BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan Pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan yang bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berpikir kritis, aspek pola hidup sehat dan pengenalan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan terpilih yang direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Supandi mengungkapkan pentingnya gerak sebagai kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia seperti halnya pentingnya minum dan makan. Hal tersebut berarti gerak dan olahraga merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk menunjang kesehatan dan kebugaran jasmani (Tarigan, 2011). Berkaitan
dengan
pentingnya
aktivitas
jasmani,
Bompa
dan
Astrand
mengemukakan, apabila aktivitas jasmani atau olahraga memenuhi prinsip-prinsip latihan, misalnya melakukan aktivitas olahraga dengan beban latihan ringan sampai sedang serta dilakukan secara rutin dan teratur, kegiatan tersebut dapat meningkatkan derajat kebugaran jasmani (Tarigan, 2011) Pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan merupakan program pengajaran yang sangat penting dalam membentuk kebugaran para siswa serta dapat mengarahkan siswa untuk dapat beraktivitas olahraga agar tercapai generasi yang sehat dan kuat (Aminarni, 2009). Tujuan berolahraga dapat dibagi atas kebutuhannya, diantaranya (Nala, 2011): 1.
Rekreasi bertujuan untuk bersenang-senang.
2.
Pendidikan bertujuan untuk membina disiplin, kemauan, kepribadian, kerjasama, dan lainnya.
3.
Kesehatan bertujuan sebagai sarana pencegahan agar tidak mengalami keadaan sakit.
4.
Kesegaran jasmani bertujuan agar mampu melakukan pekerjaan sehari-hari dengan efektif dan efisien.
5.
Prestasi bertujuan untuk menjadi juara olahraga.
2.1.1 Atletik dan lempar cakram Atletik merupakan olahraga tertua, dimana gerakan pada olahraga atletik seperti: jalan, lari, lompat dan lempar menjadi dasar gerakan-gerakan olahraga yang dapat dijumpai pada hampir setiap cabang olahraga lainnya, atau sering dikatakan bahwa atletik merupakan dasar dari semua cabang olahraga (mother of sport) (Dixon, 2014). Atletik merupakan aktivitas jasmani yang mendasar untuk cabang olahraga lain karena bagian-bagian gerakan pada olahraga atletik menjadi dasar gerakan untuk penyempurnaan teknik-teknik gerakan pada cabang olahraga lainnya. Lempar cakram (discus throw) adalah salah satu bagian dari olahraga atletik nomor lempar. Lempar cakram bertujuan melemparkan benda berbentuk bulat pipih (cakram) sejauh-jauhnya menggunakan ritme, kekuatan, keterampilan dan teknik dasar lempar cakram yang kuat (Guthrie, 2008). Cakram yang digunakan pada saat lempar cakram adalah benda yang berbentuk bulat pipih dengan diameter lingkarannya adalah 220 mm. Cakram pada lempar cakram dibagi menurut beratnya menjadi dua, diantaranya cakram yang digunakan untuk lakilaki memiliki berat dua kg dan cakram yang digunakan khusus untuk perempuan memiliki berat satu kg.
2.1.1 Gerak pada lempar cakram Cakram yang dilempar harus dipegang dengan teknik yang benar, supaya arah dari lemparan sesuai dengan aturan yang ada dan hasil lemparan cakram jatuh didaerah yang telah ditentukan. Cakram dilempar dengan posisi menyampingi arah lemparan yang biasanya digunakan oleh para pemula karena gerakannya lebih mudah, cukup sederhana dan terbiasa diajarkan oleh tenaga pendidik kepada para siswa dalam proses belajar mengajar di sekolah. Dalam cara melempar cakram dengan menyampingi arah lemparan dapat dilakukan dengan teknik melempar cakram sebagai berikut (Sodikin dan Achmad, 2009). 1.
Tahap awal gerakan dalam lempar cakram dilakukan dengan cara: 1) Cakram diletakkan pada telapak tangan kiri, kemudian tangan kanan di atas cakram. 2) Berdiri di dalam lingkaran (daerah melempar), dengan posisi badan menyampingi arah lemparan.
Gambar 2.1 Tahap awal gerakan lempar cakram. (Nikitin, 2015)
2.
Tahap pelaksanaan gerakan lempar cakram dilakukan dengan cara : 1) Kaki dibuka sejajar, menyampingi arah lemparan. 2) Berat badan berada pada kaki belakang. 3) Cakram dikait, dengan lengan kanan lurus ke bawah. Cakram diayun ke depan atas sebanyak tiga kali. Ayunan tangan ke belakang dengan mempersiapkan otot-otot yang dilibatkan dalam posisi regang penuh (tidak berlebihan) bertujuan untuk menambah waktu dan jarak persiapan yang bermanfaat meningkatkan tenaga yang diproduksi (Redhana, 2008) 4) Cakram dilempar, berat badan berada pada kaki belakang dan punggung tangan berada di atas. Jari kelingking membantu pada saat lepasnya cakram ke depan.
Gambar 2.2 Tahap pelaksanaan gerak lempar cakram (Nikitin, 2015).
3.
Tahap akhir gerakan melempar cakram dilakukan dengan cara : 1) Gerakan kaki mengikuti putaran badan terakhir.
2) Salah satu kaki ke depan, dan kaki yang lain diluruskan ke belakang untuk menjaga keseimbangan agar anggota badan tidak melewati garis batas lemparan.
Gambar 2.3 Tahap akhir gerakan lempar cakram (Nikitin, 2015).
2.2 Pelatihan Penerapan Ilmu Faal Olahraga untuk meningkatkan prestasi atlet sangat penting untuk menentukan takaran latihan, keberhasilan latihan atlet selama periodisasi latihan. Fisiologi Olahraga merinci dan menerangkan perubahan fungsi yang disebabkan oleh latihan tunggal (acute exercise) atau latihan yang dilakukan secara berulang-ulang (chronic exercise) dengan tujuan untuk meningkatkan respon fisiologis terhadap intensitas, durasi, frekuensi latihan, keadaan lingkungan dan status fisiologis individu (Anonim, 2010). Untuk meningkatkan prestasi, diperlukan kesehatan fisik yang tinggi, yang dapat dibina melalui masukan gizi yang cukup dan latihan yang baik (Suniar, 2002). Pelatihan menurut Bompa merupakan suatu aktivitas yang komplek, suatu kinerja dari atlet yang dilakukan secara sistematis dalam durasi yang panjang, progresif dan berjenjang secara individual, dengan tujuan untuk mendapatkan suatu bentuk fungsi
fisiologis dan psikologis tertentu agar dapat memenuhi berbagai tuntutan tugas sewaktu berolahraga (Nala, 2011). Dimana pelatihan olahraga dapat dibagi sesuai dengan spesialisasi yang akan dilatih, spesialisasi membagi pelatihan olahraga menjadi empat macam diantaranya (Nala, 2011): 2.2.1 Pelatihan fisik Pelatihan fisik merupakan pelatihan dengan usaha untuk memperbaiki sistem, fungsi organ dengan memberikan beban latihan kepada bagian fisik untuk mengoptimalkan kinerja dan penampilan atlet. Pelatihan fisik merupakan unsur terpenting dalam pelatihan olahraga untuk mencapai prestasi tertinggi. Menurut Petersen beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pembuatan program pelatihan fisik, diantaranya (Nala, 2011): 1.
Intensitas / Beban Pelatihan. Setiap atlet memiliki kemampuan menerima beban pelatihan yang berbeda-beda.
Sehingga beban pelatihan yang diberikan harus disesuaikan dengan kemampuan masing-masing atlet. Beban latihan yang diberikan tidak boleh terlalu ringan bahkan terlalu berat supaya tidak menyebabkan cedera pada atlet. Sebagai pertimbangan penerapan prinsip beban berlebih, akan mengakibatkan kelelahan (fatique) dapat menghilangkan kemampuan tubuh dalam merespon suatu rangsang (Joesoef, 2014). Kelelahan dalam berolahraga dapat mengakibatkan kelelahan fisik dan psikis. 2.
Spesifikasi. Pelatihan fisik menurut Frank dibuat sedemikian rupa sehingga pelatihannya
menyerupai dengan gerak aktivitas yang dibutuhkan dalam spesialisasi olahraga. Prinsip kekhususan (the principle of spesificity), adalah prinsip latihan untuk memenuhi sasaran tertentu. Sasaran yang dimaksud adalah spesifik terhadap kelompok otot
tertentu, spesifik terhadap rangkaian pola gerakan, spesifik terhadap sistem energi predominan dan lain sebagainya (Bafirman, 2013). 3.
Progresif. Prinsip beban bertambah (the principle of progressive resistance) adalah
penambahan beban yang dilakukan dari satu hari latihan kehari latihan berikutnya. Wujud dari penambahan beban ini dapat berupa meningkatkan frekuensi, lama latihan, set, maupun repetisi. Konsep diberlakukannya prinsip beban berlebih ini karena diyakini bahwa faal tubuh dapat beradaptasi terhadap stimulus yang diterimanya. Tujuan penerapan prinsip ini adalah untuk mengoptimalkan kemampuan fungsional tubuh, yang selanjutnya berwujud prestasi optimal yang diinginkan. Latihan berat yang dilakukan hendaknya diselingi dengan latihan ringan, dengan tujuan memberikan kesempatan faal tubuh beristirahat (pemulihan cadangan energi/ memperbaiki jaringanjaringan yang rusak). 4.
