BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Permasalahan Pada Multiple Trauma Multiple trauma dapat didefinisikan sebagai cedera pada minimal dua sistem organ yang menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa. Secara khusus, multiple trauma adalah suatu sindrom dari cedera multiple dengan derajat keparahan yang cukup tinggi dengan injury severity score (ISS) >16 yang disertai dengan reaksi sistemik akibat trauma yang kemudian akan menimbulkan terjadinya disfungsi atau kegagalan dari organ yang letaknya jauh dan sistem organ yang vital yang tidak mengalami cedera akibat trauma secara langsung. (Trentz , 2000) Tujuan utama dari penanganan awal pasien multiple trauma adalah membuat pasien bertahan hidup. Prioritas awal adalah resusitasi untuk memastikan perfusi dan oksigenasi yang adekuat ke semua organ vital. (Rockwood, 2006) Trauma merupakan penyebab kematian dan disabilitas di seluruh dunia terutama pada usia muda. Penyebab kematian utama segera pada trauma adalah perdarahan. Sekitar 25% kasus kematian tersebut adalah adanya perdarahan yang tidak terkontrol (Thorsen dkk, 2011). Perdarahan menempati urutan kedua setelah
6
7
trauma sistem saraf pusat sebagai penyebab kematian dengan kisaran 30-40%. (Brandon dkk, 2007) Komplikasi akhir dari gangguan homeostasis tidak hanya terbatas pada kehilangan darah akut tetapi juga disfungsi multi organ akibat dari syok yang berkepanjangan. Koagulasi merupakan bagian terintegrasi dari inflamasi dan aktivasi sistem koagulasi yang nantinya menghasilkan respon inflamasi sistemik yang berakhir pada peningkatan resiko sepsis. Koagulopati juga memperburuk cidera kepala dengan meningkatkan resiko perdarahan intrakranial serta gangguan neuronal sekunder. Beberapa perdarahan pada trauma yang tidak dimengerti atau tidak ditangani dengan baik biasanya berhubungan dengan koagulopati. Adanya koagulopati pada pasien trauma akan meningkatkan resiko kematian empat kali lebih besar, perawatan di ruang intensif yang banyak, perawatan di rumah sakit yang lama dan peningkatan disfungsi organ. (Maegele dkk 2007; John dkk, 2008; Anusha dkk, 2014)
Severely injuried patients 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% Brohi, 2003 (n=1088)
McLeod, 2003 Maegele, 2007 Rugeri, 2007 (n=10790) (n=8724) (n=88)
Gambar 2.1 Insiden koagulopati akut pada trauma pada beberapa penelitian besar. (Maegele dkk, 2011)
8
Pemahaman tentang gangguan koagulasi pada pasien trauma telah berkembang sejak 5 tahun terakhir dan terus berkembang. Penjelasan klasik koagulopati yang terjadi pada trauma adalah akibat dari kehilangan faktor koagulasi, hemodilusi dan gangguan protease koagulasi. Kehilangan faktor koagulasi disebabkan oleh konsumsi, hemodilusi akibat pemberian cairan resusitasi yang agresif dan disfungsi protease yang diakibatkan oleh hipotermia, efek asidosis serta inflamasi. Hasil ini dikenal dengan “Trias Kematian” pada trauma yang meliputi hipotermia, asidosis dan koagulopati. Dengan demikian, koagulopati yang terjadi pada pasien trauma bersifat kompleks. (Brohi dkk, 2007) Mortalitas dari koagulopati akut pada trauma bisa ditekan dengan deteksi awal yang adekuat serta manajemen pasien yang lebih agresif. Oleh karena itu diperlukan assesment awal yang cepat dan protokol terapi yang terstandarisasi. (Maegele dkk, 2011) 2.2 Hemostasis Setelah Trauma Hemostasis merupakan proses kompleks untuk mencegah kehilangan darah setelah terjadinya trauma pada vaskular. Empat proses fisiologi utama yang berperan adalah : vasokonstriksi, agregasi trombosit, pembentukan fibrin dan fibrinolisis (Brandon dkk, 2007). Kerusakan pada dinding vaskular menyebabkan penurunan aliran darah, vasokonstriksi, stripping endotel, paparan kolagen dan aktivasi trombosit. Agregasi trombosit melepaskan molekul-molekul yang meliputi adenosin diphosphate, tromboxane A2 dan serotonin. Pembentukan plug trombosit diperkuat oleh adanya kolagen, endotelial, trombosit dan von
