17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Sistematika hukum Islam menurut Imam Syafi’i meliputi: A. Ibadah, yaitu segala persoalan yang berkaitan dengan urusan akhirat. Atau dengan kata lain segala perbuatan yang dikerjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. B. Muamalah, yaitu tentang kehidupan kemasyarakatan yang meliputi bidang idiologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya atau segala persoalan yang berkaitan dengan urusan-urusan dunia dan undang-undang. C. Munakahat yang meliputi perkawinan, talak dan rujuk atau perkawinan dan akibat-akibatnya serta warisan. D. Jinayat, yaitu hukum kepidanaan dalam hukum Islam, tetapi untuk di Indonesia sendiri hukum pidana yang berlaku yaitu hukum pidana yang dibuat oleh negara. Dalam bagian ini penulis khusus akan memberikan gambaran tentang muamalah yang menyangkut tentang kehidupan ekonomi di masyarakat antara yang punya dan tidak punya (miskin) khususnya dalam masalah wakaf, yang selanjutnya akan dijelaskan dalam bagian Tinjauan tentang Hukum Wakaf Islam. Namun sebelum itu, akan terlebih dahulu dijelaskan tentang Tinjauan Hukum, Tinjauan tentang Masyarakat, Tinjauan tentang Hukum Islam dan Tinjauan tentang Pengelolaan.
18
A. Tinjauan tentang Kesadaran Hukum 1. Pengertian Kesadaran Hukum a. Pengertian Kesadaran Secara harfiah kata “kesadaran” berasal dari kata “sadar”, yang berarti insyaf; merasa; tahu dan mengerti. Jadi, kesadaran adalah keinsyafan atau merasa mengerti atau memahami segala sesuatu. Berbicara mengenai kesadaran tidak akan terlepas dari masalah psikis. Adapun yang dimaksud psikis adalah totalitas segala peristiwa kejiwaan baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Kedua alam tersebut tidak hanya saling mengisi akan tetapi saling berhubungan secara konvensatoris. Fungsi kedua alam tersebut
adalah untuk penyesuaian. Alam sadar berfungsi untuk penyesuaian
terhadap dunia luar, sedangkan alam tidak sadar berfungsi untuk penyesuaian terhadap dunia dalam atau diri sendiri. Kesadaran mempunyai dua komponen, yaitu fungsi jiwa dan sikap jiwa yang masing-masing mempunyai peranan penting dalam orientasi terhadap dunianya. Fungsi jiwa menurut Jung (Wirawan, 1993:185) adalah “Suatu aktivitas kejiwaan yang secara teori tidak berubah dalam lingkungan yang berbeda. Sedangkan sikap jiwa merupakan arah daripada energi psikis yang menjelma dalam bentuk orientasi manusia terhadap dirinya”. Manusia yang bertindak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dapat dikatakan memiliki kesadaran moral, yaitu adanya keinsyafan dalam diri manusia bahwa sebagai anggota masyarakat dapat melakukan kewajibannya. Berkaitan dengan hal tersebut Zubair (1995:51) mengatakan :
19
Kesadaran moral merupakan faktor penting untuk memungkinkan tindakan manusia selalu bermoral, berperilaku susila, lagi pula tindakannya akan sesuai dengan norma yang berlaku. Kesadaran moral didasarkan atas nilai-nilai yang benar-benar esensial dan fundamental. Perilaku manusia yang berdasarkan atas kesadaran moral, perilakunya selalu direalisasikan sebagaimana yang seharusnya, kapan saja dan di mana saja.
Agar kehidupan manusia itu terjamin, maka setiap manusia harus memiliki kewajiban moral dalam masyarakat. Suseno (1975:25) mengatakan bahwa “kewajiban moral merupakan kewajiban yang mengikat batin seseorang dan terlepas dari pendapat teman, masyarakat maupun atasan”. Selanjutnya Suseno (Zubair, 1995:54) mengungkapkan bahwa dalam kesadaran moral terdapat tiga unsur pokok, yaitu: 1) Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral itu ada dan terjadi di dalam setiap sanubari manusia, siapapun, di manapun dan kapanpun. 2) Rasional, kesadaran moral dapat dikatakan rasional karena berlaku umum, lagi pula terbuka bagi pembenaran atau penyangkalan. Dinyatakan pula sebagai hal objektif yang dapat diuniversalkan, artinya dapat disetujui, berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi sejenis. 3) Kebebasan, atas kesadaran moralnya seseorang bebas untuk mentaatinya. Dengan kesadaran yang dimiliki oleh setiap individu, maka ia dapat mengendalikan diri dan/atau menyesuaikan diri pada setiap kesempatan serta dapat menempatkan dirinya sebagai individu dan anggota masyarakat. Sebagai individu ia akan mengetahui dan memperhatikan dirinya sendiri, sedangkan sebagai anggota masyarakat, ia akan mengadakan kontak dengan orang lain
20
sehingga timbul interaksi diantara mereka. Berkaitan dengan hal tersebut, May (Koswara, 1987:51) mengemukakan pendapatnya tentang kesadaran sebagai berikut: Kesadaran diri sebagai kapasitas yang memungkinkan manusia mampu mengamati dirinya sendiri maupun membedakan diri dari dunia orang lain serta kapasitas yang memungkinkan manusia menempatkan diri dalam waktu kini, masa lampau dan masa yang akan datang. Disamping itu, Widjaya (1984:14) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: Sadar (kesadaran) itu adalah kesadaran kehendak dan kesadaran hukum. Sadar diartikan merasa, tahu, ingat keadaan sebenarnya dan ingat keadaan dirinya. Kesadaran diartikan sebagai keadaan tahu, mengerti dan merasa, misalnya tentang harga diri, kehendak hukum dan lainnya. Selain itu juga, kesadaran dapat diartikan sebagai sikap/perilaku mengetahui atau mengerti dan taat pada adat istiadat serta kebiasaan hidup dalam masyarakat. Lebih lanjut, Widjaya (1984:14) mengatakan bahwa ada dua sifat kesadaran, yaitu:
1) Kesadaran bersifat statis, yaitu sesuai dengan peraturan perundangundangan berupa ketentuan-ketentuan dalam masyarakat. 2) Kesadaran bersifat dinamis yang menitikberatkan pada kesadaran yang timbul dari dalam diri manusia yang timbul dari kesadaran moral, keinsyafan dari dalam diri sendiri yang merupakan sikap batin yang tumbuh dari rasa tanggung jawab. Kesadaran memiliki beberapa tingkatan yang menunjukkan derajat seseorang. Tingkatan-tingkatan kesadaran menurut N.Y Bull (Djahiri, 1985:24), antara lain:
21
1) Kesadaran yang bersifat anomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan yang tidak jelas dasar dan alasannya atau orientasinya. 2) Kesadaran yang bersifat heteronomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan yang berlandaskan dasar/orientasi motivasi yang beraneka ragam atau berganti-ganti. Ini pun kurang mantap sebab mudah berubah oleh keadaan dan situasi. 3) Kesadaran yang bersifat sosionomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan yang berorientasikan pada kiprah umum atau khalayak ramai. 4) Kesadaran yang bersifat autonomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan yang terbaik karena didasari oleh konsep kesadaran yang ada dalam diri seseorang. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kesadaran adalah suatu proses kesiapan diri individu untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, menanggapi suatu fenomena tertentu dengan didasari atas pengertian, pemahaman, penghayatan dan pertimbangan-pertimbangan nalar dan moral dengan disertai kebebasan sehingga ia dapat mempertanggungjawabkannya secara sadar.
b. Pengertian Hukum 1) Arti Hukum Sampai saat ini, belum ada kesepakatan yang pasti tentang rumusan arti hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Darwis (2003:6) “belum ada sebuah pengertian hukum yang dijadikan standar dalam memahami makna dan konsep hukum”. Untuk merumuskan pengertian hukum tidaklah mudah, karena hukum itu meliputi banyak segi dan bentuk sehingga satu pengertian tidak mungkin mencakup keseluruhan segi dan bentuk hukum. Selain itu, setiap orang atau ahli akan memberikan arti yang berbeda sesuai dengan sudut pandang masing-masing
22
yang akan menonjolkan segi-segi tertentu dari hukum sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Van Apeldorn (Kansil, 1986:34) bahwa “definisi tentang hukum adalah sangat sulit untuk dibuat karena tidak mungkin untuk mengadakannya sesuai kenyataan”. Akan tetapi meskipun sulit untuk menjadikan hukum sebagai pegangan yang mutlak, ada beberapa sarjana atau pakar hukum yang mengemukakan pengertian hukum. Utrecht (Kansil, 1986:38) merumuskan pengertian hukum sebagai “himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati”. Sedangkan Affandi (1981:4) mengatakan bahwa “hukum adalah kumpulan peraturan yang harus ditaati dan dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat, apabila mengabaikan peraturan tersebut maka kepada si pelanggar harus dijatuhi hukuman”. Berdasarkan kedua pendapat di atas, penulis memandang bahwa hukum itu memuat aturan mengenai hal yang layak dan tidak layak untuk dilakukan menurut pendapat umum yang seharusnya ditaati dan dipatuhi. Selain itu juga, hukum mengatur segala tingkah laku manusia di dalam pergaulannya di masyarakat. Untuk melengkapi pengertian hukum yang dikemukakan oleh dua pakar di atas, di bawah ini terdapat pengertian hukum dari beberapa pakar yang dikutip oleh Kansil (1986:36-38): a) Immanuel Kant Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan. b) Leon Duguit Hukum ialah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu
23
c)
d)
e)
f)
masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu. E.M. Meyers Hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya. S.M. Amin Kumpulan-kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksisanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara. J.C.T. Simorangkir Hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan yaitu dengan hukuman tertentu. M.H. Tirtaatmidjaja Hukum ialah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian, jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.
Dari beberapa rumusan pengertian hukum yang dikemukakan oleh pakarpakar di atas, terdapat titik persamaan bahwa di dalam hukum terdapat beberapa unsur, diantaranya: a) Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat. b) Peraturan itu dibuat dan ditetapkan oleh badan-badan resmi yang berwajib. c) Peraturan itu bersifat memaksa. d) Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas. Hukum berlaku di masyarakat dan ditaati oleh masyarakat karena hukum memiliki sifat memaksa dan mengatur. Hukum dapat memaksa seseorang untuk
24
mentaati tata tertib yang berlaku di dalam masyarakat dan terhadap orang yang tidak mentaatinya diberikan sanksi yang tegas. 2) Tujuan Hukum Kesadaran untuk mentaati hukum akan menyebabkan terjadinya keseimbangan dan kedamaian dalam kehidupan manusia. Hal ini sejalan dengan pendapat Van Apeldorn (Kansil, 1986: 41) bahwa “tujuan hukum adalah mengatur pergaulan
hidup manusia secara damai”. Pendapat ini diikuti oleh Soekanto
(1985:213) yang mengatakan bahwa “tujuan hukum adalah mencapai perdamaian di dalam masyarakat”. Perdamaian berarti menunjukkan adanya keserasian tertentu antara ketertiban dan ketentraman. Berkaitan dengan tujuan hukum, Mertokusumo (1986:57) membagi tujuan hukum ke dalam beberapa teori, yaitu: a) Teori Etis Hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan kita yang etis tentang yang adil atau tidak. Pendukung utama teori ini adalah Geny. b) Teori Utilitas Hukum ingin menjamin kebahagian yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya, pada hakikatnya tujuan hukum adalah manfaat dalam menghasilkan keragaman atau kebahagian yang besar bagi orang banyak. Pendukung utama teori ini adalah Jeremy Bentham. c) Teori Campuran (1) Mochtar Kusumaatmadja Tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban ini adalah syarat pokok bagi adanya suatu masyarakat yang teratur. Di samping ketertiban tujuan hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya. (2) Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto Tujuan hukum adalah kedamaian hidup antara pribadi yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenangan pribadi. (3) Van Apeldorn
25
Tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai dan adil. (4) Soebekti Hukum itu mengabdi kepada tujuan negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagian kepada rakyatnya. (5) Soedikno Mertokusumo Tujuan pokok hukum adalah menciptakan ketertiban dan keseimbangan di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia terlindungi.
Dengan demikian hukum diperlukan dalam mengatur kehidupan masyarakat agar supaya hak dan kewajiban manusia benar-benar terjamin serta dengan adanya hukum diharapkan dapat tercipta suatu masyarakat yang aman, tertib dan damai.
