BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Demam
2.1.1 Pengertian Demam Suhu tubuh adalah cerminan dari keseimbangan antara produksi dan pelepasan panas, keseimbangan ini diatur oleh pengatur suhu (termostat) yang terdapat di otak (hipotalamus). Pada orang normal termostat diatur pada suhu 36,50 C-37,20 C (Hartanto, 2003). Demam pada umumnya diartikan suhu tubuh di atas 37,20 C (Nelwan, 2006). Demam didefinisikan sebagai suatu bentuk system pertahanan nonspesifik yang memnyebabkan perubahan mekanisme pengaturan suhu tubuh yang mengakibatkan kenaikan suhu tubuh diatas variasi sirkadian yang normal sebagai akibat dari perubahan pusat termoregulasi yang terletak dalam hiptalamus anterior. Suhu tubuh normal dapat dipertahankan pada perubahan suhu lingkungan, karena
adanya
kemampuan
pada
pusat
termoregulasi
untuk
mengatur
keseimbangan antara panas yang diproduksi oleh jaringan, khususnya oleh otot dan hepar, dengan panas yang hilang. Mekanisme kehilangan panas yang penting adalah vasodilatasi dan berkeringat. Berkeringat terutama menonjol saat demam mulai turun (Dinarello dan Gelfrand, 2001; Wilmana dan Gan, 2007; Ganong, 2008). Demam yang berarti temperatur tubuh di atas batas normal, dapat disebabkan oleh kelainan di dalam otak sendiri atau oleh bahan-bahan toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu (Guyton, 2007). Biasanya terdapat
7
8
perbedaan antara pengukuran suhu di aksilla dan oral maupun rektum. Dalam keadaan biasa perbedaan ini berkisar sekitar 0,50 C; suhu rectal lebih tinggi daripada suhu oral (Nelwan, 2006). Menurut Nelwan (2007), terdapat beberapa tipe demam yang mungkin dijumpai, antara lain: a.
Demam septic Pada tipe demam septik, suhu tubuh berangsur naik ke tingkat yang tinggi
sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Demam sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal dinamakan juga demam hektik. b.
Demam remiten Pada tipe demam remiten, suhu tubuh dapat turun setiap hari tetapi tidak
pernah mencapai suhu normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik. c.
Demam intermiten Pada demam intermiten, suhu tubuh turun ke tingkat yang normal selama
beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari bebas demam diantara dua serangan demam disebut kuartana. d.
Demam kontinyu Pada demam tipe kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih
dari satu derajat.
9
e.
Demam siklik Pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu tubuh selama beberapa hari
yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula. 2.1.2 Faktor-Faktor Penyebab Demam Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi dan non infeksi. Beberapa penyebab demam dari infeksi meliputi infeksi dari virus, jamur, parasit maupun bakteri. Penyebab demam non infeksi bisa dari faktor lingkungan seperti lingkungan yang padat dan dapat memicu timbulnya stres ataupun pengeluaran panas berlebihan dalam tubuh (Guyton & Hall, 2007). Secara umum, demam dapat disebabkan oleh karena produksi zat pirogen (eksogen atau endogen) yang secara langsung akan mengubah titik ambang suhu hipothalamus sehingga menghasilkan pembentukan panas dan konservasi panas (Behrman et al., 2000). 2.1.3 Patofisiologi Demam Demam terjadi oleh karena pengeluaran zat pirogen dalam tubuh. Zat pirogen sendiri dapat dibedakan menjadi dua yaitu eksogen dan endogen. Pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh seperti mikroorganisme dan toksin. Sedangkan pirogen endogen merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh meliputi interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), dan tumor necrosing factor-alfa (TNF-A). Sumber utama dari zat pirogen endogen adalah monosit, limfosit dan neutrofil (Guyton, 2007). Seluruh substansi di atas menyebabkan selsel fagosit mononuclear (monosit, makrofag jaringan atau sel kupfeer) membuat
10
sitokin yang bekerja sebagai pirogen endogen, suatu protein kecil yang mirip interleukin, yang merupakan suatu mediator proses imun antar sel yang penting. Sitokin-sitokin tersebut dihasilkan secara sistemik ataupun local dan berhasil memasuki sirkulasi. Interleukin-1, interleukin-6, tumor nekrosis factor α dan interferon α, interferon β serta interferon γ merupakan sitokin yang berperan terhadap proses terjadinya demam. Sitokin-sitokin tersebut juga diproduksi oleh sel-sel di Susunan Saraf Pusat (SSP) dan kemudian bekerja pada daerah preoptik hipotalamus anterior. Sitokin akan memicu pelepasan asam arakidonat dari membrane fosfolipid dengan bantuan enzim fosfolipase A2. Asam arakidonat selanjutnya
