10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penuaan Penuaan merupakan suatu proses biologis yang kompleks ditandai dengan kemunduran fungsional dan struktural dari sistem multiorgan secara progresif yang pada akhirnya menyebabkan kematian (Fontana, 2009). Teori penuaan menurut Goldman dan Klantz adalah sebagai berikut : 1.
Teori Wear and Tear Kerusakan pada tubuh dan sel disebabkan oleh seringnya penggunaan dan mengalami penyalahgunaan (overuse and abuse). Fungsi organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit dan lainnya menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi lemak, gula, kafein, alkohol dan nikotin berlebihan, sinar ultraviolet, dan stres fisik serta emosional. Kerusakan terjadi pada tingkat organ maupun seluler.
2.
Teori Neuroendokrin Teori ini berdasarkan pada peran hormon terhadap fungsi organ tubuh. Hormon dikeluarkan oleh beberapa kelenjar yang dikendalikan oleh hipotalamus, suatu kelenjar yang terletak di otak. Seiring bertambahnya usia, tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil yang berakibat terganggunya berbagai sistem tubuh.
10
11
3.
Teori Kontrol Genetik Berfokus pada peran genetik dalam menyandi DNA. Setiap individu terlahir dengan kode genetik yang unik yang memungkinkan berjalannya fungsi fisik dan mental tertentu. Seberapa cepat kita menua dan berapa lama kita hidup ditentukan oleh genetik tersebut.
4.
Teori Radikal Bebas Penuaan terjadi karena akumulasi kerusakan akibat radikal bebas dalam sel. Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan, bersifat reaktif karena cenderung menarik elektron dari molekul lain dan mengubah molekul tersebut menjadi suatu radikal bebas baru. Proses tersebut menimbulkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel (Goldman dan Klantz, 2007).
2.2Radikal Bebas Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan, dapat juga diartikan sebagai molekul yang dihasilkan selama metabolisme seluler normal berlangsung, seperti radikal superoksida, hidroksil purin, dan pirimidin (Pangkahila, 2007). Radikal bebas memiliki sifat yang tidak stabil dan reaktifitas yang tinggi karena kecenderungannya menarik elektron dari molekul lain dan mengubah molekul tersebut menjadi radikal bebas baru (Pham-Huy et al., 2008). Reaksi tersebut berkesinambungan karena molekul baru yang tidak stabil akan berusaha mengganti elektronnya yang hilang dengan cara
12
mengambil elektron dari molekul yang berdekatan dan demikian seterusnya (Pangkahila, 2007). Berdasar sumbernya, radikal bebas digolongkan menjadi radikal bebas endogen, yaitu yang dihasilkan oleh tubuh secara alami, sebagai akibat dari berbagai reaksi non enzimatik dan radikal bebas eksogen yang berasal dari luar tubuh (Pham-Huy et al., 2008). Radikal bebas endogen dihasilkan sebagai akibat aktivasi sel imun, inflamasi, stres mental, olah raga berlebihan, iskemik, infeksi, kanker dan aging, sedangkan radikal bebas eksogen dapat berasal daripolusi udara dan air, asap rokok, alkohol, obat tertentu, proses memasak, industrial solvent, ozon, hyperoxia, radiasi ionisasi dan ion logam berat (Pham-Huy et al., 2008; Birben et al., 2012). Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan terminologi yang meliputi semua molekul yang mengandung oksigen reaktif dalam kadar yang tinggi, termasuk radikal bebas (Krishnamurthy dan Wadhwani, 2012). Sumber ROSdapat berasal dari metabolisme seluler dan dari lingkungan, organisme hidup menghasilkan ROS dari molekul oksigen sebagai hasil dari metabolisme seluler normal (Birben et al., 2012). ROS dibedakan menjadi radikal bebas yaitu molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan, dan non radikal yaitu molekul yang terbentuk apabila dua radikal bebas saling berbagi elektron bebasnya (Birben et al., 2012). Terdapat beberapa tipe ROS, namun yang berperan signifikan dalam fisiologi tubuh adalah golongan 3 besar yaitu anion superoksida (O2ˉ•),
13
radikal hidroksil (•OH), dan hidrogen peroksida (H2O2) (Birben et al., 2012; Krishnamurthy dan Wadhwani, 2012). Apabila dalam konsentrasi rendah atau sedang, ROS mempunyai peran yang menguntungkan dalam maturasi struktur sel, respon seluler dan fungsi imun, namun dalam konsentrasi tinggi akan menyebabkan stres oksidatif yang berpotensi merusak struktur semua sel dengan cara bereaksi dengan lipid membran, asam nukleat, protein dan enzim serta molekul kecil lainnya (Pham-Huy et al., 2008; Krishnamurthy dan Wadhwani, 2012). Terbentuknya ROS terjadi melalui beberapa jalur baik secara enzimatik maupun non enzimatik, dan yang paling banyak terjadi adalah sebagai : 1. Konsekuensi dari metabolisme aerobik normal, 2. Ledakan oksidatif dari fagosit sebagai bagian dari mekanisme penghancuran bakteri dan virus, dan karena denaturasi protein asing (antigen), 3. Xenobiotic metabolism, contohnya : detoksifikasi dari substansi beracun (Pham-Huy et al., 2008; Krishnamurthy dan Wadhwani, 2012). 2.3 Stres Oksidatif Tahun 1997, Helmut Sies mendefinisikan stres oksidatif sebagai ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan yang berpotensi menyebabkan kerusakan dan menjelaskan bahwa oksidan terbentuk baik
14
sebagai produk normal dari metabolisme aerobik dan juga akibat patologis (Wahlquist, 2013). Secara luas diyakini bahwa oksigen reaktif yang diproduksi dalam kondisi stres merupakan faktor perusak yang menimbulkan peroksidasi lipid, inaktivasi enzim dan kerusakan oksidatif pada DNA (Pham Huy et al., 2008). Dalam keadaan normal, tubuh memiliki mekanisme pertahanan terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas, mekanisme tersebut beragam, efisien, tersebar di seluruh sel, dan dilakukan oleh antioksidan endogen (Pham-Huy et al., 2008; Birben et al., 2012). Bila mekanisme pertahanan ini menurun atau terlampaui maka kerusakan sel dapat terjadi dan kondisi ini disebut sebagai stres oksidatif (Pham-Huy et al., 2008; Birben et al., 2012). Stres oksidatif berkontribusi pada beberapa kondisi patologis termasuk
kanker,
kelainan
neurologis,
atherosklerosis,
hipertensi,
iskemia/perfusi, Diabetes, Acute Respiratory Distress Syndrome dan lain sebagainya seperti pada Gambar 2.1 (Pham-Huyet al., 2008; Birben et al., 2012).
15
Gambar 2.1 Stres Oksidatif Menginduksi Penyakit pada Manusia (Pham-Huyet al., 2008) 2.4 Antioksidan Antioksidan adalah suatu substansi yang mempunyai kemampuan untuk mencegah atau memperlambat oksidasi dari molekul lain (Flora, 2009). Molekul antioksidan bertugas melindungi sel-sel tubuh dan komponen tubuh lainnya dari radikal bebas dengan cara menetralisirnya (Pham-Huyet al., 2008). Berdasar sumbernya, antioksidan digolongkan menjadi dua, yaitu antioksidan endogen dan antioksidan eksogen. Antioksidan endogen dihasilkan oleh tubuh, berupa enzim yang mengubah radikal bebas menjadi radikal bebas lain atau senyawa lain yang tidak berbahaya, contohnya adalah superoxide dismutase, catalase (CAT) dan glutathione peroxidase (GPx)(Birben et al., 2012; Krishnamurthy dan Wadhwadani, 2012). Antioksidan eksogen merupakan senyawa-senyawa yang berasal dari luar tubuh yang memiliki kemampuan antioksidan (Birben et al., 2012; Krishnamurthy dan Wadhwadani, 2012).Antioksidan eksogen berupa mikromolekul yang merupakan antioksidan non-enzimatik
16
yang membantu aktivitas enzim, meliputi antara lain glutation, asam pantotenat, koenzim Q 10, karnitin, vitamin A, E, C, B kompleks dan mineral seperti seng, selenium, copper, dan krom (Walczak-Jedrzejowska et al., 2012). Secara kinetis, antioksidan diklasifikasikan menjadi 6 kategori: 1.
Antioksidan yang memutus rantai dengan cara bereaksi dengan radikal peroksil yang mempunyai ikatan O-H atau N-H yang lemah: fenol, naftol, hidroquinon, amin aromatik dan aminofenol.
2.
Antioksidan yang memutus rantai dengan cara bereaksi dengan radikal alkil: quinon, nitron, imiquinon.
3.
Antioksidan yang memecah Hidroksi peroksida: sulfide, fosfida, tiofosfat.
4.
Antioksidan yang me-non-aktivkan logam: diamin, asam hidroksil dan bifunctional compounds.
5.
Antioksidan yang menghentikan reaksi berantai: amin aromatik, radikal nitroksil, senyawa logam dengan berbagai valensi.
6.
Kerja sinergis dari beberapa antioksidan: sulfida fenol dimana gugus fenol bereaksi dengan radikal peroksil dan gugus sulfida dengan hidro peroksida (Flora, 2009). Upaya mempertahankan keseimbangan status oksidatif lazimnya
dilakukan dengan pemberian antioksidan non-enzimatik, sedangkan pemberian antioksidan enzimatik seperti SOD dan CAT pernah dilakukan pada hewan coba namun menemui kegagalan karena kurangnya
17
kemampuan
menembus
blood-brain-barrier
dan
membran
sel
(Kanunnikova et al., 2012). Toksisitas akibat antioksidan mungkin saja terjadi dan berakibat pada ablasi fungsi pertahanan tubuh oleh antioksidan, termasuk fagositosis terhadap antimikroba, detoksifikasi oleh kompleks sitokrom P-450 dan apoptosis terhadap sel yang tidak diinginkan (Wahlquist, 2013). Toksisitas antioksidan yang pernah dilaporkan adalahpemberian vitamin C, pada kondisi kadar besi yang tinggi vitamin C merupakan mediator potensial dari peroksidasi lipid, berisiko menjadi oksidan yang bersifat toksik dengan mereduksi logam seperti besi pada reaksi Fenton (Wahlqvist, 2013). Pemberian β-Carotene (prekursor vitamin A) sebagai suplemen terisolasi dilaporkan
berisiko
menimbulkan
kanker
(Wahlqvist,
2013).
