6
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tendon 2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Tendon Manusia Tendon merupakan bagian dari sistem gerak, berupa jaringan ikat yang berfungsi sebagai penghubung antara otot dan tulang yang memindahkan kekuatan dari otot ke tulang sehingga menghasilkan gerakan. Hal ini merupakan perpaduan yang dinamis dan terintegrasi dari sel yang membentuk struktur dan fungsi jaringan secara khusus (Woo et al,2000). Tendon terdiri dari 70% air dan dry mass 30% yang tersusun menjadi kolagen tipe I sebanyak 60%-80% dan 2% elastin (Tresoldi et al,2013). Tendon yang sehat berwarna putih mengkilat dan mempunyai tekstur fibroelastik, bila dilihat secara makroskopis mempunyai bentuk yang bervariasi, dapat berbentuk bulat seperti tali atau pipih seperti sabuk (O’Brien et al,2005). Tendon terdiri dari kelompok fesikel berupa kumpulan (bundle) berbahan utama kolagen, lapisan paling dalam adalah endotendon dan dibungkus oleh epitenon sebagai lapisan terluarnya. Tendon terdiri dari lapisan sel fibroblas (merupakan jenis sel terbanyak) dibungkus oleh fesikel yang terdiri dari serat fibril (peritenon). Fibroblas sendiri terdiri dari serat kolagen. Kolagen membentuk 75% berat kering tendon dan berfungsi untuk menahan dan memindahkan gaya antara otot dan tulang (James et al, 2008).
6
7
Ada 2 jenis tendon, yang pertama adalah tendon yang terbungkus yaitu paratenon, dan tendon yang tidak terbungkus. Paratenon adalah tendon yang masih mendapatkan suplai vaskuler meskipun hanya sedikit, sedangkan tendon yang
tidak terbungkus disebut
mesotenon / vinncula yang berada di area
avaskuler, hanya mendapatkan nutrisi dari cara difusi/ osmosis saja. Dengan demikian tipe yang kaya akan vaskuler yaitu paratenon yang terbungkus tadi bila terdapat cedera berupa robekan akan mengalami proses perbaikan yang lebih baik daripada yang sedikit vaskularisasinya (Miller et al, 2012). 2.1.2 Biologi Tendon dan Kolagen Tendon terbentuk dari serat kolagen dan sel fibroblas berbentuk panjang (tenosit) dalam matriks ekstraseluler (MES) yang teratur. Kolagen disintesa oleh tenosit dan membentuk struktur dasar tendon (James et al, 2008). Pada sel tendon, populasi seluler diwakili terutama oleh tenosit dapat berbentuk pipih (flat), runcing, spindle longitudinal, dan stellate yang terlihat pada potongan melintang. Tenosit ini berjajar dalam jumlah yang sedikit diantara fibril-fibril kolagen. Sedangkan tenoblas berbentuk spindle atau stellate, runcing dengan inti pipih yang bersifat eosinopilik. Tenoblas bersifat motil dan berproliferasi sangat tinggi. Tenoblas memiliki retikulum endoplasma kasar yang berkembang dengan sangat bagus dan merupakan tempat untuk sistesis prekursor polipeptida kolagen, elastin, dan proteoglikan (O’Brien et al, 2005). Kolagen yang menyusun tendon tersusun secara berjenjang, dimulai dari tropokolagen, yang merupakan rantai polipeptida berbentuk triplehelix sepanjang 300 nm, masing-masing mengandung residu 1,000 asam amino. Setiap rantai kaya
8
akan glisin dan prolin. Glisin menyatukan tiga rantai α heliks, sementara prolin menstabilkan penyesuaian dari struktur cincinnya (Yang et al, 2013). Tropokolagen yang menyatu membentuk fibril, kemudian membentuk sub serat kolagen (primary bundle), serat kolagen (secondary bundle), fasikel (tertiary bundle) dan yang terakhir menjadi tendon. Lapisan yang membungkus fasikel terdiri dari endotenon, epitenon, dan paratenon. Epitenon merupakan jaringan ikat longgar yang halus yang melapisi tendon dan membawa pembuluh darah, limfatik, dan saraf. Endotenon membatasi fasikel yang satu dengan yang lain, yang saling melingkari rantai lainnya dan membentuk struktur triple helix. Sedangkan paratenon merupakan lapisan terluar yang melapisi seluruh tendon (Sharma et al, 2005).
Gambar 2.1 Anatomi Tendon Normal (Earle V, 2013)
9
Pengaturan berjenjang kolagen menjadi fibril dan saling silang intermolekuler
menyebabkan
peningkatan
pada
kekuatan
tensil
tendon.
Polipeptida kolagen dan berikut struktur triple helix disatukan dalam sel, menjadi matriks ekstra seluler (MES) dan dirangkai menjadi unit mikrofibril yang membentuk serat kolagen. Pada tendon, serat kolagen utama adalah kolagen tipe I, sedangkan kolagen tipe III terdapat dalam endotenon dan epitenon. Selama proses penyembuhan tendon, diameter serat kolagen mengecil yang menyebabkan penurunan kekuatan tensil tendon. Sintesa kolagen tipe III meningkat selama fase awal penyembuhan dan remodeling dan menurun saat produksi kolagen tipe I meningkat dan secara teratur menjadi struktur fibril MES. Kolagen tipe V merupakan hubungan silang dari berbagai tipe kolagen dan mengatur karakteristik struktur fibril dalam tendon (James et al, 2008) Matriks ekstra seluler juga mengandung proteoglikan (seperti dekorin dan aggrekan),
glikosaminoglikan
dan
glikoprotein
termasuk
fibronektin,
trombospondin, dan tenasin-C yang ada dalam susunan yang berbeda pada MES yang diwakili oleh tenoblas dan tenosit (Tresoldi et al, 2013) yang merupakan pembungkus dan pengisi serat kolagen, berfungsi sebagai penyokong struktur, pelumas untuk gliding tendon. Bahan dasar ini merupakan media untuk nutrisi dan mengatur perubahan prokolagen menjadi kolagen pada ekstraseluler. Bahan dasar terdiri dari
60-80% air, proteoglikan dan glikoprotein kurang dari 1% berat
kering tendon. Air yang sebagian besar terdapat pada matriks ekstra seluler berguna untuk mengurangi gesekan, membuat fibril dapat bergerak untuk merespon mechanical loading (James et al,2008). Proteoglikan dan glikoprotein
10
juga berperan didalam pembentukan fibril dan fiber kolagen. Matriks diganti dan diremodeling secara konstan oleh fibroblas. Kemudian fungsi fleksibilitas tendon ditentukan oleh elastin yang berfungsi membentuk ikatan silang antara rantai polipeptide. Elastin tidak membentuk struktur helik dan bersifat hidrophobik. Elastin dan beberapa glikoprotein merupakan bagian integral dari matriks ekstraseluler dan menyediakan stabilitas fungsional serat kolagen. (O’Brien et al, 2005).
