BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengawetan Buah ( Coater ) Coater merupakan pemberian lapisan tipis pada permukaan buah untuk menghambat keluarnya gas, uap air dan kontak dengan oksigen, sehingga proses pemasakan dan reaksi pencoklatan buah dapat diperlambat serta memberikan perlindungan terhadap kerusakan mekanis buah (Kusuma, 2008). Proses pengangkutan, untuk pemasaran buah dibutuhkan waktu, pengemasan dan penanganan pasca panen yang tepat. Pada umumnya, buah dipasarkan dalam kemasan kotak plastik pada suhu ruang. Cara ini berpengaruh pada kecepatan penurunan kualitas, ketersediaan dan pemasaran buah. Penurunan kualitas salah satunya disebabkan oleh aktivitas hidup buah yang terus berlangsung meskipun buah telah lepas dari tanamannya, contohnya proses respirasi (Swastawati, 2008). Pada umumnya proses pengangkutan dan penyimpanan masih berlangsung setelah buah dipanen. Buah terus mengalami proses metabolisme dengan menggunakan cadangan makanan yang terdapat di dalam buah. Hal itu menyebabkan cadangan makanan semakin berkurang. Berkurangnya cadangan makanan tersebut tidak dapat digantikan karena buah sudah terpisah dari pohonnya (Budiman, 2006). Seiringan dengan itu, metabolisme akan mempercepat proses hilangnya nilai gizi buah. Tingkat kerusakan buah dipengaruhi oleh difusi gas ke dalam dan luar buah yang terjadi melalui lentisel yang tersebar di permukaan buah. Secara alami peristiwa ini dihambat oleh lapisan lilin yang terdapat di permukaan buah. Lapisan
lilin tersebut dapat berkurang atau hilang akibat pencucian yang dilakukan pada saat penanganan pasca panen (Rukmana, 1998). Selama pasca panen akan terjadi beberapa perubahan, yang akhirnya menyebabkan kerusakan. Kerusakan tersebut dapat diakibatkan terjadinya perubahan dari segi rasa, bau dan tekstur serta keamanannya untuk dikonsumsi. Kerusakan dapat pula
diakibatkan
oleh
terjadinya
pembusukan
karena
mikroorganisme.
Mikroorganisme yang sering menyebabkan pembusukan seperti adanya kapang. Konsep dari mempertahankan umur produk holtikultura adalah dengan menghambat laju respirasi untuk mencegah degradasi nutrisi-nutrisi di dalamnya. Maka digunakan pelapisan pada permukaan luar buah. Salah satu cara yang telah banyak dikenal adalah dengan melakukan coating (Nurrachman, 2007). 2.1.1. Teknik Pengawetan ( Coating ) Menurut Grenner (1994), teknik aplikasi pelapisan pada buah ( coating ), yaitu: 1.
Perendaman (dipping) Teknik ini biasanya digunakan pada produk yang memiliki permukaan yang
kurang nyata. Setelah perendaman, kelebihan bahan coating dibiarkan terbuang. Produk kemudian dibiarkan dingin sampai edible coating menempel. Teknik ini telah diaplikasikan pada daging, ikan, produk ternak, buah dan sayuran.
2. Penyemprotan (spraying) Teknik ini dapat menghasilkan produk dengan lapisan yang lebih tipis dan lebih seragam daripada teknik pencelupan. Teknik ini digunakan untuk produk yang memiliki dua sisi permukaan, misalnya pizza. 3.
Pembungkusan (casting) Teknik ini digunakan untuk membuat lapisan film yang berdiri sendiri,
terpisah dari produk. Teknik ini diadopsi dari teknik yang dikembangkan untuk non-coater. 4. Pengolesan (brushing) Teknik ini dilakukan dengan cara mengoles edible coating pada produk. Kemampuan coater dalam mengurangi hilangnya air, oksigen, aroma, dan bahan terlarut pada beberapa produk telah banyak diteliti. Sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu metode paling efektif untuk menjaga kualitas makanan. Kemampuan ini dapat lebih ditingkatkan lagi dengan menambahkan antioksidan, antimikroba, pewarna, flavor, fortified nutrient dan rempah.
2.2. Potensi Cangkang Udang Sebagai Pengawet Alami Sebagai negara maritim, Indonesia mempunyai potensi hasil perikanan laut yang sangat berlimpah, namun potensi ini masih belum bisa dimanfaatkan secara optimal. Menurut data Dirjen Perikanan,total potensi ini diperkirakan sebesar 7,2 juta ton/tahun, dan yang bisa dimanfaatkan baru sekitar 40% atau 2,7 juta ton/tahun (Harianingsih, 2010).
Salah satu potensi ini adalah udang yang saat ini merupakan komoditas eksport unggulan hasil perikanan, saat ini budi daya udang dengan tambak telah berkembang dengan pesat, karena udang merupakan komoditi ekspor yang dapat diandalkan dalam meningkatkan ekspor non-migas dan merupakan salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang di Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk udang beku yang telah dibuang bagian kepala, kulit, dan ekornya (Kaban, dkk., 2006). Dalam
perkembangannya,
Indonesia
memasukkan
udang
vannamei
(Litopenaeus vannnamei ) sebagai salah satu jenis udang budidaya tambak, selain udang windu (Penaeus monodon) dan udang putih/udang rebung (Penaeus merguiensis) yang sudah terkenal lebih dahulu ( Amri, 2008). Udang windu saat ini tidak berkembang lagi karena terserang berbagai macam penyakit udang diantaranya yang ganas adalah white spot atau virus bintik putih. Petambak udang di Indonesia saat ini banyak memelihara udang putih ( Pennaeus vannamei) (Purwanti, 2010). Setelah melalui serangkaian penelitian dan kajian akhirnya melalui SK Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 41/2001 pemerintah secara resmi melepas udang vannamei sebagai varietas unggul untuk dibudidayakan petambak di tanah air pada tanggal 12 Juli 2001 (Amri, 2008). Berikut tata nama udang vannamei menurut ilmu taksonomi ( Haliman, 2008). Kingdom
: Animalia
Subkingdom
: Metazoa
Filum
: Arthropoda
Subfilum
: Crustacea
Kelas
: Malacostraca
Subkelas
: Eumalacostraca
Superordo
: Eucarida
Ordo
: Decapoda
Subordo
: Dendrobrachiata
Famili
: Penaeidae
Genus
: Litopenaeus
Species
: Litopenaeus vannamei
Cangkang udang sampai saat ini memang belum banyak mendapat perhatian. Selama ini orang hanya peduli pada dagingnya saja. Padahal cangkang udang berupa kulit atau yang juga disebut karapas, yang komposisinya bisa mencapai 50-60 % bisa dimanfaatkan menjadi berbagai produk. Fungsi cangkang tersebut pada hewan udang yaitu sebagai pelindung. Cangkang udang mengandung protein (25% - 40%), kalsium karbonat (45% 50%), dan chitin (15% - 20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya, sedangkan cangkang kepiting mengandung protein (15,60% - 23,90%), kalsium karbonat (53,70% -78,40%), dan chitin (18,70% 31,20%), hal ini juga tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupya. Kandungan chitin dalam cangkang udang lebih sedikit dari cangkang kepiting, tetapi cangkang udang lebih mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak (Kaban, dkk., 2006).
