BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ideologi Ideologi secara etimologis berasal dari kata idea dan logos. Idea berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita. Kata idea berasal dari bahasa Yunani ideos yang berarti bentuk atau idean yang berarti melihat, sedangkan logos berarti ilmu. Dengan demikian, ideologi berarti ilmu pengertianpengertian dasar, cita-cita yang bersifat tetap yang harus dicapai, sehingga cita-cita yang bersifat tetap itu sekaligus merupakan dasar, pandangan atau paham.3 Anthony Downs (1957) mengartikan ideologi sebagai seperangkat asumsi dasar baik normatif maupun empiris mengenai sifat dan tujuan manusia atau masyarakat agar dapat dipakai untuk mendorong serta mengembangkan teori politik. Menurut Syamsudin (2009:98), ideologi adalah keseluruhan prinsip atau norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang meliputi berbagai aspek seperti sosial politik, ekonomi, budaya, dan hankam. Menurut W.White dikutip Kansil (2005:27), ideologi ialah soal cita-cita mengenai berbagai macam masalah politik dan ekonomi filsafat sosial yang sering dilaksanakan bagi suatu rencana yang sistematis tentang cita-cita yang dijalankan oleh kelompok atau lapisan masyarakat. Dengan demikian ideologi merupakan alat 3
Dedy Hidayat, Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan, Penerbit Buku Baik, Yogyakarta, 2001; Kaelan, Metodologi Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, Paradigma, Yogyakarta, 2005. 10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
pengikat yang baik karena didasarkan pada pemikiran yang menyatakan bahwa jika persatuan sudah terwujud maka alat pengikat sudah tidak diperlukan. Dalam pandangan secara umum, ideologi dapat diartikan sebagai suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam yang dipunyai dan dipegang oleh suatu masyarakat tentang bagaimana cara yang sebaiknya, yaitu secara moral dianggap benar dan adil, mengatur tingkah laku mereka bersama dalam berbagai segi kehidupan duniawi mereka.4 Ideologi sebagai suatu paham mengandung tiga unsur utama, yaitu adanya penafsiran atau pemahaman terhadap kenyataan, dimana kenyataan yang dianggap benar setidaknya bagi para penganut. Kemudian memuat seperangkat nilai atau keyakinan moral yang akan mengatur atau menata kondisi masyarakat. Ideologi juga memuat orientasi pada suatu tindakan. Hal ini mengandung makna bahwa ideologi bukan sekadar penafsiran semata akan tetapi merupakan pedoman untuk mewujudkan nilai atau keyakinan moral. Oleh karenanya ideologi harus memiliki suatu interpretasi, etika, dan retorika.5 Ideologi bisa dikatakan sebagai pedoman bagi individu, masyarakat, atau bangsa untuk berpikir, melangkah, dan bertindak. Ideologi juga sebagai kekuatan yang dapat memberi semangat dan motivasi untuk mencapai tujuan. Ideologi juga memiliki dimensi-dimensi, yaitu dimensi realita, dimensi idealisme, dan dimensi fleksibilitas. Dimensi realita yaitu menunjuk pada kemampuan ideologi untuk mencerminkan realita yang hidup dalam 4
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1992, hlm.187. John Thompson, Studies in the Theory of Ideology, University of California Press, Berkeley Los Angeles, 1984. 5
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
masyarakat dimana ia muncul untuk pertama kalinya. Sedangkan dimensi idealisme yaitu kadar atau kualitas idealisme yang terkandung di dalam ideologi atau nilai-nilai dasarnya. Dimensi fleksibilitas, yaitu kemampuan ideologi dalam mempengaruhi dan sekaligus menyesuaikan diri dengan pertumbuhan atau perkembangan masyarakatnya. Beberapa jenis ideologi yang terdapat di dunia saat ini, yaitu liberalisme, konservatisme, komunisme, marxisme, feminisme, sosialisme, fasisme, kapitalisme, demokrasi, dan neoliberalisme.
