BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Organisasi 2.1.1 Pengertian Komunikasi Menurut Bernard Berelson & Gary A. Steiner1, Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian dan lain-lain melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar, angka-angka dan lain-lain. Evertt M. Rogers2 seorang pakar Sosiologi Pedesaan Amerika telah banyak memberi perhatian pada studi riset komunikasi khususnya dalam hal penyebaran inovasi membuat definisi bahwa : “Komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.” Definisi ini kemudian dikembangkan oleh Rogers bersama D. Lawrence Kincaid (1981) sehingga melahirkan suatu definisi baru yang menyatakan bahwa : “Komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian.”
Riswandi, Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.2009, hal. 2 H. Hafied Cangra, Pengantar Ilmu Komunikasi.Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008, hal.20
1 2
10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
Rogers mencoba menspesifikasikan hakikat suatu hubungan dengan adanya suatu pertukaran informasi (pesan), di mana ia menginginkan adanya perubahan sikap dan tingkah laku serta kebersamaan dalam menciptakan saling pengertian dari orangorang yang ikut serta dalam suatu proses komunikasi. 2.1.2 Pengertian Organisasi Menurut Everett M. Rogers dan Rekha Agarwala Rogers3 dalam bukunya “Communication in Organizations” : Organisasi adalah sistem yang mapan dari orang-orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, melalui suatu jenjang kepangkatan dan pembagian kerja. (A Stable System of Individuals Who Work Together To Achieve, Through a Hierarchy of Ranks and Division of Labour, Common Goals) Karakteristik utama organisasi dapat diringkas sebagai4 3-P, yaitu : Purposes, People, dan Plan. Sesuatu tidak disebut organisasi bila tidak memiliki tujuan (purposes), anggota (people), dan rencana (plan). Dalam aspek “rencana” terkandung semua ciri lainnya, seperti sistem, struktur, desain, strategi, proses , yang seluruhnya dirancang untuk menggerakkan unsur manusia (people) dalam mencapai berbagai tujuan yang telah ditetapkan.
Rosmawaty H.P, Mengenal Ilmu Komunikasi. Bandung: Widya Padjadjaran. 2010, hal. 99 Kusdi, Teori Organisasi dan Administrasi, Salemba Humanika, 2009, hal. 4
3
4
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
2.1.3 Pengertian Komunikasi Organisasi Goldhaber
(1986)5
memberikan
definisi
komunikasi
organisasi
berikut,“organizational communication is the process of creating and exchanging messages within a network of interdependent relationship to cope with environmental uncertainty”. Atau dengan kata-kata lain komunikasi organisasi adalah proses menciptakan dan saling menukar pesan dalam satu jaringan hubungan yang saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak pasti atau yang selalu berubah-ubah. Definisi ini mengandung tujuh konsep kunci yaitu proses, pesan, jaringan, saling tergantung, hubungan, lingkungan dan ketidakpastian. Komunikasi organisasi6 adalah sebuah bentuk komunikasi antarpribadi, tetapi cirinya merupakan bidang yang sedemikian rupa bersifat khas dan signifikan. Jadi ringkasnya komunikasi organisasi adalah komunikasi yang terjadi dalam batas-batas yang jelas dan berkenaan dengan pencapaian tujuan organisasinya. Bungin7 mengemukakan, komunikasi organisasi adalah komunikasi antar manusia yang terjadi dalam konteks organisasi di mana terjadi jaringan-jaringan pesan satu sama lain yang saling bergantung satu sama lain.
Khomsahrial Romli, Komunikasi Organisasi Lengkap, Jakarta: Grasindo Widiasarana Indonesia, 2011. hal. 13 6 Ibid, hal. 100 7 Ibid, hal. 101 5
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
2.1.4 Fungsi Komunikasi dalam Organisasi Menurut Bungin8 yang mengutip pendapat Sendjaja, ada empat fungsi komunikasi dalam organisasi, yaitu sebagai berikut : 1. Fungsi Informatif Komunikasi digunakan sebagai upaya untuk menyampaikan informasi sebanyak mungkin kepada semua anggota organisasi, agar semua anggota tahu dan dapat melaksanakan pekerjaannya masing-masing, dan sebagai informasi untuk membuat suatu kebijakan dan putusan organisasi. 2. Fungsi Regulatif Pesan-pesan regulatif lebih berfungsi sebagai upaya untuk mengatur dan mengendalikan semua anggota organisasi, mulai dari level pimpinan sampai level bawahan serta sebagai upaya untuk memberikan instruksi atau perintah maupun larangan yang semuanya berorientasi pada tugas atau pekerjaan. Oleh karena itu, pesan-pesan regulatif sangat berkaitan dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dan diberlakukan dalam organisasi. Menurut Sendjaja9 pada semua lembaga atau organisasi, ada dua hal yang berpengaruh terhadap fungsi regulatif ini. Pertama, atasan atau orang-orang yang
Rosmawaty H.P, Op.cit, hal. 101 H.M Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hal. 275
8 9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
berada dalam tatanan manajemen, yaitu mereka yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan semua informasi yang disampaikan. Disamping itu, mereka juga mempunyai kewenangan untuk memberi instruksi atau perintah, sehingga dalam struktur organisasi kemungkinan mereka ditempatkan pada lapis atas (position of authority) supaya perintah-perintahnya dilaksanakan sebagaimana mestinya. Namun demkian, sikap bawahan untuk menjalankan perintah banyak bergantung pada: 1) Keabsahan pimpinan dalam menyampaikan perintah, 2) Kekuatan pimpinan dalam memberi sanksi, 3) Kepercayaan bawahan terhadap atasan sebagai seorang pemimpin sekaligus pribadi, 4) Tingkat kredibilitas pesan yang diterima bawahan. Kedua, berkaitan dengan pesan atau message. Pesan-pesan regulatif pada dasarnya berorientasi pada kerja. Artinya, bawahan membutuhkan kepastian peraturan tentang pekerjaan yang boleh untuk dilaksanakan. 3. Fungsi Persuasif Dalam mengatur, mengendalian dan mengoperasionalkan organisasi bukan hanya dibutuhkan jabatan dan kekuasaan atau kewenangan. Juga dibutuhkan kemampuan dalam mempersuasif, sehingga setiap anggota organisasi tidak hanya menjadi seorang pekerja rutinitas biasa, tetapi juga akan menjadi anggota organisasi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
yang memiliki “sentimen keanggotaan” dan “loyalitas” yang tinggi. Teknik komunikasi persuasif ini bukan hanya digunakan oleh para pimpinan organisasi, tetapi juga digunakan oleh semua anggota organisasi, tentunya dengan latar belakang kepentingan masing-masing. 4. Fungsi intergratif Fungsi ini mengupayakan adanya jalinan komunikasi formal maupun informal di antara anggota-anggota organisasi, lewat berbagai kegiatan komunikasi, seperti kegiatan darmawisata yang diikuti oleh semua anggota organisasi, pertandingan olahraga bersama antar anggota organisasi, menyediakan bulletin atau newsletter organisasi sebagai media komunikasi dan informasi yang resmi, dsb yang memungkinkan setiap anggota organisasi dapat berkomunikasi, baik secara formal maupun nonformal. 2.1.5 Dimensi Komunikasi dalam Organisasi Menurut Onong Uchjana Effendy, bahwa dimensi komunikasi dalam organisasi dibagi menjadi dua komunikasi eksternal dan komunikasi internal. Berikut adalah penjelasan dari dimensi komunikasi dalam organisasi:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
2.1.5.1 Komunikasi Eksternal Dalam dimensi komunikasi eksternal biasanya terjadi proses penyampaian pesan kepada publik yang berada di luar lingkungan organisasi atau yang lebih sering disebut dengan publik eksternal. Publik eksternal terdiri dari pemerintah, komunitas, kompetitor, konsumen, distributor dan lain sebagainya yang berada di luar lingkup organisasi. 2.1.5.2 Komunikasi Internal Berkaitan dengan skripsi ini, maka dimensi yang akan dibahas hanya terfokus pada komunikasi internal saja. Berikut adalah penjelasan mengenai komunikasi internal: Komunikasi internal organisasi adalah proses penyampaian pesan antara anggota-anggota organisasi yang terjadi untuk kepentingan organisasi. Dalam komunikasi organisasi terbagi atas dua bagian komunikasi yaitu komunikasi internal dan komunikasi eksternal. Komunikasi internal mengacu pada proses interaksi yang dilakukan oleh setiap individu yang ada di organiasasi atau perusahaan dalam bertukar informasi dan gagasan untuk mencapai tujuan bersama. Komunikasi internal didefinisikan oleh Lawrence D. Brennan10 sebagai “Pertukaran gagasan di antara para administrator dan karyawan dalam suatu
Onong Uchjana Effendy, Il mu Komunikasi Teori dan Praktek.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006, hal. 122
10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
perusahaan atau instansi yang menyebabkan terwujudnya perusahaan atau instansi tersebut yang lengkap dengan struktur-strukturnya yang khas dan pertukaran secara horizontal dan vertikal di dalam perusahaan atau instansi yang menyebabkan pekerjaan berlangsung”. 1. Komunikasi Vertikal Komunikasi vertikal adalah komunikasi yang terbagi atas dua aliran yaitu komunikasi dari atas ke bawah (downward communication) dan komunikasi dari bawah ke atas (Upward Communication). a. Komunikasi ke Bawah (Downward Communication) Komunikasi ke bawah menunjukkan arus pesan yang mengalir dari para atasan atau para pimpinan kepada bawahannya. Kebanyakan komunikasi ke bawah digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan yang berkenaan dengan tugas-tugas dan pemeliharaan. Menurut Lewis (1987) 11 komunikasi ke bawah adalah untuk menyampaikan tujuan, untuk merubah sikap, membentuk pendapat, mengurangi ketakutan dan kecurigaan yang timbul karena salah informasi, mencegah kesalahpahaman karena kurang informasi dan mempersiapkan anggota organisasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan.
Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara, 2007, hal. 108
11
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
Menurut Katz & Kahn (1966)12, ada 5 jenis informasi yang biasa dikomunikasikan dari atasan ke bawahan : a. Informasi mengenai bagaimana melakukan pekerjaan b. Informasi mengenai dasar pemikiran untuk melakukan pekerjaan c. Informasi mengenai kebijakan dan praktek-praktek organisasi d. Informasi mengenai kinerja karyawan atau pegawai e. Informasi untuk mengembangkan rasa memiliki tugas (sense of mission) b. Komunikasi ke Atas (Upward Communication) Komunikasi ke atas adalah pesan yang mengalir dari bawahan kepada atasan atau dari tingkat yang lebih rendah kepada tingkat yang lebih tinggi. Menurut Sharma (1979), ada sedikitnya 4 alasan mengapa komunikasi ke atas terlihat amat sulit, sebagai berikut : 1. Kecenderungan bagi pegawai untuk menyembunyikan pikiran mereka 2. Perasaan bahwa penyelia dan manajer tidak tertarik kepada masalah pegawai 3. Kurangnya penghargaan bagi komunikasi ke atas yang dilakukan pegawai 4. Perasaan bahwa penyelia dan manajer tidak dapat dihubungi dan tidak tanggap pada apa yang disampaikan pegawai.
Rosmawaty H.P, Mengenal Ilmu Komunikasi.Bandung: Widya Padjadjaran. 2010, hal. 104
12
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
Menurut Smith (Goldhaber, 1986)13 komunikasi ke atas berfungsi sebagai balikan bagi pimpinan memberikan petunjuk tentang keberhasilan suatu pesan yang disampaikan kepada bawahan dan dapat memberikan stimulus kepada karyawan untuk
berpartisipasi
dalam
merumuskan
pelaksanaan
kebijaksanaan
bagi
departemennya atau organisasinya. 2. Komunikasi Horizontal Komunikasi horizontal adalah pertukaran pesan di antara orang-orang yang sama tingkatan otoritasnya di dalam organisasi. Pesan yang mengalir menurut fungsi dalam organisasi diarahkan secara horizontal. Pesan ini biasanya berhubungan dengan tugas-tugas atau tujuan kemanusiaan, seperti koordinasi, pemecahan masalah, penyelesaian konflik dan saling memberikan informasi. Bentuk dari komunikasi horizontal yaitu: rapat komisi, interaksi pribadi selama waktu istirahat, obrolan di telepon, memo, atau catatan, kegiatan sosial, lingkaran kualitas (sebuah kelompok pekerja yang terdiri berbagi wilayah tanggung jawab). 3. Komunikasi Lintas Saluran Menuru Davis14 dalam kebanyakan organisasi, muncul keinginan pegawai untuk berbagi informasi melewati batas-batas fungsional dengan individu yang tidak menduduki posisi atasan maupun bawahan mereka. Misalnya, bagian-bagian seperti
Arni Muhammad, Op.cit, hal. 117 R. Wyne Pace dan Don F. Faules, Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hal. 197
13 14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
teknik, penelitian, akunting, dan personalia mengumpulkan data, laporan, rencana persiapan, kegiatan koordinasi, dan memberi nasihat kepada manajer mengenai pekerjaan pegawai di semua bagian organisasi. Mereka melintasi jalur fungsional dan berkomunikasi dengan orang-orang yang diawasi dan yang mengawasi tetapi bukan atasan atau bawahan mereka. Mereka tidak memiliki otoritas dan terutama harus mempromosikan gagasan-gagasan mereka. Namun, mereka memiliki mobilitas tinggi dalam organisasi; mreka dapat mengunjungi bagian lain atau meninggalkan kantor mereka hanya untuk terlibat dalam komunikasi informal. Pentingnya komunikasi lintas-saluran dalam organisasi mendorong Keith Davis (1967)15 untuk menyatakan bahwa penerapan tiga prinsip berikut akan memperkokoh peranan komunikasi spesialis staff: 1. Spesialis staf harus dilatih dalam keahlian berkomunikasi. 2. Spesialis staf perlu menyadari pentingnya peranan komunikasi mereka. 3. Manajemen harus menyadari peranan spesialis staf dan lebih banyak lagi memanfaatkan peranan tersebut dalam komunikasi organisasi. 2.2 Gaya Komunikasi 2.2.1 Pengertian Gaya Komunikasi Gaya komunikasi dapat mempengaruhi penerimaan informasi dalam berbagai cara tergantung pada kebiasaan dan kesukaan setiap orang, setiap individu akan 15
Ibid, hal. 199
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
memilih melanjutkan atau justru menghindari secara aktif dalam soal kesempatan untuk berurusan dengan individu lainnya. Orang yang malu atau khawatir terlibat dalam komunikasi verbal dalam kelompok, misalnya, akan berusaha menghindar dari situasi demikian bila memungkinkan. Seseorang mungkin lebih memilih untuk menonton acara kesehatan di televisi atau berkonsultasi dengan situs internet untuk informasi mengenai penyakit tertentu, daripada datang dan bertanya ke dokter. Bahkan ketika orang seperti demikian berupaya untuk mengambil bagian dalam situs interpersonal, dia mungkin tetap akan merasa tidak nyaman. Ketidaknyamanan ini cenderung sangat berpengaruh dalam cara dia memerhatikan, menafsirkan, dan mempertahankan informasi. Pengaruh yang tidak langsung oleh gaya komunikasi setiap individu kepada penerimaan informasi, berkaitan dengan cara di mana indivudu tersebut menampilkan diri kepada orang lain. Cara setiap individu untuk “masuk” kepada pembicaraan mereka, dengan siap berinteraksi, dapat memiliki dampak substansi bagi cara mereka bereaksi terhadap lawan bicaranya, dan ini akan memengaruhi kualitas dan kuantitas informasi yang mereka berikan. Orang yang sangat cerewet, misalnya, sering memperoleh sedikit layanan informasi verbal daripada yang tidak cerewet. Karena mereka yang diajak bicara oleh orang cerewet menjadi terbatasi kepentingan dan waktunya untuk bicara. Berbagai aspek dari gaya antarpribadi, penyampaian salam, nada, kata, pilihan, tingkat keterbukaan, pakaian dan penampilan juga memiliki dampak pada pesan yang tersedia bagi setiap individu dari orang lain yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
melihatnya, dan ini, pada gilirannya, memiliki kaitan langsung pada langkah individu itu sendiri dalam melakukan seleksi, interpretasi dan retensi. Proses komunikasi seseorang sangat dipengaruhi oleh gaya komunikasi. Oleh karena itu berarti gaya komunikasi16 adalah: “suatu kekhasan yang dimiliki setiap orang dimana gaya komunikasi antara orang yang satu dengan yang lain memiliki ciri yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat berupa model dalam berkomunikasi, tata cara berkomunikasi, cara berekspresi dalam berkomunikasi dan tanggapan yang diberikan atau ditunjukkan pada saat berkomunikasi. Menurut Norton 1983; gaya komunikasi diartikan sebagai cara seseorang, baik secara verbal maupun nonverbal, mengintegrasikan sinyal-sinyal mengenai bagaimana makna literal mesti dimaknai, diinterpretasi, disaring, atau dipahami. Gaya komunikasi memiliki beberapa karakteristik yaitu: 1. Observable – diartikan bahwa dalam berinteraksi, seseorang dapat melihat bagaimana orang lain yang mengajak interaksi dengan dirinya memberikan bentuk makna lateral yang disampaikannya. 2. Multifaced – diartikan bahwa setiap orang tidak hanya memiliki satu gaya namun memiliki beberapa gaya komunikasi, dalam arti bahwa setiap orang berpotensi untuk memperlihatkan beberapa gaya komunikasi dalam waktu yang sama. Yenny Ratna Suminar, Soleh Sumirat, Elvarino Ardianto, Komunikasi Organisasional Cetakan Ke5, Jakarta: Universitas Terbuka, 2006, hal. 5.18 16
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
3. Multicollinear – diartikan bahwa antara gaya komunikasi yang satu dengan gaya komunikasi yang lain tidak berdiri sendiri tetapi saling berkaitan (overlap) dan gabungan dari beberapa gaya komunikasi secara sinergi berpengaruh terhadap penyampaian pesan. 4. Variable but patterned – diartikan bahwa setiap orang memiliki gaya komunikasi yang tidak tetap tetapi berpola. Menurut Sasa Djuarsa Senjaya17 bahwa gaya komunikasi (communication style) didefinisikan sebagai seperangkat perilaku antar pribadi yang terspesialisasi, yang digunakan dalam situasi tertentu (a specialized set of interpersonal behaviors that are used in a given situasion). Dari definisi diatas dapat dijelaskan bahwa gaya komunikasi merupakan seperangkat perilaku antar pribadi yang terspesialisasi yang digunakan dalam situasi tertentu. Masing-masing gaya komunikasi terdiri dari sekumpulan perilaku komunikasi yang dipakai untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu dalam situasi tertentu pula. Kesesuaian dari satu gaya komunikasi yang digunakan, bergantung pada maksud si pengirim pesan dan si penerima pesan.
17
Ibid
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
Gaya komunikasi yang dikembangkan oleh Norton (1983)18 dikategorikan menjadi sepuluh gaya yaitu: 1. Gaya dominan (dominant style) – dimanifestasikan secara verbal dan nonverbal melalui kontak mata, gerak tubuh yang sejalan, kerasnya suara, modulasi suara, rasio informasi, dan keraguan yang tidak wajar. Selain itu gaya dominan dimanifestasikan dengan merespon lebih panjang dan lebih keras dan dengan latensi yang lebih pendek, cenderung kurang sepakat, dan lebih sering meminta orang lain untuk mengubah perilaku. Pada gaya ini erat hubungannya dengan asertivitas. Seseorang yang berkomunikasi dengan gaya dominant cenderung tampak lebih percaya diri, antusias, bertenaga, aktif, kompetitif, percaya diri, yakin pada diri sendiri, angkuh dan mengutamakan yang penting-penting saja dan juga cenderung lebih merasa paham ketika berkomunikasi dengan orang lain. 2. Gaya dramatis (dramatic style) – ditunjukkan melalui sikap berlebihan, berfantasi, bermetafora, ber-ritem, bersuara, dan menggunakan sarana-sarana stilistik lain untuk menonjolkan atau menekankan isi pesan. Berkomunikasi dengan gaya dramatic berfungsi untuk mengatasi atau meredakan kegelisahan atau meluruhkan tensi dan menyusun suatu metapernyataan untuk
Norton, R.W. Communicator Style: theory, applications and measures , Beverly Hills, Calif: Sage Publications, 1983
18
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
mengungkap makna literal. Dramatisasi juga berpengaruh pada popularitas, status, kehormatan, dan daya tarik. 3. Gaya animasi (animated style) – komunikator cenderung menggunakan komunikasi secara nonverbal, untuk memberi warna dalam berkomunikasi, seperti: menggunakan kontak mata, ekspresi wajah, gesture, dan gerak badan. 4. Gaya terbuka (open style) – komunikator bersikap terbuka, ramah tamah, tidak ada rahasia dan approachable, sehingga timbul rasa percaya dan terbentuk komunikasi dua arah. 5. Gaya Argumentative – komunikator cenderung suka berargumen dan agresif dalam berkomunikasi. 6. Gaya Santai (relaxed style) – komunikator lebih tenang, sabar dan menyenangkan. 7. Gaya Perhatian (attentive style) – komunikator berinteraksi dengan orang lain dengan menjadi pendengar yang aktif, empati dan sensitif. 8. Gaya Bersahabat (friendly style) – komunikator mampu bersikap positif dan saling mendukung terhadap orang lain. 9. Gaya Tepat / Saksama (precise style) – komunikator lebih fokus pada ketelitian, dokumentasi dan bukti dalam informasi dan argumentasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
10. Gaya Berkesan (impression style) – kemampuan seorang komunikator dalam membentuk kesan pada pendengarnya. Gaya Komunikasi dari setiap individu akan berbeda dan menyesuaikan perilaku individu itu sendiri. Pada gaya komunikasi akan menekankan pada proses komunikasi yang berlangsung pada saat berinteraksi antara komunikator dengan komunikan. Penggunaan komunikasi verbal dan komunikasi non verbal akan digunakan oleh setiap individu dalam melakukan proses komunikasi. Dan dari penggunaan komunikasi verbal dan non verbal akan menimbulkan perbedaan makna, serta perbedaan respon yang diberikan oleh masing-masing individu yang nantinya dapat mengarah pada terciptanya hubungan baik ataupun buruk dalam lingkungan internal organisasi. Gaya komunikasi baik verbal dan non verbal yang digunakan oleh manusia untuk berinteraksi cenderung menggambarkan kondisi yang akan di bangun dan diciptakan oleh setiap orang. Komunikasi verbal dalam berinteraksi tidaklah cukup tanpa diikuti komunikasi non verbal. Karena sering kali terjadi kesalahan dalam menangkap makna yang timbul dari komunikasi verbal sehingga menyebabkan hubungan antar individu dengan individu lainnya mengalami kesalahpahaman. Untuk meyakini seseorang dalam memberikan pernyataan, penggunaan komunikasi non verbal lebih banyak membantu untuk meyakinkan apa yang diucapkan, lebih menunjukkan perasaan dan emosi yang tidak bisa diutarakan melalui kata-kata (komunikasi verbal), menunjukkan jati diri yang membuat orang lain mengenalnya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
serta menambah atau melengkapi ucapan-ucapan yang di rasa belum sempurna. Communication style dapat membentuk persepsi setiap orang berbeda-beda akan pemaknaan suatu hal yang dikomunikasikan. Kecenderungan penggunaan gaya komunikasi verbal yang hanya diungkapkan dengan kata-kata dan melalui bahasa lebih banyak membuat kesalahpahaman dan bisa menimbulkan hubungan antar karyawan atau antar individu menjadi kurang baik. Sebuah pesan yang disampaikan melalui komunikasi verbal terjadi secara sengaja dikirimkan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan secara sengaja. Berbeda dengan komunikasi non verbal yang cenderung kurang dilakukan secara sengaja. Karena komunikasi non verbal lebih mengarah pada norma-norma yang berlaku. Dengan demikian gaya komunikasi menentukan persepsi seseorang terhadap makna yang timbul dan di terima oleh orang tersebut. 2.2.2 Komunikasi Verbal Komunikasi
verbal
adalah
komunikasi
yang
tersampaikan
dengan
menggunakan bahasa baik secara lisan dan tulisan. Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Suatu sistem kode verbal disebut bahasa. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tertentu, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
Komunikasi berfokus pada proses komunikasi sebagai usaha membangkitkan makna. John Fiske menjelaskan model ini dengan mengatakan: Untuk komunikasi yang sedang berlangsung saya harus menciptakan pesan dari tanda-tanda. Pesan ini merangsang anda untuk menciptakan makna untuk diri anda sendiri yang dalam beberapa hal terkait dengan makna yang dilahirkan oleh pesan yang telah saya buat sebelumnya. Semakin banyak kita berbagi kode yang sama, semakin kita akan menggunakan sistem tanda yang sama, semakin dekat pula peluang kesamaan dua “makna” kita.19 Pada definisi ini bergantung pada konsep-konsep, semisal tanda, kode dan makna. Dalam pandangan ini, pesan-pesan dikonstruksi menggunakan tanda-tanda yang menghasilkan makna dalam interaksi dengan penerima.20 Kode adalah suatu sistem ke dalam mana tanda-tanda diorganisasi. Pandangan yang berpusat pada makna ini menekankan pada arti, sementara model proses menekankan pada pengirim dan penerima. 2.2.2.1 Fungsi Bahasa Fungsi bahasa yang mendasar adalah untuk menamai atau menjuluki orang, objek, dan peristiwa. Orang juga dapat menamai apa saja, objek-objek yang berlainan, termasuk perasaan tertentu yang mereka alami. Menurut Larry L. Barker21, bahasa memiliki tiga fungsi yaitu: penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi.
19
John fiske, Introduction to Communication Studies, New York: Methuen, 1982, hal. 43 Ibid, hal. 3 21 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, hal. 266 20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
1. Fungsi Penamaan atau penjulukan; merujuk pada usaha mengidentifikasi objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi. 2. Fungsi interaksi; menurut Barker, menekankan berbagi gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain. 3. Fungsi transmisi; melalui bahasa informasi dapat disampaikan kepada orang lain melalui bahasa, karena setiap orang akan menerima informasi setiap hari dari orang lain baik secara langsung atau tidak langsung (melalui media massa misalnya). Fungsi bahasa inilah yang disebut fungsi transmisi. Barker berpandangan, keistimewaan bahasa sebagai sarana transmisi informasi yang lintas-waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi kita. Tanpa bahasa kita tidak mungkin menghadirkan semua objek dan tempat untuk kita rujuk dalam komunikasi kita. Book mengemukakan22, agar komunikasi kita berhasil setidaknya bahasa harus memenuhi tiga fungsi yaitu: untuk mengenal dunia di sekitar kita; berhubungan dengan orang lain; dan untuk menciptakan koherensi dalam kehidupan kita.
22
Ibdi. Hal. 266
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
Pada bahasa yang tersampaikan, terdiri dari kata-kata yang memiliki beberapa kekuatan sebagai berikut23: a. Kata memiliki kekuatan untuk membuat Kata memberikan kita kekuatan untuk membangun dunia kita sendiri dengan menamai dengan memberi label terhadap apa yang kita alami. Ketika anda memberi label “baik”, anda menggunakan bahasa untuk menciptakan gambaran bagaimana anda mengalami sesuatu. b. Kata memiliki kekuatan mempengaruhi pikiran dan tindakan Orang yang berkecimpung di dunia periklanan telah lama mengetahui bahwa pelabelan terhadap produk yang kita jual mempengaruhi pikiran konsumen untuk membeli. Contoh maraknya penggunaan label “halal” pada label makanan di Indonesia dan sebagian orang menganggap hal itu layak. c. Kata memiliki kekuatan mempengaruhi atau mencerminkan suatu budaya Sekitar satu dekade lalu seorang professor Sosiologi mengeluarkan teori timbal balik bahasa yang berdasarkan hubungan timbal balik hipotesis: bahasa membentuk suatu budaya dan budaya membentuk suatu bahasa. Untuk mengerti budaya suatu bangsa, maka menuru t ahli tersebut, kita harus mempelajari kata-kata yang dipakai sebagai budaya oleh masyarakat tersebut.
23
Rosmawaty H.P, Mengenal Ilmu Komunikasi. Bandung: Widya Padjadjaran, 2010, hal. 43-44
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
Hal ini menjelaskan pada kita, bahwa budaya suatu bangsa dapat tercermin lewat kata yang terangkai dalam bahasa mereka. Dalam berkomunikasi menggunakan komunikasi verbal ini sering kali antara komunikator dengan komunikan mengalami perbedaan pandangan terhadap makna yang terkadung dari kata-kata yang disampaikan. Kata-kata bisa bersifat ambigu karena kata-kata merepresentasikan presepsi dan interpretasi orang-orang yang menganut latar belakang sosial budaya yang berbeda-beda. Oleh karena itu terdapat berbagai kemungkinan untuk memaknai kata-kata tersebut Setiap individu yang akan melakukan proses komunikasi verbal akan menggunakan kata-kata yang dapat dimaknai oleh lawan bicaranya. Bukanlah katakata yang menciptakan makna, akan tetapi diri kita sendirilah yang member makna pada kata. Makna muncul dari hubungan khusus antara kata (sebagai simbol verbal) dan manusia. Makna tidak melekat pada kata-kata, namun kata-kata membangkitkan makna dalam pikiran orang. Jadi, tidak ada hubungan langsung antara suatu objek dan simbol yang digunakan untuk merepresentasikannya. Makna dapat digolongkan ke dalam24: makna denotatif dan makna konotatif. Makna denotatif adalah makna yang sebenarnya (faktual), seperti yang kita temukan dalam kamus. Karena itu makna denotatif lebih bersifat publik. Sejumlah kata bermakna denotatif, namun banyak kata juga bermakna konotatif, lebih bersifat
24
Ibid, hal. 282
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
pribadi, yakni makna di luar rujukan objektifnya. Dengan kata lain, makna konotatif lebih bersifat subjektif dan emosional daripada makna denotatif. Contoh secara denotatif, mobil adalah kendaraan beroda empat. Namun mobil mungkin memberi makna khusus bagi seseorang, misalnya kemarahan bagi seseorang yang baru dipecat dari sebuah pabrik mobil atau kesenangan bagi seseorang yang baru membeli sebuah mobil. Dua kata boleh jadi mempunyai makna yang denotatif yang sama, namun makna konotatif yang berbeda. Seperti pramuniaga dan pelayan toko, atau tunawisma dan gelandangan. Kata-kata tersebut merujuk pada objek yang sama, namun memberi citra yang berbeda. Banyak yang merasa pramuniaga lebih bergengsi daripada pelayan toko, sebagaimana kita merasa tunawisma lebih baik daripada gelandangan. Makna denotatif dan makna konotatif itu dapat menjadi lebih rumit lagi bila mempertimbangkan budaya yang berbeda. Contohnya adalah Chair dalam bahasa Inggris berarti kursi yang pada dasarnya bagi orang berbahasa Inggirs. Namun akan berbeda makna bagi orang Indonesia yang gila jabatan, kata kursi berkonotasi lebih kuat daripada kata chair bagi orang Amerika yang punya kecenderungan yang sama. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang mewakili sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Karena itu makna ada di kepala bukan pada lambang. Tetapi setiap orang sering merespon suatu kata seakan-akan kata adalah objek yang diwakili kata tersebut.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33
2.2.2.2 Gaya Bahasa Wanita dan Gaya Bahasa Pria Wanita dan pria dalam berkomunikasi memiliki gaya bahasa yang berbeda dan keduanya pun mempunyai kosakata berlainan sebagaimana ditunjukkan berbagai penelitian. Salah satu sebabnya adalah sosialisasi mereka yang berbeda, khususnya minat mereka yang berlainan terhadap berbagai aspek kehidupan. Wanita dilaporkan mengenal lebih banyak nama warna, dan juga lebih lazim menggunakan kata-kata yang bersifat hambar. Hal ini mungkin dikarenakan wanita sering berada dalam dominasi pria, bahasa mereka tidak setegas bahasa pria. Wanita lebih sering menggunakan kalimat-kalimat yang mengandung ekor tanya. Kurang percaya diri wanita juga diekspresikan lewat kata-kata penguat dan tata bahasa serta ucapan yang resmi, serta frase-frase yang lebih sopan. Wanita juga lebih sering menggunakan kutipan langsung, daripada parafrase (menggunakan kata-kata sendiri), juga lebih sering menggunakan intonasi pertanyaan dalam konteks deklaratif, misalnya sebagai jawaban atas pertanyaan. Wanita juga kurang rasa humor, mereka kurang pandai menyampaikan lelucon dan sering tidak paham arti lelucon yang disampaikan oleh pria. Wanita menggunakan lebih banyak pertanyaan daripada pria dan mereka menggunakannya sebagai strategi pemeliharaan percakapan. Wanita lebih cenderung memulai giliran bicara dengan secara langsung mengakui andil bicara sebelumnya. Pria cenderung tidak mengakui apa yang dikatakan sebelumnya, melainkan menyatakan pendapatnya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
Menurut Deborah Tannen (1991)25 mengatakan bahwa wanita cenderung menata pembicaraan secara kooperatif, sedangkan pria cenderung menatanya secara kompetitif. Tannen (1991) juga berpendapat bahwa wanita cenderung terlibat dalam “pembicaraan hubungan” sedangkan pria cenderung terlibat dalam “pembicaraan laporan”. Pembicaraan hubungan berpusat pada perasaan atau memelihara hubungan dengan orang lain, sedangkan pembicaraan laporan berpusat pada informasi faktual tentang apa yang sedang berlangsung, misalnya, dunia olahraga. Terdapat juga perbedaan pragmatik antara bahasa wanita dengan bahasa pria. Wanita menggunakan lebih banyak pembicaraan ekspresif (untuk menyatakan emosi) dan
berorientasi
orang
(memelihara
hubungan,
menciptakan
itikad
baik,
menunjukkan dukungan, dan membangun komunitas). Sementara itu, pria menggunakan lebih banyak pembicaraan instrumental (untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain), melaporkan informasi, memecahkan masalah, dan menyelesaikan tugas melalui pertukaran informasi. Dalam konteks ini, kata-kata yang diucapkan wanita kurang lugas daripada kata-kata yang diucapkan pria. Bahasa pria menggunakan pernyataan lebih kuat yang cenderung menekankan kepatuhan, persetujuan, atau kepercayaan pada pendengar.
25
Ibid, hal. 314
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35
2.2.3 Komunikasi Nonverbal Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter26, komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima; jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan; kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain. 2.2.3.1 Klasifikasi Pesan Nonverbal. Jalaludin Rakhmat (1994) mengelompokkan pesan-pesan nonverbal sebagai berikut: a. Pesan kinesik. Pesan nonverbal yang menggunakan gerakan tubuh yang berarti, terdiri dari tiga komponen utama: pesan fasial, pesan gestural, dan pesan postural. Pesan fasial menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan paling sedikit sepuluh kelompok makna: kebagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman, minat, ketakjuban, dan tekad. Leathers (1976) menyimpulkan penelitian-penelitian tentang wajah sebagai Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, hal. 343 26
http://digilib.mercubuana.ac.id/
36
berikut: a. Wajah mengkomunikasikan penilaian dengan ekspresi senang dan taksenang, yang menunjukkan apakah komunikator memandang objek penelitiannya baik atau buruk; b. Wajah mengkomunikasikan berminat atau tak berminat pada orang lain atau lingkungan; c. Wajah mengkomunikasikan intensitas keterlibatan dalam situasi situasi; d. Wajah mengkomunikasikan tingkat pengendalian individu terhadap pernyataan sendiri; dan wajah barangkali mengkomunikasikan adanya atau kurang pengertian. Pesan gestural menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti mata dan tangan untuk mengkomunikasi berbagai makna. Pesan postural berkenaan dengan keseluruhan anggota badan, makna yang dapat disampaikan adalah: a. Immediacy yaitu ungkapan kesukaan dan ketidak sukaan terhadap individu yang lain. Postur yang condong ke arah yang diajak bicara menunjukkan kesukaan dan penilaian positif; b. Power mengungkapkan status yang tinggi pada diri komunikator. Anda dapat membayangkan postur orang yang tinggi hati di depan anda, dan postur orang yang merendah; c. Responsiveness, individu dapat bereaksi secara emosional pada lingkungan secara positif dan negatif. Bila postur anda tidak berubah, anda mengungkapkan sikap yang tidak responsif.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
37
b. Pesan proksemik disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Umumnya dengan mengatur jarak kita mengungkapkan keakraban kita dengan orang lain. c. Pesan artifaktual diungkapkan melalui penampilan tubuh, pakaian, dan kosmetik. Walaupun bentuk tubuh relatif menetap, orang sering berperilaku dalam hubungan dengan orang lain sesuai dengan persepsinya tentang tubuhnya (body image). Erat kaitannya dengan tubuh ialah upaya kita membentuk citra tubuh dengan pakaian, dan kosmetik. d. Pesan paralinguistik adalah pesan nonverbal yang berhubungan dengan dengan cara mengucapkan pesan verbal. Satu pesan verbal yang sama dapat menyampaikan arti yang berbeda bila diucapkan secara berbeda. Pesan ini oleh Dedy Mulyana (2005) disebutnya sebagai parabahasa. e. Pesan sentuhan dan bau-bauan. Alat penerima sentuhan adalah kulit, yang mampu menerima dan membedakan emosi yang disampaikan orang melalui sentuhan. Sentuhan dengan emosi tertentu dapat mengkomunikasikan: kasih sayang, takut, marah, bercanda, dan tanpa perhatian. Bau-bauan, terutama yang menyenangkan (wewangian) telah berabad-abad digunakan orang, juga untuk menyampaikan pesan –menandai wilayah mereka, mengidentifikasikan keadaan emosional, pencitraan, dan menarik lawan jenis.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
38
2.2.3.2 Fungsi Pesan Nonverbal. Mark L. Knapp (dalam Jalaludin, 1994), menyebut lima fungsi pesan nonverbal yang dihubungkan dengan pesan verbal: 1. Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal. Misalnya setelah mengatakan penolakan saya, saya menggelengkan kepala. 2. Substitusi, yaitu menggantikan lambang-lambang verbal. Misalnya tanpa sepatah katapun kita berkata, kita menunjukkan persetujuan dengan mengangguk-anggukkan kepala. 3. Kontradiksi, menolak pesan verbal atau memberi makna yang lain terhadap pesan verbal. Misalnya anda ’memuji’ prestasi teman dengan mencibirkan bibir, seraya berkata ”Hebat, kau memang hebat.” 4. Komplemen, yaitu melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal. Misalnya, air muka anda menunjukkan tingkat penderitaan yang tidak terungkap dengan kata-kata. 5. Aksentuasi, yaitu menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya. Misalnya, anda mengungkapkan betapa jengkelnya anda dengan memukul meja. Sementara itu, Dale G. Leathers (1976) dalam Nonverbal Communication Systems, menyebutkan enam alasan mengapa pesan verbal sangat signifikan yaitu:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
39
a. Faktor-faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi interpersonal. Ketika kita mengobrol atau berkomunikasi tatamuka, kita banyak menyampaikan gagasan dan pikiran kita lewat pesanpesan nonverbal. Pada gilirannya orang lainpun lebih banya ’membaca’ pikiran kita lewat petunjuk-petunjuk nonverbal. b. Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan noverbal ketimbang pesan verbal. c. Pesan nonverbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas dari penipuan, distorsi, dan kerancuan. Pesan nonverbal jarang dapat diatur oleh komunikator secara sadar. d. Pesan nonverbal mempunyai fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Fungsi metakomunikatif artinya memberikan informasi tambahan yang memeperjelas maksud dan makna pesan. Diatas telah kita paparkan pesan verbal mempunyai fungsi repetisi, substitusi, kontradiksi, komplemen, dan aksentuasi. e. Pesan nonverbal merupakan cara komunikasi yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal. Dari segi waktu, pesan verbal sangat tidak efisien. Dalam paparan verbal selalu terdapat redundansi, repetisi, ambiguity, dan abtraksi. Diperlukan lebih banyak waktu untuk mengungkapkan pikiran kita secara verbal.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
40
f. Pesan nonverbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat. Ada situasi komunikasi yang menuntut kita untuk mengungkapkan gagasan dan emosi secara tidak langsung. Sugesti ini dimaksudkan menyarankan sesuatu kepada orang lain secara implisit (tersirat).
2.3 Human Relations 2.3.1 Pengertian Human Relations Human relations dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ”hubungan manusia” atau “hubungan antar manusia”. Dari terjemahan bahasa Indonesia tersebut ciri hakiki27 dari human relations bukan pada wujud manusia (human being), melainkan dalam makna proses rohaniah yang tertuju kepada kebahagiaan berdasarkan watak, sifat, perangai, kepribadian, sikap, tingkah laku, dan aspek kejiwaan yang terdapat pada diri manusia. Namun yang paling mendekati makna dan maksud human relations adalah hubungan manusiawi atau hubungan insani. Human Relations bersifat “action oriented”, bukan hanya hubungan yang pasif, dan yang dituju adalah kepuasan batin. Menurut Effendy28, human relations yaitu : d. Dalam arti luas, human relations adalah komunikasi persuasif yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain secara tatap muka dalam segala situasi dan 27
Onong Uchjana Effendy, Human Relations& Public Relations, Bandung: Mandar Maju, 2009, hal.40 28 Ibid, hal. 48-51
http://digilib.mercubuana.ac.id/
41
dalam semua bidang kehidupan sehingga menimbulkan kebahagian dan kepuasan hati kedua belah pihak. e. Dalam arti sempit, human relation adalah komunikasi persuasif yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain dalam situasi kerja ( work situation) dan dalam organisasi kekaryaan (work organization) dengan tujuan untuk menggugah kegairahan dan kegiatan bekerja dengan semangat bekerja sama yang produktif dengan perasaan bahagia dan puas hati. Jadi human relation dalam arti luas merupakan komunikasi yang dilakukan dimana saja, baik di rumah, di jalan, di pasar dan dalam berbagai kesempatan, sedangkan dalam arti sempit, di maksudkan sebagai komunikasi yang dilakukan dalam situasi formal. Dengan demikian, dalam human relation, aspek komunikasi harmonis sangat diperlukan agar human relation yang berlangsung betul-betul memiliki dampak yang bersifat positif terdapat kelancaran kerja karyawan. Dari berbagai pengertian dan pendapat di atas, dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya human relation keseluruhan hubungan (interaksi) yang dilakukan yang bersifat rohaniah yang terjadi antara orang yang terlibat dalam organisasi dalam rangka penyelesaian tugas dan tanggung jawab dengan tetap memperhatikan nilainilai kemanusiaan yang di miliki setiap individu, sehingga tujuan organisasi yang telah di tetapkan dapat terwujud.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
42
Yang terpenting dalam human relation adalah terdapatnya hubungan (interaksi) komunikatif persuasif dan kedua belapihak merasa hatinya puas, yang merupakan aspek manusiawi dari human relation. 2.3.2 Fungsi Human Relation Setiap orang dalam suatu organisasi berbeda satu dengan yang lainnya, perbedaan itu misalnya watak, sikap, tabiat, atau tingkah lakunya, sebab seorang pimpinan harus mempelajari dan mengetahui tabiat atau sifat dari setiap bawahanya. Seperti yang ditemukan oleh Uchjana (1992) bahwa: “Untuk mempraktekkan human relation, seorang pimpinan harus sedikit banyak mempelajari tabiat bawahanya, walaupun tidak secara mendalam agar dapat memahami satu sama lain dan perlu mengetahui tingkah laku dalam hidup berkelompok dan bermasyarakat.” Kemudian yang membedakan manusia satu dengan yang lainya ialah sifatsifat rohaniahnya. Dalam pertumbuhannya, manusia bukan saja mengalami perkembangan dalam segi jasmaniahnya saja, tetapi juga rohaniahnya. Dan perkembangan ini membentuk jiwanya, dan tingkah lakunnya. Kunci aktivitas human relations adalah motivasi para karyawan untuk bekerja lebih giat. Pimpinan harus mengadakan hubungan yang baik dimana motivasi sebagai pendorong karyawan untuk meningkatkan produktivitasnya berupa material insentif dan non material insentif secara manusiawi dengan para bawahannya. Mencegah jangan sampai timbul benturan psikologis dan konflik antara kepentingan pribadi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
43
denagan kepentingan organisasi. Berdasarkan uraian tersebut, Siagian (1982) berpendapat : Fungsi human relation dalam organisasi adalah perlu menjaga jangan sampai timbul prtentangan-pertentangan yang runcing antara tujuan organisasi, karenanya diusahakan agar supaya terdapat singkronisasi antara tujuan organisasi dengan tujuan individu dalam organisasi, bahwa apabila tujuan organisasi tercapai, hal itu sekaligus berarti tercapai pula tujuan dari individu dalam organisasi. Sejalan dengan fungsi human relations diatas, maka human relation dirasakan penting oleh para pimpinan untuk menghindarkan konflik akibat salah komonikasi dan salah interprestasi yang terjadi antara pimpinan dan para bawahannya. Tujuan dari human relations pada dasarnya untuk menciptakan suatu kerja sama yang akrab dan seirama dengan hasil kerja hasil kerja yang memuaskan. Oleh karena sudah selayaknya seorang pimpinan organisasi berusaha untuk selalu menerapkan prinsip-prinsip human relation demi terciptanya hubungan kerja sama yang harmonis antara karyawan dalam organisasi. Dengan kata lain, apabila seorang pimpinan organisasi melaksanakan fungsi dan tujuan human relations, maka dapat diusahakan untuk: a. Membantu memecahkan persoalan yang dihadapi oleh pegawai baik secara individual maupun secara kelompok sehingga mereka merasa puas dan mudah di gerakan kearah tercapainya tujuan yang ditetapkan. b. Dapat menghindari adanya rintangan-rintangan dalam komunikasi dan salah pengertian. c. Dapat mengembangkan secara konstruktif sifat dan tabiat manusia.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
44
d. Memperoleh kesan para pegawai yang akan di peroleh moral, loyalitas, disiplin dan produktivitas yang tinggi. Dengan demikian, kegiatan human relations yang berlangsung dalam suatu kantor, memiliki fungsi dan tujuan yang lebih mengarah peningkatan hubungan yang harmonis demi tercapainya target atau tujuan yang telah ditetapkan. 2.3.3 Prinsip-Prinsip Human Relations Human relations memiliki prinsip-prinsip yang dapat diterapkan sehingga tercipta suasana kerja yang harmonis dalam organisasi dan menimbulkan semangat kerja yang pada akhirnya mewujudkan kerjasama yang baik. Prinsip-Prinsip human relations menurut Abdurahman (1980) adalah sebagai berikut: a. Pentingnya Individu (Importance of the Individual); tindakan suatu perusahaan harus memperhatikan perasaan pegawai, mengakui dan memperlihatkan kepentingannya. b. Saling Menerima (Mutual acceptance); Pimpinan yang dipimpin dan organisasi adalah satu badan yang harus bersatu, Mereka satu sama lain harus menerima sebagai
individu
dan kelompok.
Harus saling
menghormati dan menghargai tugas dan kewajiban masing-masing. c. Kepentingan Bersama (Common Interest); Pimpinan, pegawai, dan organisasi satu sama lain terikat oleh kepentigan bersama . Karena mereka
http://digilib.mercubuana.ac.id/
45
bersatu, mereka mampu untuk mencapai sukses dalam pekerjaannya, dan terjaminnya kebutuhan tiap individu tergantung pada sukses itu. d. Komunikasi Terbuka (Open Communication); Berterus-terang mengenai ide, perasaan , mengenai segala sesuatu yang mneyangkut kepentingan bersama. Komunikasi yang sifatnya terbuka akan menimbulkan pengertian yang baik dan menghasilkan keputusan-keputusan yang tepat. e. Partisipasi Pegawai; Hasil-hasil yang efisien yang disebabkan karena adanya keseimbangan dalam pandangan-pandangan dan kerena segala masalah dihadapi dan dipecahkan bersama-sama. f. Identitas Lokal (Local Indetify); Dengan memberikan pujian yang tepat pada seseorang, orang itu merupakan bagian dari badan dimana ia ditugaskan. g. Kepentingan Setempat (Local decision); Memberi wewenang pada orangorang untuk memecahkan sendiri masalah-masalah yang timbul di tengahtengah mereka. h. Standar Moral yang Tinggi (High Moral Standarts); Kebenaran dan keadilan mengenai suatu tindakan dapat disebut benar dan adil bila didasarkan pada moral khas dan hak-hak asasi manusia.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
46
2.4 Interaksi Simbolik Menurut Herbert Blumer29 esensi dari interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Teori interaksi simbolik juga memberikan pengaruh pada perspektif lain, seperti “teori penjulukan” (labeling theory) dalam studi tentang penyimpangan perilaku (deviance), teori dramaturgi dari Erving Goffman dan etnometodologi dari Harold Garfinkel. Ketiga pendekatan tersebut dapat dianggap varian-varian interaksi simbolik. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Sedangkan pengertian interaksi simbolik dalam kamus bahasa Indonesia adalah saling mempengaruhi, saling menarik, saling meminta dan memberi pengaruh timbal balik, saling mempengaruhi satu sama lain melalui perlambangan, gaya bahasa yang melukiskan suatu benda dengan mempergunakan benda-benda lain sebagai simbol atau pelambang. Blumer30 mengutarakan tentang tiga premis utama dari interaksi simbolik, yaitu tentang pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Premis ini nantinya mengantarkan kepada konsep “diri” seseorang dan sosialisasinya kepada
29
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010, hal. 68 30 Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Metodology in Communication Konsep Panduan dan Aplikasi, Jakarta: Lentera Ilmu Cendekia, 2013, hal. 93
http://digilib.mercubuana.ac.id/
47
“komunitas” yang lebih besar, masyarakat. Dari premis yang diutarakan oleh Blumer ada penjelasan rincinya yang dijabarkan oleh Ian Craib31, sebagai berikut: 1. Manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang lainnya di dasari atas pemaknaan yang dikenakan mereka kepada orang lain. 2. Pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan di antara mereka. Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah. Makna tidak bisa muncul “dengan sendirinya”. Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language), dalam perspektif interaksi simbolik. Di sini, Blumer menegaskan tentang pentingnya penamaan dalam proses pemaknaan. Sementara itu Mead juga meyakini bahwa penamaan simbolik ini adalah dasar bagi masyarakat manusiawi (human society). 3. Interaksi simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat reflektif. Menurut Mead sebalum manusia bisa berpikir, manusia membutuhkan bahasa. Manusia perlu untuk dapat berkomunikasi secara simbolik. Bahasa pada dasarnya ibarat software yang dapat menggerakan pikiran. Cara bagaimana manusia berpikir banyak ditentukan oleh praktek bahasa. Bahasa sebenarnya bukan sekedar dilihat sebagai “alat pertukaran pesan” semata, tapi interaksi simbolik melihat posisi bahasa lebih sebagai seperangkat ide yang dipertukarkan kepada pihak lain secara simbolik. 31
Ibid, hal. 93
http://digilib.mercubuana.ac.id/
48
Selain Hebert Blumer, salah satu tokoh yang berperan penting dalam sejarah interaksionisme simbolik adalah George Herbert Mead. Melalu karyanya yang dikenal dengan Mind (Pikiran), Self (Diri) and Society (Masyarakat). Mead memusatkan perhatian pada tindakan dan interaksi manusia, bukan pada proses mental yang terisolasi. Perhatian utama bukan tertuju pada bagaimana cara mereka mempelajarinya selama interaksi pada umumnya dan selama proses sosialisasi pada khususnya. Manusia mempelajari simbol dan makna di dalam interaksi sosial. Manusia menganggap tanda-tanda dengan tanpa berpikir, sebaliknya mereka menanggapi simbol dengan cara berpikir. Mead32 mengidentifikasi empat basis dan tahap tindakan yang saling berhubungan. Keempat tahap itu mencerminkan satu kesatuan organik (dengan kata lain keempatnya saling berhubungan secara dialektis). Mead selain tertarik pada kesamaan tindakan binatang dan manusia, juga terutama tertarik pada perbedaan tindakan antara kedua jenis makhluk itu. Berikut adalah keempat tahapan yang dicetuskan oleh Mead: 1. Impuls; Tahap pertama adalah dorongan hati atau impuls (impulse) yang meliputi “stimulasi atau rangsangan spontan yang berhubungan dengan alat indera” dan reaksi aktor terhadap rangsangan, kebutuhan untuk melakukan sesuatu terhadap rangsangan itu.
32
Goerge Ritzerr-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern Edisi Keenam,Jakarta: Prenada Media, 2003, Hal. 273
http://digilib.mercubuana.ac.id/
49
2. Persepsi; Tahap kedua adalah persepsi (perception). Aktor menyelidiki dan bereaksi terhadap rangsangan yang berhubungan dengan impuls, dalam hal ini contohnya adalah rasa lapar dan juga berbagai alat yang tersedia untuk memuaskannya. Manusia mempunyai kapasitas untuk merasakan dan memahami stimuli melalui pendengaran, senyuman, rasa dan sebagainya. Persepsi melibatkan rangsangan yang baru masuk maupun citra mental yang ditimbulkannya. Aktor tidak secara spontan menanggapi stimuli dari luar, tetapi memikirkannya sebentar dan menilainya melalui bayangan mental. 3. Manipulasi; Tahap ketiga adalah manipulasi (manipulation). Segera setelah impuls menyatakan dirinya sendiri dan objek telah dipahami, langkah selanjutnya adalah memanipulasi objek atau mengambil tindakan berkenaan dengan objek itu. Dalam melakukan interaksi simbolik menurut Mead33 yang sangat penting adalah fungsi simbol signifikan yakni memungkinkan proses mental, berpikir. Hanya melalui simbol signifikan, khususnya melalui bahasa, manusia bisa berpikir. Mead mendefinisikan berpikir (thinking) sebagai “percakapan implisit individu dengan dirinya sendiri dengan memakai isyarat.” Mead bahkan menyatakan “berpikir adalah sama dengan berbicara dengan orang lain.” Dengan kata lain, berpikir melibatkan tindakan berbicara dengan diri sendiri. Percakapan meliputi perilaku (bicara) dan perilaku itu juga terjadi di dalam diri individu; ketika perilaku terjadi, berpikir pun terjadi. 33
Ibid, Hal. 279
http://digilib.mercubuana.ac.id/
50
Melalui
pemikiran
Mead
yang
sangat
berpengaruh
pada
sejarah
interaksionisme simbolik dalam bukunya menjelaskan Mind, Self and Society simbol menjadi signifikan peranannya dalam teori yang dijelaskan oleh Mead 34 melalui buku tersebut. 1. Pikiran (Mind) Mead menjelaskan pikiran sebagai proses percakapan seseorang dengan dirinya sendiri, tidak ditemukan di dalam diri individu; pikiran adalah fenomena sosial. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial. Proses sosial mendahului pikiran, proses sosial bukanlah produk dari pikiran. Karakteristik istimewa dari pikiran adalah kemampuan individu untuk “memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu respon saja, tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang kita namakan pikiran. Melakukan sesuatu berarti memberi respon terorganisir tertentu; dan bila seseorang mempunyai respon itu dalam dirinya, ia mempunyai apa yang kita sebut pikiran. 2. Diri (Self) Menurut Mead pada dasarnya diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sebuah objek. Diri adalah kemampuan khusus untuk menjadi subjek maupun objek. Diri mensyaratkan proses sosial: komunikasi antarmanusia. Diri muncul dan berkembang melalui aktivitas dan antara hubungan sosial. Mustahil membayangkan diri yang muncul dalam ketiadaan pengalaman sosial. Tetapi segera setelah diri berkembang, ada kemungkinan baginya untuk terus ada tanpa kontak 34
Ibid, Hal. 280-287
http://digilib.mercubuana.ac.id/
51
sosial. Diri berhubungan secara dialektis dengan pikiran. Artinya, di satu pihak Mead menyatakan bahwa tubuh bukanlah diri dan refleksitas adalah penting bagi perkembangan pikiran. Memang mustahil untuk memisahkan pikiran dan diri karena diri adalah proses mental. Tetapi, meskipun kita membayangkannya sebagai proses mental, diri adalah sebuah proses sosial. Dalam bahasanya mengenai diri, Mead menolak gagasan yang meletakkannya dalam kesadaran dan sebaliknya meletakkannya dalam pengalaman sosial dan proses sosial. Dengan cara ini Mead 35 mencoba memberikan arti behavioristis tentang diri: “diri adalah di mana orang memberikan tanggapan terhadap apa yang ia tunjukan kepada orang lain dan di mana tanggapannya sendirii menjadi bagian dari tindaknya, di mana ia tak hanya mendengarkan dirinya sendiri, tetapi juga merespon dirinya sendiri, berbicara dan menjawab dirinya sendiri sebagaimana orang lain menjawab kepada dirinya, sehingga kita mempunyai perilaku dimana individu menjadi objek untuk dirinya sendiri. Karena itu diri adalah aspek lain dari proses sosial menyeluruh di mana individu adalah bagiannya. Mekanisme umum untuk mengembangkan diri adalah refleksivitas atau kemampuan menempatkan diri secara tak sadar ke dalam tempat orang lain dan bertindak seperti mereka bertindak. Akibatnya orang mampu memeriksa diri sendiri sebagaimana orang lain memeriksa diri mereka sendiri.
35
Ibid, Hal. 281
http://digilib.mercubuana.ac.id/
52
3. Masyarakat (Society) Masyarakat menurut pandangan Mead terbagi atas dua tingkatan yaitu tingkatan yang paling umum dan tingkatan yang khusus. Mead menggunakan istilah masyarakat (society) pada tingkatan yang paling umum adalah masyarakat yang berarti proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan hati. Masyarakat penting perannya dalam membentuk pikiran dan diri. Di tingkat lain, menurut Mead, masyarakat mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil alih oleh individu dalam bentuk “aku” (me). Menurut pengertian individual ini masyarakat memengaruhi mereka, memberi mereka kemampuan melalui kritik diri, untuk mengendalikan diri mereka sendiri. Mead juga menjelaskan evolusi masyarakat. Namun, ia sedikit sekali berbicara tentang masyarakat meski masyarakat menempati posisi sentral dalam pemikirannya mengenai pikiran dan diri. Pada tingkatan kemasyarakatan yang lebih khusus, Mead mempunyai sejumlah pemikiran tentang pranata sosial (social institutions). Secara luas, Mead mendefinisikan pranata sebagai “tanggapan bersama dalam komunitas” atau “kebiasaan hidup komunitas”. Secara lebih khusus Mead mengatakan bahwa, “keseluruhan tindakan komunitas tertuju pada individu berdasarkan keadaan tertentu menurut cara yang sama...berdasarkan keadaan itu pula, terdapat respon yang sama di pihak komunitas. Proses ini disebut “pembentukan pranata”. Kita membawa
http://digilib.mercubuana.ac.id/
53
kumpulan sikap yang terorganisir ini ke dekat kita, dan sikap itu membantu mengendalikan tindakan kita, sebagian besar melalui keakuan (me). 2.4.1 Konsep Diri (Self) Dalam buku George Hebert Mead yang berjudul Mind, Self and Society dibahas lebih mendalam mengenai diri (self). Konsep diri ini berada di tengan proses interaksi simbolik yang dilakukan oleh setiap manusia. Dengan begitu diri adalah hal yang penting, di mana makna yang akan ditampilkan oleh seseorang ke masyarakat akan ditampilkan melalui diri orang itu sendiri. Diri berada di antara pikiran dan kemasyarakatan atau lingkungan sosial, oleh karenanya diri berperan penting dalam proses berinteraksi. Mead36 juga melihat diri dari sudut pandang pragmatis. Di tingkat individual, diri memungkinkan individu menjadi anggota masyarakat yang makin efisien. Karena diri, orang makin besar kemungkinannya untuk melakukan apa yang diharapkannya dalam situasi tertentu. Karena orang sering mencoba berbuat sesuai harapan kelompok, mereka lebih besar kemungkinannya untuk menghindari ketidakefisienan yang berasal dari kegagalan melakukan apa yang diharapkan kelompok. Selanjutnya, diri memungkinkan meningkatnya koordinasi dalam masyarakat sebagai satu kesatuan. Karena individu dapat memperhitungkan tindakan apa yang diharapkan diri mereka, maka kelompok dapat berjalan dengan efektif.
36
George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media, 2003, Hal. 284
http://digilib.mercubuana.ac.id/
54
Mead mengidentifikasi dua aspek atau fase diri, yang ia namakan “I” dan “me”. Mead menyatakan, “Diri pada dasarnya adalah proses sosial yang berlangsung dalam dua fase yang dapat dibedakan.” Perlu diingat bahwa “I” dan “me” adalah proses yang terjadi di dalam proses diri yang lebih luas, keduannya bukanlah sesuatu (things). “I” dan “Me” menurut Mead37, “I” adalah tanggapan spontan individu terhadap orang lain. Ini adalah aspek kreatif yang tak dapat diperhitungkan dan tak teramalkan dari diri. Orang tak dapat mengetahui terlebih dahulu apa tindakan aktor yang mengatakan “Aku akan” (“I” will be): “Tetapi, apa tanggapan yang akan dilakukan, ia tak tahu dan orang lain pun tak ada yang tahu. Mungkin ia akan membuat permainan ccemerlang atau mungkin juga kesalahan. Tanggapan atas situasi seperti yang muncul dalam pengalaman langsungnya itu adalah tidak menentu.” Kita tidak pernah tahu sama sekali tentang “I” dan melaluinya kita mengejutkan diri kita sendiri lewat tindakan kita. Kita hanya tahu “I” setelah tindakan telah dilaksanakan. Jadi, kita hanya tahu “I” dalam ingatan kita. Mead sangat menekankan “I” karena empat alasan yaitu: Pertama, “I” adalah sumber utama sesuatu yang baru dalam proses sosial. Kedua, Mead yakin, di dalam “I” itulah nilai terpenting kita ditempatkan. Ketiga, “I” merupakan sesuatu yang kita semua cari perwujudan diri. “I” –lah yang memungkinkan kita mengembangkan “kepribadian definitif”. Keempat, Mead melihat sesuatu proses evolusioner dalam sejarah di mana 37
Ibid, hal. 285
http://digilib.mercubuana.ac.id/
55
manusia dalam masyarakat primitif lebih di dominasi oleh “me”, sedangkan dalam masyarakat modern komponen “I” nya lebih besar. “I” memberi sistem teoritis Mead dinamisme dan kreativitas yang memang banyak dibutuhkan. Tanpa itu, aktor Mead secara total akan didominasi oleh kontrol eksternal dan internal. Dengan itu, Mead mampu menerangkan perubahan sosial yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh peran tokoh besar dalam sejarah, tetapi juga oleh manusia biasa. “I” inilah yang memungkinkan terjadinya perubahan. Karena setiap kepribadian adalah campuran dari “I” dan “me”, maka tokoh besar dalam sejarah dipandang mempunyai proporsi “I” lebih besar ketimbang yang dipunyai kebanyakan orang lain. Tetapi dalam situasi sehari-hari, “I” –nya seseorang mungkin menegaskan dirinya sendiri dan menyebabkan perubahan dalam situasi sosial. Keunikan juga masuk ke sistem teori Mead melalui artikulasi biografis setiap “I” dan “me” –nya individu. Artinya, pengalaman khusus kehidupan setiap orang, memberinya keunikan campuran “I” dan “me”. “I” bereaksi terhadap “me” yang mengorganisir sekumpulan sikap orang lain yang ia ambil menjadi sikapnya sendiri. Dengan kata lain, “me” adalah penerimaan aras orang lain yang digeneralisir. Berbeda dengan “I”, orang menyadari “me” ; “me” meliputi kesadaran tentang tanggung jawab. Konformis ditentukan oleh “me” meskipun setiap orang apa pun derajat konformisnya mempunyai dan harus mempunyai “me” yang kuat. Melalui “me” –lah masyarakat menguasai individu.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
56
Mead mendefinisikan gagasan tentang kontrol sosial sebagai keunggulan ekspresi “me” di atas ekspresi “I”. Mead38 juga melihat “I” dan “me” menurut pandangan pragmatis. “Me” memungkinkan individu hidup nyaman dalam kehidupan sosial, sedangkan “I” memungkinkan
terjadinya
perubahan
masyarakat.
Masyarakat
mempunyai
kemampuan menyesuaikan diri yang memungkinkannya berfungsi dan terus-menerus mendapatkan masukan baru untuk mencegah terjadinya stagnasi. “I” dan “me” dengan demikian adalah bagian dari keseluruhan proses sosial dan memungkinkan, baik individu maupun masyarakat, berfungsi secara lebih efektif. Menurut William D. Brooks39 mendefinisikan konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi, sosial, dan fisis. Konsep diri bukan hanya sekedar gabaran deskriptif , tetapi juga penilaian Anda tentang diri Anda. Jadi konsep diri, meliputi apa yang Anda pikirkan dan apa yang Anda rasakan tentang diri Anda. Willian James menyatakan, “The I” diri yang sadar dan aktif, dan “The Me”, diri yang menjadi objek renungan kita. 2.5 Teori Dramaturgi Teori Dramaturgi40 adalah teori yang menjelaskan bahwa interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater atau drama diatas panggung. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan 38
Ibid, hal. 287 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008, hal. 99 40 Widodo Suko, Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial, Malang: Aditya Media Publishing, 2010, hal. 167 39
http://digilib.mercubuana.ac.id/
57
kepada orang lain, melalui pertunjukan dramanya sendiri. Dramaturgi menekankan dimensi ekspresif atau impresif aktivitas manusia, yakni bahwa makna kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka mengekspresikan diri dalam berinteraksi dengan orang lain yang juga ekspresif. Oleh karena perilaku manusia bersifat ekspresif inilah perilaku manusia bersifat dramatik. Pendekatan dramaturgis Goffman41 khususnya berintikan pandangan bahwa ketika manusia berinteraksi dengan sesamanya, ia ingin mengelola kesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Untuk itu, setiap orang melakukan pertunjukkan bagi orang lain. Dalam pengantar bukunya, The Presentation of Self in Everyday Life, Goffman menyatakan: Pespektif yang digunakan dalam laporan ini adalah perspektif pertunjukkan teater; prinsip-prinsipnya bersifat dramaturgis. Saya akan membahas cara individu ... menampilkan dirinya sendiri dan aktivitasnya kepada orang lain, cara ia memandu dan mengendalikan kesan yang dibentuk orang lain terhadapnya, dan segala hal yang mungkin atau tidak mungkin ia lakukan untuk menopang pertunjukannya di hadapan orang lain. Teori dramaturgi tidak lepas dari pengaruh Cooley tentang The Looking Glass Self, yang terdiri dari tiga komponen: Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampil bagi orang lain; kedua, kita membayangkan bagaimana penilaian mereka atas penampilan kita; ketiga, kita mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut. Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran tentang Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2010, hal. 107 41
http://digilib.mercubuana.ac.id/
58
penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter, kawan-kawan kita dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpengaruh olehnya. Fokus dramaturgi bukan pada konsep diri yang dibawa seorang aktor dari situasi ke situasi lainnya atau keseluruhan jumlah pengalaman individu melainkan diri yang tersituasikan secara sosial yang berkembang dan mengatur interaksiinteraksi spesifik. Jadi diri lebih bersifat sosial daripada psikologis. Menurut Goffman42, diri adalah “suatu hasil kerjasama” (collaborative manufacture) yang harus diproduksi-baru dalam setiap peristiwa interaksi sosial. Menggunakan katakatanya: Diri bukan sesuatu bersifat organik yang memiliki lokasi tertentu ... Dalam menganalisis diri kita terseret dari pemiliknya, dari orang yang paling untung atau paling rugi olehnya, karena ia dan tubuhnya sekedar menyediakan pasak tempat bergantung suatu hasil kerjasama untuk sementara waktu ... sarana memproduksi dan memupuk diri tidak berada di dalam pasak. Diri sebagai produk interaksi antarpribadi itulah, alih-alih sebagai milik sang aktor, yang dianalisis Goffman. Karena merupakan produk interaksi dramatik, diri bersifat rentan terhadap gangguan selama pertunjukkan. Pendekatan dramaturgis Goffman berkaitan dengan proses tentang bagaimana gangguan-gangguan itu diatasi. Pada dramaturgi Goffman memberikan penjelasan bahwa individu tidak sekedar mengambil peran orang lain, melainkan bergantung pada orang lain untuk melengkapkan citra diri tersebut. Diri disini bersifat temporer dalam arti bahwa diri tersebut berjangka-pendek, bermain peran, karena selalu dituntut oleh peran-peran 42
Ibid, hal. 109
http://digilib.mercubuana.ac.id/
59
sosial yang berlainan yang interaksinya dengan masyarakat berlangsung dalam episode-episode
pendek.
Aktivitas
mempengaruhi
orang
lain
itu
sebagai
“pertunjukan” (performance). Sebagian pertunjukan itu mungkin kita perhitungkan untuk memperoleh respons tertentu, sebgaian lainnya kurang kita perhitungkan dan lebih mudah kita lakukan karena pertunjukan itu tampak alami, namun pada dasarnya kita tetap ingin meyakinkan orang lain agar menganggap kita sebagai orang yang ingin kita tunjukkan. Seperti yang dikemukakan oleh Goffman43: Apakah seseorang performer jujur ingin menyampaikan kebenaran atau apakah seorang performer tidak jujur ingin menyampaikan kepalsuan, keduanya harus hati-hati menghiasi pertunjukan mereka dengan ekspresi yang sesuai, menghindari ekspresi yang mungkin mendeskriditkan kesan yang diperoleh dan berhati-hati agar khalayak tidak memberikan makna yang dimaksudkan. Kehidupan menurut teori dramaturgi adalah ibarat teater, interaksi sosial mirip pertunjukkan drama, yang menampilkan peran. Dalam memainkan peran setiap orang akan menggunakan bahasa verbal dan nonverbal serta menggunakan atribut tertentu. Menurut Goffman kehidupan sosial dibagi menjadi “wilayah depan” (front region) dan “wilayan belakang” (back region). Wilayah depan merujuk kepada peristiwa sosial yang memungkinkan individu bergaya atau memainkan peran formalnya. Mereka seperti sedang memainkan suatu peran di atas panggung sandiwara di hadapan khalayak penonton. Sebaliknya, wilayah belakang merujuk kepada tempat dan peristiwa yang memungkinkannya
43
Ibid, hal. 113
http://digilib.mercubuana.ac.id/
60
mempersiapkan perannya di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memaikan perannya di panggung depan. Goffman membagi panggung depan menjadi dua bagian: front pribadi (personal front), dan setting, yakni situasi fisik yang harus ada ketika aktor harus melakukan pertunjukan. Tanpa setting, aktor biasanya tidak dapat melakukan pertunjukan. Misalnya, seorang dokter bedah memerlukan ruang operasi, sorang supir taksi memerlukan kendaraan, dan seorang pemain sepak bola memerlukan lapangan bola. Sedangkan front pribadi terdiri dari alat-alat yang dapat dianggap khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting. Misalnya, dokter diharapkan mengenakan jas dokter, dengan stetoskop menggantung di lehernya; profesor diharapkan membawa buku teks berbahasa asing yang tebal-tebal ketika mengajar di kelas; dan wartawan diharapkan membawa kamera, alat perekam atau buku catatan. Front pribadi ini mencakup juga bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor, misalnya berbicara sopan, pengucapan istilahistilah asing, intonasi, postur tubuh, ekspresi wajah, pakaian, penampakan usia, ciriciri fisik, dan sebagainya.` Goffman mengakui bahwa panggung depan mengandung anasir struktural dalam arti bahwa panggung depan cenderung terlembagakan alias mewakili kepentingan kelompok atau organisasi. Sering ketika aktor melaksanakan perannya,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
61
peran tersebut telah ditetapkan lembaga ia bernaung. Meskipun berbau struktural, daya tarik pendekatan Goffman terletak pada interaksi. Ia berpendapat bahwa karena umumnya orang-orang berusaha menyajikan diri mereka yang diidealisasikan dalam pertunjukan mereka di panggung depan, mereka merasa bahwa mereka harus menyembunyikan hal-hal tertentu dalam pertunjukan mereka. Aspek lain dalam dramaturgi di panggung depan adalah bahwa aktor sering berusaha menyampaikan kesan bahwa mereka punya hubungan khusus atau jarak sosial lebih dekat dengan khalayak daripada jarak sosial yang sebenarnya. Goffman tidak hanya fokus pada individu saja tetapi juga pada kelompok atau tim. Selain membawakan peran dan karakter individu, aktor-aktor sosial juga berusaha mengelola kesan orang lain terhadap kelompoknya, baik itu keluaga, tempat bekerja, partai politik, atau organisasi lainnya yang mereka wakili. Semua anggota itu adalah apa yang Goffman44 sebut “tim pertunjukan” (performance team) yang mendramatisasikan suatu aktivitas. Kerjasama tim sering dilakukan oleh para anggota dalam menciptakan dan menjaga penampilan dalam wilayah depan. Kata kunci dalam Dramaturgi adalah show, impression, front region, back stage, setting, penampilan dan gaya. Proporsinya sebagai berikut: a. Semua interaksi sosial terdapat bagian depan (front region) yang ada persamaannya dengan pertunjukan teater. Aktor baik dipentas maupun dalam
44
Ibid, hal. 122
http://digilib.mercubuana.ac.id/
62
kehidupan sehari-hari, sama-sama menarik perhatian karena penampilan kostum yang dipakai dan peralatan yang dipakai. b. Dalam pertunjukan maupun keseharian ada bagian belakangnya (back region) yakni tempat yang memungkinkan bagi aktor mundur guna menyiapkan diri untuk pertunjukan berikutnya. Di belakang atau di depan aktor bisa berganti peran dan memerankan diri sendiri. c. Dalam membahas pertunjukan individu dapat menyajikan suatu penampilan (show) bagi orang lain, tetapi kesan (impression) si pelaku bisa berbeda-beda. d. Ada panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Panggung depan adalah penampilan individu, yang secara tertatur berfungsi di dalam mode yang umum, tetap mendefinisikan situasi yang menyaksikan penampilan itu. Di dalamnya termasuk setting dan personal front yang selanjutnya dibagi menjadi penampilan dan gaya. Dalam teori ini bahwa konstruksi realitas lahir melalui manajemen pengaruh yang ditimbulkan dari interaksi sosial. Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan dalam masyarakat memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan dengan melakukan komunikasi, yang pada akhirnya orang lain mengikuti kemauan kita. Oleh karena itu dalam dramaturgi ada konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feed back sesuai yang kita inginkan. Dramaturgi mempelajari konteks perilaku bukan hasilnya. Lingkup yang dipelajari
http://digilib.mercubuana.ac.id/
63
dalam dramaturgi adalah lingkup skala kecil yang oleh Goffman “Social Establishment” sebagai sistem yang tertutup yang memperhatikan pertunjukan yang harus dimainkan pada saat itu saja tanpa mempertimbangkan arti penting berbagai lembaga lain. Apabila seseorang mengetengahkan sosok yang ideal, seorang pelaku biasanya mengesampingkan kegiatan, fakta-fakta dan motif yang tidak sesuai dengan citra dirinya dan produk yang ideal. Tampilan peran baru adalah penting daripada tampilan rutin (tampilan dan gaya).
http://digilib.mercubuana.ac.id/