Meningkatnya jumlah cangkang udang masih merupakan masalah yang perlu dicarikan upaya pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan udang, akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan. Saat ini di Indonesia sebagian kecil dari cangkang udang sudah dimanfaatkan dalam hal pembuatan kerupuk udang, petis, terasi, dan bahan pencampur pakan ternak. Sedangkan di negara maju seperti di Amerika Serikat dan Jepang, cangkang udang telah dimanfaatkan di dalam industri sebagai bahan dasar pembuatan chtitin dan chitosan. Manfaatnya di berbagai industri modern banyak sekali seperti industri farmasi, biokimia, bioteknologi, biomedikal, pangan, kertas, tekstil, pertanian, dan kesehatan serta pembuatan edible film sebagai pengemas ataupun coating pada berbagai produk makanan, sayur-sayuran, dan buah-buahan (Restuati, 2008). Chitin yang belum dimanfaatkan sebesar 56.200 metrik ton/tahun. Menurut hasil survei Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) menunjukkan bahwa daerah Jabotabek tersedia sekitar 100 ton/bulan cangkang udang kering setara satu ton chitin, dikonversikan ke dalam nilai mata uang, maka akan diperoleh devisa sebesar US$ 65 ribu/bulan atau US$ 780/tahun (Amri, 2008). Dengan memanfaatkan cangkang udang menjadi chitin dan chitosan dapat dijadikan sebagai pengawet alami untuk berbagai produk makanan, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Tentu saja ini sangat menguntungkan karena bernilai ekonomi tinggi. Selain itu, chitosan juga memiliki prospek yang menjanjikan.
2.3. Chitosan 2.3.1. Pengertian Chitosan
Gambar 2.1 Serbuk Chitosan Chitosan yaitu poly-D-glucosamine (tersusun lebih dari 1000 unit glukosamin dan asetilglukosamin) dengan berat molekul lebih dari satu juta ton, merupakan dietary fiber (serat yang bisa dimakan) kedua setelah selulosa. Chitosan mempunyai nama lain selain Chitin yaitu Chitosan Askorbat, NCarboxybutyl Chitosan. Chitosan diketahui baik untuk kemampuan antimikrobakteri. Volume produksinya di alam bebas menempati peringkat kedua setelah serat (Swastawati, 2008). Diketahui bahwa Senyawa ini dapat ditemukan pada cangkang udang, kepiting, mollusca, serangga, annelida serta beberapa dinding sel jamur dan alga. Hasil modifikasi chitosan menghasilkan sifat dan manfaat yang spesifik. Secara komersial telah menghasilkan inovasi diberbagai bidang seperti; industri pangan, kosmetika, pertanian, farmasi, pengolahan limbah dan penjernihan air (Purwaningsih, 2000).
Chitosan merupakan salah satu polisakarida kationik alami yang diperoleh dari deasetilasi chitin yang banyak terdapat di alam. Chitin dapat diperoleh dari crustacean atau berbagai fungi. Chitin merupakan bentuk molekul yang hampir sama dengan selulosa, yaitu suatu bentuk polisakarida yang dibentuk dari molekul-molekul glukosa sederhana yang identik (Setyasih, 2009). Marganof (2002) menjelaskan bahwa chitin merupakan polimer linier yang tersusun oleh 2000-3000 monomer n-asetil D-glukosamin dalam ikatan ß(1-4) atau 2asetamida-2-deoksi-D-glukopiranol dengan rumus molekul (C8H13NO5)n. Chitin mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut dalam air, asam anorganik encer, dan asam-asam organik, tetapi larut dalam larutan dimetil asetamida dan litium klorida.
Gambar 2.2. Struktur Chitosan ( Sumber : Sugita, 2009)
2.3.2. Tahapan Pembuatan Chitin dan Chitosan Reaksi pembentukan chitosan dari chitin merupakan reaksi hidrolisa suatu amida oleh suatu basa. Chitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai basanya.Mula-mula terjadi reaksi adisi, dimana gugus OH- masuk ke dalam gugus NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan suatu amida yaitu chitosan (Swastawati, 2008). Chitin merupakan poli (2-asetamido-2-deoski-β-(1->4)-D-glukopiranosa) yang paling melimpah di alam setelah selulosa. Chitin tidak beracun dan bahkan mudah terurai secara hayati (biodegradable). Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwarna putih. Keberadaan chitin di alam umumnya terikat dengan protein, mineral, dan berbagai macam pigmen (Sugita, 2009). Chitin banyak dijumpai pada jamur, crustacea, insecta, mollusca dan arthropoda. Dalam cangkang udang, Chitin terdapat sebagai mukopoli sakarida yang berikatan dengan garam-garam anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3), protein dan lipida termasuk pigmenpigmen (Wardaniati, 2009). Chitosan adalah senyawa organik turunan chitin, berasal dari biomaterial chitin yang dapat diperoleh dari deasetilasi chitin. Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwana putih kekuningan ( Sugita, 2009). Untuk memperoleh chitin dari cangkang udang melibatkan proses deproteinasi ( penghilangan protein) dan demineralisasi ( penghilangan mineral). Sedangkan untuk mendapatkan chitosan dilanjutkan dengan proses deasetilasi ( penghilangan gugus asetil) (Ferdiansyah, 2005).
Mekanisme sederhana sintesis chitosan dari chitin dapat kita lihat pada Gambar 2.3.
