BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Cedera Kepala 1.
Neuropatologi Cedera kepala dapat ditandai dengan coup dan contra coup serta dengan
shearing dan tearing akson di otak akibat akselerasi rotasional dari kepala.Diagnosis umum sehubungan cedera kepala meliputi fraktur tengkorak, contusion, confusion, laserasi, dan lesi fokal (Silver et al., 2005). Cedera sekunder yang meliputi perdarahan lebih lanjut, deformitas mekanis, dan peningkatan tekananan intrakranial dapat terjadi sebagai komplikasi sebagai cedera awal (Bigler & Maxwel., 2011). Saat ini telah terbukti bahwa penderita cedera kepala mengalami kehilangan sebagian volume otak sampai setidaknya satu tahun setelah kecelakaan (Bendlin et al., 2008; Sidaros et al., 2009; Trivedi et al., 2007). Pemahaman patologi seluler pada cedera kepala merupakan hal penting dalam pengembangan terapi baru cedera kepala.Perubahan neurokimiawi otak sesudah
cedera
dapat
berupa
agen
“neuroprotektif”
dan
“autodestruksi”.Peningkatan acetylcholine terjadi segera setelah cedera (Donat et al., 2008; Lyeth & Hayes, 1992).Peningkatan epinefrin dan norepinefrin pada serum terjadi seiringan dengan tingkat keparahan cedera.Pada daerah sekitar tempat cedera, ditemui peningkatan serotonin dan dopamin (Kobori et al., 2011).Namun sampai sekarang bagaimana peranan agen neurokimiawi ini terhadap hasil akhirmasih menjadi pertanyaan. Beberapa hari sampai beberapa
Universitas Sumatera Utara
minggu setelah cedera terjadi peningkatan faktor neurotropic, seperti nerve growth factor (NGF) dan fibroblast growth factor (FGF). Faktor-faktor neurotropik ini diduga akan membantu pemulihan (Ziebell & Morganti – Kossmann, 2010). Autofagi merupakan proses dimana otak membuang jaringan yang mati atau rusak agar sel sehat dapat berfungsi dengan lebih efektif. Proses ini juga diduga akan membantu pemulihan (Clark et al., 2008). Meskipun demikian, proses ini dapat menyebabkan nekrosis dan apoptosis yang
akan memicu
degenerasi Wallerian dalam jumlah yang tidak diketahui (Zhou et al., 2012). Degenerasi Wallerian merupakan perluasan dari cedera kepala. Cedera yang awalnya terjadi hanya pada akson akan meluas sampai ke badan sel (Kelley et al., 2006). Proses ini sepertinya memegang peranan, baik dalam perubahan white matter yang banyak dijumpai pada cedera kepala, maupun dalam degenerasi dan reorganisasi. Proses perbaikan dan degenerasi yang berlangsung sekaligus ini menyebabkan microenvironment otak yang sangat beragam.
2. Degenerasi Axon Post Trauma Cedera kepala akan menghasilkan cedera akson, terutama akibat regangan (Meythaler et al., 2001). Berbeda dengan cedera fokal, cedera akson pada cedera kepala bersifat lebih difus.Transeksi komplit jarang terjadi, tetapi regangan menyebabkan kerusakan struktur akson, yang dapat menyebabkan disfungsi sel sampai kematian sel (McIntosh et al., 1996).
Universitas Sumatera Utara
Permeabilitas membran akson akan segera terganggu, bahkan setelah cedera kepala sedang dan ini akan disertai dengan pemadatan lokal dari neurofilamen (Pettus et al., 1994). Pada model kucing percobaan, gangguan permeabilitas lokai ini akan muncul dalam lima menit setelah trauma dan pemadatan ini bertahan setidaknya selama enam jam setelah kejadian (Pettus & Povlishock, 1996). Model trauma lain yang sering digunakan adalah regangan pada neuron in vitro. Setelah regangan, terjadi distorsi berbentuk undulasi di sepanjang akson yang terjadi akibat kerusakan mikrotubulus. Gangguan mikrotubulus ini akan menyebabkan gangguan transport akson dan akumulasi protein (Tang-Schomer et al., 2010).
3. Mekanisme Degenerasi Akson a. Konsep Mekanis Seperti apoptosis, kebanyakan bentuk degenerasi akson merupakan proses self-destructing seluler yang aktif dan melibatkan kaskade tertentu dengan keterlibatan banyak faktor (Raff et al., 2002). Meskipun demikian, pada dasarnya, apoptosis dan degenerasi akson melibatkan proses biokimia yang berbeda dan dapat terjadi secara terpisah (Whitmore et al., 2003). Beberapa bentuk degenerasi akson telah dijelaskan berdasarkan
lokasinya pada akson dan waktu
terjadinya.Penelitian yang paling banyak dilakukan adalah mengenai degenerasi sesudah trauma, baik degenerasi akut pada tempat trauma maupun degenerasi Wallerian pada bagian distal akson.
Universitas Sumatera Utara
b. Degenerasi Akson Akut Istilah degenerasi akson akut mengacu pada disintegrasi akut akson dalam beberapa jam setelah trauma susunan saraf pusat. Dalam 10-30 menit setelah trauma, akson akan relatif stabil dengan gambaran makroskopis yang normal. Meskipun demikian, pada tingkat molekuler, suatu sinyal sudah diaktivasi dengan hasil akhir berupa fragmentasi akson. Proses ini diawali dengan influks kalsium ke dalam akson dalam waktu cepat yang menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium yang transien dalam 40 detik setelah cedera. Pemberian calcium channel inhibitor pada saat ini akan menghambat peningkatan kalsium aksonal dan degenerasi akut (Knoferle et al., 2010). Influks kalsium menyebabkan aktivasi calpain yang mencapai nilai maksimal dalam 30 menit setelah cedera. Perubahan pertama struktur mikroskopis dapat dinilai dalam 30 menit pertama setelah cedera.Perubahan ini meliputi kondensasi dan perubahan alignment neurofilamen yang diikuti fragmentasi mikrotubulus (Knoferle et al., 2010). Pada kelainan SSP lain, pemadatan neurofilamen fokal dan proteolisis mikrotubulus terbukti berhubungan dengan aktivasi calpain (Veerana et al., 2004). Karena itu, aktivasi calpain pada saat awal kemungkinan besar juga berperan dalam degenerasi akson akut. Kerusakan sitoskeleton akan menyebabkan gangguan transport akson. Gambaran degenerasi akson akut lain adalah aktivasi autofagi lokal. Jumlah autophagosome pada akson akan meningkat secara signifikan dalam enam
Universitas Sumatera Utara
jam pertama setelah cedera. Inhibisi autofagi dengan obat-obatan seharusnya mengurangi degenerasi akut, namun tidak seperti setelah pemberian calcium channel blocker, pengurangan degenerasi tidak ditemui. Ini kemungkinan menggambarkan bahwa autofagi merupakan proses lanjutan influks kalsium (Knoferle et al., 2010). Meskipun pemberian obat-obatan seharusnya akan mengurangi degenerasi akson akut, efek jangka panjang dari terapi ini masih belum jelas. Karena degenerasi akut hanya terjadi pada sekitar 400 μm akson di sekitar tempat cedera, keuntungan menyelamatkan bagian ini tidak bermakna.
