10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Defisit Anggaran Suatu anggaran pemerintah terdiri dari besaran pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Dalam kondisi perekonomian tertentu, salah satu kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah adalah melalui kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal yang diterapkan dapat dilihat dalam anggaran pemerintah tersebut, dan defisit anggaran adalah salah satu kebijakan fiskal pemerintah yaitu kebijakan fiskal ekspansif. Anggaran pemerintah memiliki sifat struktural dan siklikal. Anggaran memiliki sifat struktural atau aktif, berarti anggaran tersebut ditentukan oleh kebijakan aktif dan beban (diskresioner) seperti penetapan tingkat pajak, jaminan sosial, dan belanja pemerintah untuk menghitung seberapa besar penerimaan dan pengeluaran pemerintah, serta kemungkinan defisit/surplus bila perekonomian beroperasi pada tingkat produksi potensial. Akan tetapi, sebagian besar dari anggaran bersifat siklikal atau pasif dimana ditentukan oleh keadaan siklus ekonomi, untuk menghitung dampak daripada siklus ekonomi terhadap anggaran atau mengukur perubahan dalam penerimaan, pengeluaran, dan defisit/surplus yang timbul oleh karena perekonomian tidak beroperasi pada output potensialnya. Anggaran yang bersifat siklikal ini merupakan selisih antara anggaran aktual dan anggaran struktural (Samuelson dan Nordhaus, 1997). Konsep atau definisi defisit anggaran bervariasi. Perbedaan definisi yang diaplikasikan oleh berbagai penguasa fiskal maupun oleh para peneliti didasari
11
oleh perbedaan metode pencatatan dan oleh perbedaan tujuan analisis dampak defisit anggaran terhadap berbagai sektor perekonomian. Definisi defisit secara konvensional, dapat dihitung berdasarkan selisih antara total belanja dengan total pendapatan termasuk hibah. Sementara itu, pengertian kedua adalah defisit moneter. Defisit moneter adalah selisih antara total belanja pemerintah (di luar pembayaran pokok utang) dengan total pendapatan (di luar penerimaan utang). Pengertian ketiga adalah defisit operasional, yaitu defisit moneter yang diukur dalam nilai riil dan bukan nilai nominal. Definisi yang terakhir adalah defisit primer. Menurut Dornbusch, et al. (1989) defisit anggaran dapat dikelompokkan menjadi dua komponen. Kedua komponen itu adalah defisit primer dan komponen pembayaran bunga utang. Defisit primer didefinisikan sebagai selisih antara pengeluaran pemerintah (tidak termasuk pembayaran bunga utang) dengan seluruh penerimaan pemerintah (tidak termasuk utang baru dan pembayaran cicilan utang). Pengelompokan komponen defisit anggaran itu dimaksudkan untuk melihat peranan beban utang dalam anggaran pemerintah. Jika beban utang pemerintah, suku bunga pinjaman, dan kurs mata uang semakin tinggi maka pembayaran bunga utang juga akan semakin tinggi, selanjutnya defisit anggaran cenderung semakin tinggi. Pemerintah terpaksa menjalankan defisit anggaran yang lebih tinggi karena faktor pembayaran bunga utang. Selain itu, masih terdapat beberapa definisi dari defisit dan sangat tergantung pada kriteria yang digunakan serta tujuan analisis. Biasanya pilihan konsep defisit yang tepat tergantung oleh beberapa faktor, antara lain: jenis
12
ketidakseimbangan yang terjadi, cakupan pemerintah (pemerintah pusat, konsolidasi pemerintah, dan sektor publik), metode akuntasi (cash dan accrual basis), dan status dari contingent liabilities (Simanjuntak dalam Waluyo, 2006). Beberapa konsep ukuran defisit anggaran lainnya terangkum dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1. Ringkasan Metode Pengukuran Defisit Jenis Defisit Metode Defisit Konvensional dan a. DEF = (R + A) – (G + B) ; atau b. DEF = (R + A + D) – (G + B) ; atau Defisit Keseluruhan c. DEF = (R – A) – Tx ; atau d. DEF = (R + A) – G Defisit Fiskal Berjalan DEF = Sg = Rd – Gr dan Konsep Nilai Bersih Defisit Domestik DEF = Rd – Gd Defisit Moneter Db = R – (G – (Df + Dnb)) Defisit Primer DEF = (R – A) – (G – B) Augmented Defisit Primer DEF = {(R – A) – (G – B)} – Defisit Operasional Defisit APBN Indonesia
(D – FR) + S
a. DEF = ((R – A) – G) – iB ; atau b. DEF = ((R – A) – (G – B)) + iB Primer : DEF = (R + A) – (G – B) Anggaran : DEF = (R + A) – G
Sumber : Waluyo, 2006. Keterangan: Jika nilai sisi kiri persamaan negatif (-) maka menunjukkan terjadinya defisit, dan berlaku pula sebaliknya. DEF = Defisit Anggaran. G = Pertumbuhan Ekonomi Sg = Tabungan Pemerintah. i* = Suku Bunga Utang Luar Negeri R = Total Penerimaan Pemerintah. Rd = Penerimaan Dalam Negeri. A = Total Hibah. Gr = Pengeluaran Rutin (DN + LN). G = Total Pengeluaran Pemerintah. B = Pembayaran Bunga Utang. D = Total Utang Pemerintah. Gd = Pengeluaran Dalam Negeri. Df = Utang LN Pemerintah. FR = Cadangan Devisa Luar Negeri. Db = Utang dari Sektor Perbankan. S = Seignorage. Dnb = Utang DN dari Non Perbankan. Tx = Penerimaan Pajak. i = Suku Bunga Riil. π = Tingkat Inflasi. ε = Nilai Tukar.
13
2.2. Teori Money Supply 2.2.1. Definisi Uang Beredar Uang beredar adalah suatu istilah yang digunakan dalam illmu ekonomi moneter. Sebelum sampai pada konsep atau pengertian uang beredar perlu dipahami terlebih dahulu penggunaaan uang dalam praktik kehidupan sehari-hari. Menurut Solikin dan Suseno (2002), terdapat tiga jenis uang, yaitu : 1. Uang Kartal, adalah uang yang berada ditangan masyarakat atau di luar bank umum dan dapat dibelanjakan setiap saat, terutama untuk pembayaran dengan nilai yang tidak terlalu besar. Di Indonesia, uang kartal adalah uang kertas dan uang logam yang beredar di masyarakat yang diedarkan oleh Bank Indonesia atau yang dikenal sebagai uang tunai. 2. Uang Giral, adalah uang simpanan masyarakat yang berada di bank umum dan dapat dicairkan setiap saat. Uang jenis ini sering disebut sebagai rekening giro. Masyarakat dapat menggunakan cek untuk mencairkan simpanan ini. 3. Uang Kuasi, adalah uang yang yang tidak dapat dipakai setiap saat dalam proses pembayaran karena keterkaitan waktu. Jenis uang ini disimpan dalam bentuk tabungan dan deposito berjangka. Pada dasarnya uang kuasi berbentuk bukan uang namun memiliki fungsi mendekati uang. Tabungan dan deposito berjangka tersebut harus melalui proses pencairan terlebih dahulu untuk dapat digunakan sebagai alat pembayaran. Otoritas moneter (Bank Indonesia) dan bank umum adalah lembaga memiliki kewenanngan untuk menciptakan dan mengedarkan uang. Bank
14
Indonesia menciptakan dan mengadakan uang kartal sedangkan bank umum mengeluarkan dan mengedarkan uang giral dan uang kuasi. Kedua lembaga ini dikenal sebagai lembaga yang termasuk dalam sistem moneter.
2.2.2. Jenis Uang Beredar Berbagai negara menggunakan uang beredar dengan jenis yang beragam yang secara resmi didefinisikan berdasarkan komponen yang tercakup didalamnya. Komponen tersebut adalah tiga jenis uang yang telah dikenal pada bagian sebelumnya, yaitu uang kartal, uang giral dan uang kuasi. Jenis uang beredar pun beragam sesuai dengan cakupan definisi uang beredar tersebut. Menurut Bank Indonesia dalam Hidayat (2004), di Indonesia saat ini hanya mengenal dua macam uang beredar saja, yaitu : 1. Uang beredar dalam arti sempit (narrow money), yang sering disebut M1, didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik yang terdiri dari uang kartal (C) dan uang giral (D). 2. Uang beredar dalam arti luas (broad money), yang disimbolkan M2, didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik yang terdiri dari uang kartal (C), uang giral (D) dan uang kuasi (T). Dengan kata lain, M2 adalah M1 ditambah dengan tabungan dan simpanan berjangka lain yang jaraknya lebih pendek, termasuk rekening pasar uang dan pinjaman semalam antar bank.
15
2.2.3. Mekanisme Penciptaan Uang Beredar Berdasarkan peranannya, secara umum terdapat tiga pelaku ekonomi utama dalam proses penciptaan uang, yaitu otoritas moneter, bank umum, dan masyarakat atau sektor swasta domestik. Otoritas moneter menciptakan uang kartal, sedangkan bank umum menciptakan uang giral dan uang kuasi. Uang yang diciptakan oleh otoritas moneter dan bank umum ini yang digunakan masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral adalah pelaksana fungsi moneter yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kartal. Selain menciptakan uang giral, dalam prakteknya Bank Indonesia juga menerima simpanan giro bank umum. Uang kartal ditambah dengan simpanan bank umum di Bank Indonesia inilah yang disebut dengan uang primer (base money) dan disimbolkan dengan M0. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi M0, maka perlu diketahui terlebih dahulu Neraca Otoritas Moneter di Indonesia yang disajikan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Neraca Otoritas Moneter di Indonesia Aktiva
Pasiva
Aktiva Luar Negeri Bersih
(ALNB)
Uang Kartal
Aktiva Dalam Negeri Bersih
(ADNB)
•
Di masyarakat
(C)
• Tagihan bersih pada pemerintah pusat
•
Di bank umum
(R)
• Tagihan pada sektor swasta domestic
Saldo giro
• Tagihan pada bank umum Aktiva Lainnya Bersih
_______ M0
•
Milik bank umum
•
Milik masyarakat
_____ M0
Sumber : Solikin dan Suseno, 2002
16
2.2.4. Hubungan Uang Primer dengan Uang Beredar Hubungan antara uang primer (M0) dengan uang beredar (M1 dan M2) dapat dijelaskan dengan konsep pengganda uang (money multiplier). Konsep ini muncul ketika kondisi menciptakan uang giral dan uang kuasi, bank tidak harus menjamin sepenuhnya uang tersebut dengan uang tunai yang ada di kas. Berdasarkan Neraca Otoritas Moneter, diketahui bahwa secara umum uang primer (M0) terdiri dari uang kartal (C) dan saldo giro bank umum di Bank Sentral (R). Sedangkan jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1) terdiri dari uang kartal (C) dan uang giral (D), dan jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) terdiri dari M1 ditambah dengan uang kuasi (T). Sehingga konsep tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut (Solikin dan Suseno, 2002) : M0 = C + R
(2.1)
M1 = C + D
(2.2)
M2 = C + D + T
(2.3)
Dengan mendefinisikan C/D = c (currency ratio), T/D = t (time and saving deposit ratio), dan R/(D+T) = r (reserve ratio), maka didapat angak pengganda uang untuk masing-masing M1 dan M2 (yang disimbolkan dengan mm1 dan mm2) yang dapat menggambarkan interaksi antara otoritas moneter, bank umum, dan masyarakat, yaitu : mm1 = M1/M0 =
………….………………….…………..(2.4)
mm2 = M2/M0 =
…………..…………………………….(2.5)
17
Berdasarkan persamaan diatas, dapat disimpulkan bahwa naik turunnya angka pengganda uang dipengaruhi oleh ketiga determinan angka pengganda uang, yaitu currency ratio, time and savings deposits ratio dan reserve ratio. Currency ratio (c) dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dalam memilih memegang uang kartal atau giral. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat, yaitu biaya penggunaan uang giral (biaya transportasi dan biaya administrasi simpanan) dan kenyamanan serta keamanan (uang giral lebih aman dan nyaman dalam penyelesaian transaksi yang relatif besar). Untuk time and savings deposits ratio (t) juga memiliki faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat menentukan t, yaitu opportunity cost (t berubah searah dengan suku bunga uang kuasi dan berlawanan arah dengan suku bunga uang giral), pendapatan masyarakat (t berubah searah dengan perubahan tingkat pendapatan), dan kemajuan layanan sektor perbankan (t meningkat bila layanan sektor perbankan semakin maju). Reserve ratio (r) yang berada di bank umum dibagi dua, yaitu legal reserve ratio dan excess reserve. Legal reserve ratio adalah rasio cadangan resmi terhadap simpanan masyarakat yang dipengaruhi oleh ketentuan bank sentral. Sedangkan excess reserve ratio adalah rasio cadangan terhadap simpanan masyarakat yang dipengaruhi oleh keperluan bank akan terhadap likuiditas jangka pendek yaitu simpanan giro atau simpanan tabungan.
18
2.3. Teori Inflasi 2.3.1. Definisi Inflasi Inflasi adalah kenaikan harga-harga komoditi secara umum yang disebabkan oleh tidak sinkronnya antara program pengadaan komoditi (produksi, penentuan harga, pencetakan uang, dan sebagainya) dengan tingkat pendapatan yang dimiliki oleh masyarakat. Pada dasarnya, terjadinya inflasi bukanlah masalah yang terlalu berarti apabila keadaan tersebut diiringi oleh tersedianya komoditi yang diperlukan secara cukup dan diikuti dengan naiknya persentase pendapatan yang lebih besar dari persentase inflasi tersebut (Putong, 2003). Friedman dalam Mishkin (2001) menyatakan bahwa pergerakan ke atas pada tingkat harga adalah sebuah fenomena moneter yang hanya akan terjadi apabila pergeseran tersebut adalah sebuah proses yang berkelanjutan. Mayoritas pakar ekonomi, baik monetaris maupun Keynesian, menyatakan persetujuannya terhadap pernyataan Friedman (1963) bahwa inflasi adalah fenomena moneter. Friedman (1963) juga berpendapat bahwa sumber dari segala inflasi adalah pertumbuhan money supply yang tinggi. Mengurangi pertumbuhan money supply sampai ke tingkat yang rendah akan dapat menahan inflasi. Berikut adalah pernyataan Friedman (1963) secara langsung tentang hubungan uang dan inflasi : “Whenever a country’s inflation rate is extremely high for a sustained period of time, it’s rate of money supply growth is also extremely high.” Para pakar ekonomi menggunakan dua konsep dalam mempelajari inflasi. Konsep pertama adalah tingkat harga, yang berarti tingkat rata-rata semua harga dalam sistem ekonomi dan dinyatakan dalam simbol P. Konsep kedua adalah laju inflasi yang berarti laju kenaikan tingkat harga secara umum. Pada umumnya,
19
untuk mengukur tingkat haga rata-rata, para ekonom menyusun suatu indeks harga yang merata-rata harga komoditi yang berbeda menurut seberapa penting komoditi tersebut. Indeks tersebut dikenal sebagai Consumer Price Index (CPI) atau Indeks Harga Konsumen (IHK) (Lipsey et al., 1995).
2.3.2. Disagregasi Inflasi Disagregasi inflasi yang sering terjadi dalam perekonomian suatu negara dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a. Core Inflation (inflasi karena faktor moneter) Inflasi inti adalah inflasi yang dipengaruhi oleh faktor fundamental moneter dan pada umumnya dapat dikendalikan bank sentral melalui kebijakan moneter (base money, money supply, interest rate dan exchange rate). Contohnya : interaksi permintaan-penawaran, lingkungan eksternal (nilai tukar, harga komoditi internasional dan inflasi mitra dagang), dan ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen. b. Non Core Inflation (inflasi karena faktor non moneter) Inflasi non inti adalah inflasi yang terjadi selain faktor fundamental moneter dan sulit sekali dikendalikan oleh bank sentral. Inflasi non inti dibagi menjadi dua, yaitu: 1) Inflasi Volatile Food Inflasi yang dipengaruhi oleh shock dalam kelompok bahan pangan atau makanan, seperti gagal panen, gangguan alam dan iklim, dan
gangguan
penyakit.
20
2) Inflasi Administered Price Inflasi yang dipengaruhi shock berupa kebijakan harga pemerintah, seperti harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL), tarif angkutan, dan lain-lain.
2.3.3. Sumber Inflasi 2.3.3.1. Demand Pull Inflation Inflasi yang terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan dimana biasa dipicu oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi tersebut. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi kemudian akan menyebabkan harga faktor produksi meningkat sehingga inflasi terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment dimana biasanya lebih disebabkan oleh rangsangan volume likuiditas dipasar yang berlebihan. Membanjirnya likuiditas di pasar juga disebabkan oleh banyak faktor selain yang utama tentunya kemampuan bank sentral dalam mengatur peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank sentral, sampai dengan aksi spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan.
21
2.3.3.2. Cost Push Inflation Inflasi yang terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan termasuk adanya kelangkaan distribusi, walaupun permintaan secara umum tidak ada perubahan yang meningkat secara signifikan. Adanya ketidak-lancaran aliran distribusi atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum demand and supply, atau juga karena terbentuknya posisi equilibrium baru produk tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru. Berkurangnya produksi dapat terjadi akibat berbagai hal seperti adanya masalah teknis di sumber produksi (pabrik, perkebunan, dll), bencana alam, cuaca, atau kelangkaan bahan baku untuk menghasilkan produksi tersebut, aksi spekulasi (penimbunan), dll, sehingga memicu kelangkaan produksi yang terkait tersebut di pasaran. Begitu juga hal yang sama dapat terjadi pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor infrastruktur memainkan peranan yang sangat penting.
