BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Pembiayaan Kesehatan Pembiayaan kesehatan (WHO, 2002), Merupakan sekumpulan dana dan
penggunaan dana tersebut untuk membiayai kegiatan kesehatan yang dilakukan secara langsung serta memiliki tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat baik itu dalam lingkup Kabupaten, Provinsi maupun Negara. Azwar (1996) mendefinisikan pembiayaan kesehatan yaitu besarnya dana yang harus disediakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat guna menyediakan dan memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan baik itu oleh perorangan, keluarga. Kelompok maupun masyarakat. Dari pengertian di atas, maka tampak bahwa pembiayaan kesehatan terdiri dari dua jenis biaya yaitu: a. Biaya
pelayanan
kedokteran
yaitu
biaya
yang
dibutuhkan
untuk
menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan kedokteran yang tujuan utamanya untuk mengobati dan memulihkan kesehatan penderita. b. Biaya pelayanan kesehatan masyarakat yaitu biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan atau memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat yakni untuk pemeliharaan dan meningkatkan kesehatan serta kegiatan pencegahan penyakit. Dalam melakukan pembiayaan kesehatan, terdapat syarat pokok yang harus dipenuhi dalam memberikan pelayanan bidang kesehatan (Azwar, 1996) yang terdiri dari :
Universitas Sumatera Utara
1.
Jumlah Merupakan syarat utama dari pembiayaan kesehatan yang harus tersedia dalam jumlah yang cukup dalam art! Dapat membiayai pcnyelenggaraan semua upaya kesehatan yang dibutuhkan serta tidak menyulitkan masyarakat untuk mendapatkannya.
2. Penyebaran Penyebaran dana yang harus sesuai dengan kebutuhan jika dana yang tersedia tidak
dapat
dialokasikan
dengan
baik.
Niscaya
akan
menyulitkan
penyelenggaraan setiap upaya kesehatan. 3. Pemanfaatan Pemanfaatan yang kurang baik atau kurang terarah dapat menimbulkan masalah yang mana dana yang diaiokasikan tersebut harus tepat sasaran dan membuat masyarakat dapat merasakannya. Menurut Brotowasisto (2000), WHO memberikan batasan standar untuk pembiayaan kesehatan suatu negara adalah 5% dari PDB masing-masing negara. Sedangkan berdasarkan hasil pertemuan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia dihasilkan suatu komitmen untuk mengalokasikan 15% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau 5% Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten/Kota untuk mendukung program dan layanan kesehatan. Adapun model pembiayaan kesehatan yang diterapkan disuatu negara biasanya menghadapi dua masaalah pokok yang sama, yaitu: (1) bagaimana mengendalikan biaya pelayanan kesehatan yang meningkat secara drastis,
Universitas Sumatera Utara
(2) mutu pelayanan kesehatan yang ternyata tidak sesuai dengan pembiayaan kesehatan (Sulastomo, 2000). Masaalah pembiayaan kesehatan yang dihadapi antara lain : a. Alokasi anggaran kesehatan Dalam sistim desentralisasi, alokasi anggaran kesehatan didapat antara lain: (1) Anggaran Pemerintah Daerah (APBD), (2)
Anggaran
Pemerintah Pusat (APBN), (3) Bantuan luar negeri. Besarnya alokasi dana untuk kesehatan tergantung beberapa kondisi : 1). Besarnya pendapatan daerah (DAU, DAK dan PAD), 2). Kemampuan Rumah Sakit dalam menyusun program dan anggaran yang realistis, 3). Visi Pemda dan DPRD tentang kedudukan sektor kesehatan dalam konteks pembangunan daerah relatif terhadap kesehatan, 4). Kemampuan Rumah Sakit dalam melakukan advokasi kepada Pemda dan DPRD (Gani,2001). Sebagaimana diketahui sebagian anggaran daerah untuk sektor kesehatan yang bersifat desentralisasi bersumber Dana Alokasi Umum (DAU). Dana ini masih banyak dipakai untuk gaji atau rutin, bukan untuk kegiatan pengembangan. Dengan demikian apabila daerah mengandalkan DAU untuk pelayanan kesehatan, secara praktis pembangunan kesehatan tidak mempunyai yang kuat kecuali pada daerah yang kaya (Harbianto & Trisnantoro, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Dalam kaitannya dengan desentralisasi, sesuai dengan potensi suatu daerah, sedikitnya ada dua skenario yang mungkin terjadi dalam pembiayaan kesehatan. Untuk daerah kaya anggaran pembangunan kesehatan mungkin akan sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan, sedangkan untuk daerah miskin tentu sebaliknya. Daerah miskin diperkirakan akan memberi prioritas lebih tinggi pada sektor yang memberikan “ return of investment” (ROI) dalam jumlah besar dan dalam jangka pendek. “Celakanya”, investasi dibidang kesehatan tidak akan memberikan ROI dalam jangka pendek dalam bentuk penerimaan riel dalam PAD ataupun PDRB daerah (Gani, 2001 ). b. Pemanfaatan Dana yang Tidak Efisien Di Indonesia pembiayaan kesehatan yang terbatas, dimanfaatkan secara kurang efisien, hal ini dapat dilihat dari alokasi yang timpang antar program kesehatan. Ketidakefisienan juga kelihatan dimana dana yang dicarikan melalui rangkaian birokrasi yang panjang sehingga nilai dana menurun ketika sampai pada tingkat operasional (Brotowasisto, 2000). c. Beban Pembiayaan Kesehatan yang Semakin meningkat Beban pembiayaan kesehatan Indonesia semakin hari semakin berat.
