BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan Kota dan Urbanisasi Secara
teoritis
pembangunan
berarti
menciptakan
perbaikan
dan
meningkatkan kualitas, baik infrastruktur fisik maupun kehidupan sosial. Namun dalam proses dan implementasinya, pembangunan di perkotaan seringkali melahirkan dampak ikutan baru yang menimbulkan problema, antara lain masalah migrasi terutama urbanisasi. Ada beberapa pendapat mengenai penyebab migrasi khususnya urbanisasi. Organisasi Buruh Sedunia (ILO) berpendapat bahwa kota memberi kesempatan kerja lebih banyak daripada desa (Darrundono, 2007). Keputusan bermigrasi merupakan suatu respon terhadap harapan tentang penghasilan yang lebih baik, yang akan diperoleh di tempat tujuan (kota) dibandingkan dengan yang diterima di tempat asal yakni desa (Todaro dan Smith, 2004). Lebih lanjut, Douglass dalam Darrundono (2007) berpendapat bahwa perbedaan yang mencolok antara upah buruh di desa dengan di kota merupakan salah satu penyebab mengalirnya penduduk pedesaan ke kota. Sedangkan De Soto dalam Darrundono (2007) menyatakan bahwa tidak menjadi soal benar atau salah, penduduk membuat keputusan untuk bermigrasi karena mereka yakin bahwa migrasi akan memberi manfaat pada mereka. Menurut Anharudin (2004), migrasi merupakan salah satu yang mewarnai dinamika kependudukan dan berdasarkan arah persebarannya proses migrasi dapat
Universitas Sumatera Utara
terjadi secara terpaksa, spontan dan terencana. Mobilitas penduduk karena terpaksa (migran terpaksa) terjadi karena beberapa faktor, antara lain akibat bencana alam dan atau tragedi sosial seperti konflik bersenjata atau akibat dari situasi-situasi rawan lainnya. Sedangkan mobilitas penduduk secara spontan (migran spontan) terjadi secara alamiah atas inisiatif pelakunya dengan dorongan (motif) perbaikan ekonomi, namun apabila terjadi secara tidak terkendali dapat menimbulkan masalah-masalah baru seperti okupasi (pendudukan) lahan yang melahirkan permukiman liar (tidak sesuai dengan peruntukannya). Reverstain, pelopor teori migrasi (Sinulingga, 2005) mengatakan bahwa migrasi terdiri dari dua jenis, yaitu migrasi permanen dan migrasi sementara. Migrasi permanen adalah perpindahan penduduk yang berakhir pada menetapnya migran pada tempat tujuannya, sedangkan migrasi non permanen/sementara adalah perpindahan penduduk yang tidak menetap pada tempat tujuan migran, tetapi kembali ke tempat asal atau berpindah ke lain tempat. Migran nonpermanen hanya tinggal untuk sementara waktu di kota (bisa dalam hitungan minggu atau bulan) tetapi datang dan pergi dalam jangka waktu tertentu. Karena sifatnya yang sementara dan masih berorientasi ke desa/daerah asalnya (dalam arti pendapatan yang diperoleh di kota dibawa pulang ke desa), pada umumnya migran non-permanen kurang memperhatikan kondisi lingkungan tempat tinggalnya selama berada di kota (Haning dan Mita, 2005). Bilsborrow dalam Sinulingga (2005) menyatakan bahwa faktor-faktor kontekstual atau kemasyarakatan perlu diperhitungkan dalam menjelaskan fenomena niat bermigrasi. Faktor-faktor tersebut meliputi karakteristik daerah asal
Universitas Sumatera Utara
dan tujuan, kesempatan kerja, tingkat upah, tanah dan sistem pemilikannya, ikatan keluarga, sistem warisan, jaringan transportasi dan komunikasi, akses terhadap berbagai fasilitas dan pelayanan, faktor iklim, program pemerintah, dan lain-lain. Tekanan arus urbanisasi yang melonjak begitu cepat menimbulkan akibat terhadap pengaturan tata ruang kota, yang pada umumnya kurang menguntungkan kelompok masyarakat miskin. Pola pengembangan kota yang konsentrik dan memusat, bukan hanya menyebabkan kelompok masyarakat miskin makin terdesak ke daerah pinggiran kota, tetapi seringkali mereka juga harus berpuas diri dengan minimnya berbagai fasilitas publik, jauh berbeda dengan warga kota yang ekonominya lebih maju. Luas tanah yang terbatas di perkotaan umumnya dikuasai oleh orang kaya dan pemerintah kota setempat. Salah satu yang merupakan masalah terbesar kota-kota di Negara Dunia Ketiga saat ini adalah peruntukan ruang untuk pemukim kelompok masyarakat miskin, dimana kesempatan kelompok ini untuk memperoleh akses tanah di perkotaan makin terbatas bahkan nyaris tidak ada. Kemampuan penyediaan perumahan secara formal (seperti real estate, perumahan swasta/pemerintah) hanya menyentuh golongan menegah ke atas, sedangkan golongan berpendapatan rendah belum tersentuh dan dibiarkan mencari jalan keluar sendiri. Menurut penelitian Dinas Perumahan DKI, karya perancang dan arsitek diperuntukkan bagi golongan menengah dan tinggi, orang miskin dibiarkan memikirkan nasib mereka sendiri (Darrundono, 2007). Oleh karena rumah merupakan kebutuhan utama, maka pilihan kelompok masyarakat miskin perkotaan adalah melakukan penyerobotan tanah untuk membangun tempat tinggal di tanah-tanah kosong milik
Universitas Sumatera Utara
pemerintah atau swasta tanpa status yang jelas, yang diistilahkan sebagai permukiman liar.