9
Willebrand factor (VWF) serta glikoprotein trombosit. Plug trombosit yang terbentuk selanjutnya diperkuat oleh protein filamentosa yang dikenal sebagai fibrin. (Sylvia, 1995; Colvin, 2004)
Gambar 2.2 Proses pembentukan plug trombosit pada sistem homeostasis. (Agamemnon , 2003) . Produksi fibrin dimulai dengan perubahan faktor X menjadi Xa, sebagai bentuk aktif faktor X. Faktor X dapat diaktifkan melalui dua rangkaian reaksi. Rangkaian yang pertama memerlukan faktor jaringan atau tromboplastin jaringan yang dilepaskan oleh endotel pembuluh darah waktu cedera. Karena faktor jaringan tidak terdapat dalam darah, maka ia merupakan faktor ekstrinsik pembekuan dan disebut jalur ekstrinsik. (Sylvia, 1995) Rangkaian lainnya yang mengaktifkan faktor X adalah jalur intrinsik, diberi nama tersebut sebab ia menggunakan faktor-faktor yang terdapat dalam
10
sistem vaskular atau plasma. Dalam rangkaian ini terdapat reaksi pengaktifan salah satu prokoagulan yang akan mengaktifkan bentuk penerusnya. Jalur intrinsik dimulai oleh keluarnya plasma atau kolagen melalui pembuluh darah yang rusak dan mengenai kulit. Faktor jaringan tidak diperlukan, tetapi trombosit yang melekat pada kolagen sekali lagi memainkan peranan. Faktor XII, XI dan IX harus diaktifkan secara berurutan dan faktor VIII harus dilibatkan sebelum faktor X dapat diaktifkan. Zat prekalikrein dan high molecular weight kininogen (HMWK) juga ikut serta dan diperlukan ion kalsium. Dari titik ini pembekuan berjalan sepanjang apa yang dinamakan jalur bersama. Pengaktifan faktor X terjadi sebagai akibat reaksi jalur intrinsik dan jalur ekstrinsik. (Sylvia, 1995) Tabel 2.1 Faktor-faktor pembekuan. (Agamemnon, 2003) I IIK III IV V VIIK VIII IXK K
X XI XII XIII -
Fibrinogen Prothrombin Tissue thromboplastin Ionized calcium (Ca2+) Proaccelerin Proconvertin Antihemophilic factor A Antihemophilic factor B; Plasma thromboplastin component (PTC); Christmas factor Stuart-Prower factor Plasma thromboplastin antecedent (PTA) Hageman factor Fibrin-stabilizing factor (FSF) Prekalikrein (PKK); Fletcher factor High-molecular-weight kininogen (HMWK); Fitzgerald factor
Half-life (h) 96 72
20 5 12 24 30 48 50 250
Langkah berikutnya yang menuju ke pembentukan fibrin berlangsung bila faktor Xa dibantu oleh fosfolipid dari trombosit yang sudah diaktifkan memecah protrombin membentuk trombin. Selanjutnya trombin memecahkan fibrinogen
11
membentuk fibrin. Fibrin ini yang mula-mula merupakan jeli yang dapat larut distabilkan oleh faktor XIIIa dan mengalami polimerasi menjadi jalinan fibrin yang kuat dan menjerat sel-sel darah. Untaian fibrin kemudian memendek membentuk retraksi, mendekatkan tepi-tepi pembuluh darah yang cedera dan menutup daerah tersebut. (Sylvia, 1995)
Gambar 2.3 Sistem homeostasis. (Agamemnon, 2003) 2.3 Mekanisme Koagulopati Pada Trauma Koagulopati adalah kerusakan atau gangguan pada sistem koagulasi yang menyebabkan peningkatan bleeding time (BT) atau peningkatan waktu pembekuan darah. Banyak tes yang memberikan informasi tentang status koagulasi seperti jumlah trombosit, prothrombin time (PT), international normalized ratio (INR), activated partial thromboplastin time (aPTT), d-dimer,
12
dan kadar fibrinogen. Pada kondisi trauma, setiap pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk mengidentifikasi adanya koagulopati membutuhkan waktu sedangkan perdarahan masih terus berlanjut. Ketika hasil laboratorium keluar, pasien mungkin sudah dalam keadaan hipotermia, asidosis dan koagulopati yang irreversibel. Dengan demikian diperlukan parameter tes yang cepat yang dapat memberikan point penting untuk penanganan pasien-pasien trauma yang memiliki resiko terjadinya koagulopati. (Thorsen dkk, 2011; Levy dkk, 2009) Koagulopati yang terjadi setelah trauma merupakan gangguan sistem homeostasis yang disebabkan oleh banyak faktor. Disfungsi pembentukan fibrin, trombosit, endotel vaskular, inhibisi pembentukan clot dan proses fibrinolitik berperan dalam hal ini. Mekanisme ini tergantung dari beratnya trauma, derajat gangguan fisiologi sistemik dan efek dari terapi. Ada 6 faktor yang menyebabkan terjadinya koagulopati pada trauma yaitu : trauma jaringan, syok, hemodilusi, hipotermia, asidosis dan inflamasi. (John dkk, 2008; Virginia dkk, 2000)
Gambar 2.4 Mekanisme koagulopati pada trauma. (Maegele dkk, 2011)
13
Diagram diatas menunjukkan mekanisme yang menyebabkan terjadinya koagulopati pada trauma. Trauma menyebabkan adanya perdarahan sehingga membutuhkan resusitasi. Resusitasi menyebabkan terjadinya hemodilusi dan hipotermia sehingga terjadi koagulopati dan kembali menyebabkan perdarahan. Syok yang terjadi akibat perdarahan menyebabkan terjadinya asidosis dan hipotermia yang merangsang koagulopati dan kembali lagi terjadi perdarahan dan hal ini dikenal dengan trias kematian pada trauma. Trauma dan syok berhubungan dengan konsumsi faktor-faktor koagulasi dan fibrinolisis yang berakhir pada koagulopati. Selain itu, koagulopati yang terjadi pada trauma dipengaruhi oleh inflamasi, genetik, medikasi dan penyakit lain. (John dkk, 2008; Esmon, 2005) 2.3.1 Trauma jaringan Trauma jaringan berhubungan dengan besarnya jaringan yang mengalami kerusakan. Trauma tumpul atau crush injury memiliki kerusakan jaringan yang lebih besar daripada trauma penetrasi akibat benda tajam. Secara klinis beratnya trauma berhubungan erat dengan derajat koagulopati. Seperti pada crush injury, kerusakan jaringan yang hebat akan menyebabkan pemakaian faktor-faktor pembekuan yang berlebihan sehingga terjadi koagulopati komsumtif. (John dkk, 2008) Kerusakan jaringan memicu koagulasi karena kerusakan endotel pada daerah trauma menyebabkan paparan dari kolagen tipe III subendotelial dan faktor jaringan yang mengikat faktor von Willebrand, trombosit dan aktivasi faktor VII untuk memulai pembentukan clot dan pelepasan trombin. Endotel yang
14
mengalami kerusakan juga melepaskan tisssue plasminogen activator (tPA) akibat adanya trombin dan iskemia sehingga akan terjadi proses fibrinolisis yang berlebihan. (John dkk, 2008; Anusha dkk, 2014) Trauma pada organ spesifik berhubungan dengan terjadinya koagulopati. Cedera kepala berat sering berhubungan dengan peningkatan kejadian perdarahan. Pada cedera kepala terjadi pelepasan tromboplastin dan fosfolipid ke dalam sirkulasi yang menyebabkan terjadinya inflamasi dan hiperfibrinolisis. Fraktur tulang panjang juga berhubungan dengan terjadinya koagulopati pada multi trauma. Koagulopati yang terjadi pada fraktur tulang panjang multipel disebabkan karena kerusakan jaringan, syok dan inflamasi. (John dkk, 2008) 2.3.2 Syok Dalam keadaan normal terjadi keseimbangan antara jalur prokoagulan dan antikoagulan dalam membentuk clot pada daerah trauma. Sekresi trombomodulin oleh kompleks endotelial dengan trombin dan aktivasi protein C menyebabkan inaktivasi faktor V dan faktor VIII yang irreversibel sehingga terjadi gangguan proses prokoagulan. Pada kondisi hipoperfusi terjadi pelepasan trombomodulin yang berlebihan oleh endotel, mengikat trombin sehingga terjadi aktivasi protein C yang merangsang jalur fibrinolitik. Brohi dan kawan-kawan meneliti bahwa pada 208 pasien trauma yang mengalami hipoperfusi (Base defisit >6) berhubungan dengan koagulopati dinilai dari activated partial trombin time (aPTT) atau protrombin time (PT) dengan nilai > 1,5 kali dari normal. Pada pasien ini didapatkan peningkatan kadar kompleks trombomodulin-trombin dan