Ini
disebabkan
oleh
beberapa
faktor
penting,
yaitu
:
(1) Meningkatnya jumlah penduduk, (2) Meningkatnya jumlah penduduk usia lebih tua, sehingga jumlah penyakit kardiovaskuler dan penyakit kronis degeneratif juga meningkat, (3) Perkembangan teknologi kesehatan yang semakin canggih (Gani, 2001).
Universitas Sumatera Utara
d. Pengelolaan Dana yang Belum Baik Untuk sumber dana yang berasal dari pemerintah, keluhan yang banyak didengar adalah tidak sesuainya perencanaan anggaran yang dibuat oleh pusat dengan kebutuhan daerah. 2.2.
Sumber-Sumber Pembiayaan Kesehatan
2.2.1
Sumber-Sumber Pembiayaan Kesehatan (Sebelum Desentralisasi) Sumber biaya kesehatan tidaklah sama antara satu negara dengan negara
lainnya. Dalam Undang-undang Rl nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan pada bagian ke 5 mengenai pembiayaan kesehatan pasal 65 ayat 1, menyebutkan bahwa upaya kesehatan dibiayai .oleh pemerintah dan atau masyarakat. Pada ayat 2 menyebutkan
bahwa
pemerintah
membantu
upaya
kesehatan
yang
diselenggarakan oleh masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang bertaku, terutama upaya kesehatan bagi masyarakat rentan. a. Sumber Dana Pemerintah Sumber Pembiayaan pemerintah berasal dari : (a) Pendapatan pajak secara umum, (b) Pinjaman luar negeri/’deficit financing, (c) Pendapatan pajak penjualan, (d) Asuransi sosial (Soewondo, 1998). Pemerintah daerah dalam otonomi daerah ini mempunyai empat sumber untuk membiayai kegiatan, yaitu (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa pendapatan dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya. (2) Alokasi pusat kepada daerah dalam bentuk DAU dan DAK, (3) Anggaran perimbangan atau bagi hasil yang diperolah dari kegiatan
Universitas Sumatera Utara
pertambangan, hasil hutan dan perikanan, (4) Pinjaman daerah dalam negeri dan atau luar negeri (Gani, 2001). Sebelum desentralisasi, alokasi anggaran kesehatan dilakukan oleh pemerintah pusat dengan menggunakan model) negosiasi ke propinsi-propinsi. Ketika sifat Big-Bang kebijakan desentralisasi mengenai sektor kesehatan, tibatiba terjadi apa yang disebut sebagai alokasi anggaran pembangunan melalui Dana Alokasi Umum (DAU) yang berbasis pada formula dan ditetapkan berbasis pada potensi penerimaan dan kebutuhan fiskal oleh sebuah daerah (Sidik, 2002). Ada hal yang menarik dalam masalah peran pemerintah dalam alokasi anggaran kesehatan. Di luar DAU, masih banyak sumber anggaran pemerintah pusat untuk kesehatan, misalnya melalui dana kompensasi BBM, Dana Alokasi Khusus, sampai Anggaran Belanja Tambahan. Sementara itu, fungsi pemerintah pusat belum mantap dalam alokasi anggaran. Hal ini terlihat dari masih kentalnya kultur negosiasi dalam alokasi anggaran, serta menjadi semakin rumit dengan kuatnya pengaruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat pasca kebijakan desentralisasi. Akibatnya terjadi berbagai ketidakadilan, diantaranya ketika daerah-daerah yang miskin mendapat alokasi anggaran yang bobotnya sama dengan daerah kaya (Trisnantoro & Harbianto, 2004). b. Sumber Dana Swasta dan Masyarakat 1. Asuransi Kesehatan Swasta Asuransi kesehatan swasta (asuransi sukarela) merujuk kepada asuransi kesehatan dimana polis asuransi disediakan oleh perusahaan
Universitas Sumatera Utara
asuransi swasta dan dapat dibeli oleh konsumen dalam pasar swasta yang berorientasi laba ataupun nirlaba (Murti, 2000). 2. Pembiayaan Asuransi oleh Perusahaan Perusahaan
secara
langsung
membiayai
keperluan
pelayanan
kesehatan para pekerjanya. Masalah yang timbul dalam jenis pembiayaan ini adalah kaitan dengan kualitas pelayanan yang disediakan, dan kesulitan untuk memberlakukan kewajiban kepada karyawannya (Mills & Gilson, 1990). 3. Pengeluaran Langsung dari Rumah Tangga Yang tergolong dalam pembayaran ini adalah setiap pembayaran yang dilakukan konsumen kepada penyedia pelayanan kesehatan kesehatan (Mills & Gillson, 1990). 4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) JPKM
merupakan
pengembangan
sistem
pembiayaan
dan
pemeliharaan kesehatan yang dilaksanakan secara paripurna dan berjenjang dengan pembayaran pra upaya berdasarkan azas kekeluargaan dan azas gotong royong yang mencerminkan peran serta masyarakat (Depkes Rl, 2000). c. Pinjaman Luar Negeri Sumber dana luar negeri saat ini masih diperlukan karena merupakan sumber pendapatan untuk kegiatan-kegiatan yang tidak menarik bagi sektor swasta seperti pembangunan sumber daya manusia dan pembangunan prasarana di luar jawa.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2
Sumber-Sumber Pembiayaan Kesehatan (Setelah Desentralisasi) Pada masa desentralisasi pembiayaan kesehatan terdiri dari : 1.
