6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keseimbangan Dinamis 2.1.1 Definisi Keseimbangan Pada pasien hemiparese post stroke umumnya mengalami gangguan keseimbangan.
Keseimbangan
adalah
kemampuan
tubuh
untuk
mempertahankan keseimbangan tubuh ketika ditempatkan diberbagai posisi (Dellito, 2003). Keseimbangan terbagi atas dua yaitu keseimbangan statis dan dinamis. Keseimbangan statis adalah kemampuan tubuh untuk menjaga keseimbangan pada posisi tetap (sewaktu berdiri dengan satu kaki, berdiri diatas papan keseimbangan) dan keseimbangan dinamis adalah kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan ketika bergerak, contoh : keseimbangan saat duduk ke berdiri dan keseimbangan saat berdiri keberjalan. 2.1.2 Fisiologi keseimbangan Kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dan kestabilan postur oleh aktivitas motorik tidak dapat dipisahkan dari faktor lingkungan dan sistem regulasi yang berperan dalam pembentukan keseimbangan. Tujuan dari tubuh mempertahankan keseimbangan adalah menyangga tubuh melawan gravitasi dan faktor eksternal lain.
7
2.1.3 Komponen - komponen pengontrol keseimbangan 1. Sistem informasi sensoris Sistem
informasi
sensoris
meliputi
visual,
vestibular,
dan
somatosensoris (Chandler, 2000 ; Shumway-Cook, 2007). a. Sistem vestibular Komponen vestibular merupakan sistem sensoris yang berfungsi penting dalam keseimbangan, kontrol kepala, dan gerak bola mata. Reseptor sensoris vestibular berada di dalam telinga. Reseptor pada sistem vestibular meliputi kanalis semisirkularis, utrikulus, serta sakulus. Reseptor dari sistem sensoris ini disebut dengan sistem labyrinthine. Sistem labyrinthine mendeteksi perubahan posisi kepala dan percepatan perubahan sudut. Melalui refleks vestibulo-occular, mereka mengontrol gerak mata, terutama ketika melihat obyek yang bergerak. Mereka meneruskan pesan melalui saraf kranialis VIII ke nukleus vestibular yang berlokasi di batang otak. Beberapa stimulus tidak menuju nukleus vestibular tetapi ke cerebellum, formatio retikularis, thalamus dan korteks serebri. Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor labyrinthine, retikular formasi, dan serebelum. Keluaran (output) dari nukleus vestibular menuju ke motor neuron melalui medula spinalis, terutama ke motor neuron yang menginervasi otot-otot proksimal, kumparan otot pada leher dan otot-otot punggung (otot-
8
otot postural). Sistem vestibular bereaksi sangat cepat sehingga membantu
mempertahankan
keseimbangan
tubuh
dengan
mengontrol otot-otot postural. b. Somatosensoris Sistem somatosensoris terdiri dari taktil atau proprioseptif serta persepsi-kognitif. Informasi propriosepsi disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif menuju cerebellum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui lemniskus medialis dan thalamus. Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian bergantung pada impuls yang datang dari alat indra dalam dan sekitar sendi. Alat indra tersebut adalah ujung-ujung saraf yang beradaptasi lambat di sinovial dan ligamentum. Impuls dari alat indra ini dari reseptor raba di kulit dan jaringan lain, serta otot di proses di korteks menjadi kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang (Riemann et al.,2002). c. Visual Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris. keseimbangan akan terus berkembang sesuai umur, mata akan membantu
agar
tetap
fokus
pada
titik
utama
untuk
mempertahankan keseimbangan, dan sebagai monitor tubuh selama melakukan gerak statis atau dinamis. Penglihatan juga merupakan
9
sumber utama informasi tentang lingkungan dan tempat kita berada,
penglihatan
memegang
peran
penting
untuk
mengidentifikasi dan mengatur jarak gerak sesuai lingkungan tempat kita berada. Penglihatan muncul ketika mata menerima sinar yang berasal dari obyek sesuai jarak pandang. Dengan informasi visual, maka tubuh dapat menyesuaikan atau bereaksi terhadap perubahan bidang pada lingkungan aktivitas sehingga
memberikan
kerja
otot
yang
sinergis
untuk
mempertahankan keseimbangan tubuh (Kisner & Colby, 2007). 2. Kekuatan otot (Muscle Strength) Kekuatan otot umumnya diperlukan melakukan aktivitas. Semua gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya peningkatan tegangan otot sebagai respon motorik. Kekuatan otot dapat digambarkan sebagai kemampuan otot menahan beban baik berupa bebas eksternal (eksternal Force) maupun beban internal (internal force).
