BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pola Asuh Orangtua 1. Pengertian pola asuh Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anakanaknya. Sikap tersebut meliputi cara orangtua memberikan aturan-aturan, memberikan perhatian. Pola asuh sebagai suatu perlakuakn orangtua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kesehariannya. Sedangkan Pengertian pola asuh orangtua terhadap anak merupakan bentuk interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan pengasuhan yang berarti orangtua mendidik, membimbing dan melindungi anak (Gunarsa, 2002). Menurut Soetjiningsih (1995), kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang, secara umum digolongkan menjadi 3 kebutuhan dasar, antara lain : a. Kebutuhan fisik-biomedis (“ASUH”) Pola asuh orang tua terhadap anak meliputi : 1) Pangan/ gizi merupakan kebutuhan terpenting. 2) Perawatan kesehatan dasar, antara lain imunisasi, pemberian ASI, penimbangan bayi/ anak yang teratur, pengobatan jika sakit, dll. 3) Papan/ pemukiman yang layak. 4) Higiene perorangan, sanitasi lingkungan.
5) Sandang. 6) Kesegaran jasmani, rekreasi. b. Kebutuhan emosi/kasih sayang (“ASIH”) Pada tahun-tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat, mesra dan selaras antara ibu dengan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental maupun psikososial. Kasih sayang orang tua baik dari ayah maupun ibu menciptakan ikatan yang erat dan kepercayaan dasar ( basic trust). c. Kebutuhan akan stimulasi (“ASAH”) Stimulasi mental merupakan cikal bakal dalam proses belajar (pendidikan dan pelatihan) pada anak. Stimulasi mental (ASAH) ini mengembangkan
perkembangan
mental
psikososial
:
kecerdasan,
keterampilan, kemandirian, kreativitas, agama, kepribadian, moral, produktivitas, dan sebagainya. dapar membahagiakan dan membanggakan orang tua yang telah susah payah membesarkannya dengan cina dan kasih sayang. Masa remaja merupakan masa yang rentan terhadap masalah yang dihadapi, padahal disisi lain remaja merupakan generasi penerus bangsa, calon pemegang estafet kepemimpinan bangsa di masa yang akan datang. Pola asuh orangtua turut membentuk dasar kepribadian seseorang, apakah akan menjadi seorang yang yang memiliki kepribadian yang kokoh atau rapuh sehingga mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap stresor (Suwanto, 2009).
2. Tipe-tipe pola asuh orangtua Terdapat tipe – tipe pola asuh orang tua kepada anak yaitu : 1. Pola asuh permisif Pola asuh permisif adalah jenis pola mengasuh anak yang cuek terhadap anak. Jadi apa pun yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti tidak sekolah, bandel, melakukan banyak kegiatan maksiat, pergaulan bebas negatif, matrialistis, dan sebagainya. Biasanya pola pengasuhan anak oleh orangtua semacam ini diakibatkan oleh orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, kesibukan atau urusan lain yang akhirnya lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Dengan begitu anak hanya diberi materi atau harta saja dan terserah anak itu mau tumbuh dan berkembang menjadi apa. Anak yang diasuh orangtuanya dengan metode semacam ini nantinya bisa berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai orang lain, dan lain sebagainya baik ketika kecil maupun sudah dewasa. b. Pola asuh otoriter Pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras dan kaku di mana orangtua akan membuat berbagai aturan yang saklek harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu
perasaan sang anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya. Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh anak-anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orangtua yang telah membesarkannya. Anak yang besar dengan teknik asuhan anak seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid/selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci orangtua, dan lain-lain, tetapi di balik itu biasanya anak hasil didikan ortu otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan orang tua, lebih disiplin dan lebih bertanggungjawab dalam menjalani hidup. c. Pola asuh otoritatif Pola asuh otoritatif adalah pola asuh orangtua pada anak yang memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan yang baik dari orangtua. Pola asuh ini adalah pola asuh yang cocok dan baik untuk diterapkan para orangtua kepada anak-anaknya. Anak yang diasuh dengan tehnik asuhan otoritatif akan hidup ceria, menyenangkan, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada orangtua, menghargai dan menghormati orangtua, tidak mudah stres dan depresi, berprestasi baik, disukai lingkungan dan masyarakat dan lain-lain.
