BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kajian Pustaka Penelitian yang dilakukan oleh (Abdul Hamid:2010) Universitas
Diponogoro dalam Memetakan Aktor Politik Lokal Banten Pasca Orde Baru Studi Kasus : Kiai dan Jawara di Banten yang melatarbelakangi penelitian ini adalah secara kultural, pemimpin agama di Banten disebut kiai. Namun tak hanya ada kiai di Banten, jawara juga adalah salah satu elit kultural yang penting. Fenomena Jawara di Banten tak terlepas dari fenomena “Jago“ yang pada umumnya ada di berabagi tempat di Jawa. Posisi jago tak bisa terlepas dari sejarah kekuasaan di Jawa secara umum. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa, sebagai elite kultural, Kiai
dan
jawara
mengalami
pasang surut
kepemimpinan.
Kiai
bertransformasi dari pemimpin informal di masyarakat pedesaan kemudian mengalami masa puncak di era kolonial dan revolusi kemudian menjadi tulang punggung Golkar di era orde baru. Namun Reformasi justru gagal menjadi momentum bagi bangkitnya kepemimpinan kiai. Kiai yang terlena dan hilang kemandiriannya karena terlalu biasa menjadi penerima bantuan pemerintah menjadi sekedar pemeran pembantu – broker politik – di dunia politik praktis. Jawara sebaliknya, ia lahir sebagai murid Kyai dan berada di bawah bayang-bayang kharisma kepemimpinan Kyai.
Namun kebijakan korporatis Golkar malah menjadikan mereka kekuasaan ekonomi yang dominan di Banten dengan proyek-proyek pemerintah yang diberikan rezim orde baru sebagai imbalan dukungan kepada Golkar. Pasca orde baru, Jawara justru mengalami transformasi selanjutnya dengan mengokohkan peranannya sebagai elit paling dominan dengan menguasai jabatan Gubernur Banten. Dominasi yang awalnya ditegakkan dengan kekerasan di awal terbentuknya Provinsi digantikan oleh penggunaan otoritas formal dan politik uang dengan tetap mempertahankan kekuatan massa.
3 Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Henry Silka Innah, Arya Hadi Dharmawan, Didik Suharjito dan Dudung Darusman (2012) IPB Bogor, dalam Peran Dinamika Jejaring Aktor Dalam Reforestasi Di Papua. Yang melatarbelakangi penelitian ini adalah perspektif dinamika jejaring aktor merupakan salah satu pendekatan yang bermanfaat untuk memetakan kekuatan para aktor yang telah berjejaring dalam ruangruang kekuasaan yang berbeda, dalam rangka memberi penguatan pada reforestasi bahkan pengelolaan hutan dan lingkungan secara luas. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa, jejaring aktor untuk reforestasi di Biak, memiliki sejarah perkembangan hingga periode Otonomi Khusus Papua saat ini, terdapat relasi kuasa antar aktor “masyarakat adat/sipil” terhadap negara yang pola hubungannya tidak tunggal, apabila KPH diyakini akan mengisi ruang tata kelola kemitraan dari aktoraktor pada berbagai ruang kekuasaan, maka penting untuk memastikan arah dan ranah tata kelola yang diusung KPH di Biak termasuk gerakan reforestasi yang akan dikawalnya dan KPH dapat memastikan diri sebagai kelembagaan yang berperan mengelola ketidakseimbangan relasi antar aktor, bilamana strategi yang dilaksanakan bekerja secara inovatif, akomodatif, dan cepat tanggap, serta di fasilitasi oleh tipe kepemimpinan yang diharapkan oleh masyarakat Biak yakni faiman-mansabye. Dua penelitian diatas menunjukkan kesamaan yakni sama-sama mengkaji tentang relasi aktor yang membedakannya yakni dimana dalam penelitian yang dilakukan oleh Abdul Hamid mengatakan bahwa peran dan relasi aktor elit lokal mampu mempengaruhi kekuatan dalam mempertahakan kekuasaan. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Henry Silka Innah, dkk ditemukan bahwa terdapat kekuatan aktor diantara relasi kuasa yang dapat mempengaruhi ruang-ruang kekuasaan.