2.2 Liberalisme Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama.6 Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.7 Secara etimologi, liberalisme berasal dari kata liberty (dalam bahasa inggris) atau liberte (dalam bahasa Prancis) yang berati bebas. Kata liberal, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti: (1) bersifat bebas; (2) berpandangan bebas (luas dan terbuka). Arti kata liberal menurut para pemikir barat berarti bebas tanpa batas sepanjang pandangan bebas tersebut
6
Coady, C.A.J, Distributive Justice, A Companion to Contemporary Political Philosophy, Blackwell Publishing, 1995, hlm.440. 7 Sukarna, Ideologi: Suatu Studi Ilmu Politik, Penerbit Alumni, Bandung, 1981.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
sesuai dengan akal budi manusia, karena hukum, menurut pandangan mereka adalah perintah akal budi.8 Secara garis besar liberalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya suatu kebebasan individu dalam segala bidang, baik bidang politik, ekonomi maupun agama. Menurut paham ini titik pusat dalam kehidupan adalah individu tersebut. Aliran ini memandang bahwa manusia dengan seluruh akalnya mampu memahami segala sesuatu. Manusia dapat mengembangkan diri dan masyarakatnya melalui kegiatan rasional dan bebas. Karakter yang paling kuat ada dalam aliran ini adalah kebebasan individu dan rasionalisme. Pertama, setiap orang bebas berbuat apa saja tanpa campur tangan siapa pun, termasuk negara. Oleh karena itu, liberalisme sangat mementingkan kebebasan dengan semua jenisnya. Kebebasan dalam pandangan mereka tidak terbatas, selama tidak merugikan dan bertabrakan dengan kebebasan orang lain. Kedua, penganut liberalisme meyakini bahwa akal
manusia
mampu
mencapai
segala
kemaslahatan
hidup
yang
dikehendakinya. Standar kebenaran adalah akal dan rasio.9
2.2.1
Sejarah Liberalisme Terdapat istilah ‘liberal arts’ yang berarti ilmu yang berguna bagi dan sepatutnya dimiliki oleh setiap orang merdeka, yaitu arithmetik,
8
Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, Intrans Publishing, Malang, 2015, hlm.160. 9 Ibid, hlm. 161.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
geometri, astronomi dan musik (quadrivium) serta gramatika, logika, dan rhetorika (trivium).10 Di zaman pencerahan, kaum intelektual dan politisi Eropa menggunakan istilah liberal untuk membedakan diri mereka dari kelompok lain. Sebagai adjektif, kata liberal dipakai untuk menunjuk sikap anti feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas dan terbuka (open minded), dan hebat (magnanimous). Dalam
politik,
liberalisme
dimaknai
sebagai
sistem
dan
kecenderungan yang berlawanan dengan dan menentang ‘mati-matian’ sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Munculnya republik-republik menggantikan kerajaan-kerajaan konon tidak terlepas dari liberalisme ini. Sementara di bidang ekonomi, liberalisme merujuk pada sistem pasar bebas dimana intervensi pemerintah dalam perekonomian dibatasi, jika tidak dibolehkan sama sekali. Dalam hal ini dan pada batasan tertentu, liberalisme identik dengan kapitalisme. Di wilayah sosial,
liberalisme berarti
emansipasi wanita,
penyetaraan gender, pupusnya kontrol sosial terhadap individu dan runtuhnya nilai-nilai kekeluargaan.11 Sejarah liberalisme termasuk juga liberalisme agama adalah tonggak baru bagi sejarah kehidupan masyarakat Barat dan karena itu “Konsep-Konsep Dasar Liberalisme dan Kapitalisme”, diakses dari http://ibnulwhatever.blogspot.co.id/2015/08/konsep-konsep-dasar-liberalisme-dan.html 11 Saiful Arif, Menolak Pembangunanisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
disebut dengan periode pencerahan. Perjuangan untuk kebebasan mulai dihidupkan kembali di zaman renaissance di Italia. Paham ini muncul ketika terjadi konflik antara pendukung-pendukung negara kota yang bebas melawan pendukung Paus. Liberalisme lahir dari sistem kekuasaan sosial dan politik sebelum masa Revolusi Prancis berupa sistem merkantilisme, feodalisme, dan gereja roman katolik. Liberalisme pada umumnya meminimalkan campur tangan negara dalam kehidupan sosial. Sebagai satu ideologi, liberalisme bisa dikatakan berasal dari falsafah humanisme yang mempersoalkan kekuasaan gereja di zaman renaissance dan juga dari golongan Whings semasa Revolusi Inggris yang menginginkan hak untuk memilih raja dan membatasi kekuasaan raja. Mereka menentang sistem merkantilisme dan bentuk-bentuk agama kuno dan berpaderi. Liberalisme antistatis, seperti yang diperjuangkan oleh Frederic Bastiat, Gustave de Molinari, Herbert Spencer, dan Auberon Herbert, adalah aliran ekstrem yang dikenal dengan anarkisme (tidak ada pemerintahan) ataupun minarkisme (pemerintahan yang kecil yang hanya berfungsi sebagai the nightwatchman state). Liberalisme selalu menentang sistem kenegaraan yang didasarkan pada hukum agama. Pada 1776-1788 oleh Edward Gibbon, perkataan liberal mulai diberi maksud baik, yaitu bebas dari prasangka dan bersifat toleran. Maka pengertian liberal pun akhirnya mengalami perubahan arti dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
berkembang menjadi kebebasan secara intelektual, berpikiran luas, murah hati, terus terang, sikap terbuka, dan ramah. Prinsip dasar liberalisme adalah keabsolutan dan kebebasan yang tidak terbatas dalam pemikiran, agama, suara hati, keyakinan, ucapan, pers, dan politik. Disamping itu, liberalisme juga membawa dampak yang besar bagi sistem masyarakat Barat, diantaranya adalah mengesampingkan hak Tuhan dan setiap kekuasaan yang berasal dari Tuhan; pemindahan agama dari ruang publik menjadi sekadar urusan individu; pengabaian total terhadap agama Kristen dan gereja atas statusnya sebagai lembaga publik, lembaga legal dan lembaga sosial. Dalam liberalisme budaya, paham ini menekankan hak-hak pribadi yang berkaitan dengan cara hidup dan perasaan hati. Liberalisme budaya secara umum menentang keras campur tangan pemerintah yang mengatur sastra, seni, akademis, perjudian, seks, pelacuran, aborsi, keluarga berencana, alkohol, ganja, dan barang-barang yang dikontrol lainnya. Sedangkan liberalisme ekonomi mendukung kepemilikan harta pribadi
dan
menentang
peraturan-peraturan
pemerintah
yang
membatasi hak-hak terhadap harta pribadi. Paham ini bermuara pada kapitalisme melalui pasar bebas. Pandangan-pandangan liberalisme dengan paham agama seringkali berbenturan karena liberalisme menghendaki penisbian dari semua tata nilai, bahkan dari agama sekalipun, meski dalam prakteknya berbeda-
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
beda di setiap negara tetapi secara umum liberalisme menganggap agama adalah pengekangan terhadap potensi akal manusia. Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini diakrenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas.
