BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka Penelusuran pustaka terhadap topik pengaruh kualitas pelayanan Bandara Internasional Ngurah Rai Bali terhadap citra pariwisata Bali serta dampaknya terhadap kepuasan dan loyalitas wisatawan berkunjung ke Bali atau topik sejenis yang relevan pada studi ini, dilakukan dengan menelusuri jurnal ilmiah baik melalui penelusuran tradisional maupun secara online, buku serta berbagai publikasi cetak lainnya. Hasilnya ternyata masih sedikit penelitian yang mengkaji topik pengaruh kualitas pelayanan Bandara Internasional Ngurah Rai Bali terhadap citra pariwisata Bali serta dampaknya terhadap kepuasan dan loyalitas wisatawan berkunjung ke Bali. Untuk lebih jelasnya, akan dipaparkan penelitian terdahulu sebagai pembanding dengan penelitian ini sebagai berikut ini.
2.1.1 Penelitian Terkait Kualitas Pelayanan Bandara Internasional Penelitian di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makasar dilakukan oleh Arief (2008) dengan judul “Kualitas Pelayanan Publik di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makasar” menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik pada Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar belum maksimal, di mana penilaian negatif dari penumpang lebih dominan dari pada penilaian positifnya. Penilaian positif berupa tampilan fisik bandara, penampilan petugas, dan ketersediaan fasilitas terminal. Penilaian negatif berupa penggunaan bandara sebagai sarana promosi dan pemasangan iklan, kehandalan sarana dan
15
prasarana pendukung fasilitas pelayanan publik seperti toilet, perparkiran, dan arus lalu lintas yang belum memenuhi standar pelayanan. Setyaningsih (2010) yang melakukan penelitian di Bandara Internasional Adi Soemarno Solo dengan judul “Pengaruh Kualitas Jasa Terhadap Kepuasan Penumpang Pesawat Terbang di Bandara Internasional Adi Soemarmo Surakarta” menunjukkan bahwa dimensi kualitas pelayanan di Bandara Internasional Adi Soemarno Solo yaitu tangible, empathy, reliability, responsiveness, dan assurance berpengaruh terhadap kepuasan penumpang pesawat terbang. Dalam penelitian ini, ditekankan bahwa penumpang pesawat terbang selalu mengharapkan bandara dalam kondisi bersih, aman, dan nyaman, sehingga penumpang mendapatkan kenyamanan ketika berada di bandara. Suska dkk., (2013) yang melakukan penelitian di Bandara Internasional Ngurah Rai Bali dengan judul “Analisis Kualitas Pelayanan Pas Bandara Internasional Ngurah Rai dengan Menggunakan Model Servqual” menyatakan bahwa izin kepada seseorang untuk dapat masuk ke daerah terbatas di Bandar Udara Ngurah Rai, yang disebut dengan Pas Bandara dapat diberikan sesuai dengan tugas dan kegiatan seseorang di bandara. Pelayanan izin masih terdapat kekecewaan dan keluhan dari pihak pemohon seperti lamanya penyelesaian ID Card tanda izin yang diberikan untuk kegiatannya di area bandara (Pas) dan pelayanan petugas pada saat permohonan. Harapan dan persepsi pemohon Pas yang berbeda-beda tersebut harus tetap dalam koridor peraturan dan mengutamakan keamanan di bandara. Tujuan dari penelitian itu adalah untuk mengetahui kualitas pelayanan Pas Bandara di Kantor Otoritas Bandar Udara
16
