2.1.3 Faktor predisposisi Menurut Achmad (2011), Faktor predisposisi itu sangat penting sekali dalam menentukan diagnosis atau analisis perilaku sebelum tindakan intervensi. Pada penyakit TB Paru sudah dibuktikan secara ilmiah, terbagi 2 faktor : 1. Faktor internal Faktor genetik (ras negroid lebih sensitif terhadap TBC dari pada ras kaukasoid), jenis kelamin laki-laki resiko nya lebih tinggi daripada wanita, sistem imun menurun, usia, daerah tropis. 2. Faktor eksternal Lingkungan yang memudahkan terjadinya suatu penyakit, seperti : pajanan droplet dari orang lain, kebiasaaan merokok, pencahayaan yang kurang resikonya 9 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang pencahayaanya tidak memenuhi syarat kesehatan, ventilasi rumah yang tidak memadai Risiko untuk menderita TBC paru 5 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang ventilasi rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan. Penyakit TB paru akan mudah menular pada kondisi rumah dengan tingkat kelembaban tinggi dan kondisi ventilasi yang kurang memudahkan terjadinya pertukaran udara dalam rumah. (Lawrence Green, 2010)
10
2.1.4
Patogenesis dan cara penularan tuberkulosis paru Penularan tuberkulosis paru terjadi karena bakteri dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel tersebut dapat menetap di udara bebas selama 1-2 jam, yang bergantung pada kelembaban, ada tidaknya sinar ultraviolet dan ventilasi yang buruk. Pada suasana yang lembab dan gelap bakteri dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Pada saat partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, partikel tersebut akan menempel pada jalan pernafasan atau paru-paru. Bakteri pertama kali akan dihadapi oleh sel neutrofil, kemudian setelah itu oleh makrofag. Partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari cabang trakeo-bronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Akan tetapi ada beberapa bakteri yang masih tertinggal dan tidak dibersihkan oleh makrofag. Bila bakteri ini menetap di jaringan paru, bakteri tersebut akan berkembang biak di dalam sitoplasma makrofag. Bakteri ini bisa terbawa masuk ke bagian organ tubuh lainnya. Pada saat bakteri ini bersarang di jaringan paru-paru, bakteri ini akan membentuk sarang tuberkulosis yang disebut sebagai sarang primer atau afek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian paru-paru. Selain itu, bakteri juga dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, orofaring, jaringan limfe dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal dan tulang (Alsagaff & Mukty, 2006; Kumar & Clark, 2012). Tuberkulosis primer merupakan proses perjalanan masuknya kuman tuberkulosis melalui saluran napas yang akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, disebut sarang primer. Tuberkulosis primer bisa berlanjut menjadi tuberkulosis post-primer. Sarang primer akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut : 1) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat 2) Sembuh dengan meninggalkan cacat sedikit bekas (antara lain sarang ghon, garis fibrotik dll)
11
3) Menyebar dengan cara perkontanium, bronkagen, hematogen dan limfogen. Bakteri yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis postprimer, atau tuberkulosis sekunder). Tuberkulosis post-primer terjadi karena imunitas menurun seperti pada orang malnutrisi, peminum alkohol, penyakit maligna, penderita diabetes, AIDS dan gagal ginjal. Tuberkulosis post-primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yaitu suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel Datia-Langhans (sel-sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan bermacam-macam jaringan ikat (Kumar & Clark, 2012).
