7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Teori Etika Etika merupakan tatanan moral yang telah disepakati bersama dalam suatu
profesi dan ditujukan untuk anggota profesi tersebut. Motivasi mendasar dalam melakukan tindakan etis bukanlah karena keinginan dan kesadaran individu tersebut tetapi karena adanya peraturan hukum (O’Leary dan Cotter, 2000). O’Leary dan Pangemanan (2007) melakukan penelitian yang hasilnya menunjukkan bahwa motivasi mendasar bagi profesional dalam mengikuti kode etik ialah ketakutannya akan ketahuan melakukan tindakan tidak etis, bukan dari kesadarannya akan pentingnya berperilaku etis. Brooks (2007) menyatakan bahwa etika merupakan cabang dari filsafat yang menyelidiki penilaian normatif tentang apakah suatu perilaku sudah benar atau sudah sesuai dengan yang seharusnya dilakukan. Duska (2003) mengembangkan tiga teori etika, ketiga teori tersebut digunakan untuk mengembangkan penelitian ini, yaitu: 1)
Utilitarianism Theory Teori ini membahas mengenai optimalisasi pengambilan keputusan
individu untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalkan dampak negatif. Terdapat dua macam utilitarisme, yaitu: a.
Act utilitarisme yaitu perbuatan yang bermanfaat untuk banyak orang
b.
Rule utilitarisme yaitu aturan moral yang diterima oleh masyarakat
7
8
luas.
8
9 2)
Deontologi Theory Teori ini membahas mengenai kewajiban individu untuk memberikan hak kepada orang
lain, sehingga dasar untuk menilai baik atau buruk suatu hal harus didasarkan pada kewajiban, bukan konsekuensi perbuatan. Deontologi menekankan bahwa perbuatan tidak pernah menjadi baik karena hasilnya baik, melainkan karena kewajiban yang harus dilakukan (Bertens, 2000). 3)
Virtue Theory Teori ini membahas watak seseorang yang memungkinkannya untuk bertingkah laku
baik secara moral. Terdapat dua bagian virtue theory, yaitu: a.
Pelaku bisnis individual, seperti: kejujuran, fairness, kepercayaan dan keuletan,
b.
Taraf perusahaan, seperti: keramahan, loyalitas, kehormatan, rasa malu yang dimiliki oleh manajer dan karyawan.
2.2 Theory of Reasoned Action Theory of Reasoned Action (TRA) pertama kali diperkenalkan oleh Fishbein dan Ajzen (1980). Teori ini menghubungkan antara keyakinan (belief), sikap (attitude), kehendak (intention) dan perilaku (behavior). Kehendak merupakan prediktor terbaik perilaku, artinya jika ingin mengetahui apa yang akan dilakukan seseorang, cara terbaik adalah mengetahui kehendak orang tersebut. Namun, seseorang dapat membuat pertimbangan berdasarkan alasan-alasan yang sama sekali berbeda (tidak selalu berdasarkan kehendak). Konsep penting dalam teori ini adalah fokus perhatian (salience), yaitu mempertimbangkan sesuatu yang dianggap penting. Kehendak (intetion) ditentukan oleh sikap dan norma subyektif (Jogiyanto, 2007). Ajzen (1991) yang mengatakan bahwa sikap memengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan dan dampaknya terbatas hanya pada tiga hal; Pertama, perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tapi oleh sikap yang spesifik
10 terhadap sesuatu. Kedua, perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tapi juga oleh normanorma objektif (subjective norms) yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita perbuat. Ketiga, sikap terhadap suatu perilaku bersama norma- norma subjektif membentuk suatu intensi atau niat berperilaku tertentu. Jogiyanto (2007) berpendapat bahwa Intensi atau niat merupakan fungsi dari dua determinan dasar, yaitu sikap individu terhadap perilaku (merupakan aspek personal) dan persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau untuk tidak melakukan perilaku yang disebut dengan norma subyektif. Secara singkat, praktik atau perilaku menurut Theory of Reasoned Action (TRA) dipengaruhi oleh niat, sedangkan niat dipengaruhi oleh sikap dan norma subyektif. Sikap sendiri dipengaruhi oleh keyakinan akan hasil dari tindakan yang telah lalu. Norma subyektif dipengaruhi oleh keyakinan akan pendapat orang lain serta motivasi untuk menaati pendapat tersebut. Secara lebih sederhana, teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan itu positif dan bila ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya.