2.2 Permukiman Kumuh dan Liar Secara umum, ada 2 (dua) faktor yang bertindak sebagai kekuatan pembangkit dan menentukan kualitas serta ukuran sebuah permukiman termasuk permukiman kumuh dan liar (Srinivas, 2007), yaitu : a. Faktor Internal (Alami), berkaitan dengan kekuatan dan tekanan yang disebabkan dari dalam permukiman dan dari pemukim itu sendiri seperti: Agama/Etnik, Tempat/Lokasi Kerja, Tempat Asal, Bahasa, Lama Menetap di permukiman, Modal dalam Perumahan (buruh, material lokal yang tersedia, dll), Aktivitas Pembangunan atau Kehadiran penyewa. b. Faktor Eksternal (yang disebabkan), dapat berasal dari luar permukiman seperti Pemilik lahan, Keamanan tetap, Kebijakan Pemerintah kota atau Lama menetap di kota. Kedua
faktor
tersebut
berperan
bersama-sama
dalam
pertumbuhan
permukiman kumuh dan liar, melalui rangkaian tahap pembangunan yang menyatu. Tahap-tahap ini menentukan hasil akhir, dalam pengertian bahwa dapat berupa sebuah rangkaian kesatuan dengan satu tahap/proses yang tumpang tindih, atau sebagai tahap yang berjalan paralel. Efek yang ditimbulkan dari tahap-tahap ini bersifat kumulatif dan tidak berdiri sendiri. Di negara-negara di dunia, definisi dari permukiman kumuh dan liar (slum and squatter settlement) memiliki variasi yang luas bergantung pada keberagaman
Universitas Sumatera Utara
parameternya. Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak memenuhi standar suatu permukiman pada umumnya. Permukiman kumuh bukan hanya terdapat di daerah pinggiran kota, tetapi dapat juga berada di tengah kota (yang disebut dengan kampung kota). Permukiman kumuh ini disebut sebagai permukiman liar (illegal) apabila berada di bangunan-bangunan atau tanah-tanah milik negara yang bukan untuk permukiman seperti di pinggiran sungai, di bantaran rel kereta api, di bawah jalan layang, di taman-taman kota dan lahan terbuka hijau lainnya. Pada umumnya kondisi permukiman kumuh memiliki ciri-ciri yang menunjukkan berbagai permasalahan (Sinulingga, 2005) antara lain: a. Luas dan ukuran bangunan yang sempit dengan kondisi rata-rata yang tidak memenuhi standar kesehatan maupun standar kehidupan sosial yang layak, b. Kondisi bangunan rumah yang saling berhimpitan sehingga rentan dan rawan terhadap bahaya kebakaran, c. Kurangnya suplai terhadap kebutuhan air bersih, d. Jaringan listrik yang tidak tertata dan terpasang secara baik serta dengan kapasitas yang terbatas, e. Drainase yang sangat buruk, f. Jalan lingkungan yang buruk dan tidak memadai, g. Ketersediaan sarana MCK yang sangat terbatas. Kondisi dan permasalahan tersebut berdampak pada timbulnya berbagai jenis penyakit, menurunnya produktivitas penghuni, timbulnya kerawanan dan persoalan-persoalan sosial lain.
Universitas Sumatera Utara
Apabila ditinjau dari segi sosial dan ekonomi, permukiman kumuh memiliki ciri-ciri khas (Suparlan, 2007) sebagai berikut : a. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai. b. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruang-ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin. c. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam pengunaan ruang-ruang yang ada di permukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya. d. Permukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai: 1. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar. 2. Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT atau RW. 3. Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah kelurahan, dan bukan hunian liar. e. Penghuni permukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen. Warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat pendapatan yang beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat permukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.
Universitas Sumatera Utara
f. Sebagian besar penghuni permukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informal. Sedangkan permukiman liar, secara umum didefinisikan sebagai suatu kawasan permukiman yang terbangun pada lahan kosong “liar” di kota baik milik swasta ataupun pemerintah tanpa hak yang legal terhadap lahan dan/atau izin dari penguasa yang membangun, didiami oleh orang yang sangat miskin yang tidak mempunyai akses terhadap pemilikan lahan tetap. Istilah permukiman liar sesungguhnya dimulai sejak masa pembangunan yang diprakarsai negara Barat, sekitar kehadiran tulisan Charles Abrams dan John Turner, terutama sekali sekitar Konferensi Habitat tahun 1976 di Vancouver, Canada (Srinivas, 2007). Abrams (1964) dalam Srinivas (2007) menggambarkan proses dari keliaran sebagai suatu penaklukan daerah kota untuk tujuan perlindungan, yang didefinisikan oleh 2 (dua) hal yaitu kekuatan hukum dan hukum kekuatan. Sedangkan Turner (1969) dalam Srinivas (2007) memandang positif dengan menggambarkan permukiman liar sebagai keberhasilan yang tinggi menyelesaikan masalah perumahan di daerah kota di negara berkembang. Begitu juga Payne (1977) dalam Srinivas (2007) menyatakan permukiman liar dalam pandangan menyeluruh dari pertumbuhan kota di negara ketiga dengan sifat yang tidak dapat dihindarkan. Patrick McAuslan (1986) dalam Purnawan (2004) menyatakan sebutan permukiman liar sebenarnya tidak mengandung suatu kecenderungan kriminal, tetapi hanya menunjukkan hubungan antara kelompok orang dan perumahan di atas tanah tertentu, maksudnya seorang pemukim liar adalah
Universitas Sumatera Utara
seorang yang menempati sebidang tanah, sebuah rumah, atau sebuah bangunan tanpa kekuatan hukum. UN Habitat (2003) dalam Darrundono (2007) menyatakan bahwa permukiman liar merupakan produk kebijakan yang gagal, tata pemerintahan yang buruk, korupsi, peraturan yang berbelit-belit, pasar pertanahan yang tidak berfungsi, sistem keuangan yang tidak jelas, dan kemauan politik yang lemah. Pada dasarnya ada 3 (tiga) karakteristik yang dapat menolong dalam mendefinisikan permukiman liar (Srinivas, 2007) yaitu : a. Karakteristik Fisik : Suatu permukiman liar, karena memiliki status illegal maka infrastruktur dan pelayanan (baik jaringan maupun sosial) yang ada tidak memadai atau berada pada