2.4. Hubungan Defisit Anggaran, Pertumbuhan Uang, dan Inflasi 2.4.1. Government Budget Constrain Dampak defisit anggaran terhadap variabel makroekonomi sering diteliti dalam kerangka kerja analisis yang berpusat pada kendala anggaran pemerintah. Ketika pendapatan turun secara terus menerus dan untuk membayar modal, pemerintah akan mengalami defisit yang kemudian dapat dibiayai dengan sumber moneter dan non-moneter. Kendala anggaran pemerintah merupakan cara untuk
22
membuktikan hubungan antara kebijakan moneter, fiskal dan makroekonomi akibat adanya defisit anggaran. Defisit anggaran pemerintah dapat didefinisikan dan dihubungkan dnegan perubahan government net debt yang dapat dirumuskan : Dg – Dg-1 = (G + Ig – T) + r Dg-1
(2.6)
dimana (Dg – Dg-1) adalah perubahan government net debt periode sekarang dengan periode sebelumnya; G adalah pengeluaran pemerintah; Ig merupakan investasi pemerintah; T merupakan taxes net of transfers; dan r adalah nominal interest rate. Sisi sebelah kanan persamaan di atas adalah untuk mengukur defisit anggaran dan persamaan memperlihatkan perubahan dalam government net debt setara dengan defisit anggaran. Ketika anggaran pemerintah dalam keadaan defisit, surat utang diperlukan untuk membiayai defisit tersebut untuk menambah dana melalui penerbitan obligasi. Pembeli dari obligasi dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori yaitu perusahaan dan rumah tangga domestik, sistem perbankan umum domestik, bank sentral negara tersebut, dan pihak asing (swasta maupun publik). Contoh pada negara berkembang, bank sentral sering membeli surat utang obligasi dalam jumlah besar yang diterbitkan untuk membiayai defisit karena permintaan yang terbatas dari pembeli yang lain. Pemerintah mungkin juga enggan untuk menjual dalam jumlah besar surat utang obligasi kepada publik karena akan mewajibkan untuk membayar bunga pada periode yang akan datang. Berdasarkan fakta tersebut, bank sentral seringkali menjadi bagian penting untuk pemerintah,
23
mungkin tidak ada pilihan untuk membeli surat utang obligasi atau monetized the deficit. Kecuali seperti situasi khusus, surat utang dipegang oleh publik dan bank sentral. Oleh karena itu, perubahan dalam utang dipegang oleh bank sentral (Dgc – Dgc-1) setara dengan keseluruhan perubahan dalam utang (Dg – Dg-1) dikurangi perubahan dalam utang yang dipegang oleh publik (Dgp – Dgp-1) : Dgc – Dgc-1 = (Dg – Dg-1) – (Dgp – Dgp-1)
(2.7)
Efek dari defisit anggaran pada money supply dapat ditunjukkan dari persamaan berikut untuk perubahan monetary base (MB) : MB – MB-1 = (Dgc – Dgc-1) + e (Rc – Rc-1) + (Lcb – Lcb-1)
(2.8)
dimana Rc adalah cadangan devisa di bank sentral; e adalah nominal exchange rate yang dihitung dari mata uang domestik per unit mata uang asing; dan Lcb adalah persediaan kredit dari bank umum melalui discount window. Jika komponen discount window merupakan perubah monetary base (MB) dapat diabaikan, persamaannya dapat ditulis : MB – MB-1 = (Dgc – Dgc-1) + e (Rc – Rc-1)
(2.8a)
Kemudian sustitusi persamaan (2.7) dengan (2.8a) untuk menyusun kembali hasil persamaan : (Dg – Dg-1) = (MB – MB-1) + (Dgc – Dgc-1) – e (Rc – Rc-1)
(2.9)
atau (G + Ig – T) + r Dg-1 = (MB – MB-1) + (Dgc – Dgc-1) – e (Rc – Rc-1) (2.9a) Persamaan di atas dapat disebut sebagai persamaan fundamental untuk membiayai defisit anggaran. Persamaan tersebut juga menunjukkan bahwa tiga
24
cara untuk membiayai defisit, yang mana setara dengan perubahan dalam government net debt (Dg – Dg-1) : 1. Meningkatkan monetary base, MB – MB-1 2. Meningkatkan surat utang yang dipegang oleh publik, Dgc – Dgc-1 atau 3. Menurunkan cadangan devisa di bank sentral, e (Rc – Rc-1) Untuk lebih mudahnya, untuk membiayai defisit anggaran pemerintah dapat menciptakan uang, meminjam dari publik, atau mengurangi cadangan devisa. Menurut Easterly, et al. dalam Hossain dan Chowdhury (1998), ketiga sumber pembiayaan defisit tersebut dapat menyebabkan berbagai macam permasalahan makroekonomi : “the consequences of deficit depend on how they are financed. As a first approximation each major type of financing, if used excessively, brings about a macroeconomic imbalance. Money creation to finance the deficit often leads to inflation. Domestic borrowing leads to a credit squeeze – through higher interest rate or, when interest rates are fixed, through credit allocation and ever more stringent financial repression – and the crowding out of private investment and consumption. External borrowing leads to a current account deficit and real exchange rate appreciation and sometimes to a balance of payment crisis (if foreign reserve are run down) or an external debt crisis (if debt is too high).” 2.4.2. The Dornbush-Reynoso Model Peran penting defisit anggaran dalam inflasi yang tinggi membuat para ekonom besar mencoba untuk membangun sebuah model inflasi yang dipengaruhi oleh defisit anggaran untuk negara-negara berkembang. Seperti contohnya Dornbusch dan Reynoso dalam Hossain dan Chowdhury (1998) membuktikan bahwa inflasi di negara ekonomi berkembang menunjukkan interaksi dengan empat faktor, yaitu :