3) Fungsi hukum Menurut Poerbacaraka dan Soekanto (1985:68) menyatakan bahwa fungsi hukum itu adalah “memberikan kepastian dan kesebandingan
bagi individu
maupun masyarakat”. Berkaitan dengan fungsi hukum, Darwis (2003:27) berpendapat bahwa “hukum itu berfungsi sebagai sarana
untuk kehidupan
masyarakat, pemelihara ketertiban dan keamanan, penegak keadilan, sarana pengendali sosial, sarana rekayasa masyarakat (social engineering) dan sarana pendidikan masyarakat”. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Friedman (Taneko, 1993:36) yang mengatakan bahwa “fungsi hukum itu meliputi pengawasan/pengendalian sosial (social control), penyelesaian sengketa (dispute settlement), rekayasa sosial (social engineering, redistributive, atau inovation)”. Kedua pendapat di atas pada intinya mengedepankan fungsi hukum sebagai sarana pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut hasil
26
Seminar Hukum Nasional IV pada tahun 1980 (Darwis, 2003:28) fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan yaitu : a) Pengatur, penertib dan pengawas kehidupan masyarakat. b) Penegak keadilan dan pengayom warga masyarakat terutama yang mempunyai kedudukan sosial ekonomi lemah. c) Penegak dan pendorong pembangunan dan perubahan menuju masyarakat yang dicita-citakan. d) Faktor penjamin keseimbangan dan keserasian dalam masyarakat yang mengalami perubahan cepat. e) Faktor integrasi antara berbagai subsistem budaya bangsa. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum selain memiliki fungsi sebagai alat untuk menciptakan kedamaian dalam kehidupan masyarakat juga memiliki kemampuan untuk mengarahkan masyarakat kepada suatu proses pembaharuan dan pembangunan nasional.
c. Pengertian Kesadaran Hukum Kesadaran hukum pada mulanya timbul sebagai akibat adanya usaha untuk mencari dasar daripada sahnya suatu peraturan hukum dari berbagai masalah yang timbul dalam rangka penerapan suatu ketentuan hukum. Kemudian berkembang dan menimbulkan suatu problema dalam dasar sahnya suatu ketentuan hukum. Permasalahan tersebut timbul karena dalam fakta di masyarakat banyak ketentuan-ketentuan hukum yang tidak ditaati oleh masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, Widjaya (1984:xviii) mengemukakan bahwa: Kesadaran hukum merupakan keadaan dimana tidak terdapatnya benturan-benturan hidup dalam masyarakat. Masyarakat dalam kehidupan seimbang, serasi dan selaras. Kesadaran hukum diterima sebagai kesadaran bukan diterima sebagai paksaan, walaupun ada pengekangan
27
dari luar diri manusia atau masyarakat sendiri dalam bentuk perundangundangan. Disamping itu, Purbacaraka dan Soekanto (1985:9) mengartikan kesadaran hukum sebagai keyakinan/kesadaran akan kedamaian pergaulan hidup yang menjadi landasan regel mating (keajegan) maupun beslissigen (keputusan) itu dapat dikatakan sebagai wadahnya jalinan hukum yang mengendap dalam sanubari manusia. Kedua batasan tersebut, dengan jelas menunjukkan bahwa kesadaran hukum itu merupakan kepatuhan untuk melaksanakan ketentuan hukum tidak saja tergantung pada pengertian dan pengetahuan, tetapi lebih diutamakan terhadap sikap dan kepribadian untuk mewujudkan suatu bentuk perilaku yang sadar hukum. Lebih jelas Paul Scholten (Mertokusumo, 1984:2) menjelaskan kesadaran hukum sebagai berikut: Kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu, apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dengan tidak hukum, antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak dilakukan. Berdasarkan pendapat di atas, kesadaran hukum merupakan kesadaran yang terdapat dalam diri manusia terhadap hukum yang ada, yaitu yang dimanifestasikan dalam bentuk ketaatan dan ketidaktaatan terhadap hukum. Pendapat Paul Scholten ini dipertegas oleh pendapat Soekanto (1982:152) yang mengemukakn bahwa “kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada”. Apabila masyarakat tidak sadar hukum, maka hal ini harus menjadi bahan kajian bagi pembentuk dan penegak hukum.
28
Ketidakpatuhan terhadap hukum dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu: 1) Pelanggaran hukum oleh si pelanggar sudah dianggap sebagai kebiasaan bahkan kebutuhan; dan 2) Hukum yang berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan kehidupan. Kesadaran hukum dapat diartikan sebagai “persepsi individu atau masyarakat terhadap hukum” (Salman, 1993:39). Hukum di sini merujuk pada hukum yang berlaku dan hukum yang dicita-citakan. Dengan demikian hukum di sini meliputi hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Misalnya hukum Islam dan hukum adat, walaupun kedua hukum tersebut tidak memiliki bentuk formal (tertulis) dalam lingkup hukum nasional, akan tetapi hukum tersebut seringkali dijadikan dasar dalam menentukan suatu tindakan. Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan demikian masyarakat mentaati hukum bukan karena paksaan, melainkan karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam keadaan masyarakat sendiri. Dalam hal ini telah terjadi internalisasi hukum dalam masyarakat.
2. Indikator Kesadaran Hukum Tingkat kesadaran manusia untuk taat hukum sangat bervariasi ada yang tinggi, sedang dan rendah (Salman, 1989:56). Berkaitan dengan hal tersebut Soekanto (1982:140) mengemukakan bahwa “untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum masyarakat terdapat empat indikator yang dijadikan tolok ukur, yaitu pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan pola perilaku hukum”.
29
Indikator-indikator tersebut sebenarnya merupakan petunjuk-petunjuk yang relatif nyata tentang adanya taraf kesadaran hukum tertentu. Pengetahuan hukum menurut Salman (1993:40) adalah “pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Sudah tentu hukum yang dimaksud di sini adalah hukum yang tertulis dan tidak tertulis”. Pengetahuan tersebut erat kaitannya dengan perilaku yang dilarang ataupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Pemahaman hukum diartikan sebagai sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan kata lain, “pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan suatu peraturan dalam hukum tertentu serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang yang kehidupannya di atur oleh peraturan tersebut” (Salman, 1993:41). Sikap hukum diartikan sebagai “suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati” (Salman, 1993:42). Suatu sikap hukum akan melibatkan pilihan masyarakat terhadap hukum yang sesuai nilai-nilai yang ada dalam dirinya sehingga akhirnya masyarakat menerima hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Padgorecki (Salman, 1993:42) mengartikan sikap hukum (legal attitude) sebagai berikut: a. ...a disposition to accept some legal norm or precept because it deserve respect as valid piece of law.... b. ...a tendency to accept the legal norm or precept because it as appreciated as adventageous or useful....
30
Pola perilaku hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena di sini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dengan demikian sampai seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum (Salman, 1993:42).
B. Tinjauan tentang Masyarakat 1. Pengertian Masyarakat Dalam bahasa Inggris istilah masyarakat disebut society, sedangkan dalam bahasa Arab disebut syaraka yang berarti ikut serta atau berpartisipasi. Konsep masyarakat dalam bahasa Arab berarti saling bergaul atau saling berinteraksi. Menurut sosiolog Soemardjan (Soekanto, 2004:24) merumuskan suatu definisi mengenai masyarakat yaitu “orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan”. Sedangkan menurut Koentjaraningrat (1994) menyebutkan bahwa “masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh rasa identitas yang sama”. Pendapat ini hampir sejlan dan lebih jelas dikemukakan oleh Mac Iver dan Page (Soekanto, 2004:24) yang merumuskan pengertian masyarakat sebagai berikut: Masyarakat adalah suatu sistem kebiasaan dan tata cara dari wewenang dan kerjasama antara berbagai kelompok dan golongan dari pengawasan tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan selalu berubah.
31
Lebih lanjut Ralph Linton (Harsoyo, 1984:126) mengemukakan bahwa “masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka dapat mengorganisasikan diri dan berpikir tentang dirinya sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu”. Dengan kata lain, masyarakat merupakan kelompok manusia yang berdiam diri bersama dalam waktu yang relatif lama sehingga satu sama lainnya dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai kesatuan sosial dengan norma-norma yang mengatur kehidupan mereka. Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu masyarakat memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. manusia yang hidup bersama, dua atau lebih dari dua orang, b. bergaul dalam jangka waktu yang relatif lama, c. setiap anggotanya menyadari sebagai suatu kesatuan, dan d. bersama membangun sebuah kebudayaan yang membuat keteraturan dalam kehidupan bersama.
2. Tipologi Masyarakat Menurut Soekanto, (2004:153), dalam masyarakat yang modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dengan masyarakat perkotaan (urban community). Di bawah ini penulis paparkan karakteristik dari kedua tipe masyarakat tersebut.
32
a. Masyarakat Pedesaan (Rural Community) Masyarakat pedesaan merupakan masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan dan dikategorikan sebagai masyarakat yang yang hidup di dalam suasana, cara dan pemikiran pedesaan. Masyarakat pedesaan mempunyai ciri dan kepribadian sendiri. Mereka hidup secara berdampingan dengan penuh kebahagian, tolong-menolong dan gotong royong yang disertai dengan suasana alam yang masih sederhana. Pekerjaan mereka masih tergantung dari pertanian yang digarap secara tradisional. Siswopangritno dan Suprihadi (1984:37) memberikan batasan tentang masyarakat desa sebagai berikut: Masyarakat pedesaan adalah masyarakat yang tinggal di pedesaan dan dikategorikan sebagai masyarakat yang masih hidup melalui dan dalam suasana dari pemikiran alam pedesaan. Biasanya mereka bekerja, berbicara, berpikir dan melakukan kegiatan apapun selalu mendasarkan diri kepada apa-apa yang biasa berlaku di daerah pedesaan. Karakteristik
masyarakat
pedesaan
dikemukakan
oleh
Soekanto
(2004:153-155) sebagai berikut: 1) Mempunyai hubungan yang lebih erat dan mendalam dibandingkan dengan warga masyarakat lainnya. 2) Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan. 3) Pada umumnya hidup dari pertanian. 4) Cara bertani sangat tradisional dan dilakukan semata-mata untuk memenuhi kehidupannya sendiri serta tidak dijual (subsistence farming). 5) Golongan orang tua pada umumnya memegang peranan penting. 6) Hubungan antara pengusa dengan rakyat berlangsung secara tidak resmi. 7) Segala sesuatu dijalankan atas dasar musyawarah. 8) Tidak adanya mekanisme pembagian kerja yang tegas.
33
Sedangkan menurut Siagian (1983:2), pada umumnya masyarakat pedesaan mempunyai karakteristik sebagai berikut : 1) Kehidupan di pedesaan erat hubungannya dengan alam, mata pencaharian tergantung kepada alam serta terikat pada alam. 2) Pada umumnya semua anggota keluarga mengambil bagian dalam kegiatan bertani walaupun kekerabatannya berbeda. 3) Orang desa sangat terikat pada desa dan lingkungannya, apapun yang ada didesa sukar dilupakan sehingga perasaan akan desanya merupakan sebuah ciri yang nampak. 4) Di pedesaan segala sesuatu seolah-olah membawa kehidupan yang rukun, perasaan sepenanggungan, jiwa tolong menolong sangat kuat dihayati. 5) Corak feodalisme masih nampak walaupun sudah mulai pudar. 6) Hidup di pedesaan banyak berkaitan dengan adat istiadat dan kaidahkaidah yang diwarnai dari suatu generasi ke generasi berikutnya sehingga masyarakat pedesaan dicap statis. Dari pendapat-pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat pedesaan pada umumnya memiliki ciri kehidupan yang bersifat paguyuban. Dengan segala homogenitasnya, nilai perasaan selalu mendominasi cara berpikir mereka, akibatnya mereka kurang berani mengungkapkan hal-hal yang dianggap tabu dan tidak sopan menurut ukuran mereka.
b. Masyarakat Perkotaan (Urban Community) Dilihat dari segi fisik, kota merupakan suatu pemukiman yang mempunyai bangunan-bangunan perumahan yang jaraknya relatif rapat dan yang mempunyai sarana dan prasarana serta fasilitas-fasilitas yang memadai guna memenuhi kehidupannya. Grunfeld (Menno dan Alwi, 1992:24) merumuskan pengertian kota sebagai berikut: Suatu pemukiman dengan kepadatan penduduk yang lebih besar daripada kepadatan wilayah nasional, dengan struktur mata pencaharian non-agraris
34
dan tataguna tanah yang beraneka ragam serta dengan gedung-gedung yang berdiri berdekatan. Mansyur (tanpa tahun:107) merumuskan pengertian masyarakat kota sebagai “masyarakat yang anggota-anggotanya terdiri dari manusia yang bermacam-macam lapisan/tingkatan hidup, pendidikan, kebudayaan dan lain-lain serta mayoritas penduduknya mempunyai lapangan usaha di bidang non-agraris”. Pendapat tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Soekanto (2004:156157) yang merumuskan masyarakat kota dengan karakteristik-karakteristik sebagai berikut : 1) Kehidupan keagamaan yang kurang bila dibandingkan dengan kehidupan beragama di desa. 2) Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. 3) Pembagian kerja diantara warga kota jauh lebih tegas dan punya batas kota. 4) Peluang untuk mendapatkan pekerjaan lebih luas. 5) Jalan pikiran rasional pada umumnya dianut oleh masyarakat perkotaan, menyebabkan interaksi-interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi. 6) Efisiensi dan efektivitas waktu sangat diperhatikan. 7) Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata.