3. Kriteria pola asuh orangtua Pola asuh orangtua terhadap perilaku anak remaja memiliki beberapa kriteria yaitu (Syamsul, 2005) : a. Pola asuh Authoritarian Pola asuh orangtua, dimana sikap orangtua yang rendah, namun kontrolnya tinggi, suka menghukum secara fisik dan bersikap komando. b. Pola asuh permissive Pola asuh orangtua, dimana sikap orangtua meningkat namun kontrolnya rendah, memberikan kebebasan terhadap anak untuk mengatakan dorongan keinginannya. c. Pola asuh Authoritative Pola asuh oragtua, dimana sikap yang meninggat dan kontrolnya meningkat, bersikap responsif terhadap kebutuhan anak, mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan, memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik atau buruk. d. Pola asuh dominan Pola asuh orangtua yang mendominasi dalam segala hal yang menyangkut remaja dalam tindakan sehari-hari. e. Pola asuh Submission Orangtua cenderung senantiasa memberikan sesuatu yang diminta anak berperilaku semaunya dirumah.
f. Pola asuh overdisplin Orangtua senantiasa mudah memberikan hukuman, menanamkan kedisiplinan secara keras. 4. Tips cara mendidik anak Terdapat beberapa cara dalam mendidik anak bagi orangtua yaitu (Suwanto, 2009) : a. Bagi orangtua harus kompak memilih pola asuh yang akan diterapkan kepada anak. Jangan berubah-ubah agar anak tidak menjadi bingung. b. Jadilah orangtua yang pantas diteladani anak dengan mencontohkan halhal positif dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai anak dipaksa melakukan hal baik yang orangtuanya tidak mau melakukannya. Anak nantinya akan menghormati dan menghargai orang tuanya sehingga setelah dewasa akan menyayangi orangtua dan anggota keluarga yang lain. c. Sesuaikan pola asuh dengan situasi, kondisi, kemampuan dan kebutuhan anak. Pola asuh anak balita tentu akan berbeda dengan pola asuh anak remaja. Jangan mendidik anak dengan biaya yang tidak mampu ditalangi orangtuanya. Usahakan anak mudah paham dengan apa yang kita inginkan tanpa merasa ada paksaan, namun atas dasar kesadaran diri sendiri. d. Kedisiplinan tetap harus diutamakan dalam membimbing anak sejak mulai kecil hingga dewasa agar anak dapat mandiri dan dihormati serta diharga
masyarakat. Hal-hal kecil seperti bangun tidur tepat waktu, membantu pekerjaan rumah tangga orangtua, belajar dengan rajin, merupakan salah satu bentuk pengajaran kedisiplinan dan tanggungjawab pada anak. e. Kedepankan dan tanamkan sejak dini agama dan moral yang baik pada anak agar kedepannya dapat menjadi orang yang saleh dan memiliki sikap dan perilaku yang baik dan agamis. Anak yang shaleh akan selalu mendoakan orangtua yang telah melahirkan dan membesarkannya walaupun orangtuanya telah meninggal dunia. f. Komunikasi dilakukan secara terbuka dan menyenangkan dengan batasanbatasan tertentu agar anak terbiasa terbuka pada orangtua ketika ada hal yang ingin disampaikan atau hal yang mengganggu pikirannya. Jika marah sebaiknya orangtua menggunakan ungkapan yang baik dan tidak langsung yang dapat dipahami anak agar anak tidak lantas menjadi tertutup dan menganggap orangtua tidak menyenangkan. g. Hindari tindakan negatif pada anak seperti memarahi anak tanpa sebab, menyuruh anak seenaknya seperti pembantu tanpa batas, menjatuhkan mental anak, merokok, malas beribadah, menbodoh-bodohi anak, sering berbohong pada anak, membawa pulang stres dari kantor, memberi makan dari uang haram pada anak, enggan mengurus anak, terlalu sibuk dengan pekerjaan dan lain sebagainya.
B. Tanggung Jawab Anak Usia Remaja 1. Pengertian Tanggung jawab merupakan suatu perasaan yang tidak secara otomatis muncul pada setiap anak yang tumbuh dan langsung memiliki rasa tanggung jawab. Rasa tanggung jawab harus dipupuk dan dibina semasa pertumbuhan karena setiap masa kehidupan memiliki tugas perkembangan tersendiri. Jika tugas tersebut tidak terselesaikan, maka tugas perkembangan tahap selanjutnya akan terhambat. Untuk itu, keluarga terutama orangtua memiliki peran penting untuk menumbuhkan rasa bertanggung jawab kepada anak sejak dini sesuai tahap perkembangannya dan kemampuannya (Shelfie, 2004). Seorang anak yang tinggal di rumah oleh orangtuanya pada waktu jam belajar, misalnya akan tetap bisa belajar sendiri dan menyelesaikan tugasnya walaupun
tanpa
pengawasan
langsung.