NaOH
Deasetilasi
Gambar 2.3. Mekanisme Sederhana Sintesis Chitosan Dari Chitin Sumber : Shahidi. (1999). Aplication of Chitin and Chitosan. Trends in Food Science and Technology. vol 10, no 2. Deproteinasi chitin merupakan reaksi hidrolisi dalam suasana asam dan basa. Umumnya hidrolisis dilakukan dalam suasana basa dengan menggunakan larutan NaOH. Demineralisasi secara umum dilakukan dengan larutan HCL atau asam lain seperti H2SO4 pada kondisi tertentu. Keefektifan HCL dalam melarutkan kalsium 10% lebih tinggi daripada H2SO4. Hal yang terpenting dalam tahap penghilangan mineral adalah jumlah asam yang digunakan. Secara stoikiometri, perbandingan antara padatan dan pelarut dapat dibuat sama atau dibuat berlebih pelarutnya agar reaksinya berjalan sempurna. Urutan deproteinasi dan demineralisasi juga berperan penting. Deproteinasi sebaiknya dilakukan lebih dahulu jika protein yang terlarut akan
dimanfaatkan
lebih
lanjut.
Deproteinasi
pada
tahap
awal
dapat
memaksimumkan hasil dan mutu protein serta mencegah kontaminasi protein pada proses demineralisasi. Deasetilasi chitin dilakukan dengan menambahkan basa kuat
NaOH atau KOH. Deasetilasi chitin akan menghilangkan gugus asetil dan menyisakan gugus amino yang bermuatan positif, sehingga chitosan akan bersifat polikationik. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari polimer chitin, interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari chitosan akan semakin kuat (Wardaniati, 2011). Diagram Alir Pembuatan Chitosan Cangkang Udang -
Cuci air dingin Cuci air panas Dikeringkan dan dihaluskan
Deproteinasi -
Direndam dalam larutan NaOH 1M perbandingan 1:5 (g rserbuk/ml NaOH) diaduk 1 jam Dipanaskan 90°C selama 1 jam Didinginkan dan dicuci dengan air sampai pH netral Dikeringkan
Demineralisasi -
-
Cangkang udang berupa serbuk hasil deproteinasi direndam dalam larutan HCL 1M perbandingan 1:10 (gr serbuk/ml NaOH) diaduk 1 jam Dipanaskan 90°C selama 1 jam Didinginkan dan disaring Dicuci dengan air sampai pH netral Dikeringkan Chitin
Deasetilasi -
Chitin direndam dalam larutan NaOH 1M perbandingan 1:20 (gr serbuk/ml NaOH) diaduk 1 jam Dipanaskan 90°C selama 1 jam Didinginkan dan disaring Dicuci dengan air sampai pH netral dan dikeringkan
Chitosan (Sumber : Suptijah. 1992)
2.3.3. Sifat Fisik dan Kimia Chitosan Sifat dan penampilan produk chitosan dipengaruhi oleh perbedaan kondisi, seperti jenis pelarut, konsentrasi, waktu, dan suhu proses ekstraksi. Chitosan berwarna putih kecoklatan. Chitosan dapat diperoleh dengan berbagai macam bentuk morfologi diantaranya struktur yang tidak teratur, bentuknya kristalin atau semikristalin. Selain itu dapat juga berbentuk padatan amorf berwarna putih dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal chitin murni (Haliman, 2008). Chitin memiliki sifat biologi dan mekanik yang tinggi diantaranya adalah biorenewable, biodegradable, dan biofungsional. Chitosan mempunyai rantai yang lebih pendek daripada rantai chitin. Kelarutan chitosan dalam larutan asam serta viscositas larutannya tergantung dari derajat deasetilasi dan derajat degradasi polimer. Terdapat dua metode untuk memperoleh chitin , chitosan dan oligomernya dengan berbagai DD, polimerisasi, dan berat molekulnya (BM) yaitu dengan kimia dan enzimatis (Ramadhan,dkk,2010). Suatu molekul dikatakan chitin bila mempunyai derajat deasetilasi (DD) sampai 10% dan kandungan nirogennya kurang dari 7%. Dan dikatakan chitosan bila nitrogen yang terkandung pada molekulnya lebih besar dari 7% berat dan DD lebih dari 70% (Zainab, 2010). Chitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Bila disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama pada suhu sekitar 100°F maka sifat keseluruhannya dan viskositasnya akan berubah. Bila chitosan disimpan lama dalam keadaan terbuka maka akan terjadi dekomposisi warna menjadi kekuningan dan viskositasnya
berkurang. Suatu produk dapat dikatakan chitosan jika memenuhi beberapa standar seperti tertera pada Tabel 2.1 Tabel 2.1. Standard Chitosan ≥ 70 % jenis teknis dan > 95 % jenis pharmasikal E.Coli Negatif Kadar abu Umumnya < 1 % Kadar air 2 – 10 % Kadar nitrogen 7 - 8,4 % Kelarutan Hanya pada pH ≤ 6 Salmonella Negatif Ukuran partikel 5 ASTM Mesh Viscositas 309 cps Warna Putih sampai kuning pucat Sumber : Muzzarelli (1985) dan Austin (1988) Deasetilasi
Dua faktor utama yang menjadi ciri dari chitosan adalah viskositas atau berat molekul dan derajat deasetilasi. Oleh sebab itu, pengendalian kedua parameter tersebut dalam proses pengolahannya akan menghasilkan chitosan yang bervariasi dalam penerapannya di berbagai bidang. Misalnya kemampuan chitosan membentuk gel dalam N-methyl morpholine-N-oxide, belakangan ini telah dimanfaatkan untuk formulasi obat. Derajat deasetilasi dapat didefinisikan sebagai rasio 2-amino-2deoxy-D-glucopiranosa
dan
2-acetamido-2-deoxy-D-glukopyranose,
dan
menunjukkan sejauh mana proses deasetilasi berjalan. Derajat deasetilasi dan berat molekul berperan penting dalam kelarutan chitosan, sedangkan derajat deasetilasi sendiri berkaitan dengan kemampuan chitosan untuk membentuk interaksi isoelektrik dengan molekul lain (Wibowo, 2006).