c. Degenerasi Wallerian Degenerasi Wallerian secara sederhana didefenisikan sebagai degenerasi akson yang terjadi distal dari tempat cedera. Setelah trauma, bentuk bagian akson yang tidak terkena degenerasi akut akan tetap normal dalam 24 sampai 72 jam pertama. Kemudian, bagian distal akson akan menjalani fragmentasi progresif yang menyerupai fragmentasi pada degenerasi akson akut (Kerschensteiner et al., 2005) yang pada akhirnya menyebabkan removal seluruh bagian distal akson. Degenerasi Wallerian berlangsung dengan kecepatan mulai 0,4 mm/jam pada penelitian in vitro (Sievers et al., 2003) sampai 24 mm/jam pada saraf sciatic tikus (Beirowski et al., 2005).Pada susunan saraf tepi, arah degenerasi Wallerian pada akson tampaknya bergantung jenis lesi. Transeksi komplit saraf menyebabkan fragmentasi anterograd mulai proksimal ke distal, sementara crush injuryakan menyebabkan fragmentasi retrograd mulai dari ujung distal akson (Beirowski et
Universitas Sumatera Utara
al., 2005). Meskipun makrofag dan glia sepertinya memegang peranan penting, mekanisme degenerasi Wallerian tampaknya bersifat intrinsik (MacDonald et al., 2006). Mekanisme molekuler yang mendasari degenerasi Wallerian belum dipahami sepenuhnya.Kemajuan pesat terjadi dengan ditemukannya tikus mutan WldS (Lunn et al., 1989). Pada tikus ini, potongan akson distal dari lesi bertahan sepuluh kali lebih lama dibandingkan akson pada binatang wild-type, dan survival badan sel tidak terganggu (Adalbert et al., 2006). Protein mutan WldS merupakan produk gen yang terdiri dari potongan faktor
poliubiquiti
UFD2a/UBE4b
dan
nicotinamide
monocleotide
adenytransferase -1 (NMNAT1; Mack et al., 2001).NMNAT1 adalah protein kunci jaras nicotinamide-adenine dinucleotide +(NAD+) pada mamalia.UBE4b adalah ubiquitin ligase tipe E4 yang dapat menambahkan rantai multiubiquitin pada jaras ubiquitin/proteasome (Hatakeyama et al., 2001).Tempat molekuler WldS yang penting adalah tempat pengingkatan ATP dan tempat pengikatan NMN+ pada NMNAT1 dan tempat pengikatan valocin-containing protein (VCP) pada UBE4b. NMNAT1 dan UBE4b yang fungsional diperlukan untuk aktivitas neuroproteksi dari WldS. Ini didukung oleh fakta bahwa ekspresi NMNAT1 saja tidak cukup untuk mencegah degenerasi akson pada neuron mammalia meskipun penurunan aktivitas NMNAT1 pada tikus WldS transgrenik menyebaban penurunan aktivitas neuroprotektif (Conforti et al., 2009). Protein WldS berada terutama pada nukleus, meskipun juga dideteksi pada aksoplasma dan organel aksoplasma (Yahata et al., 2009).Ekspresi NMNAT1
Universitas Sumatera Utara
lokal pada kompartemen akson menyebabkan efek protektif yang menyerupai tikus transgenik WldS (Babetto et al., 2010).Data ini menunjukkan bahwa aktivitas protektif SldS dimediasi oleh transport protein terus-menerus pada akson. Sesuai dengan penjelasan di atas, isoform NMNAT lain meningkatkan survival akson lokal. NMNAT2 terus menerus ditranspor dari badan sel menuju akson dengan waktu turnover yang singkat, sekitar 4 jam. Down regulation dari NMNAT2 atau inhibisi transportnya menuju akson menyebabkan degenerasi akson. Sebaliknya, overekspresi akan menghambat degenerasi (Gilley & Coleman, 2010). Efek yang sama juga terlihat pada overekspresi isoform mitokondria NMNAT3 (Yahata et al., 2009). Target isoform NMAT untuk meningkatkan survival akson masih belum jelas. Seluruh NMNAT mempunyai domain katalis sintesis NAD+ (Berger et al., 2005), meskipun data yang mendukung peranan NAD+ dalam mempertahankan survival akson tidak konsisten.Pemberian NAD+ konsentrasi tinggi pada ekstraseluler menyebabkan perlindungan akson yang cedera.Sebaliknya, berbagai usaha untuk meningkatkan konsentrasi NAD+ intrasel tidak memberikan efek pada degenerasi akson (Sasaki et al., 2009).