Sistem kehidupan masyarakat kota mempunyai corak-corak kehidupan tertentu yang jauh berbeda apabila dibandingkan dengan masyarakat di desa. Sifat-sifat yang tampak menonjol pada masyarakat kota adalah: 1) Sikap hidupnya cenderung pada individualisme/egoisme. 2) Tingkah lakunya bergerak maju mempunyai sifat kreatif, radikal dan dinamis. 3) Perwatakannya cenderung pada sifat materialistis. 4) Pandangan hidupnya menjurus pada meterialistis. Masyarakat kota cenderung mementingkan diri pribadi, memungkinkan mereka mengabaikan faktor-faktor sosial dalam lingkungan masyarakatnya.
35
5) Nilai-nilai religi cenderung berkurang karena aktivitas dan pikiran terlalu disibukkan oleh hal-hal yang menjurus kepada usaha keduniawian (Mansyur, tanpa tahun:107).
C. Tinjauan tentang Hukum Islam 1. Pengertian Hukum Islam Pokok-pokok ajaran Islam pada intinya terdiri dari aqidah, akhlak dan syariat. Aqidah adalah keimanan atau keyakinan seorang muslim menurut ajaran agamanya. Akhlak merupakan budi pekerti atau perilaku yang ditampilkan oleh setiap muslim dalam kehidupan sehari-hari dan syariat merupakan semua perintah Allah berserta penjelasan Rasul-Nya yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dan antara manusia dengan sesamanya. Berkaitan
dengan
pengertian
hukum
Islam,
Djamali
(1992:100)
mengatakan bahwa “hukum Islam berarti keseluruhan ketentuan perintah Allah yang wajib diturut (ditaati)”. Pengertian ini sejalan dengan Salman (1993:31) yang memandang bahwa “hukum Islam mengatur mengenai masalah hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam”. Sedangkan menurut ulama ushul fiqih (Santoso, 2001:46), “hukum Islam adalah firman Allah atau sabda Nabi Muhammad SAW yang mengandung tuntutan (perintah, larangan, pembolehan) atas perbuatan orang mukallaf atau yang menjadikan suatu hal tertentu sebagai sebab atau syarat atau penghalang dari tuntutan tersebut”. Adapun prinsip-prinsip kaidah Hukum Islam menurut Ahmad Waim Darwis (2005; 164) adalah:
36
a. meniadakan kepicikan rohani dan kedangkalan makna setiap perbuatan yang baik, b. menghindarkan hal-hal yang bersifat memberatkan beban kewajiban di luar kemampuan manusia, c. setiap menentukan sesuatu kaidah tidaklah ditetapkan sekaligus melainkan tahap demi tahap dan bernagsur-angsur, d. memperhatikan kemaslahatan umat manusia, dan e. mewujudkan keadilan yang merata. Tujuan disyariatkannya Hukum Islam menurut Ahmad Wasim Darwis (2005: 164) adalah untuk: a. memelihara aktivitas dan amalan keagamaan baik kewajiban yang bersifat primer (ibadah mahdhoh) maupun sekunder (ibadah tambahan), b. memelihara jiwa agar tetap dalam kondisi normal dengan juga pemenuhan kebutuhan jasmani yang primer, c. memelihara akal dan mencegah perbuatan yang termasuk kesehatan akan, d. memelihara keturunan dengan melakukan hidup berkeluarga (berpasangan dan mengjindari perbuatan berzina, dan e. memelihara harta dengan cara memperolehnya secara dan dengan jalan halal, sebaiknya menolak harta yang tak halal (haram) serta memanfaatkannya secara baik pula.
37
2. Sumber Hukum Islam Di dalam konteks hukum Islam, sumber-sumber hukum dikenal dengan nama dalil. Khallaf (1994:17) memberikan mengidentifikasi dua pengertian dalil, yaitu secara etimologi dan terminologi. Secara etimologi, dalil adalah pedoman bagi apa saja yang khissi (material) dan ma’nawi (spiritual), yang baik maupun yang jelek. Sedangkan secara terminologi, dalil diartikan sebagai sesuatu yang dijadikan dalil menurut perundangan yang benar atas hukum syara’ mengenai perbuatan manusia secara pasti/qath’i atau dugaan/zhonni. Sumber-sumber (dalil) hukum Islam yang dijadikan pedoman dalam menyelesaikan suatu permasalahan secara berurutan (Hanafie, 1970; Khallaf, 1994) adalah sebagai berikut: a. Al-Quran, yaitu kalam Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah SAW melalui perantaran Malaikat Jibril dengan lapadz bahasa Arab dengan makna yang benar supaya menjadi Rasul SAW dalam pengakuannya sebagai Rasulullah serta dijadikan pedoman hidup manusia dan menjadi amal ibadah dengan membacanya. Al-Quran merupakan sumber hukum Islam yang pertama atau yang pokok. b. As-Sunnah/Al-Hadits, yaitu hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu berupa ucapan, perbuatan atau penetapan (taqrir). Fungsi As-Sunnah/AlHadits adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang berisi ketentuan yang masih
dalam
garis
besar,
menguraikan
kejanggalan-kejanggalannya,
membatasi keumumannya dan memperkuat serta melengkapi hal yang belum disebutkan dalam Al-Quran.
38
c. Ijma’, yaitu kesepakatan atau kebulatan pendapat fuqaha mujtahidin diantara umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah SAW wafat atas hukum syara mengenai suatu kejadian/kasus. Ijma’ merupakan sumber hukum yang kuat dalam menetapkan hukum-hukum Islam dan menduduki tingkatan ketiga dalam urutan sumber hukum Islam setelah Al-Quran dan As-Sunnah/AlHadits.. d.
Qiyas, yaitu menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya. Selain empat hal di atas, di dalam hukum Islam dikenal juga sumber
hukum lainnya, akan tetapi masih diperdebatkan kebenarannya (Hanafie, 1970; Khallaf, 1994), yaitu sebagai berikut: a. Istishhab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut. b. Istihsan, yaitu mengecualikan hukum
suatu hal/peristiwa yang bersandar
kepada dalil syara’ menuju kepada hukum lain yang bersandar kepada dalil syara’ pula, karena ada sesuatu dalil syara’ yang lebih kuat yang mengharuskan pengecualian tersebut. c. Mashlahah Mursalah, yaitu kebaikan (mashlahah) yang tidak diatur oleh syara’ untuk mengerjakannya atau meninggalkannya, sedangkan apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari keburukan.
39
d. ‘Urf, yaitu sesuatu yang biasa dilaksanakan manusia, baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Dengan kata lain ‘urf adalah adat kebiasaan. Sejak dahulu ‘urf mempunyai fungsi sebagai hakim dalam kehidupan manusia. Hukumhukum yang diterapkan berdasarkan ‘urf dapat berubah menurut perubahan ‘urfnya. e. Syari’at umat sebelum kita. Sumber ini di bagi dua, pertama, syari’at yang telah dihapus oleh syari’at kita, bagian ini tidak lagi dilaksanakan oleh kita. Kedua, yang tidak ditetapkan syari’at kita. Syari’at yang berlaku pada umat sebelum kita hanya dihapuskan apabila berlawanan dengan syari’at kita (AlQuran). f. Pendapat sahabat. Sumber ini tidak menjadi hujjah atas sahabat lainnya. Pendapat sahabat tidak menjadi hujjah bagi para tabi’in dan orang-orang sesudah mereka, karena Allah SWT tidak mengharuskan mengikutinya. Allah hanya memerintahkan untuk mengikuti Al-Quran dan Sunnah Rasul.
3. Lapangan Hukum Islam Untuk memudahkan seorang muslim dalam memahami dan melaksanakan hukum Islam, maka para ahli telah menyusun hukum Islam dalam suatu sistem yang praktis dan mudah dipelajari. Ash Shiddieqy (1980: 43-44) membagi permasalahan hukum Islam dalam garis besarnya ke dalam dua bagian, yaitu: a. Ibadat, yaitu segala persoalan yang berkaitan dengan urusan akhirat. Atau dengan kata lain segala perbuatan yang dikerjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Segala yang dikerjakan dalam
40
bidang ini bersifat ta’abbudi, seperti shalat, shiyam/puasa, zakat dan haji. b. Muamalat, yaitu segala persoalan yang berkaitan dengan urusanurusan dunia dan undang-undang. Muamalat dibagi ke dalam tiga bagian yaitu: 1) ‘Uqubat yang meliputi pembahasan tentang tentang perbuatan-perbuatan pidana, seperti membunuh, mencuri, minum arak serta meliputi hukum-hukum siksa, seperti qisas, had dan diyat; 2) Munakahat (ahwal syakhshiyah) yang meliputi masalah perkawinan, perceraian dan hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti ‘idah, nafkah dan hadlanah (hak asuh); 3) Muamalat yang meliputi soal-soal harta, seperti jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, gadai dan sebagainya. Lebih lanjut, secara terpirinci Ash Shiddieqy (1980: 46-47) membagi lapangan hukum Islam ke dalam delapan bagian, yaitu: a. Sekumpulan hukum yang digolongkan ke dalam golongan ibadat, yaitu shalat, shiyam, zakat, haji, jihad dan nadzar. b. Sekumpulan hukum yang berkaitan dengan kekeluargaan atau ahwal syakhsyiah, yaitu perkawinan, thalaq, nafakah, wasiat dan pusaka. c. Sekumpulan hukum mengenai mu’amalat madaniyah, seperti hukumhukum jual beli, sewa-menyewa, hutang piutang, gadai, syuf’ah, hawalah, kafalah, mudlarabah, memenuhi ‘aqad dan menunaikan amanat. d. Sekumpulan hukum mengenai harta negara, yaitu kekayaan yang menjadi urusan baitulmal, penghasilannya, macam-macam harta yang disimpan di baitulmal dan tempat-tempat pembelanjaannya. e. Sekumpulan hukum yang dinamai ‘qubat, yaitu hukum-hukum yang disyari’atkan untuk memelihara jiwa, kehormatan dan akal manusia seperti hukum qisas, had dan ta’zier. f. Sekumpulan hukum mengenai hukum acara, yaitu hukum-hukum mengenai penggugatan, peradilan, pembuktian dan saksi. g. Sekumpulan hukum yang sekarang dimasukkan ke dalam bidang hukum tata negara, seperti syarat-syarat menjadi kepala negara, hakhak penguasa, hak-hak rakyat dan permusyawaratan. h. Sekumpulan hukum yang sekarang dinamai dengan nama hukum internasional, yaitu hukum-hukum perang, tawanan, rampasan perang, perdamaian, perjanjian, jizyah, cara-cara menggauli ahluz zimmah dan lain-lain.
Djamali (1992:70-71) menyatakan ada enam golongan pokok sistem hukum Islam, yaitu :
41
a. Lapangan ibadah (shalat, puasa, zakat dan ibadah haji). b. Lapangan muamalat (jual beli, sewa-menyewa, utang-piutang, pinjam meminjam dan sebagainya). c. Lapangan munakahat (perkawinan dan akibat-akibatnya serta warisan). d. Lapangan jinayat (tindak pelanggaran terhadap hukum Islam sebagai tindak pidana). e. Lapangan Al-Khilafah (mengatur tentang kehidupan bernegara, hubungan antara pemeluk agama dan sebagainya).
Ibnu Abidin (Hanafie, 1970:37) menyebutkan bahwa lapangan hukum Islam hanya meliputi tiga hal, yaitu: a. Ibadah, meliputi lima perkara yaitu shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. b. Muamalat, meliputi empat perkara yaitu transaksi kebendaan, perkawinan dan hal-hal yang berhubungan dengan itu, persengketaan dan pembagian warisan. c. Hukuman, meliputi hukuman qisas dan hukuman keluar dari Islam (murtad). Ulama-ulama Syafi’iah (Hanafie, 1970:37) membagi lapangan hukum Islam ke dalam empat bagian, yaitu ibadah, muamalah, perkawinan dan hal-hal yang berhubungan dengan itu serta hukuman (uqubat). Keempat bagian tersebut disederhanakan menjadi dua bagian, yaitu urusan akhirat (ibadah) dan urusan duniawi (muamalat, perkawinan dan hukuman). Pada masa sekarang, lapangan hukum Islam mengalami perkembangan. Hanafie (1970: 38-52) membagi lapangan hukum Islam pada saat ini ke dalam enam bagian, yaitu:
42
a. Ibadah meliputi thaharah, shalat, zakat, haji, jihad, sumpah, nazar, qurban, berburu, penyembelihan, aqiqah, makanan dan minuman. b. Hukum keluarga meliputi pernikahan, mawaris, wasiat dan wakaf. c. Hukum privat meliputi hukum perdata (bentuk-bentuk perikatan), hukum dagang, hukum acara perdata (peradilan, gugatan dan persaksian). d.