Chitosan dapat dapat berinteraksi dengan bahan-bahan yang bermuatan, seperti protein, polisakarida, anionik, asam lemak, asam empedu dan fosfolipid. Chitosan larut asam dan larut air mempunyai keunikan membentuk gel yang stabil dan mempunyai muatan dwi kutub, yaitu muatan negatif pada gugus karboksilat dan muatan positif pada gugus NH (Rokhati, 2006). Menurut Wibowo (2006), kelarutan chitosan dipengaruhi oleh tingkat ionisasinya, dan dalam bentuk terionisasi penuh, kelarutannya dalam air meningkat karena adanya jumlah gugus yang bermuatan. Sebagai antibakteri, chitosan memiliki sifat mekanisme penghambatan, dimana chitosan akan berikatan dengan protein membran sel, yaitu glutamat yang merupakan komponen membran sel. Selain berikatan dengan protein membraner, chitosan juga berikatan dengan fosfolipid membraner, terutama fosfatidil kolin (PC), sehingga meningkatkan permeabilitas inner membran (IM). Naiknya permeabilitas IM akan mempermudah keluarnya cairan sel. Pada E. coli misalnya, setelah 60 menit, komponen enzim ß galaktosidase akan terlepas. Hal ini menunjukkan bahwa sitoplasma dapat keluar sambil membawa metabolit lainnya, atau dengan kata lain mengalami lisis, yang akan menghambat pembelahan sel (regenerasi). Hal ini akan menyebabkan kematian sel (Fahmi, 1997). 2.3.4. Manfaat Chitosan Chitosan telah digunakan secara luas di industri makanan, kosmetik, kesehatan, farmasi dan pertanian serta pada pengolahan air limbah. Di industri makanan, chitosan dapat digunakan sebagai suspensi padat, pengawet, penstabil warna, penstabil makanan, bahan pengisi, pembentuk gel, tambahan makanan hewan dan sebagainya.
Chitosan dan chitin mempunyai potensi yang dapat digunakan baik pada berbagai jenis industri maupun pada bidang kesehatan. Sebagai contoh, untuk penjernihan air diperlukan mutu chitin dan chitosan yang tinggi sedangkan untuk penggunaan di bidang kesehatan diperlukan kemurnian yang tinggi (Sari,2008). Chitosan dan turunannya telah menarik perhatian sebagai bahan untuk digunakan dalam bidang obat-obatan dan kesehatan. Chitin dan Chitosan menunjukkan aktivitas antibakteri, antimetastik, antiurikemik dan antiosteoporotik menunjukkan potensi yang besar dalam meredakan dan mencegah penyakit atau memberi kontribusi terhadap kesehatan yang baik. Material yang dapat terurai dan nontoksik dapat mengaktifkan pasien menahan mencegah infeksi dan mempercepat penyembuhan luka ( Kaban, 2009). Di industri makanan, chitosan dapat digunakan sebagai suspensi padat, pengawet, penstabil warna, penstabil makanan, bahan pengisi, pembentuk gel, pembentuk tekstur, pengental dan pengemulsi produk olahan pangan , flavor, zat gizi antimikroba, antijamur dan sebagainya ( Haliman, 2010). Di dalam pangan chitosan dapat dijadikan sebagai bahan antimikroba untuk memperpanjang waktu penyimpanan makanan karena chitosan mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba ( Wardaniati, 2009). Fungsinya sebagai antimikroba dan antijamur juga diterapkan dibidang kedokteran. Chitin dan chitosan dapat mencegah pertumbuhan Candida albicans dan Staphvcoccus aureus. Selain itu, biopolimer tersebut juga berguna sebagai antikoagulan, antitumor, antivirus, pembuluh darah-kulit dan ginjal sintetik, bahan
pembuat lensa kontak, aditif kosmetik, membran dialisis, bahan shampoo dan kondisioner rambut, zat hemostatik, penstabil liposom, bahan ortopedik, pembalut luka dan benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinggi daya kekebalan antiinfeksi. Sementara di bidang pertanian chitin dan chitosan digunakan antara lain untuk pencampur ransum pakan ternak, pestisida, herbisida, virusida tanaman, dan deasidifikasi buah-buahan, sayuran dan penjernih sari buah ( Sugita, 2009). Chitosan diketahui dapat menginduksi respons ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen (Hadrami et al. 2010). Selain itu, chitosan dapat digunakan untuk pelapis buah tomat (Sari, 2008) dan leci (Dong et al. 2004). Chitosan dapat menginduksi enzim kitinase yang dapat mendegradasi chitin, yang merupakan penyusun utama dinding sel cendawan sehingga dapat digunakan sebagai fungisida (Ghaouth et al. 1991). Menurut Pamekas (2009), chitosan mampu menghambat pertumbuhan
Colletotrichum
musae
melalui
penghambatan
perkecambahan
konidium, memperkecil lebar hifa, memperpendek ruas hifa, dan menyebabkan hifa lisis. Perlakuan chitosan secara umum mampu menekan infeksi C. gloeosporioides secara in vitro dengan THR yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi chitosan yang digunakan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Rogis et al. (2007) yang menyebutkan bahwa semakin tinggi konsentrasi chitosan yang digunakan maka semakin besar pula penghambatan terhadap pertumbuhan C. musae. Secara in vivo, konsentrasi chitosan yang efektif untuk menekan kejadian dan keparahan penyakit sekaligus menghambat kematangan buah (Restuati,2008).
Chitosan sebagai pelapis pada permukaan buah pepaya dapat menghambat proses respirasi pada tingkat yang sangat rendah. Respirasi rendah dapat mengakibatkan pemecahan pati termasuk gula berjalan lambat sehingga semakin rendah respirasi buah maka proses kematangan buah semakin lambat (Suhardjo, 1992). Daya simpan buah menunjukkan besarnya potensi pemanfaatan kitosan dalam mendukung peningkatan kualitas dan kuantitas buah-buah yang diekspor dari Indonesia. Tabel 2.2. Penggunaan Chitosan dan Turunannya Dalam Industri Pangan Penggunaan
Contoh
Antimikroba
Bakterisidal, fungisidal, pengukur kontaminasi jamur pada komoditi pertanian.
Edible film
Mengatur perpindahan uap antara makanan dan lingkungan sekitar, menahan pelepasan zat-zat antimikroba, antioksidan, nutrisi, flavor, dan obat, mereduksi tekanan parsial oksigen, pengatur suhu, menahan proses browning enzimatis pada buah.
Bahan aditif
Mempertahankan flavor alami, bahan Pengontrol tekstur, bahan pengemulsi, bahan pengental, stabilizer, dan penstabil warna.
Nutrisi
Sebagai serat diet, penurun kolesterol, persediaan dan tambahan makanan ikan, mereduksi penyerapan lemak, memproduksi protein sel tunggal, bahan anti grastitis (radang lambung), dan sebagai bahan makanan bayi.