Hipervitaminosis A juga dilaporkan mestimulasi pembentukan ROS pada berbagai jaringan tubuh (Aitken dan Roman, 2008). 2.5 Sel Leydig Sel Leydig merupakan tipe sel spesifik dari testis, ditemukan oleh Frans Leydig pada tahun 1850, berperan memproduksi androgen dan faktor lain yang bertanggung jawab terhadap sifat maskulin individu. Terdapat dua populasi sel Leydig pada sebagian besar mamalia yang dibedakan berdasar
kemampuannya
dalam
memproduksi
androgen
selama
perkembangan testis, yaitu Fetal Leydig Cells (FLCs) dan Adult Leydig Cells (ALCs)(Chen et al., 2009; Svechnikov et al., 2010). Pembentukan FLCspada tikus dimulai pada hari ke-14,5masa embrionik dan pada
18
manusia pada minggu ke-7-8 masa gestasi (Svechnikov et al., 2010).Jumlahnya meningkat selama perkembangan embrionik terlepas dari fakta bahwa diferensiasi FLCs inaktif secara mitotik, sehingga diduga peningkatan FLCs terjadi lebih cenderung sebagai akibat diferensiasi sel progenitor dibanding sebagai hasil pembelahan FLCs yang sudah ada.FLCssecara bertahap digantikan olehALCs pada akhir masa fetus, populasi ALCsterutama berkembang dari undifferentiated mesenchymal-like stem cells yang berada di jaringan interstitial testis neonatal melalui 4 tahap perkembangan sebagai berikut:
Gambar 2.2 Tahap Perkembangan Adult Leydig Cells (Modifikasi Chenet al., 2013)
Stem Leydig Cells adalah sel yang belum berdiferensiasi yang mempunyai kemampuan memperbarui diri, berdiferensiasi dan mengisi ketiadaaan sel Leydig, Progenitor Leydig Cells berasal dari Stem Leydig Cells, berbentuk spindle, merupakan reseptor positif dari Luteinizing Hormone (LH), mempunyai aktivitas mitotik yang tinggi dan memproduksi testosteron dalam jumlah kecil, lebih dominan pada metabolit testosteron. Progenitor Leydig Cells kemudian berkembang menjadi Immature Leydig Cellsyang berbentuk bulat dan mengandung banyak retikulum endoplasma halus,
memproduksi
lebih banyak Testosteron dan
metabolitnya.
19
Selanjutnya Immature Leydig Cells akan berkembang menjadi ALCs (Chen et al., 2009). Bertambahnya jumlah sel Leydig sebelum dan pada masa pubertas terjadi melalui dua mekanisme yaitu diferensiasi dari sel-sel mesenkim (precursor) dan pembelahan mitosis dari bentukan baru sel Leydig (Chen et al., 2009). Sel Leydig dewasa sering beragregasi dalam kelompok kecil di antara tubulus (ruang interstisial) bersama-sama dengan fibrosit, pembuluh darah, pembuluh limfe, dan sejumlah besar leukosit, terutama makrofag, diikuti kemudian dengan Limfosit T dan sel Mast (Meinhardt, 2006). Sel Leydig berbentuk polyhedral dengan diameter 15 - 20 µm. Sitoplasma dari sel Leydig merupakan tempat berlangsungnya steroidogenesis, di dalamnya terdapat banyak organela retikulum endoplasma halus dan mitokondria yang merupakan ciri khas dari sel yang mensintesis hormon steroid. Sitoplasma sel Leydig berwarna merah muda, mengandung lipid, pigmen lipokrom dan kristal Reinke, intinya bulat dengan nukleoli yang jelas dan sering terhubung dengan serabut saraf (Meinhardt, 2006).Diduga peningkatan jumlah lipid droplet, kristal-kristal, dan vakuola pada sitoplasma sel Leydig menunjukkan penurunan kualitas sel Leydig yang terjadi akibat proses penuaan (aging) (Chen et al., 2009). 2.6 Sel Sertoli Sel sertoli adalah sel somatik post mitotik yang memanjang dari membran basal tubulus seminiferus hingga ke lumen, dengan kuat menyokong ramifikasi sitoplamik dan dikelilingi oleh sel-sel germinal,
20
berperan sebagai blood-testis-barrier dalam epitel tubulus seminiferus (Meinhardt, 2006). Fungsi dari sel Sertoli adalah menyokong dan menstimulasi
perkembangan
spermatogenik)
dengan
dan
diferensiasi
memediasi
stimulasi
sel
germinal
hormonal,
(sel
menutrisi
spermatosit, spermatid dan sperma, memfagosit kelebihan sitoplasma spermatid selama proses perkembangan, mengkontrol mobilisasi sel spermatogenik dan pelepasan sperma ke dalam lumen tubulus seminiferus, selain itu juga memproduksi cairan untuk transport sperma, mensekresi hormon inhibin serta mengatur efek testosteron dan Follicle Stimulating Hormone (FSH). Terkait dengan fungsi yang terakhir, sel Sertoli merupakan satu-satunya tipe sel dalam tubulus seminiferus yang mengekspresikan membrane-bound FSH receptor (FSHR) dan nuclear androgens receptor (AR) (Meinhardt, 2006; Tortora dan Derrickson, 2009). Perkembangan sel germinal pada mamalia mutlak tergantung pada keberadaan
sel
Sertoli
karena
perannya
dalam
diferensiasi
dan
perkembangan fungsi testis. Jumlah sel Sertoli merupakan faktor paling penting dalam menentukan besarnya produksi sperma (Schulz et al., 2005). Proliferasi postnatal dari sel Sertoli pada mamalia terutama terjadi hanya jika terdapat spermatogonia di dalam epitel seminiferus dan berhenti bila spermatosit primer mulai berproliferasi, jadi pada mamalia termasuk manusia dan tikus tidak terjadi proliferasi sel Sertoli setelah pubertas dan aktivitas mitotik berhenti setelah gelombang pertama spermatogenesis berlangsung (Schulz et al., 2005).