4 Dari dua penelitian yang dilakukan sebelumnya, dapat dilihat bahwa penelitian tentang relasi antar aktor yang terlibat dalam perlombaan layang-layang di Denpasar dengan dua penelitian sebelumnya adalah sama-sama mengkaji tentang relasi aktor, dengan mempergunakan kekuatan elite lokal yang ada. Begitu pula dengan relasi aktor dalam perlombaan layang-layang dengan adanya relasi aktor antara Pelangi Bali, sekaa layangan, dan juga calon anggota legislatif, mampu menghasilkan sebuah bentuk kerjasama yang menguntungkan seluruh pihak atau hanya salah satu pihak saja. Bagaimana relasi antar aktor dijalankan demi mewujudkan kepentingan masing-masing aktor yang terlibat, dan tidak dipungkiri, bahwa di dalam relasi yang tercipta akan dijumpai suatu bentuk pertarungan kepentingan yang berbeda-beda. Bagaimana pengaruh politik yang terjadi, mengingat perlombaan layang-layang pada tahun 2014 bertepatan dengan penyelenggaraan Pemilu Legislatif Tahun 2014 di Denpasar. Banyaknya caleg yang ingin memperebutkan kursi untuk menjadi anggota legislatif, mereka akan berlomba-lomba meraih dukungan dari masyarakat, khususnya pemilih yang berasal dari anggota sekaa layangan. Walaupun secara umum mereka juga memiliki tujuan yang sama, yaitu ingin melestarikan layang-layang sebagai sebuah budaya yang dimiliki oleh Bali. Serta ingin memperkenalkan layang-layang Bali di kancah nasional maupun internasional, memperkenalkan agar keberadaannya tetap ajeg hingga mampu dikenal oleh generasi yang akan datang. Sedangkan perbedaannya adalah mengingat relasi antar aktor dalam perlombaan layang-layang di Denpasar belum pernah dilakukan sebelumnya, sehingga menjadikan penelitian ini sebagai penelitian yang pertama, dan yang membedakan dengan penelitian-penelitian yang lainnya.
5 2.2
Kerangka Konsep Untuk mengkaji permasalahan yang akan diteliti dalam studi ini, serta untuk
memudahkan penelitian ini, maka akan dijabarkan dalam beberapa kerangka konsep beserta landasan teori yang digunakan. Teori yang akan digunakan untuk menganalisa permasalahan ini adalah Teori Powercube (Kubus Kekuasaan) yang dikembangkan oleh John Gaventa, dimana akan diuraikan dibawah ini : 2.2.1 Teori Powercube (Kubus Kekuasaan) Teori Powercube (Kubus Kekuasaan) ini dicetuskan oleh John Gaventa, yang mengambil akar dari teori gurunya yaitu Steven Lukes (Halim,2014:52). Dimana mulanya Lukes menjelaskan teori kekuasaan tiga Dimensi dalam bukunya yang berjudul Power A Radical View, dalam buku tersebut dijelaskan tiga dimensi tentang kekuasaan. Yaitu satu dimensi menjelaskan tentang kekuasaan yang hanya berfokus pada satu hal saja, yaitu tindakan para aktor dalam mengambil keputusan, dua dimensi juga masih berfokus pada kepentingan subjektif dalam bentuk pilihan atau bahkan keluhan, sedangan tiga dimensi memperhatikan aspek pembuatan kebijakan dalam agenda politik dan sekaligus melihat kontrol terhadap agenda tersebut. Dari teori kekuasaan Tiga Dimensi tersebut kemudian menginspirasi Gaventa untuk menciptakan teori Powercube ini yang menjelaskan kekuasaan sendiri terdiri dari tiga sisi yaitu level, ruang, dan bentuk. Konsep teori Powercube ini sendiri berangkat dari persoalan kekuasaan yang berpengaruh dalam kehidupan manusia, tetapi belum ada sebuah kajian yang mendalam dan bahkan komprehensif tentang kekuasaan itu sendiri.
6 Dalam powercube kekuasaan dipahami sebagai kontrol seseorang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lainnya, dan sebuah kerangka pemikiran untuk menganalisis tiga dimensi kekuasaan, yaitu level, ruang, dan bentuk. Teori Powercube sendiri memudahkan kita melihat dan memetakan hal-hal yang berperan dalam kekuasaan, para aktor di dalamnya, persoalan, dan situasi yang melatarbelakanginya, bahkan memungkinkan untuk melakukan perubahan secara tepat dan evolusioner. Secara umum menurut Gaventa kekuasaan mempunyai tiga dimensi (Halim,2014) yaitu : 1. Dimensi Level (Dimensi Tingkatan), yang terdiri atas: Lokal, Nasional, dan Global. 2. Dimensi Space (Dimensi Ruang), yang terdiri atas: Ruang Tertutup (closed), Rung Yang Diperkenankan (invited), dan Ruang Yang Diciptakan atau Diklaim (claimed/created). 3. Dimensi Forms (Dimensi Bentuk), yang terdiri atas: Bentuk Yang Terlihat (visible), Bentuk Tersembunyi (hidden), dan Bentuk Tidak Terlihat (invisible). Dalam Teori Powercube, ketiga dimensi kekuasaan dengan beragam jenis dan warnanya tidak berdiri sendiri melainkan saling terkait dan bahkan saling mempengaruhi.