25
1. Pembiayaan defisit, yang memengaruhi pertumbuhan money supply 2. Institusi keuangan, yang menetapkan permintaan uang 3. Shock pada anggaran pemerintah, dan 4. Kemampuan untuk bertindak terhadap shock tersebut dengan kebijakan fiskal yang baik. Inflasi yang tinggi memiliki dua karakteristik, yaitu pertama, sebagian besar defisit anggaran dibiayai oleh money creation. Kedua, ada petunjuk dimana inflasi periode sekarang berhubungan dengan inflasi periode sebelumnya. Menurut Mundell dalam Hossain and Chowdury (1998), defisit anggaran merupakan bagian (α) dari income riil dan fungsi permintaan untuk high powered money merupakan fungsi linier inflasi yang meningkat. Bagian (β) adalah defisit yang dibiayai oleh menciptakan uang dan dengan beberapa asumsi, Dornbusch dan Reynoso (1993) membangun model melalui hubungan pertumbuhan dari high powered money (μ) dan defisit anggaran, yaitu : μ = αβ(ρ + γπ)
(2.10)
dimana ρ dan γ adalah parameter dari fungsi kecepatan. Saat kondisi steady-state, dengan tingkat pertumbuhan output riil (gy) dan elastisitas pendapatan terhadap uang yang bersifat unitary, tingkat inflasi (π) dapat ditunjukkan dengan : π = (βρα – gy) / (1 – βΔα)
(2.11)
Berdasarkan model di atas maka dapat diambil tiga poin penting, yaitu Pertama, hubungan antara inflasi dan defisit anggaran yang dibiayai oleh money creation adalah tidak linier. Kenaikan yang rendah dari defisit dimana kondisi defisit telah tinggi, signifikan menaikkan tingkat inflasi yang dibutuhkan untuk
26
membiayai anggaran. Kedua, struktur keuangan memengaruhi inflasi karena pembiayaan defisit. Semakin maju struktur keuangan maka koefisien ρ dan γ akan semakin besar, oleh karena itu, inflasi yang tinggi terhubung dengan defisit tertentu. Ketiga, pertumbuhan ekonomi mengurangi inflasi yang disebabkan pembiayaan defisit. Tingkat persentase penurunan pertumbuhan pendapatan akan menaikkan inflasi berkali lipat ketika kondisi defisit yang tinggi dan juga kecepatan lebih peka terhadap inflasi. Pergerakan besar yang menurun pertumbuhan pendapatan riil dapat menjadi faktor penting yang memperbesar inflasi.
2.5. Kontroversi Defisit Anggaran Pemerintah 2.5.1. Kaum Monetaris Teori yang berdasar pada teori kuantitas uang dan menganggap aktivitas ekonomi riil memerlukan tingkat real money balances (JUB) tertentu yang dapat dikendalikan dan tingkat harga yang dapat dikendalikan oleh money supply. Penjelasannya yaitu dengan jumlah money supply tertentu (bersifat eksogen dan ditetapkan oleh kewenangan moneter) tingkat harga ditetapkan sebagai tingkat harga yang unik dimana akan membuat daya beli money supply setara dengan tingkat jumlah uang beredar yang diinginkan, artinya bank sentral mencoba untuk memastikan jumlah uang dari pelaku yang diperlukan untuk transaksi. Dalam tingkat harga tertentu, jika money supply nominal berbeda dengan jumlah uang beredar yang diinginkan maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai perubahan
27
pada tingkat harga. Oleh karena itu, tingkat harga bersifat sangat fleksibel dan hanya ditetapkan oleh jumlah nominal money supply. Mengenai kebijakan fiskal, jumlah nominal money supply dapat berubah karena digunakannya seigniorage sebagai sumber utama pembiayaan untuk pengeluaran publik atau sebagai hasil dari operasi pasar terbuka (OPT) dari bank sentral yang membeli utang pemerintah yang berbunga. Berdasarkan dua mekanisme ekspansi uang tersebut mungkin memiliki akibat yang berbeda yaitu terhadap pajak dan jumlah utang pemerintah yang juga akan berdampak berbeda terhadap tingkat harga atau suku bunga. Kaum monetaris mengomentari dalam mekanisme pertama (seigniorage), sedangkan mekanisme kedua (monetized the debt) dijelaskan oleh FTPL. Defisit anggaran dan proses pembiayaan melalui seigniorage (penciptaan uang) dianggap sebagai exogenous terhadap kewenangan moneter. Pertumbuhan uang akan sangat dipengaruhi oleh keperluan pembiayaan pemerintah dan tingkat harga akan naik sebagai akibat ekspansi moneter. Dilihat dari pembahasan empiris, dengan sistem defisit anggaran, pertumbuhan uang, dan inflasi, berarti defisit anggaran dalam sistem persamaan jangka panjang pertumbuhan uang bersifat weak-exogeneity. Sehingga kaum monetaris beranggapan inflasi sebagai fenomena moneter karena terjadi karena pertumbuhan dari money supply semata.
2.5.2. The Fiscal Theory of the Price Level (FTPL) Teori ini menghubungkan kebijakan fiskal dan moneter melalui kendala anggaran pemerintah (GBC) antarwaktu atau dapat dipahami sebagai kondisi
28
kesanggupan pemerintah dalam membayar utang atas sektor keuangan publik dalam jangka panjang. Kendala anggaran pemerintah dapat dipenuhi ketika discounted value dari surplus primer pemerintah pada periode mendatang lebih besar (atau sama dengan) nilai nominal utang publik pada periode sekarang. Penting untuk diketahui bahwa seigniorage termasuk dalam surplus primer pemerintah sebagai sumber pendapatan, sedangkan utang publik nominal masuk dalam catatan atau perhitungan monetary base (M0) karena hal tersebut mengapa sektor publik berhubungan dengan pemerintah dan bank sentral. Kendala anggaran pemerintah (GBC) seringkali dilihat dengan persentase nominal gross domestic product (GDP), dimana discount rate ditentukan oleh ratio antara tingkat suku bunga terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi. Sesuai
dengan
FTPL,
maka
GBC
diasumsikan
dalam
kondisi
keseimbangan (ekuilibrium) lalu pendapatan periode mendatang dan pengeluaran primer bersifat exogenous terhadap kewenangan fiskal. Oleh karena itu, dalam discount rate tertentu, jika discount value dari surplus primer lebih rendah daripada tingkat nominal utang sebelum ditentukan (keduanya dalam persentase terhadap GDP nominal), tingkat harga akan mengalami kenaikan untuk menyesuaikan kondisi GBC, dengan kata lain tingkat harga menjadi satu-satunya variabel penyesuaian untuk mempertahankan kondisi keseimbangan. Penelitian Woodford (1995) yang menunjukkan bagaimana tingkat harga dapat dipengaruhi oleh aksi fiskal dan menganjurkan untuk mempertimbangkan shock harga yang positif dan bersifat eksogen yang akan menurunkan nilai riil dari kewajiban pemerintah (utang) dan juga mengarah pada penurunan secara paralel
29
dari nilai riil dari portofolio swasta yang diinvestasikan dalam surat berharga pemerintah. Penurunan nilai riil dari aset swasta tersebut menyebabkan efek yang negatif terhadap tingkat kekayaan yang juga direfleksikan sebagai penurunan pada permintaan barang (output). Berdasarkan FTPL, ekspektasi dari pelaku (agen) mengenai kebijakan fiskal yang berkelanjutan akan menghasilkan efek yang sama pada tingkat kekayaan. Dalam kondisi pasar yang memiliki persepsi negatif terhadap ketahanan keuangan publik seperti jika discounted value dari surplus primer pemerintah tidak dapat menutupi nilai nominal dari kewajibannya, persepsi tersebut akan mendorong naiknya tingkat harga yang diperlukan untuk mengembalikan kondisi keseimbangan GBC. Tingkat harga yang tinggi akan menurunkan nilai riil dari portofolio swasta dan akan berdampak negatif terhadap kekayaan yang akhirnya akan mencerminkan permintaan barang dan jasa yang menurun. Kewajiban pemerintah nominal (utang nominal) yang tinggi membutuhkan penyesuaian yang besar terhadap tingkat harga sehingga FTPL dikenal juga sebagai teori kuantitas dari utang publik. Sebagai hasilnya, persamaan jangka panjang inflasi disebabkan adannya defisit anggaran dimana pertumbuhan uang tidak berperan mungkin merupakan hal yang kuat mendukung FTPL.
2.5.3. Kelompok Keynesian Kelompok Keynesian memiliki tiga ciri yang berbeda dengan aliran yang lain. Pertama, kelompok Keynesian mengasumsikan bahwa ada kemungkinan sumber daya tidak digunakan secara penuh. Kedua, pelaku ekonomi mempunyai
30
pandangan yang bersifat myopic. Sifat ini menggambarkan adanya hubungan antar generasi yang erat. Ketiga, aliran Keynesian lebih memfokuskan diri pada efek defisit anggaran temporer yang disebabkan oleh fluktuasi perekonomian. Pengeluaran pemerintah yang meningkat secara berkelanjutan merupakan kebijakan yang tidak mungkin dilakukan, ada suatu batas jumlah total yang mungkin dikeluarkan pemerintah yaitu tidak bisa mengeluarkan lebih dari 100 persen dari gross domestic product (GDP). Faktanya, sebelum batas tersebut dicapai, proses politik akan menghentikan pengeluaran pemerintah yang meningkat tersebut. Seperti saat terjadinya penyusunan anggaran pemerintah, dimana antara publik, politikus dan pemerintah pasti akan berdebat tentang keseimbangan anggaran dan belanja pemerintah agar memiliki target yang tepat bagi perekonomian. Tentu saja persepsi publik dan politikus sedikit banyak menentukan batas yang wajar untuk pengeluaran pemerintah dapat naik. Sehingga kelompok Keynesian menganggap bahwa inflasi yang tinggi tidak disebabkan oleh kebijakan fiskal semata.
2.5.4. Teori Ricardian Equivalence (RE) Berdasarkan teori Ricardian Equivalence (RE) yang berpendapat bahwa defisit anggaran tidak akan berpengaruh terhadap perekonomiaan. Teori yang berasal dari David Ricardo’s Funding System dan dikemukakan kembali oleh Robbert Barro (1974) sehingga dapat dikenal juga sebagai Ricardo-Barro Preposition.
Ricardo-Barro
Preposition
berlandaskan
pada
asumsi:
intergenerational altruism atau immortality, perfect capital markets, lump sum
31
taxation, dan kondisi bahwa tingkat utang lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi. RE mengajukan hipotesis bahwa kebijakan pemerintah yang diterapkan tidak selalu akan membawa dampak yang penting bagi perekonomiaan (neutrality preposition). RE menggabungkan dua pendekatan fundamental, yaitu kendala anggaran pemerintah (GBC) dan Permanent Income Hypothesis (PIH). Kendala anggaran pemerintah menyatakan jika pengeluaran pemerintah tidak mengalami perubahan maka tingkat pajak yang rendah pada periode sekarang akan diimbangi oleh kenaikan tingkat pajak pada periode mendatang. Sedangkan PIH menyatakan bahwa rumah tangga akan merespon melalui keputusan konsumsi berdasarkan pada permanent income yang besarnya sangat tergantung oleh nilai pendapatan setelah pajak pada periode sekarang. Pembiayaan defisit anggaran dengan memotong pajak sekarang akan berpengaruh pada beban pajak periode mendatang, tetapi tidak dalam nilai periode sekarang sehingga pemotongan pajak tidak akan mengubah permanent income atau konsumsi (Waluyo, 2006). Neutrality preposition harus di tanggapi dengan sangat hati-hati, walaupun suku bunga tak berubah karena penerbitan obligasi negara, tetapi suku bunga dapat mengalami perubahan karena adanya tambahan pengeluaran pemerintah. Menurut Barro (1974), pembiayaan defisit anggaran dengan penerbitan obligasi negara akan diimbangi oleh kenaikan pajak pada periode mendatang. Kenaikan tingkat pajak tidak perlu membuat masyarakat takut terhadap kemakmurannya (wealth) karena kenaikan pajak pada periode mendatang akan diantisipasi dengan meningkatkan tabungan dan mengurangi konsumsi pada periode sekarang. Implikasinya, individu tidak menggunakan semua pendapatan
32
untuk meningkatkan konsumsi karena penerbitan obligasi negara. Individu akan menyimpan untuk mengantisipasi kenaikan beban pajak periode mendatang sehingga hal itu tidak akan menaikkan permintaan terhadap barang dan jasa. Jika pemerintah meningkatkan pajak hari ini untuk membayar utang obligasi negara maka individu akan memandang kebijakan ini sama dengan menggantikan pajak saat ini untuk pajak yang akan datang (pada present value yang sama). Kebijakan ini akan menggeser titik endowment tetapi nilai aliran pendapatan sekarang secara keseluruhan tidak mengalami perubahan. Individu akan memilih berkonsumsi dan akan lebih banyak meminjam sekarang sampai terjadi kenaikan dalam present value pajak. RE juga berpendapat bahwa perubahan dalam pajak dan pembiayaan defisit anggaran mempunyai dampak yang sama bagi variabel makro (terutama konsumsi swasta). RE dibangun dari premis bahwa penerbitan obligasi Negara pada saat ini selalu disertai dengan rencana kenaikan pajak di masa mendatang. Pembiayaan utang pemerintah diasumsikan hanya mengalami perubahan sesuai dengan perubahan perpajakan sehingga konsumsi agregat akan tetap. Dalam kerangka pemikiran RE individu mengasumsikan pajak yang akan datang sama dengan besarnya beban utang pemerintah (Barro, 1989).
2.6. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai hubungan defisit anggaran dengan variabel moneter maupun makroekonomi telah diteliti secara luas di negara sedang berkembang maupun negara maju dengan berbagai hasil yang berbeda. Berikut ini akan
33
dipaparkan penelitian terdahulu yang menganalisis dmapak defisit anggaran terhadap perekonomian. Penelitian Cevdet Akcay, et al. (1996), menggunakan data tahunan (periode 1948 hingga 1994) dan data kuartalan (periode 1987Q1 hingga 1995Q4) Turki. Cevdet Akcay, et al. (1996) menggunakan VAR dan VEC. Mereka meneliti adanya hubungan jangka panjang yang stabil antara defisit anggaran, pertumbuhan uang dan inflasi. Penelitian ini menemukan vektor kointegrasi yang menyimpulkan bahwa pengaruh yang signifikan defisit anggaran terhadap inflasi tidak dapat ditolak setelah kesesuaian data kuartalan menggambarkan periode pembiayaan surat obligasi sebagai acuan. Hasil tersebut memberi kesan bahwa variabel lain mempunyai hubungan lemah terhadap inflasi. Lebih lanjut dengan menggunakan
pendekatan
ARIMA
bahwa
hasil
tersebut
sesuai
dan
menggambarkan kelembaman dalam proses inflasi terus meningkat. Adanya pembiayaan dengan surat obligasi sesudah 1986 mungkin menjadi catatan untuk hubungan yang lemah defisit anggaran terhadap inflasi sampai pada tingkat tertentu. Tekin-Koru dan Ozmen (2003) meneliti hubungan jangka panjang antara defisit anggaran, inflasi dan pertumbuhan uang di Turki dengan menggunakan dua alternatif sistem trivariat secara bersamaan dan data kuartalan (1983 hingga 1999). Dimana definisi money supply yang digunakan adalah dalam arti sempit (currency in circulation, CC) dan arti luas (M2Y). Mereka menemukan bahwa pada studi kasus di Turki, uang dan inflasi bersifat endogenous sehingga menolak pandangan kaum monetaris. Hubungan langsung yang lemah antara inflasi dan defisit
34
anggaran juga menyebabkan teori fiskal (FTPL) ditolak. Defisit anggaran yang ditetapkan bersifat eksogen terhadap pertumbuhan uang sesuai dengan pendapat Sargent dan Wallace (1981). Meski demikian, agregat moneter yang tumbuh karena pembiayaan defisit bukanlah di luar uang seperti yang diteliti oleh SW, akan tetapi oleh agregat yang lainnya, sebagian besar dapat dijelaskan seperti di dalam uang atau uang berjangka atau uang kuasi (M2Y). Mengacu pada kebijakan pembiayaan dengan utang domestik (publik) di luar sistem bank komersial, defisit anggaran di Turki menyebabkan tumbuhnya uang dalam arti luas dan bukan penciptaan mata uang. Penelitian Lozano (2008) menganalisis fakta tentang hubungan sebabakibat jangka panjang antara defisit anggaran, pertumbuhan uang dan inflasi di Colombia. Data yang dipakai adalah data tahunan selama 53 tahun dan data kuartalan selama 25 tahun (periode 1982Q1 hingga 2007Q4) yaitu defisit anggaran, CPI dan pertumbuhan uang (dimana definisi money supply yang dipakai adalah standar (M1), sempit (M0-primer) dan luas (M3)). Menggunakan VECM untuk pengujian beberapa hipotesis (Monetarist Hypotheses (MH), The Fiscal Theory of the Price Level (FTPL), New Keynesian (NK), dan Sarget and Wallace Hypothesis (SW-H). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa Sargent and Wallace
Hypothesis
(SW-H)
merupakan
hipotesis
yang
sesuai
untuk
menggambarkan hubungan ketiga variabel di Kolombia, yaitu defisit angaran, pertumbuhan uang dan inflasi. Pendapat tersebut menyimpulkan bahwa terdapat hubungan jangka panjang antara inflasi dan pertumbuhan uang di satu sisi dan antara pertumbuhan uang dan defisit anggaran di sisi yang lain.
35
Saad dan Kalacech (2009) menguji pengaruh dari defisit anggaran terhadap permintaan uang di Lebanon. Variabel makroekonomi yang lainnya (PDB riil, IHK, pengeluaran pemerintah dan tingkat suku bunga) juga digunakan di dalam penelitian tersebut untuk menganalisis pengaruhnya terhadap permintaan uang riil (M1) saat defisit anggaran terjadi secara terus-menerus. Menggunakan kointegrasi ECM dan data tahunan dari tahun 1973 hingga 2007, mereka menemukan bahwa terdapat hubungan jangka panjang yang terjadi antara permintaan uang (dalam arti sempit) riil dan
PDB, pengeluaran pemerintah,
tingkat suku bunga, dan IHK. Walaupun defisit anggaran tidak berpengaruh pada permintaan uang di jangka panjang atau seperti pandangan Ricardian, VECM menggambarkan bahwa 52 persen ketidakseimbangan selalu disesuaikan setiap tahun. Koefisien defisit anggaran yang secara statistik signifikan dan positif di jangka pendek sesuai dengan pandangan Keynesian-Neoklasik. Kemudian hasil penelitian juga menggambarkan bahwa IHK tidak signifikan terhadap M1 di jangka pendek dan PDB riil berdampak negatif terhadap permintaan uang riil selama periode tersebut atau sering disebut crowding-out effect. Analisis yang lain memperlihatkan defisit anggaran memiliki efek positif terhadap permintaan uang di jangka pendek, namun tidak berpengaruh terhadap M1 di jangka panjang. Penelitian Adji (1995) menggunakan model persamaan tunggal dan data tahun 1971-92. Aplikasi Error Correction Model (ECM) digunakan untuk melihat proses keseimbangan jangka panjang dan jangka pendek antara tingkat inflasi dan defisit anggaran. Hasil penelitian membuktikan bahwa Ricardian Equivalence berlaku di dalam perekonomian Indonesia. Dalam jangka panjang, pembiayaan
36
anggaran pemerintah dengan utang publik tidak mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat. Maryatmo (2004) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengamati dampak dari kebijakan defisit anggaran yang dilakukan oleh pemerintah terhadap variabel makro ekonomi secara umum dan khususnya variabel moneter dalam jangka panjang dan jangka pendek di Indonesia. Penelitian ini menggunakan spesifikasi model asa nalar (Rational Expectation) yang memungkinkan pengambil keputusan untuk mencegah efek-efek yang lain. Model tersebut mengkonstruksi delapan persamaan jangka panjang, delapan persamaan jangka pendek dan 12 persamaan identitas. Pengestimasian menggunakan metode Two Stage Least Square (2SLS) dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa defisit anggaran mempengaruhi tingkat suku bunga dalam jangka panjang dan jangka pendek. Defisit anggaran juga berpengaruh terhadap nilai tukar dan tingkat harga dalam jangka panjang hasil uji kausalitas memperlihatkan bahwa nilai tukar dan tingkat harga mempunyai efek yang berkebalikan dengan defisit anggaran. Penelitian Waluyo (2006) mengenai dampak pembiayaan defisit anggaran dengan utang luar negeri terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia tahun 1970-2003. Penelitian ini menggunakan persamaan simultan dan metode Two Stage Least Squares (2SLS). Model dari penelitian ini terdiri dari 17 persamaan perilaku dan 18 persamaan identitas dengan 6 blok. Berdasarkan penelitian Waluyo (2005) dapat diambil kesimpulan bahwa pembiayaan defisit anggaran dengan menggunakan utang luar negeri akan berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan bersifat inflationary. Kesimpulan ini didukung pula
37
dengan hasil simulasi yang menunjukkan bahwa setiap adanya kenaikan penarikan utang luar negeri baru maka menambah cadangan devisa. Penambahan cadangan devisa akan menyebabkan terjadinya peningkatan uang primer. Setelah uang primer dengan angka pengganda uang maka akan berdampak terhadap peningkatan tingkat harga. Tambahan capital inflow dari utang luar negeri akan meningkatkan pengeluaran pemerintah sehingga investasi pemerintah juga ikut mengalami kenaikan. Selanjutnya peningkatan investasi pemerintah akan berdampak terhadap peningkatan kapital stok pemerintah, sehingga pertumbuhan ekonomi akan mengalami peningkatan pula.
2.7. Kerangka Pemikiran Penelitian ini difokuskan untuk menganalisis hubungan defisit anggaran terhadap pertumbuhan uang dan inflasi (kebijakan moneter) di Indonesia, dengan menggunakan pendekatan sistem trivariabel antara inflasi, pertumbuhan uang dan defisit anggaran. Estimasi persamaan jangka panjang inflasi dan pertumbuhan uang akan dilakukan untuk mengetahui dampak defisit anggaran terhadap persamaan tersebut. Hasil dari analisis data kemudian nantinya dibandingkan dengan hipotesis yang telah dibuat. Pada akhirnya akan ditarik kesimpulan apakah defisit anggaran (kebijakan fiskal) mempengaruhi pertumbuhan uang dan inflasi (kebijakan moneter) di Indonesia. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 2.1.
38
Kebijakan Fiskal
Kebijakan Moneter
Kebijakan Anggaran
Variabel Moneter
Defisit Anggaran
Pertumbuhan Uang (M0, M1 & M2)
Inflasi
Data dan Pembentukan Sistem (INF, M0GRW, DEFY) (INF, M1GRW, DEFY) (INF, M2GRW, DEFY)
Estimasi Persamaan Jangka Panjang Inflasi dan Pertumbuhan Uang (VEC model yang dilengkapi dengan uji exclusion dan weak exogeneity)
Apakah Defisit Anggaran Berpengaruh? Teori Apa yang Berlaku di Indonesia?
Kesimpulan dan Saran
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
39
2.8. Hipotesis Penelitian Berdasarkan teori dan konsep yang relevan serta hasil penelitian terdahulu, hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Defisit anggaran memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan uang (M0, M1 dan M2).
2.
Pertumbuhan uang berhubungan positif dengan inflasi. (Teori Monetaris dan Keynesian)
3.
Defisit anggaran memiliki hubungan positif dengan inflasi. (FTPL)
4.
Defisit anggaran tidak memiliki hubungan antara pertumbuhan uang dan inflasi. (Teori Ricardian Equivalance (RE))