Hukum pidana meliputi hudud, qisas, diyat dan ta’zir.
e. Siasah sariyyah meliputi hubungan antara negara dan pemerintah dengan warga negaranya. f. Hukum internasional meliputi hukum perdata internasional dan hukum publik internasional. Dari pendapat-pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa meskipun terjadi perbedaan dalam hal pembagian lapangan hukum Islam, akan tetapi pada dasarnya para ahli membagi lapangan hukum Islam pada dua aspek yaitu ibadah dan muamalat.
D. Tinjauan Tentang Pengelolaan 1. Pengertian Pengelolaan Istilah pengelolaan merupakan pengertian dari istilah Management (Inggris), Istilah ini berasal dari bahasa Latin, Perancis dan Italia. Istilah itu sebagai berikut: manus, mano, manage/menege, meneggiare. Meneggiare berati melatih kuda agar kaki kuda dapat melangkah dan menari seperti dikehendaki pelatihnya.
43
Oliver Sheldon dalam “Encyclopedia of the Social Stiences” memberi batasan sebagai berikut: “Management may be defined as the process by which the execution og a given purpose is put into operation and supervised”. (Edwin R.A. Seligman, 1957: 76) Pengertian diatas lebih menekankan pada bagaimana pelaksanaan tujuan itu dapat dilaksanakan dan dibina. Di dalam encyclopedia itu pula C. Canby Balderton memberi batasan sebagai berikut: “Management is stimulating, organizing, and directing of human effort to utilize effectivelly materials and facilities to attain an objective”. (Edwin R.A. Seligman, 1957: 76) Batasan ini lebih menekankan pada fungsi-fungsi manajemen melalui perangsangan, pengorganisasian dan pengarahan usaha manusia dalam rangka pemenfaatan fasilitas secara efektif untuk mencapai tujuan. Menurut Oteng Sutisna (1983) kata pengelolaan berasal dari kata manajemen, sedangkan istilah manajemen sama artinya dengan administrasi. Lebih lanjut Moh. Rifai (1982; 25) menjelaskan pengertian administrasi sebagai berikut: Administrasi ialah keseluruhan proses yang mempergunakan dan mengikutsertakan semua sumber potensi yang tersedia dan yang sesuai, baik personal maupun material, dalam usaha untuk mencapai bersama suatu tujuan secara efektif dan efisien. Sementara itu P. siagian (1983) mendefinisikan pengertian adaministrasi sebagai keseluruhan prose kerjasama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
44
Berdasarkan pengertian administrasi yang telah dijelaskan di atas pengertian administrasi mengandung makna adanya (1) tujuan yang mesti dapat direalisasikan guna kepentingan lembaga, individu, atau pun kelompok, (2) keterlibatab personil, material dan juga finansial dalam posisinya yang saling mendukung satu sama alin saling memerlukan dan juga saling melengkapi, (3) proses yang terus menerus dan berkesinambungan yang dimulai dari hal yang kecil dan sederhana samapai kepada hal besar dan rumit, (4) pengawasan atau kontrol guna keteraturan, keseimbangan dan keselarasan, (5) tepat guna dan berhasil guna supaya tidak terjadi penghambur-hamburan waktu, tenaga, biaya dan juga fasilitas agar dapat mencapai keberhasilan dan produktivitas yang cukup memedai, (6) hubungan manusiawi yang menempatkan manusia sebagai unsur utama dan terhormat serta memiliki kepentingan di dalamnya.
2. Fungsi dan Prinsip Pengelolaan Fungsi dan prisnsip pengelolaan adalah tugas-tugas yang mesti dilaksanakan oleh individu atau pun kelompok dengan urutan sebagai berikut: a. Membuat Putusan Oteng Sutisna (1983:149) mengemukakan bahwa “Suatu putusan sebenarnya proses memilih tindakan tertentu antara sejumlah tindakan alternatif yang mungkin”. Pembuatan putusan merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan-tujuan dari unit yang menjadi tanggung jawabnya. Urutan langkah-langkah pembuatan putusan adalah sebagai berikut: 1) menentukan masalah,
45
2) menganalisa sutuasi yang ada, 3) mengembangkan alternatif-alternatif kemungkinan, 4) menganalisa alternatif-alternatif kemungkinan, 5) memilih alternatif yang paling mungkin. b. Merencanakan Merencanakan adalah kegiatan persiapan untuk mengantisipasi tindakan-tindakan apa yang akan dilaksanakan. Perencanaan juga dapat merumuskan tujuan-tujuan dan teknik-teknik untuk dapat mewujudkan tujuan tersebut (Djam’an Satori dan Ruswandi Hermawan, 2005: 4). Dalam merumuskan perencanaan, menurut Dudung A. Dasuqi dan Setyo somantri (1994), mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1) kegiatan yang berkesinambungan dan terus menerus serta bertahap yang berpedoman pada tujuan yang akan berusaha untuk dicapai, 2) kegiatan yang dipersiapkan tersebut dapat bersifat tunggal ataupun bersifat banyak dan saling endukung satu sama lain, 3) merumuskan tindakan yang akan dilakukan, 4) unsur ketidakpastian sebagai akibat dari tidak semua hambatan yang terjadi di masa yang akan datang dapat diperhitungkan, 5) masa yang akan datang tidak dapat diramalkan secara tepat dan pasti, 6) optimalisasi perhitungan kemungkinan-kemunginan yang akan terjadi untuk menjaga dan mengurangi kegagalan seminimal mungkin. Dengan adanya unsur-unsur di atas, maka suata rencana sebaiknya memiliki sifat-sifat (1) dapat diterima oleh semua pihak dengan memiliki
46
unsur rasional dan dapat disetujui oleh kepentingan bersama, (2) fleksibel untuk mengantisipassi kemungkinan diperhitungkan
dalam
proses
yang terjadi yang tidak dapat
merumuskan
perencanaan,
(3)
ilmiah
berdasarkan perhitungan kebutuhan dan informasi yang diperoleh dan tentunya informasi tersebut sifatnya akurat. c. Mengorganisasikan Menurut Oteng Sutisna (1983) makna dari arti mengorganisasikan adalah sebagai kegaiatan dalam menyusun struktur dan membentuk hubunganhubungan agar diperoleh kesesuaian dalam usaha untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Sedangkan menurut Djam’an Satori dan Ruswandi Hermawan (2005: 5) “Pengorganisasian merupakan suatu gerak langkah menuju ke arah pelaksanaan rencana yang telah disusun sebelumnya”. d. Mengkomunikasikan Mengkomunikasikan berarti menyalurkan informasi, ide, penjelasan, persaan, pertanyaan dadri orang yang satu kepada orang yang lain atau dari kelompok yang satu kepada kelompok yang lain. e. Mengkoordinasikan Menurut Oteng Sutisna (1983) mengkoordinasikan adalah serangkaian kegiatan untuk mempersatukan sumbangan dan saran dari para anggota organisasi, bahan dan sumber-sumber lain yang terdapat dalam organisasi itu ke arah pencapaian tujuan-tujuan yang telah disepakati bersama. Unsur-unsur koordinasi yang diihtisarkan oleh Dudung A. Dasuqi dan Setyo Somantri (1994) dengan urutan sebagai berikut: (1) adanya koordinator
47
yang cukup berwibawa untuk dapat memfungsikan tiap bagian atau orangorang, memiliki kemampuan untuk membawa dan menggunakan sumbangan dari unit atau orang tersebut guna mewujudkan tujuan yang telah diketahuinya, (2) adanya unit atau orang yang telah dikoordinasikan, (3) adanya pengertian untuk saling timbal balik sari seorang koordinator dan yang dikoordinir untuk saling menghargai dan saling bekerja sama. f. Mengawasi Pengertian pengawasan yang dikemukakan oleh Oteng Sutisna (1983) “adalah sebagai suatu proses fungsi dan prinsip administrasi untuk melihat apa yang terjadi sesuai dengan apa yang semestinya terjadi”. Apabila tidak sesuai dengan semestinya maka perlu adanya penyesuaian yang mesti dilakukan. Dengan kata lain fungsi administratif untuk memastikan bahwa apa yang dikerjakan sesuai dengan rencana yang telah dibuat sebelumnya. Terdapat dua hal yang mendorong adanya pengawasan yaitu (1) tujuan-tujuan individu atau kelompok kadang-kadang bertentangan dengan tujuan umum, (2) adanya jangka waktu antara saat tujuan dirumuskan dan pada saat
tujuan
diwujudkan
dalam
hal
ini
dimungkinkan
adnya
penyimpangan yang perlu diluruskan (Dudung A. dasuqi dan setyo Somantri, 1994). Selanjutnya Oteng Sutisna (1983) mengemukakan bahwa tindakan pengwasan tersebut terdiri dari tiga langkah umum antara lain (1) mengukur perbuatan atau menyelidiki apa yang sedang dilakukan, (2) membandingkan perbuatan dengan
standar yang telah ditetapkan dan menetapkan
48
perbedaannya jika terdapat perbedaan, (3) memperbaiki penyimpangan dengan tindakan pembetulan atau tindakan perbaikan. g. Menilai Oteng Sutisna (1983) mengartikan “penilaian sebagai seperangkat kegiatan yang dapat menentukan baik tidaknya prgram-program atau kegiatankegiatan organisasi yang sedang dijalankan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Kegunaan dan maksud dari penilaianyang disampaikan oleh Oteng Sutisna (1983) adalah (1) untuk memperoleh dasar bagi keperluan pertimbangan akhir suatu periode kerja, (2) untuk mendukung dan menjamin cara bekerja yang efektif dan efisien, (3) untuk memperoleh fakta-fakta tentang kesukaran-kesukaran dan untuk menghindarkan situasi yang dapat merusak, dan (4) untuk memajukan kesanggupan pengembangan orgaisasi. Menurut
JF.
Tahalele
dan
Soekarto
Indrafachrudin
(1975:
36)
menyebutkan bahwa fungsi-fungsi managemen atau pengelolaan antara lain: a. Perencanaan (planning); b. Pelaksanaan (execution); dan c. Penilaian (evaluation). Dilihat dari sudut perkembangan administrasi sebagai ilmu, maka klasifikasi fungsi-fungsi manajmen ternyata berkembang sesuai dengan latar belakang kondisi masyarakat dengan pandangan hidupnya, serta alam pikiran dari seorang teoritikus.
49
E. Tinjauan Tentang Hukum Wakaf Islam 1. Pengertian Wakaf Secara etimologis kata wakaf berasal dari bahasa Arab waqf (kata benda), artinya ’perhentian’ atau dari waqofa (kata kerja) artinya ‘berhenti’, atau berdiam di tempat’ atau ‘menahan sesuatu’. Menurut Hans Wehr dalam A Dictionary of Modern Written Arabic, Arabic-English, asal mula waqaf dari akar kata waqafa, yaqifu, wuquf artinya yaitu to come to a standstill, come to a stop; sedangkan arti waqf adalah stopping, halting, discontinuation. Dalam bentuk jamak dari waqf (mufrad atau tunggal) menjadi auqaf, artinya religious endowment (sokongan/sumbangan yang bersifat keagamaan). Dalam pengertian istilah, terdapat beberapa pendapat ulama; Imam Abu Hanifah mendefinisikan ”Menahan suatu benda yang kepemilikannya tetap dimiliki oleh si pewakaf, akan tetapi manfaatnya disedekahkan untuk kepentingan umum”, sedangkan Imam Muhammad dan Abu Yusuf yang juga ulama Hanafiyyah menyatakan seperti apa yang didefinisikan oleh gurunya tanpa menyebutkan “untuk kepentingan umum”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, wakaf adalah: (a) sesuatu berupa benda yang diperuntukkan bagi kepentingan yang berhubungan dengan agama, (b) tanah wakaf adalah tanah yang disediakan untuk beribadah seperti masjid, musholla, madrasah atau sekolah agama dan sebagainya, (c) Berwakaf artinya memberi wakaf, (d) Mewakafkan artinya memperuntukkan sesuatu bagi umum atau untuk keperluan yang berkaitan dengan agama, dan (e) Wakaf
50
bisa berarti suatu lembaga atau badan yang dibentuk yang berkaitan dengan Agama Islam. Selanjutnya dalam Ensiklopedi Islam Ringkas (Nasrun Haroen, 1997:1905) dikatakan bahwa “Waqf adalah suatu pemberian harta kekayaan dengan sukarela, atau suatu pemberian yang berlaku abadi, untuk kepentingan pemerintahan Islam, kepentingan keagamaan atau kepentingan umum”. Pemberian ini biasanya tidak dapat ditarik kembali oleh pihak pemberi wakaf. Ciri khusus pemberian bentuk ini adalah untuk selama-lamaya. Menurut Kusumah Atmadja (1922) definisi wakaf atau pengertian wakaf adalah: Suatu perbuatan hukum, dengan perbuatan mana suatu barang telah dikeluarkan dari pemiliknya atau dari masyarakat yang menguasainya semula, dan digunakan untuk kepentingan seseorang atau orang-orang tertentu sedang maksud dan tujuan perwakafan barang tersebut sudah berada dalam tangan si mati”. (maksudnya meskipun orang yang memberikan wakaf tersebut telah meninggal dunia, tetapi nilai kemanfaatannya masih tetap berlangsung). Redaksi yang berbeda disampaikan oleh Ibu Hajar Al ‘Asqalani (1996: 540) yang mengartikan wakaf: Menahan sejumlah harta yang dapat dimanfaatkan dan materinya tetap utuh, yakni pemiliknya tidak menggunakannya lagi dengan tujuan untuk disalurkan untuk kepentingan yang diperbolehkan (bukan untuk hal yang maksiat). Sedangkan menurut Rachmat Djatnika (1982) seorang Doktor di Paris mengemukakan bahwa: Wakaf adalah menahan harta yang mempunyai daya tahan lama ditarik dari peredaran transaksi, dengan tidak memperjualbelikannya, mewariskannya dan tidak menghibahkannya, tetapi mensedekahkan manfaat wakaf itu untuk kepentingan umum; dengan demikian benda
51
yang telah diwakafkan itu menjadi milik Allah dan bukan lagi milik si wakif atau pemberi wakaf.