Wilayah IV dengan model SERVQUAL (Service Quality). Model ini membandingkan dua faktor utama, yaitu persepsi pelanggan atas layanan nyata yang mereka terima (Perceived Service) dengan layanan yang sesungguhnya diharapkan/diinginkan (Expected Service), yang terdiri atas 5 (lima) dimensi, yaitu Tangibles (bukti fisik), Reliability (keandalan), Responsiveness (ketanggapan), Assurance (jaminan) dan Empathy (perhatian). Dengan menggunakan model tersebut, diketahui bahwa kualitas pelayanan Pas di Kantor Otoritas Bandar Udara Wilayah IV masih kurang dari harapan para pemohon dan dimensi yang paling penting untuk ditingkatkan adalah Responsiveness (ketanggapan). Paternoster (2008) yang melakukan penelitian di Bandara Internasional Changi, Singapura, Bandara Internasional New York, dan Bandara Internasional New Jersey dengan judul “Excellent Airport Customer Service Meets Successful Branding Strategy” menyatakan bahwa layanan terhadap pelanggan yang sangat baik dibangun melalui sinergi yang terintegrasi ketika kemampuan bandara untuk memberikan layanan yang melebihi kebutuhan pelanggan dan harapan secara konsisten sesuai persepsi pelanggan bahwa kebutuhan dan harapan mereka telah dipenuhi dengan baik. Hal ini merupakan tantangan bagi bandara di berbagai tempat untuk memberikan layanan, yang tidak hanya berkenaan dengan pemberangkatan dan kedatangan, pelanggan maupun stakeholders lainnya, tetapi berhubungan dengan pelayanan bandara yang lebih luas lagi. Hal ini sangat menantang di lingkungan bandara manapun, meskipun banyak. Jika pengelola bandara melakukan pendekatan strategis dan holistik untuk layanan pelanggan dan airport branding, kepuasan pelanggan terhadap pengalamannya di bandara yang
17
bersangkutan dapat ditingkatkan. Temuan lainnya adalah bahwa pendapatan bersih bandara menunjukkan hubungan langsung dengan peningkatan kepuasan pelanggan. Penelitian
di
Bandara
Internasional
Juanda
Surabaya,
Bandara
Internasional Sultan Hasanuddin Makasar, Bandara Internasional Patimura Ambon, Bandara Udara Internasional Ngurah Rai, dan Bandara Internasional Samudra Noor Banjarmasin dilakukan oleh Tadjoedin dkk., (2009) dengan judul “Pengaruh Nilai Kerja terhadap Kinerja Lingkungan di Bandara” menegaskan bahwa kebutuhan pemangku kepentingan terhadap kualitas lingkungan di dalam dan di luar perusahaan terdiri atas beberapa hal berikut. Pertama, peningkatan kinerja pelayanan yang efisien, jelas, tepat, dan memudahkan pengguna jasa bandara. Kedua, peningkatan profesionalisme petugas yang bekerja secara efisien, petugas yang tersebar di beberapa titik penting, dan tercipta keakraban antara petugas dengan pengguna jasa bandara, serta suasana pelayanan yang ramah dari petugas. Ketiga, sosialisasi aturan yang jelas dan tegas bagi karyawan dan pengguna jasa dan penegakan hukum bagi petugas dan pengguna jasa. Keempat, peningkatan fasilitas berupa keterkaitan antarmoda transportasi, akses menuju bandara, tempat tinggal yang dekat dengan bandara, tempat makan khusus karyawan dengan harga murah, fasilitas ibadah yang nyaman, fasilitas internet gratis, fasilitas ibadah, parkir yang nyaman, dan tempat duduk yang nyaman bagi penjemput. Saha dan Theingi (2009) melakukan penelitian di Bandara Internasional Bangkok dengan
judul
“Service Quality, Satisfaction, and Behavioural
Intentions” menyatakan bahwa urutan pentingnya dimensi kualitas pelayanan
18
yang diuji dalam penelitian ini adalah jadwal penerbangan, pramugari, tangible, dan
staf
darat. Kepuasan
penumpang dengan dimensi-dimensi layanan
berkualitas merupakan hal yang sangat penting dalam menjelaskan niat perilaku. Kepuasan
penumpang sebagian
besar dipengaruhi oleh ketepatan
jadwal.