d. Mekanisme Molekuler Degenerasi Akson Degenerasi akson akut, degenerasi fokal akson, dan degenerasi Wallerian merupakan kumulatif dari sejumlah mekanime molekul (gambar 1).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1 Beberapa mekanisme molekul yang terlibat dalam degenerasi akson. (Lingor et al, 2012)
e. Kalsium Beberapa proses yang menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium akson pada berbagai lesi antara lain : (1) influks kalsium dari ruang ekstrasel melalui membrane yang rusak, (2) influks kalsium yang dimediasi oleh calcium
Universitas Sumatera Utara
channel dari rongga ekstrasel, dan (3) lepasan kalsium dari depot kalsium intrasel (Stirling & Stys, 2010). Cedera mekanis akson menyebabkan kerusakan kontinuitas membrane dan influks kalsum ekstrasel ke dalam sitoplasma.Sesuai percobaan Ziv dan Spira (1995) pada akson in vitro, gelombang kalsium diinduksi oleh transeksi satu cabang dendrit yang menyebar dengan cepat (dalam satuan detik) sampai percabangan dendrit. Kalsium intra akson akan menurun dengan cepat beberapa menit kemudian menuju tingkat tertentu setelah ujung akson yang cedera ditutup. Meskipun demikian, kadar kalsium intrasel bervariasi, mulai >1 mM di dekat lesi sampai beberapa ratus mikromolar distal dari lesi (Ziv & Spira, 1995). Pada penelitian in vitro, diketahui bahwa diperlukan kadar kalsium ekstra akson > 200 μM untuk menyebabkan peningkatan kalsium intra akson setelah axotomy. Kalsium juga terbukti memasuki akson melalui L-type calcium channel, bukan N type (George et al., 1995). Ruang ekstra akson bukanlah satu-satunya sumber kalsium.Depot kalsium intrasel juga memberikan kontribusi yang cukup besar pada peningkatan kalsium sitoplasimik.Misalnya, pada kerusakan iskemia di akson pada kolum dorsalis, kalsium dilepaskan melalui reseptor ryanodine oleh reticulum endoplasma (Ouardouz et al., 2003) atau mitokondria (Nikolaeva et al., 2005). Pada akson dengan myelin, reseptor ryanodine dapat diaktivasi melalui Ltype calcium channel. Baik reseptor ryanodine dan L-type calcium channel berada pada axolemma.Namun, penghambatan pelepasan kalsium intra akson, misalnya dengan nimodipine, hanya melindungi sebagian akson dari proses degenerasi. Ini
Universitas Sumatera Utara
menggambarkan kemungkinan sumber kalsium lain atau adanya suatu mekanisme lain yang tidak tergantung kalsium (Ouardouz et al., 2003). Pada proses iskemia, kebanyakan lepasan kalsium intraaksonal dimediasi oleh pompa Na+/Ca2+ yang dibuktikan pada percobaan dengan CGP37157, suatu penghambat pompa Na+/Ca2+ pada mitokondria (Nikolaeva et al., 2005). Selain itu, kalsium intrasel yang berlebihan pada neuron dapat berasal dari pompa pada membrane sel, seperti plasma-membrane calcium ATPase isoform 2. Penurunan kadar ponpa ini akan memperbaiki patologi akson pada hewan percobaan.
f. Kejadian Lanjutan Setelah Influks Kalsium Influks kalsium diikuti aktivasi calcium-dependent protease, seperti calpains, yang akan membelah dan mendegradasi protein sitoplasma. Peningkatan aktivitas calpains sudah terbukti pada diffuse axonal injury setelah trauma kepala, stroke, cedera spinal cord, dan kelainan neurodegenerative (Vosler et al., 2008). Calpains akan mendegradasi sejumlah target, seperti protein sitoskeleton, enzim, reseptor, channel, dan faktor transkripsi melalui proses proteolisis (Saatman et al., 2010). Calpains juga akan mendegradasi substrat yang penting untuk stabilitas akson. Ini akan diikuti oleh pemecahan collapsing response mediator protein-2 (CRMP-2) secara proteolotik (Touma et al., 2007). Karena CRMP-2 berikatan dengan kinesin-1 dan berpartisipasi dalam transport akson, transport akson pada akhirnya akan terganggu.
Universitas Sumatera Utara
Selain calpain, ada beberapa enzim yang tergantung kalsium yang berpartisipasi dalam degenerasi akson. Cedera akson transien akibat regangan akan menyebabkan lepasan kalsium yang pertama kali terjadi dari depot intrasel. Ini akan diikuti dengan peningkatan kadar kalsium intrasel dalam 48 jam. Dalam proses ini, penghambatan calcineurin, suatu calcium-dependent phosphataseakan menghalangi degenerasi akson sekunder (Staal et al., 2010). Calpain dan calcineurin hanyalah dua contoh dari protein tergantung kalsium yang terlibat dalam proses degenerasi lebih lanjut.
g. Cedera Mitokondria Cedera mitokondria memegang kunci penting dalam lokalisasi gangguan kontinuitas akson. Pada model cedera kepala dengan diffuse axonal injury, influks kalsium diduga dimediasi melalui pori-pori axolemma. Namun, kerusakan akson dan aktivasi calpain tidak terjadi secara simultan sekaligus pada seluruh akson.Kerusakan terjadi pada titik-titik fokal disertai akumulasi mitokondria (Kilinc et al., 2009). Akumulasi fokal mitokondria mungkin akan menyebabkan gangguan sitoskeleton fokal dan penumpukan substrat. Pada FAD, mitokondria dirusak oleh oksigen dan nitrogen reaktif yang kemungkinan besar berasal dari makrofag. Proses ini sendiri akan memacu degenerasi akson lebih lanjut (Nikic et al., 2011).