(Sumber : Shahidi dkk., 1999)
2.3.5. Kualitas Chitosan Chitosan merupakan salah satu biomaterial yang paling menjanjikan untuk menggantikan bahan sintetis, terutama untuk makanan dan aplikasi kemasan. Chitosan merupakan polycation yang kepadatan muatan tergantung pada derajat deasetilasi dan pH. Dengan kualitas chitosan yang baik maka juga akan mendapatkan chitosan yang memiliki keunggulan dibandingkan biomaterial lain, karena pada chitosan ini sangat antimikroba. Edible film yang terbuat dari chitosan memiliki daya tarik yang baik dengan adanya alkilasi. Diketahui bahwa edible film dari chitosan ini memiliki kecenderungan untuk mengkarakterisasi chitosan sebagai bakteriostatik daripada bakterisida (Fahmi, 1997). Kualitas chitosan yang baik memiliki pH rendah dengan pH kurang lebih 6,3. Keunggulan chitosan ialah antimikroba dan didapatkan dari sifat permeabilitas pada dinding membran, sehingga terjadi ketidakseimbangan osmotik internal dan akibatnya menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Chitosan edible film merupakan sifat penghalang yang baik terhadap gas dan lipid tetapi kurang baik apabila untuk menghalangi uap air. Alkilasi adalah suatu bahan yang dapat mengurangi rantai dalam dan luar hydrogen, mengelastiskan molekul dan meningkatkan daya tahan terhadap uap air. Dalam edible film chitosan ini, mengandung gliserol yang akan menghasilkan edible
film dengan kemampuan
rentang yang tinggi dan meningkatkan tingkat permeabilitas (baik oksigen dan air). Chitosan edible film ini telah terbukti efektif dalam meningkatkan umur simpan dari berbagai makanan seperti pada wortel dan mangga (Wardaniati, 2011).
2.4. Chitosan Tidak Berbahaya Untuk Dikonsumsi Chitosan adalah serbuk yang dihasilkan dari deasetilasi chitin, senyawa yang banyak diperoleh di kerangka luar (eksoskeleteon) hewan Crustacea seperti udang, kerang, dan kepiting (Rhamnosa, 2006). Serbuk yang telah dilepaskan asetilnya merupakan zat murni, tinggi sifat basanya, serta mengandung banyak molekul glukosa. Dalam chitosan terdapat unsur butylosar yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Butylosar yang telah didapatkan itu hanya larut dalam asam encer dan cairan tubuh manusia. Dengan demikian, butylosar dapat diserap oleh tubuh. Zat itu merupakan satu-satunya selulosa yang dapat dimakan. Zat ini mempunyai muatan positif yang kuat, dan dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Selain itu, zat ini mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun ( Purwanti, 2010). Selain telah memenuhi standard secara mikrobiologi ditinjau dari segi kimiawi juga aman karena dalam prosesnya chitosan cukup dilarutkan dengan asam asetat encer (1%) hingga membentuk larutan chitosan homogen yang relatif lebih aman ( Wardaniati, 2009). Masalah utama yang dihadapi dalam memproduksi chitin dan chitosan di Indonesia adalah kualitas produk masih rendah, kontinuitas suplainya belum pasti dan belum bisa diakses oleh semua kalangan . Selain itu banyak masyarakat yang belum mengetahui fungsi dari chitin-chitosan ( Swastawati, dkk, 2008). Jurnal Jonathan Rhodes dan Bob Rastall menyebutkan tentang paten produk di Rusia yang menggunakan chitosan sebagai pengawet untuk kaviar, yang dinyatakan efektif dengan kombinasi masing-masing 0,1 % chitosan dan asam sorbat (Rhamnosa,
2006). Di Indonesia produksi chitosan dalam skala relatif besar mulai diujicobkan CV Dinar yang berlokasi di sebuah kawasan nelayan di Jl. Raya Dadap, Tangerang Banten ( Anonimous, 2006). 2.5. Stroberi (Fragaria x ananassa Duch) 2.5.1. Asal Usul Buah Stroberi (Fragaria x ananassa Duch)
Gambar 2.4 Buah Stroberi Wilhelm dan Sagen (1974) menerangkan pada bukunya bahwa, stroberi merupakan jenis tanaman berbunga dalam keluarga mawar Rosaceaea, berwarna merah dan buahnya dapat dikonsumsi, dan dikembang biakkan dengan baik di daerah Amerika Utara. Dalam bahasa latin buah ini disebut Fragra yang berarti wangi. Charles Linneans lah orang pertama yang memberikan nama spesies Fragaria untuk buah ini. Di Perancis, Italia, dan Spanyol buah ini disebut Fraise yang juga memiliki makna yang sama yaitu wangi, sementara di Amerika Utara disebut buah Wuttahimheash atau berry hati (Budiman, 2006). Stroberi pertama kali digambarkan dalam literatur sekitar 1000 AD, dan gambar pertama dari tanaman stroberi dicetak 1484 Penyebutan pertama stroberi
terjadi antara 234-149 SM dalam tulisan-tulisan Cato, Senator Romawi. Stroberi tumbuh liar di Italia sejak 234 SM dan ditemukan di Virginia oleh orang Eropa pertama ketika kapal mereka mendarat di sana pada 1588. Pada zaman Yunani kuno buah ini diangkat sebagai lambang dewi cinta (Rukmana, 1998). Etimologi dari asal-usul nama stroberi, di antaranya dari kata straw(sedotan), sebagai gambaran dari kegiatan tukang kebun yang menggunakan sedotan untuk menanam buah ini dan melindunginya dari proses pembusukan, juga dari jaman Anglo-Saxon dari kata strew (menyebar di sekelilingnya). Deskripsi pertama kali menggambarkannya untuk penggunaan tanaman obat dan bukan untuk manfaat buah. Untuk Periode waktu abad ke-12 Saint Hildegard von Binger, seorang kepala biara, berpendapat bahwa stroberi tidak cocok untuk dimakan, fakta bahwa mereka tumbuh dekat dengan tanah dan mungkin terkontaminasi oleh hewan ular atau katak. Bersama dukungan teorinya dan beberapa tokoh politik lokal, banyak orang menghindari buah ini dan popularitasnya terus menurun ( Budiman, 2006). Pada awal 1600, koloni pertama Amerika membawa buah ini ke Amerika. Tanaman Stroberi yang ditemukan di Amerika Utara terkenal lebih unggul dari varietas Eropa dalam ukuran, rasa, dan keindahan. Stroberi mulai dijual bebas di pasar London sekitar 1831. Kebanyakan di panen dari ladang terdekat atau hutan, dan bukan dari area produksi komersil. Di Inggris dan daratan Eropa konsumsi stroberi menjadi lebih populer. Mulai dari kalangan rakyat biasa hingga aristokrat memiliki lahan kecil di rumah mereka untuk menanam tumbuhan ini. Sementara Perancis menjadi yang terdepan dalam produksi Stroberi.