Kekuatan
otot
sangat
berhubungan
dengan
sistem
neuromuskuler yaitu seberapa besar kekmapuan sistem saraf mengaktifasi otot untuk melakukan kontraksi. Sehingga semakin banyak serabut otot teraktifasi, maka semakin besar pula kekuatan yang dihasilkan otot tersebut. Kekuatan otot dari kaki, lutut, serta pinggul harus adekuat untuk mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya gaya dari luar. Kekuatan otot tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan
10
otot untuk melawan gaya gravitasi setra beban eksternal lainnya yang secara terus menerus mempengaruhi posisi tubuh. 3. Respon otot-otot postural yang sinergis (postural muscle response synergies). Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak
dari
aktivitas
kelompok
otot
yang
diperlukan
untuk
mempertahankan keseimbangan dan kontrol postur. Beberapa kelompok otot baik pada ekstremitas atas maupun bawah berfungsi mempertahankan
postur
saat
berdiri
tegak
serta
mengatur
keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan. Keseimbangan pada tubuh dalam berbagai posisi hanya akan dimungkinkan jika respon dari otot-otot postural bekerja secara sinergis sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik tumpu, gaya gravitasi, dan aligment tubuh. Kerja otot yang sinergis berarti bahwa adanya respon yang tepat (kecepatan dan kekuatan) suatu otot terhadap otot yang lainnya dalam melakukan fungsi gerak tertentu. 4.
Adaptive System Kemampuan adaptasi akan memodifikasi input sensoris dan keluaran motorik (output) ketika terjadi perubahan tempat sesuai dengan karakteristik lingkungan.
11
5. Lingkup gerak sendi (Joint Range Of Motion) Kemampuan sendi untuk membantu gerak tubuh dan mengarahkan gerakan terutama saat gerakan yang memerlukan keseimbangan yang tinggi. 2.1.4 Faktor- faktor yang mempengaruhi keseimbangan (Suhartono, 2005) 1.
Pusat gravitasi (Center of Gravity-COG) Pusat gravitasi terdapat pada semua obyek, pada benda, pusat gravitasi terletak tepat di tengah benda tersebut. Pusat gravitasi adalah titik utama pada tubuh yang akan mendistribusikan massa tubuh secara merata. Bila tubuh selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Pada manusia, pusat gravitasi berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat gravitasi manusia ketika berdiri tegak adalah tepat di atas pinggang diantara depan dan belakang vertebra sakrum ke dua (Bishop & Hay, 2009). Derajat stabilitas tubuh dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: ketinggian dari titik pusat gravitasi dengan bidang tumpu, ukuran bidang tumpu, lokasi garis gravitasi dengan bidang tumpu, serta berat badan.
2.
Garis gravitasi (Line of Gravity-LOG) Garis gravitasi merupakan garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis
12
gravitasi, pusat gravitasi dengan bidang tumpu adalah menentukan derajat stabilitas tubuh.
Gambar 2.1. Garis gravitasi (Sumber : Dhaenkpedro, 2009) 3.
