BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
HAMA Plutella xylostella Hama dalam arti luas adalah semua jenis gangguan baik pada manusia, ternak dan tanaman. Pengertian hama dalam arti sempit yang berkaitan dengan kegiatan budidaya tanaman adalah semua hewan yang merusak tanaman yang mana aktivitas hidupnya dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis. Adanya suatu hewan dalam satu tanaman sebelum menimbulkan kerugian secara ekonomis maka dalam pengertian ini belum termasuk hama. Namun demikian potensi mereka sebagai hama nantinya perlu dimonitor dalam suatu kegiatan yang disebut pemantauan (monitoring). Secara garis besar hewan yang dapat menjadi hama dapat dari jenis serangga, moluska, tungau, tikus, burung atau mamalia besar. Mungkin di suatu daerah hewan tersebut menjadi hama, namun di daerah lain belum tentu menjadi hama (Dadang, 2006: 1) 1.
Konsep Munculnya Hama Konsep munculnya hama dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu: a.
Adanya proses pembukaan lahan baru dimana terjadi perubahan ekosistem menjadi tidak seimbang lagi, misalnya terjadi penurunan bahkan musnahnya musuh alami sehingga populasi hama meningkat drastis dan menimbulkan kerusakan. Ekosistem pertanian akibat pembukaan lahan baru biasanya akan membuat
9
kondisi tidak stabil. Kemudian, penanaman secara monokultur akan berpotensi terjadinya dominasi suatu organisme pada ekosistem tersebut. Penanaman monokultur akan menyediakan sumber makanan yang sangat melimpah untuk satu organisme sehingga populasi organisme tersebutakan berkembang dengan cepat sementara faktor pembatas seperti musuh alami mungkin kurang. b.
Introduksi tanaman baru ke suatu lokasi. Kejadian ini dipahami dari dua arah yaitu tanaman tersebut memang tidak membawa hama namun perkembangan tanaman tersebut dapat merubah status tanaman tersebut menjadi gulma dan keberadaanya sangat membahayakan tanaman budidaya.
c.
Selain itu perubahan persepsi manusia juga dapat menentukan status hama, salah satunya di ukur dari ambang ekonomi. Hewan dapat berubah statusnya menjadi hama jika populasinya sudah melebihi atau di atas ambang ekonomi. Dengan semakin meningkatnya pemahaman konsumen terhadap kualitas produk maka pihak produsen akan berusaha memenuhi keinginan konsumen tersebut. Dengan demikian keberadaan hama di lapangan lebih diperhatikan dalam arti tindakan pengendalian lebih digiatkan agar produk yang dihasilkan memenuhi kebutuhan konsumen (Dadang, 2006: 2)
10
Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Plutellidae) adalah salah satu hama utama pada tanaman. Larva merusak tanaman dengan cara menggigit, mengunyah kemudian memakan permukaan bawah daun. Bagian daun akan berwarna putih transparan, pada kerusakan berat hanya tertinggal tulang daun. (Siahaya dan Rumthe, 2014:112)
2.
Klasifikasi Hama Plutella xylostella Klasifikasi ulat kubis (Plutella xylostella ) menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Kelas
: Insecta
Ordo
: Lepidoptera
Famili
: Plutellidae
Genus
: Plutella
Spesies
: Plutella xylostella
Plutella xylostella adalah serangga kosmopolitan pada daerah tropis dan daerah subtropis. Di Indonesia saat ini penyebaranya bukan hanya di daerah pegunungan tetapi saat ini sudah menyebar sampai di dataran rendah. P. xylostella memiliki kisaran inang yang luas. Banyak jenis kubis, sawi dan beberapa tanaman silangan lainnya, termasuk Raphanaus sativius (lobak). Ulat kubis banyak memakan daun muda
11
dibanding daun tua. Jenis kerusakan oleh ulat ini sangat khas: daun menampilkan jendela putih tidak teratur (Kalshoven, 1981). 3.
Biologi hama Plutella xylostella Ulat Plutella xylostella disebut juga hama bodas, hama krancang atau hama wayang. Tanaman inangnya antara lain kubis, lobak, sawi dan tanaman lain yang termasuk dalam keluarga Cruciferae., ulat 12 hari, pupa 6-7 hari dan kupu-kupu 20 hari. (Rukmana, Rahmad, 1997: 76)
Gambar 1. Siklus hidup Plutella xylostella Foto: Tonny K. Moekasan a.
Telur Bentuk telur bulat panjang dengan lebar kurang lebih 0,26mm dan panjang 0,49mm. Di daerah panas sampai ketinggian 250 meter dari permukaan air laut stadium telur hanya dua hari. Di
12
dataran tinggi berketinggian 1.100m – 1.200m dari permukaan air laut umurnya lebih panjang, yaitu stadium telur 3-4 hari. Umumnya telur diletakan pada permukaan bawah daun. Untuk oviposisi Plutella xylostella peran faktor fisik tumbuhan sangat besar. Permukaan daun yang berlekuk-lekuk lebih disukai sebagai tempat oviposisi. Permukaan bawah daun lebih dipilih untuk oviposisi dibandingkan dengan permukaan atas karena lekuk-lekuk lebih memudahkan imago untuk meletakkan telurnya. (Rukmana, 1997; Mulyaningsih, 2010: 85). b.
Larva Ulat yang baru menetas berwarna hijau pucat, sedangkan yang lebih tua warnanya lebih hijau dengan kepala pucat serta terdapat bintik-bintik cokelat. Panjang ulat 5mm-10mm. Larva mempunyai lima pasang proleg, sepasang proleg menonjol keluar dari ujung posterior membentuk huruf V yang jelas (CABI.2015)
Gambar 2. Larva Plutella xylostella Foto: Dokumentasi pribadi
13
Larva berbentuk silindris, berwarna hijau muda, relatif tidak berbulu dan mempunyai lima pasang proleg. Larva Plutella xylostella terdiri atas empat instar. Larva lincah dan jika tersentuh akan menjatuhkan diri serta menggantungkan diri pada benang halus. Larva jantan dapat dibedakan dari larva betina karena memiliki sepasang calon testis yang berwarna kuning. Pada ketinggian 1100-2000 mdpl stadium larva lebih panjang yaitu 12 hari dan dibawah ketinggian 250 mdpl lebih pendek yaitu 9 hari (Rukmana, 1997; Mulyaningsih, 2010: 96). Rata-rata lamanya stadium larva instar ke satu adalah 3,7 hari, larva instar ke dua adalah 2,1 hari, larva instar ke 3 adalah 2,7 hari dan larva instar ke empat adalah 3,7 hari (Sastrosiswodjo, et. al.2005:8). c.
Pupa Setelah cukup umur, ulat mulai membentuk kepompong dari bahan seperti benang sutera abu-abu putih dibalik permukaan daun untuk menghindari panasnya sinar matahari. Pembentukan kepompong mulai dari dasarnya, sisinya kemudian tutupnya. Kepompong masih terbuka pada bagian ujung untuk keperluan pernafasan. Pembuatan kepompong ini diselesaikan dalam waktu 24 jam. Setelah selesai, ulat berubah menjadi pupa. Kulit ulat biasanya diletakkan di dalam kepompong namun kadang juga di luar kepompong (Pracaya, 2007: 114)
14
Gambar 3. Pupa Plutella xylostella Sumber: Dokumentasi pribadi
Pupa mulanya berwarna hijau, selanjutnya berwarna kuning pucat, dengan warna kecoklatan pada bagian punggungnya. Panjang pupa 5-6 mm dengan diameter 1,2-1,5 mm. pupa tertutup oleh kokon, dengan masa pupa 3-6 hari (Sudarmo.1994) d.