Kepuasan penumpang ini mendorong terjadinya pembelian kembali yang tinggi. Penumpang yang tidak puas memilih untuk mencari penerbangan lain daripada memberikan umpan balik kepada Low Cost Carriers (LCCs). Berdasarkan penelitian tersebut di atas, belum ada yang melakukan penelitian tentang pengaruh kualitas pelayanan Bandara Internasional Ngurah Rai Bali terhadap citra pariwisata Bali serta dampaknya terhadap kepuasan dan loyalitas wisatawan berkunjung ke Bali. Arief (2008), meneliti ihwal pelayanan bandara secara keseluruhan di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makasar. Setyaningsih (2010) meneliti ihwal kualitas jasa di Bandara Internasional Adi Soemarmo Solo secara keseluruhan. Suska dkk. (2013) melakukan penelitian di Bandara Internasional Ngurah Rai Bali, tetapi sebatas kualitas pelayanan Pas Bandara. Paternoster (2008) meneliti ihwal pelayanan Bandara secara menyeluruh di Changi International Airport Singapura, New York International Airport, dan New Jersey International Airport. Tadjoedin dkk. (2009) meneliti ihwal nilai kerja di sejumlah Bandara Internasional di Indonesia. Saha dan Theingi (2009) meneliti ihwal pelayanan bandara secara keseluruhan di Bangkok International Airport. Dengan demikian, belum ada penelitian yang menyangkut pengaruh kualitas pelayanan Bandara Internasional Ngurah Rai Bali terhadap citra pariwisata Bali serta dampaknya terhadap kepuasan dan loyalitas wisatawan berkunjung ke Bali.
19
2.1.2 Penelitian Terkait Pelayanan Keimigrasian Bandara Internasional Martin-Cejas (2006) yang melakukan penelitian di Bandara Internasional Gran Canaria, Spanyol dengan judul “Tourism service quality begins at the airport” menyatakan bahwa bandara adalah kontak pertama yang dihadapi wisatawan ketika berlibur ke sebuah destinasi. Oleh karena itu, fasilitas bandara, termasuk pelayanan imigrasi, merupakan sumber impresi/kesan pertama yang akan mempengaruhi kualitas harapan atas kegiatan liburan wisatawan tersebut. Temuan penelitian ini menyimpulkan bahwa persepsi wisatawan terhadap suatu tujuan wisata dimulai dan berahir di Bandara. Dua aspek yang menjadi perhatian wisatawan adalah waktu menunggu (antrian) pengurusan VoA pada saat kedatangan dan antrian di konter cheek-in pada saat wisatawan akan meninggalkan tujuan wisata. Wannasatit (2011) yang melakukan penelitian di Bandara Internasional Phuket, Thailand dengan judul “An Investigation of Service Quality at Phuket International Airport: An Assessment from the Pessengers’ Viewpoint” menunjukkan bahwa responden menempatkan kepentingan tinggi pada "rasa aman", "kebersihan toilet", dan "efisiensi dari kinerja staff check-in " sebagai tiga peringkat yang paling penting dari atribut kualitas pelayanan di Bandara Internasional Phuket dan mereka puas dengan kinerja semua atribut layanan. Namun, operasi "telepon/internet/fasilitas IT", "nilai untuk uang restoran/makan", dan "nilai untuk uang belanja" mendapat nilai rata-rata. Selain itu, Bandara Internasional Phuket harus mempertimbangkan untuk meningkatkan 5 atribut pelayanan, yaitu ketelitian inspeksi keamanan, suasana bandara, waktu tunggu untuk prosedur imigrasi, waktu tunggu pada antrian check-in, dan kebersihan
20
toilet. Tim manajemen dari Bandara Internasional Phuket harus memberi perhatian atas pentingnya untuk meningkatkan pelayanan lima atribut tersebut mengingat responden menempatkan pentingnya atribut-atribut tersebut sementara kinerjanya terhadap kepuasan wisatawan masih berada di tingkat rendah. Bandara ini harus menyediakan suatu pengaturan yang efisien dari mesin dan peralatan untuk melayani penumpang dengan baik untuk meminimalkan waktu tunggu dalam setiap jenis layanan bandara apapun. Kedua penelitian tersebut telah membahas dengan baik ihwal pelayanan Bandara dan pelayanan keimigrasian di Bandara Internasional Gran Canaria, Spanyol dan Bandara Internasional Phuket, Thailand. Berdasarkan kedua penelitian tersebut, belum ada yang melakukan penelitian tentang pengaruh kualitas pelayanan Bandara Internasional Ngurah Rai Bali terhadap citra pariwisata Bali serta dampaknya terhadap kepuasan dan loyalitas wisatawan berkunjung ke Bali.
2.1.3 Penelitian yang Terkait dengan Persepsi, Citra, Kepuasan, dan Loyalitas Eraqi (2006) melakukan penelitian dengan judul “Tourism Services Quality (TourServQual) in Egypt The Viewpoints of External and Internal Customers” dan menunjukkan bahwa kualitas dapat dianggap sebagai filosofi untuk membimbing organisasi atau tujuan ketika mengambil keputusan yang berhubungan dengan jasa pariwisata, lingkungan bisnis pariwisata yang di Mesir ternyata tidak mendukung kepuasan pelanggan internal karena tidak adanya sistem yang cocok untuk mendorong masyarakat untuk menjadi kreatif dan
21
inovatif. Disamping kepuasan pelanggan eksternal, juga masih ada kebutuhan untuk hal-hal yang harus dilakukan seperti kondisi perbaikan lingkungan, peningkatan kualitas transportasi internal, meningkatkan kesadaran masyarakat, dan meningkatkan tingkat keselamatan dan kondisi keamanan. Dmitrovic dkk. (2009) dalam penelitiannya dengan judul “Conceptualizing tourist satisfaction at the destination level” menunjukkan model kepuasan wisatawan mencakup delapan konstruksi laten, yang berpusat pada kepuasan wisatawan. Analisis anteseden (kualitas, citra, nilai, biaya, dan risiko) kepuasan wisatawan memberikan wawasan ke dalam proses yang mendasari terciptanya kepuasan,
sementara
hasil
konstruksi
(perilaku
keluhan
dan
loyalitas)
menunjukkan konsekuensi dari ketidakkepuasan. Penelitian yang dilakukan oleh Hossain (2012) dengan judul “Impact of Service Quality on Customer Satisfaction: A Case of Tourism Industry in Bangladesh” menyatakan bahwa untuk mengevaluasi kepuasan melalui kualitas pelayanan, SERVQUAL telah banyak digunakan dengan ok pelayanan jasa termasuk industri pariwisata. Penelitian ini mencoba untuk mengevaluasi kepuasan pelanggan melalui kualitas pelayanan dalam industri pariwisata di Bangladesh pada umumnya dan di sektor perhotelan pada khususnya. Penelitian Som dan Badarneh (2011) dengan judul “Tourist Satisfaction and Repeat Visitation; Toward a New Comprehensive Model” menyatakan bahwa penelitian pariwisata dewasa ini difokuskan pada kunjungan berulang sebagai bagian dari loyalitas wisatawan. Mosahab, et al. (2010) dalam penelitiannya dengan judul “Service Quality, Customer Satisfaction and Loyalty: A Test of Mediation” menunjukkan bahwa
22
dalam semua aspek, harapan pelanggan lebih tinggi dari pada persepsi mereka terhadap obyek wisata, dan pada kenyataannya kualitas layanan yang ditawarkan rendah. Selain itu, penelitian ini menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan memainkan peran sebagai mediator dalam efek kualitas pelayanan terhadap loyalitas layanan. Penelitian yang dilakukan oleh Sulistiyani (2010) dengan judul “Membangun Loyalitas Wisatawan Melalui Peningkatan Kualitas Obyek Wisata, Promosi dan Kepuasan Wisatawan di Kawasan Wisata Tawangmangu Karanganyar” menunjukkan bahwa tingkat loyalitas wisatawan dapat dibangun melalui kualitas obyek wisata yang menarik, media promosi yang memadai dan kepuasan yang dirasakan wistawan saat menikmati kawasan wisata. Wisatawan yang loyal tidak akan terpengaruh oleh kenaikan biaya obyek wisata maupun pesaing yang menawarkan produk wisata yang lebih menarik. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, belum ada yang meneliti ihwal kualitas pelayanan bandara dalam kaitannya dengan citra tujuan wisata, kepuasan, dan loyalitas wisatawan.