Dalam
masa
perkembangan
dependensinya (ketergantungan pada orang lain), seorang anak mulai dari tahap dependent (bergantung) sepenuhnya, karena bayi masih dalam keadaan tidak berdaya dan bergantung pada ibunya dalam segala hal. Namun dalam perkembangannya, seorang individu harus memasuki tahap independent (mandiri) terutama pada masa remaja sekalipun itu bukanlah tujuan akhir. Sebagai orang dewasa, individu harus memasuki tahap interdependensi (kesalingbergantungan). Dimana pada masa dewasa, individu harus dapat
menempatkan diri bilamana diperlukan dan melakukan sendiri pekerjaannya bila tuntutan hidup mengharuskannya demikian. 2. Faktor-faktor dalam mendidik anak remaja Dalam proses mendidik anak remaja agar bertanggung jawab dibutuhkan beberapa faktor yang penting yaitu (Shelfie, 2004) : a. Rasa percaya diri Rasa percaya diri ini terbentuk saat seseorang anak mengenali kemampuannya, mendapat kesempatan dan kepercayaan untuk melakukan apa yang mampu ia kerjakan sendiri, dan memperoleh penghargaan dari orang lain atas apa yang sudah ia kerjakan, misalnya seorang anak yang sudah mampu untuk mengendarai sepeda roda tiganya perlu diberi kesempatan untuk terus mencoba dan belajar sambil tetap diawasi. Berilah dia pujian atas keberhasilannya dan doronglah dia agar tetap berusaha mencoba. Semakin anak mendapati dirinya mampu, semakin berkembang pula kepercayaan dirinya (Shelfie, 2004). b. Disiplin Tanggung jawab berhubungan erat dengan disiplin. Hal yang penting dalam disiplin adalah peraturan, konsistensi, dan imbalan/hukuman. Peraturan perlu untuk memberikan batasan atau standar yang jelas tentang perilaku yang diharapkan dan yang perlu dihindari. Konsistensi dalam penerapan disiplin perlu agar tidak membingungkan anak. Untuk itu antara ayah dan ibu diperlukan adanya kesepakatan yang jelas tentang hal-
hal yang boleh dan tidak. Selain itu konsistensi juga dituntut atas apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan. Apa yang orangtua katakan harus benar-benar diterapkan. Faktor imbalan-hukuman akan sangat efektif mendukung
proses
pendisiplinan
anak,
karena
perilaku
yang
mendatangkan imbalan akan cenderung diulangi lagi dan perilaku yang mendatangkan hukuman akan dihindari (Shelfie, 2004). 3. Tanggung jawab remaja Menurut para ahli perkembangan jiwa pada usia remaja mengalami pubertas adalah pada usia 14 - 16 tahun. Masa ini disebut juga masa remaja awal, dimana perkembangan fisik mereka begitu menonjol. Remaja sangat cemas akan perkembangan fisiknya, sekaligus bangga bahwa hal itu menunjukkan bahwa ia memang bukan anak-anak lagi, dimana pada masa ini, emosi remaja menjadi sangat labil akibat dari perkembangan hormon-hormon seksualnya yang begitu pesat. Keinginan seksual juga mulai kuat muncul pada masa ini. Pada remaja wanita ditandai dengan datangnya menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pria ditandai dengan datangnya ‘mimpi basah’ yang pertama (Anonim, 2001). Tugas perkembangan masa remaja adalah menemukan identitas dirinya agar memiliki rasa percaya diri yang baik. Jika tahap ini belum diselesaikan dengan baik, mungkin ia akan mengalami hambatan dalam mengembangkan diri, dalam karir maupun membentuk keluarga, sebagaimana menjadi tugas perkembangan masa dewasa awal. Orang yang bertanggung
jawab biasanya adalah orang yang berani berbuat juga berani menanggung risikonya, meski terasa pahit dan tidak enak. Remaja juga tidak dapat dipercayai, jika diberi tugas dijamin pasti beres pada waktunya dengan hasil yang memadai (Anonim, 2001). Remaja akan merasa bingung dan malu akan hal ini, sehingga orangtua harus mendampinginya serta memberikan pengertian yang baik dan benar tentang seksualitas. Jika hal ini gagal ditangani dengan baik, perkembangan psikis mereka khususnya dalam hal pengenalan diri/gender dan seksualitasnya akan terganggu. Ketidaktahuan dalam masalah seks juga bisa berakibat fatal dalam menyikapi akibat-akibat setelah melakukan seks bebas. Kasus aborsi dan penyakit menular seksual misalnya, adalah satu contoh betapa remaja banyak yang awam dengan masalah ini. Padahal