BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pekerjaan dan keluarga merupakan dua unsur yang paling signifikan dalam kehidupan individu. Untuk menjalankan tanggung jawab dari masingmasing domain, baik pekerjaan maupun keluarga, individu membutuhkan jumlah dan kualitas waktu dan energi yang banyak. Namun, seringkali dalam usahanya untuk menyeimbangkan berbagai peran di kedua domain tersebut justru dapat meningkatkan konflik interpersonal dan konflik intrapersonal di dalam diri individu, yang pada akhirnya menyebabkan konflik-pekerjaankeluarga (Rathi & Barath, 2013). Konflik-pekerjaan-keluarga merupakan sebuah bentuk konflik antar-peran (inter-role conflict), yang disebabkan oleh tuntutan peran dari satu domain (pekerjaan atau keluarga) yang bertentangan dengan tuntutan peran dari domain lainnya (keluarga atau pekerjaan) (Greenhaus & Beutell, 1985). Beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Beutell (2010); Kinnunen, Feldt, Mauno, dan Rantanen (2010); serta Kosek dan Ozeki (1998), menunjukkan bahwa konflik-pekerjaan-keluarga adalah konflik dua dimensi. Dimensi pertama mengindikasikan sumber munculnya konflik berasal dari peran dalam pekerjaan yang mengganggu peran dalam keluarga (konflik pekerjaan-keluarga), sedangkan dimensi kedua mengindikasikan sumber munculnya konflik berasal dari peran dalam keluarga yang
1
mengganggu peran dalam pekerjaan (konflik keluarga-pekerjaan). Untuk selanjutnya, frasa “konflik-pekerjaan-keluarga” atau “work-family conflict” akan mengacu pada dua hal sekaligus, yaitu konflik pekerjaan-keluarga (work-to-family conflict) dan konflik keluarga-pekerjaan (family-to-work conflict). Hasil penelitian lintas negara dan lintas budaya yang dilakukan oleh Beutell (2010); Kinnunen et al. (2010); Lu, Cooper, Kao, Chang, Allen, Lapeirre, O’Driscoll, Poelmans, Sanchez, dan Spector (2010); Karatepe dan Kilic (2007); Spector, Allen, Poelmans, Lapierre, Cooper, O’Driscoll, Sanchez, Abarca, Alexandrova, Beham, Brough, Perreiro, Fraile, Lu, Lu, Moreno-Vela´zuez, Pagon, Pitariu, Salamatov, Shima, Simoni, Siu, dan Widerszal-Bazyl, (2007); serta Kosek dan Ozeki (1998) menemukan bahwa, tingginya level konflik-pekerjaan-keluarga dapat mengganggu dan merugikan karyawan dan juga organisasi. Secara spesifik, penelitian-penelitian tersebut menunjukkan
bahwa
konflik-pekerjaan-keluarga
berakibat
pada
meningkatnya turnover intention dan parental distress, serta dapat menurunkan tingkat kepuasan kerja, komitmen organisasional, dan kepuasan keluarga. Hubungan antara konflik-pekerjaan-keluarga dan kepuasan kerja serta variabel-variabel terkait lainnya secara luas telah diteliti pada karyawan di berbagai jenis pekerjaan, seperti pada karyawan di perusahaan pembuat software (Scholarios & Marks, 2004), pada karyawan hotel (Grandey, Cordeiro, & Crouter; 2005), pada pekerja sosial (social workers) (Karatepe
2
& Kilic, 2007), pada profesor (Namasivayam & Zhao, 2007), dan pada personel polisi (Rathi & Barath, 2013). Namun, belum ada penelitian serupa yang dilakukan pada personel tentara, khususnya personel Tentara Nasional Indonesia (TNI). Menjadi seorang personel TNI bukanlah hal yang mudah. Tuntutan kerja yang begitu besar dan kewajiban untuk mengabdikan diri pada negara secara penuh menjadikan mereka sulit untuk mengalokasikan waktu bersama keluarga. TNI juga
terikat dengan norma dan aturan yang lebih ketat
dibandingkan dengan kehidupan warga sipil biasa. Dalam pidatonya yang dikutip
oleh
situs
berita
online
www.antaramaluku.com,
Pangdam
XVI/Pattimura Mayjen TNI Wiyarto menyatakan bahwa tugas TNI ke depan akan semakin berat dan rumit sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Prajurit TNI harus benar-benar memahami dan menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan serta teknologi yang berkembang saat ini. Selain itu, prajurit TNI dituntut untuk selalu disiplin, memiliki semangat pengabdian dan jiwa juang yang tinggi, memiliki etos kerja yang tinggi, memiliki moral dan etika yang baik, dan selalu mengedepankan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, termasuk keluarga. Kondisi kerja TNI yang menekankan pada rantai komando, membuat sebagian besar personel TNI merasa tertekan karena harus mematuhi seluruh perintah atasannya tanpa terkecuali, termasuk bersedia untuk ditugaskan kapanpun dan dimanapun, walaupun harus meninggalkan keluarga. Padahal, Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai budaya kolektivisme,
3
yaitu budaya yang menekankan pada pemberian prioritas tinggi
bagi
masyarakatnya untuk memenuhi tanggung jawab sosial dan tanggung jawab keluarga (Hofstede, 2010), karena hal tersebut menduduki posisi sentral dalam hidupnya. Apabila hal tersebut tidak dapat terpenuhi, maka akan menyebabkan timbulnya sikap negatif terhadap pekerjaan (Parasuraman & Simmers, 2001) dan menurunnya kepuasan pada kehidupan keluarga (Rathi & Barath, 2013). Pada personel TNI, tuntutan tugas yang tinggi, jam kerja yang tidak fleksibel, serta atasan yang otoriter, membuat mereka tidak mempunyai cukup waktu untuk dihabiskan bersama anggota keluarga mereka. Sehingga, mereka tidak mendapatkan dukungan sosial yang cukup, baik dari keluarga maupun dari atasannya. Hampir sepanjang waktu mereka habiskan di kantor bersama dengan rekan kerjanya untuk menyelesaikan tugas. Rekan kerja menjadi partner utama untuk bergantung satu sama lain, untuk saling memberikan dukungan baik dukungan sosial maupun dukungan emosional, dan untuk mendiskusikan berbagai masalah yang dihadapi. Jadi, dukungan sosial dari rekan kerja mempunyai peranan yang sangat signifikan pada kehidupan personal dan kehidupan profesional personel TNI. Secara umum, penerimaan dukungan sosial di tempat kerja dapat mengurangi dampak negatif konflik-pekerjaan-keluarga, khususnya pada kepuasan kerja dan kepuasan keluarga (Rathi & Barath, 2013). Dukungan sosial dari rekan kerja akan membuat karyawan merasa bahwa dirinya tidak sendirian, merasa diperhatikan, dihargai, dan dicintai (Ng & Sorensen, 2008).
4
Menurut Lambert, Altheimer, dan Hogan (2010), dukungan sosial dari rekan kerja dapat membantu seseorang dalam menghadapi masalah dan menyelesaikan tantangan-tantangan dalam pekerjaan. Selain itu, dukungan sosial dari rekan kerja juga dapat memicu timbulnya rasa percaya diri dan kompeten
(O’Driscoll,
Brough,
&
Kalliath;
2004),
meningkatkan
produktivitas, serta dapat mengurangi tingkat stres yang dialami akibat berbagai tekanan (Johnson & Johnson, 2000). Oleh karena itu, dukungan sosial dari rekan kerja dapat membuat suatu pekerjaan menjadi lebih berarti, sehingga dampak negatif dari konflik-pekerjaan-keluarga pada kepuasan kerja pun dapat dikurangi. Untuk menganalisis lebih jauh mengenai fenomena tersebut, peneliti bermaksud untuk merancang sebuah penelitian mengenai pengaruh konflikpekerjaan-keluarga pada kepuasan kerja dengan menjadikan personel TNI sebagai subjek penelitian. Selain itu, rancangan penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis efek pemoderasian dukungan sosial dari rekan kerja pada hubungan antara dimensi konflik-pekerjaan-keluarga dan kepuasan kerja. Sehingga, judul penelitian yang penulis ajukan adalah “Pengaruh Konflik Pekerjaan-Keluarga dan Konflik Keluarga-Pekerjaan pada Kepuasan Kerja dengan Dukungan Sosial dari Rekan Kerja sebagai Variabel Pemoderasi”.
5
B. Rumusan Masalah Penelitian ini dirancang untuk menguji pengaruh pemoderasian dukungan sosial dari rekan kerja terhadap konflik-pekerjaan-keluarga pada kepuasan kerja. Berdasarkan latar belakang diatas, maka secara lebih rinci, rumusan permasalahan dalam penelitian ini dapat diwujudkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1 a. Apakah
konflik
pekerjaan-keluarga
berpengaruh negatif pada
kepuasan kerja? b. Apakah
konflik
keluarga-pekerjaan berpengaruh negatif pada
kepuasan kerja? 2 a. Apakah dukungan sosial dari rekan kerja memoderasi hubungan antara konflik pekerjaan-keluarga dan kepuasan kerja? b. Apakah dukungan sosial dari rekan kerja memoderasi hubungan antara konflik keluarga-pekerjaan dan kepuasan kerja?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk: 1 a. Menganalisis dan menguji pengaruh negatif konflik pekerjaankeluarga pada kepuasan kerja. b. Menganalisis dan menguji pengaruh negatif konflik keluargapekerjaan pada kepuasan kerja.
6
2 a. Menganalisis dan menguji pengaruh pemoderasian dukungan sosial dari rekan kerja terhadap pengaruh konflik pekerjaan-keluarga pada kepuasan kerja. b. Menganalisis dan menguji pengaruh pemoderasian dukungan sosial dari rekan kerja terhadap pengaruh konflik keluarga-pekerjaan pada kepuasan kerja.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi organisasi Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
evaluasi,
sehingga
komitmennya
dalam
permasalahan
terkait
organisasi
mengurangi
dan
dapat
meningkatkan
bahkan
menyelesaikan
konflik-pekerjaan-keluarga
dengan
cara
meningkatkan dukungan sosial dari organisasi, terutama dari rekan kerja, sehingga dapat mengurangi dampak negatif konflik-pekerjaankeluarga pada kepuasan kerja karyawan. 2. Bagi karyawan terkait Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
pengetahuan dan masukan bagi karyawan dalam organisasi tentang pentingnya pengaruh dukungan sosial, terutama dari rekan kerja, untuk mengurangi dampak negatif konflik-pekerjaan-keluarga pada kepuasan kerja serta membantu mengintegrasikan peran dalam
7
pekerjaan dan keluarga, sehingga dapat mengurangi konflik antarperan. 3. Bagi akademisi Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang cukup
berarti terhadap ilmu pengetahuan, khususnya dalam
bidang manajemen sumberdaya manusia,
mengenai
pengaruh
pemediasian dukungan sosial dari rekan kerja terhadap konflikpekerjaan-keluarga pada kepuasan kerja pada prajurit Tentara Nasional Indonesia yang selama ini belum banyak diteliti.
8