2.2.2
Liberalisme di Indonesia Paham liberalisme ke Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari adanya kolonialisme barat terhadap Indonesia. Penjajahan begitu panjang dilakukan oleh barat terhadap negara Indonesia memberikan pengaruh yang cukup signifikan. Hal ini, terutama pada masa kolonial Belanda. Prinsip Negara sekular telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama.12 Prinsip sekular dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial untuk melakukan Islam Politiek, yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik. Inti Islam Politiek adalah : (1) dalam bidang ibadah murni, pemerintah hendaknya memberi kebebasan, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda; (2) dalam bidang
12
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta, 1986, hlm. 27.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
kemasyarakatan, pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat agar rakyat mendekati Belanda; (3) dalam bidang politik atau kenegaraan, pemerintah harus mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan ide Pan Islam.13 Politik Etis yang dijalankan penjajah Belanda di awal abad XX semakin menancapkan liberalisme di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakan itu disebut unifikasi, yaitu upaya mengikat negeri jajahan dengan penjajahnya dengan menyampaikan kebudayaan Barat kepada orang Indonesia. Pendidikan, sebagaimana disarankan Snouck Hurgronje, menjadi cara manjur dalam proses unifikasi agar orang Indonesia dan penjajah mempunyai kesamaan persepsi dalam aspek sosial dan politik, meskipun ada perbedaan agama.14 Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 seharusnya menjadi momentum untuk menghapus penjajahan secara total, termasuk mencabut pemikiran sekular-liberal yang ditanamkan penjajah. Tapi sayang sekali ini tidak terjadi. Revolusi kemerdekaan Indonesia hanyalah mengganti rezim penguasa, bukan mengganti sistem atau ideologi penjajah. Pemerintahan memang berganti, tapi ideologi tetap sekular. Revolusi ini tak ubahnya seperti Revolusi Amerika
tahun
1776,
ketika
Amerika
memproklamirkan
kemerdekaannya dari kolonialisasi Inggris. Amerika yang semula
13 14
183.
Ibid, hlm. 12. Delia Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta, 1991, hlm.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
dijajah lantas merdeka secara politik dari Inggris, meski sesungguhnya Amerika dan Inggris sama-sama sekular. Ketersesatan sejarah Indonesia itu terjadi karena saat menjelang proklamasi (seperti dalam sidang BPUPKI), kelompok sekular dengan tokohnya Soekarno, Hatta, Ahmad Soebarjo, dan M. Yamin telah memenangkan kompetisi politik melawan kelompok Islam dengan tokohnya Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Abdul Wahid Hasyim, dan Abikoesno Tjokrosoejoso.15 Jadilah Indonesia sebagai negara sekular. Masuknya paham sekular ke Indonesia, dapat dimengerti mengapa berbagai bentuk pemikiran liberal sangat potensial dapat tumbuh subur di Indonesia, baik liberalisme di bidang politik, ekonomi, atau pun agama. Dalam bidang ekonomi, liberalisme ini terwujud dalam bentuk sistem Kapitalisme (economic liberalism). Sedangkan dalam bidang politik, liberalisme ini nampak dalam sistem demokrasi liberal yang meniscayakan pemisahan agama dari negara sebagai titik tolak pandangannya
dan
selalu
mengagungkan
kebebasan
individu.
