BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konfigurasi Bandar Udara 2.1.1 Definisi Menurut peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor: SKEP/161/IX/2003, Bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat kargo dan/atau pos, serta dilengkapi dengan fasilitas keselamatan penerbangan dan sebagai tempat perpindahan antar moda transportasi. Konfigurasi bandar udara didefinisikan sebagai jumlah dan orientasi landasan pacu dan letak daerah terminal realtif terhadap landasan pacu. Jumlah landasan pacu tergantung pada volume lalulintas dan orientasi tergantung pada arah angin dan pada luas daerah yang tersedia untuk pengembangan bandar udara. Gedung-gedung terminal untuk melayani penumpang harus terletak sedemikian rupa sehingga penumpang dengan mudah dan cepat dapat mencapai landasan pacu (Horonjeff dan McKelvey, 1988).
2.1.2
Landas pacu (runway)
Berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor: SKEP/161/IX/2003, landas pacu (runway) adalah suatu bidang persegi panjang tertentu didalam lokasi bandar udara yang dipergunakan untuk pendaratan dan lepas landas pesawat udara. II- 1 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Pada dasarnya landasan dan penghubungnya taxiway diatur sedemikian rupa hingga memenuhi persyaratan berikut ini: a.
Memenuhi
persyaratan
“separation”
pemisahan
lalu
lintas
secukupnya. b.
Meminimalkan gangguan operasi antar pesawat serta penundaan didalam pendaratan, taxiway serta lepas landas.
c.
Pembuatan taxiway dari bangunan terminal menuju ujung landasan untuk lepas landas dipilih yang paling pendek.
d.
Pembuatan taxiway memenuhi kebutuhan hingga pendaratan pesawat dapat secepatnya mencapai bangunan terminal.
2.1.3
Landas hubung (taxiway)
Fungsi utama landas hubung (taxiway) adalah untuk memberikan jalan masuk landasan pacu kedaerah terminal dan hangar pemeliharaan atau sebaliknya.(Horonjeff dan McKelvey,1988). Pada bandar udara yang sibuk dimana lalu lintas di taxiway bergerak serentak dikedua arah, perlu dibuat taxiway yang sejajar (paralel). Taxiway dibandara yang sibuk sebaiknya ada diberbagai titik sepanjang landasan pacu, sehingga pesawat yang mendarat dapat meninggalkan runway secepat mungkin agar runway dapat segera digunakan oleh pesawat yang lain. Bila memungkinkan, taxiway dibuat tidak memotong runway (Sartono, 1992). Pada sebahagian besar bandar udara, taxiway membuat sudut siku-siku dengan landasan, maka pesawat yang akan mendarat harus diperlambat sampai II- 2 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/
kecepatan yang sangat rendah sebelum belok masuk ke taxiway. Sebuah taxiway yang
direncanakan
untuk
pesawat
berbelok
dengan
kecepatan
tinggi
meninggalkan landasan, mengurangi waktu pemakaian landasan. Hal ini memudahkan mengatur lalu lintas udara (PLLU) atau Air Trafic Controller (ATC) memberi jarak yang lebih dekat satu pesawat kepada pesawat yang lain, sehingga kapasitas landasan meningkat, atau dalam pemanfaatan waktu pesawat yang akan lepas landas bida ditempatkan diantara dua pesawat berurutan yang akan mendarat (Basuki, 1984).
Landas parkir (apron)
2.1.4
Menurut Sartono (1992), apron adalah bagian aerodrome yang digunakan oleh pesawat terbang untuk parkir, menunggu, mengisi bahan bakar, mengangkut dan
membongkar
muat
barang
penumpang.
Perkerasannya
dibangun
berdampingan dengan terminal building. Ukuran apron tergantung dari beberapa faktor berikut: a.
Ukuran loading area yang dibutuhkan oleh masing-masing pesawat. Area ini juga disebut gate pisition yang terdiri dari: 1) Area untuk pesawat yang diparkir; 2) Peralatan perbaikan; 3) Alat-alat untuk penumpang;
b.
Jumlah gate position.
c.
Sistem parkir pesawat.
II- 3 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Menurut Basuki (1984), hal-hal yang perlu diperhatikan ketika merencanakan sebuah apron sebagai kelengkapan dari lapangan terbang yaitu: a.
Konfigurasi bangunan terminal apakah linear, satelit, atau pier finger.
b.
Ramalan kebutuhan parkir pesawat selama perioda jam puncak dan informasi mengenai pesawat campuran.
c.