bahaya secara medis sangat mengancam dirinya, belum lagi jika kita bicara tentang dosa. Pada remaja mulai mengerti tentang gengsi, penampilan, dan daya tarik seksual. Karena kebingungan mereka ditambah labilnya emosi akibat pengaruh perkembangan seksualitasnya, remaja sukar diselami perasaannya. Kadang mereka bersikap kasar, kadang lembut. Kadang suka melamun, di lain waktu dia begitu ceria. Perasaan sosial remaja di masa ini semakin kuat, dan mereka bergabung dengan kelompok yang disukainya dan membuat peraturan-peraturan dengan pikirannya sendiri. Untuk itu sangat penting para orangtua memperhatikan perkembangan anak-anaknya ini agar mereka tak salah
jalan
dalam
menjalani
kehidupannya,
sehingga
mereka
bisa
mengekspresikan cintanya di jalur yang benar sesuai syariat Islam. Tidak masa bodoh dengan urusan cinta dan seks. Tapi mereka tumbuh menjadi generasi yang sehat, cerdas, peduli dan taat syariat (Anonim, 2007). Dalam mengajarkan tanggung jawab kepada remaja dalam bentuk pemberian pemahaman kepada remaja dengan tujuan agar mereka mengerti tentang tanggung jawab dalam kehidupannya adalah bagian dari tanggung jawab para orangtua (di rumah, di masyarakat dan juga negara) untuk menghasilkan generasi unggulan. Baik unggul secara kognitif (ilmu pengetahuan-umum dan agama), afektif (emosi/perasaan), psikomotorik (keterampilan), maupun perkembangan fisiknya yang sehat. Sebagai orangtua tentu kita sangat mendambakan anak-anak kita tumbuh sehat, kuat, cerdas, shaleh, dan berbakti kepada orangtuanya. Itu tanggung jawab kita untuk mewujudkannya. Tentu saja, agar keinginan kita semua bisa terwujud nyata dan nampak manfaatnya, dibutuhkan kerjasama semua pihak yaitu keluarga, masyarakat, dan juga negara (Solihin, 2009). 4. Faktor-faktor yang menghambat terbentuknya tanggung jawab pada remaja Terbentuknya rasa tanggung jawab pada remaja terdapat beberapa hambatan ari seorang anak, yang meliputi (Solihin, 2009) : a. Orangtua mengambil alih tanggung jawab anak Setiap orangtua pasti menginginkan anaknya selalu merasa senang dan berhasil. Oleh karena itu, orangtua cenderung menggantikan posisi
anak jika ia melihat anaknya mulai tidak senang atau mengalami kesulitan,misalnya jika anak kesulitan buat pekerjaan rumah maka orang tuanya tidak akan keberatan untuk menyelesaikan bagi anaknya, ataupun jika ada ulangan maka orang tuanya yang panik sampai-sampai tidak bisa tidur. Atau jika kita memberi tugas kepada anak untuk membereskan tempat tidurnya, tapi ia tidak melakukannya juga setelah beberapa kali diingatkan, sering kita akan belajar bahwa selalu ada orang lain yang menggantikan dirinya atau melakukan tugasnya (Solihin, 2009). b. Orangtua yang menilai segala sesuatu ditinjau dari hasil yang sempurna Anak-anak tetap berbeda dengan kita, demikian pula kualitas kerja mereka. Jadi jangan menuntut hasil usaha mereka harus sama dengan kita, serta jangan kecewa atau pun memarahi anak jika hasil kerjanya tidak sesuai dengan harapan kita agar tidak timbul rasa bersalah dan keengganan untuk mencoba lagi. Biasanya hal ini banyak terjadi pada orang tua yang perfeksionis, yang menuntut segala sesuatu diselesaikan dengan sempurna baik pada dirinya sendiri maupun pada diri orang lain (Solihin, 2009). c. Orangtua yang menilai dari segi efesiensi dan efektivitas Memang jika semua dikerjakan oleh orangtua sendiri, maka semuanya akan beres lebih cepat dan hasilnya lebih baik. Namun jika ingin mulai mendidik anak untuk mandiri dan bertanggung jawab, maka prinsip efisiensi dan efektif tidak bisa diterapkan. Yang lebih dibutuhkan
adalah kesabaran dan pengertian. Orangtua perlu memahami dan lebih sabar mengikuti langkah anak sesuai kemampuannya. Maksudnya jika ia berbuat kesalahan atau banyak kekurangan, itu adalah hal yang wajar. Demikian juga bila anak membutuhkan waktu lebih banyak untuk melakukan tanggung jawabnya dibandingkan dengan kita (Solihin, 2009). d. Orangtua yang sangat mengasihi anaknya sehingga cenderung overprotective Orangtua sudah pasti sangat mengasihi anaknya dan berusaha melindungi mereka terhadap ancaman dari luar. Ini sangat baik dan wajar, namun jangan sampai berlebihan. Bukankah kita hidup dalam dunia yang penuh tekanan dan hal ini tidak dapat dihindari. Selain itu, kita semua adalah orang berdosa yang bisa berbuat salah. Terkadang ada orangtua yang beranggapan bahwa anak mereka selalu benar dan anak orang lain yang salah, dan dunia dilihat sebagai ancaman bagi anak. Hal ini membuat orangtua