Pendapat ini diperkuat oleh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi (Farid Wadjdy dan Mursyid, 2007: 30) mengartikan wakaf sebagai “penahanan harta sehingga harta tersebut tidak bisa diwarisi, atau dijual, atau dihibahkan, dan mendermakan hasilnya kepada penerima wakaf”. Perbedaan penafsiran para ulama yang berlainan mazhab mengenai wakaf dijelaskan oleh Hasan Abdullah Amin (1989) sebagai berikut: a. ulama malikiyyah mendefinisikan wakaf sebagaimana definisi yang diungkapkan oleh ulama hanafiyyah yaitu “tidak lepasnya kepemilikan bagi si pewakaf, akan tetapi memberikan hak kepada pihak penerima wakaf untuk menjual objek wakaf tersebut dengan dua syarat”; pertama, dipersyaratkan diawal hak tersebut kepada penerima wakaf; kedua, ada alasan yang mendesak untuk melakukan hal tersebut. Demikian Ad Dardiir menjelaskan dalam Syarh Al Kabiir. b. ulama syafi'iyyah menyebutkan “wakaf menahan harta yang dapat dimanfaatkan dengan tetap menjaga keutuhan barangnya, terlepas dari campur tangan wakif atau lainnya, dan hasilnya disalurkan untuk kebaikan semata-mata, untuk taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala” demikian Imam Syafi'i. c. Ulama Hanabilah mendefinisikan wakaf adalah “menahan asal dan mengalirkan hasilnya”. Demikian pula Ibnu Qudamah dalam Al Mughni. Definisi ini dianggap paling umum dan menjadi definisi pilihan karena Pertama: bahwa definisi ini adalah penukilan dari hadits Nabi SAW kepada Umar bin Khathab RA, “menahan yang asal dan mengalirkan hasilnya”, Dan Nabi SAW adalah orang yang paling fasih lisannya dan yang paling sempurna penjelasannya serta yang paling mengerti akan sabdanya. Kedua: definisi ini tidak dipertentangkan seperti definisi yang lainnya. Ketiga: bahwa definisi ini hanya membatasi pada hakikat wakaf saja, dan tidak mengandung perincian lain yang dapat mencakup definisi yang lain, seperti mensyaratkan niat mendekatkan diri kepada Allah, atau tetapnya kepemilikan wâqif atau keluar dari kepemilikannya dan perincian-perincian yang lainnya, tetapi menyerahkan perincian itu dalam pembicaraan rukun–rukun dan syarat– syaratnya. Karena masuk dalam perincian terkadang
52
menyimpangkan definisi dari dilalahnya (maksud dan tujuan) dan menjauhi dari sasarannya. (Kubaisy, 1977)
Perbedaan pendapat ulama mengenai tabiat objek wakaf adalah karena perbedaan titik pandang mereka tentang kepemilikan objek wakaf tersebut sehingga hal tersebut mempengaruhi definisi yang mereka buat. Ulama Hanafiyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa kepemilikan objek wakaf tidak berpindah dari si wakif kepada pihak penerima wakaf (atau penerima amanah wakaf) sehingga dimungkinkan menurut pendapat mereka pencabutan atau penarikan kembali objek wakaf oleh si pewakaf dan ahli warisnya, maka wakaf tidak beda dengan hibah manfaat atau sedekah. Sedangkan ulama Syafiiyyah dan ulama Hanabilah berpendapat bahwa kepemilikan objek wakaf lepas dari si pewakaf dan berpindah menjadi milik pengguna wakaf tersebut, dan dalam satu riwayat kepemilikan menjadi kepemilikan Allah SWT.
2. Sejarah Wakaf Machmudi Muhson (2001) membagi sejarah wakaf dalam beberapa golongan masyarakat sebagai berikut: a. Wakaf dalam masyarakat non muslim pra islam Sejarah mencatat bahwa wakaf mengorbit sejalan dengan keberadaan manusia. Karena umat manusia sebelum islam telah menyembah Tuhan yang mereka yakini, maka hal ini mendorong mereka untuk membangun tempat khusus untuk peribadatan yang dibangun diatas sebidang tanah dan sekaligus hasil bumi yang dihasilkannya diberikan
53
kepada orang yang mengurusi tempat ibadah tersebut. Bentuk ini merupakan contoh wakaf atau yang menyerupainya. Peradaban Babylonia telah mengenal cara tersebut. Para raja pada waktu itu menghibahkan manfaat hasil bumi kepada para yatim, orang janda dengan tanpa perpindahan hak kepemilikan kepada mereka. Begitu juga halnya yang terjadi di Mesir kuno dan Romawi. Pada waktu itu wakaf tidak hanya terbatas untuk tempat peribadatan saja, bahkan lebih dari itu wakaf sudah masuk pada bidang pemikiran dan tsaqofah seperti yang ada pada madrasah Plato yang berlangsung selama enam abad. b. Wakaf dalam masyarakat Barat Modern. Peranan Inggris dan Perancis dalam wakaf memang diakui yaitu dengan dibuatnya undang-undang batasan wakaf terutama yang bersangkutan dengan masalah gereja, biara dan tempat peribadatan lainnya. Setelah Imperium Romawi barat dan peradabannya runtuh, maka satu-satunya bentuk wakaf yang berada di Eropa adalah gereja. Dan pada abad ke-13, barulah muncul wakaf-wakaf dalam bidang sosial (khoiriyah) yang berkembang di Eropa tengah (Jerman). Adapun isyarat pertama yang menunjukkan adanya perhatian Barat dalam usaha pengundang-undangan masalah wakaf dapat dilihat pada undang-undang Inggris (Setiap perbuatan yang dilakukan seseorang atau kelompok masyarakat yang bertujuan untuk pelayanan umum). Kemudian undang-undang tersebut dikenal dengan nama Foundation
54
(Muassasah ghoir Hukumiyah) yang bertujuan untuk kemashlahatan umum dan bukan untuk mengeruk keuntungan. Kemudian Foundation ini berkembang di Amerika Utara dan menjadi dua bentuk: Public Foundation (Muassasah ‘Ammah) dan Private Foundation (Muassasah Khoshshoh). Ada beberapa pandangan dan analisa tentang motif munculnya institusi wakaf di Barat khususnya Amerika pada era sekarang ini: 1) Dari segi tujuan a) Tujuan umum: dijumpai foundation untuk umum seperti pelayanan untuk masyarakat dan kesejahteraan umum. b) Tujuan khusus: seperti pelayanan khusus pendidikan, kesehatan, penelitian dan riset ilmiyah. 2) Dari sisi pendiri foundation tersebut seperti wakaf syarikah, wakaf individu dan wakaf untuk minoritas agama. Sebagai contoh adalah berdirinya Badan wakaf Islam untuk Amerika utara (North American Islamic Trust) yang didirikan pada tahun 1971. c. Wakaf dalam sejarah Islam. Ajakan Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang menyerukan infak mendapatkan perhatian khusus dari para sahabat nabi yaitu dengan adanya tasabuq fi al-khoirat seperti yang telah dikatakan oleh Jabir. Hal ini membuktikan akan kuatnya iman mereka dan sekaligus menunjukkan pancaran kepribadian mereka dalam kehidupan.
55
Lalu siapakah orang yang pertama kali melaksanakan wakaf dalam Islam? Ada perbedaan pendapat dalam hal ini: 1) Abu Tholhah yang mewakafkan tembok Birha`. 2) Umar bin al-Khoththob yang mewakafkan tanah yang ada di Khoibar. 3) Seorang Yahudi yang masuk islam yang mewakafkan tanah Muhairiq. 4) Tembok kaum bani Najjar yang dibuat masjid oleh rasul, kemudian mereka tidak menginginkan ganti rugi. Dari perbedaan ini paling tidak menunjukkan bahwa antusias para sahabat dalam melaksanakan wakaf pada masa kehidupan Rasulullah SAW. baik wakaf ahly (bersifat kekerabatan) maupun khoiry (sosial) sangat besar sekali. Meskipun pada waktu itu belum muncul istilah wakaf melainkan shodaqoh. Setelah periode sahabat, gerakan wakaf masih tetap berlangsung, terlebih dengan adanya banyak pembebasan (futuhat) terhadap kawasankawasan seperti Mesir, Syam dan lain-lain. Disamping itu juga sejarah wakaf Islam bisa kita klasifikasikan menjadi beberapa periode: 1) Periode tiga abad pertama. Pada periode ini kita dapat menelusuri sejarah fiqh wakaf dalam buku-buku induk dalam setiap madzhab, seperti al-Umm dalam madzhab Syafi’i, Muwaththo’ dan Mudawwanah dalam madzhab Maliki, al-Mabshuth dalam madzhab Hanafi dan Masail Imam Ahmad dalam madzhab Hambali.
56
Pada periode ini kita temukan perbedaan pendapat dalam masalah wakaf terutama pada masalah al-jawaz (bolehnya menarik kembali status barang wakafan) atau luzum (tidak bolehnya menarik kembali status barang wakafan), persyaratan hilangnya kepemilikan waqif (milkiyyat al-mauquf ) atas barang yang diwakafkan (mauquf). 1) Periode pertengahan. Pada periode ini dapat kita temukan buku–buku fiqh semisal Mughni karya Ibnu Qudamah (w. 630), al-Hawi al-Kabir karya alMawardi (w. 450), Fath al-Qodir karya Kamal bin Hammam (w. 861). Adapun permasalahan yang dibahas pada periode ini adalah seputar perincian dalam pendefinisian wakaf yang masing-masing dipengaruhi oleh syarat imam masing-masing madzhab, perincian syarat nadzir dan sebagainya. 2) Periode mutakhir. Pada periode ini kita bisa merujuk kepada kitab-kitab semisal antara lain al-Inshof karya Mardawi (w. 885), Hasiyah Bujairami ‘ala al-Minhaj, Mawahib al-jalil, Hasiyah Dasuqi karya Syamsuddin alSyekh Muhammad ‘Arofah al-Dasuqi (w.1230). Adapun permasalahan yang muncul pada periode ini adalah antara lain bentuk-bentuk sighot wakaf baik yang shorih maupun yang kinayah, masalah boleh tidaknya mewakafkan dinar dan lainlain.
57
3. Dasar Hukum Wakaf Sesuai dengan ketentuan Hukum Islam, bahwa sumber hukum yang pertama dan utama adalah Al-Quran, kemudian Al-Hadits atau sunnah Nabi Muhammad SAW. selanjutnya apabila belum diatur dalam Al-Quran dan AlHadits maka ditempuh cara yang disebut dengan ijtihad dan seterusnya. Secara hirarkis di bawah ini diuraikan dasar-dasar hukum wakaf. a. Dalil-dalil berdasarkan Al-Quran Istilah wakaf dalam Al-Quran disebut secara implisit karena pada prinsipnya Allah memerintahkan manusia untuk beriman dan beribadat baik yang bersifat langsung kepada Allah (mahdoh) maupun lewat perantara (ghairu mahdoh). Para ulama mengambil landasan hukum wakaf antara lain sebagai berikut: 1) Surah Al-Baqarah ayat 267, terjemahannya sebagai berikut: Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya, Maha Terpuji. 2) Surah Ali ‘Imran ayat 92, terjemahannya yaitu “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui”.