Waktu Pemulihan. Prinsip pulih asal (the principle recovery) menurut Costill adalah prinsip yang
memandang bahwa faal tubuh perlu masa istirahat. Masa istirahat ini diperlukan untuk mengembalikan kondisi tubuh seperti sediakala. Pemulihan cadangan energi, pembersihan akumulasi asam laktat, pemulihan cadangan oksigen, dan perbaikan jaringan yang rusak adalah serangkaian peristiwa yang terjadi pada saat istirahat (Bafirman 2013). Bentuk aktivitas selama pemulihan disela latihan dapat dilakukan dengan istirahat pasif maupun aktif. Prinsip kembali asal (the principle reversibility) adalah prinsip yang memandang bahwa peningkatan kualitas fisik akibat dari latihan yang berkualitas, akan kembali ketingkat paling dasar, jika latihan tidak dilakukan dalam jangka yang panjang dan berkesinambungan. Jika beban latihan dapat ditingkatkan secara terus
menerus, maka akan terjadi peningkatan komponen kebugaran jasmani dalam taraf tertentu. Menurut Brooks urutan pelatihan fisik yang harus diterapkan, yaitu (Nala, 2011): 1.
Pelatihan Fisik Umum, merupakan fase awal pelatihan fisik. Pada fase pelatihan fisik umum ini pelatihan belum dikaitkan dengan bidang olahraga spesialisasinya. Dimana pelatihan fisik dalam fase umum ini dilakukan dengan intensitas yang tidak terlalu berat agar tidak menimbulkan cedera, karena pada fase ini, otot, tulang, dan ligament belum terkonsolidasi.
2.
Pelatihan Fisik Khusus, merupakan fase lanjutan dari pelatihan fisik umum. Pada fase ini pelatihan sudah ditujukan sesuai dengan cabang olahraga pilihannya. Setiap pelatihan pengembangan sistem organ tubuh sudah relevan dengan kebutuhan yang akan dihadapi pada waktu pelatihan teknik dan taktik sesuai dengan bidang olahraga spesialisasinya.
3.
Pelatihan Komponen Biomotorik Khusus, merupakan fase pelatihan lanjutan dari pelatihan fisik umum dan pelatihan fisik khusus. Pada fase ini dilatih komponen biomotorik yang betul-betul dibutuhkan untuk menunjang kemampuan teknik dan taktik bermain. Takaran pelatihan untuk mengembangkan kemampuan komponen biomotorik khusus diberikan dengan intensitas yang tinggi. Pada fase ini, pelatihan yang dipilih menyerupai gerakan sesungguhnya agar komponen biomotorik yang dikembangkan dapat memenuhi kebutuhan yang diperlukan untuk menunjang kemampuan teknik atau taktik sehingga dapat memaksimalkan hasil gerakan yang dilakukan.
2.2.2 Pelatihan teknik Pelatihan teknik menurut Nossek adalah gerakan pelatihan yang diperlukan untuk memperbaiki teknik gerakan untuk dapat melaksanakan cabang olahraga tertentu dengan lebih baik. Pelatihan teknik merupakan pelatihan khusus untuk membentuk dan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan motorik atau perkembangan neuromuscular. Kesempurnaan teknik dasar dari setiap gerakan sangat penting oleh karena akan menentukan gerak keseluruhan. Sehingga setiap gerakan-gerakan dasar dari bentuk teknik yang diperlukan dari cabang olahraga yang bersangkutan harus dapat dilatih dan dikuasai secara sempurna (Lenati, 2014). Pada tahap pelatihan teknik, menurut Nossek dalam dasar kepelatihan mengemukakan pelatihan teknik dapat dibagi menjadi tiga tahap yang harus dilakukan, meliputi (Pekik 2002): 1). Tahap pengembangan koordinasi kasar (gross coordination), tahap koordinasi kasar ini dilakukan untuk mengembangkan tahap pelatihan selanjutnya. Tahap ini dilakukan kepada atlet pemula yang biasanya belum bisa melakukan gerakan yang baik, biasanya terlihat dari gerakan-gerakan atlet masih kaku, dan kurang efisien. 2). Tahap koordinasi halus (fine coordination), tahap ini diberikan dan terlihat kesalahan gerak sudah mulai berkurang, gerak lebih konsisten dan stabil serta lebih efisien. 3). Tahap stabilisasi dan otomatis (stabilization and automatization) pada tahap pelatihan ini atlet sudah mampu mengatasi hambatan-hambatan, serta gerakan sudah dilakukan otomatis tanpa dipikirkan terlebih dahulu, ditahap pelatihan ini gerak sudah sangat efisien sehingga keluaran energi sangat sedikit dengan menghasilkan hasil gerakan yang sangat maksimal.
2.2.3 Pelatihan taktik Pelatihan taktik adalah cara-cara yang diperlukan untuk memenangkan suatu pertandingan secara sportif sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pelatihan ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan daya tafsir pada atlet. Teknik gerakan yang sudah dikuasai dengan baik harus dituangkan dan diorganisir dalam setiap tahap pelatihan. 2.2.4 Pelatihan mental Kemajuan mental atlet tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan ketiga faktor pelatihan di atas, karena betapapun sempurnanya perkembangan fisik, teknik dan taktik atlet, apabila mentalnya tidak turut dikembangkan, prestasi maksimal tidak akan tercapai. Pelatihan mental menekankan pada perkembangan kedewasaan atlet, penekanan emosi serta implusif, misalnya: semangat bertanding, sikap pantang menyerah, keseimbangan emosi walaupun berada pada keadaan tertekan, sportifitas, percaya diri dan kejujuran. 2.3 Tujuan Pelatihan Fisik Tujuan dari pelatihan fisik menurut Bompa adalah untuk memperbaiki struktur dan fungsi dari organ tubuh agar penampilan atlet mencapai optimal (Lenati, 2014). Setiap penyusunan program pelatihan, terlebih dahulu ditetapkan tujuan pelatihan sehingga perencanaan dan pelaksanaan pelatihan dapat disesuaikan dengan tujuan (Nala, 2011). Secara garis besar tujuan pelatihan olahraga menurut Nala (2011), adalah sebagai berikut: 1.
Mengembangkan komponen fisik umum atau multilateral, yang meliputi pengembangan seluruh kemampuan komponen biomotorik, yang menyangkut sepuluh komponen biomotorik.
2.
Mengembangkan komponen fisik khusus, yang disesuaikan dengan tipe atau spesialisasi cabang olahraga yang dilatih.
3.
Memperbaiki teknik atau keterampilan sesuai dengan spesialisasi olahraga yang ditekuni.
4.
Memperbaiki strategi dan teknik bermain. Dalam hal ini diperhitungkan juga kekuatan dan kelemahan serta watak dari lawan yang dihadapi sehingga strategi dapat dipersiapkan dengan matang.
5.
Meningkatkan kualitas kemauan atlet.
6.
Meningkatkan persiapan dan kerjasama tim.
7.
Meningkatkan derajat kesehatan atlet.
8.
Mencegah cedera dengan melakukan pemanasan sebelum latihan inti.
9.
Memperkaya pengetahuan teori. Diperkenalkan terutama tentang fisiologi atau psikologi dasar pelatihan, perencanaan, gizi dan regenerasi.
2.4 Prinsip Pelatihan Fisik Prinsip dari pelatihan adalah suatu petunjuk dan aturan yang disusun secara sistematis, dengan pemberian beban yang ditingkatkan secara progresif, yang harus ditaati dan dilaksanakan agar tercapai tujuan pelatihan. Prinsip dasar ini merupakan langkah awal dalam kegiatan penyusunan program pelatihan yang optimal dan efektif untuk dapat diaplikasikan. Prinsip pelatihan fisik menurut Nala (2011), mengatakan bahwa lama pelatihan yang dilakukan sampai diperoleh hasil latihan yang konstan dimana tubuh sudah beradaptasi dengan pelatihan yang dilakukan akan tercapai dengan pelatihan yang dilakukan dalam jangka waktu 6-8 minggu pelatihan.
Prinsip-prinsip dasar pelatihan diuraikan terdiri dari 7 prinsip diantaranya (Nala, 2011), 1. Prinsip Aktif dan bersungguh-sungguh dalam mengikuti latihan. Prinsip ini diterapkan bertujuan untuk mencapai hasil yang maksimal dalam suatu pelatihan sehingga atlet dituntut untuk selalu bertindak aktif dan mengikuti pelatihan dengan bersungguh-sungguh tanpa ada paksaan dan tidak hanya berlatih ketika didampingi oleh pelatih saja. 2. Prinsip pengembangan multilateral. Pelatihan fisik umum atau pelatihan multilateral yang dilaksanakan sebelum pelatihan mengarah kepada spesifikasi hendaknya dibekali terlebih dahulu pelatihan dasar-dasar kebugaran fisik dan komponen biomotorik. Selain itu dikembangkan pula seluruh organ dan sistema yang ada dalam tubuh, baik yang menyangkut proses fisiologis maupun psikologisnya. 3. Prinsip spesialisasi. Setelah pelatihan pengembangan multilateral dilanjutkan dengan pengembangan fisik khusus atau spesialisasi yang tentunya disesuaikan dengan cabang olahraga yang dilatih. Pelatihan spesialisasi dapat dimulai setelah sesuai dengan umur untuk cabang olahraga yang dipilih oleh anak atau atlet bersangkutan. Untuk melatih cabang olahraga atletik termasuk lempar cakram, spesialisasi umur yang dilatih antara 14-17 tahun. 4. Prinsip individualisasi. Setiap orang mempunyai kemampuan, potensi, karakter belajar dan spesifikasi dalam olahraga yang berbeda satu sama lainnya, sehinggga cara pelatihannya akan berbeda. Pendekatan personalisasi dapat dipergunakan sebagai media untuk mengembangkan kualitas pribadi (Zamroni, 2003).
5. Prinsip variasi atau keserbaragaman. Pelatihan yang bersifat monoton dan dilakukan secara terus menerus akan cukup membosankan. Untuk menghindari hal tersebut maka dalam pelaksanaan pelatihan perlu dibuatkan variasi pelatihan, tentunya mempunyai tujuan yang sama yaitu tetap mengacu pada tujuan pelatihan dan tidak keluar dari program pelatihan yang ditetapkan, sehingga atlet tetap bergairah dan semangat dalam berlatih. 6. Prinsip mempergunakan model proses pelatihan. Model yang dimaksud dalam prinsip ini adalah imitasi, suatu simulasi dari kenyataan yang dibuat dari elemen atau unsur spesifik dari fenomena yang diamati yang mendekati keadaan sebenarnya. 7. Prinsip peningkatan beban progresif dalam pelatihan. Beban pelatihan dimulai dengan beban awal yang ringan, kemudian ditingkatkan secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan atlet bersangkutan. Dapat pula dilakukan diawali dengan gerakan sederhana kemudian ditingkatkan menjadi gerakan yang semakin rumit.