Gambar 3. Skema Perjalanan Penyakit Tuberkulosis primer
12
2.1.5
Diagnosis Tuberkulosis Paru Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006), Diagnosis Tuberkulosis
Paru dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. 1. Gejala Klinis Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala lokalis dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru-paru maka gejala lokal adalah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat). Jika organ yang terkena di luar jaringan paru-paru maka gejala lokal bisa disebut sebagai gejala ekstra paru. a. Gejala Respiratorik Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, mulai dari tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus dan sering muncul ≥2minggu yang merupakan awalan dari patognomonik tuberkulosis Paru. Gejala respiratorik terdiri dari beberapa gejala yaitu: 1) Batuk ≥ 2 minggu 2) Batuk berdahak 3) Batuk darah 4) Nyeri dada 5) Wheezing 6) Dipsneu
13
b. Gejala Sistemik Gejala sistemik yang paling sering terjadi adalah demam, suhu badan meningkat >37,1oC pada siang dan sore hari, semakin berkembang kuman tuberkulosis akan menyebabkan suhu semakin meningkat. Selain itu, gejala lain yang biasanya muncul adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun. c. Gejala Tuberkulosis Ekstra Paru Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung pada organ yang terlibat. Sebagai contoh pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak nafas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan (Longo et al, 2012) 2. Pemeriksaan Fisik Menurut
Perhimpunan
Dokter
Paru
Indonesia
(2006),
Pada
pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai bergantung pada organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya tidak atau sedikit ditemukan adanya kelainan. Kelainan pada paru-paru umumnya terletak di daerah lobus superior terutama pada daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial, amforik, suara nafas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
14
Gambar 4. Gambar Paru: apeks lobus superior dan apeks lobus inferior Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006 3. Pemeriksaan Bakteriologi Menurut heppe et al (2011), Pemeriksaan bakteriologi merupakan hal yang sangat penting untuk mendiagnosis tuberkulosis. Pemeriksaan bakteriologi bertujuan untuk menemukan bakteri tuberkulosis. Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu: A. Pemeriksaan Mikroskopik Pemeriksaan
mikroskopik
mempunyai
dua
cara
yaitu
pemeriksaan mikroskopik biasa dan mikroskopik fluoresens. Pada pemeriksaan mikroskopik biasa, menggunakan pewarnaan ZiehlNielsen sedangkan pada pemeriksaan mikroskopik fluoresens menggunakan pewarnaan auramin-rhodamin. Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila: a) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif = BTA positif. b) 1 kali positif, 2 kali negatif = ulang BTA 3 kali.
15
c) Jika dari hasil pengulangan 1 kali positif, 2 kali negatif = BTA positif. d) Jika dari hasil pengulangan 3 kali negatif = BTA negatif. Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) yang merupakan rekomendasi dari WHO 2011, yaitu: a) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif. b) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan. c) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut + (1+). d) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+). e) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+). (Hepple et al, 2011; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006) B. Cara pengumpulan dan pemilihan bahan pemeriksaan Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006), Selain menggunakan spesimen dahak dapat menggunakan spesimen lain seperti cairan pleura, LCS, bilasan bronkus maupun bilasan lambung. Caranya dengan menggumpulkan 3 spesimen yang dikumpulkan
2x
kunjungan
secara
berturut-turut
dengan
menggunakan metode sewaktu pagi sewaktu (SPS) yaitu : a) S (Sewaktu)
: Dahak sewaktu saat kunjungan
b) P (Pagi)
: Kesokan harinya
c) S (sewaktu)
: Pada saat mengantarkan pagi
Interpretasi hasil dari pemeriksaan sputum yang sudah dikumpulkan 3 kali pemeriksaan yaitu :
16
a) Ditemukan 2 – 3 spesimen terdapat BTA positif = penderita tuberkulosis paru b) Ditemukan 1 spesimen terdapat BTA positif = diperlukan pemeriksaan ulang sewaktu pagi sewaktu (SPS). Jika hasilnya masih sama diperlukan pemeriksaan rontgen. c) Ditemukan 3 spesimen terdapat BTA negatif = diberikan obat antibiotik spektrum luas selama 2 minggu kemudian dilakukan pemeriksaan SPS dan dilakukan rontgen. C. Pemeriksaan Biakan Pemeriksaan
biakan
Mycobacterium
tuberculosis
bisa
menggunakan 2 cara yaitu menggunakan media agar atau media berbasis telur. Jika menggunakan media agar, maka media yang bisa digunakan adalah Middle brook, sedangkan jika menggunakan media berbasis telur bisa digunakan Lowenstein-Jensen. Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan
beberapa
cara,
baik
dengan
melihat
cepatnya
pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul (Hepple et a, 2011). 4. Pemeriksaan Radiologi Menurut Kumar&Clark (2012), Pemeriksaan radiologi standar pada tuberkulosis paru adalah foto thorax PA. selain itu ada pemeriksaan lain berdasarkan indikasi seperti foto lateral, toplordotik, oblik, CT scan. Pada
17
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacammacam bentuk. Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi aktif adalah: A. Bayangan berawan/ noduler di segmen apikal dan posterior lobus atas paru-paru dan segmen superior lobus bawah. B. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular. C. Bayangan bercak milier. D. Efusi pleura unilateral atau bilateral. Menurut Kumar&Clark (2012) dan PDPI (2006), Selain itu ada juga gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi tuberkulosis infaktif. Yang termasuk lesi inaktif yaitu: A. Fibrotik. B. Kalsifikasi C. Schwarte atau penebalan pleura.
Gambar 5. Gambaran Radiologi pasien Tuberkulosis Paru 5. Pemeriksaan Khusus Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara
18
konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat yaitu (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006): A. Pemeriksaan BACTEC Dasar
teknik
pemeriksaan
dengan
BACTEC
adalah
metode
radiometrik. Mycobacterium tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan 02 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan. Bentuk lain teknik ini adalah dengan menggunakan Mycobacteria Growth Indicator Tube (Frazier & Drzymkowski, 2009; Longo et al, 2012). B. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA Mycobacterium tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang ke arah diagnosis tuberkulosis, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan diagnosis tuberkulosis (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006). C. Pemeriksaan Serologi Pada pemeriksaan serologi bisa dilakukan dengan berbagai metode. Metode-metode yang bisa digunakan dalam pemeriksaan serologi yaitu (Kumar & Clark, 2012; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006):
19
1) Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respons humoral berupa proses antigen-antobodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama (Kumar & Clark, 2012; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006). 2) ICT Uji immunochromatographic tuberkulosis (ICT tuberkulosis) adalah uji serologi untuk mendeteksi antibodi Mycobacterium tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik tuberkulosis yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma Mycobacterium tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum
mengandung
antibodi
IgG
terhadap
Mycobacterium
tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran (Diansyah, 2010; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006). D. Pemeriksaan Penunjang lain 1) Analisis cairan pleura Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis mendukung untuk diagnosis tuberkulosis
20
2) Pemeriksaan histopatologi Pemeriksaan histologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB. Bahan jaringan diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu : -
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH)
-
Biopsi pleura (melalui toraskopi atau jarum abram, cope dan vee silverman)
-
Biopsi jaringan paru dengan bronkoskopi, trans oracal needle aspiration
3) Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin menunjukan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. Uji tuberkulin 4) Uji tuberkulin Uji tuberkulin (+) adalah uji yang dilakukan untuk mendeteksi M. tuberkulosis dan juga untuk mengukur pravelensi infeksi. Di indonesia uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit yang masih kurang adekuat untuk orang dewasa.
21
Gambar 6. Alur Diagnosis Tuberkulosis Paru pada Orang Dewasa 2.1.6
Penatalaksanaan Tuberkulosis Menurut Alsagaff dan mukty (2009), Untuk penatalaksanaan tuberkulosis paru perlu diketahui beberapa hal sebagai berikut: 1. Mekanisme Kerja Obat Anti Tuberkulosis (OAT) A. Aktivitas Bakterisidal Terhadap basil yang membelah cepat 1) Ekstraseluler Jenis obat yang bekerja ekstraseluler ialah rifampisin (RMP) dan streptomisin (SM). 2) Intraseluler
22
Jenis obat yang bekerja intraseluler adalah rifampisin dan isoniazid (INH). B. Aktivitas Sterilisasi Terhadap the persisters (basil semi-dormant) 1) Ekstraseluler Jenis obat yang dipergunakan ialah rifampisin isoniazid. 2) Intraseluler Untuk slowly growing bacilli dipergunakan rifampisin dan isoniazid. Untuk very slowly growing bacilli dipergunakan pirazinamid (PZA). 3) Aktivitas bakteriostatik Ekstraseluler adalah etambutol (EMB), para amino salisilik asid (PAS) dan sikloserine. Intraseluler, kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh INH dalam keadaan telah terjadi resistensi sekunder. 2. Faktor Metabolisme Basil Tuberkulosis Menurut Alsagaff dan Mukty (2006), terdapat empat jenis populasi basil tuberkulosis berdasarkan sifat metabolisme basil yaitu: A. Populasi A Merupakan populasi basil tuberkulosis yang berada di luar sel dan menunjukkan pertumbuhan yang aktif. Populasi basil ini dapat dimusnahkan dengan INH, RMP, SM, EMB, PAS. B. Populasi B Populasi basil tuberkulosis yang berada di luar sel dan sebagian besar hidupnya dalam keadaan dormant yang sewaktu-waktu populasi ini dapat
23