menempatkan
dirinya
sebagai
pembela
anaknya
tanpa
mempertimbangkan siapa yang benar dan salah. Jika anak lain bertengkar dengan anaknya, maka anak laki itu yang akan dimarahi. Ataupun jika anaknya dihukum guru, maka orangtua akan menghadap guru dan mengusahakan berbagai cara agar anaknya tidak dihukum. Selain itu, anak tidak diizinkan pergi sendiri tanpa pengawasannya. Kalau anaknya mau pergi, selalu harus dengan orangtua, atau pembantu. Anak seperti ini akan
terbiasa menyalahkan lingkungan atau mencari kambing hitam sehingga kurang bertanggung jawab (Solihin, 2009). 5. Langkah-langkah mengembangkan rasa tanggung jawab Dalam menghadapi kehidupan dibutuhkan langkah praktis yaitu sebagai berikut (Anonim, 2001) : a. Memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan sendiri apa yang ingin dilakukan Memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan sesuatu tidak salah selama itu tindakan tidak membahayakan dirinya, sambil tetap diberikan pengarahan, pemantauan dan pendampingan, misalnya seorang yang mau makan sendiri, biarkan ia melakukannya walaupun hasilnya masih akan berceceran di meja dan memenuhi mukanya. Tugas-tugas rutin lainnya seperti mandi, berpakaian, gosok gigi, mengembalikan mainan di tempatnya, hendaknya dipelajari sejak dini. Pada mulanya kita perlu mendampingi, dalam arti kehadiran kita akan sangat berarti bagi mereka (Anonim, 2001). b. Memberi penghargaan berupa pujian dan dorongan atas apa yang sudah diusahakannya Jangan terfokus pada kekurangannya, tetapi pada usaha dan apa yang sudah dikerjakannya. Apabila mereka gagal, kita dapat juga menceritakan pengalaman kita dulu waktu seusia dengan mereka. Kata-
kata dorongan dan penghargaan dari orang tua sangat bermakna bagi perkembangan kepercayaan diri anak (Anonim, 2001). c. Memberi tugas yang sesuai dengan kemampuan anak Menuntut anak melakukan sesuatu melampaui kemampuannya. Sebagai orangtua kita masih memiliki bagian dari tanggung jawab untuk membimbing anak, misalnya anak punya tanggung jawab untuk belajar agar bisa naik kelas. Ini tidak sepenuhnya tanggung jawab anak. Sebagai orangtua kita memiliki bagian tanggung jawab memantau, mengingatkan, membantu jika anak mengalami kesulitan. Hal ini penting saat kita memarahi anak, di mana kita juga perlu mengoreksi diri kita sehingga tidak melimpahkan kesalahan seluruhnya kepada anak (Anonim, 2001). d. Melibatkan anak dalam tugas-tugas yang menyangkut kepentingannya maupun keluarga Kegiatan keluarga seorang anak dapat dilibatkan dalam kegiatan selama menyangkut urusan keluarga, misalnya, jika anak diminta membawa saputangan, mintalah anak mengambilnya di lemari pakaian dan memasukkannya sendiri ke dalam tasnya.(Anonim, 2001). e. Memberikan ganjaran/imbalan yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan Salah satu bentuk disiplin, misalnya, seorang anak yang sudah diperingatkan untuk tidak menggambar di tembok tapi dia tetap melakukannya, maka anak diminta untuk membersihkan tembok tersebut
walaupun mungkin tidak akan bersih sama sekali. Tapi setidaknya dia sudah merasakan akibat dari pelanggaran yang dilakukannya. Demikian juga jika anak ketinggalan agenda di rumah dan kita melihatnya, tidak perlu diantar ke sekolah. Mungkin anak kita akan dihukum karenanya, tapi mereka juga perlu merasakan bahwa jika mereka melakukan kesalahan maka mereka sendiri yang harus menanggung akibatnya. Hal penting lainnya yang perlu dilakukan adalah memberi pengertian kepada anak bahwa hukuman yang diberikan adalah akibat dari kesalahannya sendiri, bukan karena kejahatan dari pihak penghukum. Anak juga perlu memahami bahwa dengan menghukum bukan berarti orangtua tidak mengasihinya lagi .(Anonim, 2001).
