BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Singkat Tumbuhan Mondokaki (Tabernaemontana divaricata R.Br) biasa ditanam sebagai tanaman hias di pekarangan dan di taman-taman, berasal dari India, tersebar di kawasan Asia Tenggara serta kawasan tropik lainnya, dan dapat ditemukan dari dataran rendah sampai 400 m di atas permukaan laut. Bagian tanaman yang digunakan untuk obat adalah akar, kayu, bunga dan daun. Untuk maksud pengobatan, lazimnya dibuat dalam bentuk segar atau dari bahan yang telah dikeringkan. Batang mengandung getah seperti susu. Perbanyakan dengan stek atau cangkok (Dalimartha, 2003). 2.1.1 Morfologi Tumbuhan Tumbuhan
Mondokaki
merupakan
tanaman
perdu,
tegak,
tinggi
0,5-3 meter. Batang bulat, berkayu, bercabang dan hijau kotor. Daun tunggal, bulat telur ujung dan pangkal runcing, tepi rata, bertangkai silang berhadapan, panjang 5-11 cm, lebar 1,5-4 cm, pertulangan menyirip, dan berwarna hijau. Bunga tunggal, bertangkai, terletak di ketiak daun, kelopak bunga bercangap lima, runcing, hijau, tabung mahkota kuning kehijauan, mahkota berlekatan, bulat telur, dan berwarna putih. Buah kotak, bulat panjang, dan berbulu. Biji berdaging, berselaput, panjang 3-7 cm, dan berwarna merah. Akar tunggang, dan berwarna kuning (Anonim, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Sistematik Tumbuhan Berdasarkan penggolongan dan tata nama tumbuhan, klasifikasi tumbuhan Mondokaki adalah sebagai berikut: Divisio
: Spermatophyta
Su Divisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Apocynales
Familia
: Apocynaceae
Genus
: Tabernaemontana
Species
: Tabernaemontana divaricata R. Br,
Sinonim
: Tabernaemontana coronaria Willd Ervatamia divaricata [R] Burk. Ervatamia malacensis K. et G.
2.1.3 Nama Lokal Di beberapa daerah Indonesia tanaman ini dikenal dengan nama bunga wari (Jawa), bunga nyingin (Nusatenggara), kembang mentega, kembang susu (Sunda), bunga manila, dan bunga susong (Maluku) (Anonim, 2005).
2.1.4 Efek Farmakologis dan Kandungan Kimia Daun Mondokaki berasa asam dan terasa sejuk bila dibalurkan ke kulit. Tanaman ini dapat menurunkan panas dan racun (toksin), menghilangkan sakit (analgetik), menurunkan tekanan darah, peluruh dahak, dan sebagai obat cacing (antelmintik).
Tumbuhan
ini
mengandung
tabernaemontanin,
koronarin,
koronandin, dregamin, vobasin, korin, kortin, lupeol, dan tanin (Anonim, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Secara farmakologi, Mondokaki berkhasiat sebagai antiinflamasi, antitumor, antioksidan dan analgesik (Pratchayasakul, et. al., 2006). Mondokaki juga menghambat asetilkolin neuronal pada tikus sehingga menimbukan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah (Chattipakorn, et. al., 2007). Ekstrak etanol daun Mondokaki mengandung 23 alkaloid, termasuk alkaloid aspidosperma, taberhanine, voafinine, N-methyl voafinine, voafinidine, voalenine, dan alkaloid bisindole (canophyllinine) (Toh-Seok Kam, et. al., 2003).
Gambar 2.3 Conophylline
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Rumus bangun taberhanine dan conophyllinine
2.2 Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu cara penyarian simplisia dengan menggunakan penyari tertentu (Harborne, 1987). Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair (Ditjen POM, 2000). Cara penyarian (ekstraksi) yang tepat tergantung pada jenis senyawa yang diisolasi dan pelarut yang digunakan.
Ada beberapa metode ekstraksi menurut Ditjen POM (2000) yaitu: a. Cara dingin i Maserasi adalah proses pengekstrasian simplisia menggunakan pelarut yang statis dalam suatu wadah dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama. ii Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru yang dialirkan dari suatu reservoar sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan atau penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat). b. Cara Panas
Universitas Sumatera Utara
i Refluks adalah ekstraksi pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. ii Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinyu pada peratur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan yaitu temperatur 40-50oC. iii Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana
infus
tercelup
dalam
penangas
air
mendidih,
temperatur
terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit). iv Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000). v Prinsip sokletasi adalah uap cairan penyari naik ke atas melalui pipa samping, lalu diembunkan kembali oleh pendingin, cairan turun ke labu melalui tabung yang berisi serbuk simplisia, cairan penyari sambil turun melarutkan zat aktif dari serbuk simplisia, karena adanya sifon maka setelah cairan ini mencapai permukaan sifon seluruh cairan akan kembali ke labu, demikian proses ini berulang-ulang sampai ekstraksi selesai (Adams, et.al., 1970).
2.3 Inflamasi (Peradangan) Peradangan atau inflamasi merupakan mekanisme pertahanan tubuh sebagai respon jaringan terhadap apa saja yang merusak (noksi) baik bersifat lokal maupun yang masuk ke dalam tubuh dapat berupa fisika, kimia, bakteri dan parasit. Noksi fisika misalnya suhu tinggi, cahaya, sinar x, dan sinar ultraviolet. Noksi kimia dapat berupa asam kuat, basa kuat, dan bahan kimia. Infeksi bakteri antara lain disebabkan oleh bakteri Streptococcus, Staphylococcus dan Pneumococcus.
Universitas Sumatera Utara
Kerusakan sel terkait dengan inflamasi berpengaruh pada selaput membran sel yang menyebabkan leukosit mengeluarkan enzim lisosomal yaitu arachidonic acid kemudian dilepas dari persenyawaan fosfolipid, dan berbagai eicosanoid akan disintesis (Katzung, 2002). Kerusakan atau perubahan yang terjadi pada sel dan jaringan akibat noksi akan membebaskan berbagai mediator atau substansi radang antara lain histamin, bradikinin, kalidin, serotonin, prostaglandin, dan leukotrien (Mansjoer, 1999).
2.3.1
Gejala Peradangan Proses terjadinya peradangan ini dapat diamati dari tanda-tanda
utama peradangan yang mencakup kemerahan (rubor), peningkatan panas (kalor), pembengkakan (tumor), rasa sakit (dolor) dan adanya gangguan fungsi jaringan (fungsio laesa) (Price dan Wilson, 1995). a.
Rubor (Kemerahan) Rubor atau kemerahan adalah keadaan awal yang menandakan mulainya
peradangan, ini disebabkan oleh arteriol yang mensuplai darah ke daerah radang melebar, sehingga lebih banyak darah yang mengalir ke mikrosirkulasi lokal. Kapiler yang sebelumnya kosong atau sebagian saja kemudian meregang dengan cepat dan terisi penuh dengan darah yang menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut. Timbulnya kemerahan pada permulaan peradangan diatur oleh tubuh, baik secara neurogenik maupun secara kimia, melalui pengeluaran zat seperti histamin (Price dan Wilson,1995). b.
Kalor (Panas) Kalor atau panas terjadi secara bersamaan dengan kemerahan pada reaksi
peradangan akut. Sebenarnya panas merupakan sifat reaksi peradangan yang hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 37ºC yaitu suhu di dalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, sebab darah dengan suhu 37ºC yang disalurkan tubuh ke permukaan daerah yang terkena lebih banyak daripada yang disalurkan ke daerah normal. Fenomena panas lokal ini tidak terlihat pada daerah-daerah yang terkena radang jauh di dalam tubuh, karena jaringan tersebut sudah mempunyai suhu inti 37ºC (Price dan Wilson, 1995).
Universitas Sumatera Utara
c.
Dolor (Rasa sakit) Dolor atau rasa sakit akibat reaksi peradangan dapat terjadi dengan
berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi ion-ion tertentu dapat merangsang ujung syaraf. Hal yang sama, pengeluaran zat kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal sehingga menimbulkan rasa sakit (Price dan Wilson, 1995). d.
Tumor (Pembengkakan) Tumor atau pembengkakan merupakan hal yang paling kentara akibat
peradangan akut. Pembengkakan ini terjadi karena peningkatan permeabilitas dinding kapiler. Permeabilitas dinding kapiler yang sehat terbatas hanya dapat dilalui oleh cairan dan larutan garam-garam tetapi sukar dilalui oleh larutan protein yang berupa koloid. Pada peradangan, dinding kapiler tersebut menjadi lebih permeabel dan lebih mudah dilalui oleh protein yang akan meninggalkan kapiler dan masuk ke dalam jaringan sehingga menyebabkan jaringan bengkak (tumor). e.
Fungsio laesa (Gangguan fungsi jaringan) Fungsio laesa atau gangguan fungsi jaringan adalah reaksi peradangan
di mana saja terjadi pembengkakkan yang lazimnya disertai nyeri dan sirkulasi yang abnormal. Tetapi belum diketahui secara pasti bagaimana fungsi jaringan tersebut terganggu (Kee dan Evelyn, 1996).
2.3.2 Mekanisme terjadinya Radang Bila terjadi luka pada jaringan, baik karena bakteri, trauma, bahan kimiawi, panas atau fenomena lainnya, maka jaringan yang terluka akan melepaskan berbagai substansi yang menimbulkan perubahan sekunder yang dramatis terhadap jaringan. Inflamasi dapat ditandai dengan: a.
vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan.
b.
kenaikan permeabilitas kapiler disertai kebocoran cairan yang berlebihan kedalam ruang interstisial
Universitas Sumatera Utara
c.
fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah yang berlebihan.
d.
migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit kedalam jaringan
e.
pembengkakan sel jaringan (Guyton dan Hall, 1997).
Mekanisme terjadinya gejala peradangan tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Noksi
Kerusakan Sel Emigrasi Leukosit Pembebasan Bahan Mediator Proliferasi sel
Gangguan Sirkulasi Lokal
Kemerahan nn
Panas
Eksudasi
Pembengkakan
Perangsangan Reseptor Nyeri
Gangguan Fungsi
Nyeri
Gambar 2.2. Patogenesis dan gejala peradangan (Mutschler, 1999).
2.3.3 Mediator Peradangan Banyak substansi endogen yang dikeluarkan yang telah dikenal sebagai mediator peradangan di antaranya adalah histamin, bradikinin, kalidin, serotonin, prostaglandin, dan leukotrien. Histamin merupakan mediator pertama
Universitas Sumatera Utara
yang dilepaskan dari sekian banyak mediator lain dan segera muncul dalam beberapa detik setelah diinduksi yang berperan meningkatan permeabilitas kapiler. Histamin merupakan produk dekarboksilasi asam amino histidin yang terdapat dalam semua jaringan tubuh. Konsentrasi tertinggi terdapat dalam paru, kulit, dan saluran cerna terutama pada sel mast, sedangkan leukosit basofil adalah dalam bentuk tak aktif secara biologik dan disimpan terikat pada heparin dan protein basa. Histamin akan dibebaskan dari sel tersebut pada reaksi hipersensitivitas, kerusakan sel (misalnya pada luka) serta akibat senyawa kimia pembebas histamin (Mutschler, 1999). Bradikinin dan kalidin adalah mediator radang yang secara lokal menimbulkan rasa nyeri, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler dan berperan meningkatkan potensi prostaglandin (Mansjoer, 1999). Serotonin (5-hidroksitriptamin, 5-HT) berasal dari asam amino esensial triptamin melalui hidroksilasi dan dekarboksilasi, terdapat dalam platelet darah, mukosa usus dan di beberapa bagian otak dengan konsentrasi tinggi. Serotonin disimpan dalam granula, terikat dengan ATP serta protein dan dibebaskan jika sel dirangsang melalui eksositosis dan mengaktifkan reseptor spesifik. Pada trombosit, serotonin berfungsi meningkatkan
agregasi dan mempercepat
penggumpalan darah sehingga mempercepat hemostasis (Mutschler, 1999). Asam arakhidonat merupakan prekursor sejumlah besar mediator radang. Senyawa ini merupakan komponen utama lipid seluler dan hanya terdapat dalam keadaan bebas dengan jumlah kecil, sebagian besar berada dalam bentuk fosfolipid membran sel. Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan kimiawi, fisis atau mekanis, maka enzim fosfolipase A 2 akan diaktivasi untuk mengubah fosfolipid menjadi asam arakhidonat. Asam lemak C 20 ini selanjutnya akan diubah menjadi senyawa mediator melalui dua alur utama yaitu alur siklooksigenase dan alur lipooksigenase. Pada alur siklooksigenase, sebagian asam arakhidonat akan diubah oleh enzim
siklooksigenase
menjadi
endoperoksida
dan
seterusnya
menjadi
prostaglandin (PG), prostasiklin dan tromboksan, dan sebagian lagi asam arakhidonat akan diubah oleh enzim lipooksigenase menjadi asam hidroperoksida dan seterusnya menjadi leukotrien yang disebut juga Slow Reacting Substances of
Universitas Sumatera Utara
Anaphylaxis (SRSA). Baik prostaglandin mau pun leukotrien, bertanggung jawab bagi sebagian besar gejala peradangan. Mekanisme pembebasan mediator radang ditunjukkan pada Gambar 2.3. Posfolipida ( membran sel ) Kortikosteroida
posfolipase A2 Asam arakhidonat
Aspirin + AINS
siklooksigenase
lipooksigenase Asam Hid
Endoperoksida
Tromboksan
Prostaglandin
k id
Leukotrien: LTB4, LTC4, LTD4, LTE4
Prostasiklin
Gambar 2.3. Metabolisme asam arakhidonat dan sintesis prostaglandin dan leukotrien
Keterangan :
= efek penghambatan = dihidroksi leukotrien B 4
LTB 4
LTC 4 = leukotrien C 4
LTD 4 = leukotrien D 4
LTE 4 = leukotrien E 4
Prostaglandin bekerja lemah, berpotensi kuat setelah bergabung dengan mediator atau substansi lain yang dibebaskan secara lokal seperti histamin, serotonin dan leukotrien. Prostaglandin mampu menginduksi vasodilatasi pembuluh darah dalam beberapa menit dan terlibat terjadinya nyeri, radang, demam dan diare. Dari alur lipooksigenase dihasilkan mediator leukotrien. Mediator LTB 4 potensial kemotaktik terhadap leukosit polimorfonuklear, eosinofil dan monosit. Pada konsentrasi tinggi, LTB 4 menstimulasi agregasi leukosit
polimorfonuklear.
Selain
itu
LTB 4
mempunyai
kemampuan
meningkatkan eksudasi plasma dan mengakibatkan hiperalgesia. Kombinasi dua
Universitas Sumatera Utara
senyawa leukotrien yaitu LTC 4 dan LTD 4 dapat menyebabkan peradangan, reaksi anafilaksis, reaksi alergi dan asma. LTE 4 menyebabkan gejala hipersensitivitas, bronkokonstriksi, kontraksi otot polos dan permeabilitas vaskular. Aktivitasnya jauh lebih kecil dari prazatnya yaitu LTC 4 dan LTD 4 tetapi lebih stabil secara biologis dari ketiga leukotrien lain (Mansjoer, 1999).
2.4
Obat-obat Antiinflamasi Obat-obat antiinflamasi adalah golongan obat yang memiliki
aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dapat dicapai melalui berbagai cara, yaitu menghambat pembentukan mediator radang prostaglandin, menghambat migrasi sel-sel leukosit ke daerah radang ataupun menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel tempat pembentukannya. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antiinflamasi dibagi menjadi dua golongan utama (Katzung, 2002) yaitu: a. golongan steroid adrenal b. golongan non-steroid 2.4.1 Antiinflamasi Steroid Adrenal (Glukokortikoida) Antiinflamasi
golongan
steroid
adrenal
bekerja
dengan
menghambat enzim fosfolipase A 2 secara tidak langsung dengan menginduksi sintesis protein G (Campbell, 1991). Efek
antiinflamasi steroid adrenal
berhubungan
dengan
kemampuannya untuk merangsang biosintesis protein lipomodulin, yang dapat menghambat kerja enzimatik fosfolipase A 2 sehingga mencegah pelepasan mediator peradangan, yaitu asam arakhidonat dan metabolitnya seperti prostaglandin, leukotrien, tromboksan dan prostasiklin. Steroid adrenal dapat memblok jalur siklooksigenase dan lipooksigenase, sedangkan AINS hanya memblok alur siklooksigenase. Hal ini dapat menjelaskan mengapa steroid adrenal mempunyai aktivitas antiinflamasi yang lebih besar dibanding AINS. Steroid adrenal akan membahayakan jika tidak sesuai dengan indikasi dan arahan penggunaannya. Penggunaan jangka panjang menyebabkan efek samping cukup berat seperti hipokalemia, tukak lambung, penekanan pertumbuhan, osteoporosis, muka bulat, penekanan sekresi kortikotropin, atropi
Universitas Sumatera Utara
kulit, memperberat penyakit diabetes melitus,
mudah
terkena
infeksi,
glaukoma, hipertensi, gangguan menstruasi, dan perubahan mental atau tingkah laku. Penghentian pengobatan secara tiba-tiba menyebabkan ketidakcukupan adrenal yang akut dan menimbulkan gejala seperti otot menjadi lemah, nyeri otot, demam, perubahan mental, mual, hipoglikemia, hipotensi, dehidrasi dan bahkan kadang-kadang
menyebabkan
kematian.
Oleh
karena
itu,
penghentian
glukokortikoida harus dilakukan dengan mengurangi dosis secara bertahap (Siswandono dan Bambang, 1995). 2.4.2 Obat Antiinflamasi Non-steroid (AINS) AINS merupakan kelompok obat-obat yang bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Obat-obat ini juga dikenal sebagai penghambat prostaglandin, mempunyai efek analgesik dan antipiretik yang berbeda-beda terutama digunakan sebagai antiinflamasi untuk meredakan peradangan dan nyeri. Efek antipiretik golongan obat ini tidak sekuat efek antiinflamasinya. Kecuali aspirin, penggunaan preparat-preparat AINS tidak dianjurkan untuk meredakan sakit kepala ringan dan demam. AINS lebih sesuai digunakan untuk mengurangi pembengkakan, nyeri dan kekakuan sendi (Kee dan Evelyn, 1996). Obat-obat AINS bekerja dengan cara menstabilkan membran lisosomal, menghambat pembebasan dan aktivitas mediator peradangan (histamin, serotonin, enzim lisosomal dan enzim lainnya), menghambat migrasi sel ke tempat peradangan, menghambat proliferasi seluler, menetralisasi radikal oksigen dan menekan rasa nyeri (Noer, 1996). Penggolongan obat antiinflamasi menurut Goodman dan Gillman (1996) dengan beberapa contoh senyawa yang termasuk ke dalamnya adalah sebagai berikut: a. Obat antiinflamasi steroida adrenal, misalnya kortison, hidrokortison, deksametason, dan prednison. b. Obat antiinflamasi non-steroida (AINS): i. turunan asam salisilat, misalnya aspirin, diflunisal, sulfasalazin, dan olsalazin.
Universitas Sumatera Utara
ii. turunan para-aminofenol, misalnya asetaminofen iii. indol dan asam indene asetat, misalnya indometasin, sulindak dan etodolak iv. asam heteroaril asetat, misalnya tolmetin, diklofenak, dan ketorolak v. asam arilpropionat, misalnya ibuprofen, naproksen, fenoprofen, dan ketoprofen vi. asam antranilat (fenamat), misalnya asam mefenamat, dan asam meklofenamat vii. asam enolat, misalnya oksikam (piroksikam, tenoksikam), dan pirazolidin viii. (fenilbutazon, oksifentatrazon) ix. alkanon, misalnya nabumeton.
2.5
Indometasin
2.5.1 Sifat kimia Nama kimia : asam 1-(p-klorobenzoil)-5metoksi-2-metil-indola-3- asetat, Rumus molekul
: C19H16ClNO4
Berat molekul
: 357,79.
Rumus bangun indometasin dapat dilihat pada Gambar 2.4. di bawah inI CO N H3CO
Cl CH3
CH2COOH
Gambar 2.4. Rumus bangun indometasin
Universitas Sumatera Utara
2.5.2 Sifat Fisika Indometasin berbentuk serbuk hablur, polimorf, berwarna kuning pucat hingga kuning kecoklatan, tidak berbau atau hampir tidak berbau. Peka terhadap cahaya, meleleh pada suhu lebih kurang 162°C. Indometasin praktis tidak
larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol, kloroform dan dalam eter
(Anonim, 1995). 2.5.3 Farmakologi Indometasin mulai dikenal pada tahun 1963 bekerja lebih efektif dari aspirin atau AINS lainnya dan merupakan penghambat sintesis prostaglandin yang terkuat. Khasiat kliniknya sebagian besar sebanding dengan fenilbutazon, walaupun lebih unggul dalam percobaan-percobaan pada hewan. Indometasin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian per oral dan sebagian besar terikat dengan protein plasma (sekitar 90%), waktu paruh dalam plasma selama 3-11 jam, waktu paruh kerja rata-rata 4-6 jam. Metabolisme terjadi di dalam hati, dalam bentuk tak berubah, obat ini diekskresikan ke dalam empedu dan urin (Katzung, 2002). Indometasin digunakan untuk pengobatan artritis rematoid, gout dan osteoartritis. Walaupun obat ini efektif tetapi karena toksik maka penggunaan obat ini dibatasi. Indometasin menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Juga menghambat motilitas leukosit polimorfonuklear. Efek samping indometasin pada dosis terapi meliputi gangguan saluran cerna berupa nyeri abdomen, diare ulser, perdarahan lambung dan pankreatitis. Juga menyebabkan pusing, depresi, rasa bingung, halusinasi, agranulositosis, anemia aplastik dan trombositopenia. Karena toksisitasnya, indometasin tidak dianjurkan diberikan pada anak-anak, wanita hamil, penderita gangguan psikiatri dan penderita penyakit lambung (Ganiswarna, 1995).
2.6 Rasa nyeri
Universitas Sumatera Utara
Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang timbul bila ada jaringan yang rusak, hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara memindahkan stimulus nyeri (Guyton and John,1996). Prostaglandin hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau inflamasi. Penelitian telah membuktikan bahwa prostaglandin menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. Jadi, prostaglandin menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian mediator nyeri seperti bradikinin dan histamin merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata (Wilmana dan Gan, 2007). 2.6.1 Pembagian Rasa Nyeri Rasa nyeri dapat dibagi menjadi dua yaitu rasa nyeri utama, yakni rasa nyeri cepat dan rasa nyeri lambat. Bila diberikan stimulus nyeri, maka rasa nyeri cepat timbul dalam waktu kira-kira 0,1detik, sedang rasa nyeri lambat timbul setelah 1detik atau lebih dan kemudian secara perlahan bertambah selama beberapa detik dan kadang kala beberapa menit. Rasa nyeri cepat digambarkan dengan banyak nama pengganti, seperti rasa nyeri tajam, rasa nyeri tertusuk, rasa nyeri akut dan rasa nyeri elektris. Jenis rasa nyeri ini akan terasa bila ada sebuah jarum ditusukkan kedalam kulit, bila kulit tersayat pisau atau bila kulit terbakar secara akut. Rasa nyeri ini juga akan terasa bila subjek mendapat syok listrik. Rasa nyeri cepat, nyeri tajam tak akan terasa disebagian besar jaringan dalam tubuh. Rasa nyeri lambat juga mempunyai banyak nama tambahan seperti rasa nyeri terbakar lambat, nyeri pegal, nyeri berdenyut-denyut, nyeri mual dan nyeri kronik. Jenis rasa nyeri ini biasanya dikaitkan dengan kerusakan jaringan. Rasa nyeri dapat berlangsung lama, menyakitkan dan dapat menjadi penderitaan yang tak tertahankan. Rasa nyeri ini dapat terasa dikulit dan hampir semua jaringan dalam atau organ (Guyton and John, 1996). 2.6.2 Mekanisme terjadinya Nyeri Pada umumnya rasa nyeri dapat dirasakan melalui berbagai jenis rangsangan, yang meliputi rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis, dapat menimbulkan kerusakan jaringan (Guyton and John, 1996; Tjay dan Rahardja,
Universitas Sumatera Utara
2003). Jenis nyeri kimia dapat disebabkan beberapa zat kimia meliputi bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium, asam asetil kolin dan enzim proteolitik. Nyeri juga akan terasa bila menerima panas dengan suhu di atas 45oC, jaringan mulai mengalami kerusakan akibat panas. Oleh karena itu, rasa nyeri yang disebabkan oleh panas sangat terkait dengan kemampuan panas untuk merusak jaringan (Guyton and John, 1996). Adanya rangsangan yang merusak sel, akan
mengaktivasi enzim fosfolipase A 2 yang kemudian akan mengubahnya
menjadi asam arakhidonat. Asam arakhidonat yang terbentuk kemudian dengan bantuan
enzim
siklooksigenase
akan
disintesis
menjadi
prostaglandin.
Prostaglandin E 1 dan E 2 yang terbentuk akan mensensitisasi reseptor nyeri (nosiseptor), bradikinin, dan histamin sehingga menimbulkan nyeri yang nyata (Wilmana, 1995; Guyton and John, 1996).
2.7
Analgetika Analgetika adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem
saraf pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi kesadaran. Analgetika bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi nyeri (Siswandono dan Bambang, 1995). 2.7.1 Pembagian Analgetika Berdasarkan kerja farmakologinya, analgetika dibagi dua kelompok yaitu: a.
Analgetik non-narkotik, sering disebut analgetik-antipiretika. Obat golongan ini digunakan untuk mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang, menurunkan suhu tubuh dalam keadaan suhu tinggi dan sebagai antiradang untuk pengobatan rematik. Analgetik-antipiretik digunakan untuk pengobatan simptomatik, yaitu hanya meringankan gejala penyakit, tidak menyembuhkan atau menghilangkan penyebab penyakit (Siswandono dan Bambang, 1995). Analgetik non-narkotik mempunyai sedikit atau tidak mempunyai aktivitas antiinflamasi. Dibandingkan dengan analgesik narkotik, keuntungan terapi
Universitas Sumatera Utara
analgesik non-narkotik tidak menimbulkan ketergantungan fisik atau toleransi (Mycek, 2001). b.
Analgetik narkotik, adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang sedang atau pun berat, seperti rasa sakit yang disebabkan oleh kanker, serangan jantung, sesudah operasi dan kolik usus atau ginjal. Aktivitas analgetik narkotik jauh lebih besar dibanding golongan analgetik nonnarkotik (Siswandono dan Bambang, 1995). Analgetik opioid termasuk dalam analgetik
narkotik,
merupakan
senyawa
alami
atau
sintetik
yang
menghasilkan efek seperti morfin, penggunaan utamanya adalah untuk menghilangkan nyeri dan ansietas yang menyertainya, baik karena operasi akibat luka atau penyakit (Mycek, 2001). 2.7.2 Mekanisme Kerja Analgetika Efek
analgetik
obat
golongan
narkotika
adalah
karena
pengikatannya dengan reseptor khas pada sel otak dan spinal cord, sedangkan analgetik non-narkotik bertindak dengan cara menghambat secara langsung dan selektif enzim-enzim pada sistem saraf pusat yang mengatalisis biosintesis prostaglandin, seperti siklooksigenase, hingga mencegah sensitisasi reseptor nyeri oleh mediator-mediator nyeri, seperti bradikinin, histamin, serotonin yang dapat merangsang nyeri (Siswandono dan Bambang, 1995).
2.7.3 Metode Pengujian Analgetika Intensitas suatu rangsang yang diperlukan untuk menginduksi nyeri dapat diukur dengan berbagai cara, tetapi metode yang paling sering digunakan adalah menusuk kulit dengan sebuah jarum pada tekanan yang terukur, menekankan suatu benda padat pada suatu penonjolan tulang dengan kekuatan
Universitas Sumatera Utara
yang terukur, atau memanaskan kulit dengan jumlah panas tertentu. Metode terakhir telah terbukti sangat tepat dari sudut pandang kuantitatif (Guyton,1995). Menurut Domer (1971), ada empat metode yang sering digunakan untuk pengujian analgetika, yaitu metode panas, listrik, tekanan, dan kimia (Bars, 2001; Vogel, 2008). 2.7.3.1 Metode Panas Metode ini dapat dilakukan secara in vitro maupun in vivo. Secara in vitro dilakukan terhadap darah hewan percobaan dan diamati efek analgetiknya. Suatu zat berkhasiat analgetika akan bekerja mencegah hemolisis, sedangkan secara in vivo dilakukan terhadap hewan percobaan dengan suhu berkisar 5060oC. Lempeng yang dipanaskan dapat digunakan sebagai penyebab rasa nyeri, dengan cara memberikan panas pada bagian tubuh hewan percobaan. Hewan yang diberi suatu analgetika akan mengalami perpanjangan waktu reaksi terhadap rangsangan panas. Waktu reaksi oleh mencit yang ditempatkan pada lempeng panas dapat digunakan untuk pengujian analgetika. Beberapa mencit yang ditempatkan pada lempeng yang dipanaskan pada temperatur 50oC, memberikan respon tidak teratur selama 20 detik dan lainnya mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama. Pada temperatur 55oC semua mencit memberikan respon dalam waktu 30 detik sedangkan pada temperatur 60oC akan memberikan respon dalam 20 detik. Mencit memberikan respons, mula-mula duduk dengan kaki belakang sambil menjilat-jilat kaki depan sebagai usaha untuk mendinginkan, kemudian apabila terasa lebih panas mencit akan menendangkan kaki belakangnya, berputar dan berusaha keluar dari dinding silinder (Domer, 1971). Metode panas yang lain adalah dengan menggunakan penangas air sebagai perangsang panas, ini dilakukan Grotto dan Shulman, yaitu dengan cara, mencit diletakkan dalam kotak plastik berukuran 15 x 25 x 25 cm sedemikian rupa sehingga ekornya terjulur ke luar. Kemudian ekor mencit seluruhnya dicelupkan kedalam penangas air pada temperatur 58oC, di sini akan terlihat tiga fase pergerakan ekor yang berbeda. Fase pertama gerakan lambat sebanyak 1-3 kali, fase kedua sedikit lebih cepat dan fase ketiga berupa sentakan kuat. Respon
Universitas Sumatera Utara
dikatakan positif bila ada sentakan atau gerakan kontinyu dari fase kedua, sebelum terjadinya sentakan, terkadang sudah terdengar cicitan. Pusat panas pada ekor tikus juga dapat digunakan sebagai pertanda perangsang nyeri, bila intensitas panas tercapai, maka akan timbul respon berupa sentakan ekor. Kemudian waktu reaksi dicatat, untuk mengetahui berapa besarnya intensitas rangsangan yang diperlukan terhadap respon. 2.7.3.2 Metode Listrik Metode ini dapat dilakukan secara in vivo. Sebagai penyebab rasa nyeri digunakan aliran listrik. Ekor mencit diberi rangsangan listrik melalui dua elektroda. Pemberian kejutan listrik dilakukan setiap satu detik sampai terdengar cicitan mencit. Arus listrik dapat ditinggikan sesuai dengan kekuatan analgetika yang diuji. Hewan percobaan seperti anjing, kera, kucing, kelinci dan tikus, dapat dilakukan juga dengan metode listrik dapat dilakukan. 2.7.3.3 Metode Tekanan Metode tekanan hanya dapat dilakukan secara in vivo. Untuk menguji efek analgetik, pemberian tekanan dilakukan dengan cara menjepit pada bagian ujung ekor mencit. Besar tekanan yang diperlukan untuk menimbulkan rasa nyeri sebelum dan sesudah pemberian obat, diukur berdasarkan waktu sampai timbul nyeri. Metode tekanan dapat dilakukan terhadap anjing, tikus, dan mencit. 2.7.3.4 Metode Kimia Metode kimia dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro. Secara in vivo diberikan senyawa kimia dengan cara intraperitonial pada mencit dan harus menimbulkan respon spesifik akibat konstriksi abdomen seperti menggeliat dan merenggang. Senyawa kimia yang dapat digunakan adalah asam asetat, bradikinin, kalium klorida, asetil kolin, 5-hidroksitriptamin, fenilkinon, dan benzokinon. Secara in vitro metode ini dapat digunakan terhadap sel mast yang diisolasi dari cairan peritonium hewan percobaan, lalu dilihat apakah ada atau tidak degranulasi sel mast pada saat sebelum dan sesudah pemberian obat. Hewan percobaan yang dapat digunakan adalah anjing, tikus, merpati, ayam, dan mencit.
2.8 Antalgin (Dipiron)
Universitas Sumatera Utara
2.8.1 Sifat Kimia Nama kimia
: Natrium 2,3 - dimetil – 1 – fenil -5-pirazolon - 4-
etiamin etansulfonat Rumus molekul : C 13 H 16 N 3 NaO 4 S.H 2 O Berat molekul
: 351,37.
Rumus bangun antalgin dapat dilihat pada Gambar 2.5. di bawah ini. C6H5 CH3
N
O
N H2 C
CH3
N
O3SNa CH3
Gambar 2.5. Rumus bangun antalgin
2.8.2 Farmakologi Antalgin adalah obat golongan AINS, dikenal sebagai penghambat protaglandin, mempunyai efek analgesik dan antipiretik yang berbeda-beda, biasanya preparat aspirin lebih sesuai untuk meredakan sakit kepala dan demam (Kee dan Evelyn, 1996). Antalgin adalah salah satu obat penghilang rasa sakit atau sering disebut analgetika non-narkotik. Senyawa ini merupakan turunan 5-pirazolon yang secara umum digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada keadaan nyeri kepala, nyeri pada spasmus, ginjal, saluran empedu dan urin, nyeri gigi, dan nyeri pada reumatik. Efek samping yang ditimbulkan oleh turunan 5-pirazolon adalah agranulositosis (Siswandono dan Bambang, 1995). Secara farmakologi obat ini bekerja pada periferal dan sentral. Obat ini menimbulkan efek analgesik dengan cara menghambat langsung dan selektif enzim pada sistem saraf pusat yang mengkatalis biosintesis protaglandin, sehingga mencegah sensitisasi reseptor nyeri oleh mediator nyeri, seperti bradikinin, histamin, serotonin, prostasiklin, prostaglandin, ion hidrogen dan
Universitas Sumatera Utara
kalium. Mediator ini akan merangsang rasa sakit secara mekanis maupun kimiawi (Wilmana 1995, 1995; Siswandono dan Bambang,1995 ). Antalgin memiliki efek analgetik-antipiretik dan efek antiinflamasi yang lemah. Penggunaannya dibatasi pada nyeri akut pasca operasi, nyeri karena tumor, nyeri hebat karena penyakit akut dan kronis yang tidak dapat diatasi oleh analgesik non opiat lainnya. Pembatasan ini dilakukan karena efek sampingnya yang dapat menimbulkan agranulositosis, anemia aplastika dan trombositopenia. Penggunaan jangka panjang antalgin perlu diperhatikan kemungkinan diskrasia darah. Contoh sediaan dipasaran adalah neuralgin (Anonim, 2008).
2.9
Diklofenak
2.9.1
Sifat Kimia Diklofenak dengan nama kimia 2-(2-(2,6-diklorofenilamino)fenil)
asam asetat, memiliki rumus molekul C 14 H 11 Cl 2 NO 2 dengan berat molekul 296.148 g/mol. Rumus bangun diklofenak ditunjukkan pada Gambar 2.6 (Anonim, 2008).
Gambar 2.6. Rumus bangun diklofenak 2.9.2 Farmakologi Natrium diklofenak adalah suatu senyawa antiinflamasi nonsteroid yang bekerja sebagai analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi. Senyawa ini sangat merangsang lambung sehingga untuk mencegah efek samping ini bentuk sediaan oral (tablet) natrium diklofenak disalut enterik. Bagaimana mekanisme kerjanya belum diketahui sepenuhnya, tetapi secara umum mempunyai efek antiinflamasi, antipiretik
dan
analgesiknya
adalah
dengan
cara
menghambat
sintesis
prostaglandin dengan menginhibisi siklooksigenase (COX). Penghambatan COX
Universitas Sumatera Utara
akan
mengurangi
kadar
prostaglandin
di
epitelium
lambung,
yang
menyebabkannya lebih sensitif terhadap korosif asam lambung. Ini termasuk efek samping utama diklofenak. Diklofenak cenderung menghambat COX-2 lebih rendah (kira-kira 10 kali) ketimbang COX-1. Oleh karena itu, insiden terhadap gangguan lambung lebih rendah dibandingkan indometasin dan aspirin (Anonim, 2008). Obat ini tidak boleh diberikan secara intravena bersama-sama dengan AINS atau antikoagulan termasuk heparin (Sweetman, 2005).
Universitas Sumatera Utara