2.5 Prosedur Pelatihan Fisik Prosedur pelatihan fisik pada pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan terdiri dari tiga bagian yaitu bagian latihan pemanasan, latihan inti dan latihan pendinginan (Syarifudin, 1997). 2.5.1 Pemanasan Pemanasan menurut Bompa (2001) adalah tahap awal pelatihan yang sangat penting untuk dilakukan. Mengingat pemanasan bertujuan untuk mempersiapkan fisik dan psikis dalam menghadapi pelatihan inti serta mencegah kemungkinan terjadinya cedera. Efek nyata dan besar manfaatnya dari melaksanakan pemanasan ini adalah pada
peningkatan komponen biomotorik kecepatan, kecepatan gerakan lengan, kekuatan otot, daya tahan otot, daya ledak dan daya tahan kardiovaskular. Intensitas dan durasi pemanasan setiap aktivitas olahraga bervariasi, tergantung dari aktivitas yang dilakukan, misalnya lama pemanasan untuk mengerahkan seluruh otot tubuh berkisar antara 20-30 menit. Selain itu durasi pemanasan tergantung pula dari berbagai faktor yaitu: suhu dan kelembaban lingkungan, umur, kebugaran fisik, berat ringannya aktivitas dan lain - lain (Nala, 2011). Tipe pemanasan yang dilakukan selama pemanasan tergantung dari cabang olahraga yang dilakukan. Tipe pemanasan ada tiga antara lain, (1) peregangan yang merupakan aktivitas otot pertama kali dilakukan dalam pemanasan, (2) kalistenik dengan cara menggerakkan sekelompok otot yang secara aktif berulangulang dengan tujuan untuk meningkatkan suhu dan aliran darah pada otot yang bersangkutan, (3) aktivitas spesifik yaitu aktivitas yang disesuaikan dengan jenis olahraga yang dilatih (Nala, 2011). 2.5.2 Pelatihan inti Takaran pelatihan merupakan hal yang sangat penting peranannya dalam meningkatkan dan mengembangkan fisik olahragawan terutama kemampuan komponen biomotorik secara tepat dan efisien. Takaran pelatihan terdiri dari intensitas, volume dan frekuensi (Nala, 2011). Kegiatan olahraga atau physical activity lainnya hendaknya disesuaikan dengan kondisi tubuh siswa yang bersangkutan (Arsani, 2006). Metode pelatihan inti yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi pelatihan cable machine woodchopper dan medicine ball full twist dengan kombinasi pelatihan push up knee dan sit up dengan set dan repetisi yang ditingkatkan dari pelatihan pertama dengan pelatihan berikutnya. Pelatihan ini dirancang selama enam
minggu dengan frekuensi tiga kali seminggu yang dilaksanakan pada hari senin, rabu, dan jumat. Pate menyatakan pelatihan yang berlangsung selama enam sampai delapan minggu akan memberikan efek yang cukup berarti bagi atlet yang akan mengalami peningkatan 10-20% (Nala, 2011). Selanjutnya Fox menyatakan pelatihan dengan frekuensi tiga kali seminggu sesuai untuk pemula dan akan menghasilkan peningkatan yang berarti (Nala, 2011). 2.5.3 Pendinginan Pendinginan dilakukan untuk mengembalikan kondisi tubuh ke kondisi semula. Tujuan utama dari pendinginan adalah menarik kembali secepatnya darah yang terkumpul di otot skeletal yang telah aktif sebelumnya ke peredaran sentral. Selain itu berfungsi pula untuk membersihkan darah dari sisa hasil metabolisme berupa tumpukan asam laktat yang berada di dalam otot dan darah (Nala, 2011). Bentuk pelatihan pendinginan yang biasa dianjurkan adalah dengan istirahat aktif. Karena asam laktat cepat dimetabolisme secara aerobik sehingga menghasilkan CO2+H2O lebih cepat yang menyebabkan asam laktat cepat berkurang. Begitu selesai melakukan aktivitas atau pelatihan, dianjurkan untuk tidak langsung duduk tetapi melakukan gerakan-gerakan ringan seperti jalan-jalan atau menggerak-gerakkan seluruh anggota tubuh secara ringan (Nala, 2011). Lamanya pendinginan menurut Powers berkisar antara 10-30 menit (Nala, 2011). Pelatihan pendinginan yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan selama 15 menit diawali dengan gerakan-gerakan lambat dimulai dari kepala, leher, bahu, lengan, pinggang, dan tungkai bawah. Gerakan pendinginan lebih difokuskan pada alat gerak atas (bahu, lengan atas, lengan bawah dan tangan).
2.6 Kombinasi Pelatihan Cable Machine Woodchopper dan Medicine Ball Full Twist dengan Kombinasi Pelatihan Push Up Knee dan Sit Up. Pelatihan adalah suatu usaha untuk memperbaiki sistem organ atau alat tubuh dan fungsinya dengan tujuan untuk memaksimalkan penampilan atau kinerja atletnya. Kombinasi pelatihan dengan jenis – jenis pelatihan baru adalah bentuk pelatihan yang disiapkan secara menyeluruh dengan menyasar seluruh aspek yang dianggap berkontribusi guna memaksimalkan hasil gerakan sehingga nantinya akan memberikan prestasi puncak yang menjadi harapan setiap atlet dalam mengikuti suatu kompetisi atau perlombaan. Menurut Soegito (2010), komponen-komponen yang harus dimiliki pelempar cakram adalah kekuatan, kecepatan, daya ledak, koordinasi otot yang baik, ditunjang dengan daya tahan yang tinggi. Maka dari itu pelatihan yang diterapkan dalam penelitian ini akan menyasar komponen kekuatan, kecepatan, dan daya ledak, serta penambahan pelatihan teknik yaitu pelatihan teknik melempar cakram dengan memfokuskan kepada ketepatan sudut lemparan. Sudut yang dapat memberikan hasil lemparan yang maksimal adalah besaran sudut lemparan antara 32-38 derajad (Yoyo, 2006). Pelatihan seluruh aspek yang terkait harus dipersiapkan secara menyeluruh, sebab satu aspek berkaitan dengan aspek lainnya dan satu aspek akan menentukan aspek lainnya untuk menunjang pencapaian prestasi maksimal. Kombinasi jenis – jenis pelatihan yang dilakukan dalam penelitian adalah pelatihan yang dilakukan dengan melatih semua komponen yang dibutuhkan dalam rangkaian gerak melempar cakram. Adapun diantaranya akan dijabarkan sebagai berikut: Latihan komponen kekuatan. Kekuatan adalah kemampuan otot (musculus) tubuh untuk melakukan kontraksi atau tegangan maksimal dalam menerima beban sewaktu melakukan aktivitas. Pelatihan yang dilakukan adalah pelatihan dengan
menggunakan alat bantu berupa ball medicine. Pelatihan dengan nama Medicine ball full twist yang dilakukan secara berpasangan dengan tujuan untuk melatih kekuatan otot-otot bagian perut. Latihan dilakukan dengan cara berpasangan, berdiri dengan saling membelakangi pasangannya. Dimana kaki dibuka selebar bahu untuk menjaga keseimbangan. Kemudian memindahkan bola (beban) dengan cara memegang bola menggunakan kedua tangan dan mengoperkannya ke pasangannya dengan memilin pinggang ke arah kanan searah dengan arah melempar cakram. Latihan tersebut dapat dilihat seperti gambar 2.4.
Gambar 2.4 Latihan Medicine ball full twist berpasangan.
Latihan kekuatan lainnya dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa katrol dengan pemberat, namun akan diganti dengan botol air minum mineral besar yang diisi pasir sebagai beban yang akan ditarik dan diikat dengan tali sebagai alat penariknya. Latihan ini bertujuan untuk melatih kekuatan otot-otot ekstrimitas atas yaitu lebih memfokuskan kepada bagian otot bisep, otot trisep, otot deltoid, otot pektoralis mayor minor, dan otot trapezius. Pelatihan ini dilakukan dengan cara beban yang digunakan akan digantung di mistar gawang sepak bola dan siswa bertugas untuk
menarik beban tersebut berulangkali dengan posisi menyampingi beban latihan yang ditarik. Latihan tersebut dapat dilihat seperti gambar 2.5.
Gambar 2.5 Latihan cable machine woodchopper.
Latihan komponen kecepatan. Kecepatan adalah kemampuan kontraksi otot untuk melakukan suatu gerakan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya. Komponen ini dapat dilatih dengan melakukan latihan melempar bola sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Latihan ini akan mengaktifkan kecepatan otot-otot ekstrimitas atas sesuai dengan gerakan melempar cakram. Pelatihan ini dilakukan dengan cara berdiri dengan memegang bola menggunakan kedua tangan menghadap arah sasaran (sasaran berupa tembok datar yang diisi tanda sebagai sasaran tembak). Kemudian melakukan lemparan bola ke sasaran dengan mengayunkan bola di samping tubuh dan melepas bola dengan sudut lemparan 32-380 derajat untuk melatih kecepatan sekaligus akurasi lemparan. Latihan tersebut dapat dilihat seperti gambar 2.6.
Gambar 2.6 Latihan side throwing.