Pembiayaan pusat dan dana dekonsentrasi
2.
Pembiayaan melalui dana propinsi
3.
Pembiayaan melalui dana kabupaten/kota
2.3 Anggaran (budget) Munandar (2000) mengatakan bahwa, anggaran adalah suatu rencana yang disusun secara sistimatis meliputi seluruh kegiatan perusahaan yang dinyatakan dalam kesatuan moneter untuk periode tertentu yang akan datang. Christina,dkk (2001) menyatakan bahwa anggaran merupakan suatu rencana yang disusun secara sistimatis dalam bentuk angka dan dinyatakan dalam unit moneter yang meliputi seluruh kegiatan perusahaan pada priode tertentu dimasa yang akan datang. Menurut Asri dan Adisaputro (1996), anggaran adalah suatu pendekatan yang formal dan sistimatis dari pelaksanaan tanggungjawab manajemen didalam perencanaan, koordinasi dan pengawasan. Anggaran merupakan suatu rencana, uraian tentang kegiatan yang dilaksanakan yang dinyatakan dalam bentuk uang (Azwar, 1996). Sedangkan Munandar (2000) menyatakan anggaran mempunyai tiga kegunaan pokok, yaitu : a. Sebagai pedoman kerja dan memberikan arah serta memberikan targettarget yang akan dicapai oleh kegiatan perusahaan di waktu yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara
b. Sebagai alat pengkoordinasi kerja agar semua bagian-bagian yang terdapat didalam perusahaan dapat saling menunjang, saliang bekerja sama dengan baik guna mencapai sasaran yang telah ditetapkan. c. Sebagai alat pengawasan kerja yaitu alat pembanding guna menilai realisasi kegiatan perusahaan. Menurut Christina (2001), tujuan penyusunan anggaran adalah: (1) Untuk menyatakan sasaran dari perusahaan secara jelas dan formal sehingga dapat menghindari kerancuan dan memberikan arah terhadap apa yang hendak dicapai manajemen, (2) untuk mengkomunikasikan harapan manajemen kepada pihakpihak
terkait
sehingga
anggaran
dimengerti
didukung
dandilaksanakan,
(3) untuk menyediakan rencana terinci mengenai aktifitas dengan maksud mengurangi ketidakpastian dan memberikan pengarahan yang jelas bagi individu dan kelompok untuk mencapai tujutan perusahaan (5) untuk menyediakan alat pengukur dan pengendalian kinerja individu dan kelompok serta informasi yang mendasari perlu tidaknya tindakan koreksi. Menurut Nafarin (2004), beberapa hal terkait dengan prilaku pelaksanaan anggaran yang perlu diperhatikan : 1. Anggaran harus dibuat serealistis dan secermat mungkin, artinya tidak terlalu rendah atau tinggi. Anggaran yang terlalu rendah tidak menggambarkan kondisi yang dinamis, sedangkan anggaran yang terlalu tinggi hanyalah angan-angan belaka. 2. Untuk memotivasi menejer pelaksana, diperlukan adanya partisipasi dalam penyusunan anggaran.
Universitas Sumatera Utara
3. Anggaran yang dibuat harus mencerminkan prinsip keadilan, sehingga pelaksana anggaran tidak merasa tertekan, tetapi termotivasi untuk mencapai tujuan anggaran. 4. Laporan realisasi anggaran perlu disajikan secara akurat dan tepat waktu, sehingga bila terdapat penyimpangan yang bersifat merugikan dapat diantisipasi sejak dini. Backer and Green (2003) menjelaskan bahwa partisipasi anggaran akan memberikan kemungkinan bagi bawahan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan atasan mereka dan untuk mempengaruhi target anggaran. Partisipasi anggaran yang tinggi tidak hanya meningkatkan pemahaman bawahan mengenai bagaimana target anggaran berasal, tetapi juga menghasilkan target anggaran yang lebih realistis yang dapat diterima dan dilaksanakan oleh bawahan. Langkah-langkah yang harus diikuti dalam penganggaran adalah : (1) penetapan tujuan, (2) mengevaluasi sumber-sumber daya yang tersedia, (3) negosiasi antara pihak-pihak yang terlibat mengenai angka anggaran, (4) persetujuan akhir, (5) pendistribusian anggaran yang disetujui (Slim dan Siegel, 2000). Pendekatan penyusunan anggaran (Depkes, 2002) adalah sebagai berikut : 1.
Top Down Approach Pendekatan ini memiliki ciri-ciri (1) sedikit keterlibatan dari semua unit/staf,(2) Refleksi perspektif top menejer, (3) kurang keterlibatan, komunikasi, dan komitmen dari unit/staf, (4) masaalah moral dan inefisien :SPJ oriented.
Universitas Sumatera Utara
2.
Patisipatory Approach Pendekatan ini memiliki ciri-ciri (1) Perspektif tugas dan tanggungjawab pada unit terkait, (2) belief-Ownership-bertanggungjawab, menyiapkan anggaran sendiri, (3) sangat melibatkan semua staf, ada komunikasi dan komitmen, (4) Waktu sangat relatif lama.