tingkat minimum, seperti penyediaan air, sanitasi, listrik, jalan dan
drainase, sekolah, pusat kesehatan, tempat perbelanjaan, dll. Sebagai contoh, penyediaan air untuk setiap rumah tangga dapat dikatakan tidak ada, atau pipa umum yang tersedia sedikit, sehingga pemukim mempergunakan jaringan kota atau pompa tangan sendiri bahkan menyediakan jaringan informal untuk menyediakan air di tempat. Hal serupa berlaku untuk jaringan listrik, drainase, fasilitas toilet/kamar mandi/WC, dll dimana kecilnya ketergantungan pada saluran formal pemerintah. b. Karakteristik Sosial : Kebanyakan rumah tangga permukiman liar termasuk ke dalam kelompok berpenghasilan rendah, baik bekerja sebagai buruh bergaji maupun dalam usaha-usaha sektor informal lain yang bervariasi. Tetapi terdapat juga rumah tangga berpenghasilan lebih tinggi seperti penghasilan pekerjaan bergaji atau
Universitas Sumatera Utara
pekerjaan paruh waktu. Permukiman liar umumnya didominasi oleh migran, baik desa-kota atau kota-kota. Namun banyak juga dari generasi kedua atau generasi ketiga pemukim liar tersebut. c. Karakteristik Legal : Ini merupakan karakteristik kunci yang menggambarkan suatu permukiman liar yakni ketiadaan hak milik terhadap lahan yang dipergunakan untuk membangun rumah. Hal ini dapat terjadi pada lahan kosong milik pemerintah atau umum, di sebidang tanah seperti bantaran rel kereta api, atau tanah rawarawa. Kemudian ketika lahan tersebut tidak dipergunakan oleh pemiliknya, maka diambil oleh pemukim liar untuk membangun rumah. Bahkan di beberapa
bagian
negara
di
Asia,
seorang
“pemilik
tanah“
dapat
“menyewakan” lahannya untuk suatu pembangunan kepada sebuah/beberapa keluarga dengan perjanjian informal atau pura-pura legal, yang bagaimanapun itu tidak sah secara hukum. Fenomena pemukiman liar sebenarnya bukan fenomena yang hanya terdapat di negara-negara Dunia Ketiga saja (Purnawan Basundoro, 2004). Di kota-kota Eropa Barat, pada dasarnya terdapat dua golongan pemukim liar: Pertama, pengambilalihan gedung-gedung yang telah ada, perumahan, perkantoran atau gedung bertingkat yang ditinggalkan atau dikosongkan, banyak ditemukan di London, Amsterdam, Kopenhagen, dan Berlin. Kedua, jenis permukiman liar yang umumnya ada di Dunia Ketiga, yaitu bangunan liar di atas tanah yang tidak dimiliki, yang biasanya dibangun dengan bahan-bahan tidak permanen, banyak ditemukan di sekitar Athena, Barcelona, Yugoslavia, Ankara, dan Istambul. Oleh
Universitas Sumatera Utara
karena itu tak heran bila ada beberapa nama lain dari permukiman liar (Srinivas, 2007), mulai dari pandangan positif, netral sampai negatif, yaitu: Permukiman Informal (Informal Settlements), Permukiman Penghasilan-Rendah (Low-income settlements), Permukiman Semi Permanen (Semi-Permanent Settlements), Kota Gubuk Buruk (Shanty Towns), Permukiman Spontan (Spontaneous Settlements), Permukiman yang tidak dikuasai (Unauthorized Settlements), Permukiman yang tidak direncanakan (Unplanned Settlements), atau Permukiman yang tidak dikontrol (Uncontrolled Settlements). Begitu juga terdapat beberapa nama lokal (dalam bahasa sehari-hari) untuk permukiman liar yang kadang digunakan untuk permukiman kumuh (Srinivas, 2007) yaitu: Ranchos (Venezuela), Callampas, Campamentos (Chile), Favelas, Bidonvilles, Tugurios (Brazil), Barriadas (Peru), Villas Misarias (Argentina), Colonias Letarias (Mexico), Barong-Barong (Philippines), Kevettits (Burma), Gecekondu (Turkey), Bastee, Juggi-johmpri (India). Dalam penelitian ini, lokasi penelitian merupakan kawasan permukiman kumuh dan liar, karena memenuhi kriteria jenis permukiman tersebut. Kajian penelitian difokuskan pada karakteristik pemukim. Hal ini berdasarkan dugaan bahwa karakteristik pemukim merupakan faktor utama yang menyebabkan mereka berdiam di kawasan tersebut.
2.3 Karakteristik Pemukim Kumuh dan Liar Menurut Anharudin (2005), Pemukim Liar adalah penduduk yang memiliki masalah illegal karena bermukim di areal-areal yang ditetapkan sebagai zona
Universitas Sumatera Utara
bebas okupasi seperti bantaran sungai atau rel kereta api, cagar alam (budaya), lahan konservasi (jalur hijau dan atau zona penyangga). Sedangkan Kelompok Marginal Kota yakni kelompok urban kota yang mendiami wilayah-wilayah kumuh dan miskin dan kelompok lain yang rentan dan malang (vulnarable and disadvantage
people),
yang
sewaktu-waktu
harus
mengalami
dampak
permukiman kembali akibat proyek pembangunan infrastruktur perkotaan. Proyek-proyek pembangunan prasarana fisik (jalan raya, waduk, saluran irigasi, dermaga, dll) karena menggunakan lahan besar menyebabkan pemerintah mengadakan perubahan penggunaan tanah, air dan sumber daya alam lainnya. Asian Development Bank (ADB) menyebut kelompok ini sebagai Orang-orang yang Terkena Dampak (OTD) (Anharudin, 2005). Secara umum, penduduk menjadi liar dapat disebabkan oleh 2 (dua) faktor (Srinivas, 2007), yaitu : A. Faktor Internal, meliputi : 1. Kurangnya asset jaminan. 2. Kurangnya asset tabungan dan keuangan lainnya. 3. Pekerjaan dengan gaji harian/penghasilan rendah, (yang dalam beberapa kasus merupakan semi permanen atau sementara). B. Faktor Eksternal, meliputi : 1. Harga lahan dan pelayanan perumahan yang tinggi. 2. Ketidakperdulian dan antipati sebagian pemerintah dalam membantu mereka. 3. Tingginya standar bangunan yang ‘pantas’ dan peraturan penguasa. 4. Undang-undang perencanaan dan penzoningan yang berat sebelah.