C. Remaja 1. Pengertian remaja Remaja adalah periode perkembangan selama dimana individu mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, biasanya antara usia 13 dan 20 tahun. Istilah adolesens biasanya menunjukkan maturasi psikologis individu, ketika pubertas menunjukkan titik dimana reproduksi mungkin dapat terjadi. Perubahan hormonal pubertas mengakibatkan perubahan penampilan pada orang muda, dan perkembangan mental mengakibatkan kemampuan untuk menghipotesis dan berhadapan dengan abstraksi (Perry dan Potter, 2005).
Masa remaja dikenal sebagai masa yang penuh kesukaran. Bukan saja kesukaran bagi individu, tetapi juga bagi orang tuanya, masyarakat bahkan sering kali pada aparat keamanan. Hal ini disebabkan masa remaja merupakan masa transisi antara kanak-kanak dan masa dewasa. Masa transisi ini sering kali menghadapkan individu yang bersangkutan kepada situasi yang membingungkan, disatu pihak ia masih kanak-kanak, tetapi dilain pihak ia harus bertingkah laku seperti orang dewasa (Purwanto, 1999). Menurut Purwanto (1999), tingkat-tingkat perkembangan dalam masa remaja dapat dibagi dengan berbagai cara. Salah satu pembagian yang dilakukan oleh Stolz adalah sebagai berikut : a. Masa prapuber : satu atau dua tahun sebelum masa remaja yang sesungguhnya. Anak menjadi gemuk, pertumbuhan tinggi badan terhambat sementara. b. Masa puber atau masa remaja : perubahan-perubahan sangat nyata dan cepat. Dimana anak wanita lebih cepat memasuki masa ini dari pada pria. Masa ini lamanya berkisar antara 2,5-3,5 tahun. c. Masa postpuber : pertumbuhan yang cepat sudah berlalu, tetapi masih nampak perubahan-perubahan tetap berlangsung pada beberapa bagian badan. d. Masa akhir puber : melanjutkan perkembangan sampai mencapai tandatanda kedewasaan.
Sedangkan menurut Irwanto (2000), periode remaja adalah periode yang dianggap sebagai masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam perkembangan kepribadian individu. Secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, dimana usia anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak (Hurlock, 1999). 2. Ciri-ciri masa remaja Menurut Hurlock (1999), masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut antara lain : a. Masa remaja sebagai periode yang penting Peroide remaja dianggap sangat penting dari pada beberapa periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku. Akibat fisik dan psikologis mempunyai persepsi yang sangat penting. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal pada masa remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru (Hurlock, 1999).
b. Masa remaja sebagai periode peralihan Peralihan tidak berarti terputus atau berubah dari apa yang terjadi sebelumnya, tetapi peralihan yang dimaksud adalah dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya, apa yang terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan akan datang. Bila anak beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, anak harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekakak-kanakan dan juga harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan (Hurlock, 1999). c. Masa remaja sebagai periode perubahan Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat maka perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Kalau perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku menurun juga. Ada empat perubahan yang sama dan hampir bersifat universal. Pertama, meningginya emosi yang intensitasnya tergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis. Kedua, perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok. Ketiga, dengan berubahnya minat dan pola perilaku maka nilai-nilai juga berubah. Keempat, sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan (Hurlock, 1999).