Gambar 2.2 Tendon, Kolagen dan Growth Factors Growth factors dilepas oleh tenosit sebagai respon terhadap stimuli yang mengarah kepada ekspresi gen dan sintesa protein. Kolagen dan proteoglika merupakan komponen penting ECM. Molekul kolagen membentuk mikro fibrin yang menyatu untuk membentuk struktur makroskopik (serat kolagen). Ikatan ini membentuk struktur tendon yang kuat. (James et al,2008)
11
2.2 Tendon Achilles 2.2.1 Anatomi Tendon Achilles Achilles tendon adalah tendon yang merupakan gabungan dari tiga otot yaitu gastrocnemius,soleus dan otot plantaris kaki. Panjang tendon rata-rata 20-25 cm, rata-rata bagian cross sectional 70-80mm persegi dan berkekuatan 60-100 newtons/mm persegi. Tendon yang sehat dapat menahan beban hingga satu ton (Schulte et al, 2006). Saat kita menggerakan otot betis, tendon achilles menekuk tumit untuk mendorong telapak kaki ke bawah (Plantarfleksi), memberikan kemampuan untuk berjalan, berlari, melompat dan memanjat (Rose et al,2013) 2.2.2 Biomekanikal Tendon Achilles Tendon mengirimkan gaya dari otot ke tulang dan berperan sebagai penahan dengan menyerap gaya eksternal untuk membatasi kerusakan otot. Sifat mekanik tendon saling berhubungan pada level molekuler, dengan karakteristik serat kolagennya. Hubungan stress-strain terhadap beban tendon terbagi dalam 3 bagian: 1. Toe region. Pada bagian ini terjadi sedikit tekanan (strain), dapat memanjangkan tendon hingga 2% dan meluruskan kerutan pada serat kolagen. Kerutan ini menghilang dibawah tekanan dan muncul kembali bila tekanan dilepas kembali. Serat elastin pada matriks ekstra seluler berperan membuat kumpulan kolagen kembali pada kondisi semula (resting state).
12
2. Linear region. Pada bagian ini, saat tekanan (strain) ditingkatkan yaitu 6%, serat kolagen masih bersifat konstan. Kumpulan serat kolagen pada pada bagian ini tidak lagi berkerut. Pada tekanan (strain) 4% dan 8%, tendon secara progresif mudah merenggang namun panjangnya masih bisa kembali seperti semula. 3. Setelah linear region, mulai mengarah pada putusnya tendon. Pada tekanan (strain) melebihi 8% hingga 10% tendon mulai putus (Massoud, 2013)(James et al,2008)
Gambar 2.3 Kurva Stress –Strain (James et al,2008) 2.3 Kelainan Pada Tendon Achilles 2.3.1 Putusnya Tendon Achilles Terdapat beberapa kelainan pada tendon achilles antara lain tendinosis dan trauma/putus. Tendinosis merupakan keadaan dimana tendon mengalami penggunaan yang berlebihan (stress) atau berulang-ulang sehingga menyebabkan gagalnya proses penyembuhan dengan ketidakaturan proliferasi tenosit, struktur intraseluler serat kolagen yang tidak beraturan dan peningkatan dalam matriks non
13
kolagen. Perubahan ini akan menurunkan kekuatan mekanik pada tendon, melemahkan dan merusak tendon. Tendinosis juga dihubungkan dengan kondisi lain seperti diabetes melitus, dislipidemi serta kondisi inflamasi,autoimun dan penyakit degeneratif. Kurangnya fleksibilitas, faktor genetik, jenis kelamin wanita, serta endokrin juga merupakan faktor yang mempengaruhi tendinosis (Maffuli et al, 2014). Selain itu, tendon mendapatkan suplai darah yang terbatas sehingga meningkatkan kemungkinan cedera dan proses penyembuhan yang lebih lama. Penggunaan obat kortikosteroid yang lama dan antibiotik golongan fluorkinolon juga akan meningkatkan resiko putusnya tendon (Rose et al, 2013). Respon tendon achilles terhadap penggunaan yang berlebihan dan berulang-ulang dapat memicu reaksi inflamasi pada pembungkus (sheath). Setiap trauma memicu reaksi penyembuhan dalam tendon namun kejadian yang berulang dan efek akumulatifnya menghalangi reaksi penyembuhan alami tendon. Tendon menjadi semakin lemah dan akhirnya putus (Maffuli et al, 2014). Putusnya tendon juga dapat terjadi secara spontan atau karena trauma langsung seperti putus akibat benda tajam. Putusnya tendon secara spontan dapat diakibatkan oleh gerakan yang kuat dan tiba-tiba (Massoud,2013). 2.3.2 Mekanisme Penyembuhan PutusnyaTendon Achilles Perbaikan luka berupa putusnya tendon adalah usaha jaringan tendon untuk mengembalikan struktur dan fungsinya setelah mengalami trauma, dengan mengembalikan integritas mekanik dari jaringan yang terluka. (Solomon et al, 2009).