Setelah 1860 stroberi banyak ditanam dan di budidayakan di California ,dan sejak 1900 stroberi mulai ditanam diberbagai negara. Hari ini lebih dari 25.000 hektar stroberi ditanam di Amerika Utara,dan 80 % di Amerika Serikat (Rukmana, 1998). 2.5.2. Klasifikasi Buah Stroberi Klasifikasi botani tanaman stroberi adalah sebagai berikut (Budiman, 2006) : Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Keluarga
: Rosaceae
Genus
: Fragaria
Spesies
: Fragria spp
(Dikutip dari : GRIN Taxonomy Database, 2008). Varitas stroberi introduksi yang dapat ditanam di Indonesia adalah Osogrande, ePajero, Selva, Ostara, Tenira, Robunda, Bogota, Elvira, Grella, Red Gantle, Dorit dan Sweet Charlie. 2.5.3. Anatomi Buah Stroberi Anatomi dari tanaman stroberi adalah sebagai berikut (Rukmana, 1998) : 1. Akar (Radix) Struktur akar tanaman stroberi terdiri atas pangkal akar (collum), batang akar (corpus), ujung akar (apex), bulu akar (pilus radikalis), dan tudung akar (calyptras). Tanaman stroberi berakar tunggang (radix primaria), akarnya terus tumbuh memanjang dan berukuran besar. Panjang akar mencapai 100 cm, namun akar
tersebut hanya menembus lapisan tanah atas sedalam 15 cm-45 cm tergantung jenis dan kesuburan tanahnya. 2. Batang (Caulis) Batang tanaman stroberi beruas-ruas pendek dan berbuku-buku, banyak mengandung air, serta tertutupi pelepah daun tampak seperti rumpun tanpa batang. Buku-buku batang yang tertutup oleh sisi daun mempunyai kuncup. 3. Cabang Merayap (Stolon) Stolon adalah cabang kecil yang tumbuh mendatar atau menjalar di atas permukaan tanah. Penampakan stolon secara visual mirip dengan sulur. Tunas dan akar stroberi tumbuh membentuk generasi tanaman baru. Stolon yang tumbuh mandiri dapat segera dipotong atau dipisahkan dari rumpum induk sebagai bibit. 4. Daun (Folium) Daun tanaman stroberi tersusun pada tangkai yang berukuran agak panjang, tangkai daun berbentuk bulat, helai daun bersusun tiga. Bagian tepi daun bergerigi, berwarna hijau, dan berstruktur tipis. Daun dapat bertahan hidup selama 1-3 bulan, kemudian daun akan kering dan mati. 5. Bunga (Flos) Stroberi berbunga sempurna. Struktur bunga terdiri Dari 5 kelopak, 5 daun mahkota, dan ratusan putik.Setiap mahkota bercabang daun mempunyai empat macam bunga, yaitu 1 bunga primer, 2 buah bunga sekunder, 4 buah tersier. 6. Buah (Fructus) Buah stroberi umumnya berbentuk kerucut hingga bulat, buah yang tampak secara visual disebut buah semu, karena buah itu berasal dari dasar bunga yang
berubah bentuk menjadi gumpalan daging buah. Buah muda berwarna hijau namun setelah tua berubah menjadi berwarna merah atau kuning kemerah-merahan. 7. Biji Biji stroberi berukuran kecil. Biji itu berukuran kecil,terletak dia antara daging buah . 2.5.4. Spesies Buah Stroberi Stroberi memiliki lebih dari 20 spesies dan 700 jenis Ada tujuh jenis kromosom utama yang terdapat di seluruh spesies. Beberapa spesies adalah diploid yaitu mempunyai dua pasang dari ketujuh kromosom menjadikan jumlahnya 14 kromosom. Yang lainnya merupakan tetraploid yaitu memiliki empat pasang dari ketujuh kromosom menjadikan jumlahnya 28 kromosom, hexaploid (6 pasang), oktoploid (8 pasang) atau dekaploid (10 pasang) (Rukmana, 1998). 2.6. Kandungan Buah Stroberi 2.6.1. Senyawa Fitokimia Sesuai dengan namanya, senyawa fitokimia merupakan senyawa spesifik yang terdapat pada jenis tanaman tertentu (fito= tanaman) dengan manfaat yang juga sangat spesifik. Beberapa senyawa fitokimia yang terdapat pada buah stroberi adalah (Budiman, 2006). 1. Anthocyanin Anthocyanin tergolong dalam komponen flavonoid. Senyawa ini merupakan pigmen pemberi warna merah pada stroberi. Berfungsi sebagai antioksidan.
