BAB I TINJAUAN PUSTAKA
1.1 DEFINISI PHLLEGMON Phlegmon merupakan infeksi dan peradangan serius jaringan ikat (selulitis) pada area di bawah lidah dan dagu. Penyakit ini termasuk dalam grup penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari gigi. Karakter spesifik yang membedakan Phlegmon dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua ruang submandibularis (sublingualis dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral), selanjutnya menuju kavitas oral dengan menembus lapisan kortikal vestibular dan periosteum dari tulang rahang.1 Fenomena ini biasanya terjadi di sekitar gigi penyebab infeksi, tetapi infeksi primer dapat meluas ke regio yang lebih jauh, karena adanya perlekatan otot atau jaringan lunak pada tulang rahang. Dalam hal ini, infeksi odontogenik dapat menyebar ke bagian bukal, fasial, dan subkutan servikal kemudian berkembangan menjadi phlegmon, yang apabila tidak segera ditangani akan mengakibatkan kematian. Selain itu infeksi odontogenik merupakan fokal infeksi yang dapat memyebabkan infeksi meluas melalui pembuluh darah dan pembuluh limfe menyebabkan metastase bakteri sekunder ke paru-paru, otak, hati, ginjal dan organ-organ lainnya. Phlegmon merupakan selulitis dengan lokasi tersering pada area gigi molar kedua dan molar ketiga rahang bawah melibatkan spasia submandibular, sublingual dan submental. Dalam kondisi ini, infeksi bakteri (biasanya streptokokus) yang berasal dari gigi rahang bawah, dimana apes gigi tersebut terletak dibawah musculus mylohyoid memiliki hubungan sangat dekat dengan spasia submandibular.
1.2 ETIOLOGI PHLEGMON
Dilaporkan sekitar 90% kasus phlegmon disebabkan oleh odontogen baik melalui infeksi dental primer, post-ekstraksi gigi maupun oral hygiene yang kurang.4 Selain itu, 95% kasus Phlegmon melibatkan ruang submandibular bilateral dan gangguan jalan nafas merupakan komplikasi paling berbahaya yang sering kali merenggut nyawa. Phlegmon atau Angina Ludwig berawal dari infeksi odontogenik, khususnya dari molar dua (M2) atau molar tiga (M3) bawah. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada tingkat otot mylohyoid dan abses di sini akan menyebar ke ruang submandibula Hal ini
mengakibatkan pentingnya mendapatkan konsultasi gigi untuk molar bawah ketiga pada tanda pertama sakit, perdarahan dari gusi, kepekaan terhadap panas/dingin atau adanya bengkak di sudut rahang.5 Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah juga menjadi penyebab odontogenik dari phlegmon. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada tingkat m.myohyloid, dan abses seperti perimandibular abses akan menyebar ke ruang submandibular. Disamping itu, perawatan gigi terakhir juga dapat menyebabkan phlegmon, antara lain: penyebaran organisme dari gangren pulpa ke jaringan periapikal saat dilakukan terapi endodontik, serta inokulasi Streptococcus yang berasal dari mulut dan tenggorokan ke lidah dan jaringan submandibular oleh manipulasi instrumen saat perawatan gigi.4 Ada juga penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain sialadenitis kelenjar submandibula, fraktur mandibula terbuka, infeksi sekunder akibat keganasan mulut, abses peritonsilar, infeksi kista ductus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena melalui leher, trauma oleh karena bronscopie, intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka tembus di lidah, infeksi saluran pernafasan atas, dan trauma pada dasar mulut.4 Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita Phlegmon melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus.4