2.2 Landasan Teori 2.2.1 Teori Kepuasan Kepuasan konsumen merupakan respon tertentu dari konsumen sebagai hasil evaluasinya terhadap kesenjangan antara harapannya dengan kinerja produk menurut Giesel & Cote (dikutip oleh Manurung, 2009). Selanjutnya Mowen dan Minor (2010) menyatakan bahwa kepuasan konsumen merupakan keseluruhan sikap yang ditunjukkan oleh konsumen atas barang atau jasa setelah mereka
23
memperoleh
dan
menggunakannya.
Ini
merupakan
penilaian
evaluatif
pascapemilihan yang disebabkan oleh seleksi pembelian khusus dan pengalaman menggunakan barang atau jasa tersebut. Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan konsumen merupakan sikap, penilaian dan respon emotional yang ditunjukkan oleh konsumen setelah proses pembelian/konsumsi, yang berasal dari perbandingan kesannya terhadap kinerja aktual terhadap suatu produk dan harapannya dan evaluasi terhadap pengalaman mengkonsumsi suatu produk atau jasa. Wilkie (2009) membagi kepuasan konsumen ke dalam lima elemen, sebagai berikut ini. 1. Expectations Pemahaman mengenai kepuasan konsumen dibangun selama fase prapembelian melalui proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh konsumen. Sebelum melakukan pembelian, konsumen mengembangkan expectation (pengharapan) atau keyakinan mengenai apa yang mereka harapkan dari suatu produk ketika mereka menggunakan suatu produk tersebut. Pengharapan ini akan dilanjutkan kepada fase pascapembelian, ketika mereka secara aktif mengkonsumsi kembali produk tersebut. 2. Performance Selama mengkonsumsi suatu produk, konsumen menyadari kegunaan produk aktual dan menerima kinerja produk tersebut sebagai dimensi yang penting bagi konsumen.
24
3. Comparison Setelah mengkonsumsi, terdapat harapan prapembelian dan persepsi kinerja actual, yang pada akhirnya konsumen akan membandingkan keduanya. 4. Confirmation/disconfirmation Hasil dari perbandingan tersebut akan menghasilkan confirmation of expectation, yaitu ketika harapan dan kinerja berada pada level yang sama atau akan menghasilkan disconfirmation of expectation, yaitu jika kinerja aktual lebih baik atau kurang dari level yang diharapkan. 5. Discrepancy Jika level kinerja tidak sama, discrepancy mengindikasikan bagaimana perbedaan antara level kinerja dengan harapan. Untuk negative disconfirmations, yaitu ketika kinerja aktual berada di bawah level harapan, kesenjangan yang lebih luas lagi akan mengakibatkan tingginya level ketidakpuasan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat lima elemen kepuasan
konsumen,
yaitu
expectations,
performance,
comparison,
confirmation/disconfirmation dan discrepancy. Arnould dkk. (2012) menyatakan bahwa tipe-tipe kepuasan konsumen adalah sebagai berikut ini. 1. Kepuasan sebagai contentment Contentment merupakan respon yang pasif. Pada tipe ini, ketika konsumen ditanya seberapa puas mereka terhadap suatu produk atau jasa, mereka biasanya tidak begitu memikirkannya atau mereka tidak begitu terlibat di
25
dalamnya. Respon kepuasan dapat juga dihubungkan dengan keterlibatan yang lebih tinggi pada suatu produk atau jasa yang selalu stabil di setiap waktu. 2. Kepuasan sebagai pleasure Pada tipe ini, konsumen terlibat secara aktif dalam proses penampilan barang atau jasa, di mana tipe ini berlawanan dengan tipe contentment. 3. Kepuasan sebagai delight Terkadang penampilan produk atau jasa menyebabkan timbulnya kesenangan dan kejuatan yang disebut dengan delight. Pada tipe ini, delight responce merupakan respon positif dari suatu kejadian atau hasil di mana konsumen tidak mengharapkannya. 4. Kepuasan sebagai ambivalence Tipe ini merupakan respon untuk menunjukkan bahwa menolong konsumen menginterpretasikan harapan dan hasil dan mengatur asimilasi dan efek yang berlawanan menjadi hal yang penting. Patterson
(2003)
menggambarkan
model
kepuasan
berdasarkan
perbandingan antara perceived performance (layanan yang diterima) dengan ekspektasi/harapan (Lihat Gambar 2.1). Apabila layanan yang diterima lebih kecil dari harapan, maka pelanggan tidak puas, sedangkan yang diterima lebih besar dari harapan pelanggan akan delight (sangat puas).