15
penurunan kadar protein C yang menandakan adanya pemakaian protein C yang berlebihan. Jumlah trombosit dan kadar fibrinogen normal karena trombin tidak bekerja untuk memecah fibronogen dan pemakaian trombosit. Brohi dan kawankawan menyimpulkan bahwa aktivitas protein C merupakan penyebab terjadinya koagulopati akut pada trauma. (Anusha dkk, 2014; Tieu dkk, 2007; Binette dkk, 2007)
Gambar 2.5 Gambaran kompleks trombin-trombomodulin dan protein C pada koagulopati. (Thorsen dkk, 2011) Pada syok terjadi hipoperfusi jaringan yang merangsang terjadinya asidosis. Asidosis yang terjadi menyebabkan gangguan yang signifikan pada aktifitas protease pada proses koagulasi. Dengan demikian, syok dan hipoperfusi jaringan berperan sebagai proses antikoagulan dan hiperfibrinolisis. (John dkk, 2008) 2.3.3 Hemodilusi Hemodilusi faktor-faktor koagulasi merupakan penyebab mayor terjadinya koagulopati pada trauma secara klinis. Pada syok terjadi penurunan tekanan
16
hidrostatik intravaskular yang merangsang penarikan cairan dari intraseluler ke interstisial kemudian ke dalam plasma. Selain itu, pemberian resusitasi cairan yang agresif juga menyebabkan dilusi dari faktor-faktor pembekuan. Pemberian transfusi packed red blood cell (PRC) juga menyebabkan dilusi dari faktor-faktor pembekuan dan penurunan aktifitas koagulasi. Secara matematika, pemberian transfusi darah harus berdasarkan rasio 1:1:1 (PRC : plasma : trombosit) untuk mencegah terjadinya dilusi. Idealnya transfusi yang diberikan adalah whole blood (WB). Banyak penelitian yang mendukung konsep ini. (John dkk, 2008; Brummel dkk, 2006; Coats dkk, 2006; Hirshberg dkk, 2003) 2.3.4 Hipotermia Hipotermia merupakan kondisi dimana suhu tubuh inti dibawah 350C. Kondisi hipotermi menyebabkan gangguan pada proses fisiologi normal. Helm dan kawan-kawan mengatakan bahwa satu dari dua pasien trauma yang datang di ruang gawat darurat dalam keadaan hipotermia dan luna dan kawan-kawan menyatakan 2/3 pasien yang datang di trauma centre dalam keadaan terintubasi memiliki suhu tubuh inti kurang dari 360C. (Eldar dan Charles, 2004) Hipotermia berhubungan erat dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas pada pasien trauma. Perdarahan dengan hipoperfusi jaringan menyebabkan gangguan proses termoregulasi dan berakhir dengan hipotermia. Beberapa faktor lain yang menyebabkan hipotermia pada trauma adalah paparan lingkungan, dan pemberian cairan intravena yang masif dan dingin. Pasien yang menjalani operasi emergensi memiliki resiko terjadi hipotermia akibat
17
penggunaan cairan yang tidak dihangatkan dan ruang operasi yang dingin. (Eldar dan Charles,2004) Pada trauma, berat ringannya hipotermia dibagi menjadi tiga, yaitu: hipotermia ringan (34-360C), hipotermia sedang (32-340C), dan hipotermia berat (< 320C). Efek samping terjadinya hipotermia adalah gangguan fungsi kardiovaskular,
gangguan
koagulasi,
penurunan
metabolisme
obat,
dan
meningkatnya resiko infeksi. Penurunan suhu tubuh inti selama evaluasi awal dan resusitasi sering terjadi dan dapat menyebabkan akhir yang buruk pada pasien trauma. (Eldar dan Charles, 2004) Hipotermia menghambat aktivitas protease dan fungsi trombosit. Aktivitas kompleks faktor jaringan menurun seiring dengan penurunan suhu tubuh dan 50% tidak bekerja pada suhu 28oC. Fungsi platelet lebih sensitif terhadap hipotermia dimana aktivitasnya menurun pada kondisi ini. Hal ini disebabkan karena terjadi penurunan efek traksi faktor von Willebrand pada glikoprotein IX. Aktivitas enzim menurun sebesar 10% setiap penurunan 1oC suhu tubuh. (Brandon dkk, 2007; John dkk, 2008) 2.3.5 Asidosis Asidosis sering terjadi pada trauma, terutama disebabkan oleh syok dan kelebihan ion klorida pada resusitasi. Asidosis metabolik adalah yang paling sering terjadi pada kasus trauma. efek utama asidosis pada kagulopati adalah hambatan terhadap aktivitas kompleks enzim pada permukaan lipid. Meng dan kawan-kawan menyebutkan bahwa ketika pH turun dari 7,4 menjadi 7,0, aktivitas
18
faktor VIIa menurun sebesar 90%, faktor jaringan sebesar 55% dan rata-rata aktivasi protrombin oleh faktor Xa/faktor Va kompleks menurun sebesar 70%. Aktivitas faktor koagulasi kompleks ini tergantung dari interaksinya dengan fosfolipid pada permukaan trombosit yang teraktivasi dan sangat dipengaruhi oleh ion hidrogen. Penelitian pada babi yang dilakukan Martini dan kawan-kawan menunjukkan asidosis (pH 7,1) dan jika dikombinasi dengan hipotermia (T 32oC) meningkatkan waktu perdarahan lien sebesar 41-72%. Trombin memegang peranan penting terhadap aktivasi kofaktor, trombosit dan enzim serta memecah fibrinogen menjadi fibrin. Asidosis merupakan penghambat yang sangat besar pada aktivitas trombin apalagi jika dikombinasi dengan hipotermia. (Brandon dkk, 2007)
Gambar 2.6 Penurunan aktifitas kompleks faktor koagulasi plasma jika pH turun dari 7,4 menjadi 7,0. (Maegele dkk, 2012) Ketika hantaran nutrisi dan oksigen tidak adekuat pada syok, terjadi pergeseran metabolisme sel menjadi metabolisme anaerobik. Ketika metabolisme menjadi anaerob, pembentukan energi menyebabkan akumulasi ion hidrogen,
19
laktat dan piruvat yang bersifat toksik pada fisiologi normal. Asidosis merupakan hasil akhir dari kompensasi fisiologis pada syok. (Kenneth, 2003) Resusitasi dengan cairan kristaloid juga dapat menyebabkan perburukan dari asidosis. Berdasarkan model Stewart keseimbangan asam basa, pemberian cairan sodium klorida menyebabkan penurunan pada strong ion difference (SID) (Na + K + Ca + Mg - Cl - Laktat). Penurunan SID menyebabkan disosiasi ion H+ dari H2O untuk menjaga kestabilan sehingga terjadi penurunan pH. (Brandon dkk, 2007) 2.3.6 Inflamasi Trauma merupakan pemicu inflamasi
yang besar dan
systemic
inflammatory response syndrome (SIRS) sering terjadi setelah trauma. Aktivasi endotel dan kerusakan jaringan memicu respon sistem imun baik seluler maupun humoral. Terdapat hubungan yang signifikan antara koagulopati dengan sistem inflamasi. Aktivasi protease koagulasi dapat merangsang inflamasi melalui reseptor transmembran pada permukaan sel dan mengaktifkan sistem komplemen. Degranulasi trombosit juga melepaskan mediator lisofosfolipid yang potensial pada respon imun melalui aktivasi neutrofil dan endotelium. Efek balik dari inflamasi ini terjadi kekacauan pada sistem koagulasi. Monosit mengekspresikan faktor jaringan dan dapat melekat pada trombosit di sekitar jaringan yang mengalami trauma. Aktivasi endotelial pada jalur trombomodulin-protein C dan pengikatan kompetisi protein pengikat C4b pada protein S bisa mengganggu jalur antikoagulan. (John dkk, 2008; Rigby dkk, 2004; Esmon, 2002)
20
Pada keadaan klinis, pasien trauma akan mengalami koagulopati pada tahap awal sehingga terjadi resiko perdarahan kemudian berubah menjadi kondisi hiperkoagulasi yang meningkatkan resiko terjadinya trombosis. Fase protrombotik yang terlambat ini mirip dengan koagulopati pada sepsis berat dan deplesi protein C. Pasien trauma mempunyai resiko yang besar untuk terjadinya sepsis daripada rata-rata pasien kritis lainnya dan koagulopati yang terjadi pada pasien trauma dengan sepsis disebabkan oleh adanya fase protrombotik. Hal ini potensial menjadi kegagalan fungsi organ multipel. (John dkk, 2008; Knudson dkk, 1992) 2.4 Deteksi Dini Koagulopati Pada Trauma Dasar untuk manajemen yang adekuat pada perdarahan atau gangguan koagulasi pada fase akut suatu trauma adalah penegakan diagnosis yang cepat tentang adanya masalah koagulopati tersebut. Pemeriksaan laboratorium seperti PT, INR, aPTT, fibrinogen dan trombosit rutin dilakukan. Permasalahan yang dihadapi adalah waktu yang dibutuhkan untuk pemeriksaan laboratorium ini sekitar 30-40 menit semenjak pasien datang di rumah sakit sedangkan pasien datang dalam kondisi syok. Jumlah perdarahan dapat diperkirakan dari mekanisme trauma, status fisiologi, kerusakan anatomis dan respon pasien terhadap pemberian cairan resusitasi. (Maegele dkk, 2011; Rossaint dkk, 2010) Pada penelitian retrospektif, identifikasi adanya koagulopati pada pasien trauma menggunakan berbagai macam variasi standar PT dan aPTT untuk diagnosis. Kebanyakan pasien menunjukkan nilai PT yang abnormal tetapi aPTT lebih spesifik untuk prediksi hasil akhir. Pada penelitian di Miami, 28% pasien
21
memiliki PT abnormal dan 8% aPTT abnormal. Rasio kematian 4,26 pada aPTT abnormal berbanding 1,54 pada PT abnormal. Pada penelitian ini aPTT memiliki korelasi yang lebih baik terhadap kadar protein C yang rendah dibandingkan dengan PT. (Brohi dkk, 2007) Pemeriksaan clotting time untuk diagnosis koagulopati akut memiliki beberapa permasalahan. Tetapi yang terpenting adalah pemeriksaan ini memberikan gambaran pembentukan bekuan darah pada 20-60 detik pertama meskipun pemeriksaan ini tidak selesai dalam 15-30 menit. pemeriksaan ini tidak dapat menilai koalitas bekuan, aktivitas fibrinolitik, dan fungsi trombosit. Selain itu, pemeriksaan clotting time tidak dapat menjelaskan letak gangguan pada sistem koagulasi. Analisa laboratorium PT dan aPTT membutuhkan waktu 20-60 menit pada kebanyakan trauma centre. Pemeriksaan PT dan aPTT akurat pada pasien trauma meskipun sumber perdarahan belum diketahui secara pasti. (Brohi dkk, 2007) Koagulopati akut pada trauma didefinisikan sebagai nilai INR > 1,2. Pada trauma, nilai INR >1,2 menunjukkan suatu keadaan klinis yang berhubungan erat dengan resiko yang signifikan terjadinya kematian dan kebutuhan transfusi. (Davenport, 2011; Verma dan Kole, 2014; Hagemo dkk, 2015) Tromboelastometri telah digunakan pada praktek klinis sejak beberapa tahun terakhir tetapi hanya beberapa tempat saja yang memiliki alat ini dan secara rutin digunakan pada ruang emergensi. Penelitian reported on rotational thromboelastometry (RoTEM) digunakan untuk menemukan adanya koagulopati
22
akut pada trauma. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan RoTEM dengan pemeriksaan standar koagulopati pada pasien trauma pada 6, 12 dan 24 jam pertama. Penelitian ini menunjukkan bahwa tromboelastometri bisa digunakan pada trauma tahap awal tetapi untuk menentukan karakteristik koagulopati akut tersebut masih sulit. (Brohi dkk, 2007; Rugeri dkk, 2007) Sistem prediksi dengan menggunakan scoring sangat penting untuk identifikasi awal resiko perdarahan dan koagulopati. Penelitian yang dilakukan Ladislav dan kawan-kawan menyebutkan bahwa koagulopati terjadi pada 98% pasien dengan injury severity score (ISS) > 25, pH 7,1, core temperatur < 34oC atau tekanan darah sistolik < 70 mmHg. Beberapa penelitian tentang koagulopati akut pada trauma menyebutkan definisi koagulopati, persentase koagulopati, ISS, dan mortalitas akibat koagulopati seperti yang dijelaskan pada tabel dibawah ini dapat digunakan sebagai prediktor adanya koagulopati pada trauma. (Brohi dkk, 2007; Mica dkk, 2013) Tabel 2.2 Ringkasan penelitian tentang koagulopati akut pada trauma. (Brohi dkk, 2007) Review
Definition of coagulopathy
Number of Percentage with ISS Mortality Mortality patients coagulopathy normal coagulopathy Brohi, 2003 PT>18s or PTT>60s 1088 24% 20a 11% 46% MacLeod, 2003 PT>14s or PTT>35s 10790 28% 9a 6% 19% Maegele, 2007 Quick test <70% 8724 34% 24b 8% 28% Brohi, 2007 PT>18s or PTT>60s 208 10% 17a 8% 62% Rugeri, 2007 INR>1,6 or PTT>60s 88 28% 22b n/a n/a INR, International Normalized Ratio; ISS, Injury Severity Score; PT, prothrombin time; PTT, partial thromboplastin time. a Median b Mean
Pada tabel 2.2 dijelaskan bahwa resiko terjadinya koagulopati akut pada trauma bervariasi pada setiap penelitian. Banyak penelitian lain yang memberikan
23
hasil yang sama meskipun definisi koagulopati mereka berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan MacLeod dan kawan-kawan menemukan adanya koagulopati pada 28% pasien saat datang. Maegele dan kawan-kawan pada penelitian retrospektif menyebutkan 34% pasien mengalami koagulopati saat datang akibat trauma tumpul. Hal ini menunjukkan bahwa satu dari tiga pasien trauma yang datang mengalami koagulopati. (Brohi dkk, 2007; Anusha dkk, 2014) 2.5 Sistem Skoring Pada Trauma Beberapa sistem skoring trauma dikembangkan dan digunakan di banyak negara untuk memperkirakan beratnya trauma dan kerusakan jaringan. Sistem skoring pada trauma harus memiliki akurasi, reliabilitas dan spesifisitas yang baik. sistem skoring ini memberikan keuntungan berupa : 1. Penilaian obyektif untuk mendeteksi level trauma sehingga kita dapat memperkirakan rencana perawatan yang dibutuhkan. 2. Memberikan data fisiologi yang berhubungan dengan mortalitas pada fase awal. 3. Menentukan transportasi pasien menuju rumah sakit yang tepat. 4. Pasien yang memiliki keuntungan yang besar terhadap terapi dapat dideteksi lebih awal. 5. Menentukan sarana kesehatan yang dibutuhkan pada daerah tersebut. 6. Memberikan data-data epidemiologi trauma. 7. Menilai efektifitas penanganan trauma pada pusat kesehatan. (Chawda dkk, 2003; Orhon dkk, 2014)
24
Sistem skoring trauma mengkonversikan beratnya trauma menjadi hitungan angka sehingga membantu tenaga medis untuk mengkomunikasikan secara universal. (Chawda dkk, 2003) Sistem skoring pada trauma dibagi menjadi tiga kategori yaitu berdasarkan anatomi, fisiologi dan kombinasi anatomi dan fisiologi . Sedangkan berdasarkan tujuannya, sistem skoring trauma yang sering digunakan dapat dilihat pada tabel dibawah. (Chawda dkk, 2003) Tabel 2.3 Macam-macam sistem skoring trauma. (Chawda dkk, 2003) Type of scoring system Physiological
Anatomical
Combined anatomical and physiological
Name of score Prognostic Index Acute Trauma Index Triage Index Trauma Score (TS) APACHE I APACHE II Revised Trauma Score (RTS) APACHE III AIS ISS Anatomical Index Anatomical Profile New ISS (NISS) Trauma Index Polytrauma-Schussel Trauma ISS (TRISS) A Severity Characterisation Of Trauma (ASCOT) International Classification of Disease-based ISS (ICISS) Harborview Assesment of Risk of Mortality (HARM)
Revised Trauma Score (RTS) diperkenalkan pertama kali pada tahun 1980 dan merupakan skor fisiologi yang paling sering digunakan. Skor ini menghitung tiga parameter fisiologi yaitu Glasgow Coma Scale (GCS), tekanan darah sistemik dan respirasi. Kelemahannya, skor ini tidak praktis digunakan pada kasus trauma sehingga jarang digunakan. Selain itu RTS tidak dapat digunakan pada pasien-
25
pasien dalam kondisi terintubasi dan menggunakan ventilator karena kesulitan dalam menghitung GCS. Perubahan yang cepat pada fisiologi pasien misalnya akibat respon resusitasi menyebabkan bias pada penghitungan RTS. (Chawda dkk, 2003) Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) sangat luas digunakan dalam perawatan intensif. Evaluasi ini meliputi evaluasi penyakit kronis yang menjadi komorbiditas dan skor fisiologi akut. Skor ini jarang dipakai pada trauma karena kurang mencerminkan kondisi kelainan di ekstrakranial dan faktor komorbiditas banyak menimbulkan bias. (Chawda dkk, 2003) Tabel 2.4 Sistem skoring trauma berdasarkan penggunaannya. (Chawda dkk, 2003) Common use of the score Injury description: whole body
Injury description: body region
Clinical course assesment
On scene and triage
In hospital Outcome Prediction-mortality
Example AIS Anatomical Index Anatomical Profile ISS Organ Injury Scaling I-IV and revisions (abdominal and pelvic organ) Penetrating Abdominal Trauma Index (PATI) Wagner (lung contusion, CT based) Tybursky (lung contusion, CT Independent) Thoracic Trauma Severity Score (TSS) Mangled Extremity Scale (MES) APACHE I (historical) APACHE II (most popular) APACHE III (computational complexities) Triage Index AIS ISS Prehospital Index (PHI) Revised Trauma Score-uncoded (RTS) Revised Trauma Score-coded (RTSc) Acute Trauma Index ISS Polytrauma-Schussel (PTS) Trauma ISS (TRISS) A Severity Characterisation Of Trauma (ASCOT) International Classification of Disease-based ISS (ICISS) New ISS (NISS) Harborview Assesment of Risk of Mortality (HARM)
26
Abbreviated Injury Scale (AIS) pertama kali dipublikasikan pada tahun 1971. AIS memberikan deskripsi trauma organ berdasarkan beratnya trauma pada organ tersebut dan tidak memberikan prediksi atau outcome. AIS merupakan dasar dari ISS. Terdapat beberapa kali revisi dari AIS sejak pertama kali dipublikasikan. AIS-71 hanya untuk trauma tumpul, AIS-85 meliputi trauma penetrating dan AIS-90 mendeskripsikan lebih dari 1300 jenis trauma dan memberikan dasar dari banyak sistem skoring trauma. (Greenspan dan Greig, 1985; Champion dkk, 1989; Copes dkk, 1990; Chawda dkk, 2003) Skala trauma pada AIS dari 1 sampai 6. Setiap organ yang mengalami trauma memiliki derajat AIS. (Ian D dkk, 1988; Chawda dkk, 2003) Tabel 2.5 Abbreviated Injury Scale (AIS). (Chawda dkk, 2003) Injury 1 2 3 4 5 6
AIS Minor Moderate Serious Severe Critical Unsurvivable
ISS merupakan sistem skoring secara anatomi yang memberikan skor keseluruhan pada kasus multiple trauma. Setiap trauma organ memiliki skor AIS yang dibagi menjadi enam bagian tubuh yaitu kepala, wajah, dada, abdomen, ekstremitas dan struktur eksternal. Hanya skor AIS tertinggi yang digunakan pada setiap bagian tubuh. Skor AIS tiga bagian tubuh yang mengalami trauma terberat dikuadratkan dan dijumlahkan sehingga menghasilkan ISS. ISS memiliki nilai dari 1 sampai 75 dan ISS dengan nilai 75 merupakan pasien dengan AIS 6. Pasien
27
dengan multiple trauma didefinisikan sebagai pasien dengan ISS ≥16 dan pasien seperti ini harus dirawat pada trauma centre. Contoh perhitungan ISS dapat dilihat pada tabel dibawah ini. (Baker dkk, 1974; Copes dkk, 1988; Chawda dkk, 2003) Tabel 2.6 Contoh penghitungan ISS. (Chawda dkk, 2003) Region Head and neck Face Chest Abdomen Extremity External
Injury description AIS Cerebral contusion 3 No injury 0 Flail chest 4 Minor contusion of liver 2 Complex rupture spleen 5 Fracture femur 3 No injury 0 Injury Severity Score
Square top three 9 16 25
50
Kelemahan dari ISS adalah perhitungan skor berdasarkan tiga bagian tubuh yang mengalami trauma terberat. Hal ini dapat menimbulkan underscooring jika pada satu bagian tubuh terdapat lebih dari satu organ yang mengalami trauma. (Balogh dkk, 2000; Chawda dkk, 2003) Karena kelemahan dari ISS, Osler dan kawan-kawan mengembangkan New ISS (NISS) yang merupakan modifikasi dari ISS. NISS menghitung jumlah dari kuadrat AIS tiga organ terberat tanpa memperhitungkan bagian tubuh. Penelitian menunjukkan bahwa NISS lebih akurat daripada ISS sebagai prediktor mortalitas pada trauma khususnya pada kasus trauma penetrasi. NISS memiliki akurasi yang lebih tinggi daripada ISS dalam menilai beratnya trauma jaringan sebagai prediktor adanya kegagalan multi organ pada post trauma. (Chawda dkk, 2003)
28
Trauma and Injury Severity Score (TRISS) merupakan kombinasi dari skor fisiologi dan skor anatomi yaitu ISS dan RTS. TRISS biasanya digunakan untuk prediksi hasil akhir dari pasien terutama angka kemungkinan bertahan hidup. Kelemahan dari sistem skoring pada ISS dan RTS menjadi kelemahan juga pada sistem skoring ini. (Boyd dkk, 1987; Chawda dkk, 2003)