58
3) Surah Al-Hajj ayat 77, terjemahannya yaitu “Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, sujudlah, dan sembahlah Tuhan-mu, dan berbuatlah kebaikan, agar kamu beruntung”. 4) Surah Al-Hadid ayat 7, terjemahannya sebagai berikut: Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan infakkanlah (di jalan Allah) sebahagian dari hartamu yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah). Maka orangorang yang beriman di antara kamu dan menginfakkan (hartanya di jalan Allah) akan memperoleh pahala besar.
b. Dalil-dalil berdasarkan Al-Hadits Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah AlQuran. Namun, untuk mengetahui sahih atau tidaknya hadits harus terlebih dahulu dilihat siapakah perawinya. Untuk itu berikut ini beberapa hadits yang semuanya diriwayatkan oleh Imam Bukkhari dan atau Imam Muslim yang berkenaan dengan wakaf. 1) Diriwayatkan oleh kodifikator Hadits Imam Al-Bukhari dari Umar bin Khattab r.a. Ia (Umar bin Khattab) telah menghadap Rasulullah seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya saya mempunyai sebidang yanah di Khaibar yang tak pernah sebelumnya saya miliki tanah yang sebaik itu. Karenanya apakah tuan perintahkan kepada saya tentang tanah itu?’ Nabi menjawab; kalau suka, kamu boleh menahan pokoknya, sedangkan hasilnya kamu sedekahkan. Menurut riwayat Imam Bukhari disebutkan Umar menyedekahkan pokoknya dengan syarat tidak boleh diperjualbelikan dan tidak pula dihibahkan,
tetapi
hasil
Al’Asqalani, 1996: 540-541)
buahnya
disedekahkan.
(Ibnu
Hajar
59
Selanjutnya dari hadits ini telah melahirkan beberapa kaidah atau garis hukum yaitu bahwa barang yang diwakafkan tetap ditahan untuk selama-lamanya (dalam arti begitu dilepas pemiliknya dalam keadaan immobilized, tak diperbolehkan terlibat dalam peredaran transaksi dalam bentuk apapun, termasuk menjadi barang warisan). 2) Dari Usman bin ‘Affan r.a. Usman berkata bahwa “Rsulullah telah datang ke Madinah, di sana tak ada air yang baik untuk diminum kecuali sumur ruma (nama sehari-hari bagi sumur ini”. lalu Nabi berkata: “Barang siapa membeli sumur dan menjadikan timbanya bersama-sama dengan timba-timba milik kaum muslimin lainnya maka ia akan masuk sorga” (Rahmat Djatnika, 1982: 236-237). Kemudian Usman melanjutkan ucapannya: “Sayalah yang akan membeli sumur tersebut dengan harta saya sendiri”. Hadits ini melahirkan garis hukum sebagai berikut: a) seorang wakif yang telah melepaskan sebagian hartanya, masih diperkenankan untuk mengambil manfaat atau menikmati hasil kegunaan dari benda yang diwakafkan, b) menjadi dasar hukum para ahli fiqih yang melandasi ketentuan mengapa seorang wakif dapat menunjuk dirinya sebagai nadzir yang akan memeliharanya selama mungkin. 3) Riwayat Abu Hurairah dari Himpunan Hadits Imam Bukhari.
60
Abu hurairah berkata bahwa Rasulullah bersabda: Barang siapa menahan (ihtisaba) seekor kuda untuk keperluan kebaikan di jalan Allah dengan disertai iman dan mengharapkan pahalanya dari Allah, maka semua tubuh kuda itu bersama dengan kotorannya dan urinenya akan ditimbang sebagai timbangan amal kebaikan pada hari kiamat nanti. (Rahmat Djatnika, 1982; 237) Kesimpulan dari hadits di atas yaitu bahwa wakaf mempunyai tujuan dan hasil ganda. Pertama motif ilahiah dan keimanan yang bersifat tanpa pamrih. kedua motif duniawi, yaitu bahwa (kuda) tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kepentingan kehidupan sehari-hari sebagai alat transportasi dan perang.
4) Dari Annas r.a. Rasulullah memerintahkan kepada orang-orang (kebetulan dari etnis atau suku Najjar) untuk mendirikan masjid. Setelah selesai pembangunannya, kemudian Nabi menanyakan kepada para tukang dan mereka sudah selesai bekerja,’Berapa harga dinding-dinding yang telah terpasang di masjid itu?’ dengan serentak mereka menjawab “tidak, ya Rasulullah! Sesengguhnya kami tak menginginkan diganti. Garis hukum yang ditimbulkan dari hadits di atas adalah bahwasanya objek wakaf tidak mesti sebidang tanah atau bangunan, melainkan diperbolehkan mewakafkan komponen-komponen tertentu dari bangunan itu. Dari sinilah lahir ketentuan bahwa diperbolehkan mewakafkan benda bergerak. 5) Dari Abu hurairah, Hadits kodifikasi Imam Bukhari Dari Abu Hurairah, “Sesungguhnya Nabi SAW. telah bersabda, ‘Apabila seseorang meninggal dunia, terputuslah amalnya (tidak bertambah lagi kebaikan amalnya itu), kecuali tiga perkara: (1) sedekah (wakaf), (2) ilmu yang bermanfaat
61
(baik dengan jalan mengajar maupun dengan jalan karangmengarang dan sebagainya), (3) anak yang saleh yang mendoakan ibu bapanya. (Sulaiman Rasjid, 2004: 340-341) 6) Diriwayatkan oleh Turmudzi, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya atas harta benda kekayaan ada kewajiban selain zakat”. (Suparman Usman, 2001: 19). Maksud ungkapan kata ‘kewajiban selain zakat’ adalah kewajiban keagamaan yang berkaitan dengan upaya membelanjakan harta yang digunakan untuk kepentingan di jalan Allah selain zakat seperti wakaf, infak, shadaqah dan lain-lain.
4. Sifat Wakaf Machmudi Muhson (2001) memaparkan sifat wakaf sebagai berikut: wakaf menurut Abi Hanifah sifatnya adalah jaiz (tidak lazim). Atas dasar ini maka wakaf boleh ditarik kembali lagi, kecuali dalam tiga keadaan yaitu: (a) dengan adanya putusan hakim. (b) menggantungkan wakaf terhadap kematiannya dan (c) wakaf berupa masjid. Adapun menurut selain Abu Hanifah wakaf bersifat lazim dan tidak boleh di tarik kembali statusnya. Pandangan ini didasarkan pada alasan bahwa wakaf bukanlah hibah sehingga wakaf mesti dilakukan dengan ikhlas dan benda yang diwakafkan mutlak tidak dapat ditarik kembali.
5. Rukun Wakaf Untuk sahnya perbuatan wakaf, maka sebelum wakaf itu dilaksanakan haruslah terlebih dahulu dipenuhi rukun atau unsur-unsur wakaf. Oleh sebab
62
itu Sulaiman Rasjid (2004: 341-342) mengemukakan rukun wakaf sebagai berikut: a. ada yang berwakaf, syaratnya: 1) berhak berbuat kebaikan, sekalipun ia bukan Islam, 2) kehendak sendiri; tidak sah karena dipaksa. b. ada barang yang diwakafkan, syaratnya: 1) kekal zatnya, berarti bila manfaatnya diambil, zat barang itu tidak rusak, 2) kepunyaan yang mewakafkan, walaupun musya’ (bercampur dan tidak dapat dipisahkan dari yang lain). c. ada tempat berwakaf (yang berhak menerima wakaf tersebut). Kalau berwakaf kepada orang tertentu, orang yang berhak menerima hasil wakaf tersebut hendaknya orang yang berhak memiliki sesuatu. Maka tidak sah berwakaf kepada anak yang masih dalam kandungan ibunya, begitu juga kepada hamba sahaya. Berwakaf kepada umum di jalan kebaikan adalah sah, bahkan inilah yang lebih penting. d. lafaz, untuk wakaf umum tidak disyaratkan kabul. Machmudi Muhson (2001) membagi rukun wakaf sebagai berikut: a. Waqif (orang yang mewakafkan): orang merdeka, berakal, baligh, rosyid (bukan orang yang tercegah tasarrufnya) dan Syafiiyyah, Malikiyyah dan Hanafiyyah menambah dengan satu syarat yaitu ihtiyar (tidak dalam keadaan terpaksa).
63
b. Mauquf (barang yang di wakafkan). Harta benda yang bernilai (mal mutaqowwam), dapat diketahui (ma’lum ) dan milik sempurna (tidak dalam keadaan khiyar). c. Mauquf ‘Alaih (orang yang di wakafi): yaitu adakalanya orang tertentu dan adakalanya umum. d. Shighot: Ulama sepakat bahwa akad wakaf hanya membutuhkan ijab saja jika untuk wakaf yang ditujukan bagi pihak yang tidak tertentu (ghoiru mu’ayyan). Adapun wakaf yang ditujukan bagi pihak tertentu (mu’ayyan) ulama berbeda pendapat: Menurut Hanafiyyah dan Hanabilah dalam keadaan seperti itu wakaf hanya membutuhkan ijab saja. Sedangkan menurut Syafiiyyah dan Malikiyyah, mereka masih tetap mensyaratkan adanya ijab dan qobul. Adapun syarat shigot dalam wakaf adalah: Ta’bid (untuk selama-lamanya), tanjiz (tidak digantungkan kepada kejadian tertentu), ilzam (tidak ada khiyar), tidak disertai syarat yang membatalkan wakaf dan menurut Syafi’iyyah dalam qoul adharnya di tambah dengan adanya penjelasan tentang mashrof wakaf (orang yang di beri wakaf).
6. Syarat-syarat Wakaf Menurut Sulaiman Rasjid (2004: 343) beberapa syarat yang harus dipenuhi ketika melakukan wakaf yaitu: a. selama-lamanya, berarti tidak dibatasi waktu, b. tunai dan tidak ada khiyar syarat, sebab wakaf itu maksudnya adalah memindahkan milik pada waktu itu. Jika disyaratkan khiyar maka wakaf tersebut tidak sah,
64
c. hendaklah dengan jelas kepada siapa diwakafkan. Menurut Ceger (2004), syarat-syarat yang diperuntukan bagi orang yang akan berwakaf (wakif) yaitu: a. Balig b. Berakal dan pandai c. Muslim atau menganut agama samawi semenjak ia mewakafkan hartanya hingga wafat. Karena wakaf adalah merupakan harta sumbangan, maka tidak sah orang yang berwakaf itu anak kecil, gila dan dilakukan oleh walinya, sebagaimana tidak sah wakaf dari orang yang disita hartanya disebabkan ada hutang yang menghabiskan seluruh hartanya dan juga tidak sah memberikan wakaf orang yang tengah sakit parah (sakit yang mematikan). Sedangkan syarat yang diperuntukkan bagi orang yang akan menerima dan mengelola wakaf (nadzir) yaitu: penerima wakaf adalah orang-orang yang berhak memanfaatkan harta yang diwakafkan. Wakaf dari non muslim itu sah-sah saja, selama tidak untuk pihak dan bentuk yang diharamkan menurut syariat agamanya dan syariat Islam. Sebaiknya wakaf itu diprioritaskan untuk kepentingan sosial dan kebaikan, seperti sarana ibadah, pengobatan umum dan terutama sarana pendidikan generasi muslim. Harta
yang
diwakafkan
tentunya
memerlukan
orang
yang
memeliharanya, mengurus berbagai masalahnya dan menangani pemberian hasil wakaf kepada orang-orang yang berhak (mustahiq), oleh karena sangat penting adanya pengawas (wilayah) terhadap wakaf tersebut.
65
Syarat menjadi nadzir wakaf menurut Ceger (2004) ini ada tiga, yaitu: a. balig atau sudah dewasa, b. berakal, dan c. mampu mengatur manajemen wakaf .