2.3 Love of Money Tang dan Chiu (2003) mendefinisikan love of money sangat terkait dengan konsep "ketamakan", yaitu karakter seseorang yang mendewakan uang. Tang dan Chiu (2003) menemukan bahwa karyawan Hong Kong dengan tingkat Love of Money yang lebih tinggi kurang puas dengan pekerjaan mereka dibandingkan dengan rekan-rekan mereka. Uang adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari (Elias, 2010), di Amerika Serikat keberhasilan seseorang diukur dengan uang dan pendapatan.
11 Basri (2014) mendefinisikan love of money merupakan sikap seseorang yang mencintai uang. Individu dengan love of money tinggi akan meletakkan kepentingan yang tinggi terhadap uang. Individu yang memiliki money ethics yang tinggi (cinta uang yang tinggi) secara etika kurang peka, kurang etis dan sensitif dibandingkan orang yang memiliki money ethics yang rendah. Dalam dunia bisnis, manajer menggunakan uang untuk menarik, mempertahankan, dan memotivasi karyawan (M ilkovich dan Newman, 2002). Chen dan Tang (2006) menemukan bahwa karyawan di Hong Kong dengan love of money yang tinggi bekerja dengan kurang memuaskan dibandingkan rekan-rekan mereka dan hal tersebut dapat menyebabkan perilaku yang tidak etis. Sehingga Chen dan Tang (2006) menyatakan bahwa love of money terkait erat dengan korupsi dan perilaku tidak etis seseorang. Karena
pentingnya
uang
dan
interpretasinya
yang
berbeda,
Tang
(1992)
memperkenalkan konsep "love of money".Teori tersebut mengukur perasaan subjektif seseorang tentang uang (Tang, 1992). Penelitian menunjukkan bahwa love of money terkait dengan beberapa perilaku organisasi yang diinginkan seperti tingkat kepuasan kerja yang tinggi, tingkat pergantian karyawan yang rendah maupun perilaku organisasi yang tidak diinginkan seperti tindakan kecurangan akuntansi dan lain-lain. Tang, et al (2000) menemukan bahwa kesehatan mental seorang profesional dengan tingkat love of money terendah memiliki kepuasan kerja yang rendah. 2.4
Manacika Parisudha Manacika parisudha (penyucian pikiran/ berpikir yang baik) merupakan salah satu
bagian dari tri kaya parisudha (berpikir, berkata, berbuat yang baik). Mudera (1992) menyatakan definisi sederhana tri kaya parisudha terdiri dari manacika parisudha (penyucian pikiran/ berpikir yang baik), wacika parisudha (penyucian perkataan/berkata yang baik) dan kayika
12 parisudha (penyucian perbuatan/ berbuat yang baik). Dalam tri kaya parisudha, manacika parisudha inilah yang harus diprioritaskan, karena pada dasarnya semua hal bermula disini (Suhardana, 2007). Pikiran atau manah ini dipandang sebagai motor yang memengaruhi cara manusia berbicara ataupun berbuat. Namun ketiga-tiganya yaitu pikiran, perkataan dan perbuatan itu perlu dikendalikan dengan sebaik-baiknya (Pudja, 1981). Manacika Parisudha dalam Kitab Sarasamusccaya tercantum dalam Sloka 74, 79, dan 80 (Suhardana, 2007). Sarasamusccaya sloka 74 menyebutkan “Anabhidyam paraswesu sarvasatvesu carusam karmanan phalamastiti trividham manasa caret”, yang artinya sifat pikiran yang pertama-tama diajarkan, tiga banyaknya, tidak menginginkan atau dengki terhadap milik orang lain, tidak marah kepada semua makhluk dan percaya akan kebenaran ajaran karmaphala, itulah ketiga bentuk sifat pikiran sebagai pengendali atas indria. Sarasamusccaya sloka 79 menyebutkan “Manasa nicayam kstva tato vaca vidhiyate kriyate karmana pascat pradhanam vai manastatah”, yang berarti pikiran yang merupakan unsur yang menentukan. Jika penentuan perasaan hati telah terjadi, maka mulailah orang berkata dan melakukan perbuatan. Oleh karena itu pikiranlah yang menjadi pokok sumbernya. Sarasamusccaya sloka 80 menyebutkan “Mano hi mulam sarvesam indriyanam prawartate subhasubhavavasthasu karyam tat suvyavasthitam”, yang berari pikiran itu adalah sumber indriya, yang menggerakkan perbuatan baik dan buruk. Karena itu pikiran itu patut dikendalikan secepatnya (Suhardana, 2007). Selain itu dalam kitab Sarasamusccaya tentang tri kaya parisudha yang berkaitan dengan manacika parisudha yaitu sloka 73 menyebutkan bahwa “Manasa trividhamwaca caiva caturwinham kayena triwidham capi dasakarma pathaccaret”, yang memiliki penjelasan mengenai manacika parisudha yakni manah atau pikiran mempunyai tiga sifat kerja, yaitu rasa berkeinginan, rasa gemas atau benci, rasa iman atau yakin dan percaya kepada ajaran