2. Ellagic Acid Ellagic acid merupakan persenyawaan fenolik alamiah yang ditemukan pada beberapa famili tanaman, seperti Rosaceae, Fagaceae, Saxifragaceae, Cunomirutceae dan Myrotharnnaceae. Jenis tanaman yang banyak mengandung ellagic acid di antaranya stroberi dan apel. Pada stroberi, senyawa tersebut terdapat pada bagian biji, daun, dan daging buah. 3. Catechin,Quercetin,dan Kaempferol Selain ellagic acid, senyawa folifenol lain yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan adalah cateehin, quer-cetin, dan kaempferoL. 2.6.2. Antioksidan
Antioksidan dapat didefinisikan sebagai suatu zat yang dapat menghambat / memperlambat proses oksidasi. Oksidasi adalah jenis reaksi kimia yang melibatkan pengikatan oksigen, pelepasan hydrogen, atau pelepasan elektron. Proses oksidasi adalah peristiwa alami yang terjadi di alam dan dapat terjadi dimana-mana tak terkecuali di dalam tubuh (Sari, 2008). 2.6.3. Vitamin & Mineral Vitamin dan mineral yang terdapat di dalam buah stroberi ( Budiman, 2006). 1. Vitamin C Vitamin C adalah salah satu jenis vitamin yang larut dalam air dan memiliki peranan penting dalam menangkal berbagai penyakit. Vitamin ini juga dikenal dengan nama kimia dari bentuk utamanya yaitu asam askorbat. Dalam setiap 100 mg stroberi mengandung 60 mg vitamin C Kandungan vitamin C strawberry lebih tinggi
dibandingkan buah jeruk atau orange. Vitamin C sangat bermanfaat sebagai melawan infeksi. 2. Vitamin A Vitamin A adalah vitamin yang dibutuhkan oleh retina mata yang mana molekulnya menyerap cahaya retina, dan mutlak diperlukan untuk melihat keduacahaya (low scotopic visi) dan penglihatan warna. Dalam 100 gram buah stroberi mengandung 60 Sl vitamin A. 3. Vitamin B1 Vitamin B1, atau tiamina, adalah vitamin yang terlarut dalam air.Tiamina disintesis dalam bakteri, fungi dan tanaman. Tiamina berperan sangat vital agar otak dapat bekerja dengan normal. Dalam 100 mg stroberi mengandung 0,03 mg Vitamin B1. 4. Mineral Mineral potensial yang ada di dalam 100 gram buah stroberi adalah 28 mg kalsium, 27 mg fosfor, 0,8 mg zat besi, 10 mg magnesium, 27 mg potassium, dan 0,7 mg selenium. Buah stroberi mempunyai kandungan gizi yang tinggi dan komposisi gizi yang cukup lengkap. Kalori sebanyak 37,00 kal, protein 0,80 g, lemak 0,50 g, karbohidrat 8,30 g, kalsium 28,00 mg, fosfor 27,00 g, zat besi 0,80mg, vitamin A 60,00 SI, vitamin B1 0,03 mg, vitamin C 60,00 mg, air 89,90 g, bagian yang dapat dimakan 96,00% (Direktorat Gizi Depkes 1981 cit. Rukmana, 1998).
Satu cangkir (144 g) stroberi mengandung sekitar 45 kalori (188 kJ) dan merupakan sumber vitamin C dan flavonoid yang baik. Berikut ini beberapa kandungan Gizi dalam satu cangkir (144 g) stroberi dapat dilihat pada tabel 2.3 Tabel 2.3 Kandungan Gizi Buah Stroberi Zat Gizi Proksimat Air Energi Protein Karbohidrat, Serat, total Ash Mineral Kalsium, Ca Besi, Fe Magnesium,Mg Fosfor, P Tembaga, Cu Mangan, Mn Selenium, Se Vitamin VitaminC, ascorbic acid Thiamin Riboflavin Niacin Pantothenic acid Vitamin B-6 Folate Vitamin B-12 Vitamin A, IU Vitamin A, RE Vitamin E
Satuan
Per 144 g
g kJ g g g g
132 188 0.88 10.1 3.3 0.62
mg mg mg mg mg mg mg
20 0.55 14 27 0.07 0.42 1.01
mg
82
mg mg mg mg
0.03 0.1 0.33 0.49
mg mg mg IU μg RE mg ATE
0.09 25 0 39 4.3 0.20
(Sumber :Budiman dkk, 2006)
2.7. Kerusakan pada Buah Stroberi Kerusakan buah dapat terjadi sejak buah dipanen hingga proses penyimpanan. Beberapa proses kerusakan yang terjadi pada buah antara lain (Ghaout, 1991). a. Browning (Pencoklatan) Proses pencoklatan atau browning sering terjadi pada buah-buahan, seperti pisang, pir, salak, pala dan apel begitu juga stroberi. Buah stroberi yang memar juga akan mengalami proses pencoklatan. Pada umumnya, proses pencoklatan dapat dibagi menjadi dua, yaitu proses pencoklatan enzimatik dan non enzimatik. Perubahan warna yang utama pada stroberi disebabkan oleh reaksi browning (pencoklatan). Reaksi pencoklatan terdiri atas pencoklatan enzimatis dan non enzimatis. Pencoklatan enzimatis disebabkan oleh aktivitas enzim phenolase dan oliphenolase. Pada buah stroberi utuh, sel-selnya masih utuh, dimana substrat yang terdiri atas senyawa-senyawa fenol terpisah dari enzim phenolase sehingga tidak terjadi reaksi browning. Apabila sel pecah akibat terjatuh/memar atau terpotong (pengupasan, pengirisan) substrat dan enzim akan bertemu pada keadaan aerob (terdapat oksigen) sehingga terjadi reaksi browning enzimatis. Pembentukan warna coklat dikarenakan terjadinya oksidasi senyawa-senyawa fenol dan polifenol oleh enzim fenolase dan polifenolase membentuk quinon, yang selanjutnya berpolimerisasi membentuk melanin (pigmen berwarna coklat). b. Loss Mass (Penyusutan Massa) Susut (losses) kualitas dan kuantitas dapat terjadi sejak pemanenan hingga saat dikonsumsi. Besarnya susut sangat tergantung pada jenis komoditi dan cara penanganannya selepas panen. Untuk mengurangi susut ini, petani/pedagang harus :
(1) mengetahui faktor biologis dan lingkungan yang berpengaruh terhadap terjadinya kerusakan, (2) menguasai teknik penanganan pasca panen yang dapat menunda kelayuan atau kebusukan dan menjaga kualitas pada tingkatan tertentu yang mungkin dicapai. c. Laju Respirasi dan Produksi Etilen yang Tinggi Respirasi adalah proses pemecahan komponen organik (zat hidrat arang, lemak dan protein) menjadi produk yang lebih sederhana dan energi. Aktivitas ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi sel agar tetap hidup. Berdasarkan polanya, proses respirasi dan produksi etilen selama pendewasaan dan pematangan produk nabati dapat dibedakan menjadi dua, yaitu klimakterik dan non-klimakterik. Komoditi dengan laju respirasi tinggi akan menunjukkan kecenderungan lebih cepat rusak. Menurunkan laju respirasi sampai batas minimal pemenuhan kebutuhan energi sel tanpa menimbulkan fermentasi akan dapat memperpanjang umur ekonomis produk nabati. Manipulasi faktor ini dapat dilakukan dengan teknik pelapisan (coating), penyimpanan pada suhu rendah, atau memodifikasi atmosfir ruang penyimpan. Setelah dipanen, stroberi masih terus melakukan respirasi dan metabolisme, karena itulah komoditi tersebut dianggap masih hidup. Selama proses respirasi dan metabolisme berlangsung, buah akan mengeluarkan CO2 dan air serta etilen, serta mengkonsumsi oksigen yang ada disekitarnya. d. Laju Transpirasi yang Tinggi Transpirasi adalah pengeluaran air dari dalam jaringan produk nabati. Laju transpirasi dipengaruhi oleh faktor internal (morfologis / anatomis, rasio permukaan
terhadap volume, kerusakan fisik, umur panen) dan faktor eksternal (suhu, RH, pergerakan udara dan tekanan atmosfir). Transpirasi yang berlebihan akan menyebabkan produk mengalami pengurangan berat, penurunan daya tarik (karena layu), nilai tekstur dan nilai gizi. Pengendalian laju transpirasi dilakukan dengan pelapisan, penyimpanan dingin, atau memodifikasi atmosfir (Ebook Pangan, 2006). e. Sensitivitas Terhadap Suhu Pemaparan komoditi pada suhu yang tidak sesuai akan menyebabkan kerusakan fisiologis pada stroberi yang bisa berupa : (1) freezing injuries, karena produk disimpan di bawah suhu bekunya; (2) chilling injuries, umum pada produk tropis yang disimpan di atas suhu beku dan diantara 5 – 15ºC, tergantung sensitivitas komoditi; (3) heat injuries, terjadi karena paparan sinar matahari atau panas yang berlebihan. Berdasarkan sensitivitasnya terhadap suhu, dikenal dua golongan produk, yaitu yang bersifat sensitif dan tidak sensitif terhadap pendinginan. Suhu kritis stroberi berkisar antara 36 – 38°C jika disimpan melebihi suhu tersebut kerusakan yang dapat terjadi berupa pencoklatan di bagian dalam, bagian tengah coklat, lembek dan lepuh. 2.8. Mekanisme Kimia Pengawetan Stroberi Dengan Chitosan Metode yang digunakan untuk memperpanjang umur simpan buah stroberi adalah salah satunya dengan pemberian chitosan yang akan membentuk lapisan tipis atau yang disebut dengan coating. Pemberian lapisan tipis pada permukaan buah untuk menghambat keluarnya gas, uap air dan menghindari kontak dengan oksigen, sehingga proses pemasakan dan pencoklatan buah dapat diperlambat, merupakan salah satu upaya yang dapat diterapkan. Lapisan yang ditambahkan di permukaan
buah ini tidak berbahaya dan dapat ikut dikonsumsi bersama buah, salah satunya adalah menggunakan chitosan. Menurut Ghaouth dkk (1991) dan Ramadhan (2010) chitosan adalah salah satu bahan yang bisa digunakan untuk pelapisan buah, yang merupakan polisakarida berasal dari limbah kulit udang, kepiting, dan yang termasuk ke dalam Crustaceae. Chitosan merupakan suatu senyawa poli (N-amino-2 deoksi βD-glukopiranosa) atau glukosamin hasil deasetilasi kitin/poli (N-asetil-2 amino-2deoksi β- D-glukopiranosa) yang diproduksi dalam jumlah besar di alam. Penggunaan chitosan sebagai pelapis dalam buah-buahan dapat menghambat difusi oksigen ke dalam buah sehingga proses respirasi dapat dihambat. Chitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba, karena mengandung enzim lysosimdan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan efisiensi daya hambat chitosan terhadap bakteri tergantung dari konsentrasi pelarutan chitosan. Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteridisebabkan chitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dankapang (Zainab, 2010). Mekanisme yang terjadi dalam pengawetan buah stroberi yaitu molekul chitosan memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan senyawa pada permukaan cell bakteri kemudian teradsorbi membentuk semacam layer (lapisan) yang menghambat saluran transportasi sel sehingga sel mengalami kekurangan substansi untuk berkembang dan mengakibatkan matinya sel. Sehingga dapat mencegah hilangnya kelembaban produk, memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu, mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna, pigmen
alami dan bergizi, serta menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan penambah aroma yang dapat memperbaiki mutu bahan pangan (Donhowe, 1994). Selain telah memenuhi standard secara mikrobiologi ditinjau dari segi kimiawi juga aman karena dalam prosesnya chitosan cukup dilarutkan dengan asam asetat encer (1%) hingga membentuk larutan chitosan homogen yang relative lebih aman.Penggunaan coater pada buah segar dapat memperlambat penurunan mutu, karena metode tersebut dapat digunakan sebagai penahan difusi gas oksigen, karbondioksida dan uap air serta komponen flavor, sehingga mampu menciptakan kondisi atmosfir internal yang sesuai dengan kebutuhan produk yang dikemas. Keuntungan penggunaan coater untuk pelapis buah adalah dapat memperpanjang umur simpan produk karena coater ini dapat dimakan bersama produk yang dikemasnya (Rokhati, 2006). Beberapa penelitian menyebutkan kemampuan film atau coating chitosan dalam memperpanjang masa simpan dan mengendalikan kerusakan buah dan sayuran dengan lebih baik, yaitu dengan cara menurunkan kecepatan respirasi, menghambat pertumbuhan kapang, dan/atau menghambat pematangan dengan mengurangi produksi etilen dan karbondioksida. Chitosan memiliki kemampuan untuk membentuk film yang sesuai sebagai pengawet makanan dengan menghambat patogen psikotrofik membuktikan bahwa coating chitosan (2% chitosan dalam 5% asam asetat) mampu menghambat penurunan kandungan antosianin dan peningkatan aktivitas polyphenol oksidase pada penyimpanan leci. Ghaouth dkk (1992) juga melaporkan bahwa coating chitosan (1% dan 2 % dalam 0.25 N HCl) mengurangi kecepatan respirasi dan produksi etilen pada tomat. Tomat yang di-coating dengan
chitosan akan lebih keras dan lebih sedikit pigmentasi merah jika dibandingkan dengan sampel kontrol, setelah disimpan selama 4 minggu pada suhu 20°C. 2.9. Kerangka Konsep
Chitosan dari Cangkang Udang
Larutan chitosan 0%,
Stroberi
0,5 %, 1%, 1,5 %, 2 %
Pembentukan Edible Coating
Coated Stroberi (Stroberi yang telah terlapisi Chitosan)
Waktu simpan, dilihat ciri fisik: Tekstur, bau, warna
Uji Organoleptik
Gambar 2.5. Kerangka Konsep Penggunaan Chitosan Dari Cangkang Udang (Litopenaeus Vannamei) Sebagai Pengawet Alami Untuk Buah Stroberi (Fragaria x ananassa Duch)