Bidang tumpu (Base of Support-BOS) Bidang tumpu merupakan bagian dari tubuh yang berhubungan dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada di bidang tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area bidang tumpu. Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas. Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan satu kaki. Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi (Wen Chang Yi et al., 2009)
13
2.1.5 Keseimbangan berdiri Pada posisi berdiri seimbang, susunan saraf pusat berfungsi untuk menjaga pusat massa tubuh (center of body mass) dalam keadaan stabil dengan batas bidang tumpu tidak berubah kecuali tubuh membentuk batas bidang tumpu lain (misalnya: melangkah). Pengontrol keseimbangan pada tubuh manusia terdiri dari tiga komponen penting, yaitu sistem informasi sensorik (visual, vestibular dan somatosensoris), central processing dan efektor. Pada sistem informasi, visual berperan dalam contras sensitifity (membedakan pola dan bayangan) dan membedakan jarak. Selain itu masukan (input) visual berfungsi sebagai kontrol keseimbangan, pemberi informasi, serta memprediksi datangnya gangguan. Bagian vestibular berfungsi sebagai pemberi informasi gerakan dan posisi kepala ke susunan saraf pusat untuk respon sikap dan memberi keputusan tentang perbedaan gambaran visual dan gerak yang sebenarnya.
Masukan (input)
proprioseptor pada sendi, tendon dan otot dari kulit di telapak kaki juga merupakan hal penting untuk mengatur keseimbangan saat berdiri static maupun dinamik. Central processing berfungsi untuk memetakan lokasi titik gravitasi, menata respon sikap, serta mengorganisasikan respon dengan sensorimotor. Selain itu, efektor berfungsi sebagai perangkat biomekanik untuk merealisasikan renspon yang telah terprogram di pusat,
14
yang terdiri dari unsur lingkup gerak sendi, kekuatan otot, aligment sikap, serta stamina. Postur adalah posisi atau sikap tubuh. Tubuh dapat membentuk banyak postur yang memungkinkan tubuh dalam posisi yang nyaman selama mungkin. Pada saat berdiri tegak, hanya terdapat gerakan kecil yang muncul dari tubuh, yang biasa di sebut dengan ayunan tubuh. Luas dan arah ayunan diukur dari permukaan tumpuan dengan menghitung gerakan yang menekan di bawah telapak kaki, yang di sebut pusat tekanan (center of pressure-COP). Jumlah ayunan tubuh ketika berdiri tegak di pengaruhi oleh faktor posisi kaki dan lebar dari bidang tumpu. Posisi tubuh ketika berdiri dapat dilihat kesimetrisannya dengan : kaki selebar sendi pinggul, lengan di sisi tubuh, dan mata menatap ke depan. Walaupun posisi ini dapat dikatakan sebagai posisi yang paling nyaman, tetapi tidak dapat bertahan lama, karena seseorang akan segera berganti posisi untuk mencegah kelelahan. 2.2 Stroke 2.2.1 Gambaran Umum Stroke merupakan suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak yang terjadi secara mendadak dan menimbulkan gejala sesuai dengan daerah otak yang terganggu.
15
2.2.2 Klasifikasi Stroke Stroke terbagi menjadi dua kategori yaitu stroke hemoragi dan non hemoragi. 1.
Stroke hemoragi adalah stroke karena pecahnya pembuluh darah sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah otak yang merusaknya. Stroke hemoragi ada dua jenis yaitu hemoragi intraserebral (pendarahan yang terjadi didalam jaringan otak) dan hemoragi subaraknoid (pendarahan yang terjadi pada ruang subaraknoid atau ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak.
Gambar 2.2 Stroke Hemoragi (Sumber : Turana, 2011) 2.
Stroke non hemoragi adalah stroke yang terjadi akibat tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah keotak sebagian atau keseluruhan terhenti.
16
Menurut Potter & Perry (2006) stroke non hemoragi dibagi menjadi tiga : a.
Stroke trombotik adalah proses terbentuknya thrombus hingga menjadi gumpulan.
b.
Stroke embolik adalah tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
c.
Hipoperfusion sistemik adalah aliran darah ke seluruh bagian tubuh berkurang karena adanya gangguan denyut jantung.