Dimensi pesawat, berat dan jari-jari belok.
d.
Konfigurasi parkir pesawat.
e.
Wing tip clearence bagi pesawat terhadap pesawat lain atau objek yang berhenti.
f.
Efek jet blast (semburan jet).
g.
Instalasi hidrant BBM dan lain-lain (sistim hidran BBM, sumber daya listrik, sistim hidran air, sistim pengatur hawa) yang tetap di apron.
h.
Kebutuhan jalan pelayanan apron.
i.
Kebutuhan peralatan parkir.
j.
Kemiringan apron.
k.
Marking apron.
Apron dibuat cukup luas sehingga bila pesawat dianggap tidak bisa melakukan proses lepas landas disebabkan oleh apa saja, pesawat lain yang antri untuk lepas landas bisa menyalipnya (Basuki, 1984).
2.1.5 Analisa angin Analisa angin merupakan dasar bagi perencanaan bandar udara, sebagai pedoman pokok, landasan pada bandar udara arahnya harus sedemikian hingga II- 4 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/
searah dengan “prevailing wind” (arah angin dominan). Ketika mengadakan pendaratan dan lepas landas, pesawat dapat mengadakan manuver sejauh komponen angin samping (cross wind) tidak berlebihan (Basuki, 1984). Angin sisi maksimum yang diperbolehkan tidak hanya tergantung pada ukuran pesawat, tetapi juga pada susunan sayap dan juga keadaan permukaan landasan .(Horonjeff dan McKelvey,1988). Persyaratan FAA untuk cross wind semua bandar udara kecuali utility, landasan harus mengarah sehingga pesawat dapat mendarat 95% dari waktu dengan komponen cross wind tidak melebihi 13 knots (15mph). Sedangkan untuk lapangan terbang utility, komponen cross wind diperkecil menjadi 10 knots (11,5mph). ICAO juga menetukan bahwa landas pacu diorientasikan sehingga pesawat dapat mendarat pada 95% dari waktu dengan komponen cross wind 20 knots untuk landas pacu kategori A dan B, 13 knots untuk kategori C, dan 10 knots untuk kategori D dan E (Sartono, 1992). Sesudah dipilih komponen cross wind maximum yang diijinkan, arah landasan yang paling memenuhi syarat bisa ditentukan dengan mengadakan perhitungan dari karakter angin dari kondisi-kondisi dibawah ini: a.
Seluruh liputan angin tanpa mengindahkan pengaruh jarak pandang atau tingginya awan (cloud ceiling).
b.
Kondisi angin ketika tinggi awan antara 200 feet dan 1000 feet dan atau jarak penglihatan antara 1 sampai 3 mi.
II- 5 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.2
Pesawat 2.2.1 Karakteristik pesawat Dalam merancang sebuah bandar udara lengkap dengan fasilitasnya,
dibutuhkan pengetahuan sifat-sifat pesawat terbang secara umum untuk merencanakan prasarananya. Pesawat terbang yang digunakan dalam operasi penerbangan mempunyai kapasitas yang bervariasi mulai dari 10 sampai 500 penumpang. Pesawat terbang “general aviation” dikategorikan semua pesawat terbang kecil yang bisa mengangkut penumpang/barang kurang dari 20 orang dan pengaturannya sebagai mobil pribadi (Basuki, 1984). Karakteristik pesawat terbang terdiri atas (Sartono, 1992): a.
Berat Berat pesawat terbang untuk menentukan ketebalan perkerasan landas (runway,taxiway,turning area, dan apron).
b.
Ukuran Lebar sayap dan panjang badan menentukan: 1) Ukuran apron yang nantinya mempengaruhi konfigurasi terminal. 2) Lebar runway dan taxiway.
c.
Konfigurasi roda Konfigurasi roda (single, dual, dual tandem) mempengaruhi tebal area pendaratan. Pesawat berukuran besar umunya mempunyai konfigurasi dual tandem sehingga dapat mendistribusikan beban pesawat ke lapisan perkerasan.
II- 6 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/
d.
Kapasitas Kapasitas penumpang memiliki arti penting bagi fasilitas terminal.
e.
Panjang runway Panjang runway mempengaruhi sebagian besar lahan yang dibutuhkan disebuah bandara. Panjang runway sendiri dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar bandara, seperti suhu, angin, dan ketinggian.