Ngengat
Gambar 4. Ngengat Plutella xylostella Sumber: http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/diamondback_moth03.jpg
15
Warna sayap ngengat abu-abu kecoklatan. Warna sayap betina agak pucat. Pada saat istirahat kedua sayapnya menutupi tubuh dan seakan akan ada gambar seperti jajaran genjang yang berwarna putih seperti berlian, oleh karena itu, ngengat ini disebut dengan ngengat punggung berlian (Pracaya, 2007: 113). Ngengat betina mampu bertelur sebanyak 180-320 butir telur dan diletakan pada bagian bawah daun tanaman. Ngengat menghisap madu keluarga Cruciferae. Musuh alami yang dapat menghambat perkembangan ulat ini antara lain burung gereja, prenjak dan capung. (Rukmana, Rahmad, 1997: 76-77) 4.
Aktifitas Makan Hama Plutella xylostella Serangga akan menghadapi dua ha1 untuk memulai aktivitas makannya yaitu yang pertama adanya rangsangan-rangsangan untuk inisiasi aktivitas makan (feeding stimulant) dalam tanaman yang memberikan masukan isyarat untuk pengenalan jenis makanan dan menjaga aktivitas makan, dan yang kedua adalah pendeteksian kehadiran senyawa-senyawa asing (foreign compound) yang dapat bersifat sebagai penghambat makan sehingga dapat memperpendek aktivitas makan atau bahkan menghentikan aktivitas makan sama sekali (Dadang dan Kanju, 2000: 30). Hama ini aktif makan pada malam hari (nocturnal).
16
5.
Kerusakan yang diakibatkan hama Ulat Plutella xlostella dapat menyerang tanaman mulai dari proses pembibitan sampai dengan saat panen. Hingga saat ini pengendalian hama Plutella xylostella di Indonesia masih ditujukan pada pengendalian secara kimia saja (Sembel, 2010: 214). Serangan hama ini sangat cepat sehingga dalam waktu beberapa hari saja tanaman yang diserang sudah menjadi rusak (Surachman dan Widada, 2007: 55-56)
Gambar 5. Kerusakan Akibat Serangan Hama Plutella xylostella Sumber: Dokumentasi pribadi
Ulat bersembunyi di bagian bawah daun sambil makan. Biasanya yang dimakan ulat hanya daging daun. Kulit ari pada bagian permukaan daun sebelah atas tidak dimakan sehingga disebut juga hama putih (hama bodas). Jika kulit ari yang diserang menjadi kering, daunnya akan sobek dan kelihatan berlubang-lubang. Apabila serangan menghebat, yang tertinggal hanyalah tulang daun sehingga bentuk daun seperti
17
wayang kulit. Oleh karena itu ada yang menyebut hama ini sebagai hama wayang (Pracaya, 2007: 112) B.
TANAMAN SAWI (Brassica juncea (L.)) Keadaan alam Indonesia memungkinkan dilakukan pembudidayaan berbagai jenis tanaan sayuran, baik yang lokal maupun yang berasal dari luar negeri. Hal tersebut menyebabkan Indonesia ditinjau dari aspek klimatologis sangat potensial dalam usaha bisnis sayuran. Diantara bermacam-macam jenis sayuran yang dibudidayakan di Indonesia adalah sawi yang memiliki nilai komersial dan prospek yang baik. Selain ditinjau dari aspek klimatologis, aspek teknis, dan aspek ekonomi, aspek sosial juga sangat mendukung, sehingga sawi memiliki kelayakan untuk diusahakan di Indonesia (Haryanto, 2003). Sawi adalah sekelompok tumbuhan dari marga Brassica yang dimanfaatkan daun atau bunganya sebagai bahan pangan (sayuran), baik segar maupun diolah. Sawi mencakup beberapa spesies Brassica yang kadang-kadang mirip satu sama lain. Di Indonesia penyebutan sawi biasanya mengacu pada sawi hijau (disebut juga sawi bakso, caisim, atau caisim). Selain itu, terdapat pula sawi putih (disebut juga petsai) yang biasa dibuat sup atau diolah menjadi asinan. Jenis lain yang kadang-kadang disebut sebagai sawi hijau adalah sawi sayur (untuk membedakannya dengan
caisim)
(Haryanto,
2003).
Pengembangan
budidaya
sawi
mempunyai prospek baik untuk mendukung upaya peningkatan pendapatan petani, gizi masyarakat, perluasan kesempatan kerja, pengembangan
18
agribisnis, peningkatan pendapatan negara melalui pengurangan impor dan memacu laju pertumbuhan ekspor. Kelayakan pengembangan budidaya sawi antara lain ditunjukkan oleh adanya keunggulan komparatif kondisi wilayah tropis Indonesia yang sangat cocok untuk komoditas tersebut. Di samping itu, umur panen sawi relatif pendek dan hasilnya memberikan keuntungan yang memadai (Arinong dkk., 2008: 76).
Tabel 1. Produktivitas tanaman sawi DIY Daerah Istimewa Yogyakarta Indikator
Satuan
Luas panen
Ha
613
635
604
525
518
588
Ton
6756
7157
6603
6447
5605
64524
Ton/Ha
11,020
11,270
10,932
12,280
10,821
109,73
Produksi Produktivitas
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Sumber: http://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/hasilKom.asp Tabel 1 di atas merupakan data produktivitas tanaman sawi DIY dari
tahun 2010 hingga 2015. Produktivitas tanaman sawi tertinggi adalah pada tahun 2013 dengan produktivitas sebanyak 12.280 ton/Ha dan produktivitas terendah pada tahun 2011 yaitu sebanyak 10,270 ton/Ha. 1.
Jenis-jenis Sawi (Brassica juncea (L.)) Petani Indonesia di masa lalu hanya mengenal tiga macam jenis sawi yang biasanya dibudidayakan yaitu sawi putih, sawi hijau, dan sawi huma. Saat ini, konsumen lebih mengenal sawi caisim alias sawi
19
bakso. Selain jenis-jenis sawi tersebut dikenal pula jenis sawi keriting dan sawi monumen (Haryanto dkk, 2003: 9). a.
Sawi putih atau sawi jabung Sawi putih atau sawi jabung merupakan jenis sawi yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena memiliki rasa yang paling enak di antara sawi jenis lainnya. Tanaman ini dapat dibudidayakan di tempat yang kering. Bila sudah dewasa jenis sawi ini memiliki daun yang lebar dan berwarna hijau tua. Tangkainya panjang, tetapi lemas dan halus. Batangnya pendek, tetapi tegap dan bersayap (Haryanto dkk, 2003: 10).
b.