21
2.7Monosodium Glutamate Monosodium glutamate (MSG) merupakan garam sodium dari (L-) Glutamic acid, bentuk murninya menyerupai bubuk kristal (Ault, 2004).
Gambar 2.3 Monosodium Glutamate (Dokumen pribadi)
Rumus kimia MSGmenurut International Union of Pure and Applied Chemistry nomenclature (IUPAC) adalah C5 H8 NNaO4 dengan struktur molekul sebagai berikut :
Gambar 2.4 Struktur kimia MSG(Ault, 2004) Kandungan MSG terdiri dari asam glutamate, sodium, dan air (Eweka dan Adjene, 2007). Asam glutamat pertama kali diisolasi sebagai substansi murni pada tahun 1866 oleh seorang ahli kimia Jerman, Ritthausen melalui hidrolisis asam dari Gliadin, suatu komponen dari gluten gandum. Ahli kimia berkebangsaan Jepang, Dr. Kikunea Ikeda pada 1908 menemukan bahwa
22
asam glutamat-lah yang berefek menguatkan rasa dari rumput laut “kombu” atau Laminaria japonicayang biasa digunakan dalam masakan (sup) Jepang selama berabad-abad, kemudian pada tahun 1909 proses isolasi MSG dari tepung gandum dipatenkan dan mulai diproduksi MSG secara komersial dengan nama Ajinomoto (at the origin of flavor) (Ault, 2004). Menurut Walker dan Lupien di tahun 2000, MSG modern untuk keperluan komersial diproduksi dengan memfermentasikan starch, gula, bit, sugarcane atau molasses(Sakr dan Badawy, 2013). Glutamat merupakan asam amino yang paling banyak dijumpai di alam dan merupakan komponen utama protein dan peptida pada jaringan, selain itu juga diproduksi di dalam tubuh dan berperan penting dalam metabolisme (Eweka dan Adjene, 2007). Glutamat juga memiliki fungsi sebagai eksitator neurotransmitter pada sistem saraf pusat mamalia, berperan penting baik dalam proses fisiologis maupun patologis (Noor dan Mourad, 2010). Metabolisme MSG serupa dengan asam glutamat dari protein diet normal karena dalam suasana lambung yang asam MSG dipresentasikan sebagai asam glutamat (Ault, 2004). Bersama dengan aspartat, asam glutamat akan dimetabolisme dengan cepat dalam usus dan hati, kemudian glutamat yang diserap akan ditransaminasikan dengan piruvatke bentuk alanin.
Alanin
bersama
asam
amino
dikarboksilat
menghasilkan
aketoglutarat atau oksaloasetat. Proses ini menyebabkan menurunnya asam amino dikarboksilat yang dilepaskan dalam sirkulasi portal. Glutamat dan
23
aspartat yang lolos dari mukosa dibawa melalui vena porta ke hati, sebagian glutamate dan aspartat dikonversikan oleh usus dan hati ke bentuk mukosa dan laktat kemudian dialirkan ke dalam sirkulasi perifer (Sukawan, 2008). Asam glutamat yang diabsorbsi, 57% dikonversikan menjadi urea di hati, 6% menjadi protein plasma, 23% diserap melalui sirkulasi sebagai asam amino bebas dan 14% sisanya belum diketahui secara pasti namun diduga disimpan dalam hati sebagai protein hati atau enzim (Sukawan, 2008). Penggunaan MSG dalam dosis optimal bermanfaat meningkatkan transmisi impuls saraf untuk mendukung fungsi koordinasi dan regulasi tubuh, dan pada lansia dengan penurunan sensitivitas kemosensoris bermanfaat untuk memelihara intake nutrient (Beyreuther et al., 2007; Noor dan Mourad, 2010). Namun penggunaan berlebihan ataudalam waktu yang lama dapat berefek sitotoksik, genotoksikdan mengakibatkan stres oksidatif pada manusia dan hewan percobaan (Noor dan Mourad, 2010). Diduga MSGsecara langsung berefek menyebabkan peningkatan ROS yang dipresentasikan dengan peningkatan peroksidasi lipid (Okwudiriet al., 2012). Berdasarkan pertimbangan adanya risiko dari intake MSG berlebihan maka WHO menetapkan Acceptable Daily Intake (ADI) untuk MSG yaitu 120 mg/kg berat badan namun pada tahun 1987 ketetapan itu dicabut kembali sehingga tidak ada batasan pasti mengenai penggunaan MSG(Jinap dan Hajeb, 2010).Tidak adanya pembatasan resmi inilah yang diduga berdampak pada meningkatnya konsumsi MSG karena produsen makanan maupun konsumen beranggapan MSG aman dikonsumsi
24
berapapun jumlahnya. Hal serupa terjadi juga di Indonesia, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 23 tahun 2013tidak menyebutkan berapa batasan maksimum penggunaan bahan tambahan pangan penguat rasa seperti yang dicantumkan di Lampiran 2. Sekitar 80% protein dalam diet normal mengandung ± 15 gram asam glutamat (per 100 gram protein), maka sesungguhnya manusia tidak memerlukan tambahan MSG sebagai penyedap rasa karena alasan kesehatan (Ault, 2004). Hingga saat ini efek toksik MSG pada hewan coba yang sudah diteliti adalah meliputi kelainan atau kerusakan sistem saraf pusat, kelenjar endokrin termasuk hipotalamus dan gonad, defek metabolik dan masih banyak lagi (Nayanatara et al, 2008; Noor dan Mourad, 2010). Pemberian MSG 4 mg/gBB secara intraperitoneal pada tikus selama 6 hari menunjukkan penurunan aktivitas catalase di hipokampus dan korteks sedangkan pemberian MSG dosis yang sama selama 4 minggu menurunkan aktivitas glutathion s-transferase (GST) dan jumlah glutation tereduksi pada korteks otak (Noor dan Mourad, 2010).Penelitian terhadap ginjal tikus yang mendapat MSG4 g/kgBB selama 10 hari membuktikan adanya cidera seluler karena kerusakan oksidatif akibat terbentuknya reactive oxygen species (ROS) yang terakumulasi menjadi stres oksidatif, disertai peningkatan
kadar
lipid
peroksidasi,
peningkatan
penurunanSOD, dan catalase (CAT)(Okwudiri et al., 2012).