Pelatihan komponen daya ledak. Secara sistimatis daya ledak (Power) merupakan hasil dari perkalian kekuatan (Forece) dengan kecepatan (Velocity) (Adiatmika, 2002.a). Latihan komponen daya ledak akan dilakukan dengan melakukan pelatihan melempar beban dengan nama medicine ball side throw. Pelatihan daya ledak dilakukan dengan tujuan melatih daya ledak otot-otot ekstrimitas atas seperti otot bisep, otot trisep, otot pektoralis mayor minor, otot trapezius dan otot deltoid. Pelatihan ini dilakukan dengan cara berdiri memegang bola menggunakan kedua tangan menghadap arah lemparan. Bola bisa dipegang di samping badan untuk pelatihan medicine ball side throw lalu bola dilempar sekuat dan secepat-cepatnya. Latihan tersebut dapat dilihat seperti gambar 2.7.
Gambar 2.7 Latihan medicine ball side throw.
Kombinasi pelatihan yang dilakukan dengan jenis – jenis pelatihan lama adalah kombinasi pelatihan yang dilakukan untuk mengembangkan komponen terkait dengan jenis-jenis pelatihan yang sudah terbiasa dilakukan. Dimana jenis pelatihan lama yang dilakukan adalah pelatihan yang melatih sebagian komponen yang dianggap paling mempengaruhi pencapaian prestasi maksimal dengan mengabaikan komponenkomponen lain yang dianggap tidak memberikan efek yang cukup signifikan atau menunjang dalam memaksimalkan prestasi yang ingin dicapai. Pelatihan yang dilakukan dengan jenis – jenis pelatihan lama dilakukan dengan melatih komponen kekuatan yang menjadi dasar dan domain dalam cabang olahraga lempar cakram. Pelatihan komponen kekuatan yang dilatih tanpa menggunakan alat bantu, melainkan latihan yang dilakukan memanfaatkan beban dari tubuh siswa itu sendiri. Latihan komponen kekuatan dapat dilatih dengan pelatihan Push up knee. Pelatihan push up knee adalah pelatihan yang memfokuskan pada pelatihan kekuatan otot lengan dengan memanfaatkan beban dari tubuh siswa itu sendiri. Pelatihan push up
knee bertujuan untuk melatih kekuatan otot lengan atas (otot bisep dan otot trisep) dan otot bahu (otot deltoid). Pelatihan ini dapat dilakukan dengan cara tidur dengan posisi badan menghadap lantai, dengan kedua tangan berada disamping bahu masing-masing, dan gerakan ini menumpu pada kedua tangan dan lutut. Latihan tersebut dapat dilihat seperti gambar 2.8.
Gambar 2.8 Latihan push up knee. Latihan sit up adalah salah satu bentuk pelatihan kekuatan otot. Dapat dilakukan dengan bantuan alat maupun tanpa bantuan alat. Dalam penelitian ini sit up dilakukan dengan tidur terlentang di lapangan, kedua lutut sedikit ditekuk dan kedua tangan menempel di dada atau menyatu di belakang kepala, kemudian lakukan gerakan mengangkat dan merebahkan badan secara berulang. Latihan sit up dilakukan secara berkelompok dimana setiap kelompok terdiri dari tiga orang, satu orang yang melakukan gerakan dan dua orang lainnya bertugas untuk membantu teman yang melakukan gerakan. Dimana pelatihan sit up bertujuan untuk melatih kekuatan otot perut rectus abdominus, eksternal dan internal obliques (Tarigan, 2015). Pelatihan sit up dapat dilihat seperti gambar 2.9.
Gambar 2.9 Latihan sit up.
Dalam penelitian ini akan membandingkan pelatihan yang dilakukan dengan memberikan kombinasi pelatihan cable machine woodchopper dan medicine ball full twist, yaitu pelatihan yang dilakukan dengan kombinasi pelatihan cable machine woodchopper dan Medicine ball full twist yang dilakukan dengan mengaktifkan semua komponen-komponen yang dinilai berperan untuk memaksimalkan hasil lemparan cakram siswa. Karena peneliti menganggap bahwa semua komponen sama pentingnya dan akan saling menunjang untuk pelaksanaan gerak dan memaksimalkan hasil gerakan nantinya. Karena tidak mungkin suatu rangkaian gerak yang terjadi diakibatkan oleh satu komponen biomotorik yang aktif. Setiap gerakan yang dilakukan selama aktivitas berolahraga selalu melibatkan lebih dari satu komponen biomotorik. Dalam penelitian ini membandingkan penerapan kombinasi pelatihan cable machine woodchopper dan medicine ball full twist dengan kombinasi pelatihan push up knee dan sit up yang sudah biasa dilakukan, dimaksudkan kombinasi pelatihan push up knee dan sit up adalah pelatihan yang sudah terbiasa dan umumnya dilakukan oleh tenaga pengajar atau pelatih, yaitu menerapkan kombinasi pelatihan Push up knee dan Sit up.
Secara garis besar perbedaan antara jenis pelatihan kelompok I yang dilakukan secara menyeluruh dibandingkan dengan jenis pelatihan kelompok II yang sudah terbiasa dilakukan. Perbandingan kombinasi pelatihan yang dilakukan dalam penelitian dapat dilihat seperti tabel 2.1. Tabel 2.1. Perbandingan kombinasi pelatihan cable machine woodchopper dan medicine ball full twist dengan kombinasi pelatihan push up knee dan sit up. Unsur Pelatihan Kekuatan Komponen Biomotorik
Kecepatan Daya Ledak
Jenis Pelatihan Kelompok I Jenis Pelatihan Kelompok II 1. Latihan cable machine 1. Latihan Push up knee woodchopper 2. Latihan Medicine ball full 2. Latihan Sit up twist berpasangan Latihan side throwing Latihan side throwing Latihan medicine ball side Latihan medicine ball side throw throw
2.7 Komponen Biomotorik Komponen biomotorik merupakan komponen dasar gerak fisik atau aktivitas fisik dari tubuh manusia. Hampir semua gerakan fisik yang dilakukan oleh manusia saling berkaitan satu dengan yang lainnya (Nala, 2011), sehingga harus dikembangkan secara menyeluruh melalui suatu pelatihan yang dilakukan untuk memperoleh prestasi maksimal. Komponen biomotorik yang berkaitan dalam pelaksanaan gerak lempar cakram adalah komponen kekuatan, kecepatan, daya ledak, kelentukan, koordinasi, dan komponen keseimbangan tubuh supaya tubuh tetap terjaga setelah melakukan gerakan melempar cakram.
Komponen biomotorik yang dinilai paling berpengaruh dalam
memaksimalkan proses dan hasil lemparan cakram adalah komponen daya ledak yang didasari oleh komponen biomotorik kekuatan dan kecepatan.
Ada beberapa komponen biomotorik yang dilatih dalam penelitian ini, diantaranya pelatihan komponen yang terkait dilatih selama 6-8 minggu dilakukan sebanyak tiga kali dalam seminggu. Peningkatan beban latihan dapat diberikan setelah satu minggu pelatihan (Nala, 2011). Untuk meningkatkan kekuatan otot pelatihan dapat dilakukan sebanyak 2-3 kali perminggu. Karena pelatihan komponen kekuatan adalah komponen yang paling lama terlihat peningkatan dari pelatihan yang diberikan dibandingkan dengan komponen biomotorik lainnya. Komponen biomotorik yang berperan dalam pelaksanaan gerak lempar cakram, seperti kekuatan, kecepatan, dan daya ledak berawal dari energi dalam tubuh yang mengaktifkan kinerja otot untuk menghasilkan gerakan. Jumlah tenaga yang dimanfaatkan harus seefektif mungkin. Jumlah tenaga efektif adalah jumlah dari semua tenaga yang diproduksi oleh sejumlah otot yang searah. Lemparan cakram dilakukan dengan rangkaian gerakan yang berkelanjutan, mulai dari persiapan dengan memegang, mengayun cakram, memilin badan, mengayunkan lengan ke depan atas, melepas cakram dan akhirnya meluruskan tubuh secara penuh. Gerakan yang dilakukan secara kontinyu dengan memaksimalkan otot-otot yang berkontraksi secara sinergis, searah dan meminimalisir gerakan otot antagonis supaya gerakan yang dihasilkan lebih efektif dan efisien dalam memanfaatkan besaran tenaga saat melakukan rangkaian gerakan melempar cakram.
2.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Lemparan Daya ledak merupakan salah satu komponen biomotorik yang merupakan aktivitas tiba-tiba dan cepat dari gerakan-gerakan lengan (Nala, 2011). Daya ledak merupakan hasil dari kekuatan maksimum dan kecepatan maksimum (Bompa dalam Nala, 2011). Usaha untuk meningkatkan daya ledak dapat dilakukan dengan cara
meningkatkan kekuatan tanpa mengabaikan kecepatan atau titik beratnya pada kekuatan, meningkatkan kecepatan tanpa mengabaikan kekuatan atau titik beratnya pada kecepatan, serta meningkatkan keduanya sekaligus, kekuatan dan kecepatan dilatih secara simultan. 2.8.1 Faktor internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh atlet sendiri diantaranya: umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, kebugaran fisik dan genetik. 1.
Faktor Umur. Hampir semua komponen biomotorik dipengaruhi oleh umur. Peningkatan kekuatan otot berkaitan dengan pertambahan umur, dimensi, anatomi atau diameter otot dan kematangan seksual. Kekuatan lebih rendah pada anak-anak dan meningkat diusia remaja serta mencapai puncaknya pada umur 20-30 tahun. Pelatihan olahraga atletik termasuk lempar cakram mulai dilatih dari umur 10-12 tahun, dan pelatihan spesialisasi pada umur 13-14 tahun, sehingga puncak prestasinya pada umur 18-23 tahun (Bompa, 2001). Umur yang dipilih sebagai subjek dalam penelitian ini adalah yang berumur 14-17 tahun.
2.