7. Macam-macam Wakaf Menurut Hans Wehr dalam A Dictionary of Modern Written Arabic, Arabic-English, macam-macam wakaf yaitu: (a) wakaf ahli, (b) wakaf khas atau wakaf dzuriyya (family endowment), private waqf, estate in mortmain entailed in such a manner that its proceeds will accrue to the members of the donor’s family and, after the death of its last descendant, go to a charitable purpose, (c) waqaf khairi, (d) waqaf ‘amm (public endowment), endowment set apart for a charitable or religious purpose, public waqf. Menurut Ceger (2004) Ada tiga macam wakaf yang terdapat dalam masyarakat Islam: a. Wakaf Sosial Wakaf yang digunakan untuk berbagai bentuk kebaikan, yaitu menyedekahkan hasil harta wakaf kepada kepentingan sosial baik kepada berbagai bentuk yang manfaatnya akan terpulang kepada masyarakat seperti masjid, pesantren, rumah sakit dan sekolah-sekolah atau untuk beberapa individu tertentu seperti kaum fakir, miskin dan orang-orang yang lemah. b. Wakaf Khusus Keluarga
66
Wakaf keluarga ini adalah harta wakaf yang penghasilnya pertama diberikan kepada pewakaf kemudian anak-anak dan kepada pihak yang masih ada kaitan keluarga. c. Wakaf Serikat (Umum) Wakaf yang terhimpun antara wakaf sosial dan wakaf keluarga. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak sah berwakaf untuk umum, karena di antara salah satu syarat wakaf adalah tertentu. Inilah pendapat Muhammad Ibnu Hasan. Berbeda dengan Machmudi Muhson (2001), beliau mengatakan bahwa wakaf dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu: a. dari segi tujuannya, wakaf bisa dibagi menjadi: ahly/dzurry (kekerabatan), khoiry (sosial) dan musytarok (gabungan anatara keduanya). b. dari segi waktu, wakaf bisa dibagi menjadi: muabbad (selamanya) dan mu’aqqot (dalam jangka waktu tertentu). c. dari segi penggunaan harta yang diwakafkan, wakaf bisa di bagi menjadi: mubasyir/dzati (harta wakaf yang menghasilkan pelayanan masyarakat dan bisa digunakan secara langsung seperti madrasah dan rumah sakit) dan istitsmary (harta wakaf yang ditujukan untuk penanaman modal dalam produksi barang-barang dan pelayanan yang dibolehkan syara’ dalam bentuk apapun kemudian hasilnya diwakafkan sesuai keinginan waqif).
67
Pandangan yang berbeda juga diungkapkan oleh Sulaiman Rasjid (2004: 343-344) tentang macam-macam wakaf. Adapun beberapa macam wakaf dijelaskan sebagai berikut: a. putus awalnya. Ini tidak sah karena tidak diberikan pada saat itu juga, b. putus di tengah, wakaf ini sah, diberikannya wakaf sesudah tingkatan pertama dan tingkatan ketiga, c. putus akhirnya, wakaf tersebut tidak diterangkan kepada siapa karena banyaknya peruntukan wakaf tersebut. Wakaf semacam ini sah menurut pendapat mu’tamad. Sebagian ulama berpendapat hasil wakaf diberikan kepada orang yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan orang yang berwakaf, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat dapat diberikan kepada fakir miskin.
8. Hikmah Wakaf Allah SWT telah memerintahkan untuk saling tolong-menolong (ta'awwun) terhadap kebaikan dan ketakwaan; hal itu bertujuan untuk memperkokoh hubungan di dalam masyarakat. Salah satu bentuk ta'awwun adalah melakukan kebajikan kepada kaum fakir dan berbuat baik terhadap mereka. Sebagaimana Allah SWT menghimbau untuk merperkokoh ikatan individu serta memperdalam hubungan kerabat dengan menjalin kasih sayang serta perbuatan baik. Dalam hal ini wakaf disyariatkan betul-betul bertujuan untuk merealisasikan nilai-nilai tersebut, sebab wakaf dapat menghimpun atau menyatukan dua kemaslahatan:
68
a. kemaslahatan umum, di mana manfaat harta yang di waqafkan itu di dayagunakan untuk kepentingan social seperti; sarana Ibadah, belajar dan klinik (rumah sakit), dan lain-lain. b. kemaslahatan khusus, di mana kepemilikan harta tersebut tercegah atau dibekukan. Dengan demikian si pewakaf merasa terjamin bahwa tidak akan ada seorang pun yang dapat merubah kepemilikan harta tersebut, di samping
terjaminnya
keberlangsungan
pemanfaatan
harta
untuk
kepentingan bentuk sosial, dan kebaikan, demi menjalankan firman Allah swt: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan
jangan
tolong-menolong
dalam
berbuat
dosa
dan
pelanggaran.." (Surah Al-Maidah ayat 2).
9. Istilah Sistem Wakaf Menurut Ceger (2004), ada beberapa istilah yang digunakan dalam sistem perwakafan yaitu: a. istibdal. adalah menjual harta wakaf secara kontan, b. ibdal, adalah menjual tanah wakaf dengan harta lain, c. malul ibdal (harta tukaran), adalah harta wakaf yang dijual secara kontan kontan (istibdal), yang tetap merupakan amanat sehingga dapat membeli dalam bentuk lain, dan tidak boleh didayagunakan harta tersebut baik untuk membangun harta-harta wakaf lain atau lain-lain hingga dapat membeli harta wakaf lain sebagai tukarannya.
69
F. Tinjauan Tentang Wakaf Dalam Hukum Agraria 1. Definisi Wakaf Seperti diketahui bahwa wakaf adalah salah satu bentuk perbuatan dan perilaku serta lembaga keagamaan, dan yang ada kaitannya dengan pemanfaatan harta (kekayaan) seseorang untuk kepentingan peribadatan sesuai dengan ajaran Islam atau setidak-tidaknya digunakan untuk kepentingan umum yang tidak bertentangan dengan hukum dan norma agama. Dalam hukum positif terdapat tiga macam definisi wakaf, yaitu definisi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Harta Milik, berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991
dan
berdasarkan undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf
serta
peraturannya. a. Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan dan untuk keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. b. Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 mendefinisikan wakaf yaitu: Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna keperluan ibadat dan keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. c. Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006, mendefinisikan wakaf yaitu:
70
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah
Perbedaan dari ketiga definisi yang tertuang dalam hukum positif tersebut, yaitu: a. Subjek Hukum. Pada Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 subjek hukum pewakaf/wakif terdiri dari orang dan badan hukum, dalam Instruksi Presiden terdapat tiga macam pewakaf/wakif yaitu: orang, kelompok orang dan badan hukum, dan dalam Undang-undang Wakaf disederhanakan menjadi wakif. Adanya berbagai definisi ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu rumusan ketiga definisi ini dibuat oleh tiga lembaga yang memiliki kompetensi berbeda, yakni dari faktor subjek pembuat definisi. Pada definisi pertama diprakarsai oleh Departemen Agama dan Badan Pertanahan Nasional yang menghasilkan peraturan pemerintah tanp campur tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Definisi kedua dibuat dari hasil Lokakarya para Alim Ulama se-Indonesia yang diprakarsai oleh dua lembaga resmi yaitu Mahkamah Agung dan departeman Agama yang dikemas dalam Intruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tangal 10 juni 1991.
71
b. Instansi/Lembaga Ketiga instansi atau lembaga itu mempunyai tugas pokok, fungsi dan kewenanagn yang berbeda. Apabila yang pertama bertugas dan berwenang dalam bidang keagrariaan atau pertanahan sedangkan yang kedua bersifat campuran yang terdiri dari Departemen Agama, Mahkamah Agung dan Kalangan Alim Ulama. c. Persepsi Perbedaan persepsi dalam pengertian wakaf terdapat dalam penentuan objek wakaf. Dalam Instruksi Presiden berpandangan jauh untuk melihat bahwa benda yang dapat dijadikan objek wakaf tidak terbatas pada tanah saja yang merupakan benda tidak beergerak, tetapi mereka juga merumuskan kata ‘benda’ sehingga terkesan netral dan mempunyai pengertian yang luas. d. Redaksi Terdapat
perbedaan-perbedaan
yang agak
prinsipil
dalam
teknis
redaksional, seperti perbedan objek wakaf antara “tanah” dan “benda”; antara pewakaf yang subjeknya “seseorang atau badan hukum” dengan “seseorang atau kelompok orang atau badan hukum”, terlihat dalam Instruksi Presiden lebih terlihat longgar dalam menentukan subjek wakaf yang tidak terikat hanya pada seseorang atau badan hukum melainkan juga kelompok orang. Selanjutnya perbedaan “ibadat” dan “peribadatan” serta perbedaan antara “ajaran Islam” dengan “ajaran agama Islam”, sedangkan dalam Undang-undang sendiri diganti menjadi “syariah” yang mempunyai
72
pengertian lebih lus dari hukum Islam. Selain itu, adanya pergeseran pembuat undang-undang dari Mazhab Syafi’i ke Mazhab Maliki yang mengenal jangka waktu wakaf yang bersifat sementara atau tidak selamanya.
2. Fungsi Wakaf Sebelum membahas mengenai fungsi wakaf, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dari fungsi. Fungsi berasal dari functie dalam bahasa Belanda atau function dalam bahasa Inggris. Arti harfiahnya adalah kegunaan, pekerjaan, upacara atau pesta. Dalam hal ini yang dimaksud dengan fungsi adalah kegunaan. a. Posisi Wakaf Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dijelaskan bahwa wakaf adalah sebagai Lembaga Keagamaan. Oleh sebab itu, pada saat pengucapan Ikrar Wakaf harus dinyatakan di depan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf serta disaksikan oleh dua orang atau lebih yang memenuhi syarat. Kemudian dikukuhkan dalam akta otentik yang ditanda tangani oleh seluruh unsurunsur wakaf seperti wakif, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, saksi-saksi dan nadzir (penerima wakaf). Posisi wakaf secara yuridis formal tercantum dalam undangundang Pokok Agraria Pasal 49 ayat (3) yang menyatakan bahwa
73
“Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah”. b. Kontribusi Wakaf Fungsi wakaf yang kedua yaitu kontributif, jadi lebih bersifat dynamic (dinamis, dinamik, atau bersemangat). Hal ini secara tegas dikemukakan dalam kitab-kitab Fiqih ynag disebut dengan maukuf alaih artinya benda yang diwakafkan tersebut harus jelas “apa dan siapa” nya dalam artian konkret peruntukan dan alamatnya. Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 dinyatakan bahwa fungsi wakaf adalah “mengkekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan
tujuan wakaf”. Mengkekalkan maksudnya
memelihara, mengusahakan supaya kekal atau supaya tetap. Jadi harta yang diwakafkan tersebut dijaga keutuhannya kemudian digunakan untuk kepentingan sosial dan ibadah.
3. Unsur-unsur Wakaf Untuk memudahkan pemahaman mengenai unsur-unsur wakaf, maka untuk kepentingan praktis tidak dibedakan antara unsur dan rukun, walaupun kedua hal tersebut terdapat perbedaan. a. Unsur-unsur wakaf dalam Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 tentang Wakaf Harta Milik yang ditinjau dari segi perbuatan hukum yang mempunyai akibat hukum:
74
1) Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang dilakukan dengan suatu pernyataan. 2) Adanya subjek hukum yang meliputi orang, kumpulan orang atau badan hukum. 3) Mempunyai sasaran hak kebendaan, karena dengan berwakaf seseorang akan dituntut untuk melepaskan hartanya untuk selamalamanya. Dalam hal ini benda yang diwakafkan berupa tanah milik baik yang sudah bersertifikat maupun yang belum. 4) Tujuan wakaf yaitu untuk kepentingan ibadah. b. Untuk kepentingan teoritis, secara terperinci Undang-undang nomor 41 tahun 2004 mnyebutkan bahwa unsur-unsur wakaf sebagai berikut:
1)
Wakif, 2) Nadzir, 3) Harta Benda Wakaf, 4) Ikrar Wakaf, 5) peruntukan harta benda wakaf, 6) jangka waktu wakaf. c. Persyaratan-persyaratan Perwakafan Persyaratan perwakafan adalah sebagai berikut: 1) Pewakaf (Wakif) Wakif dapat berupa: a) perseorangan (individu), b) organisasi (kelompok orang), c) badan hukum yang dapat melakukan tindakan hukum dan telah memenuhi syarat-syarat tertentu sebagai wakif. 2) Tujuan Wakaf (Maukuf Alaih) Tujuan wakaf harus dinyatakan secara tegas dalam
ikrar yang
diucapkan oleh yang berwakaf maupun oleh kuasanya. Selanjutnya ikrar lisan ini dikokohkan dalam akta otentik yang dibuat secara
75
khusus untuk itu. Perlu diingat, bahwa tujuan dari wakaf harus sesuai dengan koridor dan lingkup peribadatan atau kepentingan umun serta tidak bertentangan dengan syariah. 3) Klasifikasi objek (benda) yang dapat diwakafkan (Maukuf) Menurut Undang-Undang nomor 41 tahun 2004 harta benda yang diwakafkan harus benar-benar milik dari pewakaf. 4) Ikrar Wakaf (Sighat) Kunci dari keabsahan wakaf terletak pada pengucapan atau ikrar dari wakif. Hal ini telah terdapat dalam peraturan perundang-undangan wakaf yang menyebutnya sebagai ikrar secara baku. 5) Nadzir yang bertindak sebagai pengurus wakaf Nadzir adalah kunci utama dalam mencapai tujuan wakaf. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang berhubungan dengan wakaf menjadi tanggung jawab nadzir sepenuhnya. Maka ia nempunyai multi tanggung jawab sebagai berikut: a) secara keagamaan ia bertanggung jawab kepada Tuhan, b) secara sosial ia bertanggung jawab kepada masyarakat, dan c) secara teknis administratif ia bertanggung jawab kepada Pemerintah. 6) Saksi-saksi, sebagai pihak ketiga yang bersifat netral Demi kepastian hukum dan guna menghindari terjadinya pengingkaran oleh pihak-pihak yang bersangkutan, maka dengan kesaksian yang diperkuat dengan sumpah dalam sidang pengadilan menyebabkan peranan dari adanya saksi adalah mutlak.
76
Penentuan wakif menurut Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf yang terdapat dalam pasal 9 dan 10 yaitu prseorangan, organisasi dan badan hukum. Dalam Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 wakif dapat berupa persorangan dan badan hukum. Untuk wakif perseorangan persyaratannya adalah sebagai berikut, yaitu: 1) telah dewasa, 2) sehat akalnya, 3) tidak terhalang melakukan tindakan hukum, dan 4) kehendak bebas. Menurut A. Faishal Haq dalam tesis pasca sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya (1999: 23) persyaratan bagi objek wakaf adalah: 1) harta itu harus berharga dan mempunyai nilai ekonomi, 2) harta itu berupa benda bergerak dan tidak bergerak, 3) harta itu diketahui kadar, berat, ukuran dan batas-batasnya, 4) harta itu sepenuhnya milik dan terdaftar atas nama pewakaf, dan 5) harta yang telah terpisah (dipisahkan) dari perkongsian atau pemilikan bersama. Dalam ketentuan Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 harta benda tidak bergerak dibatasi hanya pada tanah hak milik. Sedangkan dalam Undang-undang Wakaf nomor 41 tahun 2004 yang terdapat dalam pasal 16 persyaratan benda tidak bergerak adalah sebagai berikut: 1) hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar; 2) bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah
77
3) tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah; 4) hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 5) benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang.undangan yang berlaku. Persyaratan tujuan wakaf dalah harus jelas dan tegas dinyatakan oleh wakif. Jelas maksudnya apa yang diinginkan oleh wakif berkaitan dengan benda yang diwakafkannya, sedangkan tegas maksudnya harus dinyatakan seseuai keinginannya dimana lokasi dan untuk keperluan apa. Hukum positif menentukan dua jenis ikrar yaitu ikarar secara lisan dan ikrar tertulis yang dilaksanakan dalam waktu bersamaan. Dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 disebutkan bahwa syarat wakif yaitu: 1) warga negara Republik Indonesia, 2) beragama Islam, 3) sudah dewasa, 4) sehat jasmaniah dan rohaniah, 5) tidak berada di bawah pengampuan, 6) bertempat di kecamatan tempat letak tanah yang diwakafkan, dan tambahan 7) terdaftar di Kantor Urusan Agama Kecamatan.
4. Jenis dan Macam Wakaf Dilihat dari segi peruntukannya wakaf terdiri dari dua macam, yaitu: a. wakaf yang bersifat umum, disebut wakaf khairi. Disebut wakaf umum karena peruntukannya harus disebutkan dalam Ikrar Wakaf dan tercantum dalam Akta Ikrar Wakaf.
78
b. wakaf yang bersifat khusus, disebut wakaf ahli atau wakaf dzurri. Disebut wakaf keluarga karena peruntukkan wakaf untuk kesejahteraan keluarga dekat atau orang lain. Ditinjau dari sudut bentuknya wakaf terbagi menjadi dua macam, yaitu: a. dalam Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah milik dibatasi hanya unuk tanah milik dengan demikian dapat diasumsikan ke dalam benda tidak bergerak. b. dalam Instruksi Presiden atau dalam kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa objek wakaf dirumuskan dengan kata benda jadi dapat meliputi benda tidak bergerak dan benda tidak bergerak. Rumusan ini sama dengan rumusan yang ada dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf.
5. Mekanisme dan Prosedur (Tata Cara Perwakafan) Dalam Peraturan Pemerintah tentang perwakafan tanah milik dan peraturan pelaksanaannya dijelaskan bahwa umumnya tata cara adalah “semacam” orang melakukan transaksi tanah yang diwajibkan dibuat melalui atau di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pada prinsipnya banyak persamaan dari pada perbedaan, dimulai pada tahap pertama seseorang membuat akta samapi pada tingkat kedua, yaitu tahap pendaftaran di kantor pertanahan setempat. Perbedaan yang menonjol dari pendaftaran tanah hanya
79
pada sifat perbuatan hukumnya, yang pertama bermotif biasa yang bersifat duniawi sedangkan yang kedua (wakaf) bersifat keagamaan. Tata cara perwakafan yang diuraikan dalam Undang-undang Wakaf yaitu: pertama harta benda wakaf segera didaftarkan oleh PPAIW atas nama nazhir kepada instansi yang berwenang selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani. Pada saat pendaftaran PPAIW menyerahkan salinan akta ikrar wakaf serta surat-surat dan bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya. Seusai pendaftaran, instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf yang disampaikan oleh PPAIW kepada nadzir. Orang yang akan mewakafkan tanah miliknya harus datang ke Kantor Urusan Agama Kecamatan Setempat. Pekerjaan utama di kantor itu adalah mengucapkan Ikrar Wakaf dihadapan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan, nadzir dan dua orang atau lebih bertindak sebagai saksi baik pada waktu pengucapan ikrar maupun pada saat penandatanganan akta ikrar wakaf. Bagi wakif yang tidak mampu mengucapkannya secara jelas dan tegas karena cacat lahiriah diperbolehkan menggantinya dengan isyarat. Selanjutnya bagi wakif yang berhalangan hadir diizinkan untuk mengganti ucapan (ikrar lisan) tersebut dengan membuat ikrar wakaf sesuai dengan ketentuan yang yang sudah dibakukan dalam akta ikrar wakaf. Sebelum ikrar wakaf diucapkan, maka PPAIW terlebih dahulu harus mengadakan penelitian atau pencocokan terhadap subjek wakaf agar tidak terjadi kekeliruan “orang” (human error) dan penelitian terhadap objek wakaf
80
(tanah). Penelitian cukup dilakukan dengan memeriksa secara seksama kebenaran data berupa dokumen-dokumen yang berhubungan dengan fisik tanah sebagai objek wakaf. Dokumen tersebut terdiri dari empat macam, yaitu sebagai berikut: a. Sertifikat Tanah yang terdaftar atas nama si wakif pribadi. Tidak menutup kemungkinan adanya sertifikat yang terdaftar atas nama orang lain, yang disebabkan tanah tersebut merupakan tanah warisan atau tanah milik orang lain; b. Surat Keterangan Kepala Desa atas kebenaran tanah wakaf termasuk status kepemilikan dan nama pemiliknya; c. Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (disingkat SKPT), yang bersifat pengukuhan terhadap eksistensi sertifikat yang bersangkutan dengan maksud menghindari kemungkinan adanya perubahan pemilikan yang belum mengikuti prosedur administrasi pertanahan; d. izin bupati atau wali kota cq Kepala Kantor Pertanahan terhadap perwakafan tanah yang bersangkutan. Setelah
ikrar
wakaf
diucapkan
oleh
wakif,
PPAIW
segera
menindaklanjuti pembuatan akta ikrar wakaf dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan memintakan pendaftarannya ke kantor pertanahan setempat untuk didaftarkan sebagaimana mestinya. Pendaftaran wakaf ini menjadi tanggung jawab dan kewajiban kepala kantor pertanahan yang dalam permohonan pendaftaran itu bertindak atas nama nadzir.
81
6. Sistem Pengelolaan dan Pengawasan Wakaf Terdapat dua masalah dasar yang diperlukan dalam rangka mengekalkan (menjaga asas keabadian wakaf), yaitu unsur pengelolaan dan pengawasan. Pada prinsipnya fungsi pengelolaan termasuk pengelolaan wakaf yang meiputi perencanaan, pengelolaan dan pengawasan diletakkan di atas tanggung jawab nadzir. Pengelolaan dalam arti seluas-luasnya menjadi tanggung jawab nadzir. Itulah mengapa semua tugas kewajiban, fungsi, kedudukan, persyaratan pengangkatan dan hak-hak nadzir dicantumkan secara lengkap dalam Undang-undang Wakaf dan aturan-aturan pelaksanaannya. Dalam Bab V Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 dijelaskan bahwa nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan peruntukan yang tercantum dalam AIW. Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, nadzir dapat bekerjasama dengan pihak lain sesuai dengan prinsip syariah. Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf harus berpedoman pada peraturan BWI. Sedangkan untuk mengawasi agar wakaf tersebut dapat mencapai sasaran yang telah ditentukan lebih lanjut diatur dalam pasal 56 Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 yang berbunyi: a. Pengawasan terhadap perwakafan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, baik aktif maupun pasif. b. Pengawasan aktif dilakukan dengan melakukan pemeriksaan langsung terhadap nadzir atas pengelolaan wakaf, sekurangkurangnya sekali dalam setahun. c. Pengawasan pasif dilakukan dengan melakukan pengamatan atas berbagai laporan yang disampaikan nadzir berkaitan dengan pengelolaan wakaf.
82
d. Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah dan masyarakat dapat meminta bantuan jasa akuntan publik independen. e. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan terhadap perwakafan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Untuk pemberhentian seorang nadzir, selanjutnya diatur dalam Pasal 45 Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf yang berbunyi: Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, nadzir diberhentikan dan diganti dengan nadzir lain apabila nadzir yang bersangkutan: a. meninggal dunia bagi nadzir perseorangan; b. bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang.undangan yang berlaku untuk Nadzir organisasi atau nadzir badan hukum; c. atas permintaan sendiri; d. tidak melaksanakan tugasnya sebagai nadzir dan/atau melanggar ketentuan larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundanganyang berlaku; e. dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
7. Masalah sengketa Wakaf dan Prosedur Penyelesaiannya Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia kedudukan dan fungsi yudikatif diatur dengan Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman berhubungan dengan Undang-undang perubahannya. Perkara mengenai perwakafan berasal dari hukum Islam termasuk wewenang Peradilan Agama (Undang-undan nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama) sebagai salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perdata tertentu. Secara rinci masalah perwakafan dapat diselesaikan lewat Peradilan Agama
83
yang mendasarkan pada asas-asas Syariat Islam, yaitu semua hal-ihwal perwakafan yang meliputi: (a) perbuatan perwakafan, dilihat dari keabsahan perbuatan atau tindakan hukum terhadap harta benda wakaf tertentu, (b) wakif, (c) nadzir, (d) berhubungan dengan ikrar wakaf. Dalam Bab II Pasal 62 Undang-undang Wakaf tentang Penyelesaian Sengketa dihimbau kepada khalayak ramai agar apabila terjadi sengketa atau baru pada tinkat indikasi adanya pelanggaran aturan wakaf agar diselesaikan secara baik dengan menempuh upaya musyawarah untuk mencapai mufakat, tetapi apabila tidak berhasil dapat juga diselesaikan melalui mediasi, arbitrase (orang atau badan penengah) atau pengadilan.
8. Ketentuan Pidana dalam Peraturan Perundang-undangan Perwakafan Ketentuan pidana diatur dalam Bab IX pasal 67 Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf meliputi pelanggaran-pelanggaran sebagai berikut: a. Dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan, atau menukar tanpa izin yang berwenang dalam bentuk pengalihan hak lainnya terhadap harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebelumhya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
84
b. Dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). c. Dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Dari rumusan sanksi pidana tersebut di atas, tampak kalau pembentukan undang-undang bermaksud untuk mengkualifikasikan sanksi bagi pelanggar undang-undang ini bersifat akumulatif sekaligus alternatif. Sanksi administratif diuraikan dalam Pasal 68 yang didalamnya memuat dua hal; pertama, tentang macam atau jenis ketentuan wakaf yang terhadapnya dilakukan pelanggaran, sedangkan yang kedua, bentuk-bentuk snksinya; a. Pelanggaran terhadap ketentuan keharusan dilakukannya didaftarkannya harta benda wakaf oleh PPAIW atas nama nadzir kepada instansi yang berwenang paling lambat tujuh hari sejak akta ikrar wakaf ditandatangani (Pasal 32). b. Sanksi administratif dijatuhkan oleh Menteri Agama berupa:. 1) peringatan tertulis; peringatan tertulis paling banyak diberikan 3 (tiga) kali untuk 3 (tiga) kali kejadian yang berbeda,
85
2) penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf bagi lembaga keuangan syariah; penghentian sementara atau pencabutan izin sebagai LKSPWU dapat dilakukan setelah LKS-PWU dimaksud telah menerima 3 kali surat peringatan tertulis. Penghentian sementara atau pencabutan izin sebagai LKSPWU dapat dilakukan setelah mendengar pembelaan dari LKS-PWU dimaksud dan/atau rekomendasi dari instansi terkait, 3) penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan PPAIW.