Universitas Sumatera Utara
Sebab-sebab di atas mengakibatkan tidak adanya pilihan terhadap rumah tangga berpenghasilan rendah sehingga menjadi liar di lahan kosong. Keliaran dilakukan baik oleh ‘penguasa kumuh’ atau benar-benar berawal dari suatu kelompok kecil/inti pemukim liar. ’Penguasa kumuh’ mengambil sebidang lahan kosong, membaginya lagi dan ‘menjualnya’ kepada beberapa rumah tangga untuk membangun rumah. Pelayanan seperti penyediaan air atau listrik disediakan oleh yang bersangkutan atau oleh kelompok pemukim liar tersebut dan biasanya dilakukan bersama-sama. Kelompok inti pemukim liar merupakan jumlah kecil keluarga yang mendiami sebidang lahan kemudian membangun tempat perlindungan darurat dan sementara. Bangunan dapat ditingkatkan menjadi permanen atau tambahan keluarga dapat bergabung pada kelompok ini, bergantung pada tingkat ancaman pengusiran (Srinivas, 2007). Sedangkan menurut Patrick McAuslan (1986) dalam Purnawan (2004), kehadiran permukiman liar dalam prakteknya ada beberapa macam: a. Massa pemukim liar yang diorganisir. b. Keluarga-keluarga secara sendiri-sendiri menetap di atas tanah yang mereka anggap tidak ditempati dengan atau tanpa izin kepada mereka. c. Pemukim liar yang didasarkan pada transaksi resmi ortodoks, yaitu pemukim membeli sebidang tanah dari seorang penjual yang memiliki tanah itu, tetapi tidak mempunyai persetujuan yang sah mengenai pembagian tanah untuk membangun rumah di atasnya, atau yang sebenarnya tidak mempunyai hak, baik untuk memiliki atau menjual tanah itu kepada siapa pun. Berbekal sedikit
Universitas Sumatera Utara
sumber finansial, keterampilan dan akses lain, serta adanya kebebasan nyata untuk mendiami lahan kosong illegal telah memberi kemungkinan bagi mereka untuk membangun tempat-tempat perlindungan darurat (Srinivas, 2007). Selain dicirikan oleh pemilihan lokasi tempat tinggal yang kumuh, pemukim pada umumnya terkonsentrasi pada berbagai jenis pekerjaan di sektor informal, cenderung mendominasi pekerjaan-pekerjaan sebagai penjual makanan dan minuman (baik diproduksi sendiri maupun diambil dari orang lain), penjual rokok dan sejenisnya. Pada umumnya mereka menjual dagangannya secara berkeliling atau menggunakan 'lapak' sebagai pedagang kaki lima. Jenis pekerjaan lain yang cukup banyak dilakukan adalah pekerjaan sebagai pemulung, kuli bangunan dan pekerja kasar lainnya. Terkonsentrasinya mereka pada pekerjaan-pekerjaan di sektor informal ini adalah karena sektor ini sangat mudah dimasuki, meski oleh mereka yang tidak memiliki keterampilan atau pendidikan formal. Sektor informal menyediakan berbagai barang dan jasa (misalnya tenaga kerja kurang terampil/kurang terdidik untuk kebutuhan pembangunan fisik kota), bahkan sebagian bisa mendukung keberlangsungan kehidupan sektor formal (Suparlan, 2007). Suko Bandiyono (2007) menyatakan, meskipun tinggal di permukiman liar, namun mereka juga membentuk lembaga Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), bahkan sebagian dapat menikmati penerangan listrik, ada pula yang punya telepon rumah, dan tetap membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Mereka juga turut berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Walaupun merupakan sumberdaya manusia asal pedesaan berkualitas rendah,
Universitas Sumatera Utara
namun mereka telah menjadi bagian dari ekosistem perkotaan yang secara langsung menyumbangkan jasa tenaga kerja murah, dan menyediakan produksi skala rumah tangga, yang terutama sangat diperlukan bagi usaha formal maupun masyarakat golongan menengah ke atas, baik sebagai tenaga kerja maupun sebagai bagian dari segmen pasar, bahkan sebagai distributor komoditi pabrikan. Menurut Oscar Lewis (Wan, 2006) permasalahan yang terdapat di permukiman kumuh dan liar sangat kompleks. Pada permukiman tersebut tercipta suatu kehidupan yang tidak nyaman yang mengakibatkan munculnya budaya kemelaratan seperti apatisme, serba curiga, perasaan yang didominasi anganangan tinggi tanpa kenyataan, putus asa, ketergantungan, rendah diri, kriminalitas, berorientasi pada hari ini, yang kesemuanya ini disosialisasikan dari generasi ke generasi.
2.4 Pemetaan Sosial Dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial masyarakat, terlebih dahulu dilakukan pemetaan sosial. Pemetaan sosial (social mapping) didefinisikan sebagai proses penggambaran masyarakat yang sistematik, meliputi pengumpulan data/informasi mengenai masyarakat termasuk profil dan masalah sosial yang ada pada masyarakat tersebut. Menurut Netting, Kettner dan McMurtry (1993) dalam Suharto (2007), pemetaan sosial dapat disebut juga sebagai pembuatan profil suatu masyarakat (social profiling) dan dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan dalam Pengembangan Masyarakat. Ada tiga alasan utama mengapa
Universitas Sumatera Utara
diperlukan sebuah pendekatan sistematik dalam melakukan pemetaan sosial, yaitu: a. Pandangan mengenai “manusia dalam lingkungannya” (the person-inenvironment) merupakan faktor penting dalam praktek pekerjaan sosial, khususnya dalam praktek pengembangan masyarakat. Masyarakat dimana seseorang tinggal sangat penting dalam menggambarkan siapa gerangan dia, masalah apa yang dihadapinya, serta sumber-sumber apa yang tersedia untuk menangani masalah tersebut. Pengembangan masyarakat tidak akan berjalan baik tanpa pemahaman mengenai pengaruh-pengaruh masyarakat tersebut. b. Pengembangan masyarakat memerlukan pemahaman mengenai sejarah dan perkembangan suatu masyarakat serta analisis mengenai status masyarakat saat ini agar para praktisi tidak mengalami hambatan dalam menerapkan nilai-nilai, sikap-sikap dan tradisi-tradisi pekerjaan sosial maupun dalam memelihara kemapanan dan mengupayakan perubahan. c. Masyarakat secara konstan berubah. Individu-individu dan kelompok-kelompok begerak ke dalam perubahan kekuasaan, struktur ekonomi, sumber pendanaan dan peranan penduduk. Pemetaan sosial dapat membantu dalam memahami dan menginterpretasikan perubahan-perubahan tersebut. Hasil akhir pemetaan sosial biasanya berupa suatu peta wilayah yang sudah diformat sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu image mengenai pemusatan karakteristik masyarakat atau masalah sosial, misalnya jumlah orang miskin, rumah kumuh, anak terlantar, yang ditandai dengan warna tertentu sesuai dengan tingkatan pemusatannya.