14
Penutupan luka normal mengikuti pola yang diperkirakan dan dapat dibagi menjadi beberapa fase, dibedakan berdasar perubahan selularnya (Barbul, 2005). Fase-fase penutupan luka terdiri dari tiga fase yang saling bertumpangan yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase maturasi (Lorenz et al,2001; Leong et al, 2004; Barbul, 2005; Adams et al, 2008). Fase inflamasi Fase Inflamasi disebut juga fase reaktif. Tujuan utama fase ini adalah mencegah terjadinya infeksi dan menyingkirkan jaringan nekrosis, benda asing dan infiltrasi kuman (Leong et al, 2004; Adams et al, 2008). Ciri dari fase ini adalah terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah, terjadinya migrasi dari berbagai sel ke daerah luka secara kemotaksis, sekresi berbagai cytokine dan growth factors ke daerah luka, dan aktivasi dari sel sel migrasi (Leong et al, 2004) Pada fase inflamasi, setelah terjadi kerusakan pembuluh darah dan timbul perdarahan, dilanjutkan proses koagulasi serta regulasi pembekuan darah yang terjadi hanya terbatas pada luka dan tidak sampai meluas ke tempat lain. Kerusakan
pembuluh
darah
menyebabkan
terpaparnya
subendothelial,
menyebabkan terikatnya zat prokoagulan dan mengaktivasi platelet yang akhirnya membentuk sumbat platelet. Secara bersamaan aktifnya platelet ini akan menjadi pemicu interaksi faktor-faktor pembekuan sehingga akan terbentuk suatu fibrin dari fibrinogen di sirkulasi. Jala fibrin ini akan terikat secara cross-linked dan akan memerangkap eritrosit dalam sirkulasi dan akan menambah platelet yang aktif yang akan menghasilkan suatu sumbat hemostatik yang kuat (Santoro et al, 2005).
15
Dalam hitungan menit setelah vasokontriksi pembuluh darah dirangsang oleh faktor platelet, selanjutnya akan terjadi dilatasi dari pembuluh darah lokal sebagai efek dari koagulasi dan complement cascade. Complement cascade akan menghasilkan C3a dan C5a anaphylatoxin yang secara langsung akan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan akan menarik neutrofil dan monosit ke daerah luka. Komponen komplemen ini juga merangsang pelepasan histamin dan leukotrien C4 dan D4 dari sel mast (Roberts et al,1995). Sel sel leukosit (diawali dengan neutrofil, diikuti oleh monosit) dan protein plasma masuk ke daerah luka. Neutrofil yang masuk pertama kali membersihkan sisa sel-sel mati, benda asing, dan bakteri. Bagian komplemen yang teraktifasi membantu penghancuran bakteri melalui pembentukan membran komplek dan opsonisasi bakteri yang akan membantu proses fagositosis, sehingga fungsi neutrophil untuk mensterilkan luka (Adams et al,2008). Itulah sebabnya infiltrasi neutrophil pada awal luka akan lebih rendah pada luka operasi yang bersih dibandingkan pada luka yang terkontaminasi atau luka yang terinfeksi (Lorenz et al, 2001). Pada hari kedua sampai hari ketiga, populasi sel radang berubah didominasi oleh monosit. Sel-sel monosit dalam sirkulasi ditarik dan berinfiltrasi ke dalam luka. Hal ini menyebabkan monosit berdiferensiasi menjadi makrofag, dan bersama-sama dengan makrofag lokal mempercepat penutupan luka. Makrofag juga mensekresi berbagai growth factors. Growth factor yang akan mengaktivasi dan menarik sel endotelial lokal, kemudian fibroblas dan keratinosit memulai tugasnya (DiPetro, 1995).
16
Kurangnya monosit dan makrofag menyebabkan perubahan drastis pada penutupan luka sebagai akibat debridement yang tidak sempurna, proliferasi fibroblas yang terhambat, dan angiogenesis yang tidak mencukupi. Makrofag adalah satu satunya sel radang yang merupakan syarat utama untuk perbaikan luka (Lorenz et al, 2001). Fase Proliferasi Fase proliferasi dimulai setelah respon akut dari hemostasis dan inflamasi yang mulai berhenti, ancang-ancang perbaikan luka mulai dilakukan dengan angiogenesis, fibroplasia dan epithelialization. Pada fase ini ditandai dengan penyusunan jaringan granulasi yang terdiri dari anyaman kapiler, fibroblas, makrofag, jaringan kolagen longgar, fibronektin dan asam hialuronat (Leong et al, 2004). Fase ini biasanya dimulai hari ke lima yang ditandai dengan peningkatan drastis dari koloni sel dan produksi kolagen. Produksi kolagen sebenarnya telah dapat dideteksi mulai sepuluh jam setelah trauma, mencapai puncaknya mulai hari ke -7, dan terus sampai hari ke- 21, dimana luka telah terisi penuh oleh jaringan kolagen (Adams et al, 2008). Banyaknya jaringan granulasi pada luka tergantung dari ukuran dan dalamnya luka, jika luka dibiarkan menyembuh secara sekunder. Luka yang besar perlu untuk diisi dengan jaringan granulasi sehingga sel epitel dari pinggir luka dapat bermigrasi dan membuat epitel baru pada luka. Akhirnya jaringan granulasi yang terdiri dari ikatan fibrin-fibronektin yang merupakan pembentuk bekuan darah bersama dengan jaringan pengganti sementara matriks luka yang terdiri dari proteoglikan, glikosaminoglikan, dan asam hialuronat akan digantikan oleh
17
kolagen, kapiler-kapiler baru, berbagai sel radang dan fibroblas (Adams et al, 2008). Fase remodeling Degradasi kolagen pada tendon terjadi bersamaan saat pembentukannya supaya tercapai penutupan luka. Bila sintesa kolagen (tipe I) seimbang dan sebanding dengan derajat degradasi kolagen (tipe III), saat inilah dikatakan bahwa luka mengalami fase remodeling atau maturasi. Fase ini terjadi hingga beberapa bulan bahkan tahunan terutama pada luka-luka yang besar dan dibiarkan menyembuh secara sekunder (Adams et al,2008). Kekuatan dari luka perlahan meningkat dengan didegradasinya kolagen tipe
III
yang
terbentuk
pada
fase-fase
awal,
oleh
MMPs
(matrix
metalloproteinase) dan secara perlahan digantikan dengan kolagen tipe I. Aktivitas dari MMPs sendiri diatur oleh TIMMPs (Tissue Inhibitors of matrix Metalloproteinase) sehingga keseimbangan dari sintesa, deposisi dan degradasi dari matriks ekstra selular dapat dipertahankan (Bullard et al, 1999). Setelah kolagen tipe I mulai terdapat pada luka dengan posisi sejajar dengan garis tekanan, maka kekuatan dari luka meningkat. Peningkatan kekuatan ini paling cepat pada awal minggu ke enam, dan kemudian akan melambat serta tetap tinggi bahkan sampai tahunan. Kekuatan regangan dari luka mencapai 50% seperti tendon normal bisa membutuhkan waktu dalam waktu tiga bulan, dan akhirnya secara perlahan mencapai 80% pada akhir fase remodeling walaupun proses ini berjalan sangat lambat dan menghabiskan waktu sampai beberapa tahun (Adams et al,2008).