h. Agregasi
Universitas Sumatera Utara
Protein amiloidogenik, seperti alpha-synuclein, tau, dan Aβ diduga berperan menyebabkan degerasi akson pada beberapa kelainan neurodegeneratif, yaitu melalui hambatan pada mekanisme transport akson.Agregasi protein tidak terjadi pada seluruh jenis degerasi akson, tetapi dapat menyebabkan gangguan akson.Overekspresi
human
wild-type
alpha-synuclein
oleh
lentivirus
menyebabkan agregasi dan degenerasi akson SSP (Decressac et al., 2011). Agregasi protein amiloidogenik tidak dapat dianggap suatu proses yang berdiri sndiri, karena penelitian telah membuktikan peningkatan konsentrasi kalsium akan menyebabkan agregasi alpha-synuclein pada kultur sel (Nath et al., 2011). Karena itu, kita dapat mengeluarkan hipotesis bahwa lesi akson dengan influks kalsium dapat menyebabkan agregasi protein amyloid. Sebaliknya, adanya alphasynuclein sendiri akan memengaruhi degenerasi akson akibat trauma. Tikus transgrenik dengan over ekspresi human alpha-synuclein (Thy1-αSynWT)akan
memiliki agregat alpha-synuclein pada akson saraf sciatic. Hewan ini akan mengalami peningkatan degenerasi Wallerian setelah axotomy saraf sciatic. Sementara itu, degenerasi yang terjadi setelah axotomy pada tikus tanpa ekspresi alpha synuclein (C57BL/6-Ola-hsd strain by Harlan B6), degenerasi akson akan terjadi dalam kecepatan yang lebih lambat (Siebert et al., 2010). Hasil penelitian ini cukup membingungkan karena alphasynuclein
selama
ini
dianggap
sebagai
kunci
pada
kelainan
neurodegeneratif sel saraf pusat.Meskipun demikian, penelitian ini mengajukan suatu kemungkinan bahwa alpha-synuclein terlibat pada
Universitas Sumatera Utara
mekanisme kerusakan akson yang lebih luas, termasuk lesi akibat trauma. Proses yang terjadi pada kelainan neurodegeneratif kemungkinan besar merupakan suatu proses yang terpisah. Mekanisme kerja yang tepat belum dipecahkan sepenuhnya, tetapi data yang ada mengarahkan kita pada kemungkinan adanya suatu interaksi langsung dengan sitoskeleton, seperti neurofilamen, tau, dan tubulin (Kanazawa et al., 2008) serta interaksi dengan protein transport, seperti dynein dan kinesin-1 (Utton et al., 2005).
i. Transport Akson Jika kita berasumsi bahwa degenrasi akson pada trauma merupakan suatu proses mekanis, gangguan transport akson sesudah trauma merupakan suatu hal yang sangat mungkin terjadi. Karena akson memiliki hubungan yang kompleks dengan inti sel, dibutuhkan suatu transport yang efektif pada tujuan, seperti sinaps terminal atau nodes of Ranvier. Gangguan transport akson sudah terbukti terjadi pada beberapa kelainan degeneratif, seperti Parkinson, Alzheimer’s, dan Huntington (Morfini et al., 2009). Transport akson dimediasi oleh dua kelompok proten utama. Kelompok pertama
adalah
kinein.Kinein
berperan
dalam
memediasi
transport
anterograde.Sementara itu, kelompok kedua adalah dynein, yang berperan dalam transport retrograd. Tikus percobaan dengan mutasi gen KIF1Bβ, gen pengkode kinesin
menunjukkan gangguan vesikel sinaps dan kelemahan otot progresif
akibat neuropati perifer. Pada manusia, mutasi KIF1Bβ ditemukan pada penderita polineuropati herediter (Charcot-Marie-Tooth tipe 2A; Zhao et al., 2001).
Universitas Sumatera Utara
Gangguan transport akibat mutasi kinesin light chain-1 juga akan mengaktivasi stress kinase, seperti c-Jun-N terminal kinase. Ini akan menyebabkan fosforilasi yang abnormal dan agregasi tau (Falzone et al., 2009). Gangguan transport retrograd sendiri tidak memberikan efek klinis yang relevan.Missense point mutation pada dynein heavy-chain menyebabkan degenerasi motoneuron pada tikus heterozygous dan pembentukan inclusion body pada binatang homozygous (Hafezparast, 2003).Mutasi dynein juga mungkin dapat dihubungkan dengan degenerasi akson pada penyakit motoneuron (Ravikumar et al., 2005). Gangguan transport akson pada akhirnya akan menyebabkan gangguan, mulai dari distrofi akson sampai degenerasi akson. Gangguan ini potensial menjadi target terapi pada trauma dan kelainan neurodegenerative.Namun, proses yang terjadi sangat kompleks dan tidak dapat ditangani hanya dengan satu intervensi spesifik.
j. Aktivasi Kinase Kinase berperan dalam eksekusi destruksi akson. JNK dikenal sebagai protein kinase yang dipicu stress karena aktivitasya meningkat pada stress seluler akibat lingkungan, seperti osmotic stress, redox stress, atau irradiation (Weston dan Davis, 2007). Begitu diaktivasi, kinase akan mempropagasi sinyal yang memacu apoptosis sel. Cedera juga dapat mengaktivasi JNK pada akson dan menyebabkan gangguan transport akson. Activated pospho-JNK terdapat dalam jumlah banyak pada traktur kortikospinal tikus dengan cedera spinal cord. Retraksi akson dapat dihambat dengan pemberian pan-JNK inhibitor, yang
Universitas Sumatera Utara
nantinya akan memperbaiki fungsional tikus (Yoshimura et al., 2011). Sebaliknya, mutasi kinesin-light-chain 1 terjadi akibat aktivasi JNK, bersamaan dengan tau protein yang mengalami proses hiperfosforilasi pada akson yang mengalami proses distrofi (Falzone et al., 2009).
k. Autofagi dan sistem ubiquitin-proteasome Degradasi
protein
atau
organela
terjadi
dengan
berbagai
jalur
degradasi.Salah satu di antaranya adalah autofagi.Setelah kerusakan akson mekanis, dijumpai peningkatan autofagosom pada lesi yang bergantung influks kalsium (Koch et al., 2010). Autofagi juga diinduksi oleh neurit simpatis yang mengalami degenerasi, seperti setelah aksotomi. Sistem ubiquitin-proteason juga terbukti berhubungan dengan degenerasi akson. Pada binatang percobaan dengan cedera nervus optikus, inhibisi sistem ubiquitin-proteasome akan menghambat degenerasi Wallerian. Fragmenasi mikrotubuli yang terjadi segera setelah trauma dapat dikurangi dengan pemberian proteasome inhibitor MG132 (Zhai et al., 2003).
B.