Kemudian dalam bidang agama, liberalisme terwujud dalam modernisme (paham pembaruan), yaitu pandangan bahwa ajaran agama harus ditundukkan di bawah nilai-nilai peradaban Barat.16
15
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Gema Insani Press, Jakarta, 1997, hlm. 42. 16 M. Shiddiq Al-Jawi, “Sejarah Masuknya Pemikiran Liberal Di Indonesia”, diakses dari http://setya-wa2n.blogspot.com/2011/03/sejarah-masuknya-pemikiran-liberal-di.html.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
Di Indonesia, lahir sebuah gerakan yang terbentuk pada tanggal 8 Maret 2001 yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal (JIL), merupakan aktualisasi dari adanya pemikiran Islam yang bersifat liberal. Terbentuknya gerakan ini menuai pro dan kontra dalam masyarakat Indonesia yang nota bene dianggap suatu aliran yang sesat dan menyesatkan, karena dianggap tidak bersesuaian dengan akidah Islam yang sesungguhnya. Hingga saat ini, paham liberalisme di Indonesia masih terus berkembang bahkan isu ini pun marak disampaikan melalui media massa, salah satunya film.
2.3 Film Film mampu menyajikan pesan dalam bentuk suara, gerak, pandangan dan warna secara bersamaan, sehingga mampu menstimuli indera pendengaran dan penglihatan. Selain itu juga mampu menampilkan secara detail suatu peristiwa atau kejadian, suatu produk atau pembicara. Oleh karena mempengaruhi dua indera sekaligus, maka efek persuasinya lebih kuat dibandingkan media lainnya.17 Film juga dapat dikatakan sebagai cara paling efektif untuk melakukan sebuah edukasi. Cara ini efektif karena dalam durasi rata-rata dua jam penonton akan disajikan sebuah pertunjukan dengan pesan-pesan yang ingin disampaikan pembuat film tersebut, dimana setelah menonton atau keluar dari bioskop akan memunculkan kesan tertentu dalam diri penonton. 17
Diah Wardhani, Media Relations: Sarana Membangun Reputasi Organisasi, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2008, hlm.30-31.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
2.3.1
Pengertian Film Menurut Undang-Undang No.33 tahun 2009 tentang perfilman, film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media
komunikasi
massa
yang
dibuat
berdasarkan
kaidah
sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.18 Film sama halnya dengan media artistik lainnya memiliki sifat-sifat dasar dari media lainnya yang terjalin dalam susunannya yang beragam. Film memiliki kesanggupan untuk memainkan ruang dan waktu, mengembangkan dan mempersingkatnya, menggerakmajukan, dan memundurkan secara bebas dalam batasan wilayah-wilayah yang cukup lapang. Meski antara media film dan lainnya terdapat kesamaankesamaan, film adalah sesuatu yang unik.19 Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Film memiliki realitas yang kuat, salah satunya menceritakan tentang realitas masyarakat. Film merupakan gambar yang bergerak. Menurut Effendi, film diartikan sebagai hasil budaya dan alat ekspresi kesenian. Film sebagai komunikasi massa merupakan gabungan dari berbagai teknologi seperti fotografi dan rekaman suara, kesenian baik seni rupa dan seni teater sastra dan arsitektur serta seni musik. 18
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No.33 Tahun 2009 tentang perfilman. Adi Pranajaya, Film dan Masyarakat: Sebuah Pengantar, BP SDM Citra Pusat Perfiman Haji Usmar Ismail, Jakarta, 1999, hlm.6.
19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
2.3.2
Karakteristik Film Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah:20 a. Layar yang luas/lebar. Layar film yang luas memberikan keleluasan penontonnya untuk melihat adegan-adegan yang disajikan dalam film. Dengan adanya kemajuan teknologi, layar film di bioskop-bioskop pada umumnya sudah tiga dimensi, sehingga penonton seolah-olah melihat kejadian nyata dan tidak berjarak. b. Pengambilan gambar. Pengambilan gambar atau shot dalam film bioskop memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long shot, dan panoramic shot, yakni pengambilan pemandangan menyeluruh. Shot-shot tersebut dipakai untuk memberi kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya, sehingga film menjadi lebih menarik. c. Konsentrasi penuh. Saat menonton film di bioskop kita terbebas dari gangguan hiruk pikuk. Semua mata tertuju pada layar, sementara pikiran perasaan tertuju pada alur cerita. Emosi pun terbawa suasana, kita akan tertawa terbahak-bahak manakala adegan film lucu atau sedikit senyum dikulum apabila ada adegan yang menggelitik. Namun dapat pula kita menjerit ketakutan bila adegan menyeramkan dan bahkan menangis melihat adegan menyedihkan.
20
Elvinaro Ardianto,dkk, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2007, hlm.145-147.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
d. Identifikasi Psikologis. Pengaruh film terhadap jiwa manusia (penonton) tidak hanya sewaktu atau selama duduk di gedung bioskop, tetapi terus sampai waktu yang cukup lama, misalnya peniruan terhadap cara berpakaian atau model rambut.