18
2.3.3 Mekanisme Molekuler Pada Penyembuhan Tendon Dalam proses penyembuhan tendon, beberapa growth factor terlibat dalam pengaktifan dan pengaturan respon seluler. Faktor-faktor ini atau cytokines mengikat pada penerima khusus yang ada pada permukaan sel dan mengaktifkan signal dalam sel. Pelepasan faktor-faktor ini dipicu oleh sel-sel yang terdapat pada daerah cedera dan selama fase remodeling dipicu oleh mechanical loading daerah cedera. Transforming growth factor-β (TGF-β) adalah produk dari semua sel yang terlibat dalam proses penyembuhan, ke-3 isoform-nya membedakan respon yang mengarah pada bermacam-macam efek yang mengatur berbagai kejadian. Pada fase inflamasi setelah trauma, ekspresi TGF-β merangsang migrasi seluler dan proliferasi. Sintesa kolagen tipe I dan tipe III meningkat drastis selama fase berikutnya. TGF-β1 bertanggung jawab pada pembentukan awal jaringan scar yang akan membentuk kontinuitas jaringan pada daerah cedera. Di fase berikutnya ekspresi TGF-β1 meningkat dan menyebabkan proliferasi scar dan mengurangi fungsinya. TGF-β3 merupakan penyebab terjadinya scar pada daerah cedera. TGF-β juga bertanggung jawab mengatur sintesa kolagen dalam tendon secara mekanik pada saat kita melakukan kegiatan fisik. Pada awal proses penyembuhan dan fase inflamasi, growth factors dan cytokines seperti insulin-like growth factor-1 (IGF-1) memicu migrasi dan proliferasi fibroblas dan sel-sel inflamasi ke daerah cedera. IGF-1 tersimpan sebagai penanda protein yang tidak aktif pada tendon normal. Pada saat cedera enzim mengeluarkan growth factor untuk menggunakan aktifitas biologisnya.
19
Selama fase berikutnya seperti fase remodeling, IGF-1 menstimulasi sintesa kolagen dan komponen matriks ekstra seluler lainnya. Pada fase awal penyembuhan Platelet derived growth factor (PDGF) menstimulasi ekspresi dari growth factor lainnya seperti IGF-1. Dalam beberapa penelitian dengan menggunakan binatang menunjukan, masuknya PDGF pada daerah cedera meningkatkan proliferasi sel dan menstimulasi sintesa kolagen dan komponen matriks ekstra seluler lainnya. Demikian juga dengan basic fibroblast growthfactor (bFGF) yang merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam migrasi sel dan angiogenesis selain proliferasi sel, peningkatan bFGF akan mempercepat penutupan luka. Vascular endothelial growth factor (VEGF) adalah faktor yang penting dalam neovaskularisasi dan pada fase selanjutnya VEGF bertanggung jawab membentuk dan menjaga vaskularisasi pada endotenon dan epitenon. Growth/differentiation factors (GDF) mengatur sintesa komponen matriks ekstra seluler dan ekspresi kolagen tipe I dan III (James et al,2008) Tabel 2.1 Aktifitas Penyembuhan Tendon Fase Penyembuhan Fase Inflamasi
Fase Proliferasi
Aktifitas
Growth Factors
Menstimulasi fibroblast dan sel inflamatori ke lokasi cedera Regulasi migrasi sel Ekspresi dan atraksi growth factors lainnya Angiogenesis
IGF-1
Proliferasi sel (sintesa DNA)
IGF-1 dan PDGF, TGF-β, BFGF, GDF-5, -6,
TGF-β PDGF VEGF, bFGF
20
Fase remodeling
Menstimulasi sintesa kolagen dan komponen ECM Menstimulasi interaksi matrik sel Sintesa kolagen tipe III
IGF-1 dan PDGF, bFGF
TGF-β, bFGF TGF-β, GDF-5, -6 dan -7
Remodelling ECM IGF-1 Berakhirnya proliferasi sel TGF-β Sintesa kolagen tipe I TGF-β, GDF-5, -6 dan -7
2.3.4
Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Tendon Achilles
2.3.4.1 Usia Faktor
penuaan
akan
menyebabkan
perubahan
fisiologis
yang
mengakibatkan terhambatnya atau terganggunya penyembuhan tendon. Seiring peningkatan usia maka kolagen akan mengalami penurunan kualitas. Kandungan kolagen pada tendon menurun dan mengalami perubahan bentuk dan susunannya (Barbul, 2005). Penelitian pada hewan menunjukkan terjadinya penurunan regenerasi selsel tendon, dengan penurunan sintesa kolagen, serta terganggunya proses angiogenesis dengan penurunan jumlah berbagai growth factors. Selain itu seiring dengan usia didapatkan juga reaksi inflamasi yang terganggu, terganggunya aktifitas makrofag sehingga menurunkan fagositosis serta terjadi hambatan infiltrasi dari makrofag dan β limfosit ke daerah luka (Leong et al,2004) 2.3.4.2 Nutrisi Pentingnya peranan nutrisi dalam hal penyembuhan luka tendon setelah suatu trauma telah diketahui sejak jaman Hippocrates. Penutupan luka merupakan
21
suatu peristiwa anabolik yang membutuhkan tambahan asupan nutrisi ekstra (Barbul, 2005). Selain nutrisi seimbang, zat zat yang dibutuhkan untuk penutupan luka optimal diantaranya adalah protein yang berfungsi dalam hal sintesis kolagen. Berbagi vitamin dan tracemineral juga dibutuhkan untuk penutupan luka yang optimal, terutama adalah vitamin C, A, dan B6 (Lorenz et al, 2001). 2.3.4.3 Hipoksia Tekanan oksigen yang rendah akan sangat mengganggu berbagai proses pada penutupan luka. Proses fibroplasia walaupun pada fase awal di stimulasi oleh kondisi lingkungan luka yang hipoksia, namun pada fase berikutnya akan terganggu jika kondisi luka jaringan tendon tetap hipoksia. Pembentukan kolagen yang optimal juga membutuhkan oksigen yang memadai sebagai kofaktor, terutama pada fase hidroksilasi (Barbul,2005). Pada kondisi hipoksia, energi yang berasal dari proses glikolisis mungkin memadai untuk memulai sintesis kolagen, tetapi oksigen sangat dibutuhkan pada proses hidroksilasi prolin dan lysin untuk pembentukan formasi triplehelix dan crosslinked dari serat kolagen. Meskipun hipoksia akan merangsang suatu angiogenesis, tetapi proses penting pertautan serat kolagen akan sangat terhambat bila tekanan O2 dibawah 40mmHg. Tekanan oksigen optimal untuk sintesis kolagen diperlukan pada pinggir luka sementara bagian tengah luka tetap berada dalam kondisi hipoksia (Leong et al,2004).
22
2.3.4.4 Steroid, Obat Kemoterapi dan Penghambat Siklooksigenase (COX) Penggunaan steroid baik topikal maupun sistemik akan mengganggu proses penutupan luka terutama jika diberikan pada 3 hari pertama setelah terjadinya luka (Lorenz et al, 2005). Pengaruh utama dari steroid adalah menghambat fase inflamasi dari penutupan luka ( proses angiogenesis, migrasi dari neutrophil dan makrofag, dan proliferasi dari makrofag ), serta menghambat pelepasan enzim lisomal (Barbul, 2005). Karena steroid menurunkan reaksi inflamasi, maka steroid bisa menurunkan daya tangkis terhadap bakteri dan meningkatkan resiko infeksi pada luka (Lorenz et al, 2005). Penggunaan steroid setelah 3-4 hari post-trauma tidak akan mempengaruhi penutupan luka separah jika langsung diberikan post-operative (Barbul,2005). Penghambat COX-2 merupakan obat golongan anti-inflamasi non steroid spesifik, mempunyai efek menghambat proses inflamasi atau radang secara spesifik, sehingga perubahan dari endoperoksidase menjadi prostaglandin (terutama PgE2/PgF2) tidak terbentuk. Dilaporkan penggunaan penghambat COX-2 dapat mengganggu penyembuhan tendon (Dimmen et al,2011). 2.3.4.5 Penyakit Metabolik Penyakit metabolik yang paling mempengaruhi peningkatan resiko infeksi dan kegagalan penutupan luka adalah diabetes mellitus. Diabetes yang tidak terkontrol akan menyebabkan kemunduran reaksi inflamasi, angiogenesis dan sintesa kolagen. Selain itu gangguan pada pembuluh darah baik yang besar maupun perifer yang merupakan tanda dari diabetes fase lanjut akan menyebabkan terjadinya lokal hipoksemia. Selain itu pada penderita diabetes
23
terjadi juga gangguan fungsi granulosit, gangguan perkembangan kapiler dan gangguan proliferasi dari fibroblas. Kegemukan, resistensi
terhadap insulin,
hiperglikemia, diabetic renal failure, semua memberi pengaruhnya masingmasing terhadap penutupan luka. Koreksi terhadap kadar gula darah sebelum dilakukan operasi pada penderita diabetes akan meningkatkan penutupan luka secara signifikan (Barbul, 2005). 2.3.4.6 Infeksi Infeksi pada luka terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh dan pertumbuhan bakteri (Lorenz et al,2005). Infeksi akan memperpanjang fase inflamasi, mengganggu epitelisasi, kontraksi dan deposisi kolagen. Endotoksin yang dihasilkan akan merangsang fagositosis dan akan melepaskan kolagenase yang akan menyebabkan degradasi kolagen dan kerusakan pada jaringan normal sekitarnya. Jika koloni bakteri pada luka melebihi 10
organisme per gram jaringan atau terdapat suatu infeksi dari streptokokus β hemolitikus maka luka tidak akan dapat sembuh, hal ini juga berlaku pada penutupan luka dengan flap, penggunaan skin graft atau pada luka yang dijahit primer (Leong et al, 2004) 2.3.5 Peranan Fibroblas dalam Penyembuhan Tendon Achilles Fibroblas merupakan sel aktif utama dari jaringan ikat dan diatur oleh selsel yang disebut fibrosit yang ada di jaringan stroma. Fibroblas memproduksi dan melakukan sekresi protein kolagen yang digunakan untuk kerangka struktur jaringan.
24
Dalam proses penyembuhan luka normal, fibroblas ikut serta dalam berbagai proses penting seperti menghancurkan gumpalan fibrin, membuat matriks ekstra seluler yang baru dan struktur kolagen yang mendukung penyembuhan luka yang efektif. Saat tendon putus, selanjutnya fibroblas bermigrasi ke lokasi robekan dimana akan mengumpulkan kolagen dan memfasilitasi proses penyembuhan. Fibroblas yang berimigrasi tersebut mulai mensintase kolagen sekitar hari ke 5. Tenosit menjadi tipe sel utama dan selama lebih dari 5 minggu ke depan, kolagen terus di sintesa. Setelah minggu ke 4, terjadi peningkatan dalam proliferasi fibroblas dari endotenon. Sel ini mengambil alih peran utama dalam proses penyembuhan, mensintesa dan mengabsorsi kembali kolagen. Jaringan baru terbentuk dan mulai mature, proses ini berlangsung selama 2 bulan. Penyembuhan yang didapat melalui fase remodeling dipengaruhi oleh fungsi fisiologis tendon yang normal (Maffuli et al, 2002)(Adams et al, 2008)
2.4
Penghambat Siklooksigenase (COX) Obat golongan anti inflamasi non steroid sering dipakai untuk mengobati
penyakit yang berhubungan dengan cedera muskuloskeletal. Tujuan pemberian obat golongan adalah untuk mengurangi bengkak dan nyeri pada proses inflamasi. Obat golongan anti-inflamasi non steroid ini menghambat aktifitas sikloooksigenase dalam sistem saraf pusat dan bagian tubuh yang terluka untuk mencegah perubahan asam arasidonik menjadi prostaglandin. Suatu penghambat aktifitas enzim siklooksigenase (COX) dalam sintesa prostaglin (PG) dari asam
25
arasidonik yang mengatur serta merupakan penyebab utama proses inflamasi. Prostagladin dan mediator lainnya yang diturunkan dari asam arasidonik mengatur berbagai proses fisiologis yang berhubungan dengan penggumpalan darah, pembuluh darah, stabilitas lambung, fungsi ginjal (Su et al, 2013)(Patel,2011) 2.4.1 Asam Arasidonik, Prostaglandin dan Siklooksigenase Asam arasidonik ditemukan dalam membran sel fosfolipid. Saat sel mendapat stimuli berupa inflamasi atau trauma, enzim fosfolipase A2(PLA2) diaktifkan untuk melepaskan asam arasidonik dari membran fosfolipid. Sintesa prostaglandin H (PGH) juga disebut siklooksigenase (COX), adalah membran yang mengikat enzim yang memiliki peran utama untuk mengkatalisasi dua langkah awal (siklooksigenase dan peroksidasi) untuk mengubah asam arasidonik menjadi intermediate cyclic endoperoxidase prostaglandyn H2 (PGH2) dan prostaglandin G2 (PGG2). Langkah pertama, siklooksigenase (COX) melakukan siklisasi dan menambah dua molekul O2 pada asam arasidonik untuk membentuk cyclic hydoperoxide PGG2. Istilah siklooksigenase berasal dari reaksi pertama ini yang melibatkan perubahan asam arasidonik ke prostaglandin melalui siklisasi dan oksigenase. Langkah kedua, COX mengurangi PGG2 menjadi PGH2. PGH2 sangat tidak stabil dan merupakan intermediator precursor untuk berbagai prostanoid seperti thromboxane A2 (TXA2), prostosiklin (PGI2), PGD2, PGE2, PGF2 dengan berbagai aktifitas biologinya. COX terdapat pada rutikulum endoplasma dan membran nuklea. Sumber utama isolasi dan karakterisasi siklooglinase berasal dari ovine seminal vesicle seluruh tubuh dan bertanggung jawab untuk sintesa prostaglandin di berbagai tipe
26
sel. COX-1 tertinggi terdapat di monosit, sel endothelial, platelet dan seminal vesicles. COX-2 terdapat pada reticulum endoplasma dan membran nuklea dan sedikit dalam jaringan sehat. Namun sangat dipengaruhi oleh mediator proinflamatori dan sitokin dalam jaringan yang patologis dan mengalami inflamasi. Sitokin dan growth factor (epidermal growth factor), platelet derived GF/PDGF dapat mempengaruhi ekspresi COX-2 dalam berbagai tipe sel termasuk fibroblas, makrofag, epithelial, endothelial, dan osteoblas (Radi, 2012).
Membrane sel fosfolipid Fosfolipase A2 NSAID
Asam Arasidonik
COX-2
COX-1
Prostaglandin G2
Peroksidase
Sel endothelial sel otot vaskuler, platelet dan platelet precursor
Peroksidase
Prostaglandin H2
Sintesa PGI Prostasiklin (PGI2)
Sintesa spesifik (sintesa PGD, sintesa PGE, sintesa PGF)
Sintesa tromboksan A
Sintesa tromboksan A2 (TXA2)
PGD2, PGE2, PGF2α
Gambar 2.4. Jalur Metabolisme Prostaglandin (Radi, 2012).
27
Siklooksigenase (COX) yang ditemukan di tahun 1988 adalah enzim kunci dalam sintesa prostaglandin (PG) dari asam arasidonik. Pada tahun 1991, para peneliti mengidentifikasi suatu produk dari gen kedua dengan aktifitas COX dan menyebutnya COX-2. COX-2 bersifat induksi dan menghasilkan stimulan termasuk proinflammatory cytokine dan faktor pertumbuhan yang memberikan peranan bagi COX-2 dalam penurunan inflamasi dan pertumbuhan sel serta memberikan solusi untuk menekan proses inflamasi tanpa menyebabkan efek samping pada perut, ginjal dan zat pembeku darah yang sebelumnya dianggap sebagai konsekuensi dari penggunaan penghambat COX-2 untuk melindungi sintesa prostaglin (protagladyneinflammantory). COX-2 bekerja secara selektif dengan menghambat isoform COX-2 (Vane et al, 1998). Dengan menghambat enzim COX-2, berarti menghalangi formasi prostaglandin pada daerah cedera yang akan mengurangi nyeri, inflamasi, peningkatan suhu tubuh dan rekruit sel inflamasi (Patel, 2011). Walaupun obat-obatan anti inflamasi non steroid sudah umum digunakan namun masih menimbulkan perdebatan mengenai pengaruhnya terhadap penyembuhan tendon. Beberapa penelitian memberikan hasil yang bervariasi. Ada beberapa penelitian yang menunjukan tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan pada kekuatan tendon setelah penggunaan obat-obat anti inflamasi non steroid. Pemberian diklofenak selama 3 hari pada tendon achilles tikus tidak memberikan perbedaan pada mechanical properties bila dibandingkan dengan kelompok kontrol sehingga tidak terdapat manfaat biomekanik atau fungsional pada tendon
28
namun mengurangi edema dan akumulasi sel inflamatori dalam paratenon (Marsolais et al, 2003), demikian juga Hanson yang menyatakan pemberian celecoxib pada tikus selama 6 hari tidak memiliki pengaruh pada penyembuhan ligamen namun pemberian peroxicam selama 6 hari meningkatkan penyembuhan medial collateral ligament(Hanson et al, 2005) . Beberapa penelitian yang lain menunjukan tingkat kemungkinan gagal yang rendah dan penurunan kekuatan tensil tendon (Dimmen et al,2011)(Ferry et al, 2007). Studi yang meneliti tentang penggunaan obat golongan anti inflamasi bukan steroid (AINS) pada putusnya tendon tikus menunjukkan peningkatan kekuatan tensil pada penyembuhan tendon. Telah diperkirakan bahwa mekanisme pengaruh penghambat COX pada regenerasi jaringan konektif adalah akselerasi dari maturasi kolagennya. Selama masa maturasi, jumlah dan kualitas hubungan yang berkait antar komponen dan molekul semakin meningkat yang akan meningkatkan kekuatan tensil dan meningkatkan ikatan antar kolagen. Ini ditunjukan dengan adanya peningkatan persentase kolagen yang tidak larut dan kandungan kolagen pada tendon tikus setelah pemberian indomethasin dan celecoxib walaupun cross section area tendon menurun (Forslund C. et al, 2003). Perbedaan-perbedaan hasil dari penelitian ini berhubungan dengan fase inflamasi, proliferasi dan remodeling yang terjadi selama proses penyembuhan serta proses sel dan molekular yang terlibat dalam setiap fase memiliki respon yang berbeda terhadap penggunaan obat anti-inflamasi non steroid dan penghambat siklooksigenase (Su et al, 2013). Selain itu karena perbedaan golongan obat dan dosis yang diberikan, model eksperimen dan target penelitian.
29
Penelitian-penelitian tersebut menjelaskan bahwa walaupun penggunaan obat anti inflamasi non steroid mempunyai pengaruh terhadap kekakuan tendon dan mempunyai efek negatif pada proliferasi sel tendon namun dapat diimbangi oleh efek positif pada sintesa kolagen (Su et al, 2013) 2.4.2 Pengaruh COX-2 pada Penyembuhan Putusnya Tendon Achilles Pada penyembuhan tendon, mekanikal kekuatan tendon harus dapat bergerak bebas dalam pembungkusnya (tendon sheath), penggunaan obat-obat anti inflamasi non steroid memberikan pengaruh pada kekuatan tendon ini. (Su et al, 2013). Untuk membentuk kembali kekuatan tendon, sel tendon harus bermigrasi ke tempat cedera, berproliferasi dan membentuk kolagen untuk proses perbaikan. Penggunaan obat-obatan anti-inflamasi non steroid akan menghalangi proliferasi sel tendon dan juga menurunkan sintesa DNA dalam fibroblas tendon yang menyebabkan efek negatif pada proliferasi sel tendon namun sebaliknya juga akan meningkatkan sintesa kolagen (Almekinders et al,1995). Penelitian Muscara menunjukan penghambat COX-2 selektif tidak secara signifikan mempengaruhi deposisi kolagen, dimungkinkan karena tidak menekan sintesa prostaglandin di daerah luka. Tampaknya sintesa prostaglandin pada daerah luka terjadi utamanya melalui COX-1, terbukti dengan tidak adanya protein COX-2 pada daerah luka (Muscara et al,2000) Untuk membentuk kekuatan mekanik, tendon harus dapat bergerak bebas. Formasi adhesi yang terjadi antara tendon dan pembungkus tendon atau jaringan lunak di sekitarnya
mengurangi rentang gerak tendon (range of motion).
30
Pemberian obat-obatan anti-inflamasi non steroid dapat mengurangi formasi adhesi yang berarti meningkatkan rentang gerak tendon (Szabo et al, 1999). Pemberian obat-obatan anti inflamasi non steroid tidak menunjukan efek negatif jangka panjang dalam penyembuhan tendon (O’Connor et al, 2008) dan COX-2 memainkan peran penting dalam penyembuhan luka dimana terjadi infeksi (Muscara et al,2000). 2.4.3 Waktu penggunaan Obat-obatan Anti Inflamasi Non Steroid Waktu
pemberian obat-obatan anti inflamasi non steroid dan jangka
waktunya sangat berpengaruh terhadap proses penyembuhan putusnya tendon. Pemberian di fase awal cedera akan melindungi tendon dengan menghambat neutrofil dan makrofag (Marsolais D., 2003). Beberapa penelitian menunjukan penggunaan obat-obat anti inflamasi di fase proliferasi dapat menghambat proses penyembuhan walaupun demikian tetap memiliki pengaruh positif terhadap proses penyembuhan robekan tendon (Hanson et al, 2005)(Virchenko et al, 2004). Terdapat juga penelitian yang menunjukkan pemberian celecoxib menghambat migrasi sel dan proliferasi namun tidak mengubah ekspresi kolagen tipe I dan III (Tsai et al,2007) Pemberian obat dilakukan pada fase inflamasi untuk mengurangi inflamasi dan pembengkakan yaitu selama 5 hari. Pemberian obat kemudian dihentikan saat memasuki fase proliferasi dimana pada saat itu yaitu hari ke 5, fibroblas bermigrasi dan mulai mensintase kolagen yang memiliki peran penting agar proses penyembuhan luka robekan tendon berjalan efektif (Maffuli et al,2015). Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Forslund menyatakan pemberian COX-2 selama 14 hari tidak menghambat penyembuhan tendon.
31
2.4.4 COX-2 Dan Obat-obat Yang Termasuk Di Dalamnya COX-2 dikembangkan untuk mengurangi efek negatif pada saluran pencernaan pada obat anti inflamasi konvensional (COX-1). Coxib termasuk dalam jenis obat COX-2. Obat-obat yang termasuk dalam golongan coxib didistribusikan secara luas dalam tubuh dan pada otak, konsentrasi yang cukup untuk mendapat efek analgesik pusat. Coxib dapat diabsorbsi dengan baik dan memiliki ikatan protein yang tinggi dalam darah. Golongan coxib yang sudah disetujui oleh FDA (Federation Drug Administration) adalah Celecoxib, Parecoxib dan Etoricoxib. Sedangkan Rofecoxib menyebabkan peningkatnya insiden myocardial infarctions. Obat golongan coxib yang pertama disetujui oleh FDA adalah Celecoxib pada 31 Desember 1998 digunakan sebagai penghilang nyeri dari osteoartritis, rematoid artritis, nyeri akut dan dismenorea. Celecoxib memiliki selektifitas yang baik terhadap enzim COX-2 dan tidak mengganggu fungsi platelet, diberikan setelah operasi sebagai analgesik tanpa meningkatkan efek pendarahan (Buvanendran et al, 2012). Celecoxib merupakan jenis penghambat COX-2 dengan toksisitas yang paling rendah di antara jenis penghambat COX-2 lainnya (Kimmel et al, 2005). Satu studi menyatakan
bahwa penggunaan celecoxib
setelah cedera atau setelah operasi selama 5 hari berturut-turut menghasilkan penurunan nyeri akut dan kronik setelah operasi yang signifikan (Derman et al, 2010). 2.4.5. Celecoxib Celecoxib merupakan penghambat selektif COX-2 dengan desain kimiawi 4-[5-(4-methylphenyl)-3-(trifluoromethyl)-1H-pyrazol-1-yl] benzenesulfonamide
32
dengan rumus kimianya C17H14F3N3O2S dan berat molekulnya 381,38. Struktur kimianya adalah sebagai berikut: NH2
O S O N N
CF3
CA3
Gambar.2.5. Struktur Kimia Celecoxib (Pfizer, 2015)
Mekanisme kerja Celecoxib adalah melalui hambatan terhadap sintesa prostaglandin, terutama melalui hambatan pada COX-2. Pada kadar terapeutik tidak akan menghambat COX-1. Hambatan pada PGE2 dapat menyebabkan retensi sodium dan cairan melalui peningkatan reabsorbsi pada meula ginjal dan segmen distal nefron. Di duktus koledukus, PGE2 akan menghambat reabsorbsi dengan cara kerja berlawanan aksi hormon anti dieuretik. Celecoxib pada dosis tunggal sampai dengan 800mg dan dosis multiple 600mg 2x sehari selama 7 hari (lebih tinggi dari dosis terapi yang dianjurkan) tidak memiliki efek pada reduksi agregasi platelet atau peningkatan waktu pendarahan. Kadar puncak plasma celecoxib kurang lebih 3 jam setelah pemberian per oral. Kadar puncak ini akan memanjang 1 sampai 2 jam ketika diberikan bersama dengan makanan yang tinggi lemak dan absorpsi totalnya akan meningkat 1020%. Pemberian bersama antasid yang mengandung alumunium dan magnesium
33
akan menurunkan konsentrasi plasma celecoxib sebanyak 37%. Konsumsi celecoxib sampai dengan dosis 200mg x 2 per hari dapat diberikan tanpa pertimbangan waktu makan. Pada dosis yang lebih tinggi seperti 400mg x 2 per hari harus diberikan setelah makan untuk meningkatkan absorpsi. Dalam distribusinya, pada subyek normal celecoxib berikatan sangat kuat dengan protein ( ~ 97%). Pada penelitian in vitro, berikatan sangat kuat dengan albumin dan sangat sedikit dengan α1-acid glucoprotein. Celecoxib tidak berikatan dengan sel darah merah. Metabolisme celecoxib dimediasi melalui sitokrom P 450 2C9. Ada 3 macam metabolit yang telah diketahui pada plasma manusia yaitu alkohol, asam karbosilik dan glukorinid. Ketiga metabolit ini menjadi inaktif oleh penghambat COX-1 atau COX-2. Eliminasi utama celecoxib predominan oleh metabolism hapatik. Setelah pemberian oral, kurang lebih 57% dari dosis akan disekresi di feses dan 27% di urin. Metabolit utama yang disekresikan di feses dan urin adalah asam karbosilik (73% dosis). Waktu paruh efektif celecoxib adalah kurang lebih 11 jam. Pada manajemen nyeri akut dewasa, dosis awal 400 mg, dapat diikuti 200mg pada hari yang sama, selanjutnya 200 mg setiap 12 jam jika dibutuhkan (Pfizer, 2015)