aktivitasGST,
25
Tabel 2.1 Efek Pemberian MSG Terhadap Marker Stres Oksidatif (Peroksida lipid, Glutation, GST, SOD, dan Katalase)
(Sumber: Okwudiriet al., 2012) Efek toksik MSGyang secara khusus diteliti pada organ testis tikus dilakukan tahun 2006 pada tikus dewasa menunjukkan apoptosis sel germinal, penurunan diameter tubulus seminiferus, penurunan jumlah sel Leydig dan sel Sertoli, penurunan LH dan FSH serta peningkatan hormon leptin (Franca et al., 2006). PemberianMSG4g/kg berat badan secara intraperitoneal selama 15 hari (jangka pendek) dan 30 hari (jangka panjang)pada tikus jantan berakibat pada penurunanjumlah spermanormal (oligozoospermia) dan kadar vitamin C(Nayanataraet al., 2008). Penelitian terhadap 48 tikus albino dewasa yang dibagi menjadi Kelompok Kontrol yang diberi normal saline dan Kelompok Perlakuan yang diberi MSG 4 mg/kg berat badan
selama 14 harimenunjukkan
perbedaan bermakna pada parameter morfometrik testis antara 2 kelompok.Hasil menunjukkan adanya penurunan diameter tubulus, berkurangnya tinggi epitel tubulus seminiferus, penurunan jumlah sel Leydig, berkurangnya ketebalan lamina propria dan penurunan diameter
26
pembuluh darah secara bermakna padaKelompok Perlakuan seperti yang disajikan dalam Tabel 2.2 (Nosseir et al., 2012). Tabel 2.2 Efek MSG pada Testis Tikus Albino Dewasa
(Sumber: Nosseir et al.,2012) Penelitian Nosseir tersebut menguatkan hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia yang menunjukkan gangguan kualitas dan kuantitas sel Leydig tikus putih jantan dewasa yang diberi MSG 4.8dan 9.8 g/kg berat badan/hari per oral selama satu siklus spermatogenesis, namun tidak pada pemberian MSG 2.4 g/kg berat badan/hari (Suryadi et al., 2007). Perubahan histologis testis ditunjukkan dengan hilangnya sel spermatogenik, atropi/deformasi tubulus seminiferus, sel Sertoli berkurang jumlahnya dan terlepas dari lamina basalis yang irregular, terdapat materi hyalin dalam lumen tubulus dan jaringan penyambung interstitial, vakuolisasi intrasel pada stroma dan fibrosis peritubular, perdarahan intertubulus, jumlah sel Leydig berkurang dan intinya menjadi piknotik (Franca et al., 2006; Suryadi et al., 2007; Nosseir et al., 2012; Sakr dan Badawy, 2013). Gejala toksisitas MSG pada manusia yang pernah dilaporkan adalah rasa kebas, lemah, flushing, berkeringat banyak, dizziness dan sakit kepala
27
(Alalwani, 2014). Oforuofo pada tahun 1997 melaporkan pula bahwa MSG mengakibatkan
gangguan
fertilitas
pada
manusia
(pria)
dengan
menimbulkan perdarahan dalam jaringan testis, degenerasi dan perubahan jumlah maupun bentuk sperma (Eweka dan Adjene, 2007; Alalwani, 2014).
Gambar 2.5 Gambaran Histologist Testis Normal, LC : Leydig cell, SC: Sertoli cell (Alalwani, 2013)
Gambar 2.6 Perubahan Histologis Testis Tikus Wistar Akibat MSG (Alalwani, 2013)
28
2.7.1
Mekanisme
KerjaMSG
dalam
Menimbulkan
Kerusakan
Oksidatif Monosodium Glutamate (MSG) merupakan agen yang dapat menimbulkan radikal bebas yang bersifat merusak jaringan. Intake MSG yang berlebihan akan menyebabkan kadar glutamat berlebihan di dalam sirkulasi dan jaringan karena dalam suasana lambung yang asam MSG dipresentasikan sebagai asam glutamat dan akan dimetabolisme sama seperti asam glutamat dari protein diet normal (Ault, 2004). Kadar glutamat yang optimal bermanfaat untuk fungsi fisiologis yaitu meningkatkan transmisi impuls saraf untuk mendukung fungsi koordinasi dan regulasi tubuh, dan pada lansia dengan penurunan sensitivitas kemosensoris bermanfaat untuk memelihara intake nutrient (Beyreuther et al., 2007; Noor dan Mourad, 2010). Namun penggunaan berlebihan atau dosis kecil dalam waktu yang lama dapat berefek sitotoksik, genotoksik dan mengakibatkan stres oksidatif pada manusia dan hewan percobaan (Noor dan Mourad, 2010). Glutamat di dalam jaringan akan berikatan dengan reseptor NMDA (N-Methyl-D-Aspartate)
yang
kemudian
menimbulkan
depolarisasi
membran sel sehingga terjadi influx Ca2+ ke dalam sel (Beyreuther et al., 2007).