26
- Pengalaman - Rekomendasi getok tular - Komunikasi pemasaran - Pengetahuan akan merek pesaing
Perceived performance (P) P<E
Ekspestasi (E)
Proses perbandingan
Perceived Performance (P) P<E
Perceived Performance (P) P=E
Tidak Puas
Puas
Perceived Performance (P) P>E
Sangat Puas
Gambar 2.1 Model Kepuasan (Patterson, 2003)
2.2.2 Perilaku Konsumen Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Perilaku Konsumen. Banyak definisi yang diberikan oleh para ahli mengenai prilaku konsumen. Loudon dan Bitta (2003) mengatakan bahwa perilaku konsumen merupakan suatu proses pengambilan keputusan dan aktivitas individu secara fisik yang dilibatkan dalam mengevaluasi, memperoleh, menggunakan, atau dapat mempergunakan barang-barang dan jasa.
27
Dari definisi ini, ada dua bagian penting dari perilaku konsumen, yaitu proses pengambilan keputusan dan kegiatan fisik, yang melibatkan individu dalam menilai dan mempergunakan barang-barang dan jasa-jasa. Kozak dan Decrop (2009) dengan mengutip Engel, et al (2010) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai tindakan-tindakan manusia yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan, mengonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan-tindakan tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut, perilaku konsumen berarti erat kaitannya dengan proses pengambilan keputusan dalam menikmati suatu produk atau jasa, yang umum dikatakan sebagai pembelian, dan juga tahap setelah pembelian tersebut. Konsumen hidup di dalam pengaruh lingkungan yang kompleks. Perilaku keputusan mereka dipengaruhi oleh budaya, kelas sosial, pengaruh pribadi dan keluarga serta situasi Dalam mengambil keputusan, Bowen dan Clarke (2009), menyebutkan ada tiga faktor utama yang mempengaruhinya. Tiga faktor utama yang mempengaruhi konsumen dalam mengambil keputusan tersebut adalah sebagai berikut ini. 1. Perbedaan individu Perbedaan individu merupakan faktor internal yang mempengaruhi konsumen. Faktor-faktor tersebut adalah sumberdaya konsumen, motivasi dan keterlibatan, pengetahuan, sikap dan kepribadian, gaya hidup, dan demografi konsumen.
28
2. Proses Psikologi Proses psikologi atau faktor psikologi yang mempengaruhi keputusan pembelian konsumen ialah pengolahan informasi, pembelajaran, dan perubahan sikap atau perilaku. Senada dengan kedua pendapat di atas, Prayang dan Moital (2014) menekankan pentingnya proses psikologis yang konsumen lakukan sebelum proses pembelian sampai dengan tahap setelah pembelian. Dalam hubungannya dengan pariwisata, Swarbrooke dan Horner (1999) dalam bukunya Consumer Behaviour in Tourism, mengatakan bahwa “Consumer Behaviour is the study of why people buy the product they do, and how they make their decision” (perilaku konsumen adalah kajian tentang mengapa orang membeli produk yang mereka beli, dan bagaimana mereka membuat keputusan tersebut). Lebih lanjut, Swaarbroke dan Horner (1999) menjelaskan bahwa perilaku konsumen adalah kunci penopang seluruh aktivitas yang dilaksanakan untuk pengembangan, promosi, dan menjual produk wisata. Karena masing-masing individu saling berbeda antara satu dengan yang lainnya, maka terdapat perbedaan dalam sikap, persepsi, citra, dan motivasinya, dalam keputusan untuk melakukan suatu perjalanan. Dari semua definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa perilaku konsumen dalam pariwisata merupakan proses pengambilan keputusan, mulai dari pemilihan sampai dengan tahap setelah mengunjungi suatu destinasi yang dilakukan konsumen dalam rangka menikmati atau menggunakan suatu produk atau jasa wisata.
29
Tujuan dari model perilaku konsumen adalah untuk menunjukkan versi sederhana tentang hubungan berbagai faktor yang memperingaruhi perilaku konsumen. Berbagai model perilaku konsumen dikemukakan oleh para ahli, mulai dari yang paling sederhana sampai yang kompleks dan lengkap. Namun, hanya beberapa model perilaku konsumen yang akan dibahas dalam disertasi ini. Untuk bidang pariwisata, salah satu model perilaku konsumen yang menggunakan variabel stimulus diajukan oleh Middleton dan Clark dalam Swaarbroke (1999), yang dikenal dengan model perilaku konsumen dalam pariwisata yang berfokus pada keputusan pembelian terhadap produk baru. Model ini dikemukakan oleh Swaarbroke (1999) sebagai berikut. (Lihat Gambar 2.2) Field One
Subfield One Firm’s attributes
Subfield Two
Message exposure
Consumer’s attributes (especially predispositions)
Attitude Field Two
Search evaluation
FieldFour The feedback
Experience
Motivation
Consumption storage
Decision (action)
Purchasing behavior
Gambar 2.2 Model Nicosia (Swaarbroke, 1999)
30
Search for, and evaluation of, means-end (s) relation (s) (pre-action field)
Field Three The act of purchase
Model Nicosia menekankan keinginan organisasi wisata untuk menjalin komunikasi dengan pelanggannya dan bagaimana si pelanggan bereaksi dengan cara tertentu. Hal ini menjadi bagian pertama (field one) dari model Nicosia. Tahap yang kedua melibatkan si pelanggan dalam proses pencarian dan evaluasi yang dipengaruhi oleh sikap (attitudes). Tahap ini disebut sebagai bagian kedua (field two). Selanjutnya, bagian ketiga (field three) adalah proses pembelian. Akhirnya proses yang terjadi setelah pembelian dilakukan digambarkan oleh bagian empat (field four). Aplikasinya terhadap bandara internasional adalah bahwa bandara merupakan salah satu dari tujuan wisata yang dilihat oleh wisatawan mancanegara, sehingga apa yang diharapkan oleh wisatawan mancanegara terhadap tujuan wisata, juga harus ada pada bandara. Selain itu wisatawan mancanegara dewasa ini tidak hanya menganggap Bandara sebagai pintu masuk dan keluar tujuan wisata saja, tetapi bandara juga dituntut untuk memenuhi pleasure (kenyamanan) kunjungan wisatawan mancanegara.
2.2.3 Theory Hospitality Hospitality merupakan proses hubungan antara guest dan host, yaitu tindakan atau kebiasaan yang hospitable di mana penyambutan atau jamuan terhadap guests, visitor atau stranger oleh host dilakukan dengan kebaikan. Hospitality adalah bagian dari industri jasa. Berbicara mengenai hospitality adalah berbicara mengenai kualitas layanan. Kualitas jasa yang ada dalam pasar saling mengungguli supaya bisa menarik konsumen sebanyak mungkin. Dalam industri hospitality, konsumen mengharapkan untuk memperoleh pelayanan/service yang
31
maksimal dari para penyedia jasa dengan menyediakan pelayanan yang memuaskan harapan mereka atau bahkan melebihi harapan mereka. Oleh karena itu, perlu sekali manajemen dari hospitality untuk selalu meningkatkan kualitas pelayanan kepada konsumen termasuk pada jasa kesehatan (Sitaniapessy, 2008). Jeremey (2011) mengemukakan hospitality sebagai berikut: “Hospitality a commercial contract to enter into relationship that involves supplying the amenitas, comforts, conveniences, social interactions, and experiences of shalter and entertainment that a guest or customer values.” Hospitality industry terdiri atas kategori yang luas dengan pelayanan industrinya yang meliputi akomodasi, restoran, transportasi, kapal pesiar, dan tambahan kategori lain yang berhubungan dengan industri pariwasata. Hospitality industry merupakan beberapa milliar dollar dari industri yang semua tergantung pada waktu luang dan pendapatan (Kim dan Zheng, 2003). Hospitality industry biasanya menawarkan makanan dan menyediakan akomodasi. Hospitality industry juga dimasukkan dalam sektor yang meliputi akomodasi, makanan dan minuman, pertemuan dan acara, hiburan dan rekreasi, pelayanan pariwisata dan informasi pengunjung. Hospitality di bedakan menjadi dua jenis yaitu. (1) Keramahtamahan pribadi, yaitu keramahtamahan tanpa mengharapkan pembayaran, mungkin harapan sebatas pujian, keramahtamahan pribadi dijumpai di dalam rumah tangga, (2) Keramahtamahan umum, yaitu keramahtamahan yang bersumber dari keramahtamahan pribadi yang bertujuan untuk memperoleh bayaran. Contohnya para pengusaha yang mendirikan penginapan komersil, hotel, restoran, dan lainlain.
32
Dalam
kenyataannya,
hospitalitas
bergandengan
dengan
industri
pariwisata, dengan dua unsurnya, yaitu tangible dan intangible. Hospitalitas dikatakan bergandengan dengan industri pariwisata karena hospitalitas adalah roh utama sebagai ruang lingkupnya. Walker (2002) mengajukan payung industri hospitality dan pariwisata menjadi empat katagori yaitu: 1. travel 2. recreation 3. lodging 4. food service. Dari industri hospitality, masing-masing sektor memiliki service culture tersendiri. Pada umumnya itu dari sektor akomodasi. Yang pertama adalah ada yang menyebutkan bahwa pandangan pertama dengan tamu yang berinteraksi dengan karyawan merupakan aspek yang selalu diingat saat mereka tinggal. Selain pelayanan, mereka juga menyediakan tempat yang nyaman, fasilitas memenuhi, dan menyediakan produk yang innovative; contohnya pada sektor Food & Beverage. Selanjutnya yang paling utama adalah welcoming smile yang menjadi komitmen setiap karyawan dalam perusahaan tersebut dan berdedikasi untuk menyediakan sesuatu yang baik dan exclusive untuk para tamu (Steinbeng, 2002). Selain itu, lingkungan dapat mendukung suksesnya individu-individu. Maka dari itu, masing-masing karyawan memiliki kesempatan yang baik untuk membuat sesuatu yang berbeda untuk kehidupan para tamu sehingga dapat menjalin hubungan yang baik dengan para karyawan. Mereka tidak hanya menyediakan produk, tetapi membina hubungan dengan kejujuran dan integritas
33
dengan yang lain (Growers, 2006). Yang kedua, di lain pihak ada yang menyebutkan bahwa service culture adalah menciptakan perlengkapan yang memiliki nilai dan mendukung dengan sepenuh hati pada etika setiap orang. Aset terbesar dan kunci dari kesuksesan mereka adalah para tamu, karena kepuasaan tamu mereka tergantung pada usaha mereka dan menggunakan pekerjaan mereka secara efektif dan menghormati satu dengan yang lainnya.
34