d. Masa remaja sebagai usia bermasalah Masalah pada masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu, yaitu sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah, serta para remaja merasa mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru. Ketidakmampuan remaja untuk mengatasi sendiri masalahnya, maka memakai menurut cara yang mereka yakini. Banyak remaja akhirmya menemukan bahwa penyelesaian tidak selalu sesuai dengan harapan mereka (Hurlock, 1999). e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat, apakah ia seorang anak atau dewasa, apakah ia mampu percaya diri sekalipun latar belakang ras atau agama atau nasionalnya membuat beberapa orang merendahkannya. Secara keseluruhan, apakah ia akan berhasil atau akan gagal (Hurlock, 1999). f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku
merusak,
menyebabkan
orang
dewasa
yang
harus
membimbing dan mengawasi kehidupan remaja yang takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal (Hurlock, 1999). g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kaca berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga dan teman-temannya, menyebabkan meningkatnya emosi yang merupakan ciri dari awal masa remaja. Semakin tidak realistik cita-citanya semakin ia menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri (Hurlock, 1999). h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa ternyata belumlah cukup. Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks.
Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan (Hurlock, 1999). 3. Tugas perkembangan pada masa remaja a. Menerima citra tubuh Seringkali sulit bagi remaja untuk menerima keadaan fisiknya bila sejak kanak-kanak mereka telah mengagungkan konsep mereka tentang penampilan diri pada waktu dewasa nantinya. Diperlukan waktu untuk memperbaiki konsep ini dan untuk mempelajari cara-cara memperbaiki penampilan diri sehingga lebih sesuai dengan apa yang dicita-citakan (Hurlock, 1999). b. Menerima identitas seksual Menerima peran seks dewasa yang diakui masyarakat tidaklah mempunyai banyak kesulitan bagi anak laki-laki, mereka telah didorong dan diarahkan sejak awal masa kanak-kanak. Tetapi berbeda bagi anak perempuan, mereka didorong untuk memainkan peran sederajat sehingga usaha untuk mempelajari peran feminim dewasa memerlukan penyesuaian diri selama bertahun-tahun (Hurlock, 1999). c. Mengembangkan sisitem nilai personal Remaja megembangkan sistem nilai yang baru misalnya remaja mempelajari hubungan baru dengan lawan jenis berarti harus mulai dari
nol dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana harus bergaul dengan mereka (Hurlock, 1999). d. Membuat persiapan untuk hidup mandiri Bagi remaja yang sangat mendambakan kemandirian, usaha untuk mandiri harus didukung oleh orang terdekat (Hurlock, 1999). e. Menjadi mandiri atau bebas dari orang tua Kemandirian emosi berbeda dengan kemandirian perilaku. Banyak remaja yang ingin mandiri, tetapi juga membutuhkan rasa aman yang diperoleh dari orang tua atau orang dewasa lain. Hal ini menonjol pada remaja yang statusnya dalam kelompok sebaya yang mempunyai hubungan
akrab
dengan
anggota
kelompok
dapat
mengurangi
ketergantungan remaja pada orang tua (Hurlock, 1999). f. Mengembangkan ketrampilan mengambil keputusan Ketrampilan
mengambil
keputusan
dipengaruhi
oleh
perkembangan ketrampilan intelektual remaja itu sendiri, misal dalam mengambil keputusan untuk menikah di usia remaja (Hurlock, 1999). g. Mengembangkan identitas seseorang yang dewasa Remaja erat hubungannya dengan masalah pengembangan nilainilai yang selaras dengan dunia orang dewasa yang akan dimasuki, adalah tugas untuk mengembangkan perilaku sosial yang bertanggung jawab (Hurlock, 1999).
4. Perubahan pada remaja a. Perubahan fisik pada remaja Menurut Tim Pembina UKS Propinsi Jawa Barat (2004) terjadi pertumbuhan fisik yang cepat pada remaja, termasuk pertumbuhan organ reproduksi (organ seksual) untuk mencapai kematangan sehingga mampu melangsungkan fungsi reproduksi. Perubahan ini ditandai dengan munculnya tanda-tanda yaitu : 1) Tanda-tanda seks primer yaitu yang berhubungan langsung dengan organ seks. Terjadinya haid pada remaja putri ( menarche ) dan terjadinya mimpi basah pada remaja laki-laki. 2) Tanda-tanda seks sekunder yaitu : pada remaja laki-laki terjadi perubahan suara, tumbuhnya jakun, penis dan buah zakar bertambah besar, terjadinya ereksi dan ejakulasi, dada lebih lebar, badan berotot, tumbuhnya kumis, cambang dan rambut disekitar kemaluan dan ketiak. Dan pada remaja putri terjadi perubahan pinggul lebar, pertumbuhan rahim dan vagina, payudara membesar, tumbuhnya rambut di ketiak dan sekitar kemaluan (pubis). b. Perubahan kejiwaan pada remaja Proses perubahan kejiwaan berlangsung lebih lambat dibandingkan perubahan fisik yang meliputi : 1) Perubahan emosi, sehingga remaja menjadi : a) Sensitif ( mudah menangis, cemas, frustasi dan tertawa )
b) Agresif dan mudah bereaksi terhadap rangsangan luar yang berpengaruh, sehingga misalnya mudah berkelahi. 2) Perkembangan intelegensia, sehingga remaja menjadi : a) Mampu berpikir abstrak, senang memberikan kritik b) Ingin mengetahui hal-hal baru, sehingga muncul perilaku ingin coba-coba.