Universitas Sumatera Utara
Pemetaan sosial memerlukan pemahaman mengenai kerangka konseptualisasi masyarakat yang kiranya dapat membantu dalam membandingkan elemen-elemen masyarakat antara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya, misalnya beberapa masyarakat
memiliki
wilayah
(luas/sempit),
komposisi
etnik
(heterogen/homogen), status sosial (maju/tertinggal) dan status ekonomi (kaya/miskin) yang berbeda satu sama lain. Untuk memahami masyarakat dan masalah sosialnya, dapat dipergunakan kerangka yang berdasar pada karya klasik The Community in America oleh Warren pada tahun 1978 yang dikembangkan kemudian oleh Netting, Kettner dan McMurtry pada tahun 1993 (Suharto, 2007). Kerangka pemahaman masyarakat dan masalah sosial tersebut terdiri dari 4 fokus/variabel dengan 9 tugas, seperti dipaparkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Kerangka Pemahaman Masyarakat dan Masalah Sosial
Fokus A. Pengidentifikasian Populasi Sasaran B. Penentuan Karakteristik Masyarakat C. Pengakuan PerbedaanPerbedaan D. Pengidentifikasian Struktur
Tugas 1. Memahami karakteristik anggota populasi sasaran. 2. Mengidentifikasi batas-batas masyarakat. 3. Menggambarkan masalah-masalah sosial 4. Memahami nilai-nilai dominan 5. Mengidentifikasi mekanisme-mekanisme penindasan yang tampak dan formal 6. Mengidentifikasi bukti-bukti diskriminasi 7. Memahami lokasi-lokasi kekuasaan 8. Menentukan ketersediaan sumber 9. Mengidentifikasi pola-pola pengawasan sumber dan pemberian pelayanan
Sumber : Suharto (2007)
Kerangka pemahaman masyarakat dan masalah sosial tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Fokus A: Pengidentifikasian Populasi Sasaran Tugas 1: Memahami karakteristik anggota populasi sasaran a. Apa yang diketahui mengenai sejarah populasi sasaran pada masyarakat ini? b. Berapa orang jumlah populasi sasaran dan bagaimana karakteristik mereka? c. Bagaimana orang-orang dalam populasi sasaran memandang kebutuhankebutuhannya? d. Bagaimana orang-orang dalam populasi sasaran memandang masyarakat dan kepekaannya dalam merespon kebutuhan-kebutuhan mereka? Fokus B: Penentuan Karakteristik Masyarakat Tugas 2: Mengidentifikasi batas-batas masyarakat. a. Apa batas wilayah geografis dimana intervensi terhadap populasi sasaran akan dilaksanakan? b. Dimana anggota-anggota populasi sasaran berlokasi dalam batas wilayah geografis? c. Apa hambatan fisik yang ada dalam populasi sasaran? d. Bagaimana kesesuaian batas-batas kewenangan program-program kesehatan dan pelayanan kemanusiaan yang melayani populasi sasaran? Tugas 3: Menggambarkan masalah-masalah sosial a. Apa permasalahan sosial utama yang mempengaruhi populasi sasaran pada masyarakat ini? b. Adakah
sub-sub
kelompok
dari
populasi
sasaran
yang
mengalami
permasalahan sosial utama?
Universitas Sumatera Utara
c. Data apa yang tersedia mengenai permasalahan sosial yang teridentifikasi dan bagaimana data tersebut digunakan di dalam masyarakat? d. Siapa yang mengumpulkan data, dan apakah ini merupakan proses yang berkelanjutan? Tugas 4: Memahami nilai-nilai dominan a. Apa nilai-nilai budaya, tradisi, atau keyakinan-keyakinan yang penting bagi populasi sasaran? b. Apa nilai-nilai dominan yang mempengaruhi populasi sasaran dalam masyarakat? c. Kelompok-kelompok dan individu-individu manakah yang menganut nilai-nilai tersebut dan siapa yang menentangnya? d. Apa konflik-konflik nilai yang terjadi pada populasi sasaran? Fokus C: Pengakuan Perbedaan-Perbedaan Tugas 5: Mengidentifikasi mekanisme-mekanisme penindasan yang tampak dan formal. a. Apa perbedaan-perbedaan yang terlihat diantara anggota-anggota populasi sasaran? b. Apa perbedaan-perbedaan yang terlihat antara anggota populasi sasaran dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat? c. Bagaimana perbedaan-perbedaan populasi sasaran dipandang oleh masyarakat yang lebih besar? d. Dalam cara apa populasi sasaran tertindas berkenaan dengan perbedaanperbedaan tersebut?
Universitas Sumatera Utara
e. Apa kekuatan-kekuatan populasi sasaran yang dapat diidentifikasi dan bagaimana agar kekuatan-kekuatan tersebut mendukung pemberdayaan? Tugas 6: Mengidentifikasi bukti-bukti diskriminasi a. Adakah hambatan-hambatan yang merintangi populasi sasaran dalam berintegrasi dengan masyarakat secara penuh? b. Apa bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami oleh populasi sasaran dalam masyarakat? Fokus D: Pengidentifikasian Struktur Tugas 7: Memahami lokasi-lokasi kekuasaan. a. Apa sumber-sumber utama pendanaan (baik lokal maupun dari luar masyarakat) bagi pelayanan kesehatan dan kemanusiaan yang dirancang bagi populasi sasaran dalam masyarakat? b. Adakah pemimpin-pemimpin kuat dalam segmen pelayanan kesehatan dan kemanusiaan yang melayani populasi sasaran? c. Apa tipe struktur kekuasaan yang mempengaruhi jaringan pemberian pelayanan yang dirancang bagi populasi sasaran? Tugas 8: Menentukan ketersediaan sumber. a. Apa lembaga-lembaga dan kelompok-kelompok masyarakat yang ada pada saat ini yang dipandang sebagai pemberi pelayanan bagi populasi sasaran? b. Apa sumber utama pendanaan pelayanan-pelayanan bagi populasi sasaran? c. Apa sumber-sumber non-finansial yang diperlukan dan tersedia? Tugas 9: Mengidentifikasi pola-pola pengawasan sumber dan pemberian pelayanan.
Universitas Sumatera Utara
a. Apa kelompok-kelompok dan asosiasi-asosiasi yang mendukung dan memberikan bantuan terhadap populasi sasaran? b. Bagaimana distribusi sumber bagi populasi sasaran dipengaruhi oleh interaksi di dalam masyarakat? c. Bagaimana distribusi sumber bagi populasi sasaran dipengaruhi oleh kekuatankekuatan masyarakat ekstra?
2.5 Karakteristik Masyarakat Berpenghasilan Rendah Secara umum rumah tangga permukiman kumuh dan liar termasuk ke dalam kelompok berpenghasilan rendah, walaupun terdapat juga rumah tangga berpenghasilan lebih tinggi. Karakteristik masyarakat berpenghasilan rendah ini memberi pengaruh yang signifikan terhadap preferensi bermukim mereka.
2.5.1 Golongan Masyarakat yang Berpenghasilan Rendah (GMBR) Pengertian kemiskinan tidak dapat dinyatakan secara tepat karena merupakan satu istilah yang subjektif. Namun biasanya kemiskinan dikaitkan dengan kekurangan pendapatan, kesusahan dan ketidakmampuan individu dan isi rumah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menurut Poerwadarminta (1976) dalam Gunawan dan Sugiyanto (2007), kemiskinan berasal dari kata dasar miskin yang berarti “tidak berharta-benda”. Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan baik secara individu, keluarga maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Nasikun (1995) dalam Gunawan dan Sugiyanto (2007), kemiskinan adalah sebuah fenomena multiaset, multidimensional, dan terpadu. Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di dalam kondisi kekurangan pangan, sandang dan papan. Hidup dalam kemiskinan seringkali juga berarti akses yang rendah terhadap berbagai ragam sumberdaya dan aset produktif yang sangat diperlukan untuk dapat memperoleh sarana pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang paling dasar tersebut, antara lain: informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan kapital. Lebih dari itu, hidup dalam kemiskinan sering kali juga berarti hidup dalam alienasi, akses yang rendah terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu pilihan-pilihan hidup yang sempit dan pengap. Hal senada juga dinyatakan oleh Oscar Lewis dalam Simanihuruk (2003), bahwa kemiskinan bukanlah sematamata kekurangan dalam ukuran ekonomi saja, tetapi juga kekurangan dalam ukuran budaya dan kejiwaan dimana di dalamnya terkandung proses sosialisasi corak kebudayaan dari generasi tua ke generasi berikutnya, yang mana ini disebut juga budaya kemiskinan. Budaya kemiskinan ini akan tumbuh pada kondisi masyarakat yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : a. Sistem ekonomi uang, buruh, upahan dan sistem produksi untuk keuntungan. b. Tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tidak terampil. c. Rendahnya upah buruh. d. Tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
e. Sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada sistem unilateral. f. Kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya sikap hemat serta adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidaksanggupan pribadi atau pada dasarnya sudah rendah kedudukannya. Kondisi kemiskinan tercermin dari distribusi pendapatan golongan masyarakat berpenghasilan rendah dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti makanan, kesehatan, pendidikan, transportasi, perumahan, ibadah, dan sebagainya. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan sebuah rumah tangga. Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran makanan yang lebih besar mengindikasikan rumah tangga yang berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa rumah tangga/keluarga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan. Bagi masyarakat miskin di perkotaan, persentase pengeluaran rumah tangga terbesar adalah untuk makanan yaitu sebesar 73,5%, sedangkan pengeluaran untuk perumahan 8,43%, transportasi 2,48%, pendidikan 2,4% dan pengeluaran untuk listrik 3,3% (Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, 2010). Sebuah
penelitian
mengenai
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
keterjangkauan penghuni (pemilik) dalam membeli Rumah Sederhana Sehat
Universitas Sumatera Utara
(RSS) menunjukkan bahwa pemukim di Perumnas Martubung Medan yang memiliki pendapatan per bulan Rp.350.000,- sampai Rp.1.500.000,- memiliki rata-rata distribusi pendapatan untuk makanan adalah sebesar 20,6%, perumahan 25,2%, sumber daya (listrik dan air bersih) sebesar 6,8%, transportasi 10,9%, pendidikan 10,1%, pakaian dan kredit barang mewah 14,1%, serta tabungan 6,1% (Panjaitan. A.R, 2008). Charles Booth dalam Mohammad, KA (2000) juga menyatakan bahwa konsep kekurangan, kemiskinan dan peminggiran sosial sangat berkaitan erat. Ini disebabkan karena dalam kemiskinan bukan hanya mengalami kekurangan dari aspek pendapatan, peluang-peluang dalam ekonomi, dan sebagainya tetapi juga harus mengalami peminggiran dari aspek sosial. Kemiskinan dapat menyebabkan tekanan dalam jiwa, disebabkan tekanan terhadap masalah harian seperti kehidupan yang terus menerus tidak nyaman, masalah kekurangan kebutuhan dasar, dan sebagainya. Tekanan ini terkadang mengakibatkan terjadinya keruntuhan moral yang melahirkan masalah-masalah sosial yang lain. Berdasarkan pandangan tersebut, diisyaratkan bahwa permasalahan kemiskinan tidak hanya berdiri sendiri, melainkan bersifat kompleks karena mempunyai berbagai dimensi yang berbeda serta memiliki kontribusi banyak faktor, sehingga dalam penanggulangannya menuntut pemahaman, kecermatan dan kehati-hatian. Namun, Koenraad Verhagen (1996) dalam Gunawan dan Sugiyanto (2007), mengatakan bahwa kita cenderung melebih-lebihkan kemiskinan dan melupakan apa yang mereka miliki. Orang-orang miskin bukanlah orang-orang yang “tidak memiliki” (havenot). Di dalam diri masyarakat miskin tidak hanya terdapat
Universitas Sumatera Utara
kelemahan (kondisi serba kekurangan), tetapi dalam diri mereka juga terdapat potensi yang dapat dipergunakan sebagai modal dasar dalam pengembangan dirinya. Dari sudut pandang ekonomi mereka adalah orang-orang yang memiliki sedikit” (have-little) tetapi di sisi lain orang-orang miskin memiliki kekayaan budaya dan sosial. Gunawan dan Sugiyanto (2007) mengemukakan, bahwa dalam konteks penanggulangan kemiskinan, mereka tidak hanya didekati sebagai objek (gejala yang diamati), tetapi harus dipandang sebagai subjek atau pelaku yang dikelompokkan dalam Golongan Masyarakat yang Berpenghasilan Rendah (GMBR). Mereka adalah pelaku yang berperan sepenuhnya untuk menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Oleh karena itu, dalam kerangka memahami potensi keluarga miskin, paling tidak terdapat tiga bentuk potensi yang diamati, yakni: a. Kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Tinjauan tentang kemampuan dalam memenuhi kebutuhan akan dilihat dari aspek: 1. Pengeluaran keluarga, 2. Kemampuan menjangkau tingkat pendidikan dasar formal yang ditamatkan (human capital). 3. Kemampuan menjangkau perlindungan dasar (security capital). b. Kemampuan dalam pelaksanaan peran sosial. Tinjauan tentang kemampuan peran sosial akan dilihat dari: 1. Peran dalam bidang ekonomi (dilihat dari kegiatan utama dalam mencari nafkah).