Berbagai karakteristik film tersebut menunjukkan bahwa film memang memiliki efek eksklusif bagi penontonnya, mulai dari efek kognitif yang menyangkut perolehan informasi, efek afektif yang melibatkan pembentukan sikap, dan juga menyangkut reaksi emosional untuk konten film, serta efek perilaku dimana merupakan tindakan yang dapat diamati terkait dengan konten media film itu sendiri.
2.3.3 Film Sebagai Representasi Kehadiran media massa tidak dapat dipandang dengan sebelah mata dalam proses pemberian makna terhadap realitas yang terjadi di sekitar kita, salah satunya melalui media film. Karena pengaruhnya terhadap massa yaitu dapat membentuk opini publik, media massa disebut “kekuatan keempat” (The Fourth Estate) setelah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bahkan karena idealisme dengan fungsi sosial kontrolnya, media massa disebut-sebut sebagai “musuh alami” penguasa.21
21
Asep Syamsul Romli, Jurnalistik Praktis, PT Remaja RosdaKarya, Bandung , 2002, hlm.5.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
Dengan berbagai karakteristik film dan efek eksklusifnya yang telah disebutkan sebelumnya, kemudian film juga dianggap sebagai alat representasi. Produk-produk media telah berhasil memberikan dan membentuk realitas lain yang dihadirkan di masyarakat, yaitu realitas simbolik, yang celakanya
banyak diterima secara
mentah-mentah oleh
masyarakat sebagai bentuk kebenaran. Film selama ini dianggap lebih sebagai media hiburan ketimbang media persuasi. Namun yang jelas, film sebenarnya memiliki kekuatan bujukan atau persuasi yang sangat besar. Film merupakan salah satu saluran atau media komunikasi massa di Indonesia yang mengalami pasang surut yang cukup berarti, namun tercatat mampu memberikan efek yang signifikan dalam proses penyampaian pesan.22 Konsep awal dalam representasi dari sebuah film adalah ingin menggambarkan kembali sesuatu hal yang ada pada cerita di sebuah film. Representasi menunjuk baik pada proses maupun dari produk pemaknaan suatu tanda. Representasi sendiri adalah suatu proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk yang konkrit. Konsep representasi penting digunakan untuk menggambarkan hubungan antara teks media dan realitas. Representasi dapat diartikan sebagai sebuah tanda yang tidak sama dengan realitas yang
22
Rivers & Peterson, Media Massa dan Masyarakat Modern, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 252.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
direpresentasikan tetapi dihubungkan dengan realitas yang menjadi referensinya.23 Dalam hal ini, komunikator memiliki kontrol lebih dalam menampilkan sebuah realitas. Representasi yang dilakukan tergantung pada kepentingan komunikator atau sang pembuat film. Komunikator dapat menyampaikan secara utuh realitas yang terjadi, atau hanya menampilkan sedikit dari realitas yang terjadi. Representasi juga mempunyai beberapa pengertian diantaranya adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, fotografi, film, dan sebagainya.24 Film dan masyarakat memiliki hubungan yang erat, karena film merupakan potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Sebagai media massa, film tidak akan pernah lepas dari praktek representasi. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang di masyarakat yang kemudian memproyeksikannya ke layar lebar. Representasi dikatakan sebagai proses produksi makna melalui bahasa. Hal ini mengandung dua prinsip, pertama yaitu untuk mengartikan sesuatu, menjelaskan atau menggambarkannya dalam pikiran dengan sebuah gambaran imajinasi. Kemudian yang kedua yaitu representasi digunakan untuk menjelaskan konstruksi makna 23
Ratna Noviani, Jalan Tengah Memahami Iklan (Antara Realitas, Representasi, dan Simulasi), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm.61. 24 Budi K Zaman, Bahasa Film: Teks dan Ideologi, Laporan Penelitian Fisipol UGM, Yogyakarta, 1993, hlm. 83.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
sebuah simbol, jadi kita dapat mengkomunikasikan makna melalui bahasa kepada orang lain yang dapat mengerti dan memahami bahasa yang sama. Pada dasarnya sebuah film adalah mengkonstruksikan realitas. Melalui film, kita dapat mengungkap berbagai macam pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Setiap upaya untuk “menceritakan” sebuah peristiwa, keadaan, benda atau apapun, semua itu adalah bagian dari usaha untuk mengkonstruksikan realitas. Sedangkan representasi adalah penggambaran terhadap suatu realitas yang kemudian dikomunikasikan atau diwakilkan dalam berbagai macam tanda dan simbol, baik dalam bentuk suara maupun gambar. Film adalah salah satu hasil dari representasi media massa. Karena film dibangun dari berbagai macam makna, tanda, kode dan simbol-simbol. Film selalu mengangkat berbagai realitas yang terjadi di sekitar kita untuk dijadikan cerita dalam film tersebut. Namun ada penghadiran kembali dan seleksi, serta penambahan dan pengurangan dalam penggambaran realitas yang direpresentasikan dalam bentuk cerita tersebut.