Sistem Ubiquitin Proteasome (SUP) Sistem Ubiquitin Proteasome (SUP) merupakan jalur seluler utama pada
eukariotik yang mengontrol pergantian protein melalui proteasome 26 S. Banyak proses dasar sel, seperti siklus sel, transduksi sinyal, apoptosis, dan pengontrolan kualitas protein diatur oleh SUP (Cardozo dan Pagano, 2004). Induksi proses ini akan menyebabkan degradasi proteasom yang dicapai melalui suatu proses
Universitas Sumatera Utara
penandaan protein yang menjadi target dengan molekul kecil, yang dikenal dengan nama ubiquitin. Ubiquitinakan berikatan secara kovalen dengan residu lisin pada protein yang menjadi target. Proses ini dikenal dengan nama ubiquinisasi. Ubiquinisasi merupakan proses bertahap yang memerlukan aktivitas tiga kelas enzim, yaitu ubiquitin-activating enzyme (E1), ubiquitin-conjugating enzyme (E2), dan ubiquitin-protein ligase (E3) (Pickart, 2004). Ubiquitinactivating enzyme bekerja dengan bergantung ATP dengan mengikat active site enzim ini (residu cysteine) pada residu C-terminal glycine pada ubiquitin, yang pada akhirnya akan mengaktifkan ubiquitin. Ubiquitin yang sudah aktif kemudian akan ditransfer pada E2, yang relatif sedikit terdapat pada eukariot, melalui suatu reaksi esterifikasi. Akhirnya, ubiquitin ditempelkan pada residu lysine pada protein target dengan ikatan isopeptida. Langkah ini memerlukan aktifitas salah satu dari ratusan sistem E3.E3 bertindak sebagai pengenal substrat dan mampu berinteraksi baik dengan E2 maupun dengan substrat protein. (Ardley dan Robinson, 2005) Ada dua jenis domain pada Ubiquitine – protein ligase (E3). Suatu E3 hanya akan memiliki salah satu di antara keduanya. Kategori pertama memiliki domain zinc-binding RING (Really Interesting New Gene) yang memacu ubiquitinisasi dengan berikatan pada E2 dan substrat (6).Kategori kedua memiliki domain HECT (Homologous to E6-AP Carboxyl-terminus) yang berikatan langsung dengan ubiquitin, kemudian mentransfer ubiquitin tersebut pada substrat. Pada beberapa kasus, proses ubiquitinisasi berhenti sebelum proses
Universitas Sumatera Utara
selesai dengan sempurna, meninggalkan protein yang menjadi target hanya berikatan dengan satu ubiquitin. Namun, ini akan sering berlanjut melalui pengikatan molekul ubiquitin bebas lainnya pada residu lysine spesifik pada ubiquitin terakhir, membentuk suatu rantai ubiquitin. Pada cara ini, protein target akan berikatan dengan banyak ubiquitin dan beberapa protein memerlukan kerja ubiquitin-chain elongation-factor (E4) supaya proses ubiquitinisasi dapat berjalan dengan efisien (Koegi et al., 1999). Rantai ubiquitin bekerja sebagai penanda proses yang secara fungsional berbeda, tidak hanya terbatas pada degradasi proteasom. Awalnya, protein dengan banyak ubiquitin dianggap hanya memiliki target berupa proteasom 26S. Namun, saat ini diketahui bahwa proses poliubiquitinisasi dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu homopolymeric dan heteropolymeric. Pada bentuk homopolymeric, molekul ubiquitin berikatan satu sama lain menggunakan donor residu lysine yang sama. Rantai homopolymeric ubiquitin akan memanjang melalui ikatan beberapa residu lysine yang terdapat pada molekul ubiquitin, yaitu Lys48, Lys63, Lys6, Lys11, Lys29, Lys27 and Lys33. Setiap jenis ikatan ini akan menyebabkan kaskade sinyal yang spesifik. Sebagai contoh, penambahan rantai yang berikatan dengan Lys48 pada protein akan menyebabkan munculnya sinyal degradasi, sementara Lys63 akan menyebabkan sinyal perbaikan DNA, endositosis, atau transduksi sinyal. Rantai polyubiquitin heteropolymeric ditandai dengan ikatan molekul ubiquitin dengan lebih dari satu jenis pengikat (Koegi et al., 1999).Fungsi jenis ini belum diteliti secara mendalam.
Universitas Sumatera Utara
1. Enzim Deubiquitinating (DUB) Ubiquitinisasi merupakan suatu proses yang reversibel. Terdapat sekelompok enzim yang dapat melepaskan ikatan ubiquitin dengan protein yang sudah mengalami ubiquitinisasi.Kelompok enzim ini dikenal dengan enzim deubiquitinating (DUB). DUB merupakan protease yang dapat menghidrolisis ikatan isopeptida antara ubiquitin dengan substratnya melalui suatu proses yang bergantung ATP (Yao dan Cohen, 2002). Hampir mirip dengan ubiquitinisasi, proses deubiquitinisasi merupakan suatu proses yang sangat dikontrol dengan ketat dan berperan dalam regulasi siklus sel (Song dan Rape, 2008), ekspresi gen (Daniel dan Grant, 2007), degradasi protein bergantung lysosome dan proteasome (Schmidt, 2005), DNA repair (Kennedy dan D’Andrea, 2005), aktivasi kinase (Komada, 2008), dan proses seluler lainnya. DUB memegang peranan pada jalur ubiquitin. Pertama, DUB akan berperan sebagai antagonis dalam proses ubiquitinisasi dengan melepaskan ubiquitin dari protein yang sudah mengalami ubiquitinisasi pada suatu sel (Nijman, 2005). Kedua, DUB berperan dalam aktivasi proprotein ubiquitin. Pada dasarnya, ubiquitin selalu diekspresikan sebagai proprotein yang berikatan pada protein ribosomal atau diekspresikan sebagai rantai poliubiquitin linear yang harus menjalani proses hidrolisis agar membentuk molekul ubiquitin sederhana (Baker, 1987). Ketiga, DUB akan mendaur ulang ubiquitin yang sudah yang sudah memiliki ikatan ester dengan nukleophil seluler (Pickart, 1985). Keempat, DUB menghasilkan ubiquitin
Universitas Sumatera Utara
monomeric bebas dari rantai poliubiquitin yang tidak berikatan dalam sel (Piotrowski, 1997). Kelompok ini juga mencakup poliubiquitin bebas yang dihasilkan oleh enzim konjugasi yang sudah dilepaskan dari protein lain yang sudah menjalani deubiquitinisasi). Pada sel eukariot, DUB dibagi lagi menjadi lima kelompok berdasarkan struktur dan fungsinya, yaitu ubiquitin-specific protease (USP), ubiquitin Cterminal hydrolase (UCH), Otubain protease (OTU), Machado-Joseph disease protease (MUD), dan suatu kelompok metalloprotease (Nijman et al., 2005).
2. Fungsi Sistem Ubiquitin Proteasome pada Neuron SUP sudah dianggap menjadi protein kunci dalam proses modifikasi dan degradasi yang penting dalam perkembangan, pemeliharaan, dan remodeling koneksi sinaps pada otak (Kuo et al., 2006). Karena proses seluler dan fisiologi yang melibatkan ubiquitin sangat banyak, tidak mengejutkan ada banyak fungsi saraf yang sangat bergantung pada SUP yang baik. Pada sistem saraf Drosophila, SUP terlibat dalam pruning dendrit.Pruning merupakan suatu proses yang terjadi saat metamorphosis Drosophila. Saat metamorphosis, sekelompok neuron sensori larva tumbuh kembali membentuk suatu jaringan dendrit yang baru, Pada tahun 2006, sekelompok peneliti dari UCSF menunjukkan bahwa proses pruning berhubungan dengan aktivitas enzin E2/E3 yang spesifik (Kuo et al., 2006). Banyak penelitian menunjukkan bahwa UPS akan terlibat dalam pengaturan jumlah sinaps pada neuron (Hegde, 2004). Hilangnya fungsi E3 sudah
Universitas Sumatera Utara
terbukti
meningkatkan
jumlah
percabangan
sinaps
pada
neuromuscular
junction.Ukuran sinaps juga diatur oleh SUP (van Roessel, 2004). Modifikasi efikasi sinaps juga disertai dengan perubahan komposisi protein pada sinaps (Mallnow, 2003).Perubahan komposisi protein ini dapat terjadi dengan mengikutkan protein yang baru disintesis atau melalui degradasi sebagian komponen protein terebut. Proses sintesis dan degradasi ini sangat diatur oleh SUP. Lebih lanjut lagi, aktivitas yang bergantung degradasi protein diperlukan untuk plastisitas saraf pada hippocampus mammalia. Inhibisi proteasome dapat memacu long term potentiation (LTP) dan long term depression (LTD). Keduanya membentuk plastisitas sinaps pada hippocampus yang terlibat dalam pada proses belajar dan memori. Inhibisi proteasome terbukti menghambat depresi sinaps yang bergantung NMDA dan mGluR (Deng dan Lei, 2007).
3. Penyakit Neurodegeneratif dan SUP SUP berperan pada banyak kelainan sistem saraf, terutama kelainan neurodegenerative, seperti Alzheimer’s (Gong et al., 2006), Parkinson’s (Upadhya dan Hedge, 2005), Amylotrophic Lateral Sclerosis (ALS), dan Huntington’s (Rubinsztein,
2006).
Seluruh
penyakit
ini
sekarang
dianggap
sebagai
“proteinopati” sistem saraf, yang ditandai dengan akumulasi misfolded protein yang menumpuk dan tidak dapat didegradasi. Tumpukan misfolded protein ini dapat berupa plaque dan tangle (Alzheimer’s), Lewy bodies (Parkinson’s), dan plyQ inclusion bodies (Huntington’s) (Ross dan Polrier, 2004). Protein yang
Universitas Sumatera Utara
sudah menjalani proses ubiquitinisasi ditemukan pada tumpukan protein ini. Ini menggambarkan suatu kemungkinan bahwa protein ini sudah ditandai untuk proses degradasi, tetapi proses degradasi itu sendiri belum berjalan dengan efisien. Pada penderita Dementia dengan Lewy bodies dan penderita Parkinson, hanya ditemui satu sampai tiga rantai ubiquitin, sementara proses pengenalan dan degradasi yang sempurna terjadi bila ikatan ubiquitin berjumlah lebih dari empat (Anderson et al., 2006). Aktivitas proteasome menurun pada penderita Alzheimer’s dan Parkinson’s. Karena itu, disfungsi SUP kemungkinan terjadi karena peningkatan jumlah misfolded dan agregat protein serta ketidakmampuan untuk mengenali dan mendegradasinya (Dahlmann, 2007). Bagian penting pemahaman disfungsi SUP pada proses degenerasi saraf adalah identifikasi gen yang terlibat, baik secara familial maupun sporadik. Ada sepuluh lokus gen yang sudah diidentifikasi pada penderita Parkinson’s. Dua di antaranya merupakan bagian dari SUP.Pertama, gen PARK2 mengkode parkin (E2-dependent E3 ligase) (Shimura, 2000).
Mutasi PARK2 menyebabkan
terjadinya Parkinson’s pada usia muda dengan hilangnya neuron dopaminergik pada substansia Nigra tanpa adanya Lewy Bodies (van Coelln, 2004). Gen kedua adalah PARK5 yang mengkode UCH-L1, sejenis DUB yang memiliki fungsi hydrolase dan ligase (Osaka et al., 2003). Mutasi PARK5 berhubungan dengan Parkinson’s, baik familial maupun sporadik pada manusia. Karena UCH-L1 dianggap membantu mempertahankan kadarubiquitin monomer pada neuron, penumpukan protein agregrat dapat terjadi sekunder (Case dan Stein, 2006).
Universitas Sumatera Utara
4. Ubiquitin Carboxyl-Terminal Hydrolase (UCH-L1) dan Hubungannya dengan Degenerasi Saraf UCH-L1, juga dikenal dengan PGP9.5 merupakan ikatan 223 asam amino yang memegang peranan penting pada SUP. Ini termasuk ke dalam kelompok DUB. Ada lima jenis kelompok ini, yaitu UCH-L1 – UCH-L5. UCH-L1 hanya selektif ditemui pada neuron dalam jumlah banyak, sekitar 1-2% di antara seluruh soluble protein otak (Wilkinson, 1989).Awalnya, UCH-L1 dianggap hanya berperan sebagai DUB.Namun, beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa protein ini juga memegang peranan besar pada SUP. UCH-L1 diketahui akan menciptakan ubiquitin bebas monomeric, baik dari bentuk prekursor (ubiquitin polypeptide) maupun dari ubiquitin yang bergabung dengan protein ribosomal (Larsen et al., 1998). Pada penelitian in vitro, UCH-L1 juga terbukti memiliki aktifitas ubiquitin-ligase (Liu et al., 2002). Selain itu, UCH-L1 bersama dengan ubiquitin
dapat
menghambat
degradasi
lisosomal,
sehingga
dapat
mempertahankan kadarubiquitin monomeric pada neuron (Osaka et al., 2003). Banyak penelitian membuktikan hubungan antara UCH-L1 dengan kelainan neurodegeneratif, seperti Alzheimer’s dan Parkinson’s.Ini diawali dengan penemuan mutasi gen UCH-L1 pada dua saudara di keluarga Jerman yang menderita Parkinson terkait autosomal dominan (Leroy et al., 1998).Isoleusin pada posisi 93 diganti dengan methionine.Produk gen yang dihasilkan dinamai UCH-L1 193M. Hanya satu dari kedua alel UCH-L1 yang berubah pada mutasi 193M, menunjukkan bahwa ini memang suatu proses autosomal dominan.
Universitas Sumatera Utara
Namun, orang tua kedua anak tersebut tidak menderita Parkinson. Ini menggambarkan kemungkinan mutasi 193M mungkin merupakan suatu polimorfisme yang sangat jarang terjadi yang tidak berkaitan dengan suatu kelainan atau mutasi pada orang tua kedua anak itu bersifar inkomplit (Liu et al., 2002). Pada penelitian in vitro, mutasi ini menyebabkan penurunan fungsi katalis sampai 50%. Hilangnya fungsi UCH-L1 akan mengurangi ketersediaan ubiquitin bebas dan menyebabkan gangguan degradasi protein melalui SUP. Lebih lagi, tikus
transgrenik
dengan
mutasi
193M
mengalami
penurunan
neuron
dopaminergik pada substansia nigra yang signifikan (Setsuie et al., 2007). Seperti yang disebutkan sebelumnya, UCH-L1 dipercaya memiliki aktiivtas ubiquitin ligase. Pada percobaan invitro, aktivitas ligase ini bergantung pada proses dimerisasi dan berperan dalam ubiquitinisasi a-synuclein, kemungkinan dengan ikatan rantai K63. A-synuclein merupakan protein yang banyak
terdapat
pada
ujung
pre-sinaps
dan terlibat
dalam pelepasan
neurotransmiter (Kahle et al., 2000). Protein ini merupakan komponen utama dari Lewy bodies yang banyak ditemui pada penderita Parkinson. Pada tikus percobaan, UCH-L1 berada dalam vesikel pada sinaps dan terlibat dalam presipitasi a-synuclein. Ubiquitinisasi a-synuclein dengan UCH-L1 dipercaya akan menghambat degradasi proteasome, sehingga menyebabkan penumpukan dan agregasi dalam neuron dan Lewy bodies (Liu et al., 2002). Pada keadaan fisiologis, a-synuclein berbentuk monomeric, namun dalam konsentrasi tinggi, asynuclein dapat berbentuk polimer, menjadi bentuk filamen yang dapat mengalami presipitasi membentuk koleksi protein yang banyak ditemui pada
Universitas Sumatera Utara
Lewy bodies. Selain itu, ada polimorfisme UCH-L1 lain yang tampaknya mengurangi kemampuan ligase. Mutasi ini ditemui pada populasi tertentu di Asia Timur, berupa perubahan serine 18 menjadi serine.Mutasi ini dinamai UCH-L1 S18Y. Mutasi S18Y dari UCH-L1 menyebabkan penurunan kadara-synuclein yang mengalami ubiquitinisasi dan berhubungan dengan penurunan resiko terjadinya Parkinson’s. UCH-L1 juga terlibat dalam plastisitas sinaps pada tikus percobaan. Tikus transgenic percobaan ini dinamai gracile axonal dystrophy (gad), berupa tikus yang sudah mengalami delesi ekson 7 dan 8 pada gen Uch-l1. Ekspresi UCH-L1 pada susunan saraf tikus-tikus ini tidak dapat dideteksi. Tikus gad mengalami paresis motorik akibat degenerasi aksonal dari neuron spinal cord dan traktus spinoserebelar. Tikus gad ini juga menunjukkan penurunan kadarubiquitin monomeric (Gong et al., 2006).
C. Biomarker pada Cedera Kepala Aplikasi penggunaan biomarker pada cedera kepala akan sangat memberikan manfaat sebagai tambahan alat diagnosis berbagai macam cedera kepala. Sebagai contoh, pelatih pada sepak bola dapat menggunakan biomarker sebagai penentu keputusan yang objektif untuk penghentian permainan saat terjadi sport concussion. Biomarker yang tervalidasi akan merevolusi penatalaksanaan dan diagnosis cedera kepala, bahkan sekaligus dapat membantu menilai prognosis seorang penderita.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2 menggambarkan jalur mulai terbentuknya biomarker cedera kepala pada jaringan otak sampai deteksinya pada CSF dan darah.Selama cedera otak,
protein
neural terlepas
ke
lingkungan
ekstrasel,
dan
kemudian
CSF.Biomarker ini muncul dalam konsentrasi tinggi pada CSF. Protein-protein ini kemudian akan mencapai aliran darah melalui sawar darah otak yang terganggu atau melalui filtrasi CSF. Karena volume CSF manusia adalah sekitar 30-40 kali lebih sedikit dibandingkan volume darah (CSF 125-150 mL, darah 4-5 L), konsentrasi biomarker akan jauh lebih tinggi pada CSF dibandingkan darah.
Gambar 2. Terbentuknya biomarker setelah trauma dan penyebarannya pada darah (Kobeissy et al., 2008)
Sampai saat ini, kebanyakan penelitian biomarker cedera kepala berfokus pada profil protein.Namun, genom manusia diperkirakan mengandung 23.000 gen. Separuh di antaranya ada dalam jumlah sangat sedikit.Akibatnya, mendata seluruh proteasome yang ada menjadi sangat sulit. Termasuk juga dalam pendataan proteasome yang terlibat dalam
Universitas Sumatera Utara
proses cedera kepala. Sebuah review tahun 2008 oleh Kobeissy et al mencoba mendata seluruh proteasome yang kemungkinan besar terlibat dalam cedera kepala manusia (Gambar3 )
Gambar 3 Proses cedera kepala dengan protein yang potensial menjadi biomarker (Kobeissy et al, 2008)
Penanda yang ada dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok berdasarkan tempatnya diaktifkan, antara lain penanda protein,
Universitas Sumatera Utara
penanda inflamasi, metabolit, neurotransmitter, metabolit lipid, dan biomarker secondary insult (tabel 1) Tabel 1
Penanda cedera kepala (Dash et al., 2010)
Biomarker α II-Spectrin BDPs
Kegunaan Diagnosis
Sumber sampel
Meningkat pada cedera kepala, berhubungan dengan ukuran lesi dan keparahan cedera Meningkat pada cedera kepala, peningkatan C-tau berhubungan dengan perburukan hasil akhir dan peningkatan TIK
CSF, jaringan otak, serum
Kadar pada CSF berkorelasi dengan derajat koma Menurun pada peningkatan TIK Gangguan blod brain barrier mempermudah penetrasi serum, tidak berhubungan dengan volume kontusio Marker cedera secara umum
CSF
Menurun pada penderita mesial temporal lobe epilepsy. Berhubungan dengan Alzheimer’s Meningkat pada cedera kepala ringan Meningkat pada penyakit multipel Meningkat pada jaringan otak penderita cedera kepala Meningkat pada CSF, indikator trauma Prediktif untuk peningkatan ICP, penurunan MAP, penurunan CPP, dan GOS
Jaringan otak
HVA
Meningkat pada CSF
CSF
ICAM
Meningkat pada gangguan sawar darah otak Peningkatannya berhubungan dengan hasil akhir yang buruk Hasil yang meragukan. Peningkatan IL-6 berhubungan dengan hasil akhir yang membaik Meningkat pada CSF penderita cedera kepala berat Peningkatan IL-10 berhubungan dengan penurunan TNF-a dan
CSF, serum
α –Synuclean C-tau
3’,5’cAM/2’,3’cAMP Ceruloplasmin/Cu CK-BB
CRP & SAA CRMP-2
FABP F2-Isoprostane 4-HNE 5-HIAA GFAP
IL-1b IL-6
IL-8 IL-10
Jaringan otak, CSF, serum
Serum CSF, serum
Keterangan Banyak ditemui pada otak, meningkat pada kematian sel Spesifik pada SSP, memerlukan validasi lagi pada manusia, alat diagnosis yang jelek pada CKR Second messenger Waktu paruh pendek, dieliminasi dengan cepat
Serum
CSF, serum, dialisat intrakranial
Diinduksi dengan cepat. Mengindikasikan politrauma Mungkin dapat digunakan sebagai marker epilepsy post trauma Akurasi tinggi untuk cedera kepala ringan Penanda kerusakan oksidatif Marker peroksidasi lemak Marker gangguan neurotransmisi Spesifik untuk SSP. Mungkin kurang sensitif pada cedera kepala ringan Marker gangguan neurotransmisi Penanda disfungsi neurovaskuler Muncul saat terjadi jaringan parut astroglia Penanda cedera organ multipel
CSF, serum
Penanda inflamasi
CSF, serum
Penanda anti inflamasi
Serum/plasma, jaringna otak CSF, serum Jaringan otak CSF CSF, serum
CSF
Universitas Sumatera Utara
mortalitas
Biomarker IL-12p70
Kegunaan Diagnosis
Sumber Sampel
Keterangan
Meningkat pada CSF penderita CKB Berhubungan dengan keparahan cedera Penurunan Mg dalam lima hari pertama berhubungan dengan keparahan cedera Peningkatan MBP berhubungan dengan hasil akhir yang lebih jelek pada anak-anak Peningkatan pada otak tikus dalam empat jam pertama setelah trauma Meningkat pada CSF penderita CKB Meningkat pada penderita cedera kepala Gangguan neuropsikologi pada lesi intrakranial
CSF
Marker inflamasi
CSF
Marker gangguan metabolism otak
Meningkat pada penderita dalam keadaan koma dan penderita politrauma Meingkat pada penderita cedera kepala ringan
Serum
TGF-b
Meningkat pada cedera kepala, tetap meningkat selama 3 minggu
CSF
TNF-a
Meningkat pada penderita cedera kepala berat. Meningkat pada CSF, berhubungan dengan mortalitas, komplikasi, dan hasil akhir dalam 6 bulan pertama
CSF, serum
Laktat Magnesium MBP MCP-1
MIP-1a Phosphoneurofilament NSE
NE S100b
UCH-L1
Serum CSF, serum
Penanda cedera white matter
Jaringan otak
Belum diuji pada manusia
CSF
Penanda invasi sel inflamasi Perlu divalidasi manusia Penanda small cell lung cancer, neuroendocrine bladder tumor, stroke, dan neuroblastoma Penanda gangguan neurotransmisi
Serum CSF, Serum, jaringan otak
CSF, Serum
CSF
Tidak spesifik untuk cedera kepala. Dapat digunakan sebagai penanda gangguan Sawar darah otak Pertumbuhan dan diferensiasi sel, angiogenesis, fungsi imun, apoptosis Penanda inflamasi Marker yang banyak ditemukan pada otak
BBB : blood brain barrier; BDPs : proteolytic breakdown products; B-FABP : brain type-fatty acid binding proteins; C-tau : cleaved tau; Cho/Cre : choline/creatine; CK-BB : creatine kinase-BB; CPP : cerebral perfusion pressure; CRMP-2 : collapsin response mediated protein-2; CRP : C-reactive protein; FABP : fatty acid binding proteins; GCS : Glasgow coma score; GDNF : glial derived neurotrophic factor; GFAP : glial fibrillary acidic protein; GOS : Glasgow hasil akhir scale; 5HIAA : 5-hydroxy indol acetic acid; HNE : 4-Hydroxynonenal; HVA : homovanillic acid; ICAM : intercellular adhesion molecule 1; ICP : intracranial pressure; IL : interleukin; MAP : mean arterial pressure; MBP : myelin basic protein; MCP-1 : monocyte chemo-attractant protein-1; MIP : macrophage inflammatory protein; NAA : N-acetylaspartate; NE : norepinephrine; NSE : neuron-specific enolase; phospho-NFH : phosphorylated neurofilament H; TGF-b: transforming growth factor-beta; TNF-a: tumor necrosis factor-alpha; UCH-L1 : ubiquitin C-terminal hydrolas
Universitas Sumatera Utara