3.
Fixed Budget Pendekatan ini memiliki ciri-ciri (1) Total anggaran di asumsikan tetap satu setelah disetujui, (2) tidak ada penyesuaian (adjusment)
4.
Fleksibel Budget Pendekatan ini memiliki ciri-ciri (1) Total anggaran dapat direvisi apabila kegiatan berubah, (2) Pada prinsipnya total anggaran mangacu pada jumlah kegiatan yang dilakukan.
5.
Zero-Based Budgeting (Prospektif) Pendekatan ini memiliki ciri-ciri (1) susun anggaran dari nol, sesuai dengan goal dan objektif, (2) sulit, list semua kegiatan, estimasi volume, dan cari standar biaya, (3) cerminan kebutuhan yang ada.
6.
Historical budget (retrospektif) Pendekatan ini memiliki ciri-ciri (1) Mengacu pada line item dan jumlah biaya tahun sebelumnya, (2) seringkali hanya berdasarkan pengalaman tahun-tahun lalu ditambah 10%, (3) relatif mudah dan cepat bila hanya melihat laporan tahun lalu, (3) tidak mencerminkan kebutuhan yang ada, (6) kelebihannya adalah mendapat gambaran riil dilapangan dimasa lalu.
Universitas Sumatera Utara
7.
Target based budgeting Anggaran disusun berdasarkan target yang akan dicapai. Target dulu disusun, baru anggaran dibuat. Budget dibuat setelah program disusun, mengikuti siklus perencanaan ideal.
8.
Budget based targeting Besar anggaran telah di tetapkan dahulu, baru setelah itu target dan jenis kegiatan sesuai dengan besarnya anngaran yang tersedia.Digunakan untuk penyusunan anggaran yang platfonnya sudah ditetapkan. Menurut Hasbullah (2005), saat ini ada lima faktor yang menentukan
prioritas dan kecukupan alokasi anggaran daerah bidang kesehatan, yaitu : 1. Jumlah penerimaan daerah berasal dari pemerintah pusat dan daerah yang tercantum dalam jumlah APBD. 2. Skala prioritas terhadap bidang kesehatan dimata pemerintah daerah. 3. Kemampuan Rumah Sakit dalam melakukan advokasi. 4. Kemampuan Rumah Sakit dalam menyusun anggaran yang baik. 5. Mampu menyajikan informasi alur pendanaan kesehatan termasuk informasi sumber-sumber dana yang ada sampai bagaimana menggunakan dana tersebut terhadap pencapaian program-program kesehatan. 2.3.1
Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia (SDM) adalah seseorang yang bekerja aktif baik
yang memiliki pendidikan formal atau tidak untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan sesuatu upaya (Kepmenkes, 2004). Menurut KBBI (2003), sumber daya manusia adalah potensi manusia yang dapat dikembangkan
Universitas Sumatera Utara
untuk proses produksi. Sumber daya manusia salah satu faktor yang penting didalam suatu organisasi. Agar organisasi dapat bertahan dalam lingkungan persaingan harus melakukan repotioning peran SDM dengan cara pengembangan SDM melalui kegiatan pelatihan dan melatih kembali sumber daya manusia. Permasaalahan birokrasi publik perlu dibenahi melalui pendekatan kompetensi yang berbasis kompetisi (Gomes, 2002). Manusia merupakan faktor terpenting dari manajemen, gagal atau tidaknya tujuan organisasi tergantung dari banyak faktor, namun tak dapat dipungkiri bahwa manusia merupakan faktor yang paling dominan (Syamsi, 1988). Menurut Dickey (2001), ketrampilan membuat perencanaan yang baik serta kepekaan terhadap faktor-faktor non teknis yang berpengaruh, sangat diperlukan untuk mencapai kesuksesan. SDM sebagai operator dari sistim sudah diketahui menjadi kunci sukses dalam pelaksanaan desentralisasi (Trisnantoro, 2005). Perencanaan sumber daya manusia adalah merupakan fungsi yang pertama-tama yang harus dilaksanakan dalam organisasi. Perencanaan sumber daya manusia adalah langkah-langkah tertentu yang diambil oleh manajemen guna menjamin bahwa organisasi tersedia tenaga kerja yang tepat untuk menduduki berbagai kedudukan, jabatan dan pekerjaan yang tepat pada waktu yang tepat, kesemuanya untuk mencapai tujuan dan berbagai sasaran yang telah dan akan ditetapkan (Sutiono et al., 2004). Pada era desentralisasi terjadi perubahan yang mendasar pada manajemen SDM kesehatan seperti : (1) Terjadinya perubahan pola manajemen SDM yang tadinya sangat sentralisasi menjadi lebih desentralisasi, (2) Terjadinya perubahan
Universitas Sumatera Utara
pola perencanaan dan pengelolaan SDM kesehatan yang tadinya sangat top down menjadi bottom up, (3) Terjadinya transfer otoritas yang tadinya pusat sangat powerful! Menjadi sharing power dengan daerah, (4) Terjadinya tuntutan perubahan regulasi SDM kesehatan yang tadinya otoritas sangat terpusat menjadi lebih diwarnai otoritas daerah. Status tenaga dipekerjakan dan diperbantukan mungkin perlu ditinjau ulang, untuk memberikan otoritas lebih besar kepada daerah untuk mengelola SDM kesehatan sesuai dengan kebutuhan mereka, (5) Terjadinya perubahan jelas teriihat fungsi dan tanggungjawab pusat dengan daerah secara jelas (llyas, 2000). Lebih lanjut menurut Sampoerno (1999), dapat tidaknya kebutuhan tenaga kesehatan terpenuhi dalam suatu kabupaten sangat tergantung dari kaya atau miskinnya
propinsi
atau
kabupaten
yang
bersangkutan
setelah
terjadi