Sawi hijau atau sawi asin Sawi hijau atau sawi asin kurang banyak dikonsumsi sebagai bahan sayur segar karena rasanya agak pahit. Rasa pahit pada daun sawi hijau dapat dihilangkan dengan cara pengasinan (Haryanto dkk, 2003: 10). Sawi hijau berukuran lebih kecil dibandingkan sawi jabung atau sawi putih. Daun sawi jenis ini lebar seperti daun sawi putih, tetapi warnanya lebih hijau tua. Batangnya sangat pendek, tetapi tegap. Tangkai daunnya agak pipih, sedikit berliku, tetapi kuat. Varietas sawi hijau banyak dibudidayakan di lahan yang kering , tetapi cukup pengairannya (Haryanto dkk, 2003: 10).
20
c.
Sawi huma Jenis sawi ini baik jika ditanam di tempat-tempat yang kering, seperti tegalan dan huma. Tanaman ini biasanya ditanam setelah usai musim penghujan karena sifatnya yang tidak tahan terhadap genangan air (Haryanto dkk, 2003: 10). Sawi huma daunnya sempit, panjang, dan berwarna hijaukeputih-putihan. Tidak seperti sawi putih dan sawi hijau, sawi huma berbatang kecil, tetapi panjang. Tangkainya berukuran sedang seperti bersayap (Haryanto dkk, 2003: 11).
d.
Caisim alias sawi bakso Caisim alias sawi bakso (ada juga yang menamakannya sawi cina) merupakan jenis sawi yang paling banyak dipasarkan di kalangan konsumen (Haryanto dkk, 2003: 11). Tangkai daunnya panjang, langsing, dan berwarna putih kehijauan. Daunnya lebar memanjang, tipis, dan berwarna hijau. Rasanya yang renyah dan segar dengan sedikit sekali rasa pahit, membuat sawi ini banyak diminati. Selain enak ditumis atau dioseng, caisim banyak dibutuhkan oleh pedagang mi bakso, mi ayam, atau
restoran
masakan
cina.
Tak
mengherankan
jika
permintaannya setiap hari amat tinggi (Haryanto dkk, 2003: 1112).
21
e.
Sawi keriting Ciri khas sawi ini adalah daunnya yang keriting. Bagian daun yang hijau sudah mulai tumbuh dari pangkal tangkai daun. Tangkai daunnya berwarna putih. Selain daunnya yang keriting, jenis sawi ini amat mirip dengan sawi hijau biasa (Haryanto dkk, 2003: 12).
f.
Sawi monumen Sawi monumen tumbuhnya amat tegak dan berdaun kompak. Penampilan sawi ini sekilas mirip dengan petsai. Tangkai daun berwarna putih berukuran agak lebar dengan tulang daun yang juga berwarna putih. Daunnya berwarna hijau segar. Jenis sawi ini tergolong terbesar dan terberat diantara jenis sawi lainnya (Haryanto dkk, 2003: 12).
2.
Klasifikasi Tanaman Sawi (Brassica juncea (L.)) Di Indonesia dikenal tiga jenis sawi yaitu: sawi putih atau sawi jabur, sawi hijau dan sawi huma. Sawi putih (B. juncea L. Var. Rugosa Roxb. Prain) memiliki batang yang pendek, tegap dan daun lebar berwarna hijau tua, tangkai daun panjang dan bersayap melengkung kebawah. Sawi hijau, memiliki ciri-ciri batang pendek, daun berwarna hijau keputih-putihan, serta rasanya agak pahit, sedangkan sawi huma memiliki ciri-ciri batang kecil panjang dan langsing, daun panjang sempit berwarna hijau keputih-putihan serta tangkai daun panjang dan bersayap (Rukmana, 1994: 18)
22
Sawi (Brassica juncea L.) masih satu famili dengan kubis-krop, kubis bunga, broccoli dan lobak atau rades, yakni famili Cruciferae (Brassicaceae) olek karena itu sifat morfologis tanamannya hampir sama, terutama pada sistem perakaran, struktur batang, bunga, buah maupun bijinya. Klasifikasi sawi dalam (Rukmana, 2002: 4) sebagai berikut :
3.
Kingdom
: Plantae
Phylum
: Spermatophyta
Kelas
: Angiospermae
Ordo
: Papavorales
Suku
: Brassicaceae
Genus
: Brassica
Spesies
: Brassica juncea (L.)
Morfologi Tanaman Sawi (Brassica juncea (L.))
Gambar 6. Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) Sumber: Dokumentasi Pribadi
23
Tanaman sawi umumnya mudah berbunga secara alami, baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Sistem perakaran sawi memiliki akar tunggang (radix primaria) dan cabang-cabang akar yang bentuknya bulat panjang (silindris) menyebar kesemua arah dengan kedalaman antara 30-50 cm. Akar-akar ini berfungsi antara lain mengisap air dan zat makanan dari dalam tanah, serta menguatkan berdirinya batang tanaman (Heru dan Yovita, 2003). Batang sawi pendek sekali dan beruas-ruas sehingga hampir tidak kelihatan. Batang ini berfungsi sebagai alat pembentuk dan penopang daun (Rukmana, 2002: 4). Sawi berdaun lonjong, halus, tidak berbulu dan tidak berkrop. Pada umumnya pola pertumbuhan daunnya berserak (roset) hingga sukar membentuk krop (Sunarjono, 2004). Tanaman sawi tahan terhadap air hujan, sehingga dapat ditanam sepanjang tahun. Pada musim kemarau yang perlu diperhatikan adalah penyiraman secara teratur, tanaman ini cocok bila di tanam pada akhir musim penghujan (Margiyanto, 2007). Tanah yang cocok untuk ditanami sawi adalah tanah yang subur, gembur dan banyak mengandung bahan organik (humus), tidak menggenang (becek), tata aerasi dalam tanah berjalan dengan baik. Derajat kemasaman (pH) tanah yang optimum untuk pertumbuhannya adalah antara pH 6 sampai pH 7 (Haryanto dkk, 2003: 25). Biasanya tanaman ini dibudidayakan di daerah yang berketinggian 100-500 mdpl. Sebagian
24
besar daerah-daerah di Indonesia memenuhi syarat ketinggian tersebut (Haryanto,dkk, 2003: 24) Tanaman ini dapat melakukan fotosintesis dengan energi yang cukup, cahaya matahari merupakan sumber yang diperlukan tanaman untuk proses fotosintesis. Energi kinetik matahari yang optimal diperlukan tanaman untuk pertumbuhan dan produksi berkisar antara 350-400 cal/cm2 setiap hari, sawi hijau memerlukan cahaya matahari tinggi. Kondisi iklim yang dikehendaki untuk pertumbuhan tanaman sawi adalah daerah yang mempunyai suhu malam hari 15,6 oC dan siang 21,1oC serta penyinaran matahari antara 10-13 jam per hari. Meskipun demikian, beberapa varietas sawi tahan terhadap suhu panas, dapat tumbuh dan produksi dengan baik di daerah dengan suhu antara 27o-32oC (Rukmana, 2004: 34) Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap sehingga apabila dikonsumsi sangat baik untuk mempertahankan kesehatan tubuh. Kandungan gizi setiap 100 g bahan yang dapat dimakan pada sawi hijau adalah :
25
Tabel 2. Kandungan gizi dalam 100gr sawi No Komposisi Jumlah 1 Kalori 22,00 k 2 Protein 2,30 g 3 Lemak 0,30 g 4 Karbohidrat 4,00 g 5 Serat 1,20 g 6 Kalsium 220,50 mg 7 Fosfor 38,40 mg 8 Besi 2,90 mg 9 Vitamin A 969,00 SI 10 Vitamin B1 0,09 mg 11 Vitamin B2 0,10 mg 12 Vitamin B3 0,70 mg 13 Vitamin C 102,00 mg Sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI 1979 Manfaat sawi sangat baik untuk menghilangkan rasa gatal di tenggorokan pada penderita batuk. Penyembuh penyakit kepala, bahan pembersih darah, memperbaiki fungsi ginjal serta memperbaiki dan memperlancar pencernaan. Sedangkan kandungan yang terdapat pada sawi adalah protein, lemak, karbohidrat, Ca, P, Fe, vitamin A, Vitamin B dan Vitamin C (sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI, 1981) 4.