Kadar Ca2+ yang berlebihan di dalam sel akan mengaktifkan
konversi Xanthine Dehydrogenase(XDH) menjadi Xanthine Oxidase, mengaktifkan Nitric Oxide Syntase (NOS) sehingga produksi Nitric Oxide (NO) meningkat, mengaktifkan Phospolipase A2 dan Cyclooxygenase 2 yang meningkatkan pembentukan radikal bebas dan pelepasan asam
29
arakhidonat, selain itu juga meningkatkan kadar radikal hidroksil melalui reaksi Fenton dan reaksi Haber Weiss. Mekanisme-mekanisme tersebut menginduksi peroksidasi lipid dan oksidasi protein, DNA maupun RNA yang disertai cidera oksidatif (Liu, 2002). Peroksidasi lipid merupakan mekanisme autokatalisis yang menjadi indikator utama dari kerusakan oksidatif (Noor dan Mourad, 2010; Okwudiri et al., 2012). Peroksida lipid yang terbentuk akan menyebabkan perubahan fluiditas dan integritas membran dan menimbulkan kebocoran ion keluar melalui membran sel. Jadi aktivitas ROS dalam menimbulkan kerusakan oksidatif dapat terjadi melalui oksidasi langsung dari protein bebas maupun yang terikat asam amino sehingga menginaktivasi enzim, berikatan dengan reseptor dan merusak struktur protein (Liu, 2002; Birben et al., 2012). Penurunan antioksidan jaringan juga terjadi setelah pemberian MSG pada hewan coba yaitu Vitamin C,reduced glutathione (GSH), superoxide dismutase (SOD)dan catalase(Nayanatara et al., 2008; Okwudiri et al., 2012). Turunnya kadar antioksidan jaringan menimbulkan keseimbangan oksidatif terganggu, bila berlanjut akan terjadi kerusakan oksidatif dengan meningkatnya kematian sel (Keller dan O’Connor, 2010). 2.8. Dexpanthenol Dexpanthenol (D-panthenol; D-panthotenyl alcohol; Panthenol; pro vitamin B5) adalah analog asam pantotenat dalam alkohol (bentuk liquid)
30
yang akan diubah menjadi asam pantotenat di dalam jaringan (Gregory dan Kelly, 2011;Altintas et al.,2012). Asam pantotenat yang pertama kali dideskripsikan sebagai
Lactobacillus bulgaricus growth factor, adalah
salah satu keluarga vitamin B yang merupakan nutrisi esensial bagi semua sel hidup. Nama asampantotenat berasal dari bahasa Yunani yaitu pantothen (pantoyen) yang artinya from everywhere, karena sejumlah kecil panthetheine dapat ditemukan pada hampir semua jenis makanan (Eidi et al., 2012). Hanya asam pantotenat dalam bentuk D(+) yang aktif secara biologis atau mempunyai aktivitas sebagai vitamin(O’Neil, 2006). Bentuk alkohol dari asam pantotenat ini merupakan bentuk yang lebih stabil sehingga lebih dimanfaatkan sebagai sumber vitamin dalam suplemen multivitamin, kelebihan lain dari panthenol adalah lebih cepat diabsorbsi daripada bentuk asam (Buhler, 2002; Norris dan Ringrose, 2008). Rumus kimia dari Dexpanthenol adalah C9-H19-N-O4, sedangkan struktur kimianya adalah sebagai berikut :
Gambar 2.7 Struktur kimia Dexpanthenol (Buhler, 2002) Dexpanthenol
berbentuk viscous liquid, memiliki berat molekul
205,25 g/mol, pH nya 9,5, larut dengan mudah dalam methanol, air dan alkohol, dan sedikit larut dalam eter, sedangkan rasanya pahit(O’Neil, 2006).