1.3 PATOGENESIS PHLEGMON Berawal dari etiologi di atas seperti infeksi gigi. Nekrosis pulpa karena karies dalam yang tidak terawat dan periodontal pocket dalam yang merupakan jalan bakteri untuk mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang banyak, maka infeksi yang terjadi akan menyebar ke tulang spongiosa sampai tulang kortikal. Jika tulang ini tipis, maka infeksi akan menembus dan masuk ke jaringan lunak. Penyebaran infeksi ini tergantung dari daya tahan jaringan tubuh. 7 Odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat (percontinuitatum), pembuluh darah (hematogenous), dan pembuluh limfe (lymphogenous). Yang paling sering terjadi adalah penjalaran secara perkontinuitatum karena adanya celah/ruang di antara jaringan yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus. 7 Penjalaran infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses submukosa, abses gingiva, cavernous sinus thrombosis, abses labial, dan abses fasial. Penjalaran infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses subingual, abses submental, abses submandibular, abses submaseter, dan phlegmon (angina Ludwig). 7 Ujung akar molar kedua (M2) dan ketiga (M3) terletak di belakang bawah linea mylohyoidea (tempat melekatnya m. mylohyoideus) yang terletak di aspek dalam mandibula, sehingga jika molar kedua dan ketiga terinfeksi dan membentuk abses, pusnya dapat menyebar ke ruang submandibula dan dapat meluas ke ruang parafaringeal. 7 Abses pada akar gigi yang menyebar ke ruang submandibula akan menyebabkan sedikit ketidaknyamanan pada gigi, Nyeri terjadi jika terjadi ketegangan pada tulang:
Melibatkan bilateral space
Gangren serosanguis, infiltrasi pus sedikit/ tidak ada
Melibatkan jaringan ikat, fascia dan muskulus tetapi tidak melibatkan glandula
Penyebaran melalui fascia lebih sering daripada melalui sistem limfatik
Adanya pembengkakan besar
Tenderness (+)
Konsistensi keras seperti papan (woody)
Kulit mengkilap, merah, panas/ hangat
Jika lokasinya di dasar mulut:
Lidah terangkat
Trismus
Mulut/ bibir terbuka
Air ludah sering mengalir keluar
Kepala cenderung tertarik ke belakang
Gambar 5. Linea mylohyoidea, tempat perlekatan m. mylohyoideus.
Gambar 6. Ruang submandibular terletak antara m. mylohyoid, fascia dan kulit. Ruang submandibular terinfeksi langsung oleh molar kedua dan ketiga.
Infeksi pada ruang submental biasanya terbatas karena terdapat massa padat dari fascia cervikal profunda dengan m.digastricus anterior dan os hyoid. Edema dagu dapat terbentuk dengan jelas.7 Infeksi pada ruang submaksilar biasanya terbatas di dalam ruang itu sendiri, tetapi dapat pula menyusuri sepanjang duktus submaksilaris Whartoni dan mengikuti struktur kelenjar menuju ruang sublingual, atau dapat juga meluas ke bawah sepanjang m. hyoglossus menuju ruang-ruang fascia leher.7 Pada infeksi ruang sublingual, edema terdapat pada daerah terlemah di bagian superior dan posterior sehingga mendorong supraglotic larynx dan lidah ke belakang, akhirnya mempersempit saluran dan menghambat jalan nafas.4 Gambar 7.
Proses penyebaran ke bagian superior dan posterior yang mendorong lantai dasar mulut dan lidah. Pada penyebaran secara anterior, batas os hyoid meluas ke arah inferior dan menyebabkan gambaran ‘bull neck’
Penyebaran infeksi berakhir di bagian anterior yaitu mandibula dan di bagian inferior yaitu m. mylohyoid. Proses infeksi kemudian berjalan di bagian superior dan posterior, meluas ke dasar lantai mulut dan lidah.8
1.4 GEJALA KLINIS PHLEGMON
1)
Keadaan Umum 1. 2.
Malaise, lemah, lesu, malnutrisi Suhu tubuh meningkat, pasien menggigil, denyut nadi cepat, tensi
pada umumnya menurun 3. Kesulitan bernafas 4. Sakit kepala 5. Nyeri menelan 6. Kesulitan dalam artikulasi 7. Trismus 2)
Ekstra Oral9 1. Edema pada tahap awal terasa lunak saat palpasi dan tidak berbatas jelas atau difus 2. Pada tahap lanjut edema terasa keras seperti papan dan berujung pada supurasi 3. Warna kulit kemerahan 4. Ada pembengkakan pada leher dan kedua sisi mandibula
3)
Intra Oral9 1. Pembengkakan 2. Dapat dijumpai ; gigi gangren atau nekrose pulpa, gigi impaksi 3. Lidah terangkat atau peninggian lidah 4. Adanya hambatan jalan napas 5. Nyeri menelan 6. Hipersalivasi 7. Kesulitan dalam artikulasi 8. Trismus 9. Disfonia adalah gangguan suara pada organ fonasi, misalnya Hot Potato Voice yang terjadi karena adanya abses peritonsilar
Gambar 8. Gambaran ekstra oral: terdapat pembengkakan pada mandibula.