tumbuh aktif dalam waktu pendek, lebih kurang 1 jam. Selama masa pertumbuhan, basil dalam populasi ini dapat dibunuh dengan RMP (Alsagaff & Mukty, 2006). C. Populasi C Populasi ini sebagian besar berada di dalam sel dan dalam lingkungan pH asam. Pertumbuhan basil ini dapat lambat atau lambat sekali. Populasi basil ini dapat dimusnahkan oleh OAT yang dapat masuk sel dan bekerja pada lingkungan asam yaitu PZA dan RMP. Sedangkan INH kurang berkhasiat pada lingkungan ini. Basil pada populasi ini tergolong basil yang semidormant (the persister). PZA efektif untuk basil semi-dormant yang membelah sangat lambat dan tidak teratur, di intra sel (Alsagaff & Mukty, 2006). D. Populasi D Dimasukkan ke dalam kelompok ini adalah basil tuberkulosis yang hidup di dalam sel dan berada dalam ke keadaan fully dormant. Populasi basil tuberkulosis ini tidak dapat dimusnahkan oleh obat anti tuberkulosis apapun (Alsagaff & Mukty, 2006). 3. Pengobatan Jangka Pendek Komite pengobatan dari “International Union Against Tuberculosis and Lung Disease” (IuAT-LD) telah memberi rekomendasi untuk pengobatan tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstrapulmoner pada penderita dewasa dan anak. Mengingat kerja OAT satu sama lain berbeda dalam: A. Efek bakterisidal yaitu kemampuan untuk membunuh kuman tuberkulosis secara cepat (active metabolism bacilli). Kebanyakan OAT mempunyai sifat bakterisidal, kecuali thiacetazone dan PAS. INH merupakan obat bakterisidal yang poten. INH dapat membunuh 90% populasi basil pada
24
permulaan pengobatan. RMP juga merupakan obat bakterisidal yang penting. Sedang SM dan PZA memberi potensi bakterisidal paling kecil. B. Efek sterisilasi yaitu kemampuan untuk membunuh populasi khusus kuman tuberkulosis (slowly/intermittent/semidormant bacilli dan the persisters). RMP dan PZA adalah OAT dengan efek sterilisasi yang tinggi oleh karena mempunyai kemampuan untuk membunuh kuman yang semi-dormant dan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan efek bakterisidal dari INH. Pemakaian obat ini dapat menurunkan kekambuhan dari tuberkulosis yang telah selesai mendapat pengobatan. Untuk mencapai efek sterilisasi yang maksimal maka PZA dapat diberikan dalam jangka 2 bulan pertama, sedangkan RMP diberikan selama 6 bulan. C. Kemampuan
untuk
mencegah
acquired
resistance
dari
kuman
tuberkulosis dengan cara menekan mutan-mutan yang resisten. D. Pemakaian secara berkala INH dan RMP merupakan obat yang paling efektif untuk mencegah acquired resistance. Dalam hal ini mencegah mutan yang resisten, SM dan EMB kemampuan lebih kecil bila dibanding INH dan RMP. INH, RMP, PZA, SM dan EMB semuanya efektif bila diberikan secara berkala (3 atau 2 kali seminggu), sedangkan thiacetazone lebih efektif bila diberikan setiap hari. 4. Regimen Pengobatan A. Ditinjau Dari Sudut Penderita 1) Penderita Baru Untuk penderita tuberkulosis yang baru diagnosa, bila mungkin diberikan OAT yang mempunyai efek sterilisasi dan sekaligus mempunyai efek dapat mencegah pertumbuhan kuman-kuman resisten seperti, isoniazid (H), rifamfisin (R) dan pirazinamid (Z)
25
(Crofton, 2011). INH dan RMP harus diberikan setiap hari selama 6 bulan dan PZA diberikan pada 2 bulan pertama (8 minggu) (Price &Wilson, 2006). 2 HRZ/ 4 HR Atau INH, RMP dan PZA diberikan setiap hari selama 2 bulan dan diikuti dengan pemberian INH dan RMP secara berkala 2 atau 3 kali/seminggu selama 4 bulan (Chen et al., 2011). 2 HRZ/4 H2 R2 atau 2 HRZ/4 H3 R3 Tetapi pengobatan seperti ini harus disertai dengan supervisi yang ketat. Pengobatan OAT dengan supervisi yang ketat dapat pula diberikan secara berkala sejak permulaan pengobatan dengan menambahkan streptomisin (S) atau etambutol (E), sehingga menjadi: 2E3 H3 R3 Z3/4 H3 R3 2S3 H3 R3 Z3/4 H3 R3 2) Populasi dengan initial drug resistance yang tinggi Populasi dengan initial drug resistance yang tinggi atau pada populasi yang akan kemungkinan resisten terhadap INH, maka perlu ditambah obat ke-4 pada fase permulaan dari pengobatan. Etambutol merupakan obat pilihan, oleh karena initialresistance terhadap EMB sangat jarang. Streptomisin dapat dipakai pada populasi tertentu dengan harapan dapat meningkatkan compliance pengobatan (Marcelo et al., 2011). Bila khemoterapi tidak dapat diberikan secara optimal, maka dapat menggunakan salah satu regimen alternatif di bawah ini. Namun perlu diingat salah satu regimen ini mengandung kombinasikombinasi obat yang kurang poten dibandingkan regimen yang dianjurkan (2 HRZ/4 HR) dan harus diberikan lebih dari 6 bulan.
26
2 SHRZ/6 HT Streptomisin, INH, rafampisin dan pirazinamid diberikan setiap hari selama 2 bulan dan dilanjutkan dengan INH dan thiacetazone setiap hari selama 6 bulan. 2 SHRZ/6 S2 H2 Z2 Streptomisin, INH rifampisin, pirazinamid diberikan setiap hari selama 2 bulan dan dilanjutkan dengan streptomisin, INH, pirazinamid 2 kali seminggu selama 6 bulan. 2 SHR/7 HR, 2 HER/7 HR atau 9 HR Disini penting diperhatikan level resistensi dari INH. 2 SHT/10 HT, 2 SHE/10 HE atau 2 SHP/10 HP 2 SHT/10 S2 H2 atau 2 SHP/10 S2 H2 3) Penderita kambuh setelah pengobatan Pengobatan dengan 2 HRZ/4 HR yang dilakukan dengan teratur dan efektif, sangat jarang memberi kekambuhan. Bila terjadi kekambuhan setelah penderita mendapat pengobatan secara teratur seperti di atas atau pada acquired resistance, maka pengobatan dapat diulangi dengan supervisi yang ketat dan dalam jangka waktu 9-12 bulan. Pengobatan setiap hari diberikan selama 2 sampai 4 bulan pertama dengan kombinasi tiga obat yang masih sensitif dan belum pernah diberikan. Misalnya dengan memberi REZ atau SPZ. 4) Penderita yang gagal dengan pengobatan pertama kali Bila tidak ada perbaikan setelah mendapat pengobatan OAT yang teratur, kemungkinan oleh karena: a) Multiple Resistance b) Secara bakteriologis ada respon pada permulaan pengobatan, tetapi kemudian diikuti dengan kegagalan bakteriologis (fall and rise phenomena) oleh karena itu resistensi sekunder. Untuk
27
kejadian seperti ini, regimen pengobatan harus diganti dengan regimen lain yang tidak resisten terhadap basil tuberkulosis dan bila mungkin penderita diobati sampai 12 bulan. Sejak BTA dalam sputum negatif, dengan memakai tiga obat setiap hari dalam jangka waktu 3-4 bulan pertama (yang belum pernah diberikan sebelumnya): RMP-EMB – PZA atau SM – PAS – PZA. Obat lain seperti etambutol atau prothinamid, sikloserin, thiacetazone
atau
kenamisin
dan
kapreomisin
dapat
dipertimbangkan untuk diberikan (Alsagaff & Mukty, 2006). B. Ditinjau Dari Sudut Kombinasi Obat 1) Pengobatan standar 6 bulan. 2 HRZ/4 HR 2) Variasi pengobatan standar 6 bulan a) Dilakukan supervisi ketat selama pengobatan berkala dengan pilihan regimen sebagai berikut: 2 HRZ/4 H3 R3 2 HRZ/4 H2 R2 2E3 H3 R3 Z3/4 H3 R3 2S3 H3 R3 Z3/4 H3 R3 b) Bila pada permulaan didapatkan resistensi yang tinggi, maka regimen yang dipakai adalah: 2 EHRZ/4 HR atau 2 SHRZ/4 HR Perlu ditambahkan etambutol atau streptomisin pada fase permulaan pengobatan, berdasarkan sifat E dan S yang telah dijelaskan. c) Alternatif lain untuk jangka pendek i. Memakai 4 OAT yang poten sehingga diperoleh kombinasi seperti di bawah ini:
28