Gambar 2.3 Non hemoragi Stroke (Sumber : Turana, 2011). 2.2.3
Faktor Risiko Ada beberapa faktor risiko penyebab stroke yaitu faktor risiko yang
tidak dapat dikendalikan dan faktor risiko yang dapat dikendalikan. Faktor risiko tidak dapat terkendalikan yaitu usia, jenis kelamin, garis keturunan (Feigin, 2006). 1. Faktor Usia, semakin bertambah tua usia, semakin tinggi risikonya. Setelah berusia 55 tahun, risikonya berlipat ganda setiap kurun
17
waktu sepuluh tahun. Dua pertiga dari serangan stroke terjadi pada orang yang berusia diatas 65 tahun. Tetapi, itu tidak berati bahwa stroke hanya terjadi pada orang lanjut usia karena stroke dapat menyerang semua kelompok umur. 2. Faktor jenis kelamin, pria lebih beresiko terkena stroke dari pada wanita, tetapi penelitian menyimpulkan bahwa justru lebih banyak wanita yang meninggal karena stroke. Risiko stroke pria 1,25 lebih tinggi dari pada wanita, tetapi serangan stroke pada pria terjadi di usia muda sehingga tingkat kelangsungan hidup juga lebih tinggi. Dengan demikian walau lebih jarang terkena stroke, pada umumnya wanita terserang pada usia lebih tua, sehingga kemungkinan meninggal lebih besar. 3. Faktor keturunan sejarah stroke dalam keluarga, nampaknya stroke terkait dengan keturunan. Faktor genetik yang sangat berperan antara lain adalah tekanan darah tinggi, penyakit jantung, diabetes, dan cacat pada bentuk pembuluh darah. Gaya hidup dan pola suatu keluarga juga dapat mendukung risiko stroke. Cacat pada bentuk pembuluh darah (cadasil) mungkin merupakan faktor genetik yang paling berpengaruh di bandingkan faktor stroke yang lainnya. Faktor risiko yang dapat dikendalikan, ada faktor-faktor risiko yang sebenarnya dapat dikendalikan dengan bantuan obat-obatan atau perubahan gaya hidup. Faktor tersebut diantaranya :
18
1. Hipertensi, tekanan darah tinggi merupakan faktor risiko yang utama yang menyebabkan pengerasan dan penyumbatan arteri. Pasien hipertensi memiliki faktor risiko stroke empat hingga enam kali lipat dibandingkan orang yang tanpa hipertensi dan sekitar 40 hingga 90 persen penderita stroke ternyata menderita hipertensi sebelum terkena stroke. Secara medis, tekanan darah diatas 140/90 tergolong dalam penyakit hipertensi. Oleh karena dampak hipertensi pada keseluruhan risiko stroke menurun miring dengan pertambahan umur, pada orang lanjut usia, faktor-faktor lain di luar hipertensi berperan lebih besar terhadap risiko stroke. Pada orang yang tidak menderita hipertensi, risiko stroke meningkat terus hingga usia 90, menyamai risiko stroke pada orang yang menderita hipertensi. 2. Penyakit jantung, terutama penyakit yang disebut atrial fibrillation, yakni penyakit jatung dengan denyut jantung yang tidak teratur di bilik kiri atas. Denyut jantung di atrium kiri mencapai empa kali cepat dibandingkan di bagian-bagian lain jantung. Ini menyebabkan aliran darah menjadi tidak teratur dan secara insidentil terjadi pembentukan gumpalan darah. Gumpalan darah inilah yang kemudian
dapat mencapai otak dan
penyebabkan stroke. 3. Diabetes memiliki risiko tiga kali lipat terkena stroke dan mencapai tingkat tertinggi pada usia 50-60 tahun. Setelah itu,
19
risiko itu akan menurun. Namun, ada faktor penyebab lain yang dapat memperbesar risiko stroke karena sekitar 40 persen penderita diabetes pada umumnya juga mengidap hipertensi. 4. Kolesterol darah juga merupakan faktor risiko stroke, penelitian menunjukan bahwa makanan kaya lemak jenuh dan kolesterol seperti daging, telur, dan produk susu dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam tubuh dan berpengaruh pada risiko aterosklerosis dan penebalan pembuluh darah. Kadar kolesterol di bawah 200 mg/dl dianggap aman, sedangkan di atas 240 mg/dl sudah berbahaya dan menempatkan seseorang pada risiko terkena penyakit jantung dan stroke. Selain dari itu merokok juga merupakan faktor risiko stroke yang sebenarnya paling mudah diubah, dan pola mengkonsumsi alkohol yang berlebihan dapat meningkatkan tekanan darah sehingga memperbesar faktor risiko stroke, dan masih banyak lagi faktor risiko stroke lainnya. 2.2.4 Patofisiologi Stroke Stroke iskemik penyumbatan dapat terjadi karena penumpukan timbunan lemak yang mengandung kolestrol (plak) dalam pembuluh darah besar (arteri karotis) atau pembuluh darah sedang (arteri serebri) atau pembuluh darah kecil (Marlow, 2008). Plak menyebabkan dinding dalam arteri menebal dan kasar sehingga aliran darah tidak lancar, akibanya otak akan mengalami kekurangan pasokan oksigen. Jika kelambatan oksigen ini berlarut, sel-sel jaringan otak akan mati.