Hama penyerang tanaman sawi (Brassica juncea (L.)) Beberapa hama penyerang tanaman Curcurifeae (kubis, sawi, petsai) antara lain ulat Agrotis, ulat Crocidolomia, ulat Plutella, ulat Spodoptera dan kutu daun Aphis.penyakit yang ditimbulkan antara lain busuk lunak, busuk hitam, akar ganda dan bercak daun. Masing-msing hama juga menyerang tanaman pada umur yang berbeda, ulat Agrotis menyerang tanaman yang sedang disemai hingga beberapa minggu
26
setelah tanaman di lapang. Pembasmiannya menggunakan pestisida berbentuk granula (Tjahjadi, 1989: 106). Dalam pembasmian ulat Plutella xylostella dengan obat-obatan yang mengandung zat phospor, gejala-gejala kekebalan tampak jelas, bilamana petani mempergunakan sejenis obat terus menerus. Untuk menghindari timbulnya kekebalan terhadap sesuatu insektisida maka perlu
diadakan
pergantian
obat
selama
masa
pengobatan
(Rismunandar, 1986: 90) C.
TEMBAKAU (Nicotiana tabacum) Tembakau adalah bahan baku dari pembuatan rokok yang sangat digemari orang Indonesia. Tembakau Indonesia di ekspor ke berbagai Negara di dunia, karena tembakau Indonesia merupakan tembakau dengan kualitas terbaik. Distribusi geografis tanaman tembakau di Indonesia adalah di daerah Deli (Sumatera Utara), Temanggung (Jawa Tengah), Madura, Boyolali, Klaten, Jember dan Lombok Timur. 1.
Klasifikasi Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum) Tembakau adalah tanaman musiman yang tergolong dalam tanaman perkebunan. Tanaman tembakau diklasifikasikan sebagai berikut :
27
Gambar 7. Tanaman Tembakau Sumber:https://litbangjember.files.wordpress.com/2012/10/varietas-h382.jpg. Diakses pada 17 Januari 2017 Klasifikasi Tanaman Tembakau Divisio
: Spermatophyta
Sub divisio
: Angiospermae
Class
: Dicotyledoneae
Ordo
: Personatae
Famili
: Solanaceae
Genus
: Nicotiana
Spesies
: Nicotiana tabaccum. L. (Matnawi, 1997)
2.
Morfologi Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum) Tanaman tembakau mempunyai bagian–bagian sebagai berikut: a.
Akar Tanaman tembakau berakar tunggang menembus ke dalam tanah sampai kedalaman 50–75 cm, sedangkan akar kecilnya menyebar ke samping. Tanaman tembakau juga memiliki bulu akar.
Perakaran
tanaman
28
tembakau
dapat
tumbuh
dan
berkembang baik dalam tanah yang gembur, mudah menyerap air dan subur. b.
Batang tanaman tembakau agak bulat, lunak tetapi kuat, makin ke ujung makin kecil. Ruas batang mengalami penebalan yang ditumbuhi daun, dan batang tanaman tidak bercabang atau sedikit bercabang. Pada setiap ruas batang selain ditumbuhi daun juga tumbuh tunas ketiak daun, dengan diameter batang 5 cm. Fungsi dari batang adalah tempat tumbuh daun dan organ lainnya, tempat jalan pengangkutan zat hara dari akar ke daun, dan sebagai jalan menyalurkan zat hasil asimilasi ke seluruh bagian tanaman.
c.
Bentuk daun tembakau adalah bulat lonjong, ujungnya meruncing, tulang daun yang menyirip, bagian tepi daun agak bergelombang dan licin. Daun bertangkai melekat pada batang, kedudukan daun mendatar atau tegak. Ukuran dan ketebalan daun tergantung varietasnya dan lingkungan tumbuhnya. Daun tembakau tersusun atas lapisan palisade parenchyma pada bagian atasnya dan spongy parenchyma pada bagian bawah. Jumlah daun dalam satu tanaman berkisar 28–32 helai, tumbuh berselang–seling mengelilingi batang tanaman. Daun tembakau cerutu diklasifikasikan menurut letaknya pada batang, yang dimulai dari bawah ke atas dibagi menjadi 4 klas yakni : daun pasir (zand blad), kaki (voet blad), tengah, (midden blad), atas
29
(top blad). Sedangkan daun tembakau Virginia pada dasarnya dibagi menjadi 4 kelas, yakni: daun pasir (lugs), bawah dan tengah (cutters), atas (leaf), dan pucuk (tips). Bagian dari daun tembakau Virginia yang mempunyai nilai tertinggi adalah daun bawah dan tengah menyusul daun atas, sedang daun pasir dan pucuk hampir tidak bernilai kecuali untuk tembakau rajangan (Abdullah, 1982) d.
Bunga majemuk yang terdiri dalam beberapa tandan yang masing-masing berisi sekitar 15 bunga. Bentuknya seperti terompet dan panjang. Bunga pada tanaman tembakau dibedakan menjadi beberapa bagian yaitu kelopak bunga, mahkota bunga, bakal buah dan kepala putik. Mahkota bunga berbentuk terompet, warna merah jambu dan merah muda, terdapat lima benang sari satu lebih pendek dari yang lain. Kepala putik terletak pada tabung bunga yang berdekatan dengan benang sari. Bakal buah di atas dasar bunga terdiri dari dua ruang yang dapat membesar. Terdapat banyak bakal biji pada ruang-ruang tersebut. Penyerbukan pada bakal buah akan membentuk buah. Buah tembakau nantinya akan masak dalam waktu tiga minggu. Buah tembakau berbentuk bulat lonjong dan berukuran kecil serta terdapat biji di dalamnya (Hanum, 2008; Denda Astra, 2016: 8)
30
3.
Kandungan Zat Kimia Tembakau Tembakau memiliki kandungan zat-zat seperti gula, fenol, nitrat dan nikotin denga rincian presentase di bawah ini: Tabel 3. Susunan senyawa kimia dari daun tembakau Uraian Jumlah % Gula 0,4-2,5 Fenol 0,0-0,5 Nitrat 1,0-2,0 Nikotin: 1. Pada daun bawah 0,16-2,89 2. Pada daun tengah 0,3-3,75 3. Pada daun atas 0,5-4,0 Kandungan N total 2,18-3,58 Sumber: (Cahyono, 1998; Denda Astra, 2016: 9) Berikut ini merupakan senyawa kimia pada tembakau yang larut dalam air (polar): Tabel 4. Senyawa kimia batang tembakau dalam ekstrak air No Senyawa Akuades 1. Saponin + 2. Tanin 3. Flavonoid + 4. Terpeniod + 5. Napthoquinone 6. Alkaloid + 7. Inulin + 8. Karbohidrat 9. Fenol Sumber: (sharma et al.2016; Denda Astra, 2016: 10) Keterangan: (+) ada, (-) tidak ada
31
Pada tanaman tembakau beberapa macam alkaloid yang dapat dimanfaatkan sebagai insektisida diantaranya adalah nikotin. Senyawa kimia pada tanaman tembakau yang dapat di ekstraksi menggunakan air yaitu alkaloid, saponin, flavonoid, terpenoid. 1.
Alkaloid Nikotin merupakan kelompok alkaloid yang diekstraksi dari tanaman tembakau. Nikotin tidak berwarna, tetapi jika dibiarkan dan mengalami kontak langsung dengan udara nikotin akan berwarna coklat. Nikotin merupakan kelompok alkaloid toksik yang bersifat basa lemah dengan pH 8,0. Karena nikotin mempunyai racun yang tinggi maka dapat digunakan sebagai bioinsektisida.
2.
Saponin Saponin merupakan senyawa aktif permukaan glikosida triterpenoid ataupun glikosida steroida yang bersifat seperti sabun. Saponin ini di deteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisa sel darah merah. Saponin merupakan senyawa yang memiliki rasa pahit dan bersifat racun (Harborne, 1987; Denda Astra, 2016: 12)
3.
Flavonoid Flavonoid adalah salah satu senyawa fenolik yang terdapat pada jaringan tumbuhan dan berperan sebagai antioksidan. Senyawa ini berperan sebagai antioksidan dengan cara
32
mendonasikan atom hidrogennya (Abdi, 2010; Denda Astra, 2016: 12). Menurut Harborne (1987) senyawa isoflavon merupakan
salah
satu
kelompok
dari
flavonoid
yang
dimanfaatkan sebagai Bioinsektisida. 4.
Terpenoid Terpenoid merupakan komponen tumbuhan yang diisolasi dari bahan nabati yang disebut minyak astiri. Senyawa ini terdapat dalam lapisan daun dan dalam buah, berfungsi sebagai pelindung dan menolak serangga dan mikroba (Harborne, 1987; Denda Astra, 2016: 13) Kemampuan tembakau dalam membunuh hama disebabkan
karena kandungan senyawa aktif yang terkandung di dalamnya yaitu nikotin (Afifah, fika, 2015: 28). Daya kerja fisiologi: 1.
Beracun untuk semua bentuk kehidupan hewan, jika zat racun tersebut terdapat pada tempat alat indera (lewat mulut atau kulit).
2.
Beberapa serangga atau hewan tidak peka terhadap nikotin, mungkin karena perbedaan sifat permeabilitas membran pada masing-masing jenis hewan atau serangga.
3.
Menyebabkan kejang dan hewan akan mati tetanus.
33
Dikarenakan daya kerja di atas maka pada hewan atau serangga dapat terjadi beberapa hal seperti dibawah: 1.
Terjadi aktivitas mendadak pada pusat syaraf.
2.
Kerja nikotin berlawanan (antagonis) dengan antropin.
3.
Kombinasi nikotin dengan reseptor tak reversibel Insektisida merupakan racun bagi serangga, dapat memasuki
tubuh serangga melalui berbagai bagian tubuh: 1.
Dinding Tubuh Dinding tubuh merupakan bagian tubuh serangga yang dapat menyerap insektisida dalam jumlah yang besar. Bagian ini tersusun
atas
Epikutikula
yang terdiri
dari
lipoprotein
terkonjugasi atau terdiri dari protein dan lemak yang terpisah. Dapat pula berisi amina. Paraffin, asam lemak, alkohol, aldehida, keton dan ester hampir selalu ada.
Didalam
eksokutikula dan endokutikula terdapat protein-bersamak disamping kitin. Kitin merupakan bagian terbesar dari eksokutikula 2.
Jalan Pernafasan Berbeda dengan hewan menyusui atau burung, reptil dan ampibi, serangga tidak bernafas dengan paru-paru, tetapi dengan sistem tabung yang disebut dengan trakhea. Trakhea ini memiliki muara pada dinding tubuh dan disebut stigma atau spirakel.
34
Trakhea selalu terbuka dan di dalamnya terdapat cincin spirakel yang terbuat dari kitin. Trakhea bercabang kecil-kecil, disebut trakheola dan dapat mencapai jaringan tubuh serangga. Udara dan oksigen memasuki trakhea secara difusi dibantu dengan gerakan abdomen. Oksigen akan langsung berhubungan dengan jaringan. Insektisida dapat masuk kedalam sistem pernafasan dalam bentuk gas ataupun butir-butir halus yang dibawa ke jaringan-jaringan hidup. 3.
Alat Pencernaan Makanan Alat pencernaan serangga terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian depan, tengah dan belakang. Bagian depan dan belakang memiliki susunan yang mirip dinding tubuh. Dengan demikian penyerapan pada bagian depan dan belakang sama seperti bagian dinding tubuh. Dalam hal ini bagian tengah alat pencernaan
makanan
tidak
memiliki
peran
khusus.
(Sastrodihardjo, 1979: 57-58). D.
PESTISIDA SINTETIK Pestisida berarti pembunuh hama (pest: hama dan cide: membunuh) dan secara umum pengertian pestisida ini sangatlah luas yang mencakup produk-produk yang digunakan dibidang pengelolaan tanaman (pertanian, perkebunan,
kehutanan),
peternakan,
kesehatan
hewan,
perikanan,
penyimpanan hasil pertanian, pengawetan hasil hutan, kesehatan masyarakat (termaksud,
pengendalian
vektor
35
penyakit
manusia),
bangunan
(pengendalian rayap), pestisida rumah tangga, fumigasi serta pestisida industri (Nikada, 2012). Proses penyebaran pestisida ke lingkungan (udara dan air) yaitu melalui penyemprotan pestisida yang terbawa angin (driff). Sebab utama terjadinya pencemaran lingkungan oleh pestisida adalah pengendapan (deposit) dan residu pestisida. Deposit ialah bahan kimia pestisida yang terdapat pada suatu permukaan pada saat segera setelah penyemprotan atau aplikasi pestisida, sedangkan residu ialah bahan kimia pestisida yang terdapat di atas atau di dalam suatu benda dengan implikasi penuaan (aging), perubahan(alteration) atau kedua-duanya. Residu permukaan atau residu efektif adalah banyaknya materi yang tertinggal, misalnya pada tanaman setelah aplikasi (Pohan, 2004). Pestisida sintetik Dursban adalah salah satu pestisida yang spesifik untuk memberantas hama pada tanaman sawi. Kandungan dalam pestisida sistetik ini adalah klorpirifos, merupakan zat kimia yang mempunyai dampak sebagai racun kontak, racun lambung dan racun pernafasan.
E.
PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT) Pada umumnya budidaya tanaman sayuran masih banyak kendala yang dihadapi. Salah satu diantaranya adalah serangan hama yang dapat menurunkan hasil panen. Ratarata serangan oleh hama penusuk pengisap dapat menurunkan hasil panen sebanyak 40%-80%, serangan oleh lalat buah dapat menimbulkan kerugian 12%-27%. Menurut Kardinan (1997),
36
kehilangan hasil panen keseluruhan yang yang diakibatkan oleh organisme pengganggu tanaman dapat mencapai 40%- 55%. (Pasetriyani,2010: 34) PHT adalah cara pendekatan dalam pengendalian hama yang didasarkan pada pertimbangan ekologi. Selain pertimbangan ekologi juga termaktub efisiensi ekonomi dalam kerangka pengelolaan agro ekosistem secara menyeluruh. PHT merupakan instrumen penting bagi mendorong peningkatan produktivitas hasil pertanian dan sekaligus berperan dalam pelestarian lingkungan. Karena konsep PHT teruji dalam sikap dan perbuatan yang ramah lingkungan. PHT berawal dari kesadaran manusia terhadap bahaya penggunaan pestisida yang terus meningkat baik bagi lingkungan hidup maupun kesehatan masyarakat. PHT mengendalikan hama secara alami. Pengendalian hama secara alami adalah pengendalian hama yang terjadi di alam tanpa campur tangan manusia. Kita tahu, alam terdiri atas faktor fisik atau non hayati dan hayati . Faktor tersebut dapat menjadi pembatas atau penyekat perkembangbiakan hama. Penggunaan teknik pengendalian hama dalam konsep PHT adalah sebagai berikut: a.
Secara kultur teknis menggunakan varietas resisten, mengatur pola bertanam.
b.
Secara biologis menggunakan musuh-musuh alami.
c.
Secara mekanis atau fisis misalnya ditangkap, penggunaan umpan beracun dan penggunaan perangkap.
37
d.
Secara kimia menggunakan pestisida selektif, seminimal mungkin atau menggunakan pestisida biorasional, dan pestisida botani. Jadi dalam pengendalian hama terpadu perlu dikembangkan upaya pengendalian hama tanaman sayuran yang kompatibel sehingga dapat mengurangi penggunaan pestisida kimia (Pasetriyani, 2010: 35) Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) berkembang dan
diterapkan sampai saat ini oleh karena dilandasi oleh beberapa prinsip dasar sebagai berikut: a.
Pemahaman Sifat Dinamika Ekosistem Pertanian Usaha pengendalian hama, adalah salah satu cara dari proses produksi pertanian guna memperoleh hasil semaksimal mungkin dari lahan pertanian bagi kepentingan petani dan masyarakat luas. Sedangkan proses produksi pertanian meliputi berbagai kegiatan pengelolaan lingkungan pertanian atau agro-ekosistem yang ditujuan untuk pencapaian sasaran produktivitas tertentu. Jadi PHT merupakan bagian integral dari pengelolaan agro-ekosistem. Oleh karena itu agar diperoleh hasil pengendalian hama yang baik diperlukan pemahaman tentang sifat agro-ekosistem yang sedang dikelola. Sama dengan sifat dari ekosistem-ekosistem lain di biosfer agroekosistem dikuasai oleh kaidah-kaidah ekologi yang berlaku secara umum, namun karena terdapat beberapa ciri khas maka dalam penampakannya agro-ekosistem berbeda dengan ekosistem lainnya terutama ekosistem alami.
38
b.
Analisis Biaya-Manfaat Pengendalian Hama Biaya yang dikeluarkan dalam pengendalian hama merupakan total uang yang dikeluarkan untuk membeli pestisida, varietas tahan hama, untuk menyewa alat pengendalian dan membayar tenaga pengendali hama. Manfaat yang diperoleh dari usaha pengendalian hama berupa nilai rupiah dari hasil yang diperoleh. Selisih antara nilai manfaat dan biaya pengendalian hama secara kasar dan dianggap sebagai keuntungan dari usaha pengendalian hama.
c.
Toleransi Tanaman Terhadap Kerusakan Perlu kita mengerti bahwa semua tanaman tentu memiliki tingkat toleransi terhadap adanya kerusakan yang dikarenakan serangga atau oleh penyebab lainnya. Hal itu berarti bahwa adanya tingkat kerusakan tidak mempengaruhi produksi tanaman. Oleh karena itu adanya populasi hama tertentu pada tanaman yang kita usahakan mungkin tidak akan mengakibatkan kerugian apapun pada kita.
d.
Budidaya Tanaman yang Sehat Tanaman yang sehat tentunya akan lebih bertahan terhadap serangan hama bila dibandingkan dengan tanaman yang lemah. Juga tanaman yang sehat akan lebih cepat mengatasi kerusakan yang terjadi akibat serangan hama dengan mempercepat pembentukan anakan atau proses penyembuhan fisiologis lainnya.
39
e.
Pemantauan Lahan Sangat sulit atau bahkan tidak bisa bagi kita untuk meramalkan kapan terjadinya letusan hama. Sifat dinamika populasi hama sangat khas pada setiap lahan untuk waktu tertentu. Untuk dapat mengikuti perkembangan hama dan musuh alami di lahan serta menentukan tindakan pengendalian yang perlu dilaksanakan, tidak ada jalan lain selain petani harus mengadakan pemantauan lahannya secara rutin (Untung, K, 1996: 17-22). Untuk menunjang konsep PHT tersebut dalam rangka pengurangan
penggunaan bahan insektisida perlu dicari alternatif pengendalian yang bersifat ramah lingkungan antaralain penggunaan bahan bioaktif (insektisida nabati, attraktan, repelen), musuh alami (parasitoid dan predator serta patogen), serta penggunaan perangkap berperekat. F.
PESTISIDA NABATI Penggunaan pestisida di lingkungan pertanian menjadi masalah yang sangat dilematis, terutama pada tanaman sayuran yang sampai sat ini masih menggunakan insektisida kimia sintetis secara intensif. Di satu pihak dengan digunakannya pestisida maka kehilangan hasil yang diakibatkan organisme penggangu tanaman (OPT) dapat ditekan, tetapi akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan seperti berkembangnya ras hama yang resisten terhadap insektisida,
resurjensi
hama, munculnya hama sekunder,
terbunuhnya musuh alami hama dan hewan bukan sasaran lainnya, serta terjadinya pencemaran lingkungan, sedangkan di lain pihak tanpa
40
pengunaan pestisida akan sulit menekan kehilangan hasil yang diakibatkan OPT (Kardinan, 2001; Rahmawati, 2012:171) Sejarah
menunjukkan
bahwa
pengendalian
hama
dengan
memanfaatkan pestisida nabati banyak dilakukan sebelum tahun 1940’an. Era setelah itu adalah era pestisida kimiawi, yang kemudian berdampak luas pada kehidupan organisma di muka bumi (Haryono, 2011: 2) Famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensial insektisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae dan Rutaceae, namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk ditemukannya famili tumbuhan lain. Didasari oleh banyaknya jenis tumbuhan yang memiliki khasiat sebagai insektisida maka penggalian potensi tanaman sebagai sumber insektisida botani sebagai alternatif pengendalian hama tanaman cukup tepat. (Rahmawati, 2012:172) Biopestisida adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari bahan hidup. Yang akan diuraikan di sini adalah biopestisida yang terbuat dari tanaman sehingga disebut Pestisida Nabati. Kandungan bahan kimia dalam tanaman tersebut menunjukkan bioaktivitas pada serangga, seperti bahan penolak
(repellent),
penghambat
makan
(antifeedant),
penghambat
perkembangan serangga (insect growth regulator), dan penghambat peneluran (oviposition deterrent) (Alif, dkk, 2012: 68) Sumber utama cemaran pada produk pertanian adalah bahan pestisida sintetik. Untuk mengurangi cemaran tersebut maka salah satu alternatifnya
41
adalah meningkatkan penyediaan dan penggunaan pestisida yang ramah ringkungan, baik berupa pestisida nabati maupun hayati. Indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah berupa sumber tanaman berkhasiat pestisida nabati. (Syakir .M, 2015: 9) Pestisida nabati tidak hanya mengandung satu jenis bahan aktif (single active ingredient), tetapi beberapa jenis bahan aktif (multiple active Ingredients). Hasil penelitian menunjukan bahwa beberapa pestisida nabati cukup efektif terhadap beberapa jenis hama, baik hama lapangan, hama gudang maupun hama rumah tangga (Kardinan.1997). Pestisida nabati ini bisa berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul), pembunuh, dan bentuk lainnya. Secara umum, pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya dari tumbuhan yang relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan terbatas. Karena terbuat dari bahan alami atau nabati, maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam, sehingga tak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan, karena residu (sisa-sisa zat) mudah hilang. Indonesia ada banyak jenis tumbuhan penghasil pestisida nabati. Bahan dasar pestisida alami ini bisa ditemui di beberapa jenis tanaman, dimana zat yang terkandung di masing-masing tanaman memiliki fungsi berbeda ketika berperan sebagai pestisida.
42
Pestisida Nabati memiliki beberapa fungsi, antara lain: 1.
Repelan, yaitu menolak kehadiran serangga. Misal: dengan bau yang menyengat.
2.
Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot.
3.
Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa.
4.
Menghambat reproduksi serangga betina.
5.
Racun syaraf.
6.
Mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga.
7.
Atraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap serangga.
8.
Mengendalikan pertumbuhan jamur dan bakteri (Syakir,2015:10-12). Pemanfaatan pestisida nabati dalam pengendalian OPT, selain sebagai
pengendali alamiah yang efektif dan berkelanjutan, juga dapat berperan dalam meningkatkan daya saing produk melalui peningkatan efisiensi usaha dan image produk perkebunan ramah lingkungan (Haryono, 2011: 2)
43
1.
Pengelompokan Pestisida Nabati Dalam fisiologi tanaman, ada beberapa jenis tanaman yang berpotensi menjadi bahan pestisida: a.
Kelompok tumbuhan insektisida nabati. Merupakan kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali hama insekta. Bengkoang, serai, sirsak, dan srikaya diyakini bisa menanggulangi serangan serangga
b.
Kelompok tumbuhan antraktan atau pemikat. Di dalam tumbuhan ini ada suatu bahan kimia yang menyerupai sex pheromon pada serangga betina dan bertugas menarik serangga jantan, khususnya hama lalat buah dari jenis Bactrocera dorsalis. Tumbuhan yang bisa diambil manfaatnya, daun wangi (kemangi), dan selasih.
c.
Kelompok tumbuhan rodentisida nabati Kelompok
tumbuhan
yang
menghasilkan
pestisida
pengendali hama rodentia. Tumbuh-tumbuhan ini terbagi jadi dua jenis, yaitu sebagai penekan kelahiran dan penekan populasi, yaitu meracuninya. Tumbuhan yang termasuk kelompok penekan kelahiran umumnya mengandung steroid. Sedangkan yang tergolong penekan populasi biasanya mengandung alkaloid. Jenis tumbuhan yang sering digunakan sebagai rodentisida nabati adalah gadung racun.
44
d.
Kelompok tumbuhan moluskisida Kelompok
tumbuhan
yang
menghasilkan
pestisida
pengendali hama moluska. Beberapa tanaman menimbulkan pengaruh moluskisida. Diantaranya daun sembung dan akar tuba. e.
Kelompok Tanaman Fungisida Nabati. Merupakan kelompok tumbuhan yang digunakan untuk mengendalikan jamur patogenik antara lain cengkeh, daun sirih, sereh, pinang, tembakau.
f.
Kelompok tumbuhan pestisida serba guna. Kelebihan kelompok ini tak hanya berfungsi untuk satu jenis. Misalnya insektisida saja, tapi juga berfungsi sebagai fungisida, bakterisida, moluskisida, dan nematisida. Tumbuhan yang bisa dimanfaatkan dari kelompok ini, yaitu jambu mete, sirih, tembakau dan mimba. (Syakir, 2015: 10-11)
Berbagai kelemahan pemanfaatan pestisida nabati, seperti bahan aktif yang mudah terurai, sebaran tanaman seringkali spesifik lokasi, kandungan bahan aktif tanaman sangat tergantung pada varietas dan lokasi penanaman, pemanfaatan berupa formulasi sederhana yang mudah ditiru dan banyak kelemahan lainnya yang juga sekaligus kelebihan pestisida nabati, maka seharusnya kelemahan tersebut tidak dijadikan sebagai kendala dalam pengembangannya (Haryono, 2011: 4).
45
Selain itu terdapat pula kendala pengembangan pestisida nabati di Indonesia seperti: a.
Pestisida nabati tidak bereaksi cepat (knockdown) atau relatif lambat membunuh hama, tidak seperti pestisida kimia sintetik yang relatif cepat dan hal ini disukai petani, sehingga mereka lebih memilih pestisida kimia sintetik dalam kegiatan pengendalian OPT
b.
Membanjirnya produk pestisida ke Indonesia, salah satunya dari China, yang harganya lebih murah serta longgarnya peraturan pendaftaran dan perizinan pestisida di Indonesia kondisi ini membuat jumlah pestisida yang beredar di pasaran semakin bervariasi dan hingga saat ini tercatat sekitar 3.000 jenis pestisida yang beredar di Indonesia. hal ini membuat para pengguna/petani mempunyai banyak pilihan dalam penggunaan pestisida kimia sintetik karena bersifat instan sehingga menghambat pengembangan penggunaan pestisida nabati.
c.
Bahan baku pestisida nabati relatif masih terbatas karena kurangnya dukungan pemerintah (Political Will) dan kesadaran petani terhadap penggunaan pestisida nabati masih rendah, sehingga enggan menanam atau memperbanyak tanamannya.
d.
Peraturan perizinan pestisida nabati yang tidak disamakan dengan pestisida kimia sintetik membuat pestisida nabati sulit mendapatkan izin edar dan diperjualbelikan. Akibatnya, apabila tersedia dana untuk kegiatan yang memerlukan pestisida dalam jumlah yang banyak maka
46
pilihan jatuh kepada pestisida kimia sintetik karena salah satu persyaratan dalam pembeliannya adalah sudah terdaftar dan diizinkan penggunaannya.
2.
Mekanisme Kerja Pestisida Nabati pada Hama Serangga (Insekta) Penjelasan mengenai cara kerja pestisida nabati tidak selalu mudah karena “cara kerja” pestisida nabati dapat dilihat dari beberapa sudut yang berbeda. Namun, beberapa aspek cara kerja pestisida nabati sangat penting untuk diketahui oleh para pengguna (petani) agar tidak salah dalam pemilihan dan penggunaannya. Menurut “cara kerja” atau gerakannya pada tanaman setelah diaplikasikan, pestisida nabati yang menyerang hama serangga secara kasar dibedakan menjadi tiga macam sebagai berikut (Djojosumarto, 2000: 41). a. Pestisida Nabati Sistemik
Pestisida nabati sistemik diserap oleh organ-organ tanaman, baik lewat akar, batang, atau daun. Selanjutnya, pestisida nabati sistemik
tersebut
mengikuti
gerakan
cairan
tanaman
dan
ditransportasikan ke bagian-bagian tanaman lainnya, baik ke atas (akropetal) atau ke bawah (basipetal), termasuk ke tunas yang baru tumbuh (Djojosumarto, 2000: 41).
47
b. Pestisida Nabati Nonsistemik Pestisida nabati nonsistemik setelah diaplikasikan (misalnya disemprotkan) pada tanaman sasaran tidak diserap oleh jaringan tanaman, tetapi hanya menempel di bagian luar tanaman. Pestisida nabati nonsistemik bekerja dengan cara mencegah makan (antifeedantt, feeding deterrent), penolak (repellent) dan atau pengganggu alami, baik yang diperoleh dari tumbuhan. Pestisida nabati nonsistemik sering disebut pestisida nabati kontak. Namun, istilah itu sebenarnya kurang begitu tepat. Istilah kontak lebih tepat digunakan bagi cara kerja pestisida nabati yang berhubungan dengan cara masuknya ke dalam tubuh serangga (Djojosumarto, 2000: 42).
c. Pestisida Nabati Sistemik Lokal
Pestisida nabati sistemik lokal adalah kelompok pestisida nabati yang dapat diserap oleh jaringan tanaman (umumnya daun), tetapi tidak ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya. Termasuk kategori
ini
adalah
pestisida
nabati
yang
berdaya
kerja
translaminar atau pestisida nabati yang mempunyai daya penetrasi ke dalam jaringan tanaman (Djojosumarto, 2000: 42).
48
3.
Kelebihan Pestisida Nabati Beberapa kelebihan dan kelemahan pestisida nabati (Suriana, 2012), Kelebihan pestisida nabati yaitu : a.
Teknologi pembuatannya lebih mudah dan murah, sehingga memungkinkan untuk dibuat sendiri dalam skala rumah tangga.
b.
Pestisida nabati tidak menimbulkan efek negatif bagi lingkungan maupun terhadap makhluk hidup, sehingga, relatif aman untuk digunakan.
c.
Tidak beresiko menimbulkan keracunan pada tanaman, sehingga, tanaman yang diaplikasikan pestisida nabati jauh lebih sehat dan aman dari pencemaran zat kimia berbahaya.
d.
Tidak menimbulkan resistensi (kekebalan) pada hama. Dalam artian pestisida nabati aman bagi keseimbangan ekosistem.
e.
Hasil pertanian yang dihasilkan lebih sehat serta terbebas dari residu pestisida kimiawi.
4.
Kelemahan Pestisida Nabati a.
Daya kerja pestisida nabati lebih lambat, tidak bisa terlihat dalam jangka waktu yang cepat.
b.
Pada umumnya tidak membunuh langsung hama sasaran, akan tetapi hanya bersifat mengusir dan menyebabkan hama menjadi tidak berminat mendekati tanaman budidaya.
c.
Mudah rusak dan tidak tahan terhadap sinar matahari.
49
d.
Daya simpan relatif pendek, artinya pestisida nabati harus segera digunakan setelah proses produksi. Hal ini menjadi hambatan tersendiri bagi petani untuk mendapatkan pestisida nabati instan ataupun untuk memproduksi pestisida nabati untuk tujuan komersil.
e.
Perlu dilakukan penyemprotan yang berulang-ulang. Hal ini dari sisi ekonomi tentu saja tidak efektif dan efisien.
50
G.
KERANGKA BERFIKIR Tanaman tembakau merupakan salah satu tanaman yang mudah dijumpai di Indonesia. Begitu banyak manfaat dari tanaman tembakau, salah satunya dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Kandungan zat kimia dalam daun tembakau diharapkan dapat mengendalikan hama pada tanaman sayuran salah satunya adalah pada tanaman sawi (Brassica juncea L.) Tembakau sebagai bahan utama untuk membuat pestisida nabati karena di dalam daun tembakau terdapat zat kimia yang paling dominan yaitu nikotin, merupakan racun bagi hama ulat sawi Plutella xylostella. Nikotin yang terkandung dalam pestisida nabati daun tembakau ini menyebabkan gangguan pencernaan karena merupakan racun perut, menyebabkan gangguan syaraf pada hama Plutella xylostella dan akan mempercepat proses pembentukan pupa. Selain itu juga terdapat zat aktif lain seperti tannin, saponin, terpenoid dan flavonoid yang dapat mengganggu aktivias hidup hama Plutella xylostella. Oleh karena itu aktivitas makan hama Plutella xylostella ini dapat terhambat. Dengan demikian perasan daun tembakau (Nicotiana tabacum) berpotensi sebagai bahan pestisida nabati untuk pengendalian hama Plutella xylostella. Parameter yang akan diamati dalam penelitian ini antara lain mortalitas hama Plutella xylostella, pemendekan siklus hidup Plutella xylostella, tingkat kerusakan daun sawi (Brassica juncea L.), berat basah tanaman sawi (Brassica juncea L.) dan dosis optimal perasan tembakau untuk pengendalian hama Plutella xylostella.
51
Perasan daun tembakau mengandung beberapa zat kimia
Tanin: mengganggu kerja pencernaan
Terpenoid: Penolak serangga dan mikroba, memperpendek siklus hidup
Saponin: Menimbulkan rasa pahit pada daun
Flavonoid: Racun pernafasan
Alkaloid (Nikotin):
Racun perut, gangguan syaraf dan antifeedant
Hama Plutella xylostella
Daun tanaman sawi (Brassica juncea L.)
Perasan tembakau (Nicotiana tabacum) dapat digunakan sebagai pestisida nabati untuk hama Plutella xylostella pada tanaman sawi
3. Presentase mortalitas hama Plutella xylostella 4. Pemendekan siklus hidup hama Plutella xylostella 5. Dosis optimal untuk pengendalian hama Plutella xylostellla
1. Tingkat kerusakan daun sawi (Brassica juncea L) 2. Berat basah tanaman sawi (Brassica juncea (L.))
Gambar 8. Kerangka Berfikir
52
HIPOTESIS 1. Pestisida nabati perasan daun tembakau (Nicotiana tabacum) berpengaruh terhadap mortalitas hama Plutella xylostella tanaman sawi (Brassica juncea (L.)) 2. Semakin tinggi dosis pestisida nabati perasan daun tembakau (Nicotiana tabacum), semakin memperpendek siklus hidup hama Plutella xylostella pada fase pupa. 3. Semakin tinggi dosis pestisida nabati perasan daun tembakau (Nicotiana tabacum) maka berat basah sawi meningkat. 4. Semakin tinggi dosis pestisida nabati perasan daun tembakau (Nicotiana tabacum) maka tingkat kerusakan tanaman sawi (Brassica juncea (L.)) menurun. 5. Semakin tinggi dosis pestisda nabati perasan daun tembakau (Nicotiana tabacum) maka semakin efektif untuk mengendalikan hama Plutella xylostella pada tanaman sawi (Brassica juncea (L.))
53