Universitas Sumatera Utara
2. Peran dalam bidang pendidikan (pelaksanaan ibadah atau membimbing keluarga, menanamkan nilai dan norma; mendorong pendidikan keluarga, mengerjakan kegiatan kerumahtanggaan, mengasuh anak dan mendampingi anak belajar). 3. Peran dalam bidang perlindungan (melindungi keluarga, turut memecahkan masalah keluarga dan turut serta memelihara kesehatan keluarga). 4. Peran dalam bidang kemasyarakatan (kunjungan keluarga, rekreasi, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan kelembagaan). c. Kemampuan dalam menghadapi permasalahan. Tinjauan tentang kemampuan dalam menghadapi permasalahan, akan dilihat dari upaya yang mereka lakukan untuk mempertahankan diri dari tekanan ekonomi dan non ekonomi. Dari hasil penelitian yang dilakukan (Gunawan dan Sugiyanto, 2007) menunjukkan bahwa peran sosial yang dilaksanakan oleh keluarga fakir miskin lebih banyak bersifat intern, artinya lebih banyak terkonsentrasi dalam urusan keluarga. Kepala keluarga lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk mencari nafkah, pendidikan dan perlindungan keluarga. Pelaksanaan peran sosial kemasyarakatan kurang terintegrasi dalam kehidupan keluarga. Mereka tidak begitu aktif untuk melakukan kunjungan keluarga, rekreasi, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan kelembagaan. Namun, terungkap cukup banyak strategi yang dipergunakan keluarga fakir miskin dalam menghadapi permasalahannya, antara lain: a. Optimalisasi sumber daya manusia (SDM)
Universitas Sumatera Utara
Strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk peningkatan penghasilan karena tuntutan hidup yang semakin besar. Berbagai bentuk strategi yang dibangun oleh keluarga fakir miskin antara lain melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan atau mengerahkan anggota keluarga untuk memperoleh penghasilan, termasuk mengerahkan anak yang masih duduk di bangku sekolah. Di satu sisi, strategi pelibatan anak dalam peran ekonomi ini akan memupuk kemampuan anak untuk membaca peluang ekonomi. Mereka akan lebih mampu memanfaatkan situasi dan kondisi untuk mengakses uang. Namun di sisi lain, strategi ini akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan hak anak terutama hak untuk memperoleh pendidikan. Sebagian besar waktu yang seharusnya untuk belajar mereka pergunakan untuk bekerja atau membantu keluarga dalam peran ekonomi. Akibat lanjut, kualitas pendidikan anak-anak mereka relatif rendah. Sadar ataupun tidak, pemanfaatan strategi ini dapat dikonotasikan sebagai suatu jebakan kemiskinan. b. Penekanan/pengetatan pengeluaran. Penekanan/pengetatan pengeluaran merupakan strategi yang bersifat pasif, yaitu mengurangi pengeluaran keluarga misalnya pengeluaran biaya untuk sandang, pangan, biaya sosial, transportasi, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan
sehari-hari
lainnya.
Dalam
kerangka
penekanan/pengetatan
pengeluaran, seringkali mereka mengabaikan kebutuhan pelayanan untuk kesehatan. Walaupun mereka telah mempunyai kartu sehat dari Dinas Kesehatan. Pengurangan pengeluaran biaya kesehatan lebih banyak dilakukan,
Universitas Sumatera Utara
karena kesehatan tidak menjadi prioritas utama mereka. Perhatian mereka lebih terfokus kepada kegiatan yang berhubungan dengan pencarian nafkah. c. Pemanfaatan jaringan. Strategi pemanfaatan jaringan, merupakan salah satu upaya yang ditempuh oleh keluarga fakir miskin dalam mengatasi masalah keluarga. Jaringan yang dimaksud adalah relasi sosial mereka, baik secara informal maupun formal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan kelembagaan. Pemanfaatan jaringan ini terlihat jelas dalam mengatasi masalah ekonomi dengan pinjam uang kepada tetangga, mengutang ke warung terdekat, memanfaatkan program anti kemiskinan, bahkan ada yang pinjam uang ke rentenir atau bank dan sebagainya. Relasi mereka tidak hanya sebatas bidang ekonomi, tetapi mencakup bidang-bidang yang lain, misalnya dalam peningkatan mental spiritual. Kegiatan ini
merupakan strategi yang bersifat aktif
untuk
memperoleh dukungan emosional.
2.5.2 Preferensi Bermukim Turner (1969) dalam Yunus (2000) mengemukakan bahwa ada 4 (empat) macam dimensi yang bergerak paralel dengan mobilitas tempat tinggal yaitu : a. Dimensi Lokasi, mengacu pada lokasi tertentu pada suatu kota yang dianggap paling cocok untuk tempat tinggal sesuai dengan kondisi diri. Kondisi diri ini lebih ditekankan pada penghasilan dan siklus kehidupan, sehingga lokasi dalam konteks ini berkaitan erat dengan jarak terhadap tempat kerja.