1.5 PENEGAKAN DIAGNOSIS PHLEGMON Diagnosis ditegakkan berdasarkan : A. Anamnesa Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi. Dagu terasa tegang dan nyeri saat menggerakkan lidah. Penderita mungkin akan mengalami kesulitanmembuka mulut, berbicara, dan menelan, yang mengakibatkan keluarnya air liur terus-menerus serta kesulitan bernapas. Penderita juga dilaporkan mengalami kesulitan makan dan minum. Dapat dijumpai demam dan rasa menggigil.10
B. Pemeriksaan Fisik Dasar mulut akan terlihat merah dan membengkak. Saat infeksi menyebar kebelakang mulut, peradangan pada dasar mulut akan menyebabkan lidah terdorong keatas-belakang sehingga menyumbat jalan napas. Jika laring ikut membengkak, saat bernapas akan terdengar suara tinggi (stridor). Biasanya penderita akan mengalami dehidrasi akibat kurangnya cairan yang diminum maupun makanan yang dimakan. Demam tinggi mungkin ditemui, yang mengindikasikan adanya infeksi sistemik.10 C. Pemeriksaan penunjang Meskipun diagnosis
Phlegmon
dapat
diketahui
berdasarkan
anamnesa
danpemeriksaan fisik, beberapa metode pemeriksaan penunjang seperti laboratorium maupun pencitraan dapat berguna untuk menegakkan diagnosis.7 Laboratorium:
1. Pemeriksaan darah: pemeriksaan darah rutin dan darah lengkap. Tampak leukositosis yang mengindikasikan adanya infeksi akut. Pemeriksaan waktu bekuan darah penting untuk dilakukan tindakan insisi drainase.7 2. Pemeriksaan kultur dan sensitivitas: untuk menentukan bakteri yang menginfeksi (aerob dan / atau anaerob) serta menentukan pemilihan antibiotik dalam terapi.7 3. Radiografi: Walaupun radiografi foto polos dari leher kurang berperan dalam mendiagnosis atau menilai dalamnya abses leher, foto polos ini dapat menunjukkan luasnya pembengkakkan jaringan lunak. Foto thorax dapat menunjukkan perluasan proses infeksi ke mediastinum dan paru-paru. Foto panoramik rahang dapat membantu menentukan letak fokal infeksi atau abses, serta struktur tulang rahang yang terinfeksi.8 4. USG dapat menunjukkan lokasi dan ukuran pus, serta metastasis dari abses. USG dapat membantu diagnosis pada anak karena bersifat non-invasif dan non-radiasi. USG juga membantu pengarahan aspirasi jarum untuk menentukan letak abses.8 5. CT-scan: CT-scan merupakan metode pencitraan terpilih karena dapat memberikan evaluasi radiologik terbaik pada abses leher dalam. CT-scan dapat mendeteksi akumulasi cairan, penyebaran infeksi serta derajat obstruksi jalan napas sehingga dapat sangat membantu dalam memutuskan kapan dibutuhkannya pernapasan buatan.7 6. MRI: MRI menyediakan resolusi lebih baik untuk jaringan lunak dibandingkan dengan CT-scan. Namun, MRI memiliki kekurangan dalam lebih panjangnya waktu yang diperlukan untuk pencitraan sehingga sangat berbahaya bagi pasien yang mengalami kesulitan bernapas.7 1.6 PENATALAKSANAAN PHLEGMON Penatalaksaan Phlegmon memerlukan tiga fokus utama, yaitu:7
1. Menjaga jalan napas agar tetap terbuka dan bebas sumbatan. 2. Terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan membatasi penyebaran infeksi. 3. Insisi dan drainase. Trakeostomi awalnya dilakukan pada kebanyakan pasien, namun dengan adanya teknik intubasi serta penempatan fiber-optic Endotracheal Tube yang lebih baik, maka kebutuhan akan trakeostomi berkurang. Intubasi dilakukan melalui hidung dengan menggunakan teleskop yang fleksibel saat pasien masih sadar dan dalam posisi tegak. Jika tidak memungkinkan, dapat dilakukan krikotiroidotomi atau trakheotomi dengan anestesi lokal.7 Pemberian dexamethasone IV selama 48 jam, disamping terapi antibiotik dan operasi dekompresi, dilaporkan dapat membantu proses intubasi dalam kondisi yang lebih terkontrol, menghindari kebutuhan akan trakheotomi atau krikotiroidotomi, serta mengurangi waktu pemulihan di rumah sakit.7 Setelah petensi jalan napas telah teratasi maka antibiotik IV segera diberikan. Awalnya pemberian Penicilin G dosis tinggi (2-4 juta unit IV terbagi setiap 4 jam) merupakan langkah pertama pengobatan phlegmon. Namun, dengan meningkatnya prevalensi produksi beta-laktamase terutama pada Bacteroides sp, penambahan metronidazole, clindamycin, cefoxitin,
piperacilin-tazobactam,
amoxicillin-clavulanate,
clindamycin,
cefoxitin,
piperacilin-tazobactamm, amoxicillin-clavulanate harus dipertimbangkan. Kultur darah dapat membantu mengoptimalkan regimen terapi.