sedikit
31
Sumber asam pantotenat di alam adalah whole-grain cereals, legumes, telur dan daging (Eidi et al., 2012). Dexpanthenol dosis oral diabsorbsi dengan cepat sekitar 40-63%, siap untuk dikonversi menjadi asam pantotenat yang secara luas terdistribusi dalam jaringan tubuh terutama sebagai koenzim A dan metabolit asam pantotenat lainnya dalam 6 jam (Gregory dan Kelly, 2011). Dexpanthenol atau asam pantotenat pertama kali digunakan sebagai kosmetik dalam bentuk topikal atau injeksi untuk membantu proses wound healing, hingga sekarang masih populer dalam pengobatan dermatosis dan skin care terkait dengan kemampuannya menstimulasi epitelialisasi, granulasi, anti pruritik dan anti inflamasi (Gregory dan Kelly, 2011). Sesungguhnya
disinyalir
terdapat
lebih
banyak
lagi
kegunaan
Dexpanthenolkarena asam pantotenat terlibat dalam sejumlah reaksi biologis termasuk dalam memproduksi energi, katabolisme asam lemak dan asam amino, sintesis asam lemak, fosfolipid, sphingolipids, kolesterol, sintesis asam amino seperti leusin, arginin, dan methionin, sintesis hormon steroid, sintesis heme dan neurotransmiter asetilkolin (Eidi et al., 2012). Sebagai prekursor koenzim A (Co. A), asam pantotenat dan derivatnya melindungi sel dan seluruh organ dari kerusakan peroksidatif dengan cara meningkatkan kadar glutation sel. Asam pantotenat dan derivatnya di dalam tubuh diubah menjadi Co A dengan bantuan enzim pantotenat kinase yang menyebabkan kadar Co Asel terutama di dalam mitokondria meningkat
32
sehingga produksi energi dan sintesis ATP juga meningkat dan pada akhirnya meningkatkan sintesis glutation (Altintaset al., 2012). Pendapat ini dikuatkan oleh sumber lain menyebutkan bahwa asam pantotenat dan derivatnya diketahui mempunyai peran penting dalam meningkatkan kadar Co A, ATP danGSH yang semuanya berperan besar dalam pertahanan seluler dan sistem perbaikan melawan stres oksidatif dan inflamasi (Altintas et al., 2012). Suatu penelitian membuktikan aktivitas hepatoprotektif dari asam pantotenat/Dexpanthenol terhadap sel-sel hati tikus yang rusak oleh CCL4 dan penelitian lain membuktikan kemampuanDexpanthenol memperbaiki kerusakan jaringan ginjal tikus yang mengalami iskemi, dari penelitianpenelitian tersebut dilaporkan dosis Dexpanthenol yang memberikan respon terapi adalah mulai 500 mg/kg berat badan (Altintas et al., 2012). D-Dexpanthenol 1 gram setara dengan 1068 mg D-pantothenic acid, artinya 1 gram D-pantothenic acid setara dengan 936 mg Ddexpanthenol(Buhler, 2002). Dietary Reference Intake (DRI) dari asam pantotenat dapat dilihat pada Tabel 2.2, sedangkan batas suplementasi adalah 100 – 1000 mg/hari terbagi dalam 2-3 dosis (Gregory dan Kelly, 2011).
33
Tabel 2.3 Dietary Reference Intake (DRI)Asam Pantotenat
(Sumber : Gregory dan Kelly, 2011)
Defisiensi dari asam pantotenat/derivatnya pada tikus berakibat pada hilangnya warna bulu (pada tikus hitam/coklat), pada ayam dapat terjadi dermatitis dan pada mencit lebih beragam seperti kehilangan berat badan, poor grooming, kehilangan bulu, eksudasi sekitar mata, diare dan hind leg paralyses. Tanda defisiensi yang selalu konsisten ditemukan adalah perubahan morfologi dan fungsi adrenal secara progresif, atropi timus, pembesaran limpa,dan lymphopenia diikuti lymphocytosispada mencit, sedangkan pada tikus jantan terjadi peningkatan berat testis, penurunan motilitas sperma dan penurunan testosteron serta kortikosteroid plasma. Defisiensi asam pantotenat pada manusia menimbulkan gejala numbness, burning sensation pada kaki yang dapat membaik dengan suplementasi asam pantotenat, selain itu secara konsisten ditemukan adanya triad of fatique, gangguan gastrointestinal, gangguan tidur, dan perubahan kepribadian serta gangguan emosi (Gregory dan Kelly, 2011). Tanda-tanda toksisitas asam pantotenat yang ditemukan adalah kehilangan berat badan pada tikus dengan pemberian > 2000 mg/kg berat
34
sedangkan dosis lethal dari asam pantotenat yang dilaporkan adalah 10.000 mg/kg berat badanpada tikus dan mencit (Gregory dan Kelly, 2011). Tidak ada efek tambahan yang pernah dilaporkan terkait pemberian asam pantotenat berlebihan pada manusia, pada pemberian 10g/hari hanya menimbulkan diare dan distres intestinal yang ringan (Norris dan Ringrose, 2008). Berdasarkan
penelitian,
penggunaan
Dexpanthenol
dilaporkan
memiliki tingkat keamananyang luas(Altintas et al., 2012). 2.9Glutation Glutation merupakan protein yang paling banyak mengandung thiol pada sel dan organ. Ditemukan dalam bentuk tereduksi dan teroksidasi di dalam sel. Kadar glutation yang tinggi dan potensi reduksi/oksidasinya yang tinggi menjadikan glutation sebagai antioksidan yang kuat dan menjadi first defense line dalam melawan radikal bebas (Ashtiani et al., 2011). Mekanisme kerja glutation dalam melindungi sel/jaringan adalah dengan bertindak sebagai antioksidan, detoxifier, regulator, dan berperan dalam fungsi imun (Ashtiani et al., 2011). Aktivitas glutation sebagai antioksidan sebagian besar diperankan oleh reaksi yang dikatalisis oleh GPx dimana terjadi penurunan peroksidahidrogen
dan peroksida lipid selama oksidasi GSH menjadi
GSSG. Sebaliknya GSSG dapat tereduksi kembali menjadi GSH oleh GSSG reduktase pada pemakaian NADPH dalam siklus redoks. Peroksida organik
35
juga dapat dikurangi oleh GPx dan GST. Catalase dapat mengurangi hidrogen peroksida namun terbatas hanya dalam peroksisom, hal ini menjadikan glutation penting bagi mitokondria dalam bertahan melawan stres oksidatif yang terbentuk secara fisiologis maupun patologis seperti dipaparkan dalam Gambar 2.8 (Lu, 2013).
Gambar 2.8 Glutation Sebagai Antioksidan (Lu, 2013 ) Sebagai detoxifier, glutation menggunakan materi sel untuk menyingkirkan racun dari obat, insektisida, logam berat, dan bahan xenobiotic lainnya serta menetralkan racun tersebut sebelum sempat bereaksi dengan komponen sel seperti asam nukleat dan protein (Ashtiani et al., 2011). Peran glutation dalam fungsi regulasi dilakukan dengan mengatur turn over protein, memelihara stabilitas protein ekstrasel, memelihara stem sistein dalam melawan oksidasi, mengatur berbagai enzim dan agen reproduksi (Ashtiani et al., 2011). Sumber lain menyebutkan glutation
36
memodulasi pertumbuhan dan kematian sel dengan mengatur siklus sel (Lu, 2013). Meskipun belum ditetapkan secara pasti namun peran glutation dalam sistem imun diduga melalui kemampuannya meningkatkan aktivasi Limfosit T sitotoksik dan CD
8+
yang serta menurunkan aktivitas CD4+
(Ashtiani et al., 2011). Penurunan kadar glutation dapat terjadi pada kondisi stres berkepanjangan,
meningkatnya
pembentukan
radikal
bebas
dan
hiperaktivitas sistem imun(Keller dan O’Connor, 2010). Kehilangan GSH berakibat fatal, yaitu kematian sel yang kemudian menimbulkan kerusakan jaringan(Keller dan O’Connor, 2010). Pemberian GSH secara intravena memiliki kekurangan karena umurnya dalam plasma manusia sangat pendek (<3 menit) dan sukar menembus membran sel sehingga memerlukan dosis yang tinggi untuk mencapai efek terapetik (Cacciatore et al., 2010).Pemberian GSH per oral tidak dianjurkan karena tidak diabsorbsi oleh sebagian besar sel mamalia dan tidak mengisi kehilangannya dalam sel. Selain itu GSH per oral terlalu mahal dan tidak nyaman sehingga dibuat alternatif cara untuk meningkatkan kadar glutation dalam sel yaitu dengan suplementasi Lcystein, N-acetyl cystein (NAC) danglutation ester(Keller dan O’Connor, 2010).Namun upaya tersebut masih menemui kendala karena suplementasi L-cystein dapat berakibat toksik. Sementara pemberian NACterkendala oleh adanya gangguan fungsi digestif sehingga sistem uptake sel terganggu dan
37
secara langsung menghambat sintesis
GSH(Keller dan O’Connor,
2010).Selain itu NAC dalam jangka lama dapat menimbulkan pertumbuhan jamur berlebihan sementara glutation ester in vivo rentan berubah menjadi alkohol ketika ikatan esternya terlepas dan keamanannya dalam jangka panjang belum memuaskan(Keller dan O’Connor, 2010). 2.10 Hewan Coba Penelitian ilmiah pada hewan lebih sering menggunakan hewan coba berupa tikus karena memiliki daya adaptasi yang baik. Kelebihan tikus daripada hewan percobaan lain, yaitu tidak dapat muntahkarena struktur anatomi muara esofagus kedalam lambung tidak lazim sehingga mempermudah proses pencekokan dengan sonde lambung dan tidak mempunyai kantong empedu (Krinke,2000). Tikus Norwegia(Rattus norvegicus)galur Wistar paling sering digunakan karena mudah dipelihara, mudah ditangani, tidak terlalu agresif, relatif sehat, dan cocok untuk berbagai macampenelitian (Koolhaas, 2010). Konversi umur tikus putih galur Wistar dengan manusia berbeda pada tiap fasenya. Berdasarkan total life span, 13,8 hari tikus setara dengan 1 tahun manusia, berdasarkan fase pubertas, 3,3 hari tikus setara dengan 1 tahun manusia dan pada fase dewasa, 11,8 hari tikus setara dengan 1 tahun manusia (Sengupta, 2011). Tikus putih galur Wistarmengalami descent of testes pada usia 15-50 hari, matur secara seksual pada usia 40-50 hari, aktif secara seksual pada usia 90-120 hari dan berhenti kawin pada usia 9-24 bulan (Koolhaas, 2010).
38
Tikus
putih
galur
Wistardiketahui
mempunyaisistem
organ
menyerupai manusia sehingga dengan menggunakan tikus diharapkan hasilnya dapatdigeneralisasi pada manusia (Suryadi et al., 2007). 2.11 Hasil Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan pada12 tikus putih galur Wistar yang dibagi menjadi 3 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 3 sampel dengan cadangan masing-masing kelompok 1 ekor tikus, semua tikus diberi MSG 4g/kgBB/hari dengan sonde, Kelompok 1 diberi plasebo aquadest secara intraperitoneal 2x/minggu, Kelompok 2 diberi Dexpanthenol 500 mg/kgBB tikus 2x/minggu, dan Kelompok 3 diberi Dexpanthenol 1000 mg/kgBB tikus 2x/minggu. Setelah 14 hari, dari setiap kelompok diambil satu sampel untuk dikurbankan dan diambil testisnya untuk dibuat preparat histologi. Perlakuan tetap dilanjutkan pada sisa sampel sampai hari ke-21, kemudian sampel dikurbankan dan diambil jaringantestisnya untuk dibuat preparat histologi. Preparat yang dibuat kemudian dihitung jumlah sel Leydig dan sel Sertolinya untuk selanjutnya dianalisis secara statistik. Berdasarkan hasil analisis statistik, perlakuan yang mulai memberikan respon terapi bermakna adalah pemberian Dexpanthenol 1000 mg/kgBB selama 14 hari (Hartati, 2015).