Kita pun tahu bahwa kekuasaan diatas panggung
politik dipenuhi lapisan-lapisan pada setiap dimensinya. Karenanya kekuasaan yang terlihat faktual belum tentu dalam kondisi riilnya, tetapi ada hal-hal yang mesti dirahasiakan dalam kekuasaan. Bentuk kekuasaan semacam ini sangat berpengaruh terhadap kondisi dan kehidupan masyarakat disebuah negara
7 atau komunitas politik tertentu. Kekuasaan yang disimbolkan dengan bentuk kubus masing-masing sisi kubus saling berhubungan satu sama lain. Perlombaan layang-layang yang terdapat di Denpasar merupakan bentuk dari dimensi level atau tingkatan di ranah lokal dan ruang atau space dan bagian dari ruang yang diciptakan (claimed/created) yang merupakan bagian dari Kubus Kekuasaan (Powercube). Daerah sebagai arena kekuasaan mempunyai ruang yang diklaim atau diciptakan khusus dari masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan, ruang ini sendiri berada di luar lembaga formal pemerintahan daerah yang memang diciptakan oleh masyarakat daerah sendiri. Didalamnya adalah sebuah organisasi atau gerakan sosial di daerah terlibat untuk melakukan perdebatan, diskusi, advokasi, dan juga perlawanan (Halim:2014). Dalam ruang ini para aktor dan juga elite agama, sosial, intelektual, aktivis organisasi mempunyai posisi dan memainkan peran yang kuat. Tidak dapat dipungkiri munculnya organisasi atau kelompok-kelompok ini merupakan pengaruh dari adanya demokrasi dan juga desentaralisasi. Dengan pengertian demokratisasi yaitu kebebasan, maka dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menuntut hak-hak yang dimilikinya sebagai warga negara. 2.2.2 Dimensi Powercube (Kubus Kekuasaan) Kekuasaan dengan menggunakan simbol kubus mempunyai suatu hubungan antara satu dengan yang lainnya, dimana diisyaratkan bahwa diantara sisi-sisi dalam kubus tersebut saling berhubungan, berinteraksi dan juga mempengaruhi satu dengan yang lainnya (Halim,2014:79). Konsep dan teori Powercube atau kubus kekuasaan ini dapat dijadikan kerangka untuk menjabarkan, serta menganalisis kekuasaan
8 dalam konteks politik lokal. Termasuk juga untuk melihat fenomena relasi dan interaksi aktor dalam politik layang-layang Bali, Mengingat layang-layang di Bali termasuk ke dalam salah satu dimensi dalam kubus kekuasaan. 2.2.2.1 Penciptaan Ruang dan Waktu Penciptaan ruang dan waktu dalam dimensi kubus kekuasaan merupakan salah satu bagian yang penting. Dengan adanya penciptaan ruang dan waktu dapat dijadikan suatu fokus kajian untuk melihat kembali fenomena-fenomena dari banyak aspek dalam kekuasaan, memetakan faktor yang mempunyai peran penting dalam kekuasaan, aktor-aktor yang ada di dalamnya, serta alasan-alasan yang melatarbelakangi, dan lain sebagainya. Dalam fenomena layang-layang termasuk dalam ruang yang diciptakan yang menjadi salah satu bagian dari Powercube atau Kubus Kekuasaan ini merupakan salah satu bentuk demokratisasi yang terjadi di daerah. Keberadaan ruang ini sendiri di luar lembaga formal pemerintahan, masyarakat sendirilah yang menghendaki keberadaan ruang-ruang seperti ini (Halim,2014). Dalam ruang ini juga, aktor-aktor lokal yang terdiri dari elite agama, sosial, intelektual, dan aktivis organis mempunyai posisi dan memainkan peran yang kuat. Tidak dapat dipungkiri kemunculan ruang dan organisasi masyarakat ini, tidak terlepas dari adanya demokrasi dan demokratisasi di daerah, dimana dengan adanya kebebasan tersebut masyarakat memanfaatkan semaksimal mungkin untuk menuntut hak-hak yang dimilikinya sebagai warga negara. 2.2.2.2 Penciptaan Budaya
9 Kebudayaan sendiri terlahir dari adanya suatu proses, yaitu penciptaan (Rahyono,2009), kebudayaan dari waktu ke waktu secara berkesinambungan tercipta secaraspiralistis. Dunia kehidupan yg dihadapi manusia menuntut pemenuhan kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia perlu dipenuhi agar kehidupan manusia tetap berlangsung atau bertahan. Agar mampu melakukan pertahanan hidup, manusia menggunakan pikiran, akal atau perasaannya hingga menemukan idea atau gagasan untuk menciptakan sesuatu yang relevan dengan upaya pertahanan hidup. Disebutkan bahwa ada beberapa proses penciptaan budaya, yaitu : 1. Semakin tinggi kualitas