D. Hubungan antara pola asuh orangtua dengan tanggung jawab anak usia remaja Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anakanaknya. Sikap tersebut meliputi cara orangtua memberikan aturan-aturan, memberikan perhatian. Pola asuh sebagai suatu perlakuakn orangtua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kesehariannya. Sedangkan pengertian pola asuh orangtua terhadap anak merupakan bentuk interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan pengasuhan yang berarti orangtua mendidik, membimbing dan melindungi anak (Gunarsa, 2002). Orangtua dalam mengasuh anak dapat mengunakan cara pengasuhan yaitu selalu berusaha mengendalikan anak remaja dengan caranya sendiri, tidak jarang memaksakan kehendak, harus menuruti apa yang diperintahkan orangtua. Jika orangtua berbuat salah, mereka seringkali melarang anak usia remaja berkeluh kesah. Cara pengasuhan seperti ini tentu tidak baik dan menjadikan anak usia
remaja sebagai korban. Ia akan tumbuh menjadi orang yang penakut dan tidak percaya diri serta tidak bertanggung jawab dengan apa yang dilakukan. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, secara perlahan pengasuhan anak seperti di atas mulai ditinggalkan para orangtua. Mereka tidak lagi memaksakan kehendak dan menuntut anak untuk selalu menuruti apa yang dikatakan orangtua artinya sepenuhnya orangtua telah memberikan kebebasan pada anak usia remaja dalam melakukan tindakan setiap langkah yang diambil (Yusi, 2008) Untuk itu orangtua perlu memberikan pola asuh yang tepat dan benar pada remaja agar remaja dalam mengarungi kehidupan ini lebih bertanggung jawab dengan segala tindakan yang dilakukan, dimana, orangtua memberikan pengasuhan yang sesuai dfengan pribadi dan kemauan remaja untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya tetapi tetap dengan batasan-batasan tertentu, akan tetapi orangtua tetap harus memberikan batasan kepadanya, minimal remaja harus bisa mengatur dan memimpin teman-temannya supaya mau ikut peraturan yang ada di rumah ini (Sismanto, 2008).
E. Kerangka Teori Pola asuh orangtua : a. Pola asuh Authoritarian b. Pola asuh permissive c. Pola asuh Authoritative d. Pola asuh dominan e. Pola asuh Submission f. Pola asuh overdisplin
Faktor-faktor penghambat tanggung jawab anak remaja : a. Ambil alih tanggung jawab anak b. Menilai segala sesuatu ditinjau dari hasil yang sempurna c. Menilai dari segi efesiensi dan efektivitas d. Sengasihi anaknya sehingga cenderung over-protective Faktor yang mendidik tanggung jawab pada remaja : a. Rasa percaya diri b. Disiplin
Gambar 2.2 Kerangka Teori : Sumber : Suwanto (2009), Solihin (2009) F. Kerangka konsep Pola asuh orangtua : a. Pola asuh Authoritarian b.Pola asuh permissive c. Pola asuh Authoritative d.Pola asuh dominan e. Pola asuh Submission f. Pola asuh overdisplin
Tanggung jawab remaja : 1. Tanggung jawab 2. Tidak Tanggung jawab
Gambar 2.3 Kerangka Konsep
G. Variabel Penelitian Variabel adalah obyek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Arikunto, 2002). Variabel dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel bebas (Variabel indipenden) Variabel bebas (variabel independen) adalah variabel yang mempengaruhi atau menjadi penyebab bagi variabel lain. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pola asuh orangtua 2. Variabel terikat (Variabel dependen) Variabel terikat (variabel dependen) adalah variabel yang dipengaruhi atau disebabkan oleh variabel lain. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tanggung jawab remaja
H. Hipotesis Penelitian Ho : Ada hubungan antara pola asuh orangtua dengan tanggung jawab anak usia remaja di Kelurahan Bojong Bata Kecamatan Pemalang Kabupaten Pemalang.