2.4 Analisis Naratif Narasi berasal dari kata Latin narre, yang artinya “membuat tahu.” Dengan begitu, narasi berhubungan dengan usaha untuk memberitahu sesuatu
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
atau peristiwa.25 Teori naratif merupakan teori yang membahas tentang perangkat dan konvensi dari sebuah cerita. Cerita yang dimaksud bisa dikategorikan fiksi atau fakta yang sudah disusun secara berurutan. Hal ini memungkinkan khalayak untuk terlibat dalam cerita tersebut. Definisi menarik tentang narasi diungkapkan oleh Bragnigan, yakni narasi adalah cara untuk mengelola data spasial dan temporal menjadi penyebab dan memunculkan efek keterkaitannya sebuah peristiwa, dari awal, tengah, dan akhir cerita yang akan menimbulkan sifat dari cerita itu. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis naratif adalah analisis yang digunakan untuk memberi tahu atau mengelola struktur sebuah cerita, baik cerita fiksi maupun fakta yang di dalamnya terdapat alur, tokoh, karakter, sudut penggambaran, dan lainnya secara beurutan. Terdapat beberapa syarat dasar narasi, yaitu pertama adanya rangkaian peristiwa. Sebuah narasi terdiri atas lebih dari dua peristiwa, dimana peristiwa satu dan peristiwa lain dirangkai. Kedua, rangkaian peristiwa tersebut tidaklah random (acak), tetapi mengikuti logika tertentu, urutan atau sebab akibat tertentu sehingga dua peristiwa berkaitan secara logis. Ketiga, narasi bukanlah memindahkan peristiwa ke dalam sebuah teks cerita. Dalam narasi selalu terdapat proses pemilihan dan penghilangan bagian tertentu dari peristiwa.26 Dalam film, terdapat rangkaian peristiwa yang mengikuti logika tertentu, serta terdapat proses pemilihan dan penghilangan bagian tertentu dari 25
Eriyanto, Analisis Naratif: Dasar-dasar dan penerapannya dalam Analisis Teks Berita Media, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, hlm.1. 26 Ibid., hlm.2-3.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
peristiwa tersebut. Maka, film 3 (Alif Lam Mim) jelas dikatakan sebagai narasi dan memenuhi syarat untuk dianalisa. Penulis memilih analisis naratif karena dalam analisis naratif, teks dianggap sebagai sebuah cerita atau dongeng. Analisis naratif membedah film sebagai film itu sendiri, dengan struktur cerita yang sudah pasti dimiliki oleh sebuah film, yakni plot, struktur narasi, dan karakter dalam cerita. Dengan menggunakan analisis naratif, maka dapat membantu kita memahami bagaimana pengetahuan, makna, dan nilai diproduksi dan disebarkan dalam masyarakat. Selain itu juga dapat memahami bagaimana dunia sosial dan politik diceritakan dalam pandangan tertentu yang dapat membantu kita mengetahui kekuatan dan nilai sosial yang dominan dalam masyarakat. Analisis naratif juga memungkinkan kita menyelidiki hal-hal yang tersembunyi dari suatu teks media. Peristiwa disajikan dalam bentuk cerita, dan dalam cerita tersbeut sebenarnya terdapat nilai-nilai dan ideologi yang ingin ditonjolkan oleh pembuatnya. Kemudian analisis naratif merefleksikan kontinuitas dan perubahan komunikasi. Melalui analisis naratif, kita bisa menganalisis perubahan narasi sebagai bentuk dari perubahan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Dalam analisis naratif, terdapat bagian penting yaitu cerita (story) dan alur cerita (plot). Kedua aspek ini penting dalam memahami suatu narasi, bagaimana narasi bekerja, bagian mana dari suatu peristiwa yang ditampilkan dalam narasi, dan bagian mana yang tidak ditampilkan. Cerita dan alur (plot)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
berbeda. Plot adalah apa yang ditampilkan secara eksplisit dalam sebuah teks. Sementara cerita (story) adalah urutan kronologis dari suatu persitiwa, dimana peristiwa tersebut bisa ditampilkan dalam teks bisa juga tidak.27 Perbedaan mendasar antara cerita (story) dengan alur (plot), yaitu pertama berdasarkan keutuhan dari suatu peristiwa. Cerita adalah peristiwa yang utuh, yaitu dari awal hingga akhir. Sedangkan alur (plot) adalah peristiwa yang secara eksplisit ditampilkan dalam suatu teks. Kemudian yang kedua perbedaan berdasar urutan peristiwa. Cerita (story) menampilkan peristiwa secara berurutan, kronologis dari awal hingga akhir. Sementara alur (plot), urutan peristiwa bisa dibolak balik. Narasi berbentuk fiksi maupun fakta, biasanya menampilkan peristiwa dalam bentuk alur (plot). Pembuat cerita berusaha membuat narasi yang semenarik mungkin. Karena itu, urutan peristiwa yang disajikan tidak selalu mengikuti urutan kronologi waktu, tetapi diatur peristiwa mana yang menarik terlebih dulu, kemudian disusul dengan peristiwa pendukung yang tidak menarik. Pembuat cerita juga ingin khalayak menikmati narasi, sehingga urutan waktu diatur agar bisa menimbulkan ketegangan bagi pembaca narasi.