Universitas Sumatera Utara
b. Dimensi Perumahan, dikaitkan dengan aspirasi terhadap macam/tipe perumahan. Turner membatasi aspek perumahan ini pada aspek ”penguasaan”, yang juga selalu dikaitkan dengan penghasilan dan siklus kehidupan. Masyarakat yang berpenghasilan rendah akan memilih menyewa atau mengontrak saja daripada berangan-angan untuk memiliki rumah, karena kemampuan itulah yang paling sesuai dengan tingkat penghasilannya. c. Dimensi Siklus Kehidupan, membahas tahap-tahap peningkatan kemandirian dalam kehidupan, dimana semua kebutuhan hidup ditopang oleh penghasilan sendiri. Secara umum, makin lanjut tahap siklus kehidupan maka makin tinggi penghasilan, sehingga kaitannya dengan dimensi lokasi dan dimensi perumahan menjadi semakin jelas. d. Dimensi
Penghasilan,
menekankan
pembahasan
pada
besar
kecilnya
penghasilan yang diperoleh persatuan waktu, dengan asumsi bahwa makin lama menetap di kota maka makin mantap pekerjaannya sehingga makin tinggi pula penghasilan yang diperoleh persatuan waktu tertentu. Lebih lanjut Turner (1968) menyatakan bahwa terdapat kaitan antara kondisi ekonomi dengan tingkat prioritas kebutuhan perumahan pada setiap manusia. Bagi masyarakat golongan berpenghasilan rendah, terdapat 3 tingkat prioritas kebutuhan perumahan yaitu : a. Faktor jarak menjadi prioritas utama, b. Faktor status lahan dan rumah menjadi prioritas kedua, dan c. Faktor bentuk dan kualitas rumah menjadi prioritas ketiga.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Panudju (1999), dalam menentukan prioritas kebutuhan rumah, masyarakat golongan berpenghasilan rendah cenderung meletakkan prioritas utama pada lokasi rumah yang berdekatan dengan tempat yang dapat memberikan kesempatan kerja. Tanpa kesempatan kerja yang dapat menopang kebutuhan sehari-hari, sulit bagi mereka untuk dapat mempertahankan hidupnya. Status pemilikan rumah dan lahan menempati prioritas kedua, sedangkan bentuk maupun kualitas rumah menjadi prioritas terakhir. Yang terpenting bagi mereka adalah tersedianya rumah untuk berlindung dan istirahat dalam upaya mempertahankan hidupnya. Begitu juga Jo Santoso (2002) dalam Kurniasih (2007) mengungkapkan bahwa rumah bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah adalah : a. Dekat dengan tempat kerja atau di tempat yang berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan, minimal pekerjaan di sektor informal. b. Kualitas fisik rumah dan lingkungan, tidak penting sejauh masih dapat menyelenggarakan kehidupan. c. Hak-hak penguasaan khususnya hak milik atas tanah dan bangunan, tidak penting. Yang penting adalah tidak diusir atau digusur, sesuai dengan cara berpikir mereka bahwa rumah adalah sebuah fasilitas. Menurut Urban Poor Consortium (2007), rakyat bergerak mencari nafkah dan tempat bermukim yang sesuai dengan kemampuan mereka untuk bekerja mencari nafkah. Gerakan semut yang mencari sumber-sumber gula seperti ini, seharusnya diterima sebagai kenyataan sosial yang tak terelakkan. Sebagaimana diungkapkan oleh Suparlan (2007) bahwa pemukim kumuh dan liar yang umumnya merupakan masyarakat yang berpenghasilan rendah, memiliki beraneka
Universitas Sumatera Utara
ragam mata pencaharian dimana sebagian besar di sektor informal. Hal ini telah memungkinkan bagi mereka untuk dapat hidup sebagai sebuah komunitas yang mandiri karena telah memungkinkan untuk dapat saling menghidupi dalam batasbatas tertentu. Kegiatan-kegiatan mereka di sektor informal telah menyebabkan bahwa rumah bukan hanya sebagai tempat untuk beristirahat, sebagai ruang untuk kegiatan-kegiatan pribadi dan keluarga, tetapi rumah juga merupakan tempat bekerja. Bahkan bukan hanya rumah saja, tetapi juga ruang-ruang terbuka (halaman rumah atau lapangan terbuka) dimanfaatkan untuk tempat kegiatan bekerja, mempersiapkan produk-produk kerja atau sebagai tempat penyimpanan/ gudang.
2.5 Studi yang pernah dilakukan Sejumlah studi kasus pada Konferensi Habitat di Vancouver tahun 1976 telah menyoroti kondisi di permukiman kumuh dan liar, yang mana hasilnya berpengaruh dalam menentukan pendekatan yang akan dijalankan bersama terhadap penyelesaian masalah (Srinivas, 2007). Sebuah penelitian permukiman kumuh dan liar yang berlokasi di sepanjang tanggul perlindungan banjir di Dhaka, India (Rahman, G dan Tariquzzaman, SM, 2000) mengungkapkan bahwa pemukim bekerja di sektor informal (mayoritas buruh) yang tidak mampu memperoleh lahan dan perumahan karena harga lahan bertambah dengan cepat sehingga tanggul merupakan tempat bebas sewa, bebas banjir serta memberikan kesempatan sebagai tempat kerja.
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia juga terdapat beberapa studi tentang permukiman kumuh dan liar. Dari hasil penelitian Tim Unilam (Wahyu, 1997) pada tahun 1996 terhadap permukiman kumuh di Banjarmasin, ditemukan sejumlah karakteristik yaitu tingkat penghasilan rendah, pendidikan rendah, kesehatan balita rendah, penggunaan air bersih rendah, rumah sempit, drainase berbau busuk, sampah tidak dikelola dengan baik, dan membuang tinja tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan. Penelitian mengenai karakteristik perumahan dan penduduk kawasan sempadan rel kereta api di Kodya Malang (Handayani dan Rinawati, 1998) dilakukan melalui pengamatan terhadap nilai tanah lokasi, daya dukung lahan serta profil lingkungan masyarakat Kecamatan Sukun dan Kecamatan Kedungkandang, Kodya Malang yang dilalui kereta api dan merupakan kawasan padat. Dari 3 (tiga) indikator yang diamati yaitu: jarak tempat kerja, mata pencaharian, dan tingkat pendidikan, diketahui bahwa jarak tempat kerja merupakan alasan utama mereka menempati kawasan sempadan rel kereta api. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian terhadap beberapa lokasi di Sulawesi Selatan yakni di kabupaten Wajo, kabupaten Pangkep dan kabupaten Pinrang (Naidah Naing, 2005), dijelaskan bahwa timbulnya permukiman kumuh umumnya disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : a. Faktor Sosial, Budaya, dan Ekonomi (rendahnya pendidikan, rendahnya pendapatan, tidak adanya modal, hubungan kekerabatan yang tinggi). b. Faktor Tata Ruang dan Lingkungan (rendahnya kepemilikan tanah dan bangunan, dan tingginya tingkat pencemaran).
Universitas Sumatera Utara
c. Faktor Aksessibilitas terhadap Sarana dan Prasarana (rendahnya akses terhadap jalan, drainase, sanitasi, tempat pembuangan sampah, ruang terbuka, dan sarana pelayanan kesehatan). Penelitian lain juga telah dilakukan terhadap permukiman kumuh dan liar di Kota Medan yang berada di bantaran rel kereta api yang sudah tidak berfungsi lagi dan berdekatan dengan daerah aliran sungai (Wan Zulkarnain, 2006). Dinyatakan bahwa secara garis besar faktor-faktor dominan yang mempengaruhi masyarakat untuk menetap di kawasan tersebut dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) kategori yaitu: a. Faktor Ekonomi, merupakan kemampuan yang dimiliki warga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti pekerjaan dan pendapatan yang diperoleh. b. Faktor Sosial, merupakan kemampuan seseorang untuk beradaptasi dengan lingkungannya seperti pendidikan dan pengetahuan, dan c. Faktor Budaya, merupakan latar belakang budaya masyarakat seperti suku bangsa dan adat istiadat yang mempengaruhi dalam bersikap dan berinteraksi di lingkungannya menghadapi persaingan kota yang cukup ketat.
Universitas Sumatera Utara