7
Selain itu, dilakukan pula eksplorasi
dengan tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) dan evaluasi pus, dimana pada umumnya phlegmon jarang terdapat pus atau jaringan nekrosis. Jika terbentuk nanah, dilakukan insisi dan drainase. Insisi adalah pembuatan jalan keluar nanah secara bedah (dengan scapel). Insisi drainase merupakan tindakan membuang materi purulent yang toksik, sehingga mengurangi tekanan pada jaringan, memudahkan suplai darah yang
mengandung antibiotik dan elemen pertahanan tubuh serta meningkatkan kadar oksigen di daerah infeksi (Hambali, 2008). Drainase adalah tindakan eksplorasi pada facial space yang terlibat untuk mengeluarkan nanah dari dalam jaringan, biasanya dengan menggunakan hemostat. Untuk memperthankan drainase dari pus perlu dilakukan pemasangan drain, misalnya dengan rubber drain atau penrose drain, untuk mencegah menutupnya luka insisi sebelum drainase pus tuntas (Lopez-Piriz et al., 2007). Tujuan dari tindakan insisi dan drainase, yaitu mencegah terjadinya perluasan abses atau infeksi ke jaringan lain, mengurangi rasa sakit, menurunkan jumlah populasi mikroba beserta toksinnya, memperbaiki vaskularisasi jaringan (karena pada daerah abses vaskularisasi jaringan biasanya jelek) sehingga tubuh lebih mampu menanggulangi infeksi yang ada dan pemberian antibiotik lebih efektif, dan mencegah terjadinya jaringan parut akibat drainase spontan dari abses. Selain itu, drainase dapat juga dilakukan dengan melakukan open bur dan ekstirpasi jaringan pulpa nekrotik, atau dengan pencabutan gigi penyebab (Topazian et al, 1994). Prinsip berikut ini harus digunakan bila memungkinkan pada saat melakukan insisi dan drainase adalah sebagai berikut (Topazian et al., 1994; Peterson, 2003; Odell, 2004). • Melakukan insisi pada kulit dan mukosa yang sehat. Insisi yang ditempatkan pada sisi fluktuasi maksimum di mana jaringannya nekrotik atau mulai perforasi dapat menyebabkan kerutan, jaringan parut yang tidak estetis. (gambar )
Penempatan insisi untuk drainase ekstraoral infeksi kepala leher. Insisi pada titiktitik berikut ini digunakan untuk drainase infeksi pada spasium yang terindikasi: superficial dan
deep
temporal,
submasseteric,
submandibular,
submental,
sublingual,
pterygomandibular, retropharyngeal, lateral pharyngeal, retropharyngeal (Peterson, 2003) • Tempatkan insisi pada daerah yang dapat diterima secara estetis, seperti di bawah bayangan rahang atau pada lipatan kulit alami (Gambar ).
Gambar Garis Langer wajah. Laserasi yang menyilang garis Langer dari kulit bersifat tidak menguntungkan dan mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek. Insisi bagian fasia ditempatkan sejajar dengan ketegangan kulit. (Pedersen, 1996).
•
Apabila memungkinkan tempatkan insisi pada posisi yang bebas agar drainase sesuai
dengan gravitasi. • Lakukan pemotongan tumpul, dengan clamp bedah rapat atau jari, sampai ke jaringan paling bawah dan jalajahi seluruh bagian kavitas abses dengan perlahan-lahan sehingga daerah kompartemen pus terganggu dan dapat diekskavasi. Perluas pemotongan ke akar gigi yang bertanggung jawab terhadap infeksi • Tempatkan drain (lateks steril atau catheter) dan stabilkan dengan jahitan.
• Pertimbangkan penggunaan drain tembus bilateral, infeksi ruang submandibula. • Jangan tinggalkan drain pada tempatnya lebih dari waktu yang ditentukan; lepaskan drain apabila drainase sudah minimal. Adanya drain dapat mengeluarkan eksudat dan dapat menjadi pintu gerbang masuknya bakteri penyerbu sekunder. • Bersihkan tepi luka setiap hari dalam keadaan steril untuk membersihkan bekuan darah dan debris. Pengetahuan yang seksama mengenai anatomi fascial dan leher sangat penting untuk drain yang tepat pada abses yang dalam, tetapi abses yang membatasi daerah dentoalveolar menunjukkan batas anatomi yang tidak jelas bagi ahli bedah. Hanya mukosa yang tipis dan menonjol yang memisahkan scalpel dari infeksi. Idealnya, abses harus didrain ketika ada fluktuasi sebelum ada ruptur dan drainase spontan. Insisi dan drainase paling bagus dilakukan pada saat ada tanda awal dari “pematangan” abses ini, meskipun drainase pembedahan juga efektif, sebelum adanya perkembangan klasik fluktuasi (Peterson, 2003). Teknik insisi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut (Peterson, 2003). (1) Aplikasi larutan antiseptik sebelum insisi. (2)
Anestesi dilakukan pada daerah sekitar drainase abses yang akan dilakukan dengan
anestesi infiltrasi. (3) Untuk mencegah penyebaran mikroba ke jaringan sekitarnya maka direncanakan insisi : • Menghindari duktus (Wharton, Stensen) dan pembuluh darah besar. • Drainase yang cukup, maka insisi dilakukan pada bagian superfisial pada titik terendah akumulasi untuk menghindari sakit dan pengeluaran pus sesuai gravitasi.
• Jika memungkinkan insisi dilakukan pada daerah yang baik secara estetik, jika memungkinkan dilakukan secara intraoral. • Insisi dan drainase abses harus dilakukan pada saat yang tepat, saat fluktuasi positif. (4)
Drainase abses diawali dengan hemostat dimasukkan ke dalam rongga abses dengan
ujung tertutup, lakukan eksplorasi kemudian dikeluarkan dengan unjung terbuka. Bersamaan dengan eksplorasi, dilakukan pijatan lunak untuk mempermudah pengeluaran pus. (5) Penembatan drain karet di dalam rongga abses dan distabilasi dengan jahitan pada salah satu tepi insisi untuk menjaga insisi menutup dan drainase. (6) Pencabutan gigi penyebab secepatnya. Insisi dilakukan di garis tengah secara horizontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Os hyoid berbentuk mirip tapal kuda yang terletak di sekitar leher antara dagu dan kartilage thyroid. Insisi dilakukan di bawah dan paralel dengan corpus mandibula melalui fascia dalam sampai kedalaman kelenjar submaksila. Insisi vertical tambahan dapat dibuat di atas os hyoid sampai batas bawah dagu. Jika gigi yang terinfeksi merupakan fokal infeksi dari penyakit ini, maka gigi tersebut harus diekstraksi untuk mencegah kekambuhan. Pasien di rawat inap sampai infeksi reda.4
1.7 PERAWATAN PASKA BEDAH A. Infus RL/D5 sesuai kebutuhan cairan 60cc/kgBB/hari B. Injeksi antibiotika dilanjutkan sampai 5 hari.
C. Kumur-kumur dengan obat kumur antiseptik/oral highiene yang baik. D. Latihan buka mulut supaya tidak trismus, atau supaya muskulus mylohioid dan sekitarnya kontraksi sehingga pus “terpompa” keluar. E. Rawat luka dengan kompres larutan garam faali, sehingga luka terjaga kebersihannya. F. Evaluasi sumber infeksi (gigi) dan apakah ada diabetes mellitus. G. Jangan lupa dianjurkan untuk berobat lanjutan sumber infeksinya
KOMPLIKASI Adapun komplikasi yang dapat terjadi : 1.
Sepsis Sepsis adalah adanya mikroorganisme pathogen atau toksinnya di dalam daerah atau jaringan lain atau dapat dikatakan suatu keadaan yang berhubungan dengan keadaan tersebut.14 Sepsis dapat juga disebakan oleh adanya kuman-kuman yang berproliferasi dalam darah dan osteomyelitis yang menahun. Efek yang sangat berbahaya dari sepsis adalah terjadinya kerusakan organ dan dalam fase lanjut akan melibatkan lebih dari satu organ seperti sistem kardiovaskular. Pada sepsis juga dapat berkembang endocarditis. Endocarditis dapat disebabkan karena infeksi agen infeksius seperti bakteri.
