BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Kepatuhan Wajib Pajak Permasalahan kepatuhan pajak merupakan hal yang klasik dalam perpajakan. Berbagai teori kepatuhan pajak yang dikemukakan beberapa ahli menjelaskan tentang definisi serta faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pajak. Pendekatan sederhana dari kepatuhan pajak berpendapat bahwa ketika orang-orang memutuskan apakah membayar pajak mereka, mereka akan memperhitungkan besarnya pajak tersebut dan sanksi legal yang diterima dari ketidak patuhan (Posner, 2000). Jackson dan Milliron mendefenisikan kepatuhan pajak sebagai
melaporkan seluruh pendapatan dan membayar seluruh pajak
berdasarkan hukum, peraturan dan keputusan pengadilan (Jackson dan Miliron 1986, dalam Palil dan Mustapha, 2011). James dan Alley (1999) mengemukakan kepatuhan wajib pajak menyangkut sejauh mana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan aturan perpajakan yang berlaku. Dengan demikian tingkat kepatuhan wajib pajak dapat di ukur dengan Tax Gap yaitu perbedaan antara apa yang tersurat dalam peraturan perpajakan dengan apa yang dilaksanakan oleh wajib pajak. Tax gap dapat pula diartikan sebagai perbedaan antara seberapa besar pajak yang dapat dikumpulkan dengan besar pajak yang seharusnya terkumpul ( James dan alley ,1999). Sarker (2003) mendefenisikan kepatuhan wajib pajak sebagai suatu tingkatan dimana seorang wajib pajak
memenuhi atau tidak
peraturan perpajakan di negaranya. Internal Revenue Service (Brown dan Mazur,
Universitas Sumatera Utara
2003) mengelompokkan kepatuhan wajib pajak terdiri dari 3 tipe kepatuhan : (1) kepatuhan penyerahan SPT (filing compliance), (2) kepatuhan pembayaran (payment compliance), dan (3) kepatuhan pelaporan (reporting compliance). Ketiga tipe kepatuhan tersebut bila di ukur secara bersama-sama akan memberikan gambaran yang komperhensif tentang kepatuhan wajib pajak. Jackson dan Miliron melalui tinjauan terhadap literatur kepatuhan mengidentifikasi adanya 14 faktor kunci yang digunakan peneliti dalam meneliti kepatuhan pajak yang secara garis besar dikelompokkan dalam empat kelompok (Jackson dan Miliron 1986, dalam Fischer et al.1992) yaitu demografic (age, gender and education), non compliance opportunity (income level, income source, and occupation), attitudinal and perceptions (fairness of the law system and peer influence) dan tax system/structural (complexity of the tax system, probability of detection and penalties and tax rates) Kepatuhan pajak juga dapat di lihat dari segi keuangan publik (public finance), penegakan hukum (law enforcement), struktur organisasi (orgazational structure), tenaga kerja (employees), etika (code of conduct) atau gabungan dari semua segi (Adreoni et al. 1998). Trivedi et al. (1997) mencoba menggabungkan berbagai faktor personal yaitu alasan moral , orientasi nilai (value oriented), dan pilihan resiko (risk preference) dengan tiga faktor situasional pemeriksaan pajak (tax audit), ketidak adilan (tax inequity), dan prilaku laporan wajib pajak (peer reporting behaviour) di dalam analisisnya dimana faktor-faktor tersebut ternyata sangat berperan di dalam memotivasi kepatuhan Wajib Pajak. Tomkins (2001) mengemukakan bahwa faktor sosial memiliki tingkat tertinggi sebagai penentu dari tax payer non compliance.
Universitas Sumatera Utara
Teori tentang tax compliance pertama kali dikemukakan oleh Allingham and Sandmo ( Allingham dan Sadmo 1972, dalam Hamonangan dan Mukhlis, 2012). Teori ini mengasumsikan sedemikian tingginya tingkat ketidak patuhan dari sisi ekonomi. Teori ini berkeyakinan tidak ada individu bersedia membayar pajak secara sukarela (voluntary compliance). Oleh sebab itu individu akan selalu menentang untuk membayar pajak (risk aversion). Untuk menjelaskan teorinya tersebut, Allingham dan Sadmo merumuskan suatu model : D = D (I,t,p, f) D : declared income I : pendapatan tetap t : tarif pajak p : probabilitas untuk diaudit f : penalty rate Menurut teori ini , faktor utama yang mempengaruhi kepatuhan pajak antara lain : pendapatan tetap (I), tarif pajak (t), probabilitas dilakukan audit (p), dan besarnya sanksi yang mungkin dikenakan (f). Individu diasumsikan memiliki endowment pendapatan yang tetap yang harus dilaporkan ke pemerintah untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayarkannya. Declared Income merupakan tingkat pendapatan wajib pajak yang dilaporkan pada tingkat tarif pajak t. Pendapatan yang tidak dilaporkan tidak dikenai pajak, tetapi konsekuensinya individu dimungkinkan untuk di audit dengan denda sanksi sebesar f yang harus di bayar untuk setiap pendapatan yang tidak dikenakan pajak. Frey memperkenalkan adanya moral pajak (tax morale) disebut juga motivasi intrinsik individu untuk bertindak yang didasari oleh nilai-nilai yang
Universitas Sumatera Utara
dipengaruhi norma-norma budaya (Frey 1997, dalam Hamonangan dan Mukhlis, 2012). Menurut teori ini, tax morale dapat dipahami sebagai penjelasan prinsipprinsip moral atau nilai-nilai yang diyakini seseorang mengapa membayar pajak. Beberapa faktor yang mempengaruhi tax morale antara lain : -
Persepsi adanya kejujuran
-
Sikap membantu atau melayani dari aparat pajak
-
Kepercayaan terhadap instansi pemerintah
-
Penghargaan atau rasa hormat dari aparat pajak Beberapa peneliti kepatuhan pajak
menggunakan konsep Theory of
Planned Behavior (Ajzen, 1991) untuk menjelaskan perilaku kepatuhan pajak wajib pajak. Berdasarkan teori ini, prilaku individu untuk tidak atau patuh terhadap ketentuan perpajakan dipengaruhi oleh niat untuk berperilaku dan niat berperilaku tidak atau patuh dipengaruhi
yang
oleh tiga faktor yaitu : 1)
behavioral belief yaitu keyakinan akan hasil dari suatu perilaku (outcome belief) yang membentuk variabel sikap (attitude), 2) normative belief yaitu keyakinan individu terhadap harapan normatif yang menjadi rujukannya yang membentuk variabel norma sujektif (subjective norm) dan 3) control belief
yaitu
keyakinan/persepsi individu tentang keberadaan hal-hal yang mempengaruhi (mendukung atau menghambat) perilaku
yang membentuk variabel kontrol
perilaku yang dipersepsikan (perceived behavioral control). Niat berperilaku merupakan variabel perantara dalam membentuk perilaku (Ajzen, 1988). Ini berarti pada umumnya manusia bertindak sesuai dengan niat atau tendensinya. Trivedi et al. (2005) menggunakan konsep Theory of Planned Behavior dalam melakukan penelitian terhadap niat dan perilaku kepatuhan pajak.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian dilakukan
menggunakan cara
hipotesis dan eksperimen. Hasil
penelitian Trivedi et al. (2005) menyimpulkan bahwa niat kepatuhan pajak dan etika berpengaruh signifikan terhadap perilaku kepatuhan pajak sedangkan sikap, norma subjektif dan kontrol yang persepsikan tidak berpengaruh signifikan. Dari sisi pengaruh terhadap niat kepatuhan pajak, Trivedi et al. (2005) menyimpulkan bahwa norma subjektif dan sikap berpengaruh signifikan terhadap niat kepatuhan pajak sedangkan kontrol yang dipersepsikan dan etika berpengaruh tidak signifikan. 2.1.2. Sikap Terhadap Keadilan dari Sistem Perpajakan ( Attitude on righteousness of tax system) Allport mendefenisikan sikap sebagai suatu keadaan mental dan syaraf yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan ( Allport 1953, dalam Schwarz dan Bohner, 2001). Ajzen dan Fishbein’s mengemukakan bahwa sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut (Ajzen dan Fishbein’s 1980, dalam Bobek dan Hatfield,2003). Berkaitan dengan pajak, sikap wajib pajak didefinisikan sebagai pandangan positif atau negatif dari perilaku kepatuhan pajak. Hasil positif adalah kepatuhan pajak dan hasil negatif adalah ketidakpatuhan pajak ( Marti et al. 2010). Sikap positif terhadap sistem perpajakan sebenarnya adalah hasil dari persepsi keadilan positif atau dengan kata lain persepsi keadilan positif dapat sebagai pendorong dari sikap positif. Dengan demikian wajib pajak dengan persepsi
Universitas Sumatera Utara
positif terhadap keadilan sistem perpajakan akan lebih memiliki sikap positif terhadap sistem perpajakan dan kosekuensinya akan mendorong mereka untuk patuh. Sulit untuk mendefenisikan keadilan pajak , di satu sisi harus memuaskan wajib pajak dan di sisi lain berkaitan pelaksanaan terhadap peraturan perundangundangan perpajakan. Christensen et al. menyatakan bahwa keadilan pajak sulit didefinisikan karena empat masalah utama (Christensen et al. 1994, dalam Azmi dan Perumal 2008) : (1) masalah dimensional, (2) dapat didefinisikan pada tingkat individu maupun pada masyarakat luas, (3) keadilan terkait dengan kompleksitas, dan (4) kurangnya keadilan dapat menjadikan pertimbangan atau menyebabkan ketidakpatuhan. Azmi dan Perumal (2008) mengidentifikasi 5 (lima) dimensi keadilan pajak yang mempengaruhi perilaku kepatuhan pajak yaitu: 1. Keadilan Umum (General Fairness). Dimensi ini terkait dengan keadilan menyeluruh atas sistem perpajakan dan distribusi pajak. 2. Timbal balik Pemerintah (Exchange with Government). Dimensi ini terkait dengan timbal balik yang secara tidak langsung diberikan pemerintah atas pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak. 3. Kepentingan Pribadi (Self-Interest). Dimensi ini terkait dengan apakah jumlah pajak yang dibayarkan wajib pajak secara pribadi terlalu tinggi dan jika dibandingkan dengan wajib pajak lainnya. 4. Ketentuan-ketentuan khusus (Special Provisions). Dimensi ini terkait ketentuan-ketentuan khusus yang diberikan kepada wajib pajak tertentu, misalnya insentif pengurangan tarif untuk perusahaan go public maupun UMKM.
Universitas Sumatera Utara
Erich et al. mengemukakan bahwa persepsi keadilan dapat di lihat dalam beberapa bentuk ( Erich et al. 2006, dalam Saad 2010). Pertama, keadilan vertikal (vertikal fairness) yaitu wajib pajak dalam situasi ekonomi berbeda akan dikenakan pajak pada tarif yang berbeda. Hal ini akan mengakibatkan penghasilan yang lebih tinggi akan membayar pajak lebih tinggi dari pada penghasilan lebih rendah. Kedua, keadilan horizontal (horizontal fairness) didefinisikan sebagai perlakuan yang sama dalam situasi yang sama dari individu. Dengan kata lain keadilan horizontal merekomendasikan bahwa wajib pajak dalam posisi ekonomi yang sama akan membayar jumlah pajak yang sama. Studi Bobek pada sistem perpajakan Amerika tentang keadilan prosedural (procedural fairness) dan keadilan kebijakan (policy fairness) menyatakan bahwa keadilan prosedural berhubungan dengan proses yang digunakan dalam kaitannnya dengan fungsi distribusi
sedangkan keadilan kebijakan berkaitan
dengan isi dari hukum pajak (Bobek 1997, dalam Saad 2010) . Dapat disimpulkan bahwa keadilan secara umum mengukur penilaian individu apakah sistem perpajakan secara umum adil atau tidak. 2.1.3. Norma-norma Individu dan Sosial (Personal and Social Norms) Faktor lain yang mempengaruhi perilaku kepatuhan pajak adalah normanorma perilaku, yang terbagi atas
norma-norma individu (personal norms),
norma-norma sosial (social norms) dan norma masyarakat/warga negara (societal/national norms) (Kirchler, 2007).
Norma individu didefenisikan
sebagai internalisasi standar bagaimana kita harus berperilaku. Norma individu berhubungan dengan pertimbangan moral (moral reasioning), sifat otoriter (authoritarianism) dan sifat Machiavellian (machiavellianism), sifat egois, norma
Universitas Sumatera Utara
dependency dan nilai. Norma sosial didefenisikan sebagai suatu kelaziman atau penerimaan dari penghindaran pajak antara suatu grup yang direferensikan . Norma sosial berhubungan dengan perilaku dari grup yang direferensikan seperti teman, kenalan atau kelompok. Jika wajib pajak percaya bahwa perilaku ketidakpatuhan tersebar luas dan disetujui dalam suatu grup yang direferensikan maka mereka akan cenderung untuk tidak patuh. Norma masyarakat/warganegara merupakan budaya standar yang sering dicerminkan sebagai hukum actual. Ajzen (1991)
mengemukakan
bahwa
norma subyektif merupakan
persepsi individu berhubungan dengan kebanyakan dari orang-orang yang penting bagi dirinya mengharapkan individu untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu. Norma subjektif mengacu pada persepsi individu apakah individu atau grup tertentu setuju atau tidak setuju atas perilakunya dan motivasi yang diberikan oleh mereka kepada individu untuk berperilaku tertentu. Secara umum jika norma-norma tersebut dipegang teguh
oleh wajib pajak maka
kepatuhan sukarela (voluntary compliance) akan diperoleh. Penelitian Wenzel (2004) menyimpulkan bahwa norma sosial tidak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan pajak sedangkan norma individu berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan pajak.
2.1.4. Probabilitas Ditemukan (Detection Probability) Walaupun wajib pajak telah diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajaknya sendiri (self assessment system), penegakan hukum (law enforcement) tetap diperlukan dalam rangka
Universitas Sumatera Utara
mengawasi pelaksanaan kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan
perpajakan. Salah satunya adalah melalui pemeriksanaan pajak (tax audit) yang bertujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan tujuan lain dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan (UU RI No. 16 tahun 2009). Secara
umum,
pengertian
dari
probabilitas
temuan
(detection
probabilility) adalah kemungkinan ditemukannnya ketidakpatuhan dan IRS akan mencari dan memperbaiki penyimpangan tersebut (Fischer et al. 1992). Meningkatkan probabilitas temuan akan menambah kepatuhan pajak dan audit pajak merupakan salah satu langkah efektif yang digunakan oleh otoritas pajak (Alm 1991 dalam Fischer et al. 1992). Individu biasanya sepenuhnya ingin menghindari kewajiban pajak mereka
dan satu-satunya alasan mereka tidak
melakukan hal tersebut adalah adanya peluang kemungkinan tertangkap (Chau dan Leung, 2009) . Beberapa peneliti menemukan bahwa peningkatan resiko temuan pajak akan mengurangi penghindaran pajak dan akhirnya akan menambah kepatuhan pajak antara lain Dubin and wilde 1988; Franzoni 2000; Scholz 2007; Cumming et al. 2009 (Benk, et. al, 2011)
2.1.5. Besarnya Penalti (Penalty Magnitude) Faktor penting lain yang mempengaruhi kepatuhan pajak adalah besarnya sanksi. Idealnya adalah ketakutan akan penalti akan memperkecil perilaku ketidak patuhan (Chau dan Leung, 2009). Struktur sistem penalti mungkin berbeda disetiap negara misalnya karena perbedaan subjek pajak, tarif penalti dan jenis
Universitas Sumatera Utara
wajib pajak. Doran (2009) memberikan dua fungsi dari penalti pajak (tax penalty). Pertama, berperan sebagai instrumen fungsi yang mempromosikan kepatuhan pajak. Hal ini diakui secara luas oleh hukum dan literatur ekonomi, meskipun ada sedikit konsensus tentang bagaimana penalti mempromosikan kepatuhan dalam arti struktur penalti yang berbeda mungkin mempengaruhi kepatuhan yang bebeda. Kedua,
fungsi mendefinisikan kepatuhan pajak. Jika denda yang
ditetapkan dalam konsep yang salah maka akan menyebabkan perilaku yang tidak sesuai dengan konsep kepatuhan.
Membangun sebuah sistem penalti untuk
menghukum para penghindar pajak merupakan ukuran penting untuk kepatuhan pajak. Wajib pajak akan lebih menginginkan untuk patuh jika ketidakpatuhan dikenakan hukuman yang berat (Chau dan Leung, 2009). Kepatuhan pajak dapat ditingkatkan dengan meningkatkan hukuman yang terkait dengannya. Untuk lebih effektif, sanksi harus diterapkan dengan cepat dan tepat.
Menurut
Mardiasmo
(2011), sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan akan dituruti/ditaati/dipatuhi. Atau dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan . Di sisi lain Borck (2004) menemukan bahwa dampak sanksi penalti terhadap penggelapan pajak (tax evasion) berakibat menurunnya penerimaan pajak yang diharapkan (expected tax revenue), tetapi meningkatkan kesejahteraan wajib pajak (taxpayer welfare). Borck (2004) berpendapat apabila pengenaan sanksi denda diterapkan terhadap penggelapan pajak, maka penghindaran pajak justru menjadi besar dan penerimaan pajak menjadi kecil. Hal mengindikasikan bahwa dampak besarnya penalti dapat berpengaruh terhadap berkurangnya
Universitas Sumatera Utara
kepatuhan wajib pajak. Carnes dan Engelbrecht (1995) menyimpulkan bahwa besarnya penalti dan resiko temuan secara signifikan mempengaruhi kepatuhan pajak tetapi interaksi variabel tersebut tidak signifikan. Dalam TPB (Azjen, 1991) , kontrol perilaku yang dipersepsikan mengacu kepada tingkat persepsi kontrol individu tentang suatu perilaku. Lebih spesifik, faktor fundamental dari kontrol perilaku yang dipersepsikan bekenaan dengan ada atau tidaknya sumberdaya dan kesempatan termasuk hambatan dan tantangan untuk mewujudkan perilaku tertentu (Bobek dan Hatfield, 2003). Pelaksanaan perilaku tergantung pada keyakinan individu terhadap seberapa besar kontrol yang dimilikinya.
mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung (melalui
niat) terhadap perilaku (Ajzen, 1988). Pengaruh langsung dapat terjadi jika terdapat actual control di luar kehendak individu sehingga mempengaruhi perilaku. Berkaitan dengan kontrol aktual, Benk et al. (2011) mengemukan bahwa kontrol perilaku menentukan tingkat kesulitan dari kinerja yang ditampilkan oleh individu. Elemen ini terkadang dapat mempengaruhi perilaku secara langsung. Dalam hal kontrol perilaku, aktual kontrol tidak tergantung pada keinginan individu, misalnya sanksi hukum merupakan
kontrol perilaku yang dapat
mempengaruhi perilaku secara langsung. 2.2. Review Penelitian Terdahulu (Theoritical Mapping) Mustikasari (2007) menyimpulkan bahwa (1) tax professional yang memiliki sikap terhadap ketidakpatuhan positif, niat ketidakpatuhan pajaknya tinggi, (2) pengaruh orang sekitar (perceived social pressure) yang kuat mempengaruhi niat tax professional untuk berperilaku patuh, (3) tax professional yang memiliki kewajiban moral yang tinggi, niat ketidakpatuhan pajaknya rendah
Universitas Sumatera Utara
atau sebaliknya, (4) semakin rendah persepsi tax professional atas kontrol yang dimilikinya akan medorong tax professional berniat patuh. Di antara variabel bebas sikap yang diteliti, variabel kontrol keperilakuan yang dipersepsikan mempunyai pengaruh total paling besar terhadp variabel niat tax professional untuk berperilaku tidak patuh, (5) semakin rendah persepsi atas kontrol yang dimiliki tax professional maka akan mendorong tax professional tidak patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakan badan yang diwakilinya, atau mencukupi maka ketidakpatuhan pajak badan rendah atau sebaliknya. Napitupulu (2008) menyimpulkan kewajiban moral secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak sedangkan secara parsial tidak signifikan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Menurut Benk et al. (2011), equity attitudes tidak berpengaruh signifikan terhadap niat kepatuhan pajak sedangkan normative expectation dan legal sanction berpengaruh terhadap niat kepatuhan pajak. Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian Benk et al. (2011) dan penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu No 1.
2.
Nama Judul Penelitian Peneliti Mustikasari, Kajian Empiris Elia (2007) tentang Kepatuhan Wajib Pajak Badan di Perusahaan Industri Pengolahan Surabaya.
Variabel Yang Digunakan
Kesimpulan
Niat tax professional (1) tax professional yang memiliki sikap terhadap berperilaku tidak patuh (Y1) ketidakpatuhan positif, niat ketidakpatuhan pajaknya dan ketidakpatuhan pajak tinggi, (2) pengaruh orang sekitar (perceived social badan (Y2). Sikap terhadap pressure) yang kuat mempengaruhi niat tax professional ketidakpatuhan pajak (X1), untuk berperilaku patuh, (3) tax professional yang Norma subyektif (X2), memiliki kewajiban moral yang tinggi, niat kewajiban moral (X3), kontrol ketidakpatuhan pajaknya rendah atau sebaliknya, (4) keperilakuan yang semakin rendah persepsi tax professional atas kontrol dipersepsikan (X4), persepsi yang dimilikinya akan medorong tax professional berniat tentang kondisi keuangan (X5), patuh. persepsi tentang fasilitas perusahaan (X6), dan persepsi tentang iklim organisasi (X7) Perilaku Kepatuhan Wajib(1) Secara simultan kewajiban moral, niat profesional Pajak (Y1). Kewajiban moral berperilaku patuh, persepsi tentang kondisi perusahaan, (X1) Niat tax professional persepsi fasilitas peusahaan dan persepsi iklim berperilaku patuh (X2), organisasi berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan persepsi tentang kondisi keuangan (X3), persepsi pajak.
Napitupulu , Analisis FaktorKrisman Faktor yang Mempengaruhi (2008) Kepatuhan Wajib Pajak badan Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama tentang fasilitas perusahaan (2) Secara parsial persepsi tentang iklim organisasi dan Belawan (X4), dan persepsi tentang niat profesional berperilaku patuh berpengaruh positif iklim organisasi (X5) dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak, sedangkan kewajiban moral , persepsi tentang kondisi perusahaan dan persepsi fasilitas perusahaan berpengaruh tidak signifikan terhadap kepatuhan
Universitas Sumatera Utara
wajib pajak. 3.
Benk, et. al. An Investigation ofTax Compliance 3 Intention:ATheory 3 Of Planned Behavior Approach
Tax Compliance Intention 1. No statiscally significant between the equity attitudes (Y1). Equity Attitudes (X1), with tax compliance intention. Normative Expectation (X2), Legal Sanction (X3) 2. Normative Expectation and legal sanction influencing tax compliance intention
Universitas Sumatera Utara