2 SHRZ/6 HT atau 2 SHRZ/6 S2 H2 Z2 ii. OAT yang kurang poten atau tanpa fase awal dapat diberikan seperti regimen di bawah ini: 2 SHR/7 HR atau 2 SHT/10 HT 2 SHR/7 HR atau 2 SHP/10 HP 2 HR atau 2 SHP/10 S2 H2 2 SHE/10 HE d) Jangka waktu pengobatan 6 bulan Misal: INH + RMP (6HR) INH + EMB + PZA (6HR) INH + PZA + PAS (6 HZP) e) Jangka waktu pengobatan 6-12 bulan Misal: INH + EMB (12 HE) INH + PAS (12 HP) 5. Interaksi, Kontra Indikasi dan Problem Khusus A. INH Terjadi interaksi antara INH dengan phenytoin, karbamazepin dan ethosuksimid sehingga dosis-dosis tersebut harus diturunkan selama pengobatan, terutama pada penderita yaIng mempunyai tipe slow acetylators. B. Rifampisin Rifampisin
menginduksi
enzim
hepatik
mikrosom
sehingga
meningkatkan kerja enzim, dengan akibat menurunkan waktu paruh dan efisiensi beberapa obat, seperti kortikosteroid, digitalis, oral koumarin, anti koagulan, kontrasepsi oral, dapsone dan OAD (”Obat Anti Diabetes”) seperti golongan sulfonil urea dan bigunanid. Bila diberikan bersama rifampisin, dosis obat-obat tersebut harus ditingkatkan dua kali untuk memperoleh efek
29
yang sama. Untuk penderita diabetes melitus, tidak ada modifikasi khusus yang dianjurkan bagi obat anti tuberkulosis, tetapi rifampisin dapat mengadakan interaksi dengan OAT. Bila menggunakan rifampisin perlu penyesuaian dosis serta perlu dilakukan pemantauan sakar gula dalam darah. C. Pirazinamid Pirazinamid, jangan diberikan pada penderita Gout. Oleh karena metabolit primer dari pirazinamid yaitu asam pirazinoikmenghambat sekresi tubuler ginjal, sehingga meningkatkan asam urat yang selanjutnya dapat menimbulkan serangan Gout akut. D. Streptomisin Penggunaan
streptomisin
pada
bayi
dan
orang
tua
seringkali
menimbulkan intoksikasi. Bila sangat diperlukan, dianjurkan menggunakan dosis kecil. Kontraindikasi pemberian streptomisin adalah penderita dengan kelainan saraf VIII, kehamilan, miastenia gravis. Karena streptomisin merupakan neuromuscular blocker lemah dan pada penderita yang hipersensitif terhadap streptomisin. E. Etambutol Tidak diberikan pada anak karena toksin untuk mata. 1) Gangguan Fungsi Ginjal Pada penderta yang gangguan fungsi ginjal, obat anti tuberkulosis yang dianjurkan adalah INH, RMP, PZA dan diberikan dalam dosis normal. 2) Gangguan Fungsi Hati Pada penderita dengan gangguan fungsi hati perlu dilakukan pemantauan tes faal hati secara berkala selama pengobatan. Pengobatan Tuberkulosis dapat dilihat obat anti tuberkulosis disertai dosis setiap kali pemberian, aktivitas obat pada suasana asam atau basa dan aktif pada ekstraseluler atau intraseluler.
30
Tabel 1. Daftar Obat Anti Tuberkulosis, yang mempunyai sifat bakterisidal, sesuai dengan dosis pemakaian, aktivitas obat dan efek samping yang mungkin terjadi Dosis Harian
Dosis 2x smg
(mg/kg
(mg/kg
BB/hari)
BB/hari)
Nama Obat
Streptomisin (S) 15-25 (0,75-1 g)
25-30 (0,75-1 g)
Efek samping
Aktivitas
Toksik
Ekstraseluler
terhadap
aktif pada pH
nervus
netral atau
vestibular (N.
basah
VIII) Isoniazid (H)
5-11
15
Neuritis perifer
Ekstraseluler Intraseluler
Hepatoksik Rifampisin (R)
10
10
Hepatitis
Ekstraseluler
(450-600 mg)
(450-600 mg)
Nausea
Intraseluler
Vomiting Flu Like sydrome Pirazinamid (Z)
30-35
50
Hiperurisemia
(1,5-2 g)
(1,5-3 g)
Hepatotoksik
Aktif dalam suasana asam (intraseluler)
31
Tabel 2. Daftar Obat Anti Tuberkulosis, yang mempunyai sifat bakteriostatik, sesuai dengan dosis pemakaian, aktivitas kerja obat dan efek samping yang mungkin terjadi Dosis 2x
Dosis Harian
smg Nama Obat
(mg/kg
Efek samping
Aktivitas
(mg/kg BB/hari) Etambutol (E)
15-25
BB/hari) 50
(900-1200)
Neuritis
Intraseluler
Optik
Ekstraseluler
Skin rash
Menghambat timbulnya mutan resisten
Etionamid
15-30
-
(0,75-1 g)
Nausea Vomiting
Sama dengan atas
Hepatotoksik PAS (P)
150 (10-12 g) dibagi
-
Gastritis Hepatotoksik
Ekstraseluler
32
2.1.7
Program DOTS di Indonesia Directly observed treantment shortcouse (DOTS) adalah nama untuk strategi
yang dilaksanakan pada pelayanan kesehatan dasar di dunia untuk mendeteksi dan menyembukan pasien TB. Strategi ini terdiri dari lima komponen, yaitu: a. Dukungan politik para pemimpin wilayah dan di setiap jenjang sehingga program ini menjadi salah satu prioritas dan pendanaan pun akan tersedia b. Mikroskop sebagai komponen utama untuk mendiagnosa TB melalui pemeriksaan sputum langsung pasien tersangka TB c. Pengawa minum obat (PMO) yaitu orang yang dikenal dan dipercaya baik oleh pasien maupun petugas kesehatan yang akan ikut mengawasi pasien minum seluruh obatnya d. Pencatatan dan pelaporan dengan baik dan benar e. Panduan obat anti tuberkulosis (OAT) jangka pendek yang benar, termasuk dosis dan jangka waktu yang tepat (Depkes, 2011). 2.1.8 Pengawas Menelan Obat (PMO) Menurut Depkes (2011), Salah satu komponen Directly observed treantment shortcouse (DOTS) adalah pengawas minum obat. PMO adalah seseorang yang mengawasi penderita tuberkulosis paru selama masa pengobatan, untuk menjamin, mengawasi dan memastikan penderita tuberkulosis paru dalam minum obat dengan teratur dan benar benar sampai tuntas. 1. Persyaratan pengawas minum obat (PMO) a. Seseorang yang dikenal, dipercaya, dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien. b. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. c. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
33
d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien. Siapa yang bisa jadi PMO Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi, dan lainlain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. 2. Tugas seorang PMO, yaitu : a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. b. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur. c. Mengingkatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan. d. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unitpelayanan kesehatan. 3. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya: a. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan. b. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur. c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya. d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan). e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur. f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK.
34
2.2
Kerangka Teori Diagnosis : Penderita tuberkulosis paru
Faktor predisposisi : a. Internal (jenis kelamin, usia, daerah tropis) b. Eksternal (lingkungan, ventilasi rumah, lembab)
Faktor pendukung : a. Terapi OAT b. Peran PMO
a. Gejala klinik dan sistemik b. Pemeriksaan bakteriologis c. Radiologi
Peran PMO : a. Mengawasi pasien TB b. Memberi dorongan
minum obat c. Mengingkatkan untuk periksa ulang dahak d. Memberi penyuluhan
Kesembuhan penderita TB paru
Pencapaian kesembuhan TB paru
BTA negatif
35
2.3
Kerangka Konsep Variabel Independent
Variabel dependent
BTA + Dengan PMO
BTA -
Penderita tuberkulosis paru BTA + Tanpa PMO BTA -
Keterangan : : diteliti
2.4
Hipotesis “Ada pengaruh pengawas menelan obat (PMO) dan tanpa pengawas menelan
obat (PMO) terhadap kesembuhan pada penderita TB paru dewasa di puskesmas dengan tempat perawatan (DTP) Ciawi – Tasikmalaya pada tahun 2014”.