2.4.1
Struktur Narasi Lacey Seorang ahli sastra dan budaya asal Bulgaria, Tzvetan Todorov mengajukan gagasan mengenai struktur dari suatu narasi. Gagasan Todorov menarik karena ia melihat teks mempunyai susunan atau
27
Ibid., hal.16.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
struktur tertentu. Pembuat teks disadari atau tidak menyusun teks ke dalam tahapan atau struktur tersebut, sebaliknya khalayak juga akan membaca narasi berdasarkan tahapan atau struktur tersebut. Bagi Todorov, narasi adalah apa yang dikatakan, karenanya mempunyai urutan kronologis, motif dan plot, dan hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa. Menurut Todorov, suatu narasi mempunyai struktur dari awal hingga akhir. Narasi dimulai dari adanya keseimbangan yang kemudian terganggu oleh adanya kekuatan jahat. Narasi diakhiri oleh upaya untuk menghentikan gangguan sehingga keseimbangan tercipta kembali.28
Ekuilibrium
Kekacauan
Ekulibrium
Gambar 2.1 Struktur narasi Todorov29
Narasi diawali dari sebuah keteraturan, kondisi masyarakat yang tertib. Keteraturan tersebut kemudian berubah menjadi kekacauan akibat tindakan dari seorang tokoh. Narasi diakhiri dengan kembalinya keteraturan. Sejumlah ahli memodifikasi struktur narasi dari Todorov tersebut, seperti yang dilakukan oleh Nick Lacey dan Gillespie. Keduanya memodifikasi struktur narasi tersebut menjadi lima bagian. Modifikasi terutama dibuat untuk tahapan antara gangguan ke 28 29
Ibid, hlm 46. Ibid.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
ekuilibrium. Tahapan ditambahkan misalnya gangguan yang makin meningkat, kesadaran akan terjadinya gangguan dan klimaks (gangguan memuncak). Bagian penting lain yang ditambahkan adalah adanya upaya untuk menyelesaikan gangguan.
Tabel 2.1 Struktur Narasi Lacey-Gillespie30 Lacey 1
Gillespie
Kondisi
keseimbangan
dan Eksposisi, kondisi awal
keteraturan 2
Gangguan terhadap keseimbangan
Gangguan, kekacauan
3
Kesadaran terjadinya gangguan
Komplikasi,
kekacauan
makin besar 4
Upaya
untuk
memperbaiki Klimaks, konflik memuncak
gangguan 5
Pemulihan menuju keseimbangan
Penyelesaian dan akhir
Kondisi awal, kondisi keseimbangan, dan keteraturan Narasi umumnya diawali dari situasi normal, ketertiban, dan keseimbangan. Dalam narasi tentang superhero, umumnya diawali oleh kondisi kota yang damai, kerajaan yang makmur, dan seterusnya.
30
Ibid., hlm. 47.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
Gangguan terhadap keseimbangan Ini bisa berupa tindakan atau adanya tokoh yang merusak keharmonisan, keseimbangan, atau keteraturan. Kehidupan yang normal dan tertib, setelah adanya tokoh atau tindakan tertentu berubah menjadi tidak teratur. Gangguan ini juga bisa berupa tindakan tertentu dari aktor yang bisa mengubah ketertiban. Seperti misalnya adanya kehadiran musuh yang melakukan tindakan jahat yang megubah ketertiban.
Kesadaran terjadi gangguan. Gangguan semakin besar Pada tahap ini, gangguan semakin besar dan dampaknya makin dirasakan.
Gangguan
umumnya
mencapai
titik
puncak
(klimaks).
Upaya untuk memperbaiki gangguan Pada tahap ini, narasi biasanya berisi tentang hadirnya sosok pahlawan yang berupaya untuk memperbaiki kondisi. Di tahap ini, sudah ada upaya untuk menciptakan keteraturan kembali, meskipun upaya itu digambarkan mengalami kegagalan.
Pemulihan menuju keseimbangan, menciptakan keteratuan kembali Tahap ini adalah babak terakhir dari suatu narasi. Kekacauan yang muncul pada babak dua, berhasil diselesaikan sehingga keteraturan bisa dipulihkan kembali.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33
Dalam penelitian ini yang akan digunakan untuk struktur narasi adalah model Lacey. Untuk membahas liberalisme dalam film 3 (Alif Lam Mim) penulis lebih detail dan dapat menggambarkan alur cerita yang berkaitan dengan liberalisme.