13 karmaphala, yang dimana agar setiap orang berusaha secara bersungguh-sungguh untuk mengendalikan nafsu dan keinginannya atas harta benda yang bukan miliknya (Pudja, 1981). 2.5
Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Tang dan Arocas (2005) melakukan penelitian pada 564 mahasiswa Amerika yang telah
bekerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa dengan tingkat Love of Money lebih tinggi memiliki tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi baik intrinsik maupun ekstrinsik serta persepsi yang lebih baik akan pentingnya kebutuhan manusia dan pemenuhan kebutuhan tersebut. Lopez, et al (2005) menguji efek dari tingkat pendidikan dalam sekolah bisnis dan faktor individu lain, seperti kebudayaan intranasional, spesialisasi dalam pendidikan, dan jenis kelamin pada persepsi etis. Hasil penelitian menunjukkan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan, kebudayaan intranasional, dan jenis kelamin berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi etis. Selanjutnya, mereka menemukan bahwa perilaku etis cenderung tinggi pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Tang, et al (2006) meneliti hubungan tingkat love of money yang dinilai dengan kepuasan penerimaan pendapatan berdasarkan jenis kelamin. Hasilnya menunjukkan bahwa laki-laki lebih puas dalam hal finansial daripada kaum perempuan. Sehingga hal ini juga dapat disimpulkan bahwa tingkat Love of Money kaum perempuan lebih besar daripada kaum laki-laki. Elias (2010) lebih lanjut menguji mengenai pengaruh Love of Money mahasiswa akuntansi terhadap persepsi etisnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Love of Money berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi. Dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan mengenai perilaku etis berdasarkan perbedaan jenis kelamin dan tingkat pendidikan.
14 Nkundabanyanga, et al (2011) menguji mengenai pengaruh love of money, tekanan kinerja terhadap sikap tidak etis sales personal kosmetik di Uganda dengan management control sebagai variabel pemoderasi. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sales personal diperkotaan dan sudah menikah cenderung berprilaku tidak etis dalam pencapaian target mereka sehingga ditemukan indikasi love of money berpengaruh terhadap perilaku tidak etis. Kamayanti dan Widyaningrum (2013) menguji mengenai pengaruh gender, usia dan tingkat pendidikan pada persepsi etis mahasiswa akuntansi dengan love of money sebagai variabel intervening. Dari penelitian tersebut memperoleh hasil bahwa gender berpengaruh signifikan terhadap love of money sedangkan tingkat pendidikan dan usia berpengaruh positif signifikan terhadap love of money. Gender berpengaruh signifikan terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi, sedangkan usia dan tingkat pendidikan berpengaruh positif signifikan terhadap persepsi etis dan love of money memiliki pengaruh yang signifikan terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi dengan arah positif. Pradanti dan Prastiwi (2014) menguji mengenai pengaruh jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi dengan proksi tingkat penghasilan dan ethnic background terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi di Universitas Diponegoro dengan love of money sebagai variabel intervening dan memperoleh hasil bahwa gender berpengaruh terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi tetapi tidak pada love of money. Sedangkan variabel pendidikan, latar belakang ekonomi, dan ethnic background tidak berpengaruh terhadap love of money. Variabel love of money sebagai variabel intervening terbukti berpengaruh terhadap persepsi etisnya. Ringkasan pembahasan hasil penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Lampiran 1.