Faktor Jenis kelamin. Dilihat secara biologis pria dan wanita sudah berbeda. Perbedaan kekuatan otot antara pria dan wanita sudah berbeda pada umur 10-12 tahun, kekuatan otot anak laki-laki sedikit lebih kuat daripada anak wanita, dan semakin jauh meningkat dengan bertambahnya umur. Pada usia 18 tahun ke atas anak laki-laki mempunyai kekuatan dua kali lebih besar dari wanita. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh hormon testosteron pada laki-laki yang memacu pertumbuhan tulang dan otot. Dilihat secara morfologis, terlihat pada bertambah lebarnya bahu anak laki-
laki lebih cepat dibandingkan dengan perkembangan pinggulnya, sebaliknya yang terjadi pada anak-anak perempuan mengalami pertumbuhan yang lebih cepat pada pelebaran pinggulnya, dibandingkan perkembangan pada bagian pinggang dan bahu (Sugiyanto, 1998). Berdasarkan perbedaan tersebut dapat dikatakan bahwa jenis
kelamin
mempengaruhi perbedaan kekuatan, kecepatan, dan lain-lain.
Karena daya ledak ditentukan oleh kekuatan dan kecepatan maka akibatnya jenis kelamin akan
mempengaruhi daya ledak. Jenis kelamin yang dipilih sebagai
subjek dalam penelitian ini adalah yang berjenis kelamin perempuan. 3.
Faktor Berat badan. Berat badan secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap hasil lemparan cakram. Berat badan merupakan salah satu faktor yang menentukan pusat gravitasi yang nantinya akan menentukan keseimbangan statik maupun keseimbangan dinamik. Keseimbangan akan menentukan besarnya daya ledak saat terjadi gerakan melempar cakram. Setiono (2008), menyatakan berat badan berkaitan dengan beberapa cabang olahraga yang membutuhkan berat badan yang lebih berat seperti, olahraga lempar dalam atletik.
4.
Faktor Tinggi badan. Secara biomekanika menjelaskan semakin tinggi titik tempat melempar maka semakin jauh hasil lemparan cakram. Tinggi badan merupakan keseluruhan tubuh manusia yang meliputi, kaki, togok, leher dan kepala (Setiono, 2008).
5.
Faktor Kebugaran fisik/ jasmani. Kebugaran fisik/ jasmani berhubungan erat dengan kapasitas aerobik seseorang. Semakin baik kapasitas aerobik seseorang makin baik pula kebugaran fisiknya. Kebugaran fisik/ jasmani adalah kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan pekerjaan sehari-hari secara efektif dan efisien dalam jangka waktu relatif lama
tanpa menimbulkan kelelahan yang berlebihan (Wandaningsih, 2005). Dengan demikian seseorang yang mempunyai kebugaran fisik tinggi akan mampu melakukan kerja atau aktivitas tanpa mengalami kelelahan yang berarti, sehingga kekuatan dan daya ledak otot yang dihasilkan akan lebih baik pada orang yang memiliki tingkat kebugaran fisik yang baik. 6.
Faktor Genetik. Bersifat pembawaan yang sering kali ikut berperan dalam penampilan fisik seperti proporsi tubuh (postur tubuh), kapasitas jantung-paru, sel darah merah, dan serat otot merah dan putih (Wandaningsih, 2005). Pengaruh
genetik
terhadap
kecepatan, kekuatan, daya ledak dan daya tahan pada umumnya berhubungan dengan komposisi serabut otot yang terdiri dari serabut otot putih dan serabut otot merah. Atlet yang memiliki banyak serabut otot putih, lebih mampu untuk melakukan kegiatan yang bersifat anaerobik, sedangkan atlet yang banyak memiliki serabut otot merah lebih tepat untuk melakukan kegiatan yang bersifat aerobik. Dengan demikian faktor genetik juga berpengaruh terhadap basil lemparan cakram. Berbagai faktor mempengaruhi hasil lemparan cakram baik secara langsung maupun karena pengaruh kombinasi komponen biomotorik kecepatan dan kekuatan. Kemampuan daya ledak tergantung pada, kekuatan dasar otot dan kecepatan kontraksi otot yang aktif.
2.8.2 Faktor eksternal Faktor eksternal sangat mempengaruhi penampilan fisik atlet. Faktor tersebut menyangkut, suhu dan kelembaban lingkungan, arah kecepatan angin, dan ketinggian tempat.
1.
Faktor Suhu dan kelembaban relatif udara. Suhu lingkungan yang terlalu ekstrim (dingin atau panas) akan mempengaruhi aktivitas kerja otot. Toleransi setiap individu berbeda satu sama lainnya. Orang Indonesia umumnya beraklimatisasi dengan iklim tropis yang cukup sekitar 26-280 C, dengan kelembaban relatif sekitar 60-85%. Apabila olahraga dilakukan pada udara yang nyaman maka tubuh hanya mengatasi beban berupa pengeluaran panas tubuh, tetapi apabila udara tidak nyaman maka terpaksa tubuh mendapat beban tambahan untuk melawan panas. Oleh karena itu penelitian sebaiknya dilakukan pada tempat yang nyaman dengan mempertimbangkan tempat dan waktu penelitian.
2.
Faktor Kecepatan angin. Kecepatan angin yang terlalu tinggi dari arah yang berlawanan akan dapat menghambat aktivitas sehingga akan mempengaruhi hasil lemparan cakram. Dalam Penelitian ini arah dan kecepatan angin dalam batas toleransi, diharapkan pengaruhnya dapat ditekan sekecil-kecilya.
3.
Faktor Ketinggian tempat. Ketinggian suatu tempat akan mempengaruhi kinerja atlet. Semakin tinggi suatu tempat maka semakin rendah kadar oksigennya. Kondisi ini akan membutuhkan adaptasi yang lebih dari atlet yang sedang berlatih.
4.
Faktor Jenis dan Bahan cakram. Cakram yang digunakan untuk latihan dan penelitian harus dipilih jenis dan bahan cakram yang baik dan memiliki standar untuk melakukan penelitian yang berkualitas. Ada cakram yang terbuat dari coran beton di bagian luarnya dilapisi dengan bantalan karet, cakram yang terbuat dari kayu di bagian luarnya dikelilingi besi pelindung dan cakram yang terbuat dari fiber dibagian luarnya dikelilingi oleh
besi pelindung. Jenis dan bahan cakram yang digunakan akan mempengaruhi hasil dari penelitian yang dilakukan.
2.8.3 Faktor komponen biomotorik Komponen biomotorik yang berkaitan dalam pelaksanaan gerak lempar cakram gaya menyamping dalam olahraga atletik, perlu dilatih secara bersamaan dan simultan. Komponen biomotorik yang dimaksud adalah komponen kekuatan otot lengan, kecepatan ayunan lengan, daya ledak otot lengan, kelentukan otot perut, koordinasi gerakan kaki, tangan, dan komponen keseimbangan tubuh supaya tubuh tetap terjaga setelah melakukan gerakan melempar cakram. Kekuatan adalah kemampuan otot skeletal tubuh untuk melakukan kontraksi atau tegangan maksimal dalam menerima beban sewaktu melakukan aktivitas, hal tersebut terjadi saat otot lengan melakukan kontraksi menerima beban berupa berat cakram yang akan dilempar. Kecepatan adalah kontraksi otot melakukan aktivitas dalam waktu yang sesingkatnya ini terjadi saat lengan mengayun cakram sebelum dilakukan lemparan, semakin cepat ayunan tangan semakin maksimal gerakan dan berpengaruh pada hasil lemparan. Daya ledak adalah kemampuan dari otot untuk melakukan aktivitas secara tiba-tiba dan cepat dengan mengerahkan seluruh kekuatan dalam waktu yang singkat, ini terjadi saat lengan menyangga beban dalam cakram dan tangan mengayun cakram sebelum dilempar sampai akhirnya cakram terlepas dari pegangan, hal tersebut terjadi karena adanya daya ledak dari otot-otot lengan bagian atas. Kelentukan adalah kesanggupan tubuh atau anggota gerak tubuh dalam melakukan gerakan pada beberapa sendi seluas-luasnya, ini terlihat saat gerakan otot-otot perut memilin ke depan atas diikuti gerakan tangan mengayun cakram ke depan atas untuk melakukan gerakan dengan meregangkan sendi seluas-luasnya. Koordinasi adalah
kemampuan tubuh dalam mengintegrasikan berbagai gerakan yang berbeda menjadi satu gerakan tunggal yang harmonis, ini terlihat saat alat gerak atas (lengan atas, lengan bawah dan tangan yang memegang cakram) melakukan ayunan cakram berulang dan gerakan memilin badan serta gerakan kaki ke depan sebagai tanda gerak lanjutan setelah gerakan melempar cakram selesai dilakukan (cakram lepas dari pegangan tangan), kedua gerakan tersebut menjadi satu kesatuan gerak yang terintegrasi dan harmonis. Keseimbangan adalah kemampuan tubuh untuk melakukan reaksi atas setiap perubahan posisi tubuh, sehingga tubuh tetap stabil dan terkendali, hal ini terlihat saat gerak lanjut setelah selesai melakukan lemparan cakram. Beberapa komponen biomotorik yang telah dipaparkan dinilai saling berpengaruh antara satu komponen dengan komponen biomotorik lainnya untuk menunjang pelaksanaan melempar cakram sehingga gerakan melempar dan hasil lemparan cakram dapat dilakukan dengan maksimal. Dalam penelitian yang dilakukan, komponen biomotorik yang lebih fokus dilatih adalah komponen kekuatan, kecepatan yang akan berujung pada komponen daya ledak, karena ketiga komponen tersebut diperlukan dalam pelaksanaan gerak lempar cakram yang sejalan dengan Soegito (2010), menyatakan komponen-komponen yang harus dimiliki pelempar cakram adalah kekuatan, kecepatan, daya ledak.