20
Stroke hemoragi dapat terjadi penyumbatan pada dinding pembuluh darah yang rapuh (aneurisme), mudah menggelembung, dan rawan pecah, yang umumnya terjadi pda usia lanjut. Tetapi, yang paling umum kerapuhan ini terjadi karena mengerasnya dinding pembuluh darah akibat tertimbun plak atau dikenal dengan arteiosklerosis. Keadaan ini akan lebih diperburuk apabila terdapat gejala hipertensi dan stress (Junaidi, 2006). 2.3 Hemiparese 2.3.1 Definisi Hemiparese adalah kelemahan separuh badan dimana lengan dan tungkai sesisi lumpuh sama beratnya ataupun tungkai sesisi lebih lumpuh dari lengan ataupun sebaliknya. Hemiparese disebabkan oleh aliran darah di otak mengalami gangguan yang disebut stroke, secara spesifik yaitu adanya Cerebro Vascular Accident (CVA)”, yakni serangan mendadak berupa gangguan suplai darah pada sebagian otak dapat berwujud berupa gangguan suplai darah pada sebagian otak dapat berwujud berupa pengurangan peredaran darah karena pembuluh darah tersumbat (iskemik) atau perdarahan karena pecahnya pembuluh darah (haemorhagic) sehingga sel-sel otak setempat mati atau tidak berfungsi sementara dan dalam keadaan tertentu dapat menyebabkan kematian penderita secara tiba-tiba (Aras, 2003).
21
2.3.2 Stadium hemiparese 1.
Stadium akut Gejala ditandai dengan hilangnya kesadaran secara tiba-tiba dan diawali dengan sakit kepala, pusing tapi kadang-kadang disertai kelelahan. Napas bersuara berat karena lidah yang paralisis semua refleks hilang dan bola matanya berputar kearah samping yang rusak. Waktunya 2-3 minggu (lumpuh total).
2.
Stadium flaccid / recovery Gejalanya nadi cepat, tidak dapat tidur, sadar, suhu tubuh naik, sistem refleks mulai ada sedikit. Otot yang terkena flaccid dalam waktu 2-3 minggu akan kembali utamanya pada lengan dan jari-jari.
3.
Stadium residual spastik Otot pada stadium residual spastik refleks dan otot mulai kembali. Refleks kembali tetapi hyperrefleks kemudian timbul ankle tonus dan babinsky. Keadaan anggota dan wajah pada penderita hemiparese wajah paling ringan serangan dan cepat mengalami penyembuhan. Perasaan penderita tidak stabil, selalu khawatir akan jatuh pada saat berjalan tubuh yang sehat menyangga berat badan dan terjadi inbalance muscle. Cara berjalannya condong kearah samping yang sehat dan pada saat berjalan tungkainya membentuk setengah lingkaran karena bantuan dari muskulus lattisimus dorsi dan muskulus gluteus
maximus
yang
mengekstensikan hip joint.
berfungsi
mengangkat
pelvic
dan
22
2.4 Motor Relearning Programme (MRP) 2.4.1 Definisi MRP pertama kali dikembangkan oleh Janet H, Carr dan Roberta Shepherd, yang merupakan dua orang fisioterapis Australia pada tahun 1987. MRP menjadi suatu teknik pendekatan stroke yang terpopuler di Australia yang memberikan alternative metode pendekatan atau terapi pada penderita stroke. MRP
merupakan
suatu
program
yang
diperuntukkan
untuk
memperoleh kembali kontrol motorik melalui tugas-tugas motorik. Dengan kata
lain,
training
fungsional
merupakan
remedial
itu
sendiri.
Bagaimanapun juga, metode yang lain untuk mengaktivasi otot-otot dan tugas-tugas motorik, metode yang memberikan bukti/fakta bahwa pendengaran (auditory) atau penglihatan (visual) dapat merangsang kontraksi otot (khususnya biofeedback) dan yang membantu pasien untuk mengkontraksikan otot yang sebelumnya flaksid atau menginhibisi otot yang overaktif, mungkin digunakan dalam kaitannya dengan program MRP (Janet, 2004). MRP memiliki asumsi bahwa otak memiliki kapasitas untuk sembuh selama otak tersebut digunakan, otak juga mampu untuk reorganisasi dan adaptasi (Janet, 2004).
23
2.4.2 Prinsip umum Motor Relearning Programe (MRP) terbentuk dari 7 bagian aktivitas sehari-hari yang representatif terhadap fungsi-fungsi esensial (tugas-tugas motorik) dalam kehidupan sehari-hari, sebagian besar aktivitas tersebut dikelompokkan secara bersamaan yaitu : fungsi extremitas atas, fungsi oro-facial, gerakan motorik saat tidur keduduk ditepi tempat tidur, keseimbangan duduk, posisi duduk keberdiri, keseimbangan berdiri dan berjalan. Duduk dari posisi tidur terlentang merupakan petunjuk untuk membantu pasien memperoleh lebih awal postur tegak setelah stroke pada saat pasien memiliki sedikit kontrol motorik. Didalam setiap bagian aktivitas dapat ditentukan rencana pengobatan, menyusun 4 langkah (lihat tabel 2.1) dan didahului oleh gambaran tentang aktivitas normal mencakup komponen-komponen gerakan yang paling esensial. Terapis dapat memulai suatu tahap pengobatan dengan bagian apapun atau komponen dari bagian tersebut paling cocok bagi pasien. Bagaimanapun juga, setiap tahap pengobatan biasanya terdiri dari komponen dari seluruh bagian. MRP dapat dimulai secepat mungkin bila pasien secara medis dianggap stabil. Pasien sebaiknya memulai pengobatan dengan bagianbagian dari program MRP.
24
Tabel 2.1 Empat langkah atau tahap dalam Motor Relearning Programme No. 1.
Tahap/Langkah Tahap I
Komponen Analisis Tugas : Observasi Membandingkan Analisis
2.
Tahap II
Latihan pada komponen-komponen yang hilang : Penjelasan - identifikasi tujuan akhir Instruksi Latihan + verbal dan visual feedback + tuntunan manual
3.
Tahap III
Latihan pada tugas-tugas fungsional : Penjelasan - identifikasi tujuan akhir Instruksi Latihan + verbal dan visual feedback + tuntunan manual Re-evaluasi Melatih fleksibilitas
4.
Tahap IV
Transfer training : Kesempatan untuk latihan sesuai pola yang benar Konsistensi latihan Organisasi latihan yang dimonitor sendiri Lingkungan pembelajaran yang terstruktur Keterlibatan staff/petugas
25
Fisioterapis dapat memulai terapi dengan metode MRP apabila pasien sudah merasa baik saat berada di tempat tidursetelah melewati masa kritis dari stroke. Intensitas latihan untuk program MRP sebaiknya setiap hari, dengan waktu sedikitnya 1 jam dilakukan 2 kali perhari pada beberapa hari awal latihan, selanjutnya pasien dapat latihan sendiri atau dengan bantuan keluarga yang sesuai dengan arahan fisioterapis. 2.4.3 Tahapan MRP Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan MRP : 1.
Kemampuan motorik dilatih secara komponen atau secara keseluruhan. Pada umumnya, pasien-pasien pada tahap awal tidak dapat latihan langsung secara keseluruhan, sehingga perlu dilakukan gerakan yang terpisah (latihan perkomponen terlebih dahulu).
2.
Teknik penjelasan, demonstrasi dan arahan manual akan membantu pasien untuk mengerti latihan yang akan dijalaninya.
3.
Metode untuk peningkatan ketika pasien sudah menguasai gerakagerakan, pasien dilatih keterampilan yang sama, tetapi dengan kondisi lingkungan yang berbeda sehingga pasien terbiasa dan beradaptasi dengan semua kondisi.
2.4.4 Sesi MRP pada keseimbangan dinamis Deskripsi fungsi normal gerakan duduk keberdiri dan berdiri ke berjalan. Gerakan berdiri bervariasi sesuai dengan tujuan bahkan untuk mencapai tujuan melibatkan gerakan berjalan. Pada posisi duduk ke berdiri
26
terjadi pergeseran massa tubuh sehingga memerlukan energi dan melibatkan gravitasi. Saat berdiri tubuh menyesuaikan diri dari ekstremitas atas, stroke dan kepala begitu pula pada posisi berdiri ke berjalan. Pola berjalan yang benar terbagi atas dua fase yaitu fase menapak dan fase mengayun. Terapis akan mengobservasi pasien dan membandingkan performanya dengan daftar komponen-komponen yang esensial. Terapis menggunakan daftar ini sebagai model dari tugas-tugas motorik dan sebagai kerangka kerja (framework) untuk menganalisis dan mengetahui bahwa suatu perubahan dalam gerakan angular suatu sendi akan dikompensasi oleh perubahan pada sendi lain. Terapis akan mengobservasi apakah pasien mampu mencapai tujuan akhir dan menganalisis tujuan mana yang tercapai, perhatikan adanya komponen-komponen yang hilang atau timing yang tidak tepat dari komponen tersebut dalam pola sinergis, tidak adanya aktivitas otot, adanya aktivitas otot yang berlebihan atau tidak tepat serta adanya perilaku motorik kompensasi. Dengan demikian, hanya dengan melakukan seluruh analisis pada setiap tugas-tugas motorik dan problem yang berkaitan mencakup faktor anatomi, biomekanik, fisiologis dan perilaku, maka terapis akan mampu membuat keputusan yang tepat tentang intervensinya. Pasien juga dianjurkan untuk berpartisipasi dalam analisis performanya sehingga dapat melihat apakah atau tidak dia dapat mendeteksi problem gerakannya
27
sendiri. Jika pasien berpartisipasi dengan cara ini, maka dia akan memahami latihan yang dilakukan dan apa yang dicapai. 2.5 Metode Konvensional Metode Konvensional merupakan metode pengobatan yang paling sering digunakan dirumah sakit untuk pasien post stroke. Menurut pengamatan penulis metode konvesional yang terdiri dari : pemberian sarana sumber fisis antara lain IR dan elektrikal stimulasi serta pemberian terapi latihan. Terapi latihan merupakan kegiatan fisik yang regular dan dilakukan dengan tujuan meningkatkan
atau mempertahankan kebugaran fisik
(Kwakkel,et.al, 2004). Pemberian terapi latihan baik secara aktif dapat memberikan efek naiknya adaptasi pemulihan kekuatan tendon, ligament serta dapat menambah kekuatan otot, sehingga dapat mempertahankan stabilitas sendi dan menambah luas gerak sendi (Kisner and Colby, 2007). Menurut Kisner dan Colby (2007), terapi latihan dapat dibagi menjadi beberapa kategori yaitu : 1. ROM exercise; 2. Passive ROM ; 3. Aktive ROM; 4, aktive-assistive ROM. 1. Latihan Range of Motion (ROM) Latihan ROM merupakan tindakan atau latihan otot atau persendiaan yang diberikan kepada pasien yang mengalami keterbatasan mobilitas sendi karena penyakit, disabilitas, atau trauma. (Kisner dan Colby, 2007). Terdapat tiga tipe latihan ROM yaitu :
28
a. Passive ROM Passive
ROM adalah sebuah gerakan dimana energi yang
dipergunakan berasal dari luar, sehingga tidak ada kontraksi otot secara volunter. Sumber energi berasal dari gravitasi, mesin, orang lain, ataupun bagian tubuh lain dari pasien itu sendiri. Tujuan dari passive ROM adalah : 1. untuk menjaga fisiologis sendi dan jaringan ikat; 2. Mencegah kontraktur karena imobilisasi; 3. menjaga elastisitas sendi; 4. Membantu sirkulasi dan vascular dinamik; 5. membentuk pergerakan sinovial untuk nutrisi kartilago; 6. mengurangi nyeri. Pembarian pasif ROM berupa gerakan pasif yang dilakukan oleh fisioterapis kepada pasien stroke pada HIP joint, Knee joint dan Ankle joint. Latihan ini sangat bermanfaat dalam menjaga sifat fisiologis dari jaringan otot dan sendi (Irfan, 2010). b. Aktive ROM Aktive ROM adalah gerakan sebuah segmen dimana tenaganya berasal dari kontraksi otot-otot penggerak segmen tersebut. Latihan aktif ROM yaitu gerakan yang dilakukan oleh pasien stroke secara aktif tanpa bantuan fisioterapis dengan bentuk gerakan sama seperti gerakan pada pasif ROM, dimana gerakan aktif mampu meningkatkan motorik (Irfan, 2010).
29
Manfaat ROM aktive adalah : 1. menjaga sifat fisiologis , elastisitas dan kontraktilitas dari otot; 2. Memberikan sensory feedback dari kontraksi otot; 3. Memberikan stimulus untuk integrasi tulang dan jaringan; 4. meningkatkan sirkulasi dan mencegah adanya trombus; 5. meningkatkan koordinasi dan kemampuan motorik untuk aktivitas fungsional. c. Aktive-assistive ROM Aktive-assistive ROM merupakan satu jenis Aktive ROM dimana otot penggerak mengalami kelemahan sehingga memerlukan bantuanbantuan untuk dapat memerlukan gerakan bantuan dapat berasal dari orang lain, mesin, ataupun bagian lain dari tubuh pasien sendiri.
2.6 Mekanisme peningkatan keseimbangan dinamis pada kombinasi MRP dengan metode Konvensional. pasien hemiparese memiliki kelamahan otot, pada pemberian metode konvensional yang memiliki sensori feedback dari kontraksi otot akan menghasilkan gerakan yang volunter dan meningkatkan koordinasi serta kemampuan motorik. Jika semakin sering dilakukan kontraksi otot maka akan menyebabkan peningkatan kekuatan otot dan keseimbangan dinamis akan semakin meningkat (Kisner and Colby, 2007). Penambahan pemberian MRP pada metode konvensional bertujuan untuk relearning (pembelajaran kembali) aktivitas fungsional maka otak mampu
30
untuk reorganisasi dan adaptasi melalui pelatihan fungsi yang searah dan dapat meningkatkan kemampuan otak untuk membaik. Selain itu,
MRP
merupakan program yang diperuntukan untuk memeroleh kembali kontrol motorik melalui tugas-tugas motorik (Janet, 2004). Dengan penambahan MRP terhadap metode konvensional akan mempercepat kemampuan motorik pasien hemiperse serta meningkatkan keseimbangan dinamis melalui feedback instriksi dan ekstrinsik. Latihan ini dilakukan secara berulang-ulang agar terjadi perubahan kemampuan otak (Brammer, 2002). 2.7 Standar Penilaian dan Pencatatan Keseimbangan Dinamis Penilaian keseimbangan dinamis menggunakan Time UP and Go Test. Pada penilaian ini tidak diperbolehkan untuk mencoba terlebih dahulu. Menurut Jacobs & Fox (2008), nilai normal pada Time Up and Go Test berdasarkan kategori umur yaitu :
Tabel 2.1. Nilai Normal Time Up and Go Test (Jacobs & Fox , 2008) Jenis Umur 60 – 69 60 – 69 70 – 79 70 – 79 80 – 89 80 – 89
Nilai ratarata
Nilai ratarata normal
(detik)
(detik)
8 8 9 9 10 11
4 – 12 4 – 12 5 – 13 5 – 15 8 – 12 5 – 17
Kelamin Laki – laki Perempuan Laki – laki Perempuan Laki – laki Perempuan
31
Jika skor < 14 detik; 87% tidak ada resiko tinggi untuk jatuh Jika skor ≥ 14 detik; 87% resiko tinggi untuk jatuh