2.4.2
Karakter dalam Narasi Greimas (Model Aktan) Dalam sebuah narasi terdapat beberapa karakter, yakni orang atau tokoh yang mempunyai sifat atau perilaku tertentu. Karakter-karakter tersebut masing-masing mempunyai fungsi dalam narasi, sehingga narasi menjadi koheren (menyatu).31 Narasi tidak hanya menggambarkan isi cerita tetapi terdapat karakter-karakter yang memudahkan pembuat film menyampaikan gagasannya. Karakter ini bisa saja dekat atau jauh dengan kehidupan penontonnya.
Ini
membuat
pembuat
film
dengan
mudah
menggambarkan realitas yang seolah nyata bagi penontonnya. Ada beberapa analisis karakter dalam narasi diantaranya model Vladimir Propp dan analisis karakter Algirdas Greimas yang lebih dikenal dengan model aktan. Yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model aktan, karena lebih mudah memodifikasinya untuk memperoleh data yang dibutuhkan. Greimas melihat narasi sebagai struktur makna. Seperti sebuah kalimat yang setiap katanya memiliki posisi dan fungsinya masing-
31
Ibid., hlm.65.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
masing, karakter dalam narasi juga demikian. Dan setiap karakter satu sama lain memiliki relasi hingga narasi menjadi kesatuan yang koheren dan mempunyai makna.
Dalam model aktan, terdapat enam peran yang berfungsi mengarahkan jalan cerita, yaitu: Subjek Subjek memiliki peran utama sebuah cerita, tokoh utama yang menjalankan cerita. Identifikasi dilakukan besarnya porsi dalam cerita. Objek Objek merupakan tujuan yang ingin dicapai subjek. Bisa berupa orang, tetapi juga bisa berupa kondisi atau keadaan yang dicitacitakan. Pengirim Orang yang menentukan arah, aturan, dan nilai dalam suatu narasi. Biasanya tidak bertindak langsung tetapi mengarahkan tokoh utama dalam narasi. Penerima Karakter yang menerima nilai yang ditentukan pengirim. Biasanya merupakan objek tempat dimana pengirim menempatkan nilai. Pendukung Karakter yang mendukung subjek dalam mencapai objek.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35
Penghalang Karakter ini menghalangi subjek untuk mencapai objeknya.
Pengirim (Destinator)
Objek
Penerima (Receiver)
Pendukung (Adjuvant)
Subjek
Penghambat (Traitor)
Gambar 2.2 Model Aktan
Greimas melihat keterkaitan antara satu karakter dengan karakter lain. Dari fungsi-fungsi karakter dalam sebuah narasi, secara sederhana bisa dibagi ke dalam tiga relasi struktural.32 Pertama, relasi struktural antara subjek dengan objek, yang disebut sebagai sumbu keinginan. Objek adalah tujuan yang ingin dicapai subjek. Menurut Cohan dan Shires, hubungan antara subjek dengan objek adalah hubungan langsung yang bisa diamati secara jelas dalam teks. Relasi antara subjek dan objek ini bisa berupa hubungan yang dikehendaki oleh kedua belah pihak atau juga tidak. Objek juga tidak harus selalu berupa orang, melainkan bisa berupa keadaan. Kedua, relasi antara pengirim dengan penerima, yang disebut juga sebagai sumbu pengiriman. Pengirim memberikan nilai, aturan, atau perintah agar objek bisa dicapai. Sementara penerima adalah manfaat 32
Ibid., hal 96.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
36
setelah objek berhasil dicapai oleh subjek. Ketiga, relasi struktural antara pendukung dengan penghambat, yang disebut sebagai sumbu kekuasaan. Pendukung melakukan sesuatu untuk membantu subjek agar bisa mencapai objek, sebaliknya penghambat melakukan sesuatu untuk mencegah subjek mencapai objek. Ketiga relasi struktural tersebut bisa digambarkan ke dalam sebuah model seperti berikut:
Pengirim (Destinator)
Objek
Penerima (Receiver)
Pendukung (Adjuvant)
Subjek
Penghambat (Traitor)
Gambar 2.3 Relasi-relasi dalam Model Aktan
Untuk menggunakan atau menerapkan model Greimas, kita harus mengurai adegan-adegan yang terdapat dalam film. Dari masingmasing adegan tersebut, kemudian diuraikan fungsi dan karakternya, kemudian kita bisa melihat kontradiksi, konsistensi, dan peran masingmasing karakter dalam narasi. Di bawah ini adalah contoh model aktan dalam narasi, dalam bentuk tabel.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
37
Tabel 2.2 Contoh Model Aktan dalam Narasi Adegan Objek Subjek Pengirim Penerima Pendukung Penghalang 1
X
y
Z
x’
y’
z’
2
Y
z
x’
y’
z’
X
3
Z
x
z’
x’
y’
Y
http://digilib.mercubuana.ac.id/