BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Sirih (Piper betle L.) Sirih memiliki nama latin Piper betle L. dikenal dengan beberapa nama daerah yaitu burangir, napuran (Batak); siriah (Minang); buya, ayap (Dayak); suereuh (Sunda); base, sedah (Bali); sedah, suruh (Jawa); kuta kowa (Sumba); papek, ruange (Sulawesi Utara); ain kamu, amu (Seram); gies, bido (Halmahera); dan kenaan, bido (Irian Jaya) (Depkes RI, 1980). Adapun klasifikasi dari tanaman ini adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliphyta
Kelas
: Magnolipsida
Orde
: Piperales
Famili
: Piperaceae
Genus
: Piper
Spesies
: Piper betle L. (Pradhan et al., 2013)
2.1.1 Deskripsi Tanaman Sirih (Piper betle L.) merupakan tanaman herbal, yang memanjang dengan tinggi tanaman dapat mencapai 15 m. Sirih dapat tumbuh subur di daerah tropis dengan ketinggian 300-1000 meter diatas permukaan laut terutama di daerah yang banyak mengandung bahan organik dan cukup air. Batang tanaman berwarna
5
6
coklat kehijauan, berbentuk bulat dan lunak, berkerut, beruas-ruas yang merupakan tempat keluarnya akar (Moelijanto dan Mulyono, 2003). Daun sirih berupa helaian daun berbentuk bulat telur sampai lonjong, ujung runcing, pangkal berbentuk jantung atau agak bulat, sedikit berlekuk, tepi daun rata agak menggulung ke bawah, panjang 5-18 cm, lebar 3-12 cm, warna daun hijau kecoklatan hingga coklat, permukaan bawah agak kasar, berwarna lebih muda dari permukaan atas. Permukaan daun bagian atas agak tenggelam dan permukaan daun bagian bawah menonjol, tangkai daun bulat, panjang 1,5-3 cm, bau khas, rasa pedas (Kemenkes RI, 2010). Faktor- faktor ekologi yang mepengaruhi pertumbuhan tanaman sirih diantaranya adalah iklim, tinggi tempat tumbuh, dan jenis tanah. Faktor- faktor ini akan mempengaruhi jumlah helaian daun yang dihasilkan per tanaman per waktu, warna, rasa, dan aroma daun (Januwati dan Rosita, 1992). Gambar dari tanaman sirih (Piper betle L.) dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Tanaman Sirih (Piper betle L.) (Dwivedi and Shalini, 2014)
7
2.1.2 Ketinggian tempat tumbuh Ketinggian tempat tumbuh merupakan kondisi lingkungan yang di dalamnya dapat mencakup keragaman kondisi yang dapat membatasi ataupun mendukung pertumbuhan tanaman (Duryat, 2008). Ketinggian dapat menjadi salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi kondisi suatu tumbuhan, baik dari segi morfologi maupun fisiologi. Ketinggian tempat tumbuh termasuk faktor fisiografis, yang merupakan pengaruh lingkungan yang berhubungan dengan bentuk dan struktur dari permukaan tanah. Elevasi tanah berpengaruh terhadap keadaan lingkungan tempat tumbuh tanaman, terutama suhu, kelembaban, kadar oksigen di udara, intensitas cahaya, dan keadaan tanahnya yang akan mempengaruhi metabolisme tumbuhan. Ketinggian tempat memiliki korelasi positif dengan kelembaban udara. Tingkat ketinggian tempat yang semakin tinggi menyebabkan kelembaban udara juga semakin tinggi (Daryono, 2002). Menurut Semadi (2006), ketinggian tempat tumbuh diklasifikasikan oleh Junghuhn berdasarkan kesesuaian kehidupan tanaman yakni: a. Zona iklim panas/tropis, ketinggian tempat antara 0 – 700 m dari permukaan laut dengan suhu udara 26,3° – 22°C. b. Zona iklim sedang, ketinggian tempat 700 – 1500 m dari permukaan laut dengan suhu udara 22° -17,1°C. c. Zona iklim sejuk, ketinggian tempat 1500 – 2500 m dari permukaan laut dengan suhu udara 17,1° – 11,1°C. d.
Zona iklim dingin, ketinggian tempat lebih dari 2500 m dari permukaan laut dengan suhu udara 11,1° – 6,2°C.
8
Tanaman sirih akan tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian tempat berkisar antara 200-1000 mdpl (Depkes RI, 1980). Namun tanaman ini dapat pula dikembangkan di daerah dengan ketinggian 50 mdpl bahkan kurang, hanya tanah tempat tumbuh perlu perbaikan komposisi media tumbuh agar dapat menahan air lebih baik. Disamping itu, dilakukan penyiraman secara teratur sehingga tanaman tidak kekurangan air. Pada keadaan kekeringan tanaman sirih akan menunjukan gejala daun mengering sampai pertumbuhan tanaman akan terhenti sama sekali (Januwati dan Rosita, 1992). 2.1.3 Kandungan Kimia Kandungan kimia utama yang memberikan ciri khas daun sirih adalah minyak atsiri. Komposisi minyak atsiri terdiri dari senyawa fenol, turunan fenol propenil (sampai 60%) (Darwis, 1992). Minyak atsiri daun sirih mengandung senyawa alkoholik (pacouli alkohol) dan fenolik (kavibetol, 4-alil-1,2diasetoksibenzen,
fenol,2- metoksi-4-1(1-propfenil)-asetat)
selain
itu
juga
mengandung isoeugenol dan kariofilen (Hertiani et al, 2002). Pada penelitian Satyal and William (2012) minyak atsiri sirih mengandung monoterpen berupa trans-sabinene hidrat, sesquiterpen berupa (E)-caryophyllene (0,4%), δ-cadinene, α-humulene, γ-muurolene, alkohol berupa α-cadinol, T-muurolol, aldehid berupa n-decanal, dan fenol berupa kavikol (0,4%), eugenol (0,4%), kavibetol (80,5%), dan metil eugenol (0,4%). Terdapat beberapa senyawa polifenol yang terdapat dalam daun sirih seperti eugenol, hidroksikavikol, dan allilpirokatekol (Dwivedi and Shalini, 2014). Ekstrak etanol daun sirih mengandung tanin, antrakuinon, flavonoid, alkaloid, terpenoid, saponin, glikosida jantung, glikosida, pereduksi
9
gula dan plobatanin (Kumari and Nirmala, 2014). Flavonoid dalam daun sirih yang memiliki aktivitas antibakteri adalah kuersetin, selain itu terdapat flavonoid lain seperti Luteolin dan Apigenin (Dwivedi and Shalini, 2014 dan Ferreres, 2013). Menurut Widyaningtias (2014), ekstrak terpurifikasi daun sirih memiliki kandungan flavonoid, tanin, dan polifenol yang memiliki aktivitas antibakteri P. acnes. 2.1.4 Bioaktivitas Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) sebagai Antibakteri Hasil uji aktivitas dari beberapa penelitian menunjukan bahwa daun sirih hijau (Piper betle L.) memiliki aktivitas antibakteri. Daun sirih memiliki aktivitas antbakteri terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Menurut Datta et al (2011), ekstrak etanol daun sirih menunjukan aktifitas antibakteri terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa, Proteus vulgaris, Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumonia. Kadar hambat minimum ekstrak etanol daun sirih terhadap bakteri Staphylococcus aureus adalah 0,625 mg/ml (Hoque et al., 2011). Hasil penelitian lain juga menunjukan bahwa ekstrak terpurifikasi daun sirih hijau memiliki aktifitas yang kuat dalam menghambat bakteri P. acnes. Aktivitas antibakteri ekstrak terpurifikasi daun sirih diduga karena kandungan senyawa yang bersifat polar seperti flavonoid (Widyaningtias, 2014). Pada penelitian Putri (2010) bahwa flavonoid merupakan senyawa yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri P. acnes yang ditunjukan dengan adanya zona hambat pada Rf 0,77 saat dilakukan pengujian dengan KLT-Bioautografi.
10
2.2 Ekstrak 2.2.1 Definisi Ekstrak Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 2014). 2.2.2 Metode Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu cara penarikan kandungan kimia yang terdapat dalam suatu simplisia yang dapat larut pada pelarut tertentu, sehingga dapat dipisahkan dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Proses ekstraksi menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu maserasi, perkolasi, refluks, sokletasi dan digesti (Depkes RI, 2000). Maserasi merupakan suatu metode penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel atau masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif tersebut akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel. Larutan yang lebih pekat (di dalam sel) didesak keluar sel, masuk ke dalam larutan di luar sel. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi kesetimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan (Depkes RI, 2000). Farmakope Indonesia edisi IV (Depkes RI, 1995)
11
menetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air, etanol, etanol-air, atau eter. Umumnya digunakan campuran etanol dan air untuk meningkatkan keefektifan penyarian. 2.2.3 Purifikasi Purifikasi merupakan suatu proses menghilangkan senyawa yang tidak diinginkan seperti zat warna (pigment), tanin, karbohidrat, lilin, resin juga ikut terekstraksi. Keberadaan senyawa atau zat tersebut lebih banyak merugikan pada kestabilan dan mengurangi kadar senyawa aktif di dalam ekstrak sehingga harus dihilangkan. Purifikasi ekstrak diharapkan akan meningkatkan khasiat ekstrak disamping memperkecil jumlah dosis pemberian kepada pengguna. Berbagai teknik purifikasi ekstrak dapat dilakukan di antaranya adalah teknik ekstraksi caircair (Srijanto, dkk., 2012). Ekstraksi cair-cair digunakan sebagai cara untuk perlakuan sampel atau clean up sampel untuk memisahkan analit-analit dari komponen matriks yang akan mengganggu pada saat kuantifikasi atau deteksi. Selain itu juga digunakan untuk memekatkan analit yang ada pada sampel sehingga konsentrasi analit menjadi lebih tinggi sehingga menurunkan jumlah dosis terapi (Gandjar dan Rohman, 2007). Ekstraksi cair-cair merupakan pemisahan komponen kimia di antara dua fase pelarut yang tidak saling bercampur di mana sebagian komponen larut pada fase pertama dan sebagian larut pada fase kedua, lalu kedua fase yang mengandung zat terdispersi dikocok, lalu didiamkan sampai terjadi pemisahan sempurna dan terbentuk dua lapisan fase cair dan komponen kimia akan terpisah ke dalam kedua
12
fase tersebut sesuai dengan tingkat kepolarannya dengan perbandingan konsentrasi yang tetap (Sudjadi, 1986). Pada ekstraksi cair-cair, distribusi analit pada kedua fase pelarut yang digunakan mengikuti konsep like dissolve like dimana senyawa polar akan cenderung larut pada fase yang berair atau pelarut polar dan senyawa non-polar akan cenderung larut pada fase organik atau pelarut non-polar (Setlle, 1997; Cairns, 2009).
2.3 Acne vulgaris Acne vulgaris atau yang sering disebut jerawat merupakan penyakit peradangan kronik folikel polisebaseus yang ditandai dengan munculnya komedo, papula, pastul dan nodul (Kumar dan Sachidanand, 2001). Jerawat umumnya terjadi pada kulit yang banyak megandung kelenjar polisebasea seperti wajah, dada dan punggung (Nugroho, 2013). Jerawat sering menjadi tanda pertama pubertas dan dapat terjadi satu tahun sebelum haid pertama (Zaenglein et al., 2008). Prevalensi terjadinya acne vulgaris pada remaja cukup tinggi yaitu mencapai 47-90%, pada usia 14 sampai 21 tahun mencapai 68,2% (Tjekyan, 2009). Timbulnya
jerawat
dapat
disebabkan
oleh
berbagai
faktor
yaitu
ketidakseimbangan hormon, stres, makanan yang dikonsumsi, dan penggunaan kosmetika yang tidak tepat (Singh et al., 2011). Selain itu, hiperpolarisasi epidermis folikular, sebum berlebih, inflamasi dan terjadinya peningkatan aktivitas bakteri dapat menyebabkan jerawat (Zaenglein et al., 2008). Bakteri P. acnes merupakan bakteri utama yang berkontribusi ketika terjadi jerawat (Jawetz
13
et al., 2012). Sylvia (2010), dalam penelitiannya menemukan bahwa bakteri yang terbanyak ditemukan pada lesi jerawat adalah bakteri P. acnes yaitu sebesar 78,8%. Peran P. acnes dalam patogenesis jerawat adalah memecah trigliserida yang merupakan komponen dari sebum, menjadi asam lemak bebas sehingga terjadi kolonisasi bakteri P. acnes yang memicu inflamasi. Selain itu, antibodi terhadap antigen dinding sel P. acnes akan meningkatkan respon inflamasi melalui aktivasi komplemen (Zaenglein et al., 2008).
2.4 Propionibacterium acnes Propionibacterium
acnes
adalah
organisme
yang
pada
umumnya
memberikan kontribusi terhadap terjadinya jerawat (Jawetz et al., 2012). Berdasarkan pada klasifikasi binominal nomenklatur,
bakteri ini dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
: Bacteria
Phylum
: Actinobacteria
Class
: Actinobacteridae
Ordo
: Actinomycetales
Famili
: Propionibacteriaceae
Genus
: Propionibacterium
Spesies
: Propionibacterium acnes
Ciri-ciri penting dari bakteri Propionibacterium acne adalah berbentuk batang tak teratur yang terlihat pada pewarnaan Gram positif. Bakteri ini dapat berbentuk filamen bercabang atau campuran antara bentuk batang/filamen dengan
14
bentuk kokoid. P. acnes memerlukan oksigen mulai dari aerob atau anaerob fakultatif sampai ke mikroerofilik atau anaerob (Putri, 2010). Uji yang dilakukan untuk mengkonfirmasi bakteri P. acnes dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini : Tabel 2.1 Uji konfirmasi bakteri P. acnes No Uji yang dilakukan 1. Pengecatan gram 2. Pengamatan Mikroskop 3. Katalase 4. Laktosa 5. Glukosa 6. H2 S
Hasil Berwarna ungu Campuran bentuk batang dan kokus + + (Koneman et al., 1994).
P. acnes dapat tumbuh di udara dan tidak menghasilkan endospora. Beberapa endospore bersifat patogen terhadap hewan dan tumbuhan. Jumlah P. acnes pada kulit berhubungan dengan aktivitas kelenjar sebasea, atau dengan kata lain jumlahnya meningkat setelah adanya pematangan fungsi kelenjar sebasea yaitu seiring masa pubertas (Jawetz et al., 2012). Propionibacterium acnes merupakan agen utama dalam etiologi jerawat. P. acnes merangsang pelepasan interleukin-1 (IL-1), IL-8, dan tumor necrosis factor (TNF-α) dan mengaktifkan sistem komplemen. Bakteri P. acnes menggunakan sebum yang diproduksi di folikel sebagai sumber makanan utama. Bakteri P. acnes menghasilkan enzim lipase untuk memecah asam lemak bebas dan lipid pada kulit. Asam lemak ini dapat mengakibatkan inflamasi jaringan ketika berinteraksi dengan sistem imun dan mendukung terjadinya jerawat (Khaan, 2009).
15
2.5 Uji Aktivitas Antibakteri dengan Metode Difusi Disk Pengujian aktivitas antibakteri adalah teknik untuk mengukur respon pertumbuhan populasi
mikroorganisme
terhadap
agen antibakteri untuk
mengetahui potensi senyawa antibakteri tersebut (Wagner, 2009). Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah metode difusi disk. Metode difusi disk atau yang disebut metode Kirby and Bauer Test merupakan salah satu metode yang sederhana dan dapat dilakukan dengan mudah serta reproduksibel untuk menentukan aktivitas antibakteri dari suatu antibakteri (Forbes et al., 2007). Metode difusi disk merupakan metode yang direkomendasikan oleh WHO dan NCCLS untuk uji antibakteri. Pada metode difusi disk digunakan kertas cakram yang mengandung agen antibakteri, kemudian diletakan diatas media agar yang telah ditanami mikroorganisme sehingga agen antimikroba dapat berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media agar (Pratiwi, 2008). Zona bening yang dihasilkan disebut dengan zona hambatan, yang muncul disekitar kertas cakram dimana zat aktif menghambat mikroorganisme. Diameter zona hambat diukur menggunakan jangka sorong (Lay and Hastowo, 1994). Syarat jumlah bakteri untuk uji kepekaan/sensitivitas yaitu 10 5 -108 CFU/mL (Hermawan dkk., 2007). Menurut Rostinawati (2008), faktor- faktor yang mempengaruhi metode difusi adalah a) Pradifusi, perbedaan waktu pradifusi mempengaruhi jarak difusi dari zat uji yaitu difusi antar pencadang.
16
b) Ketebalan medium agar adalah penting untuk memperoleh sensitivitas yang optimal. Perbedaan ketebalan media agar mempengaruhi difusi dari zat uji ke dalam agar, sehingga akan mempengaruhi diameter hambat. Makin tebal media yang digunakan akan makin kecil diameter hambat yang terjadi. c) Kerapatan inokulum, ukuran inokulum merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi lebar daerah hambat, jumlah inokulum yang lebih sedikit menyebabkan obat dapat berdifusi lebih jauh, sehingga daerah yangdihasilkan lebih besar, sedangkan jika jumlah inokulum lebih besar maka akan dihasilkan daerah hambat yang kecil. d) Komposisi media agar, perubahan komposisi media dapat merubah sifat media sehingga jarak difusi berubah. Media agar berpengaruh terhadap ukuran daerah hambat dalam hal mempengaruhi aktivitas beberapa bakteri, mempengaruhi kecepatan difusi antibakteri dan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan antibakteri. e) Suhu inkubasi, kebanyakan bakteri tumbuh baik pada suhu 37°C. f) Waktu inkubasi disesuaikan dengan pertumbuhan bakteri, karena luas daerah hambat ditentukan beberapa jam pertama, setelah diinokulasikan pada media agar, maka daerah hambat dapat diamati segera setelah adanya pertumbuhan bakteri. Selama proses inkubasi berlangsung, tiap-tiap zat aktif di dalam kertas cakram akan berdifusi ke segala arah pada media agar. Zat dengan berat molekul kecil akan berdifusi lebih cepat dibandingkan dengan yang memiliki bobot molekul besar.
17
g) Pengaruh pH, adanya perbedaan pH media yang digunakan dapat menyebabkan perbedaan jumlah zat uji yang berdifusi, pH juga menentukan jumlah molekul zat uji yang mengion. Selain itu pH berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri.