BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Respon Respons dikatakan Darly Beum sebagai tingkah laku balas atau sikap yang menjadi tingkah laku adekuat. Sementara itu Scheerer menyebutkan respons merupakan
proses
pengorganisasian rangsang
dimana
rangsang-rangsang
prosikmal di organisasikan. Sedemikian rupa sehingga sering terjadi representasi fenomenal dari rangsang prosikmal (Sarwono, 1998: 84). Respon pada prosesnya didahului sikap seseorang, karena sikap merupakan kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku kalau ia menghadapi suatu rangsangan tertentu. Jadi berbicara mengenai respon atau tidak respon tidak terlepas dari pembahasan sikap. Respon juga diartikan suatu tingkah laku atau sikap yang berwujud baik sebelum pemahaman yang mendetail, penilaian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu. Melihat sikap seseorang atau sekelompok orang tehadap sesuatu maka akan diketahui bagaimana respon mereka terhadap kondisi tersebut. Menurut Louis Thursone, respon merupakan jumlah kecenderungan dan perasaan, kecurigaan, dan prasangaka, pra pemahaman yang mendetail, ide-ide, rasa takut, ancaman dan keyakinan tentang suatu hal yang khusus. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa cara pengungkapan sikap dapat melalui: 1. Pengaruh atau penolakan 2. Penilaian
Universitas Sumatera Utara
3. Suka atau tidak suka 4. Kepositifan atau kenegatifan suatu objek psikologi Perubahan sikap dapat menggambarkan bagaimana respon seseorang atau sekelompok orang terhadap objek-objek tertentu seperti perubahan lingkungan atau situasi lain. Sikap yang muncul dapat positif yakni cenderung menyenangi, mendekati dan mengharapkan suatu objek, seseorang disebut mempunyai respon positif dilihat dari tahap kognisi, afeksi, dan psikomotorik. Sebaliknya seseorang mempunyai respon negatif apabila informasi yang didengarkan atau perubahan suatu objek tidak mempengaruhi tindakan atau malah menghindar dan membenci objek tertentu. Terdapat dua jenis variable yang mempengaruhi respon : 1. Variable struktural yakni faktor-faktor yang terkandung dalam rangsangan fisik 2. Variable fungsional yakni faktor-faktor yang terdapat dalam diri si pengamat, misalanya kebutuhan suasana hati, penglaman masa lalu (Cruthefield, dalam Sarwono, 1998: 47) Menurut Hunt (1962) orang dewasa mempunyai sejumlah unit untuk memproses informasi-informasi. Unit-unit ini dibuat khusus untuk menangani representasi fenomenal dari keadaaan diluar individu. Lingkungan internal ini dapat digunakan untuk memperkirakan peristiwa-peristiwa yang terjadi diluar. Proses yang berlangsung secara rutin inilah yang disebut Hunt sebagai suatu respon (Adi, 1994: 129). Teori rangsang balas (stimulus respon theory) yang sering juga disebut sebagi teori penguat dapat digunakan untuk menerangkan berbagai gejala tingkah laku sosial dan sikap. Yang artinya disini adalah kecenderungan atau kesediaan
Universitas Sumatera Utara
seseorang untuk bertingkah laku tertentu kalau ia mengalami rangsang tertentu. Sikap ini terjadi biasanya terhadap benda, orang, kelompok, nilai-nilai dan semua hal yang terdapat di sekitar manusia.
2.2. Anak berkonflik dengan Hukum Anak yang berkonflik dengan hukum merupakan istilah internasional yang digunakan terhadap anak yang disangka, didakwa maupun dipidana dalam masalah hukum. Dalam KHA, anak yang berkonflik dengan hukum ini dikategorikan ke dalam anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Salah satunya dinyatakan dalam pasal 37 KHA: "Tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu terpendek dan tepat." Dalam berbagai regulasi nasional, ada beberapa penyebutan untuk anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam UU Pengadilan Anak disebut anak nakal, sementara dalam UU Perlindungan Anak terdapat dua penyebutan, yakni anak yang berhadapan dengan hukum dan anak yang berkonflik dengan hukum. Apapun sebutannya, yang terpenting adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan anak harus dilakukan dengan mempertimbangan kepentingan terbaik bagi anak, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku. Penegak hukum harus mempertimbangan kepentingan terbaik bagi anak dalam proses penegakan hukum. Salah satunya dengan menggunakan alternatif hukuman lain selain pidana formal. Misalnya dengan mengembalikan kepada
Universitas Sumatera Utara
orangtua atau menempatkan mereka di pusat-pusat pembinaan. Jadi anak yang tertangkap tangan melakukan kejahatan tidak langsung ditangkap, ditahan dan diajukan ke pengadilan, tetapi harus menjalani proses-proses tertentu seperti pendampingan dan konseling untuk mengetahui apa yang menjadi kepentingan terbaik bagi mereka. Untuk mencegah masalah-masalah sejenis di masa mendatang, ada beberapa hal yang harus diperhatikan penegak hukum dalam rangka mempertimbangan kepentingan terbaik bagi anak yang berkonflik dengan hukum: 1. Pertama usia pertanggungjawaban pidana. Hal ini bermanfaat agar tidak sembarang anak dapat dibawa ke proses hukum, tetapi berdasarkan usia yang sudah ditetapkan. Indonesia menetapkan seorang anak dapat dibawa ke proses peradilan mulai dari usia delapan tahun. Usia ini sebenarnya sangat rendah. Di banyak negara usia pertanggungjawaban pidana antara 12-17 tahun. Seringkali usia ini menjadi masalah karena banyak anak tidak memiliki akta kelahiran sehingga sulit untuk mengasumsikan usia anak yang tidak diketahui usianya. Kondisi ini menyebabkan anak diberlakukan seperti orang dewasa saat berhadapan dengan hukum. Padahal berdasarkan Asian Guidelines for Child Trafficking dinyatakan bahwa apabila usia anak sulit ditebak, maka dia harus diasumsikan sebagai anak. 2. Kedua proses hukum dan sistem administrasi peradilan anak. Mulai dari tahap penyidikan, persidangan dan pemenjaraan seringkali sebagai tempat dilanggarnya hak-hak anak. Pada tahap awal proses penyidikan, semestinya orangtua anak harus telah diberitahukan mengenai kondisi anak. Bila orangtua tidak ada, maka harus dipilih walinya. Selanjutnya
Universitas Sumatera Utara
anak harus mendapatkan pendampingan, baik pendampingan untuk proses konseling oleh psikolog, maupun pendamping hukum dengan biaya yang ditanggung negara. 3. Ketiga mengenai kesehatan. Perawatan kesehatan fisik dan psikis anak sering tidak menjadi perhatian negara selama anak menjalani proses penahanan dan pemidanaan. Bahkan dalam banyak kasus anak mengalami kekerasan fisik baik yang dilakukan oleh aparat negara, maupun sesama tahanan atau narapidana lainnya. 4. Keempat pendidikan. Anak yang melakukan tindak pidana umumnya dikeluarkan dari sekolah, padahal belum ada keputusan tetap yang mengikat, apakah anak tersebut bersalah atau tidak, sehingga menyalahi prinsip praduga tak bersalah dan tentunya menghilangkan hak anak atas pendidikan. Harus diingat, pemenjaran hanya menghilangkan hak bergerak seseorang, sementara hak-hak lainnya tetap wajib didapatkan. Jika seorang anak dipidana penjara, maka seluruh hak-haknya yang lain wajib diberikan, misalnya hak atas pendidikan, hak untuk terbebas dari tindak kekerasan
(http://www.kksp.or.id/ind/?pilih=lihat&topik=9&id=286
diakses 4 Oktober 2009 Pukul 17.55 WIB).
2.3.
Pelayanan Sosial Pelayanan sosial adalah usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai
tujuan dalam pencapaian kesejahteraan sosial. Pelayanan sosial merupakan usaha pendorong, penawar, pengganti bagi keluarga yang institusi pendidikan; serta merupakan bagian dari mekanisme sosialisasi dan kontrol sosial keluarga, sekolah
Universitas Sumatera Utara
dan pelayanan-pelayanan yang dirangkai untuk menyediakan sumber-sumber pribadi dan sosial yang esensial guna pelaksanaan peranan-peranan sosial yang efektif (Sekarningsih, 1983: 77). Pelayanan sosial bukan hanya sebagai usaha memulihkan, memelihara, meningkatkan kemampuan berfungsi sosial individu dan keluarga, melainkan juga sebagai usaha untuk menjamin berfungsinya kolektifitas seperti kelompokkelompok sosial, organisasi serta masyarakat (Fadhil, 1990: 30). Pelayanan-pelayanan sosial membentuk dan menyediakan sumber-sumber yang disediakan untuk membantu orang-orang memperbaiki kompetensi sosialnya, mempengaruhi dan mengubah tingkah laku dan memecahkan masalah penyesuaian diri. Pelayanan sosial telah dan mungkin akan diklasifikasikan dalam berbagai cara, tergantung dari tujuan klasifikasi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengemukakan fungsi pelayanan sosial sebagai berikut: 1. Peningkatan kondisi kehidupan masyarakat 2. Pengembangan sumber-sumber manusiawi 3. Organisasi
masyarakat
terhadap
perubahan-perubahan
sosial
dan
penyesuaian sosial 4. Mobilisasi dan pencipta sumber-sumber masyarakat. Untuk tujuan pembangunan 5. Penyediaan dan Penyelenggaraan struktur kelembagaan untuk tujuan agar pelayanan-pelayanan yang terorganisasi dapat berfungsi.
Universitas Sumatera Utara
Alfred J. Khan menyatakan bahwa fungsi utama pelayanan sosial adalah: 1. Pelayanan Sosial untuk Sosialisasi dan pengembangan 2. Pelayanan Sosial untuk penyembuhan, perlindungan dan rehabilitasi 3. Pelayanan akses. Pelayanan sosial untuk sosialisasi dan pengembangan dimaksudkan untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam diri anak dan pemuda melalui programprogram pemeliharaan, pendidikan (non formal) dan pengembangan. Tujuannya yaitu untuk menanamkan nilai-nilai masyarakat dalam usaha pengembangan kepribadian anak. (Soetarso, 1979: 40) Bentuk-bentuk pelayanan sosial tersebut antara lain: 1. Program Penitipan Anak 2. Program-program kegiatan remaja atau pemuda 3. Program-program pengisian waktu terulang bagi anak dan remaja dalam keluarga. Pelayanan Sosial untuk penyembuhan, perlindungan dan rehabilitasi mempunyai tujuan untuk melaksanakan pertolongan kepada seseorang, baik secara individual maupun di dalam kelompok atau keluarga dan masyarakat agar mampu mengatasi masalah-masalahnya. Bentuk-bentuk pelayanan sosial tersebut antara lain : 1. Bimbingan sosial bagi keluarga 2. Program asuhan keluarga dan adopsi anak 3. Program bimbingan bagi anak nakal dan bebas hukuman 4. Program-program rehabilitasi bagi penderita cacat 5. Program-program bagi lanjut usia
Universitas Sumatera Utara
6. Program-program penyembuhan bagi penderita gangguan mental 7. Program-program bimbingan bagi anak-anak yang mengalami masalah dalam bidang pendidikan 8. Program-program bimbingan bagi para pasien di rumah-rumah sakit Kebutuhan akan program pelayanan sosial akses disebabkan oleh karena: 1. Adanya birokrasi modern 2. Perbedaan tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap hal-hal dan kewajiban/tanggung jawabnya. 3. Diskriminasi dan 4. Jarak geografi antara lembaga-lembaga pelayanan dari orang-orang yang memerlukan pelayanan sosial. Dengan adanya berbagai kesenjangan tersebut, maka pelayanan sosial disini mempunyai fungsi sebagai “akses” untuk menciptakan hubungan bimbingan yang sehat antara berbagai program, sehingga program-program tersebut
dapat
berfungsi
dan
dimanfaatkan
oleh
masyarakat
yang
membutuhkannya. Pelayanan akses bukanlah semata-mata memberikan informasi, tetapi juga termasuk menghubungkan seseorang dengan sumber-sumber yang diperlukan dengan melaksanakan program-program referral. Fungsi tambahan dari pelayanan sosial ialah menciptakan partisipasi anggota masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah sosial. Tujuannya dapat berupa : Terapi individual dan sosial untuk memberikan kepercayaan pada diri individu dan masyarakat dan untuk mengatasi hambatan-hambatan sosial dalam pembagian politis, yaitu untuk mendistribusikan sumber-sumber dan kekuasaan.
Universitas Sumatera Utara
Partisipasi mungkin merupakan konsekuensi dari bagaimana program itu diorganisir, dilaksanakan dan disusun. Partisi kadang-kadang merupakan alat, kadang-kadang merupakan alat, kadang-kadang merupakan tujuan. Ada yang memandang bahwa partisipasi dan pelayanan merupakan dua fungsi yang selalu konflik, karenanya harus dipilih salah satu. Karenanya harus dipilih partisipasi sebagai tanggungjawab masyarakat dan pelayanan sebagai tanggungjawab program. Pada umumnya sesuatu program sulit untuk meningkatkan keduaduanya
sekaligus.
Pendapat
demikian
selalu
benar.
Pelayanan
sosial
membutuhkan pada tingkat tertentu partisipasi masyarakat (Muhidin, 1992: 41)
2.4.
Peranan LSM melalui Program sebagai Pendamping terhadap anak yang berkonflik dengan hukum Pendampingan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam bidang
advokasi sangatlah penting dalam proses hukum yang dialami anak. Anak adalah warga negara yang belum dewasa, tidak memiliki kemampuan hukum (consent) untuk melakukan perbuatan hukum. Untuk itu, anak yang berkonflik dengan hukum harus melibatkan orangtua atau wali maupun pendamping, khususnya pendamping LSM sebagai orang yang memiliki consent untuk menuntut hak asasi mereka dalam proses hukum tersebut. Proses pemeriksaan juga harus dilakukan dengan tatacara ramah anak, seperti dilakukan orang yang ahli dalam bidang anak berdasarkan persetujuan anak, dalam bahasa yang dimengerti anak dan bila bahasa itu tidak dimengerti harus diberikan penerjemah. Anak harus diberikan kesempatan untuk beristirahat, kehidupan pribadi yang tidak di publikasikan dan tentu saja tanpa kekerasan terhadap anak.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya dalam proses peradilan, hakim dan jaksa tidak boleh mengenakan toga karena akan menimbulkan ketakutan dan dampak psikologis lainnya bagi anak. Adapun Program yang dilakukan oleh PKPA-PUSPA secara tertulis: 1. Layanan Hukum yaitu pendampingan yang diberikan baik secara litigasi dan non litigasi terhadap korban tidak hanya pada saat pelaporan/ pengaduan dan pengambilan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di kepolisian tetapi tidak sampai pada proses penuntutan di kejaksaan dan pemeriksaan di pengadilan. 2. Konseling yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan kepada korban untuk mengetahui kondisi psikologi termasuk mempertanyakan keinginan korban terhadap kasus yang sedang dialaminya, apakah korban setuju kasusnya diproses secara hukum atau tidak. Prinsip yang akan digunakan tetap berpegang kepada prinsip terbaik bagi anak. 3. Penjemputan atau penyelamatan korban merupakan tindakan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya sesuatu hal yang mengancam keselamatan korban. Apabila pelaku atau korban telah kembali maka upaya ini dianggap tidak perlu dilakukan 4. Pemeriksaan kondisi kesehatan korban merupakan langkah medis yang dilakukan untuk menyelamatkan korban dari tindak kekerasan yang dialami. Dalam pemeriksaan kesehatan secara umum di lakukan di Unit Layanan kesehatan anak dan perempuan LKAP-PKPA. Sementara untuk pemeriksaan visum et repertum dilakukan di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sumut atau atas petunjuk penyidik.
Universitas Sumatera Utara
5. Drop In Center (DIC) merupakan rumah aman sementara bagi korban yang tujuannya semata-mata untuk melindungi korban dari intimidasi ataupun ancaman yang datang dari pelaku/ keluarga pelaku, keluarga korban atau pihak ketiga yang sengaja ingin mengambil keuntungan atau mengeksploitasi korban kembali. Korban akan kembali ke keluarga apabila kondisi sudah memungkinkan untuk itu. 6. Monitoring dan evaluasi merupakan pemantauan yang dilakukan secara reguler terhadap korban guna mengetahui kegiatan positif yang telah dilakukan oleh korban setelah kembali kepada keluarga.
2.5.
Kesejahteraan Sosial
2.5.1. Definisi Kesejahteraan Sosial Istilah kesejahteraan sosial banyak diulas sebagai suatu padanan kata yang benar-benar padu. Istilah ini sudah menjadi konsep sehari-hari, termasuk dalam hal ketatabahasannya. Istilah kesejahteraan sosial sering diidentikkan dengan “kesejahteraan masyarakat atau kesejahteraan umum”. Begitu pun ada baiknya kita memilah kedua padanan kata tersebut. Istilah “kesejahteraan sosial” juga dibangun oleh dua kata, yaitu “kesejahteraan dan sosial”. Istilah sosial tadi sudah kita ulas di atas. Sedangkan tentang kesejahteraan kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan : “Sejahtera artinya aman, sentosa, makmur, selamat (terlepas dari segala macam gangguan dan kesusahan). Sedangkan
kesejahteraan
artinya
keamanan,
keselamatan,
ketentraman,
kesenangan hidup dan kemakmuran (Mahadi, 1993: 550).
Universitas Sumatera Utara
Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Pasal 1dinyatakan: 1.
Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
2.
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.
3.
Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial.
4.
Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktek pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.
5.
Relawan Sosial adalah seseorang dan/atau kelompok masyarakat, baik yang berlatar belakang pekerjaan sosial maupun bukan berlatar belakang pekerjaan sosial, tetapi melaksanakan kegiatan penyelenggaraan di bidang
Universitas Sumatera Utara
sosial bukan di instansi sosial pemerintah atas kehendak sendiri dengan atau tanpa imbalan. 6.
Pelaku Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah individu, kelompok, lembaga kesejahteraan sosial, dan masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
7.
Lembaga Kesejahteraan Sosial adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hokum maupun yang tidak berbadan hukum.
8.
Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.
9.
Perlindungan Sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial.
10. Pemberdayaan Sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. 11. Jaminan Sosial adalah skema yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. 12. Warga Negara adalah warga negara Republik Indonesia yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. 13. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
Universitas Sumatera Utara
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 14. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsure penyelenggara pemerintahan daerah. 15. Menteri
adalah
menteri
yang
membidangi
urusan
(http://www.depsos.go.id/modules.php?name=Downloads&d_op=getit&lid= 105 diakses tanggal 27 Februari 2010 pukul 20.00 WIB) Oleh Walter A. Friedlander, mengutarakan bahwa konsep dan istilah kesejahteraan sosial dalam pengertian program yang ilmiah baru saja dikembangkan sehubungan dengan masalah sosial dari pada masyarakat kita yang industrial. Kemiskinan, kesehatan yang buruk, penderitaan dan disorganisasi sosial telah ada dalam sejarah kehidupan umat manusia, namun masyarakat yang industrial dari abad ke 19 dan 20 ini menghadapi begitu banyak masalah sosial sehingga lembaga-lembaga insani yang sama seperti keluarga, ketetanggaan, gereja, dan masyarakat setempat tidak mampu lagi mengatasinya secara memadai. Berikut ini beberapa defenisi yang menjelaskan arti kesejahteraan sosial. W.A Fridlander mendefenisikan : “Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari usahausaha dan lembaga-lembaga sosial yang ditujukan untuk membantu individu maupun kelompok dalam mencapai standart hidup dan kesehatan yang memuaskan serta untuk mencapai relasi perseorangan dan sosial yang dapat memungkinkan mereka mengembangkan kemampuankemampuannya secara penuh untuk mempertinggi kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakat”. (Muhidin, 1984: 1-2.)
Universitas Sumatera Utara
Defenisi menurut W.A Fridlander menjelaskan : 1. Konsep kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem atau “organized system” yang berintikan lembaga-lembaga dan pelayanan sosial. 2. Tujuan sistem tersebut adalah untuk mencapai tingkat kehidupan yang sejahtera dalam arti tingkat kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan juga relasi-relasi sosial dengan lingkungannya. 3. Tujuan
tersebut
dapat
dicapai
dengan
cara,
meningkatkan
“kemampuan individu” baik dalam memecahkan masalahnya maupun dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam Kamus Ilmu Kesejahteraan Sosial disebutkan pula : “Kesejahteraan Sosial merupakan keadaan sejahtera yang meliputi keadaan jasmaniah, rohaniah dan sosial tertentu saja. Bonnum Commune atau kesejahteraan sosial adalah kesejahteraan yang menyangkut keseluruhan syarat, sosial
yang
memungkinkan
dan
mempermudah
manusia
dalam
memperkembangkan kepribadianya secara sempurna” (Suparlan, 1989: 53). Sementara itu Skidmore, sebagaimana dikutip oleh Drs. Budie Wibawa, menuturkan : “Kesejahteraan Sosial dalam arti luas meliputi keadaan yang baik untuk kepentingan orang banyak yang mencukupi kebutuhan fisik, mental, emosional, dan ekonominya” (Wibawa, 1982: 13).
2.5.2. Usaha Kesejahteraan Sosial Dalam Undang-undang RI No. 6 Tahun 1974, tentang ketentuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial disebabkan bahwa usaha-usaha kesejahteraan sosial adalah semua upaya, program dan kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan,
Universitas Sumatera Utara
membina, memelihara, memulihkan, dan mengembangkan kesejahteraan sosial (Nurdin, 1989: 79). Dalam pernyataan tersebut terkandung pengertian bahwa usaha-usaha kesejahteraan sosial merupakan upaya ditujukan kepada manusia baik individu, kelompok maupun masyarakat. Dalam undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, pasal 2 dinyatakan : 1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarga maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang secara wajar. 2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna. 3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan,baik semasa dalam kandungan maupun setelah dilahirkan. 4. Anak berhak atas perlindungan terhadap yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar (Nurdin, 1989: 123). Pernyataan tersebut di atas menegaskan bahwa anak berhak untuk mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial. Pelayanan kesejahteraan sosial anak-anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
2.6.
Kerangka Pemikiran Perlakukan terhadap anak perlu dibedakan karena pada saat itu darah,
tubuh dan jiwa si anak sedang mengalami perkembangan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa si anak sedang dalam keadaan labil. Jadi ada sesuatu yang berbeda ketika kita berbicara tentang anak. Anak itu bukan orang dewasa dalam ukuran mini, karena itu kita harus memberikan treatment yang berbeda. Kemudian dia juga dalam masa pertumbuhan dan situasi ini masuk kelompok rawan yang harus diproteksi sejak awal. Hal itu menyebabkan adanya pembedaan perlakuan terhadap anak terkhusus bagi anak-anak yang mengalami konflik dengan hukum. Dalam hal ini Lembaga Swadaya Masyarakat PKPA-PUSPA sebagai salah satu unit pelaksana teknis untuk memberikan layanan dan dampingan anak-anak yang berkonflik dengan hukum bagi anak sebagai pelaku maupun anak sebagai korban. Melalui program-programnya dapat membantu anak-anak yang mengalami masalah dan yang dapat mengganggu kejiwaan maupun kehidupan sosialnya. Adapun program pelayanan sosial bagi anak yang berkonflik dengan hukum adalah: 1.
Layanan Hukum
2.
Konseling
3.
Penjemputan/penyelamatan korban
4.
Pemeriksaan kondisi kesehatan korban
5.
Monitoring dan evaluasi Dengan adanya program-program layanan sosial ini, maka timbullah
respon dari anak itu sendiri yang berupa tingkah laku atau sikap, apakah memang
Universitas Sumatera Utara
si anak nyaman dengan layanan program yang telah diberikan atau tidak untuk mengatasi masalah yang dihadapi anak tersebut. Respon yang akan muncul dapat terbagi menjadi dua respon yang berbeda dan yang menimbulkan perbedaan tingkahlaku anak secara langsung maupun tidak lansung yaitu: 1.
Respon Positif (p)
2.
Respon Negatif (n)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Bagan Alur Pemikiran LSM PKPA
PROGRAM PELAYANAN SOSIAL 1. Layanan Hukum 2. Konseling 3. Penjemputan penyelamatan korban 4. Pemeriksaan kondisi kesehatan korban 5. Monitoring dan evaluasi
Respon Anak
Respon Positif (+) : 1. Setuju dengan program pelayanan sosial. 2. Mengharapkan hasil yang memuaskan dari program pelayanan sosial
Respon Negatif (-) : 1. Tidak setuju dengan program pelayanan sosial. 2. Bersikap apatis terhadap program pelayanan sosial 3. Tidak mengharapkan apa apa dari program pelayanan sosial
Universitas Sumatera Utara
2.7.
Definisi Konsep dan Definisi Operasional
2.7.1. Definisi Konsep Konsep adalah unsur penelitian yang terpenting dan merupakan defenisi yang dipakai oleh para peneliti yang memnggambar abstrak suatu fenomena sosial ataupun fenomena alami (Singarimbun, 1989 : 17) Penelitian ini dimaksud untuk mengetahui respon anak yang berkonflik dengan hukum terhadap program pelayanan sosial oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, oleh karena itu yang menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini maka dirumuskan dan didefenisikan istilah yang digunakan secara mendasar agar tercipta suatu persamaan persepsi dan tidak muncul salah pengertian pemakaian istilah yang dapat mengatur tujuan penelitian. Yang menjadi konsep penelitian ini adalah: 1. Respon adalah tingkah laku atau sikap yang berwujud baik sebelum pemahaman yang mendetail, penilaian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu. 2. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang disangka, didakwa, maupun yang dipidana serta anak yang sangat membutuhkan perlindungan hukum. 3. Pelayanan Sosial adalah suatu aktivitas yang terorganisir yang bertujuan untuk menolong orang-orang agar mendapat suatu penyesuaian timbal balik antara individu dan lingkungan sosialnya. 4. Program Pelayanan Sosial adalah Kegiatan-kegiatan pelayanan sosial untuk penyembuhan, perlindungan dan rehabilitasi mempunyai tujuan untuk melaksanakan pertolongan kepada seseorang, baik secara individual
Universitas Sumatera Utara
maupun di dalam kelompok atau keluarga dan masyarakat dalam upaya mencapai saling penyesuaian. 5. PKPA-PUSPA adalah sebuah lembaga sosial yang memfokuskan pada kajian dan perlindungan anak serta menangani anak bermasalah dan yang berkonflik dengan hukum.
2.7.2. Definisi Operasional Defenisi operasional adalah informasi ilmiah yang membantu peneliti dengan menggunakan suatu variabel atau dengan kata lain defenisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana mengukur suatu variabel (Singarimbun, 1989 : 46). Untuk memberikan kemudahan dalam memahami variabel dalam penelitian ini, maka diukur melalui indikator-indikator sebagai berikut: 1.
Respon Positif 1. Setuju dengan program Pelayanan Sosial oleh PKPA 2. Mengharapkan hasil yang memuaskan dari program Pelayanan Sosial oleh PKPA
2.
Respon Negatif Respon negatif terjadi apabila informasi atau program yang didengar atau perubahan sesuatu objek tidak mempengaruhi tindakannya atau malah menghindari dan membenci objek tertentu. 1. Tidak setuju dengan program Pelayanan Sosial oleh PKPA 2. Bersikap apatis terhadap program Pelayanan Sosial oleh PKPA 3. Tidak mengharapkan apa-apa dari Pelayanan Sosial oleh PKPA.
Universitas Sumatera Utara