dunia kehidupan yang dihadapi
manusia,
semakin tinggi pula ketahananhidup yang harus dimiliki. 2. Semakin tinggi kualitas ketahananhidup yang harus dimiliki, semakin tinggi pula kualitas kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. 3. Semakin tinggi kualitas kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, semakin tinggi pula kualitas proses berpikir atau belajar manusia yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. 4. Semakin tinggi kualitas proses berpikir atau belajar
yang dilakukan
manusia dalam penciptaan kebudayaan, semakin tinggi pula kualitas idea atau gagasan penciptaan kebudayaan yang ditemukan. 5. Semakin tinggi kualitas idea atau gagasan penciptaan kebudayaan yang ditemukan, semakin tinggi pula kualitas representamen atau karya budaya yang diciptakan.
10 6. Semakin tinggi kualitas representamen
atau karya budaya yang
diciptakan, semakin tinggi pula kualitas dunia kehidupan baru yang dihadapi dan harus dipelajari manusia. 7. Semakin tinggi kualitas kebudayaan yang dimiliki, semakin tinggi pula kualitas proses pembelajaran atau penghayatan bersama terhadap kebudayaan yang diciptakan. Layang-layang di Bali jika dilihat dari tujuh proses penciptaan budaya seperti yang disebutkan di atas termasuk salah satunya, adapun proses yang dimaksud adalah “Semakin tinggi kualitas proses berpikir atau belajar
yang
dilakukan manusia dalam penciptaan kebudayaan, semakin tinggi pula kualitas idea atau gagasan penciptaan kebudayaan yang ditemukan”. Fenomena serupa ditemukan dalam proses penciptaan layang-layang yang mengalami suatu evolusi sampai pada akhirnya terbentuklah sebuah karya yang bagus dan bernilai seni yang tinggi. 2.2.3 Relasi Jejaring Aktor Secara sederhana relasi diartikan sebagai hubungan, dapat dikatakan bahwa relasi adalah tentang bagaimana seseorang individu berhubungan dengan individu lainnya. Begitupun dalam fenomena perlombaan layang-layang, akan terlihat relasi antar aktor-aktor terkait, dengan kepentingan tersendiri, dan melihat bahwa dalam perlombaan layang-layang terdapat kesempatan untuk mewujudkan kepentingan tersebut. Menurut Foucault dalam (Mudhoffir,2013:80) kekuasaan mesti dipandang sebagai relasi-relasi yang beragam dan tersebar seperti jaringan yang mempunyai ruang lingkup strategis. Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami
11 bahwa dalam sebuah hubungan relasi yang tercipta didalamnya terdapat sebuah kekuasaan yang tersebar dengan jaringan-jaringannya tersendiri. Untuk melihat serta memahami kekuasaan bukan dengan mengajukan pertanyaan apa itu kekuasaan, dan siapa yang memiliki kekuasaan. Tetapi memahami kekuasaan mesti didekati dengan mengajukan pertanyaan bagaimana kekuasaan beroperasi atau dengan cara apa kekuasaan itu dioperasikan. Menurut Foucault dalam Mudhoffir (2013:80,Vol.18), disebutkan ada lima proposisi mengenai apa yang dimaksud dengan kekuasaan, diantaranya adalah sebagai berikut ini : 1. Kekuasaan bukan sesuatu yang didapat, diraih, digunakan, atau dibagikan sebagai sesuatu yang dapat digenggam atau bahkan dapat juga punah, tetapi kekuasaan dijalankan dari berbagai tempat dari relasi yang terus bergerak. 2. Relasi kekuasaan bukanlah relasi struktural hirarkhis yang mengandaikan ada yang menguasai dan yang dikuasai. 3. Kekuasaan itu datang dari bawah yang mengandaikan bahwa tidak ada lagi distingsi binary opositions karena kekuasaan itu mencakup dalam keduanya. 4. Relasi kekuasaan itu bersifat intensional dan non-subjektif. 5. Dimana ada kekuasaan, di situ pula ada anti kekuasaan (resistance). Dan resistensi tidak berada di luar relasi kekuasaan itu, setiap orang berada dalam kekuasaan, tidak ada satu jalan pun untuk keluar darinya.
12 Seperti yang telah disebutkan diatas tentang apa dan bagaimana relasi serta kekuasaan, penulis setuju jika dalam fenomena perlombaan layang-layang yang diselenggarakan di Denpasar terdapat gejala adanya bentuk dari relasi dan kekuasaan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Bagaimana relasi tersebut bisa terjalin dan seberapa besar pengaruh kekuasaan yang dimiliki dipergunakan, dalam menjalin suatu relasi diantara pihak terkait. Dimana semua bentuk relasi yang terjalin, serta kekuasaan yang digunakan adalah dengan tujuan melestarikan budaya layang-layang itu sendiri. 2.2.4 Budaya Bali Politik Partisipasi Budaya Politik atau Political Culture adalah suatu pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggotanya dalam suatu sistem politik. Budaya Politik sendiri melekat (inheren) di
setiap
masyarakat yang terdiri atas individu-individu yang hidup, baik dalam sistem politik tradisional, transisional maupun modern. Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa budaya politik merupakan sebuah persepsi atau pandangan manusia, pola sikap, terhadap berbagai masalah politik dan peristiwa politik dalam membentuk struktur dan proses kegiatan politik. Terdapat tiga tipe dari budaya politik diantaranya adalah budaya politik parokial, kaula, dan partisipan (Almond,1990). Menurut Robert Lane partisipasi politik memenuhi empat fungsi. Pertama, sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomis; kedua, sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian sosial; ketiga, sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus; keempat, sebagai sarana untuk memenuhi bawah-sadar dan kebutuhan psikologis
13 tertentu (Rush&Althoff,2011). Pendapat antara Waber dan Lane juga memiliki kesamaan, dimana partisipasi politik ditentukan oleh sikap-sikap sosial dan sikapsikap politik individu. Yang erat berasosiasi baik dengan karakteristik pribadi dan sosialnya, maupun dengan lingkungan sosial dan politiknya yang membentuk konteks prilaku politiknya. 2.3
Kerangka Pemikiran Di dalam kerangka pemikiran ini penulis akan menguraikan alur atau pola berpikir dan juga penelitian yang dilakukan oleh penulis. Maka adapun alur berpikir dan juga penelitian dalam penelitian ini, akan diuraikan dalam bagan dan penjelasan di bawah ini : Bagan/Kerangka Pemikiran :
Pelangi Bali
Kompetisi Layang_layang
Caleg Pemilu 2014
Sekaa
Layangan
Relasi Pendekatan
Modal dan Suara Sosialisasi
1. Mengembangkan Karier Sekaa Layangan 2. Meningkatkan Popularitas Caleg
14
Dalam kerangka pemikiran ini penulis memulai dari adanya suatu fenomena dalam penyelenggaraan kompetisi layang-layang oleh Pelangi Bali, dan berlokasi di Denpasar. Terlihat bahwa tidak hanya Pelangi Bali saja sebagai organisasi dan panitia penyelenggara namun terlihat pula aktor lain yang terlibat, seperti sekaa layangan dan caleg pemilu legislative 2014 di Denpasar. Antara sekaa layangan dengan caleg menjalin sebuah relasi yang dapat menguntungkan kedua belah pihak tersebut. Melihat besarnya kompetisi layang-layang yang diselenggarakan serta bertepatan dengan pemilu legislatif tahun 2014, maka masing-masing caleg akan berlomba untuk memperoleh dukungan suara. Terutama banyak peserta kompetisi yang berasal dari sekaa layangan di Denpasar, dirasa mampu menjadi kesempatan bagi caleg tersebut untuk menperoleh suara. Cara-cara yang digunakan caleg dalam mendekati sekaa layangan tersebut adalah dengan sosialisasi dan juga pendekatan pada masing-masing sekaa sehingga akan memunculkan sebuah relasi antara sekaa layangan dengan caleg, yang mengarah kepada keuntungan bagi kedua belah pihak tersebut. Dari fenomena tersebut penulis ingin mengetahui bagaimana relasi yang terjalin diantara kedua belah pihak yang terlibat, dan adanya pengaruh-pengaruh politis yang ditimbulkan. Mengetahui keuntungan-keuntungan yang diperoleh oleh
15 masing-masing pihak, pendekatan dan sosialisasi yang dilakukan oleh caleg di sekaa layangan.