2.
Obstruksi jalan napas yang berat.
3.
Mediastinitis Mediastinitis adalah suatu infeksi yang mengenai mediastinum, kondisi ini membahayakan kehidupan oleh karena dapat menyebabkan kematian jika terlambat diketahui atau tidak diberi terapi yang benar.15
1.8 PENCEGAHAN 1. pemeriksaan gigi ke dokter secara rutin dan teratur
2. penanganan infeksi gigi dan mulut yang tepat dapat mencegah kondisi yang akan meningkatkan terjadinya angina Ludwig.
1.9 PROGNOSIS PHLEGMON Prognosis phlegmon tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas untuk mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan radang. Sekitar 45% – 65% penderita memerlukan insisi dan drainase pada area yang terinfeksi, disertai dengan pemberian antibiotik untuk memperoleh hasil pengobatan yang lengkap. Selain itu, 35% dari individu yang terinfeksi memerlukan intubasi dan trakeostomi.10 Phlegmon dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa.4 Kematian pada era preantibiotik adalah sekitar 50%. Namun dengan diagnosis dini, perlindungan jalan nafas yang segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang adekuat serta penanganan dalam ICU, penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan komplikasi.
BAB II LAPORAN KASUS
No. RM
: 783008
Nama Pasien
: Saanih Binti H. Hasan
Tanggal lahir
: 20 Mei 1946
1.
Usia
: 70 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Gg. Buah RT 003/004
No. Telp
: 083895195551
Anamnesa
Pasien datang ke IGD RS Bhayangkara TK.I R.Said Sukanto pada pukul 23.22 WIB pada hari Sabtu, 25 Juni 2016 karena bengkak besar pada rahang bawah serta leher kanan dan kiri, pasien mengeluhkan lemas, mual dan pusing sudah ± 3 minggu. Pasien tidak dapat membuka mulut, bibir terbuka, air ludah sering mengalir keluar serta kesulitan bernafas. Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus dan hipertensi.
2.
Pemeriksaan klinis
1 Ekstra oral 1
Lokasi/regio
: Bawah mandibula, leher (kanan dan kiri)
2
Bentuk kelainan
: Pembengkakan, memar
3
Warna
: Kemerahan
4
Palpasi
: (+)
5
Suhu
: Normal
6
Batas
: Tidak jelas
7
Mudah digerakkan/tidak
: Tidak mudah digerakkan
8
Permukaan
: Bengkak
9
Konsistensi
: Keras
10
Nyeri Tekan
: (-)
11
Fluktuasi
: (+)
2. Intra oral 1
Kelainan
: Pembengkakan gingival, peninggian lidah, adanya hambatan
jalan nafas, nyeri menelan, trismus, hipersalivasi, disfonia, kesulitan dalam artikulasi. 2
Lokasi
: Rahang bawah
3
Warna
: Kemerahan
3. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan lab 1
Natrium
136 mmol/l
2
Kalium
2,3 mmol/l
3
Chlorida
98 mmol/l
4
Hemoglobin
9 g/dl
5
Leukosit
8.600 u/l
6
Hematokrit
28 %
7
Trombosit
278.000 /ul
8
Albumin
g/dl
9
SGOT
25,1 u/l
10
SGPT
17,4 u/l
11
Ceratinine darah
1,9 mg/dl
12
Creatinine Urine
26 mg/dl
13
Volume Urine
1900 ml
14
CCT
30 ml/menit
15
GDS
188
16
Tinggi Badan 162 cm
17
Berat Badan
76 kg
4. Diagnosis Utama Phlegmon 5. Rencana Terapi Pasien rawat jalan, dengan terapi : a. b. c. d. e. f.
IVFD 10.500 ml/8 jam Inj. Cefoperazone 2x1 gr Inj. Ondansetron 3x8 mg k/p Aspar K 3x1 As. Folat 3x1 Pasien Acc pulang
BAB III KESIMPULAN
Phlegmon merupakan infeksi dan peradangan serius jaringan ikat (selulitis) pada area di bawah lidah dan dagu. Penyakit ini termasuk dalam grup penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari gigi. Phlegmon atau Angina Ludwig berawal dari infeksi odontogenik, khususnya dari
molar dua (M2) atau molar tiga (M3) bawah. Penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain sialadenitis kelenjar submandibula, fraktur mandibula terbuka, infeksi sekunder akibat keganasan mulut, abses peritonsilar, infeksi kista ductus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena melalui leher, trauma oleh karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka tembus di lidah, infeksi saluran pernafasan atas, dan trauma pada dasar mulut. Infeksi terbanyak yang disebabkan oleh gigi rahang bawah terlihat dalam vestibulum bukalis, mereka juga menyebar kedalam spasia facial. Spasia fasial dibagi menjadi primer dan sekunder. Gejala klinis dapat terlihat dari keadaan umum seperti malaise, lemah, lesu, malnutrisi, Suhu tubuh meningkat, pasien menggigil, denyut nadi cepat, tensi pada umumnya menurun, dll, nyeri menelan, kesulitan dalam artikulasi, trismus, dll Penatalaksaan Phlegmon memerlukan tiga fokus utama, yaitu menjaga jalan napas agar tetap terbuka dan bebas sumbatan, terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan membatasi penyebaran infeksi dan insisi dan drainase. Adapun komplikasi yang dapat terjadi seperti sepsis, obstruksi jalan napas yang berat dan mediastinitis. Prognosis phlegmon tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas untuk mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan radang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Murphy SC. The Person Behind the Eponym: Wilhelm Frederick von Ludwig.Journal of Oral Pathology & Medicine.August 9 1996. 2. Fachruddin D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher .Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. 3. Damayanti. Kumpulan Kuliah Stomatologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara. 4. Raharjo SP. Penatalaksanaan Phlegmon. Jurnal Dexa Media. Januari-Maret 2008;Vol.21.
5. Anonymous. Ludwig's Angina. 2010. Available at : http://en.wikipedia.org/wiki/Ludwig %27s_angina 6. Hartmann RW. Ludwig's Angina in Children. Journal of American Family Physician. July1999;Vol. 60. 8. Winters S. A Review of Ludwig's Angina for Nurse Practitioners. Journal of the American Academy of Nurse Practitioners. December 2003;Vol. 15(Issue 12). 9. Arfani A. Dentist: Phlegmon. available at:http://asnuldentist.blogspot.com/2010/08/phlegmon. 10. Anonymous. Ludwig's Angina. available at:http://www.mdguidelines.com/ludwigsangina. 11. Bailey B. Odontogenic Infection. Head and Neck Surgery. 4th ed. Pennsylvanya: ElsenerMosby; 2005. 12. Topazian R. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. St. Louis: W.B. Saunders; 2002. 13. Lestari P. Phlegmon. Available at:www.scribd.com/doc/62080690/AnginaLudwig#scribd. 14. Ludwig Angina. Available at: https://www.scribd.com/doc/83291272/Makalah-LudwigAngina. 15. Available at : http://www.google.com/url? sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&cad=rja&uact=8&ved=0CEUQFjAF&url=ht tp%3A%2F%2Findonesia.digitaljournals.org%2Findex.php%2Fmajacc%2Farticle %2Fdownload %2F163%2F166&ei=oX8wVei7A4XX8gX42ICgDA&usg=AFQjCNErcZXFW58cajgW08 i-T-ggJRE4Tw&sig2=J_GGnCWFeXNYjfStJ-TLeA&bvm=bv.91071109,d.dGc 16. Available at : http://www.bedahmulut.ariirnawan.com/descending-necrotizingmediastinitis/ 17. Available at: http://www.slideshare.net/SurbhiSingh6/fascial-space-infections?related
LAPORAN STATUS PEMBENGKAKAN PHLEGMON
DISUSUN OLEH : Dyah Ayu Arifah, S.KG
(2014-16-161)
Trezylia Ufthie Sabhilla
(2015-16-110)
DOSEN PEMBIMBING : AKBP M. T. Sugiharto, drg., Sp.BM
RS BHAYANGKARA TK.I RADEN SAID SUKANTO FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS PROF. DR. MOETOPO(BERAGAMA) 2016
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Definisi Phlegmon Etiologi Phlegmon Patogenesis Phlegmon Gejala Klinis Phlegmon Penegakan Diagnosis Phlegmon Penatalaksanaan Phlegmon Perawatan Paska Bedah dan Komplikasi Pencegahan Prognosis Phlegmon
BAB II. LAPORAN KASUS BAB III. KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA