BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pengertian Hukum Pengertian hukum menurut pendapat para ahli hukum :1 1. E. Utrecht, dalam bukunya pengantar dalam hukum indonesia : ”Hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.” 2. A. Ridwan Halim dalam bukunya pengantar tata hukum indonesia dalam tanya jawab menguraikan : ”Hukum merupakan peraturan-peraturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang pada dasarnya berlaku dan diakui orang sebagai peraturan yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat.” 3. Sunaryati Hartono, dalam bukunya capita selecta perbandingan hukum, mengatakan : ”Hukum itu tidak menyangkut kehidupan pribadi seseorang, akan tetapi menyangkut dan mengatur berbagai aktivitas manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya, atau dengan perkataan lain, hukum mengatur berbagai aktivitas manusia di dalam hidup bermasyarakat.” 4. E. Meyers, dalam bukunya De Algemene begrippen van het Burgerlijk Recht, menulis :
1
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2004, hlm. 6-7.
11
”Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam melakukan tugasnya.” 5. Immanuel Kant, dalam bukunya Inleiding tot de Rechtswetsnschap : ”Hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.”
2.2
Tinjauan Umum Tentang Perkawinan
2.2.1 Pengertian Perkawinan Menurut Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dewasa dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berkaitan dengan hal di atas, Hilman Hadikusumo berpendapat bahwa perkawinan barulah ada apabila dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita, dengan demikian perkawinan sama dengan perikatan (Verbindtenis). 2 Menurut Hukum Islam Nikah adalah akad yang mengandung kebolehan untuk bersetubuh dengan lafadz atau terjemahan dari kata-kata tersebut. Jadi, maksud pengertian tersebut ialah apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan sepakat untuk membentuk suatu rumah tangga, maka hendaknya keduanya
2
Hilman Hadikusumo, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 1990, hlm. 7.
12
melakukan akad nikah lebih dulu (An Nisa: 3 maka nikahilah olehmu perempuan yang baik bagimu).3 Perkawinan dianggap sah, jika diselenggarakan : “ (a) Menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan; (b) Secara tertib menurut hukum Syari’ah (bagi yang beragama islam); (c) Dicatat menurut perundang-undangan dengan dihadiri oleh pegawai pencatatan nikah.4 2.2.2 Syarat-syarat Perkawinan Dalam Undang-Undang Perkawinan dinyatakan bahwa suatu perkawinan baru sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan: a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon suami isteri (Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974); b. Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya (Pasal 6 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974); c. Perkawinan diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974);
3
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta : Indonesia Legal Center Publishing, 2011, hlm. 8 4
Ibid, hlm. 9.
13
d. Bagi wanita yang putus perkawinannya, berlaku waktu tunggu (Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975), yaitu : (1) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari; (2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan, ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari; (3) Apabila perkawinan putus, sedangkan janda dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai la melahirkan; (4) Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka tidak ada waktu tunggu.5 Perkawinan dilarang antara dua orang yang : a. Berhubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas; b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang saudara dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu bapak tiri; d. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan dan bibi susuan;
5
Ibid, hlm. 9.
14
e. Berhubungan saudara dengan isteri, atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; e. Yang mempunyai hubungan oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku sekarang (Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974).6
2.2.3 Perjanjian Perkawinan Perjanjian perkawinan adalah janji perkawinan selain janji penggantungan talaq, misalnya seperti perjanjian pisah harta. Istilah perjanjian ini adalah istilah yang
lebih
luas
dari
pada
sekedar
kesanggupan
atau
kata
sepakat
(overeenkomsten). Pengertian perjanjian saja diartikan sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta kekayaan antara kedua belah pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan dipihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu. Perjanjian dalam perkawinan mempunyai 3 karakter, yaitu : 7 a. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur suka rela dari kedua belah pihak.
6
Ibid, hlm. 27. Indah Setia Rini, Pelaksanaan Pengesahan Anak Luar Kawin Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Setelah Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Studi Kasus pada Pengadilan Negeri Tangerang, 2009. 7
15
b. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya. c. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Persetujuan perkawinan itu tidaklah sama dengan persetujuan-persetujuan yang lainnya, misalnya persetujuan jual beli, sewa-menyewa, tukar menukar. Jika seorang perempuan dan seorang laki-laki berkata sepakat untuk melakukan perkawinan satu sama lain, berarti mereka saling berjanji akan taat pada peraturan hukum yang berlaku mengenai kewajiban dan hal-hal masingmasing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung. 2.2.4 Akibat Perkawinan Akibat perkawinan terhadap suami isteri menimbulkan hak dan kewajiban antara suami isteri. Hak dan kewajiban antara suami isteri diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 UU No. 1 tahun 1974, yang menetapkan sebagai berikut : a. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat; b. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan masyarakat; c. Suami-isteri berhak melakukan perbuatan hukum;
16
d. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga. Disamping itu suami wajib memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga dengan kemampuannya dan isteri wajib mengatur rumah tangga sebaikbaiknya; e. Suami isteri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin satu kepada yang lain; f. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan tempat kediaman tesebut ditentukan oleh suami isteri bersama.8 Apabila suami atau istri melalaikan kewajiban, maka masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Sedangkan akibat perkawinan yang menyangkut harta benda dalam perkawinan, diatur dalam Pasal 35 sampai Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974, yang menetapkan sebagai berikut :9 a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami atau isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang tidak ditentukan lain oleh suami-isteri. Apabila ditentukan oleh suami isteri, maka harta bawaan suami isteri tersebut menjadi harta bersama. Untuk menentukan agar harta bawaan suami dan isteri menjadi harta bersama, maka suami dan isteri tersebut harus membuat perjanjian kawin. Undang – Undang Perkawinan, No. 1 Tahun 1974, Psl. 30-34. M. Anshary, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 133. 8 9
17
b. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan masingmasing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Adapun hak suami dan isteri untuk mempergunakan atau memakai harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik. c. Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Menurut penjelasan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu hukum agama (kaidah agama), hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
2.3
Tinjauan Umum Tentang Warisan
2.3.1 Pengertian Hukum Waris Hukum waris merupakan bagian dari hukum perdata, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban diantara anggota masyarakat khususnya dibidang keluarga. Soepomo menjelaskan bahwa hukum waris memuat peraturan yang mengatur proses penerusan serta peralihan barang berwujud dan tidak berwujud dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya. Sementara itu, Wirjono Prodjodikoro menjelaskan bahwa hukum waris merupakan persoalan bermacam
18
hak dan kewajiban tentang harta kekayaan seseorang saat ia meninggal dunia beralih kepada orang yang masih hidup.10 Dalam hukum adat, harta warisan dapat berupa harta benda maupun yang bukan berwujud benda, misalnya gelar kebangsawanan. Harta warisan menurut hukum waris Islam adalah harta bawaan dan harta bersama dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pewaris selama sakit dan setelah meninggal dunia, misalnya pembayaran utang, pengurusan jenazah dan pemakaman. Harta warisan dalam hukum waris Islam tidak hanya harta benda tetapi juga hak-hak dari pewaris.11 2.3.2 Sistem Pembagian Warisan Hukum Isalm telah menetapkan bagian tertentu bagi masing-masing ahli waris. Pembagiannya antara lain sebagai berikut: “Anak perempuan memperoleh ½ bagian, bila dua orang atau lebih memperoleh 2/3 bagian, apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki maka bagian anak laki-laki adalah 2:1 dengan anak perempuan (pasal 176 KHI)” . a. Ibu mendapat 1/6 bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat 1/3 bagian (pasal 178 KHI). b. Apabila pewaris memiliki istri lebih dari seorang, maka masing-masing istri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya (pasal 190 KHI).12
10
11
Satriyo Wicaksono, Hukum Waris, (Jakarta : Transmedia Pustaka, 2011), hlm. 2. Ibid, hlm. 7.
12
Hukumonline.com, Tanya Jawab Hukum Waris dan Anak, (Jakarta : Penerbit Kataelha, 2010), hlm. 48. 19
Dalam hukum waris menurut Bergerlijk Wetboek, dibedakan menjadi 4 golongan ahli waris, yaitu : a. Golongan I :
Golongan ini terdiri dari anak dan keturunannya kebawah tanpa batas beserta janda/duda.
b. Golongan II :
Golongan II terdiri dari ayah dan/atau ibu si pewaris beserta sudara dan keturunannya sampai derajad ke-6.
c. Golongan III :
Golongan III terdiri dari keluarga sedarah menurut garis lurus keatas.
d. Golongan IV : Golongan IV terdiri dari keluarga sedarah dalam garis kesamping yang lebih jauh sampai derajad ke-6. 13 Dalam hal seseorang meninggal dunia, maka untuk pertama-tama harta peninggalannya akan diwarisi oleh ahli waris golongan I, jika golongan I tidak ada maka akan diwarisi oleh golongan II, namun demikian jika golongan II ini tidak ada maka harta peninggalannya akan diwarisi oleh golongan III yang secara bersama-sama dapat mearii dengan golongan IV.14
2.4
Tinjauan Umum Tentang Anak Luar Nikah Setiap anak memiliki hak mereka sendiri. Sejarah dari hak anak itu sendiri
tidak terlepas dari beberapa rentang persitiwa seperti hak akan nama dan kewarganegaraan, hak kebangsaan, hak persamaan dan non diskriminasi, hak 13 14
Henny Tanuwidjaja, Hukum Waris Menurut BW, (Bandung : Refika Aditama, 2012), hlm. 9. Ibid, hlm. 9.
20
perlindungan, hak pendidikan, hak bermain, hak rekreasi, hak akan makanan, hak kesehatan dan hak berpartisipasi dalam pembangunan. Hak-hak Anak : 15 a. Hak & kebebasan sipil Setiap anak memiliki hak & kebebasan sipil sebagaimana orang dewasa, misalnya:
Hak untuk memiliki identitas dan kewarganegaraan;
Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama;
Hak atas kebebasan berekspresi/ menyampaikan pendapat;
Namun anak tidak mempunyai hak politik:
Hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu;
Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
b. Hak atas lingkungan keluarga Merupakan hak asasi khusus untuk anak. Orang dewasa tidak mempunyai hak ini. Berarti bahwa anak mempunyai hak untuk diasuh oleh orangtuanya. Jika orangtua tidak ada atau tidak mampu mengasuh, anak berhak mendapatkan keluarga/pengasuh pengganti. Hak atas lingkungan keluarga meliputi juga hak anak untuk dilindungi dari segala bentuk tindak pidana kekerasan (fisik, mental, seksual, penelantaran) oleh orangtua atau wali anak. Jika anak mengalami tindak kekerasan dan pengabaian, 15
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, ( Bandung : Refika Aditama, 2008 ), hlm. 49-51. 21
maka Negara wajib memberikan perlindungan kepada anak, kalau perlu dengan mencabut kuasa asuh orangtua/wali, dan pada tingkat yang serius, menghukum orangtua/ wali. c. Hak atas kesehatan & kesejahteraan dasar Anak mempunyai hak atas standar kesehatan tertinggi yang bisa diberikan, meliputi misalnya: Pencegahan penyakit, kurang gizi dan pengurangan angka kematian bayi; Layanan kesehatan; Termasuk asuransi kesehatan. d. Hak atas pendidikan, waktu luang & kegiatan budaya Hak atas pendidikan, terutama pendidikan dasar. Hak untuk beristirahat, mempunyai waktu luang untuk bermain dan berekreasi. Hak untuk terlibat aktif dalam kegiatan budaya didalam masyarakatnya. e. Hak atas perlindungan khusus
Dalam situasi perang/sengketa bersenjata.;
Dari eksploitasi ekonomi.
Dari penyalah-gunaan narkoba.
Dari eksploitasi & kekerasan seksual.
Dari penjualan, penculikan dan perdagangan anak.
2.4.1 Pengertian Anak Luar Nikah
22
Manusia dalam perjalanan kehidupannya paling tidak dihadapkan pada 3 peristiwa penting, yakni : kelahiran, perkawinan dan kematian. Ketiga peristiwa tersebut saling memiliki relevansi yang erat dan merupakan suatu gambaran kehidupan. Dalam arti luas anak luar kawin, termasuk didalamnya anak zinah (overspelige kinderen) atau sumbang (bloedschennige kinderen) sedangkan dalam arti sempit didalamnya tidak termasuk anak zinah dan anak sumbang. Penggunaan istilah-istilah itu dalam Undang-undnag BW Indonesia agak kacau, tetapi di negeri Belanda pada tahun 1947 dalam BWN telah dirubah. Dalam BWN ditentukan bahwa antara anak luar nikah (natuurlijke kinderen), yakni anak tidak sah yang bukan anak zinah atau sumbang (pasal 335 BWN), dan ibunya demi hukum ada hubungan perdata, sehingga si ibu tidak perlu mengakui anaknya lagi (pasal 336 BWN).16 Kelahiran seorang anak akan membawa konsekuensi hukum tertentu dalam hubungan kekerabatan, khususnya antara si anak dengan orang tua biologisnya. Sedangkan kematian akan menimbulkan proses pewarisan. Warisan adalah menggantikan hak dan kewajiban seseorang yang meninggal. Pada umumnya yang digantikan adalah hanya hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan saja. Fungsi dari yang mewariskan yang bersifat pribadi atau yang bersifat hukum keluarga (misalnya suatu perwalian) tidaklah beralih. 2.4.2 Kedudukan Anak Luar Nikah
16
Ibid, hlm. 53.
23
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 mengatur kedudukan anak luar nikah dalam Pasal 43, yaitu: (1) Anak yang dilahirkan di Iuar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya; (2) Kedudukan anak tersabut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Berhubung Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur lebih lanjut Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan,
maka
berdasarkan
Pasal
66
Undang-Undang
Perkawinan
menentukan bahwa kedudukan anak kembali kepada hukum yang lama yaitu KUHPerdata. Pasal 280 KUHPerdata, yang mengatakan bahwa dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara anak dan bapak atau ibunya. Hal ini berarti, bahwa antara anak luar nikah dan "ayah" (biologisnya) maupun "ibunya" pada asasnya tidak ada hubungan hukum. hubungan hukum itu baru ada kalau "ayah" dan atau "ibunya" memberikan pengakuan, bahwa anak itu adalah anaknya. Dengan demikian, tanpa pengakuan dari ayah dan atau ibunya, pada asasnya anak itu bukan anak siapa-siapa. Ia tidak mempunyai hubungan hukum dengan siapa pun.17 Hubungan hukum antara orang-tua dan anaknya yang sah didasarkan atas adanya hubungan darah antara keduanya. akan tetapi, kalau dihubungkan dengan 17
Analisis Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 24
anak luar nikah, hubungan hukum antara anak luar nikah dan ayah yang mengakuinya, didasarkan atas hubungan darah melalui suatu pengakuan. Dengan demikian, hubungan darah dalam hal ini adalah hubungan darah dalam arti yuridis, bukan dalam arti biologis. Kedudukan anak luar nikah di dalam hukum ternyata adalah inferieur (lebih jelek/rendah) dibanding dengan anak sah. Anak sah pada asasnya berada di bawah kekuasaan orang-tua (Pasal 299 KUHPerdata), sedangkan anak luar nikah berada di bawah perwalian (Pasal 306 KUHPerdata). Hak bagian anak sah dalam pewarisan orangtuanya lebih besar daripada anak luar nikah (Pasal 863 KUHPerdata) dan hak anak luar nikah untuk menikmati warisan melalui surat wasiat, dibatasi (Pasal 908 KUHPerdata). 2.4.3 Pengakuan Anak Luar Nikah Anak luar nikah yang dapat diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi tidak dibenihkan oleh seorang pria yang telah terikat dengan perkawinan yang sah dan tidak termasuk dalam kelompok anak zina atau anak sumbang. Akibat pengakuan anak luar nikah, yaitu timbulnya hubungan perdata antara anak dengan bapak atau ibu yang mengakuinya. Dengan timbulnya hubungan Perdata tersebut, maka anak luar nikah statusnya berubah menjadi anak luar nikah yang telah diakui, kedudukannya jauh lebih baik daripada anak luar kawin yang tidak diakui.
25