A. Gerakan memegang cakram. Cakram dipegang dengan tangan terkuat dimana teknik pegangan cakram semua jari tangan dibuka menyebar. Cakram dipegang dengan ruas-ruas pertama ujung jarijari tangan, dengan ibu jari memegang bagian samping cakram. Otot-otot kecil yang berada antara metacarpal, telapak tangan, dan termasuk bulatan ibu jari berperan menggerakkan jari - jari tangan untuk memegang cakram. Otot-otot ini kecil, tetapi
dapat mengubah kerja otot-otot lengan bawah dan penting untuk gerakan tangan yang halus. Sedangkan otot yang bekerja saat membawa cakram, yaitu otot-otot lengan bawah dan jari tangan yang meliputi musculus biceps brachii, musculus brachioradialis, flexor musculus of forearm, musculus thenar, musculus hypothenar, fibrous tendinous sheaths of digits, dan long flexor tendons. Dapat dilihat pada gambar 2.10.
Gambar 2.10 Tahap memegang cakram (Nikitin, 2015)
B. Gerakan menekuk lutut Pada tahap ini lutut ditekuk dengan tujuan untuk mengkontraksikan otot-otot tungkai bawah. Untuk menghasilkan energi gerakan yang besar otot yang dikontraksikan harus otot-otot yang besar. Gerakan sendi lutut pada gerakan ini adalah fleksi dan ekstensi sebagai gerakan tungkai bawah. Sendi lutut merupakan salah satu sendi yang berperan dalam merendahkan badan ke belakang untuk memfokuskan titik berat tubuh pada kaki bagian belakang. Karena semakin sempurna peregangan otot yang bekerja maka akan semakin besar tenaga yang dihasilkan dalam melakukan suatu gerakan (Redhana, 2008).
Otot-otot dalam tungkai bawah yang berperan untuk menekuk lutut dan gerakan kaki bagian bawah lainnya yaitu, musculus gastrocnemius, musculus soleus, musculus fibularis longus, musculus tibialis anterior, musculus vestus medialis, musculus vestus lateralis, musculus rektus femoris, musculus abductor longus, musculus pectineus, musculus sartorius, extensor digitorus longus, musculus gracilis, musculus semimembranosus, musculus semitendinosus, musculus biceps femoris. Dapat dilihat pada gambar 2.11.
Gambar 2.11 Tahap menekuk lutut persiapan melempar (Nikitin, 2015).
C. Gerakan menekuk pinggang Sendi panggul adalah persendian yang berfungsi untuk menghasilkan stabilitas dan mengimbangi gerakan mengayun yang dihasilkan gerakan ekstremitas atas dan gerakan menekuk dan meluruskan (fleksi atau ekstensi) yang dihasilkan alat gerak ekstrimitas bawah. Gerakan menekuk pinggang sehingga badan sedikit rebah ke bawah. Pada gerakan ini otot-otot yang terlibat diantaranya yaitu, musculus serratus anterior, musculus latissimus dorsi, musculus rektus abdominus, musculus obliqus eksternal. Otot-otot tersebut berkontraksi dan relaksasi saat gerakan memilin badan saat gerakan mengayun cakram ke depan dan belakang. Dapat dilihat pada gambar 2.12.
Gambar 2.12 Tahap menekuk pinggang persiapan melempar (Nikitin, 2015).
D. Gerakan mengayun lengan Mengayun cakram adalah gerakan yang dilakukan untuk memperoleh momentum yang tepat untuk melempar cakram ke depan. Gerakan mengayun cakram dilakukan dengan mengkontraksikan otot-otot anggota badan atas sebagai berikut: musculus pectoralis major, musculus deltoid, musculus biceps brachii, musculus brachioradialis, musculus tricep, musculus trapezius, musculus infraspinatus, musculus teres minor and mayor, musculus latisimus dorsi. Dapat dilihat pada gambar 2.13.
Gambar 2.13 Tahap mengayunkan cakram (Nikitin, 2015).
E. Gerakan melepas cakram Saat gerakan akhir melepas cakram, otot-otot tangan kanan yang sebelumnya berkontraksi memegang cakram kemudian otot relaksasi melepas cakram. Maka otototot tangan menjadi berperan penting saat gerakan ini berlangsung. Selanjutnya otototot bahu juga membantu dalam pelaksanaan gerak akhir lepasnya cakram dengan poros gerakan pada otot deltoid. Otot-otot yang terlibat yakni musculus deltoid, musculus biceps brachii, musculus brachioradialis, flexor musculus of forearm, musculus thenar, musculus hypothenar, fibrous tendinous sheaths of digits, dan long flexor tendons. Dapat dilihat pada gambar 2.14.
Gambar 2.14 Tahap akhir gerakan melepaskan cakram (Nikitin, 2015).
Secara garis besar komponen biomotorik dan berbagai gerakan yang dilakukan dalam setiap tahapan gerak melempar cakram terjadi berdasarkan adanya kontraksikontraksi otot yang terkait dalam setiap gerakan yang dilakukan. Secara umum akan digambarkan otot-otot yang terdapat pada tubuh manusia ditampilkan tampak depan dan tampak belakang, dapat dilihat pada gambar 2.15 dan 2.16.
Gambar 2.15 Anatomi tubuh manusia (Setiadi, 2011)
Gambar 2.16 Anatomi tubuh manusia (Setiadi, 2011)
2.8.4 Faktor pelatihan Maksimalnya hasil lemparan juga dipengaruhi oleh faktor pelatihan yang dilakukan dengan memenuhi prinsip-prinsip pelatihan tentunya. Sehingga pelatihan yang dilakukan dengan tepat akan memberikan dampak yang positif guna perkembangan prestasi secara umum. Kombinasi pelatihan secara sederhana merupakan kombinasi pelatihan yang dilakukan dengan jenis-jenis pelatihan lama yang sudah terbiasa dilakukan. Kombinasi pelatihan secara menyeluruh yang dilakukan dengan jenis-jenis pelatihan baru dan mengembangkan komponen yang dibutuhkan dengan prinsip pelatihan yang baik dan benar dalam periode waktu yang ditentukan dengan pemberian beban pelatihan secara bertambah dapat memberikan dampak yang signifikan. Pelatihan yang dilakukan harus sesuai dengan program pelatihan yang dibuat. Untuk membuat program pelatihan yang baik terlebih dahulu harus mengetahui kemampuan dan kondisi awal subjek penelitian. Diperlukannya tes awal (pre-test) kepada subjek penelitian, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan fisik, keterampilan, kesehatan maupun mental subjek penelitian yang dilatih. Dari hasil tes tersebut akan diketahui kelebihan dan kekurangannya, sehingga dapat menyusun program pelatihan olahraga yang tepat untuk setiap atlet sesuai dengan cabang olahraga yang diinginkan. Karena program pelatihan yang baik itu adalah program pelatihan yang sesuai dengan kemampuan atlet sehingga akan dapat memberikan hasil yang lebih baik daripada menggunakan program pelatihan tanpa mengetahui kebutuhan dan kemampuan dari subjek penelitian yang akan dilatih. Kombinasi pelatihan yang menggunakan jenis – jenis pelatihan baru bertujuan mengembangkan dan melatih seluruh aspek yang dinilai mempengaruhi maksimalnya hasil lemparan cakram. Dalam kombinasi pelatihan baru ini memfokuskan pada faktor komponen biomotorik (kekuatan, kecepatan, daya ledak),
melibatkan pelatihan teknik dasar dalam gerakan melempar cakram serta diikuti pemberian pelatihan mental untuk melengkapi faktor pelatihan lainnya untuk mencapai prestasi. Sejalan dengan Pekik (2002), dalam dasar kepelatihan, menyatakan prestasi merupakan akumulasi dari kualitas fisik, teknik, taktik dan kematangan mental yang dipersiapkan secara menyeluruh, karena satu aspek akan menentukan aspek lainnya. Maka dari itu pelatihan yang sebaiknya dilakukan adalah pelatihan yang melatih seluruh aspek-aspek yang dirasa berkaitan dengan proses gerak yang dilakukan, dalam hal ini adalah gerakan melempar cakram dalam salah satu cabang olahraga atletik. Pada tahap ini pelaksanaan lemparan cakram akan lebih baik dengan menerapkan sudut elevasi (sudut lemparan). Dimana sudut elevasi dikatakan sebagai sudut yang terbentuk oleh arah pandang dan arah horizontal. Dengan kekuatan dan kecepatan yang dikeluarkan sama besar untuk melemparkan benda dengan mengabaikan kecepatan angin, sudut lemparan dengan besaran 450 menjadi sudut yang terbaik untuk melakukan lemparan karena akan menghasilkan lemparan paling jauh. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan rumus di bawah ini: Rumus Gerak Lurus Berubah Beraturan (Marthen, 2007). X max =
Vo2 Sin (2α) g
Keterangan : Xmax : Jarak terjauh Vo2 : Kecepatan awal Sin α : Besaran sudut lemparan g : Gaya gravitasi bumi (m/s2) Namun pada penelitian ini gerakan melempar cakram yang dilakukan di alam terbuka atau suasana outdoor membuat pengaruh dari kecepatan hembusan angin tidak bisa diabaikan. Sehingga dalam penelitian ini sudut lemparan yang digunakan adalah sudut lemparan dengan besaran sudut antara 32-380 (Yoyo, 2006). Besaran sudut
lemparan tersebut dianjurkan untuk memperoleh lemparan maksimal karena sudah berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya sehingga dianjurkan untuk menggunakan besaran sudut lemparan tersebut. Keberhasilan dalam olahraga, ditentukan oleh banyak faktor, salah satu faktor diantaranya sering diabaikan namun menentukan. Pengetahuan tentang biomekanika menjadi sangat penting untuk memahami bagaimana sumbangan biomekanika mempermudah dan mengefisiensikan semua bentuk gerak tubuh manusia dalam berolahraga, dalam waktu yang bersamaan dapat mengurangi waktu yang diperlukan untuk meningkatkan keterampilan (Redhana, 2008). Dalam pelatihan teknik khususnya dalam kegiatan berolahraga tidak akan terlepas dari aktivitas fisik. Dimana gerakan adalah bagian dari aktivitas fisik sebagai salah satu bentuk aksi yang dihasilkan oleh pengerahan tenaga internal dan tenaga eksternal. Gerakan juga dapat diartikan sebagai suatu perubahan posisi, gerakan tubuh manusia dalam mengubah posisi, memperlambat, atau mulai menggerakkan benda lainnya. Misalnya seperti melempar bola, lembing, dan cakram yang sesuai dengan olahraga yang diteliti. Ada hukum, konsep dan prinsip-prinsip dasar mekanika yang mempengaruhi penampilan seluruh gerakan benda atau tubuh manusia. Kalau tubuh manusia dalam kondisi optimal dan digerakkan sesuai dengan prinsip-prinsip tenaga dan gerakan, pengeluaran energi akan menjadi sebanding dengan gerak yang dilakukan. Tetapi apabila seseorang membiarkan dan tidak menyesuaikan dengan hukum tenaga dan gerak, maka gerakan yang dilakukan akan menggunakan tenaga yang berlebihan. Dengan memahami hukum dan prinsip mekanika, seseorang dapat menyederhanakan struktur gerak dan mengefisiensikan tenaga internal (tenaga otot) dan memaksimalkan
tenaga eksternal (misalnya angin, gravitasi) yang berpengaruh pada kualitas performa (Redhana, 2008). Berkaitan dengan aktivitas penelitian yang diteliti adalah aktivitas fisik saat melakukan gerakan melempar cakram. Pada saat gerakan melempar cakram dipengaruhi oleh tiga hukum gerakan yang dikenal dengan Hukum Newton. Ketiga hukum tersebut adalah: 1). Hukum Inersia (Kekekalan), 2). Hukum Akselerasi (Percepatan), dan 3). Hukum Aksi-Reaksi. Hukum Inersia (Kekekalan), dimana cakram akan tetap diam jika tidak diberikan gaya dari luar. Dalam lempar cakram, sifat kekekalan sebuah benda terdapat pada cakram itu sendiri. Pada saat cakram dilempar, cakram akan terus bergerak secara beraturan setelah itu akan jatuh dan berhenti pada titik dimana cakram itu akan berhenti dipengaruhi oleh tenaga yang dikeluarkan, gaya gravitasi bumi, kecepatan angin. Dibuktikan bahwa setiap benda yang tidak bergerak, akan tetap diam, terkecuali ada gaya dari luar yang menggerakkannya sehingga sesuai dengan Hukum Inersia (Kekekalan). Hukum Akselerasi (Percepatan), saat melakukan lemparan, cakram akan lebih jauh dan cepat jika diberikan lemparan yang kuat begitu sebaliknya. Sehingga semakin cepat dan kuat tangan melakukan lemparan, maka sifat inersia/ kekekalan dari cakram akan dapat dipertahankan lebih lama dan jarak lemparan cakram akan lebih jauh. Hukum Aksi-Reaksi. Dimana saat tungkai ditekuk, tanah akan memberikan reaksi sebaliknya terhadap tungkai. Sebagaiman diketahui, sebuah reaksi akan timbul jika ada sebuah aksi. Dalam lempar cakram, reaksi yang ada yaitu pada saat tungkai belakang yang ditekuk, diluruskan sehingga terjadi gaya dorong yang menyababkan tubuh bergeser (shift) ke depan. Disini ketika tungkai ditekuk, tanah memberikan reaksi
kepada tungkai untuk dapat melakukan lemparan, reaksi terjadi saat posisi kaki dari keadaan di tekuk menjadi lurus.
2.9 Takaran Pelatihan Menurut Joesoef (2014), menyatakan setelah melakukan aktivitas olahraga otot akan mengalami rasa lelah, pegal dan sakit. Hal tersebut dikenal sebagai DOMS (delayed onset muscle soreness). Hal tersebut akan lebih parah jika program pelatihan dirancang tidak sesuai dengan kemampuan atlet, dan sebaliknya program pelatihan akan membuahkan hasil yang baik, apabila disusun berdasarkan atas pengembangan kemampuan fisiologis khusus yang dibutuhkan dalam penampilan suatu cabang olahraga dengan takaran yang tepat. Takaran dalam dunia olahraga dipergunakan sebagai suatu ukuran untuk menentukan kuantitas dan kualitas pelatihan yang menjadi bagian dari metodologi kepelatihan. Oleh karena itu sangat penting peranannya dalam meningkatkan dan mengembangkan fisik olahragawan, terutama kemampuan komponen biomotorik secara tepat dan efisien. Suatu takaran pelatihan akan mencapai sasaran atau tujuan, jika dalam program pelatihannya sudah mencakup: 1). jenis atau tipe pelatihan yang dipilih, 2). unsur intensitas (persentase beban dan kecepatan), 3). volume (durasi, jarak dan jumlah repetisi), serta 4). densitas (kekerapan, frekuensi) pelatihan. Apabila tubuh ditantang dengan beban latihan maka akan terjadi proses penyesuaian. Penyesuaian tersebut tidak saja seperti pada kondisi awal namun secara bertahap mengarah ke tingkat yang lebih tinggi (superkompensasi). Superkompensasi akan terjadi bila pembebanan yang diberikan pada latihan tepat di atas ambang kepekaan (threshold) atau critical point, disertai dengan pemulihan (recovery) yang cukup (Pekik, 2002).
Takaran pelatihan yang ingin dirancang dengan baik harus diawali dengan mengetahui kemampuan awal atlet, sehingga dapat dirancang dan pembuatan program serta takaran pelatihan sesuai dengan kemampuan atlet (sampel penelitian), maka dari itu pentingnya dilakukan pre-test untuk mengetahui kemampuan awal sampel penelitian. Sejalan dengan Nala (2011), menyatakan pre test yang dilakukan sebelum membuat program pelatihan bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal sampel penelitian, sehingga kelemahan dan keunggulan data/ kondisi awal dapat diketahui untuk membuat program pelatihan yang tepat dan baik. Pelatihan yang baik dilakukan minimal 2-3 kali seminggu dan penambahan beban pelatihan dapat dilakukan setelah satu minggu pelatihan yang sudah dilakukan karena otot-otot sudah mampu menerima beban tambahan yang ingin diberikan. Sehingga dalam penelitian, pelatihan yang dilakukan sebanyak 3 kali seminggu dan penambahan beban latihan diberikan setiap satu minggu sekali. Pelatihan ini dilakukan selama 6 minggu pelatihan dan dilakukan pengukuran dengan melakukan test setiap minggunya untuk mengetahui grafik peningkatan pelatihan yang diberikan. Peningkatan beban setiap minggu diberikan pada jenis-jenis pelatihan yang memungkinkan untuk diberikan penambahan beban dari luar. Pemberian beban yang lebih bertujuan untuk membiasakan tubuh melalui otot-otot yang terkait untuk menerima beban yang lebih berat sehingga akan lebih mudah untuk melempar cakram yang lebih ringan nantinya. Agar pelatihan olahraga mencapai hasil maksimal harus memiliki prinsipprinsip pelatihan sebagai berikut: 1.
Pelatihan hendaknya dilakukan secara sistematis. Pelatihan yang baik dilakukan secara teratur dan terencana secara detail yang dituangkan kedalam program
pelatihan. Atlet dilatih dari kemampuan yang sederhana kemudian berkembang kekemampuan yang lebih komplek. 2.
Metode pelatihan yang teratur dan terencana secara detail. Metode pelatihan yang dilakukan hendaknya disesuaikan dengan komponen yang dilatih dan dibutuhkan dalam aktivitas olahraga yang dilakukan.
3.
Pelatihan yang dilakukan secara repetitif. Suatu gerakan berulang yang dilakukan lebih dari satu kali. Pelatihan yang dilakukan adalah pelatihan dalam jangka waktu yang sudah ditentukan dengan pelatihan yang sudah diprogramkan dengan gerakan-gerakan pelatihan yang dilakukan secara berulang.
4.
Pelatihan yang baik harus memperhatikan durasi pelatihan. Lamanya aktivitas latihan dan sesi istirahat yang harus dilakukan dalam satu sesi. Semakin berat intensitas latihan maka durasi istirahatnya pula akan lebih lama, begitu juga sebaliknya.
5.
Pelatihan yang dilakukan harus menunjukkan kemampuan yang progresif. Peningkatan/ penambahan beban latihan yang dilakukan secara bertahap. Dalam pelatihan yang baik hendaknya peningkatan beban diberikan dari beban ringan ke beban yang lebih berat. Tingkat intensitas pelatihan ini dari yang terendah sampai tertinggi. Intensitas rendah 10-30 % RM, intensitas intermedium 50 – 70% RM, intensitas medium 70 – 80 RM, intensitas submaksimal 80 – 90 % RM, intensitas maksimal 90 – 100 % RM, dan intensitas supermaksimal 100 – 105 RM (Bompa, 2001)
6.
Prinsip individu dalam pelatihan. Peningkatan beban pelatihan yang diberikan harus disesuaikan dengan kemampuan atlet (sampel penelitian) supaya atlet dapat berkembang dengan baik dan terhindar dari kelelahan bahkan cedera .
2.10 Metabolisme Energi Penampilan atlet sangat ditentukan dari kemampuannya memanfaatkan energi yang dihasilkan melalui proses metabolisme energi di dalam tubuh. Metabolisme adalah perubahan-perubahan kimiawi yang terjadi di dalam tubuh untuk melaksanakan berbagai fungsi vitalnya. Upaya penyediaan energi untuk kelangsungan gerak ditinjau dari keterlibatan oksigen yang terdiri dari dua mekanisme yaitu metabolisme aerobik dan anaerobik (Giriwijoyo, 2007). Energi adalah suatu kapasitas atau sumber yang dapat dipergunakan untuk melakukan kerja atau aktivitas. Salah satu tempat pembentukan energi di dalam tubuh manusia salah satunya adalah di otot rangka. Dimana otot rangka tersusun dari serat-serat otot yang merupakan unit penyusun (building blocks) sistem otot. Hampir seluruh otot rangka berawal dan berakhir di tendon, dan serat-serat otot rangka tersusun sejajar diantara ujung-ujung tendon, sehingga daya kontraksi setiap unit akan saling menguatkan. Setiap serat otot merupakan satu sel otot yang berinti banyak, memanjang, silindrik dan diliputi oleh membran sel (sarkolema). Serat-serat otot tersusun atas 15 miofibril yang terbagi menjadi filamen-filamen. Filamen-filamen ini tersusun dari protein-protein kontraktil. Mekanisme kontraktil rangka bergantung pada protein miosin, aktin, tropomiosin, dan troponin. Troponin terdiri dari tiga subunit, troponin I, troponin T, dan troponin C. Protein penting lainnya di otot berfungsi untuk mempertahankan agar hubungan antara protein-protein kontraktil tetap serasi (Setiadji, 2013). Kontraksi otot meliputi pemendekan elemen-elemen kontraktil otot. Akan tetapi, karena otot mempunyai elemen-elemen elastis dan kenyal yang tersusun seri dengan elemen kontraktil, kontraksi dapat terjadi tanpa pemendekan yang berarti pada berkas otot. Kontraksi semacam itu disebut sebagai kontraksi isometrik (dengan ukuran
yang tetap atau dengan panjang yang tetap). Kontraksi melawan beban yang tetap, dengan pemendekan otot, dinamakan kontraksi isotonik (tegangan yang tetap). Proses yang mendasari pemendekan elemen-elemen kontraktil di otot adalah pergeseran filamen-filamen tipis pada filamen-filamen tebal. Selama kontraksi otot, pergeseran terjadi bila kepala-kepala miosin berikatan erat dengan aktin, melekuk pada tempat hubungan kepala miosin dengan lehernya, dan kemudian terlepas kembali (Setiadji, 2013). Ayunan tenaga ini bergantung kepada hidrolisis ATP secara simultan. Setiap ayunan tenaga akan memendekkan sarkomer kurang lebih 10 mm. Setiap filamen tebal mengandung 500 kepala miosin, dan siklus ini terulang 5 kali per detik selama berlangsungnya kontraksi cepat. Proses terpicunya kontraksi oleh depolarisasi serat otot dinamakan proses pasangan eksitasi kontraksi. Potensial aksi dihantarkan ke seluruh fibril yang terdapat dalam serat otot melalui sistem T. Impuls di sistem T ini memicu pelepasan ion Ca2+ dari sisterna terminal, yaitu kantung lateral retikulum sarkoplasmik yang bersebelahan dengan sistem T. Ion Ca2+ memicu kontraksi karena diikat oleh troponin C. Pada keadaan otot yang istirahat, troponin I terikat erat pada aktin, dan tropomiosin menutupi tempat-tempat untuk mengikat kepala miosin di molekul aktin. Kompleks troponintropomiosin membentuk protein relaksasi yang menghambat interaksi aktin dengan miosin. Bila ion Ca2+ yang dilepaskan oleh potensial aksi diikat oleh troponin C, ikatan antara troponin I dengan aktin akan melemah, dan hal ini memungkinkan tropomiosin bergerak ke lateral. Gerakan ini membuka tempat-tempat pengikatan kepala-kepala miosin. ATP kemudian terurai dan terjadi kontraksi (Setiadji, 2013). Setiap satu molekul troponin mengikat ion kalsium, tujuh tempat pengikatan miosin terbuka. Segera setelah melepaskan Ca2+, retikulum sarkoplasmik mulai mengumpulkan kembali Ca2+ dengan transpor aktif ke dalam bagian longitudinal retikulum. Pompa
yang bekerja adalah Ca2+ Mg2+ ATPase. Ca2+ kemudian berdifusi ke dalam sisterna terminal, tempat penyimpanannya, sampai dilepaskan oleh potensial aksi berikutnya. Bila kadar Ca2+ di luar retikulum sudah cukup rendah, interaksi kimiawi antara miosin dan aktin terhenti dan otot relaksasi. Dimana ATP menyediakan energi, baik untuk kontraksi maupun untuk relaksasi. Bila transport Ca2+ ke dalam retikulum terhambat, relaksasi tidak terjadi meskipun tidak ada lagi potensial aksi. Kontraksi yang bertahan sebagai akibat kejadian itu dinamakan kontraktur (Munawwarah, 2010). Kontraksi otot membutuhkan energi, dan otot disebut sebagai mesin pengubah energi kimia menjadi kerja mekanis. Sumber energi yang dapat segera digunakan adalah derivat fosfat organik berenergi diperoleh dari metabolisme intermedier karbohidrat dan lipid. Hidrolisis ATP yang menghasilkan energi untuk kontraksi. Fosforilkreatin ATP disintesis ulang dari ADP dengan penambahan satu group fosfat. Sebagian energi yang dibutuhkan untuk reaksi endotermik ini diperoleh dari penguraian glukosa menjadi CO2 dan H2O, tetapi di otot juga ada senyawa fosfat berenergi tinggi lain yang dapat memasok energi untuk jangka pendek. Senyawa fosfat itu adalah fosforilkreatin, yang dihidrolisis menjadi kreatin dan grup fosfat dengan melepaskan sejumlah besar energi. Dalam keadaan istirahat, sebagian ATP di mitokondria melepaskan fosfatnya pada kreatin, sehingga terbentuk simpanan fosforilkreatin. Pada waktu kerja, fosforilkreatin mengalami hidrolisis ditempat pertemuan kepala miosin dengan aktin, membentuk ATP dari ADP, yang menyebabkan proses kontraksi dapat berlanjut. Dalam keadaan istirahat dan selama kerja ringan, otot menggunakan lipid dalam bentuk asam lemak bebas free fatty acid (FFA) sebagai sumber energi. Bila intensitas kerja meningkat, penyediaan energi yang cukup cepat tidak dapat diperoleh hanya dari lipid, sehingga pemakaian karbohidrat menjadi penting sebagai komponen campuran bahan
bakar otot. Jadi selama kerja berlangsung, sebagian besar energi untuk fosforilkreatin dan sintesis ulang ATP berasal dari penguraian glukosa menjadi CO2 dan H2O. Cukup diperhatikan bahwa gula darah masuk ke dalam sel, dan mengalami degradasi melalui serangkaian reaksi kimia, menjadi piruvat (Munawwarah, 2010). Sumber glukosa intrasel lain, yang berarti juga sumber piruvat, adalah glikogen, suatu polimer karbohidrat yang terdapat dalam jumlah sangat besar di hati dan otot rangka. Bila terdapat oksigen dan mengalami metabolisme melalui siklus ini menjadi CO2 dan H2O. Proses ini dinamakan glikolisis aerobik. Penguraian glukosa atau glikogen menjadi CO2 dan H2O melepaskan energi yang cukup besar untuk membentuk sejumlah besar ATP dari ADP. Bila pasokan O2 tidak mencukupi, piruvat yang dibentuk dari glukosa tidak masuk ke dalam siklus asam trikarboksilat, melainkan direduksi menjadi laktat. Proses glikolisis anaerobik ini berkaitan dengan dihasilkannya sejumlah kecil ikatan-ikatan fosfat berenergi tinggi, tetapi proses ini tidak membutuhkan adanya O2. Mekanisme utang oksigen selama kerja otot, pembuluh darah otot melebar dan aliran darah meningkat sedemikian sehingga pasokan O2 yang tersedia meningkat. Sampai suatu titik tertentu, konsumsi O2 sebanding dengan energi yang dikeluarkan, dan semua kebutuhan energi dipenuhi melalui proses erobik. Namun, bila kerja otot sangat kuat, resintesis aerobik untuk simpanan energi tidak dapat mengikuti kecepatan penggunaannya. Dalam keadaan demikian, fosforilkreatin tetap digunakan untuk sintesis ulang ATP. Sebagian sintesis ATP dipenuhi dengan menggunakan energi yang dilepaskan melalui penguraian anaerobik glukosa menjadi laktat. Penggunaan jalur anaerobik bersifat self-limitting, karena meskipun terjadi difusi cepat laktat ke dalam aliran darah, cukup banyak yang berkumpul di otot yang pada akhirnya melampaui kapasitas jaringan dan menyebabkan penurunan pH yang menghambat enzim. Akan
tetapi, untuk jangka pendek, adanya jalur anaerobik untuk penguraian glukosa memungkinkan kerja otot yang jauh lebih besar daripada bila tidak ada jalur tersebut. Setelah selesainya satu masa kerja, O2 ekstra digunakan untuk membuang sisa laktat, mengembalikan ATP dan simpanan fosforilkreatin, serta mengganti sejumlah kecil O2 yang berasal dari mioglobin. Jumlah O2 ekstra yang dipakai sebanding dengan besarnya kebutuhan energi, selama berlangsungnya kerja, yang melampaui kapasitas sintesis aerobik simpanan energi, yaitu batas terjadinya hutang oksigen (Setiadji, 2013). Hutang O2 diukur secara eksperimental dengan menetapkan konsumsi O2 setelah kerja sampai konsumsi basal yang menetap tercapai, dan mengurangi konsumsi basal dari jumlah keseluruhan. Jumlah hutang oksigen ini dapat mencapai enam kali konsumsi O2 basal, menunjukkan bahwa orang tersebut mampu melakukan kerja sebesar enam kali, yang tidak mungkin dilakukan tanpa hutang oksigen. Hutang maksimal dapat terjadi dengan cepat atau lambat, dimana kerja berat hanya dimungkinkan untuk waktu singkat, sedangkan kerja yang lebih ringan dapat berlangsung lebih lama. Atlet yang terlatih dapat lebih meningkatkan konsumsi O2 otot dibandingkan dengan orang tidak terlatih, dan dapat menggunakan asam lemak bebas lebih efektif. Dengan demikian mereka mampu melakukan kerja yang lebih berat tanpa menghabiskan simpanan glikogennya dan tanpa meningkatkan pembentukan asam laktat.