2.2.2 Komponen beban pesawat Berat pesawat dan komponen-komponen berat adalah yang paling menentukan dalam menghitung panjang runway dan kekuatan perkerasannya (Basuki,1984). Definisi berbagai istilah bobot pesawat sesuai dengan jenis pesawat yang digunakan (Air Plane Characteristic, Airbus A 330): a.
Maximum Taxi Weight (MTW) Berat maximum yang diizinkan untuk taxi. Pada saat taxiing dari apron menuju ujung runway, pesawat berjalan dengan kekuatannya sendiri, membakar bahan bakar sehingga kehilangan berat. Berat ini juga disebut Maximum Ramp Weight (MRW).
b.
Maximum landing weight (MLW) Maximum landing weight (MLW) Adalah beban maximum pada saat roda pesawat menyentuh lapis perkerasan sesuai dengan bobot pesawat dan persyaratan kelayakan penerbangan.
c.
Maximum Take-Off Weight (MTOW) II- 7 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bobot maximum diawal take-off adalah beban maximum pada awal lepas landas sesuai dengan bobot pesawat dan kelayakan penerbangan. Beban ini meliputi bobot operasi kosong, bahan bakar dan cadangan (tidak termasuk bahan bakar yang digunakan untuk melakukan gerakan awal) dan muatan (payload). d.
Maximum Zero Fuel Weight (MZFW) Bobot maximum yang terdiri atas OEW (operating emty weight) dan maximum payload dan dimana semua berat tambahan pasti dibahan bakar, sehingga ketika pesawat berada diudara, moment lentur pada sambungan sayap dan badan pesawat tidak berlebihan.
e.
Operational Empty Weight (OEW) OEW adalah beban dasar pesawat termasuk awak pesawat dan seluruh roda yang dibutuhkan untuk terbang, tetapi tidak termasuk muatan dan bahan bakar. Besarnya OEW tidak konstan tergantung dari konfigurasi tempat duduk.
f.
Maximum payload Payload terdiri dari beban penumpang, surat, dan kargo. Maximum payload adalah payload terbanyak yang dijinkan pemerintah, baik kargo penumpang, atau kombinasi keduanya. Secara teoritis, payload maximum adalah selisih antara maximum zero fuel weight (MZFW) dan operational emty weight (OEW).
II- 8 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/
g.
Maximum Seating Capacity Jumlah maximum penumpang yang secara rinci atau diantisipasi untuk menjamin keselamatan.
h.
Maximum Cargo Volume Volume maximum yang tersedia untuk muatan.
2.3
Landasan Pacu (Runway)
2.3.1 Karakteristik fisik (physical characteristics) Menurut ICAO (1999), ada beberapa elemen landasan pacu yang diperlukan untuk perencanaan bandar udara diantaranya : a.
Jumlah dan orientasi runway
Jumlah dan orientasi runway harus ditentukan berdasarkan syarat bahwa faktor penggunaan tidak boleh kurang dari 95 % bagi pesawat-pesawat yang akan dilayani oleh suatu bandara. Syarat diatas bisa dipenuhi bila bandara dalam kondisi normal, yaitu kondisi dengan kecepatan cross wind tidak boleh melebihi: 1) 37 km/jam (20 knots) bagi pesawat dengan ARFL ≥ 1500 m. kecuali pada kondisi dimana koefisien gesek memanjang kurang baik, crosswind diisyaratkan tidak melebihi 24 km/jam (13 knots). 2) 24 km/jam (13 knots) bagi pesawat-pesawat dengan ARFL ≥ 1200 m tapi < 1500 m. 3) 19 km/jam (10 knots) bagi pesawat-pesawat dengan ARFL < 1200 m.
II- 9 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/
b.
Panjang runway
Panjang runway utama harus memenuhi persyaratan operasional pesawat rencana dimana runway dimaksudkan dan harus tidak kurang dari yang terpanjang yang ditentukan dengan menerapkan koreksi untuk kondisikondisi lokal untuk operasi dan karakteristik dari pesawat. Panjang runway sekunder ditentukan dengan cara yang sama seperti runway utama kecuali panjang runway digunakan hanya untuk pesawat yang memerlukan runway sekunder, yang bertujuan untuk menambah runway yang lain atau dalam rangka memperoleh faktor penggunaan sedikitnya 95%.
c.
Lebar runway
Menurut ICAO (1999), lebar runway dapat dilihat pada Table 3.1. Table 3.1 Lebar runway Code letter
Code
*
number
A
B
C
D
E
F
1
18 m
18 m
23 m
-
-
-
2
23 m
23 m
30 m
-
-
-
3
30 m
30 m
30 m
45 m
-
-
4
-
-
45 m
45 m
45 m
60 m
lebar landasan presisi tidak boleh kurang dari 30 m untuk kode angka 1 dan 2
(Sumber: ICAO, 1999)
II- 10 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Perhitungan panjang runway
2.3.2
Lingkungan bandar udara yang berpengaruh terhadap panjang runway adalah temperatur, angin permukaan (surface wind), kemiringan runway (effective gradient), elevasi runway dari permukaan laut (altitude) dan kondisi permukaan runway. Berdasarkan rekomendasi dari ICAO (International Civil Aviation Organization) bahwa perhitungan panjang runway harus disesuaikan dengan kondisi lokal lokasi bandara. Metoda ini dikenal dengan metoda Aeroplane Reference Field Length (ARFL). Menurut ICAO, ARFL adalah runway minimum yang dibutuhkan untuk lepas landas pada maximum certificated take-off weight, elevasi muka laut, kondisi atmosfer standar, keadaan tanpa angin bertiup, runway tanpa kemiringan (kemiringan = 0). Jadi, di dalam perencanaan persyaratanpersyaratan tersebut harus dipenuhi dengan melakukan koreksi akibat pengaruh dari keadaan lokal lokasi bandar udara. Setiap pesawat mempunyai ARFL berbeda-beda yang dikeluarkan oleh pabrik pembuatnya, sehingga panjang landasan yang dibutuhkan oleh pesawat sesuai dengan kemampuan menurut perhitungan pabrik. Faktor koreksi perhitungan panjang runway tersebut adalah sebagai berikut: a.
Koreksi ketinggian Bila ketinggian bertambah maka kerapatan udara akan berkurang,
hal ini menyebabkan gaya angkat sayap dari pesawat berkurang dan pesawat membutuhkan kecepatan lebih besar di landasan sebelum terbang. II- 11 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/
ICAO merekomendasikan bahwa ARFL bertambah 7 % setiap kenaikan 300 m (1000ft) dihitung dari ketinggian muka laut. Adapun faktor ketinggian tercantum pada persamaan 3.2 (Sartono, 1992). Fe = 1 + 0.07
..............(3.2)
dengan : Fe = faktor koreksi elevasi H = elevasi Bandar udara (m)
b.
Koreksi temperature Pada temperature yang lebih tinggi, dibutuhkan landasan yang
lebih panjang karena dengan temperature yang tinggi maka kerapatan udara rendah menghasilkan gaya dorong yang rendah. Sebagai standar temperature dipilih temperature muka laut sebesar 15oC (59oF). Menurut ICAO, panjang landasan harus dikoreksi terhadap temperature 1 % untuk setiap kenaikan 1oC. untuk setiap kenaikan elevasi 1000 m dari permukaan laut maka temperature berkurang 5.5oC, sehingga itu faktor koreksi temperature dapat dirumuskan pada persamaan 3.3 berikut (Sartono, 1992): Ft = 1 + 0.01 x [ T – (15-0.0065 x h)]
................(3.3)
dengan : Ft = faktor koreksi temperature T = Temperatur referensi bandara II- 12 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/
H = elevasi bandara Temperature referensi bandara (Tr) didefinisikan sebagai rata-rata bulanan dari temperature harian rata-rata (Ta) dibulan terpanas dalam setahun, ditambah sepertiga selisih antara temperature harian rata-rata dan rata-rata temperature
harian maksimum
(Tm). Secara matematis
dirumuskan pada persamaan 3.4 (Sartono, 1992): Tr = Ta + 1/3 (Tm-Ta)
c.
................(3.4)
Koreksi kemiringan Gradien efektif didefinisikan sebagai beda maksimum antara titik
tertinggi dan terendah dari as runway dibagi dengan panjang total runway. Pesawat membutuhkan energi lebih banyak ketika lepas landas di runway yang lebih menanjak, sehingga runway yang lebih panjang diperlukan untuk mencapai kecepatan yang dibutuhkan. Runway harus dikoreksi untuk kemiringan sebesar 10% untuk setiap 1% dari gradient efektif. Koreksi kemiringan dapat dilihat pada persamaan 3.5 (Sartono, 1992). Fg = 1 + 0.1 x G
...............( 3.5)
dengan; Fg = Faktor koreksi kemiringan G = gradient efektif landas pacu (%) Berdasarkan faktor koreksi diatas maka panjang aktual runway atau panjang runway rencana dapat ditentukan dengan persamaan 3.6 berikut: II- 13 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/
La = Lb x Fe x Ft x Fg
...............( 3.6)
dengan; La = panjang runway aktual (m) Lb = panjang runway dasar (m)
2.3.3 Bahu landas (runway shoulder) Menurut ICAO (1999), lebar runway dipertimbangkan dengan syarat lebar keseluruhan runway dan kedua bahunya tidak kurang dari 60 m untuk kode huruf D dan E dan tidak kurang dari 75 m untuk kode huruf F. kemiringan melintang bahu tidak melebihi 2.5%. Kekuatan bahu landas dirancang dapat mendukung beban pesawat yang keluar dari runway tanpa mengakibatkan kerusakan terhadap struktur pesawat dan mampu mendukung kendaraan-kendaraan yang beroperasi di bahu.
2.3.4 Runway strip Runway strip adalah sebuah runway termasuk didalamnya stopway (ICAO, 1999). Panjang (Ls) dan lebar (Ws) runway strip dari ujung threshold dapat dilihat pada Table 3.4. Kemiringan memanjang dan melintang dapat dilihat pada Table 3.5.
II- 14 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Table 3.4 Panjang dan lebar runway strip Kode angka
1
2
3
4
Ls min (mm)
30/60 *)
60
60
60
Ws min (mm)
75
75
150
150
*) Ls min = 30 m untuk non instrument runway Ls min = 60 m untuk instrument runway (Sumber: ICAO, 1999)
Tabel 3.5 Kemiringan memanjang dan melintang runway strip Kode angka
1
2
3
4
Long. Slope (%)
2
2
1.75
1.5
Trans. Slope (%)
3
3
2.5
2.5
(Sumber: ICAO, 1999)
2.3.5. Runway End Safety Area (RESA) Area ini disediakan untuk kode angka 3 atau 4 dan kode angka 1 atau 2 dengan instrument runway (ICAO, 1999). Runway end safety area memiliki panjang minimum 90 m ujung runway strip dan lebar minimum dua kali lebar runway dengan kemiringan melintang dan memanjang maksimal 5%. Runway end safety area dibangun dengan kemampuan untuk mengurangi resiko kerusakan II- 15 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/
pada pesawat apabila terjadi lepas landas atau pendaratan yang tidak sempurna dan mampu mendukung pergerakan pemadam kebakaran maupun tim penyelamat bila terjadi kebakaran.
II.3.6 Clearway Clearway adalah area yang terletak diakhir area lepas landas yang tersedia. Panjang maksimum clearway adalah setengah jarak panjang area lepas landas yang ada. Pada clearway terdapat penambahan lebar kearah lateral sekurangkurangnya 75 m disetiap sisinya dari garis sumbu perpanjangan runway (Sartono, 1992).
2.4
Landasan Hubung (Taxiway) 2.4.1. Karakteristik Taxiway Landasan hubung (taxiway) harus disediakan untuk menyediakan
pelayanan yang cepat, aman dan efisien untuk pergerakan pesawat (ICAO, 1999). Jarak antara outer main wheel dengan tepi taxiway dan lebar taxiway tidak boleh kurang dari ukuran pada Tabel 3.6 berikut: Tabel 3.6 Jarak ruang minimum lebar taxiway Code letter
A
Jarak ruang minimum (m)
Lebar (m)
(clearence)
(width)
1.5
7.5
II- 16 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.25
10.5
3 bila wheel base < 18 m
15 bila wheel base < 18 m
4.5 bila wheel base ≥ 18 m
18 bila wheel base ≥ 18 m
B
C
18 bila outer main gear wheel span <9 D
4.5
23 bila outer main gear wheel span ≥9
E
4.5
23
F
4.5
25
(Sumber: ICAO, 1999)
Kemiringan memanjang dan melintang taxiway disyaratkan pada Tabel 3.7 (ICAO 1999):
Tabel 3.7. Kemiringan memanjang dan melintang taxiway Code letter
Kemiringan memanjang
Kemiringan melintang
(longitudinal slope)
(tranverse slope)
A
3%
2%
B
3%
2%
C
1,5%
1,5%
D
1,5%
1,5%
II- 17 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/
E
1,5%
1,5%
F
1,5%
1,5%
(Sumber: ICAO, 1999)
Perubahan kemiringan memanjang (longitudinal slope changes) harus diberi daerah transisi dengan tingkat perubahan tidak melebihi 1% per 30 m untuk kode huruf C, D, E, dan F dan 1% per 25 m untuk kode huruf A dan B. Kemiringan melintang taxiway harus cukup untuk mencegah akumulasi air pada permukaan taxiway (ICAO 1999).
2.4.2 Bahu landas hubung (taxiway shoulders) Ukuran lebar taxiway dan bahu-bahunya disyaratkan (ICAO, 1999) untuk beberapa jenis pesawat berdasarkan kode huruf (wing span, outer main gear wheel span) diantaranya dapat dilihat pada Tabel 3.8 berikut: Tabel 3.8 Lebar taxiway dengan bahu taxiway Code letter
Width of the taxiway and shoulder
C
25 m
D
38 m
E
44 m
F
60 m
(Sumber: ICAO, 1999)
II- 18 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2..4.3 Taxiway strip Menurut ICAO (1999) taxiway strip adalah keseluruhan bagian taxiway termasuk bagian di luar lajur taxiway yang dilewati pesawat. Permukaan taxiway strip harus sama rata dengan tepi atau bahu taxiway. Lebar minimum taxiway strip (W strip) dari as taxiway dapat dilihat pada tabel 3.9 berikut: Tabel 3.9 Lebar minimum taxiway strip Code letter
A
B
C
D
E
F
(W strip)
16,25
21,5
26
40,5
47,5
57,5
(Sumber: ICAO, 1999)
Bagian pusat taxiway perlu menyediakan suatu area bertingkat untuk jarak dari as taxiway tersebut. Jarak minimum taxiway strip (Wg) dari as taxiway dapat dilihat pada tabel 3.10 berikut: Tabel 3.10 Jarak minimum taxiway strip dari as taxiway Code letter
A
B
C
D
E
F
(Wg min)
11
12,5
12,5
19
22
30
(Sumber: ICAO, 1999)
2.4.4 Kurva taxiway Perubahan di dalam arah taxiway diusahakan sejarang mungkin. Jari-jari kurvanya harus cukup halus untuk berbelok pesawat (Basuki, 1984). Berdasarkan Table 3.11 ditunjukkan syarat-syarat jari-jari yang akan memenuhi kebutuhan pembelokan halus bagi berbagai kecepatan pesawat.
II- 19 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Tabel 3.11 Hubungan kecepatan dan jari-jari kurva Kecepatan
Jari-jari kurva
Km/jam
Mil/hour
m
feet
16
10
15
50
32
20
60
200
48
30
135
450
64
40
240
800
80
50
375
1250
96
60
540
1800
(sumber: Basuki, 1984)
2.5
Landasan Parkir (Apron) 2.5.1
Jumlah gate position
Jumlah gate tergantung pada pergerakan dan waktu jam puncak selama tiap pesawat tinggal di gate. Waktu ini juga disebut sebagai ramp time, dan bervariasi dari beberapa menit untuk pesawat kecil sampai lebih dari satu jam tergantung dari ukuran pesawat. Jumlah gate yang dibutuhkan didapat dari persamaan 3.7 (Sartono, 1992): N=
+A
................(3.7)
II- 20 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dengan: N = jumlah gate C = pergerakan jam puncak T = waktu tinggal rata-rata A = ekstra dengan: A = 1, Jika N max ≤ 9 A = 2, Jika N max ≤ 18 A = 3, Jika N max ≤ 27 2.5.2
Kemiringan permukaan apron
Pada waktu pengisian bahan bakar, memudahkan penarikan atau pendorongan pesawat (towing), dan berjalan lambat (taxiing), kemiringan apron harus dipertahankan minimum sesuai dengan kebutuhan drainase yang baik. Kemiringan tidak boleh melebihi 1 %. Dipintu-pintu (gates) tempat pesawat mengisi bahan bakar, harus diusahakan agar kemiringan apron tidak melebihi 0,5 %.
2.5.3. Area bersih (clearence distances on aircraft stands) Area bersih yang perlu diperhatikan adalah tersediannya jarak bersih (area bebas) antara pesawat yang ada di apron dengan bangunan yang terdekat. Menurut ICAO jarak area bebas ini dapat dilihat pada Tabel 3.12 berikut: II- 21 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Tabel 3.12 Jarak area bebas dengan bangunan terdekat Code letter
A
B
C
D
E
F
Min clearence (m)
3
3
4,5
7,5
7,5
7,5
(Sumber: ICAO, 1999)
Pada apron, pertimbangan juga harus diberikan terhadap pengarahan layanan jalan dan area penumpukan barang pada landasan (ICAO, 1999).
II- 22 -
http://digilib.mercubuana.ac.id/