desentralisasi. Untuk implementasi paradigma sehat, disamping tenaga kesehatan yang telah ada masih diperlukan tenaga-tenaga kesehatan jenis lain yang memiliki keterampilan untuk menangani upaya preventif dan protektif yang tertuang dalam program sanitasi lingkungan, pencegahan dan sebagainya. Pada era desentralisasi, untuk tingkat kabupaten diperlukan juga beberapa tenaga kesehatan yang dapat melakukan perencanaan, implementasi dan evaluasi program-program kesehatan. a. Kemampuan Untuk Melakukan Advokasi Dalam sebuah sistem yang terdesentralisasi, kabupaten/kota akan menjadi” unit
yang
paling
strategis,
dan
dimana dua lembaga kabupaten
yaitu Bupati dan DPRD, sangat menentukan skala prioritas pembangunan sosial dan ekonomi (Puslit Kesehatan Ul, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Secara nasional advokasi kesehatan adalah meningkatkan perhatian publik terhadap kesehatan, dan meningkatkan advokasi sumberdaya untuk kesehatan. Indikator keberhasilan advokasi yang paling utama adalah meningkatnya anggaran kesehatan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (Notoatmodjo, 2001 ). Hal yang penting dalam proses advokasi adalah proses sosialisasi dan mobilisasi. Proses ini diperlukan untuk mempercepat agar pemerintah dapat segera mengeluarkan/ membuat instrumen kebijakan yang diinginkan. Oleh karena itu pelaksanaan advokasi (dalam hat ini Dinas Kesehatan) perlu mengenali dan
membina
kerjasama
dengan
pembuat
opini
dan
media
massa
(Depkes Rl, 2000). Departemen Kesehatan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan alokasi dana kesehatan, pada bulan Juli 2000 yang lalu telah melakukan advokasi melalui suatu pertemuan nasional di Jakarta. Dengan hasil kesepakatan adalah komitmen untuk mengalokasikan 15% APBD atau 5% Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten/kota untuk mendukung program dan pelayanan kesehatan (Depkes Rl, 2000). Advokasi dapat terwujud dalam berbagi bentuk kegiatan antara lain : (1) Lobi politik, (2) Seminar dan atau presentasi, (3) Media, (4) Perkumpulan asosiasi peminat (Notoatmodjo, 2001). b. Penyusunan Perencanaan dan Anggaran yang baik Menurut Mulyadi dan Setiawan (1999), proses perencanaan menyeluruh terdiri dari empat tahap, yaitu : (1) perumusan strategi, (2) perencanaan stratejik,
Universitas Sumatera Utara
(3) penyusunan program, (4) penyusunan anggaran. Proses penyusunan anggaran merupakan suatu proses sejak dari tahap persiapan yang diperlukan sebelum dimulainya penyusunan rencana, pengumpulan berbagai data dan informasi yang perlu, pembagian tugas perencanaan, penyusunan rencana, implementasi rencana sampai pada tahap evaluasi hasil pelaksanaan rencana tersebut. Menurut Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (2000), sebelum desentralisasi, perencanaan dan penganggaran kesehatan di Indonesia merupakan proses top down dan terkotak-kotak. Dinas kesehatan kabupaten membuat perencanaan kesehatan berdasarkan arahan dan panduan yang diberikan pusat. Pelatihan kurang diberikan terhadap kebutuhan daerah. Desentralisasi akan menghasilkan kebutuhan baru terhadap pelayanan kesehatan kabupaten, khususnya dalam hat administrasi, manajemen keuangan dan perencanaan kesehatan. Dinas kesehatan kabupaten diharapkan mampu melakukan kegiatan berikut : 1. Perencanaan dan penganggaran terpadu, mengintegrasikan segala sumber dana dalam bentuk paket block grant dan menggunakannya untuk memecahan masalah kabupaten. 2. Dalam proses perencanaan, atau analisis situasi, harus berdasarkan hasil survailans, atau data yang berbasis masyarakat. 3. Menggali sumber dana potensial (pemerintah, swasta dan masyarakat) sehingga mendapatkan dana yang cukup untuk mengimplementasikan kegiatan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam desentralisasi, penting sekali untuk mendapatkan perencana program yang terlatih dengan baik pada tingkat kabupaten. Dinas kesehatan idealnya mempunyai sumber daya manusia yang menguasai teknik perencanaan (Puslit Kesehatan Ul, 2001). 2.3.2
Dana Pembiayaan kesehatan pada dasarnya adalah sekumpulan dana dan
penggunaan dana untuk pembiayaan secara langsung dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pada era desentralisasi, semua pembiayaan kesehatan (kecuali yang bersifat khusus) dipusatkan pada kepala daerah bersama sektor lain dalam bentuk DAU dan DAK. Dalam plot anggaran bersama tersebut, alokasi ke bidang kesehatan akan ditentukan oleh kepala daerah bersama DPRD disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah (Budiarto, 2003). Konsekuensi dari diterapkannya otonomi daerah adalah perubahan sistem administratif yang berlaku. Daerah dituntut lebih otonom baik dalam menjalankan pemerintahannya maupun dalam mendanai keuangan daerahnya. Sedangkan kemampuan satu daerah dengan daerah lain tidaklah sama. Untuk menunjang pelaksanaan otonomi daerah tersebut, maka pemerintah pusat memberikan kebijakan transfer kepada daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU). Alokasi dana ini sangat tergantung dari kebutuhan dan lobi, negosiasi, serta argumentasi antara pihak eksekutif, unit-unit teknis di daerah dengan pihak legislatif (Sidik et al., 2002). Salah satu kebijakan tentang pembiayaan kesehatan didaerah yang pernah disepakati oleh para Bupati/Walikota dalam era-desentralisasi adalah 15% dari
Universitas Sumatera Utara
dana APBD. Namun didalam realisasinya persentase anggaran kesehatan di banyak daerah di Indonesia tidak bergeser dari yang sebelumnya yaitu berkisar antara 2,5% sampai dengan 4% dan maksimal 7% (Hendartini dan Mukti, 2004). Dalam konteks pembiayaan kesehatan di era otonomi daerah, tidak lepas dari keadaan pemerintah daerah dan masyarakat. Sebagai contoh, bila pemerintah daerah miskin sementara masyarakat kaya, maka dimungkinkan biaya pelayanan kesehatan sebagian besar akan ditanggung oleh masyarakat dan subsidi Pemda untuk pelayanan kesehatan bisa ditekan dan akan diprioritaskan untuk membiayai program-program yang sifatnya public good. Pada masyarakat yang kaya, maka sistem pelayanan kesehatan akan cenderung bergeser ke arah mekanisme pasar yang sesuai dengan need dan demand masyarakat tersebut. Sebaliknya pada pemerintah daerah yang miskin dan masyarakatnya miskin, maka peranan Pemda setempat akan cenderung kecil karena dalam situasi ini kemungkinan diperlukan peranan pemerintah pusat yang lebih besar (Trisnantoro, 2002 ). Sektor kesehatan juga mendapat alokasi dana khusus yang dipakai untuk membiayai peningkatan daya jangkau dan kualitas kesehatan masyarakat di Kabupaten/Kota. Dana ini diprioritaskan untuk daerah-daerah yang mempunyai kemampuan fiskal rendah atau dibawah rata-rata. Untuk efektifitas pelaksanaan DAK, masing-masing pemerintah daerah membentuk tim koordinasi yang bersifat fungsional
yang
bertugas
mengkoordinasikan
perencanaan,
pelaksanaan,
pelaporan, dan pemantauan DAK (Sidik et al., 2002). Selain dari dana tersebut di atas, sektor kesehatan menerima dana non desentralisasi,
seperti
dana
dekonsentrasi,
dana
Program
Kompensasi
Universitas Sumatera Utara
Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) bidang kesehatan, dan anggaran biaya tambahan. Dana dekonsentrasi adalah dana pemerintah pusat yang digunakan untuk membiayai tugas-tugas pemerintah pusat di daerah. Pemerintah daerah
wajib
melaporkan
dan
membuat
laporan
pertanggungjawaban
ke pemerintah pusat. Sedangkan dana PKPS-BBM adalah dana yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah sebagai dampak dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk membantu masyarakat miskin. Dalam rangka pelaksanan otonomi daerah, maka pemerintah daerah diharapkan dapat menyediakan anggaran melalui APBD untuk orang miskin sesuai dengan kemampuan rnasing-masing. (Trisnantoro, 2004). Ada beberapa kriteria dalam pengalokasian anggaran kesehatan, diantaranya adalah adekuasi dan equity. Pemakaian kriteria tersebut dapat dilakukan untuk mencapai standar pelayanan minimal. Dalam hal ini, dapat diberikan conditional non-matching block transfer (DAK tanpa dana pendamping) berbasis pada standar pelayanan minimal yang ada. Prinsip adekuasi diperlukan untuk mendukung daerah agar mampu melakukan pelayanan minimal yang standarnya ditetapkan oleh pusat (Harbianto & Trisnantoro, 2004). 2.3.3
Sarana Faktor sarana sangat penting dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan
aktivitas pemerintahan daerah. Dalam pengertian ini, sarana adalah setiap benda atau alat yang dipergunakan untuk memperlancar atau mempermudah aktifitas. Untuk dapat memperlancar daya kerja pemerintah daerah, maka diperlukan
Universitas Sumatera Utara
adanya sarana yang baik dalam arti cukup dalam jumlah dan efisien, efektif, serta praktis dalam penggunaannya (Kaho, 1997). Sarana tersebut dikatakan cukup dalam jumlah (kuantitasnya) apabila sarana yang tersedia sebanding dengan volume kerja yang ada, atau sebanding dengan jumlah tenaga yang akan menggunakannya, atau sebanding dengan kebutuhan organisasi. Sarana disebut efisien, penggunaannya dari sudut output haruslah maksimal, sedangkan dari sudut input haruslah minimal. Selain itu, sarana
prasarana
harus
efektif
dalam
penggunaannya,
artinya
apabila
pengguanaannya menghasilkan efek (akibat, pengaruh, keadaan), seperti yang diharapkan (Kaho, 1997). Menurut Dwiyanto (2002), kinerja pelayanan publik yang baik dapat dilihat melalui berbagai indikator fisik. Penyelenggaraan pelayanan publik yang baik dapat dilihat melalui aspek fisik yang diberikan, seperti tersedianya gedung pelayanan yang representatif, fasilitas pelayanan berupa ruang tunggu yang nyaman, peralatan pendukung yang memiliki teknologi canggih, misalnya komputer, serta berbagai fasilitas kantor pelayanan yang memudahkan akses pelayanan bagi masyarakat. Untuk mendukung suksesnya kegiatan pembiayaan kesehatan di era desentralisasi, maka perlu dikembangkan sistem data untuk perencanaan dan alokasi anggaran. Data ini dibutuhkan oleh teknik alokasi anggaran yang menggunakan formula. Tanpa dukungan data yang baik, maka kecenderungan alokasi akan berdasarkan negosiasi dan pengaruh politik (Trisnantoro, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.3.4
Struktur Organisasi Struktur organisasi merupakan infrastruktur yang mendasari konsep dan
implementasi strategi. Struktur adalah kerangka organisasi yang merupakan visualisasi dari tugas, fungsi, garis wewenang dan tanggung jawab, jabatan dan jumlah pejabat serta batas-batas formal dalam hal apa organisasi itu beroperasi. Konsep struktur mengacu kepada cara bagaimana departemen atau unit diatur di dalam suatu sistem, menggambarkan keterkaitan antara bagian-bagian dan cara mengatur posisi di dalam sistem (Sulistiani, 2004). Menurut Siagian (2004), perhatian pada struktur terletak pada kenyataan bahwa : 1. Dalam struktur tergambar hierarki kekuasaan dan kewenangan yang berlaku meskipun dewasa ini para pakar makin menonjolkan pentingnya penciptaan struktur yang lebih datar bukan yang hierarki piramidal. 2. Dalam struktur tergambar hubungan antara satu satuan kerja dengan satuan-satuan kerja yang lain, sekaligus menunjukan bentuk dan jenis interaksi dan interelasi yang harus terjadi. 3. Struktur organisasi memaparkan jaringan informasi yang ada dan dapat dimanfaatkan. 4. Dalam struktur organisasi terlihat berbagai saluran komunikasi yang tersedia. 5. Struktur organisasi menggambarkan cara yang digunakan oleh manajemen puncak membagi tugas dan tanggungjawab satuan-satuan kerja yang ada dalam organisasi.
Universitas Sumatera Utara
Tugas dan wewenang Kabupaten/Kota dalam PP 25 Tahun 2000 adalah kegiatan yang belum dilaksanakan di Pusat dan Propinsi, diantaranya adalah pengembangan Sistem Pembiayaan Kesehatan melalui Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat dan atau sistem lain dalam lingkup kota, pengelolaan tenaga kesehatan daerah, dan perencanaan dan pengendalian upaya kesehatan dalam penyehatan lingkungan hidup kota. Tujuan strategis desentralisasi kesehatan menurut KepMenkes Rl Nomor : 004/MENKES/SK/I/2003 adalah (1) Upaya membangun komitmen Pemda, legislatif, masyarakat, dan stakeholder lain dalam kesinambungan pembangunan kesehatan, (2) Upaya peningkatan kapasites sumber daya manusia, (3) Upaya perlindungan kesehatan masyarakat khususnya terhadap penduduk miskin, kelompok rentan dan daerah miskin, (4) upaya pelaksanaan komitmen nasional dan global dalam program kesehatan, (5) Upaya penataan manajemen kesehatan di era desentralisasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu diatur tentang pedoman organisasi perangkat daerah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang dibentuk berdasarkan pertimbangan : kewenangan daerah; karakteristik, potensi dan kebutuhan daerah; kemampuan keuangan daerah; ketersediaan sumberdaya aparatur; dan pengembangan pola kerjasama antar daerah dan/atau dengan pihak ketiga. Sebagai pengganti PP 84 tahun 2000, PP 8 tahun 2003 mempertegas peran Dinas Kesehatan. Dalam perubahan struktur sistem kesehatan, Dinas Kesehatan diharapkan berperan sebagai perumus kebijakan dan regulator. Disamping sebagai
Universitas Sumatera Utara
perumus kebijakan teknis, diharapkan Dinas Kesehatan dapat mengelola sistem pembiayaan kesehatan daerah (Trisnantoro, 2004). Struktur yang terdesentralisasi bisa menciptakan birokrasi profesional, sehingga
terbentuklah
kombinasi
antara
tuntutan
standarisasi
dengan
desentralisasi. Struktur bisa menangani tugas- tugas khusus (terspesialisasi) yang mensyaratkan kualifikasi keahlian sebagai hasil pelatihan tenaga profesional (Sutiono et al. 2004). 2.4 Pelayanan kesehatan Menurut Boy (2004) masalah pelayanan kesehatan Rumah Sakit terkait dengan: Medis, perawatan, program, keuangan, logistik, keamanan pasien, keselamatan pasien, kenyamanan, prilaku melayani, kecepatan dan ketepatan, biaya, nama baik, keuntungan, pengembangan, asuransi, kontraktor, pemerintah, ikatan profesi, strategi, program, manajemen, pangsa pasar. 2.4.1
Pengertian pelayanan kesehatan Pengertian pelayanan kesehatan meliputi empat aspek (Boy, 2005): 1. Klinis 2. Efisien dan efektifitas 3. Keamanan pasien 4. Kepuasan pasien
Universitas Sumatera Utara
2.4.2. Ciri pelayanan kesehatan yang baik Berdasarka dari pengamatan ternyata pelayanan kesehatan yang baik adalah (Boy, 2005): a. Tersedia dan terjangkau b. Tepat kebutuhan c. Tepat sumber daya d. Tepat standar profesi/etika profesi e. Wajar dan aman f. Memuaskan bagi pasien yang dilayani Sedangkan pelayanan medis yang bermutu seperti berikut : 1. Praktek medis yang rasional dan didasari oleh ilmu kedokteran. 2. Mengutamakan pencegahan 3. Terjadi kerja sama antara masyarakat dan petugas medis 4. Mengobati seseorang sebagai keseluruhan 5. Mengkoordinasikan semua jenis pelayanan medis 6. Mengaplikasikan pelayanan medis moderen yang dibutuhkan masyarakat. 2.4.3. Kepentingan pelayanan kesehatan 1.
Bagi rumah sakit Persaingan antar rumah sakit memerluka pelayanan kesehatan yang baik agar rumah sakit mampu bersaing dengan rumah sakit lainnya. Selain itu adanya kemajuan tehnologi yang canggih diperluka pemilihan yang tepat akan pelayanan kesehatan dan biaya yang harus dikeluarkan.
Universitas Sumatera Utara
2.
Bagi pasien Pasien pada era sekarang sudah sangat kritis sehingga tuntutan pelayanan kesehatan yang baik sangat utama. Selain itu pasien juga mengutamakan tingkat keselamatan yang tinggi. Kemudian mereka berhak memilih rumah sakit yang dianggap memiliki pelayanan kesehatan dan tingkat keamanannya baik.
3
Bagi dokter Selama ini tuntutan hukum makin gencar dan asumsi masyarakat akan pelayanan rumah sakit semakin beragam sehingga diperlukan standar pelayanan kesehatan yang jelas. Kesembuhan pasien tidak semata-mata dengan obat akan tetapi ada faktor –faktor lain yang mempengaruhinya.
4
Bagi Pemerintah Pemerintah sekarang terus berusaha atas standar minimal pelanggaran, dengan demikian pemantauan pelayanan kesehatan yang baik akan sangat bermanfaat dalam memutuskan salah benarnya tindakan medis.
2.4.4. Model pelayanan kesehatan Identifikasi Nilai
Melakukan Tindakan
Identifikasi Standar
Memilih Tindakan
Melakukan Penilaian
Pembentukan Tindakan
Membuat Interpretasi
Sumber: Boy Sabarguna, (2005) Gambar 2.1 : Model Pelayanan Kesehatan
Universitas Sumatera Utara
2.5. Landasan Teori Alokasi dana merupakan salah satu unsur stategis dalam pembangunan kesehatan.Tersedianya alokasi dana yang memadai dan pemamfaatan yang efisien serta pemerataan (equity) akan dapat mendukung suksesnya pembangunan kesehatan (Brotowasisto, 2000). Salah satu kebijakan tentang pembiayaan kesehatan didaerah yang pernah disepakati oleh para Bupati/Walikota dalam era-desentralisasi adalah 15% dari dana APBD. Namun didalam realisasinya persentase anggaran kesehatan di banyak daerah di Indonesia tidak bergeser dari yang sebelumnya yaitu berkisar antara 2,5% sampai dengan 4% dan maksimal 7% (Hendartini dan Mukti, 2004). Besarnya alokasi dana kesehatan sangat tergantung pada: besarnya pendapatan daerah, kemampuan rumah sakit dalam menyususn program dan anggaran, visi Pemda dan DPRD tentang sektor kesehatan, serta kemampuan rumah sakit dalam melakukan advokasi (Gani, 2001). Dalam era-otonomi daerah, anggaran Rumah Sakit dipengaruhi oleh empat faktor : (1) Sumber daya manusia dimana kemampuan manusia yang dikembangkan untuk suatu proses, (2) Dana adalah biaya yang digunakan untuk pembiayaan kesehatan dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat, (3) Sarana merupakan alat bantu untuk memperlancar dan mempermudah kerja, dan (4) struktur organisasi adalah visualisasi dari tugas, fungsi, wewenang, dan tanggugjawab (Bisma, et al ). Untuk mendukung kegiatan pembiayaan kesehatan pada era-desentralisasi, perlu di kembangkan sistim data untuk perencanaan dan alokasi anggaran. Data
Universitas Sumatera Utara
ini diperlukan oleh teknik alokasi anggaran yang menggunakan formula (Trisnantoro, 2004). Pelayanan kesehatan Rumah Sakit dapat diukur dari beberapa aspek : (1) Klinis, (2) Efisien dan efektifitas, (3) Keamanan pasien, (4) Kepuasan pasien. Dasar penetapan faktor mutu pelayanan adalah aman, memuaskan dan sesuai standar profesi ( Boy, 2005). 2.6 Kerangka Konsep Berdasarkan uraian landasan tiori diatas, maka kerangka fikir pada penelitian ini adalah : Variable Independen, X
Variabel Dependen, Y
(Anggaran) Sumber Daya Manusia Dana
Pelayanan Kesehatan
Sarana Struktur Organisasi Sumber : Bisma, et al (2006), Boy, S (2005)
Gambar 2.2 : Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara