BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Landasan Teori
2.1.1
Teori Kependudukan Tingginya laju pertumbuhan penduduk di beberapa bagian dunia
menyebabkan jumlah penduduk meningkat dengan cepat. Di beberapa bagian di dunia telah terjadi kemiskinan dan kekurangan pangan. Fenomena ini menggelisahkan beberapa ahli, dan masing-masing dari mereka berusaha mencari faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan tersebut. Umumnya para ahli dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama terdiri dari penganut aliran Malthusian. Aliran Malthusian dipelopori oleh Thomas Robert Malthus, dan aliran Neo-Malthusian dipelopori oleh Garreth Hardin dan Paul Ehrlich. Kelompok kedua terdiri dari penganut aliran Marxist yang dipelopori oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Kelompok ketiga terdiri dari pakar-pakar teori kependudukan mutakhir yang merupakan formulasi teori-teori kependudukan yang ada. 2.1.1.1 Aliran Malthusian Aliran ini dipelopori oleh Thomas Robert Malthus, seorang pendeta Inggris, hidup pada tahun 1766 hingga tahun 1834. Pada permulaan tahun 1798 lewat karangannya yang berjudul Essay on Principle of Popoulations as it Affect the Future Improvement of Society, with Remarks on the Specculations of Mr.Godwin, M.Condorcet, and Other Writers, menyatakan bahwa penduduk (seperti juga tumbuh-tumbuhan dan binatang) apabila tidak ada pembatasan, akan berkembang biak dengan cepat dan memenuhi dengan cepat beberapa bagian dari
8 Universitas Sumatera Utara
permukaan bumi. Tingginya pertumbuhan penduduk disebabkan karena hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan tidak bisa dihentikan. Pertumbuhan penduduk harus dibatasi. Menurut Malthus pembatasan tersebut, dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu preventive checks dan positive checks. Preventive checks adalah pengurangan penduduk melalui penekanan kelahiran. Preventive checks dapat dibagi menjadi dua, yaitu: moral restraint dan vice (pengekangan diri), yaitu segala usaha untuk mengekang nafsu seksual, penundaan dan pengurangan kelahiran: pengguguran kandungan, penggunaan alat-alat kontrasepsi, homoseksuil, promiscuity, adultery. Positive checks adalah pengurangan penduduk melalui proses kematian. Positive checks dapat dibagi menjadi dua yaitu: vice dan mistery. Vice (kejahatan) adalah segala jenis pencabutan nyawa sesama manusia seperti pembunuhan anak-anak (infanticide), pembunuhan orang-orang cacat, dan orang-orang tua. Misery (kemelaratan) ialah segala keadaan yang menyebabkan kematian seperti berbagai jenis penyakit dan epidemik, bencana alam, kelaparan, kekurangan pangan, dan peperangan. 2.1.1.2 Aliran Neo-Malthusians Kelompok yang menyokong aliran Malthus tetapi lebih radikal disebut dengan kelompok Neo-Malthusianism. Kelompok ini tidak sependapat dengan Malthus, bahwa untuk mengurangi jumlah penduduk cukup dengan moral restraint saja. Untuk keluar dari perangkap Malthus, mereka menganjurkan menggunakan semua cara-cara preventive checks, misalnya dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi untuk mengurangi jumlah kelahiran, pengguguran kandungan (abortions). Menurut kelompok ini (yang dipelopori oleh Garreth Hardin dan Paul
9 Universitas Sumatera Utara
Ehrlich) pada abad ke-20 (tahun 1950-an), dunia baru yang pada zamannya Malthus masih kosong kini sudah mulai penuh dengan manusia. Dunia baru mulai tidak mampu untuk menampung jumlah penduduk yang sudah bertambah. Setiap minggu lebih dari sejuta bayi lahir di dunia. Paul
Ehrlich
dalam
buku
The
Population
Bomb
tahun
1971,
menggambarkan penduduk dan lingkungan yang ada di dunia dewasa ini sebagai berikut. Pertama, dunia ini sudah terlalu banyak manusia; kedua, keadaan bahan makanan sangat terbatas; ketiga, karena terlalu banyak manusia di dunia ini lingkungan sudah banyak yang rusak dan tercemar. Pada tahun 1990, Ehrlich bersama istrinya merevisi buku tersebut dengan judul The Population Explotion, yang isinya bahwa bom penduduk yang dikhawatirkan tahun 1968 kini sewaktuwaktu dapat meletus. 2.1.1.3 Aliran Marxist Aliran ini dipelopori oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Marx dan Engels tidak sependapat dengan Malthus yang menyatakan, bahwa apabila tidak diadakan pembatasan terhadap pertumbuhan penduduk, maka manusia akan kekurangan bahan pangan. Menurut Marx tekanan penduduk yang terdapat di suatu negara bukanlah tekanan penduduk terhadap bahan makanan, tetapi tekanan penduduk terhadap kesempatan kerja. Kemelaratan terjadi bukan disebabkan karena pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat, tetapi karena kesalahan struktur masyarakat itu sendiri seperti yang terdapat pada negara-negara kapitalis. Jadi menurut Marx dan Engels sistem kapitalis-lah yang menyebabkan kemelaratan tersebut, dimana mereka menguasai alat-alat produksi. Untuk mengatasi hal-hal
10 Universitas Sumatera Utara
tersebut maka struktur masyarakat harus diubah dari sistem kapitalis menjadi sistem sosialis. Menurut Marx dalam sistem sosialis alat-alat produksi dikuasai oleh buruh, sehingga gaji buruh tidak akan terpotong. Buruh akan menikmati seluruh hasil kerja mereka dan oleh karena itu, masalah kemelaratan akan dapat dihapuskan. Selanjutnya dia berpendapat bahwa semakin banyak jumlah manusia semakin tinggi produksi yang dihasilkan, jadi dengan demikian tidak perlu diadakan pembatasan pertumbuhan penduduk: Marx dan Engels menentang usaha-usaha moral restraint yang disarankan oleh Malthus. 2.1.1.4 Teori Jhon Stuart Mill Jhon Stuart Mill, seorang ahli filsafat dan ahli ekonomi berkebangsaan Inggris dapat menerima pendapat Malthus mengenai laju pertumbuhan penduduk melampaui laju pertumbuhan bahan makanan sebagai suatu aksioma. Selanjutnya ia mengatakan, apabila produktivitas seseorang tinggi ia cenderung ingin mempunyai keluarga yang kecil. Dalam situasi seperti ini fertlitas akan rendah. Jadi taraf hidup (standart of living) merupakan determinan fertilitas. Memperhatikan bahwa tinggi rendahnya tingkat kelahiran ditentukan oleh manusia itu sendiri, maka Mill menyarankan untuk meningkatkan pendidikan penduduk tidak saja untuk golongan yang mampu, tetapi juga untuk golongan yang tidak mampu. Dengan meningkatnya pendidikan penduduk maka secara rasional mereka mempertimbangkan perlu tidaknya menambah jumlah anak sesuai dengan karir dan usaha yang ada. Disamping itu Mill juga berpendapat
11 Universitas Sumatera Utara
bahwa umumnya wanita tidak menghendaki anak yang banyak, dan apabila kehendak mereka diperhatikan maka tingkat kelahiran akan rendah. 2.1.1.5 Teori Arsene Dumont Arsene Dumont, seorang ahli demografi bangsa Perancis pada tahun 1890 menulis sebuah artikel berjudul Depopulation et Civilization. Ia melancarkan teori penduduk baru yang disebut dengan teori kapilaritas sosial (theory fo sosial capilarity). Kapilaritas sosial mengacu kepada keinginan seseorang untuk mencapai kedudukan yang tinggi di masyarakat. Untuk dapat mencapai kedudukan tersebut, keluarga yang besar merupakan beban yang berat dan perintang. Teori kapilaritas sosial dapat berkembang dengan baik pada negara demokrasi, dimana tiap-tiap individu mempunyai kebebasan untuk mencapai kedudukan yang tinggi di masyarakat. Di Perancis pada abad ke-19 misalnya, sistem demokrasi sangat baik, tiap-tiap orang berlomba-lomba mencapai kedudukan yang tinggi, sebagai akibatnya angka kelahiran turun dengan cepat. 2.1.1.6 Teori Emile Durkheim Emile Durkheim adalah seorang ahli sosiologis Perancis. Ia mengatakan, pada suatu wilayah dimana angka kepadatan penduduknya tinggi akibat dari tingginya laju pertumbuhan penduduk akan timbul persaingan di antara penduduk untuk dapat mempertahankan hidup. Dalam usaha memenangkan persaingan tiaptiap orang berusaha untuk meningkatkan pendidikan dan keterampilan, dan mengambil spesialisasi tertentu.
12 Universitas Sumatera Utara
2.1.1.7 Teori Michael Thomas Sadler dan Doubleday Kedua ahli ini adalah penganut teori fisologis. Sadler mengemukakan, bahwa daya reproduksi manusia dibatasi oleh jumlah penduduk yang ada di suatu negara atau wilayah. Jika kepadatan penduduk tinggi, daya reproduksi manusia akan menurun, sebaliknya jika kepadatan penduduk rendah, daya reproduksi manusia akan meningkat. Jika Sadler mengatakan bahwa daya reproduksi penduduk berbanding terbalik dengan tingkat kepadatan penduduk, maka Doubleday berpendapat, bahwa daya reproduksi penduduk berbanding terbalik dengan bahan makanan yang tersedia. Kenaikan kemakmuran menyebabkan turunnya daya reproduksi manusia. Menurut Doubleday, kekurangan bahan makanan merupakan perangsang bagi daya reproduksi manusia, sedangkan kelebihan pangan justru merupakan faktor pengekang perkembangan penduduk. Golongan masyarakat berpendapatan rendah, seringkali terdiri dari penduduk dengan keluarga besar, sebaliknya masyarakat berpendapatan tinggi biasanya jumlah keluarganya kecil. 2.1.2
Teori Fertilitas Fertilitas merupakan salah satu komponen yang dapat mempengaruhi
perubahan jumlah penduduk dan komposisi penduduk dalam suatu negara. Fertilitas sebagai istilah demografi diartikan sebagai hasil reproduksi yang nyata dari seorang wanita atau sekelompok wanita. Dengan kata lain, fertilitas ini menyangkut banyaknya bayi yang lahir hidup. Fertilitas mencakup peranan kelahiran pada perubahan penduduk, sedangkan natalitas mencakup peranan kelahiran pada perubahan penduduk dan reproduksi manusia (Hatmadji, 1971).
13 Universitas Sumatera Utara
Menurut Ida Bagoes Mantra (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya fertilitas dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor demografi dan faktor non-demografi. Faktor demografi diantaranya adalah; struktur umur, struktur perkawinan, umur kawin pertama, paritas, disrupsi perkawinan, dan proporsi yang kawin. Sedangkan faktor non-demografi antara lain; keadaan ekonomi penduduk, tingkat pendidikan, perbaikan status perempuan, urbanisasi dan industrialisasi. Dr.Davis dan Dr.Blake (dalam Ida Bagoes Mantra, 2000) dalam tulisannya berjudul The Social Structure of Fertility: An Analitical Framework, menyatakan bahwa faktor-faktor sosial mempengaruhi fertilitas melalui variabel antara (Gambar 2.1) Gambar 2.1 Skema dari Faktor Sosial yang Mempengaruhi Fertilitas Lewat Variabel Antara. Faktor Sosial
Variabel Antara
Fertilitas
Sumber : Davis dan Blake (dalam Ida Bagoes Mantra, 2000)
Davis dan Blake menyebutkan 11 variabel antara lain dikelompokkan sebagai berikut. 1)
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemungkinan hubungan kelamin pada usia reproduksi; a.
Umur memulai hubungan kelamin,
b.
Selibat permanen, yaitu proporsi wanita yang tidak pernah mengadakan hubungan kelamin,
c.
Lamanya masa reproduksi yang hilang, karena: i.
Perceraian, perpisahan, atau ditinggal pergi oleh suami
ii. Suami meninggal dunia,
14 Universitas Sumatera Utara
d.
Abstinensi sukarela,
e.
Abstinensi karena terpaksa (impotensi, sakit, berpisah sementara yang tidak bisa dihindari),
f. 2)
Frekuensi hubungan seks (tidak termasuk abstinensi).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemungkinan konsepsi; a.
Kesuburan dan kemandulan biologis (fekunditas dan infekunditas) yang tidak disengaja,
b.
Menggunakan atau tidak menggunakan alat-alat kontrasepsi i.
Cara kimiawi dan cara mekanis
ii. Cara-cara lain (seperti metoda ritma dan senggama terputus), c.
Kesuburan dan kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor disengaja, misalnya strerilisasi.
3)
Faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan dan kelahiran selamat; a.
Kematian janin karena faktor-faktor yang tidak disengaja,
b.
Kematian janin karena faktor-faktor disengaja.
Kesebelas faktor-faktor itu masing-masing dapat mempunyai akibat negatif dan positif terhadap fertilitas. Adapun dua macam pendekatan dalam melakasanakan pengukuran fertilitas menurut Hatmadji (1971), yaitu Yearly Performance (current fertility) dan Reproductive History (cummulative fertility).
1)
Yearly Performance (current fertility)
15 Universitas Sumatera Utara
Mencerminkan fertilitas dari suatu kelompok penduduk atau berbagai kelompok penduduk untuk jangka waktu satu tahun. Ini yang disebut current fertility. Yearly Performance terdiri dari: a.
Angka Kelahiran Kasar atau Crude Birth Rate (CBR) Angka kelahiran kasar didefinisikan sebagai banyaknya kelahiran hidup
pada suatu tahun tertentu tiap 1000 penduduk pada pertengahan tahun. Rumus: CBR=
B ×k Pm
Dimana:
b.
CBR
= Crude Birth Rate atau Angka Kelahiran Kasar
Pm
= Penduduk pertengahan tahun
k
= Bilangan konstan yang biasanya bernilai 1.000
B
= Jumlah kelahiran pada tahun tertentu
Angka Kelahiran Umum atau General Fertility Rate (GFR) GFR adalah banyaknya kelahiran tiap seribu wanita yang berumur 14-59
atau 15-44 tahun. Rumus: 𝐺𝐹𝑅 =
Dimana: GFR B
(Jumlah kelahiran pada tahun tertentu) ×𝑘 Jumlah penduduk wanita umur 15 − 49 pada pertengahan tahun Atau
𝐵 ×𝑘 𝑃𝑓(15 − 49) = Angka Kelahiran Umum = Jumlah kelahiran 𝐺𝐹𝑅 =
16 Universitas Sumatera Utara
Pf (15-49) = Jumlah penduduk perempuan umur 15-49 tahun pada pertengahan tahun c.
Angka Kelahiran menurut kelompok umur atau Age Specific Fertility Rate (ASFR) ASFR adalah banyaknya kelahiran tiap seribu wanita pada kelompok umur
tertentu. Rumus: ASFRi =
Bi ×k Pfi
Dimana: Bi
= Jumlah kelahiran bayi pada kelompok umur i
Pfi = Jumlah perempuan kelompok umur i pada pertengahan tahun k d.
= Angka konstanta, biasanya 1.000
Angka Kelahiran Total atau Total Fertility Rate (TFR) TFR adalah jumlah dari ASFR, dengan catatan bahwa umur dinyatakan
dalam satu tahunan. Rumus:
7
TFR=5 ∑ ASFRi
( i= 1, 2,…)
i=1
Dimana:
2)
ASFR
= Angka kelahiran menurut kelompok umur
i
= Kelompok umur 5 tahunan, dimulai dari 15-19
Reproductive History (cummulative fertility) e.
Jumlah Anak yang Pernah Dilahirkan atau Children Ever Born (CEB)
17 Universitas Sumatera Utara
CEB mencerminkan banyaknya kelahiran sekelompok atau beberapa kelompok wanita selama reproduksinya;dan disebut juga paritas. Rumus: Rata-rata jumlah anak dilahirkan=
CEBi Pfi
Dimana: CEBi = Jumlah anak yang dilahirkan hidup oleh kelompok umur i Pif f.
= Jumlah wanita pada kelompok umur i
Child Woman Ratio (CWR) CWR adalah hubungan dalam bentuk rasio antara jumlah anak di bawah
lima tahun dan jumlah penduduk wanita usia reproduksi. Rumus: CWR =
P0−4 f P15−49
×k
Dimana: P0-4
= Jumlah penduduk umur 0-4 tahun
Pf15-49 = Jumlah wanita umur 15-49 tahun k
2.1.3
= Bilangan konstan, biasanya 1.000
Pengaruh Pendapatan terhadap Fertilitas Pendapatan merupakan salah satu variabel pengaruh dalam mempengaruhi
seseorang atau sebuah keluarga untuk membuat keputusan dalam menentukan atau merencanakan jumlah anak. Apabila ada kenaikan pendapatan, aspirasi orang
18 Universitas Sumatera Utara
tua akan berubah. Orang tua menginginkan anak dengan kualitas yang baik. Ini berarti biayanya naik. Sedangkan kegunaannya turun, sebab walaupun anak masih memberikan kepuasan akan tetapi balas jasa ekonominya turun. Disamping itu orang tua juga tidak tergantung dari sumbangan anak. Jadi biaya membesarkan anak lebih besar daripada kegunaannya. Hal ini mengakibatkan demand terhadap anak menurun atau dengan kata lain fertilitas turun (Hatmadji, 2007). Dalam analisis ekonomi fertilitas dibahas mengapa permintaan akan anak berkurang bila pendapatan meningkat. New household economics berpendapat bahwa: (a)
Orang tua mulai lebih menyukai anak-anak yang berkualitas lebih tinggi dalam jumlah yang hanya sedikit, sehingga ‘harga beli’ meningkat.
(b)
Bila pendapatan dan pendidikan meningkat, maka semakin banyak waktu (khususnya waktu ibu) yang digunakan untuk merawat anak. Jadi anak menjadi lebih mahal. Wrong (dalam David Lucas, 1982) percaya, bahwa norma yang
menunjukkan penduduk dari golongan status ekonomi yang lebih rendah mempunyai fertilitas yang relatif lebih tinggi, hampir dapat dikatakan sebagai suatu hukum sosial ekonomi. Dalam masyarakat yang berpendapatan rendah (terutama pada daerah pertanian dan pesisir), anak-anak dianggap sebagai sumber tenaga kerja dan sumber pendapatan yang penting bagi keluarga. Selain itu, anak dinilai sebagai investasi hari tua atau sebagai komoditas ekonomi yang dapat disimpan untuk di kemudian hari. Hal tersebut merupakan hubungan yang positif antara pendapatan dengan nilai anak. Berkolerasi negatif apabila pendapatan yang
19 Universitas Sumatera Utara
tinggi akan menilai anak bukan sebagai potensi, modal atau rezeki. Mereka menilai anak sebagai beban dalam keluarga. Sehingga semakin tinggi pendapatan, maka persepsi nilai anak akan berkurang sehingga fertilitas akan menurun. Dengan kata lain, jika pendapatan naik maka fertilitas menurun, begitu juga sebaliknya. Jadi pendapatan berpengaruh negatif terhadap fertilitas. 2.1.4 Pengaruh Tingkat Pendidikan terhadap Fertilitas Hawthorn (dalam David Lucas, 1982) menyatakan, bahwa dalam semua masyarakat, ”kesadaran akan pembatasan kelahiran memang tergantung pada latar belakang daerah kota atau tempat tinggal, pendidikan dan penghasilan”. Tingkat pendidikan wanita dianggap sebagai salah satu variabel yang penting dalam melihat variasi tingkat fertilitas. Karena variabel ini banyak berperan dalam perubahan status, sikap dan pandangan hidup mereka didalam masyarakat. Pendidikan istri merupakan faktor sosial paling penting dalam analisis demografi misalnya dalam usia kawin pertama, fertilitas dan mortalitas. Selain itu, pendidikan juga memberikan kesempatan yang lebih luas kepada wanita untuk lebih berperan dan ikut serta dalam kegiatan ekonomi. Sehingga faktor tersebut akhirnya mempengaruhi tingkah laku reproduksi wanita karena diharapkan pendidikan berhubungan negatif dengan fertilitas (Saleh M, 2003). Menurut Todaro (1994), semakin tinggi tingkat pendidikan istri atau wanita cenderung untuk merencanakan jumlah anak yang semakin sedikit. Keadaan ini menunjukkan bahwa wanita yang telah mendapatkan pendidikan lebih baik cenderung memperbaiki kualitas anak dengan cara memperkecil jumlah
20 Universitas Sumatera Utara
anak, sehingga akan mempermudah dalam perawatannya, membimbing dan memberikan pendidikan yang lebih layak. Penelitian mengenai kaitan pendidikan wanita dengan kesuburan di beberapa negara yang sudah maupun kurang berkembang, mengungkapkan bahwa adanya kaitan yang erat antara tingkat pendidikan dengan fertilitas dalam hal ini pada tingkat kesuburan. Semakin tinggi pendidikan maka semakin rendah kesuburan yang mengakibatkan penurunan pada fertilitas. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin rendah fertillitas, begitu juga sebaliknya. Jadi, tingkat pendidikan berpengaruh negatif terhadap fertilitas. 2.1.5
Pengaruh Jam Kerja terhadap Fertilitas Jam kerja adalah waktu yang ditentukan untuk melakukan suatu pekerjaan.
Pada umumnya dorongan wanita bekerja adalah untuk mengisi waktu senggang, untuk membina karir atau untuk menambah penghasilan pendapatan keluarganya. Bagi wanita yang sudah berumah tangga partisipasi mereka dalam melaksanakan urusan rumah tangga, melahirkan dan membesarkan anak. Hal ini dapat berpengaruh terhadap fertilitas (kesuburan), yang tercermin dalam jumlah anak yang dilahirkan hidup. Kesibukan kerja menyebabkan para ibu lelah dan waktu untuk beristirahat serta berkumpul bersama keluarga sangat terbatas. Bakir (1984) mengemukakan hubungan fertilitas dan angkatan kerja: a)
Partisipasi wanita dalam angkatan kerja mempunyai pengaruh negatif terhadap fertilitas. Hal ini disebabkan karena terjadi pertentangan atau konflik antara fungsi dan tugas wanita yang dianggap utama, yaitu sebagai
21 Universitas Sumatera Utara
istri dan ibu serta fungsi dan tugas wanita sebagai pekerja. Orang beranggapan bahwa meningkatnya kesempatan bagi wanita untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi di luar rumah dapat digunakan sebagai salah satu kebijakan di bidang kependudukan yang mendukung program KB untuk menurunkan fertilitas. b)
Hubungan antara fertilitas dengan angkatan kerja wanita sebagai hubungan kausal timbal balik, dimana satu sama lain saling mempengaruhi. Hatmaji (1971) mengungkapkan bahwa terjadi hubungan negatif antara
pekerja wanita dengan fertilitas. Wanita bekerja di luar rumah cenderung mempunyai anak lebih sedikit, sedangkan wanita yang mengurus rumah tangga mempunyai anak yang lebih banyak. Dengan kata lain, semakin tinggi jam kerja maka semakin rendah fertilitas, begitu juga sebaliknya. Jadi, jam kerja berpengaruh negatif terhadap fertilitas. 2.1.6 Pengaruh Usia Kawin Pertama terhadap Fertilitas Umur kumpul pertama sangat berkaitan dengan tingkat fertilitas, karena umur kumpul pertama menandakan dimulainya masa reproduksi wanita. Oleh karena itu semakin muda wanita mulai aktif secara seksual, maka semakin panjang masa reproduksinya, dan semakin besar pula kemungkinan untuk memiliki anak banyak. Umur kumpul pertama dikelompokkan menjadi; ≤ 15 tahun, 16-17 tahun, 18-19 tahun, 20-29 tahun, dan 30+ tahun (Israwati, 2009). Sejalan dengan pemikiran, bahwa semakin muda seseorang melakukan perkawinan semakin panjang masa reproduksinya maka dapat diharapkan semakin
22 Universitas Sumatera Utara
muda seseorang melangsungkan perkawinannya semakin banyak pula anak yang dilahirkan. Dengan kata lain, semakin tinggi usia kawin pertama maka semakin rendah fertilitas, begitu juga sebaliknya. Jadi, usia kawin pertama berpengaruh negatif terhadap fertilitas. 2.1.7 Pengaruh Pemakaian Alat Kontrasepsi terhadap Fertilitas Umumnya pasangan suami istri yang belum mendapatkan pekerjaan yang layak dan pendapatan yang cukup untuk membiayai semua kebutuhan anaknya cenderung untuk membatasi jumlah anak dan memperpanjang jarak kelahiran melalui pemakaian alat kontrasepsi. Pemakaian alat/cara kontrasepsi secara langsung dapat mempengaruhi fertilitas. Semakin tinggi persentase wanita yang memakai alat/cara kontrasepsi, semakin rendah tingkat fertilitasnya. Dengan kata lain pemakaian alat kontrasepsi memiliki pengaruh negatif terhadap fertilitas. 2.2 Penelitian Terdahulu Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Nama Judul No. Metode Variabel Peneliti Penelitian 1. Dian Eka Faktor-Faktor Regresi Pendapatan L (2011) yang Linier (X1), Biaya Mempengaruhi Berganda anak (X2), Jam Fertilitas pada Kerja (X3), Wanita Pekerja Usia Kawin di Kota Pertama (X4), Makassar Pendidikan (rumah tangga (D1), Lokasi miskin) Pekerjaan (D2). Y= Fertilitas
Hasil Penelitian Pendapatan, Biaya anak, Jam Kerja, Usia Kawin Pertama, Pendidikan, dan Lokasi Pekerjaan mempunyai pengaruh signifikan terhadap
23 Universitas Sumatera Utara
2.
3.
Survita Cahyaning Mirah (2013)
Analisis Faktor Regresi yang Linier Mempengaruhi Berganda Fertilitas Pekerja Wanita di Kelurahan Tegal Besar Kecamatan Kaliwates Kabupaten Jember
Pendapatan keluarga (X1), Pendidikan responden (X2), Pendidikan suami (X3), Curah jam kerja (X4), Usia kawin pertama (X5), Lama penggunaan alat kontrasepsi (X6). Y= Fertilitas Endru Faktor yang Regresi Pendapatan Setia Adi Mempengaruhi Linier keluarga (X1), (2013) Fertilitas di Berganda Tingkat Desa pendidikan Kandangtepus (X2), Usia Kecamatan perkawinan Senduro pertama (X3), Kabupaten Lama Lumajang pemakaian alat kontrasepsi (X4), Jenis alat KB (X5), Curah jam kerja (X6), Banyaknya anggota keluarga (X7), Jumlah saudara kandung dari ibu (X8), Keinginan ibu
fertilitas. Pendapatan Keluarga, Pendidikan Suami, Curah Jam Kerja, Usia Kawin Pertama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap fertilitas.
Pendapatan Keluarga, Tingkat Pendidikan, Lama Pemakaian Alat Kontrasepsi, dan Keinginan Ibu Memiliki Anak mempunyai pengaruh signifikan terhadap fertilitas.
24 Universitas Sumatera Utara
4.
2.3
Rahmi Muqsithah (2015)
memiliki anak (X9). Y=Fertilitas Analisis Faktor- Regresi Pendapatan Faktor yang Linier keluarga (X1), Mempengaruhi Berganda Pendidikan Fertilitas Wanita responden Pekerja di (X2), Kelurahan Pendidikan Purwoasri suami (X3), Kecamatan Usia kawin Singosari pertama (X4), Kabupaten Lama Malang penggunaan alat kontrasepsi (X5). Y= Fertilitas
Pendapatan keluarga, pendidikan responden, pendidikan suami, usia kawin pertama, dan lama penggunaan alat kontrasepsi mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap fertilitas.
Kerangka Konseptual Dengan memperhatikan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka
pada bagian ini akan diuraikan beberapa hal yang dijadikan penulis sebagai kerangka konseptual untuk kedepannya. Landasan yang dimaksudkan akan lebih mengarahkan penulis untuk menemukan data dan informasi dalam penelitian ini guna memecahkan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya. Untuk itu, maka penulis menguraikan kerangka konseptual tersebut kedalam Gambar 2.2 dibawah ini yang akan dijadikan pegangan dalam penelitian ini.
Pendapatan (X1)
(-)
Tingkat Pendidikan (X2) Jam Kerja (X3)
25 Universitas Sumatera Utara
Fertilitas (Y)
(-)
(-) (-) (-)
Gambar 2.2 Kerangka Konseptual Berdasarkan kerangka konseptual di atas, maka yang berfungsi sebagai variabel bebas adalah; Pendapatan (X1), Tingkat Pendidikan (X2), Jam Kerja (X3), Usia Kawin Pertama (X4), dan Pemakaian Alat Kontrasepsi (X5). Sedangkan variabel terikatnya adalah Fertilitas (Y) pekerja wanita di Kota Lhokseumawe. 2.4
Hipotesis Berdasarkan pada landasan teori dan tinjauan dari penelitian terdahulu,
maka hipotesis pada penelitian ini adalah: 1.
Pendapatan berpengaruh negatif terhadap tingkat fertilitas pada pekerja wanita di Kota Lhokseumawe.
2.
Tingkat pendidikan berpengaruh negatif terhadap tingkat fertilitas pada pekerja wanita di Kota Lhokseumawe.
3.
Jam kerja berpengaruh negatif terhadap tingkat fertilitas pada pekerja wanita di Kota Lhokseumawe.
4.
Usia kawin pertama berpengaruh negatif terhadap tingkat fertilitas pada pekerja wanita di Kota Lhokseumawe.
5.
Pemakaian alat kontrasepsi berpengaruh negatif terhadap tingkat fertilitas pada pekerja wanita di Kota Lhokseumawe.
26 Universitas Sumatera Utara
27 Universitas Sumatera Utara