diubah
menjadi
prostaglandin
karena
peran
dari
enzim
siklooksigenase (COX, atau disebut juga PGH sintase) dan menyebabkan demam pada tingkat pusat termoregulasi di hipotalamus (Dinarello dan Gelfrand, 2001; Fox, 2002; Wilmana dan Gan, 2007; Ganong. 2008; Juliana, 2008; Sherwood, 2010). Enzim sikloosigenase terdapat dalam dua bentuk (isoform), yaitu siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). Kedua isoform berbeda distribusinya pada jaringan dan juga memiliki fungsi regulasi yang berbeda. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang mengkatalis pembentukan prostanoid regulatoris pada berbagai jaringan, terutama pada selaput lender traktus gastrointestinal, ginjal, platelet dan epitel pembuluh darah. Sedangkan COX-2 tidak konstitutif tetapi dapat diinduksi, antara lain bila ada stimuli radang, mitogenesis atau onkogenesis. Setelah stimuli tersebut lalu terbentuk prostanoid yang merupakan mediator nyeri dan radang. Penemuan ini mengarah kepada,
11
bahwa COX-1 mengkatalis pembentukan prostaglandin yang bertanggung jawab menjalankan fungsi-fungsi regulasi fisiologis, sedangkan COX-2 mengkatalis pembentukan prostaglandin yang menyebabkan radang (Dachlan et al., 2001; Davey, 2005). Prostaglandin E2 (PGE2) adalah salah satu jenis prostaglandin yang menyebabkan demam. Hipotalamus anterior mengandung banyak neuron termosensitif. Area ini juga kaya dengan serotonin dan norepineprin yang berperan sebagai perantara terjadinya demam, pirogen endogen meningkatkan konsentrasi mediator tersebut. Selanjutnya kedua monoamina ini akan meningkatkan adenosine monofosfat siklik (cAMP) dan prostaglandin di susunan saraf pusat sehingga suhu thermostat meningkat dan tubuh menjadi panas untuk menyesuaikan dengan suhu thermostat (Dinarello dan Gelfrand, 2001; Fox, 2002; Wilmana dan Gan, 2007; Ganong, 2008; Juliana, 2008; Sherwood, 2010).
12
Pirogen endogen Fagosit mononuklear Sitokin pirogen Berikatan dengan reseptor membrane sel Fosfolipid Asam arakidonat Enzim lipooksigenase
Enzim siklooksigenase
Dihambat Hidroperioksid Leukotrien
antipiretik
Endoperioksid (PGG2/PGH) Tromboksan A2
prostasiklin PGE2, PGF2, PGD2
Area pre-optik hypothalamus Demam
Gambar 1. Patofisiologi Demam dan Efek Antipiretik (Ermawati, 2010) 2.1.4 Penanganan Demam Demam merupakan respon fisiologis normal dalam tubuh oleh karena terjadi perubahan nilai set point di hipotalamus. Demam pada prinsipnya dapat menguntungkan dan merugikan. Demam merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk meningkatkan daya fagositosis sehingga viabilitas kuman mengalami penurunan, tetapi demam juga dapat merugikan karena apabila seorang anak demam, maka anak akan menjadi gelisah, nafsu makan menurun, tidurnya terganggu serta bila demam berat bisa menimbulkan kejang demam (Kania, 2013).
13
Penatalaksanaan demam pada umumnya bertujuan untuk menurunkan suhu tubuh yang terlalu tinggi ke dalam batas suhu tubuh normal dan bukan untuk menghilangkan demam. Penatalaksanaannya terdiri dari dua prinsip yaitu pemberian terapi farmakologi dan non farmakologi. Adapun prinsip pemberian terapi non farmakologi meliputi pemberian cairan yang cukup untuk mencegah dehidrasi, memakai pakaian yang mudah menyerap keringat, memberikan kompres hangat agar terjadi vasodilatasi pembuluh darah sehingga set point akan tercapai dan kembali ke batas suhu tubuh inti yang normal. Pengobatan farmakologi pada intinya yaitu pemberian obat antipiretik, obat anti inflamasi, dan analgesik yang terdiri dari golongan berbeda serta memiliki susunan kimia. Tujuan pemberian obat tersebut yaitu untuk menurunkan set point hipotalamus melalui pencegahan pembentukan prostaglandin dengan cara menghambat enzim cyclooxygenase (Kania, 2013). Parasetamol atau asetaminofen merupakan analgetik antipiretik yang popular dan banyak digunakan di Indonesia dalam bentuk sediaan tunggal maupun kombinasi (Siswandono, 1995). Di Indonesia, parasetamol tersedia sebagai obat bebas. Parasetamol merupakan metabolit fenasetin yang mempunyai efek antipiretik yang sama. Dalam dosis yang sama, parasetamol mempunyai efek analgesik dan antipiretik sebanding dengan aspirin, namun efek antiimflamasinya sangat lemah (Katzung,2002). Pada umumnya parasetamol dianggap sebagai zat antinyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi (Tjay dan Rahardja, 2002). Reaksi alergi terhadap parasetamol jarang terjadi, manifestasinya berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada
14
mukosa (Freddy, 2007). Pada dosis terapi, kadang-kadang timbul peningkatan ringan enzim hati dalam darah tanpa disertai ikterus; keadaan ini reversibel bila obat dihentikan. Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis di atas 6 g mengakibatkan nekrose hati yang tidak reversibel (Tjay, 2002). 2.2 Vaksin DPT Vaksin DPT terdiri atas kuman difteri yang dilemahkan atau toksoid difteri (alamprecipitated
toxoid), toksoid
tetanus
dan vaksin
pertusis
dengan
menggunakan fraksi sel (seluler) yang berisi komponen spesifik dari Bordettella pertusis
(Tumbelaka dan Hadinegoro, 2005; Hay et al., 2009). Dosis yang
diber\ikan adalah 0,5 ml intramuscular tiap kali pemberian pada umur 2, 4 dan 6 bulan sebagai imunisasi dasar. Reaksi yang mungkin terjadi biasanya demam ringan, pembengkakan, kemerahan dan nyeri di tempat suntikan selama 1-2 hari. Efek samping dapat berupa demam tinggi, kejang dan abses. Kontraindikasi pemberian vaksin adalah panas yang lebih dari 380C, riwayat kejang serta reaksi berlebihan setelah imunisasi DPT sebelumnya, misalnya suhu tinggi dengan kejang, penurunan kesadaran, syok atau reaksi anafilaktik lainnya (Isbagio et al., 2004; Rampengan, 2007; DiPiro et al., 2008; Hay et al., 2009). Vaksin DPT yang memiliki efek samping demam terutama vaksin DPT dengan fraksi seluler Bordettella pertusis, bukan vaksin DPaT yang mengandung fraksi aseluler kuman tersebut. Fraksi seluler Bordettella pertusis diduga berperan sebagai pirogen eksogen terhadap tubuh sehingga menyebabkan tubuh menjadi demam karena terjadi mekanisme pembentukan antibody terhadap kuman dalam
15
vaksin DPT (Hay et al., 2009). Vaksin DPT digunakan sebagai bahan pirogen karena dapat menimbulkan panas. Vaksinasi DPT pada bayi selalu memberi efek demam pada bayi tersebut. Demam yang ditimbulkan vaksin DPT lebih tinggi daripada vaksin-vaksin yang lain. Pada penelitian ini, pemberian vaksin dilakukan secara intramuskuler, hal ini untuk efisiensi dan keefektifan perlakuan. Dosis vaksin DPT yang akan diberikan ditentukan berdasarkan orientasi dosis, yaitu dosis yang mulai menimbulkan demam pada tikus putih sebesar 0,5 cc (Syarifah, 2010). 2.3 Bawang merah (Allium ascalonicum L.) Berikut ini akan dijelaskan mengenai klasifikasi, morfologi, nama daerah, deskripsi, kandungan kimia, efek farmakologis terhadap kesehatan, penggunaan bawang merah sebagai obat, komponen bawang merah yang berpotensi sebagai antipiretik, ekstrak bawang merah, penentuan dosis ekstrak bawang merah. 2.3.1 Klasifikasi Menurut ilmu tumbuhan (botani), bawang merah diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monotyledonae Ordo : Liliales Familia : Liliaceae
16
Genus : Allium Species : Allium ascalonicum L. Bawang merah termasuk jenis tanaman semusim (berumur pendek) dan berbentuk rumpun. Tinggi tanaman berkisar antara 15-25 cm, berbatang semu, berakar serabut pendek yang berkembang di sekitar permukaan tanah, dan perakarannyadangkal, sehingga bawang merah tidak tahan terhadap kekeringan. Umbi terbentuk dari pangkal daun yang bersatu dan membentuk batang yang berubah bentuk dan fungsi, membesar dan membentuk umbi berlapis. Umbi bawang merah terbentuk dari lapisan-lapisan daun yang membesar dan bersatu (Samadi, 2005). 2.3.2
Morfologi Tanaman bawang merah termasuk tanaman sempurna yang hidup
semusim. Menurut Pitojo (2003) secara morfologis, bagian-bagian tanaman bawang merah adalah akar, batang, daun, bunga, buah dan biji. Yang digunakan dalam penelitian adalah buah dari bawang merah. Bakal buah bawang merah tampak seperti kubah, terdiri atas tiga ruangan yang masing-masing memiliki dua bakal biji. Bunga yang berhasil mengadakan persarian akan tumbuh membentuk buah, sedangkan bunga-bunga yang lain akan mongering dan mati. Buah bawang merah berbentuk bulat; di dalamnya terdapat biji yang berbentuk agak pipih dan berukuran kecil. Pada waktu masih muda , biji berwarna putih bening dan setelah tua berwarna hitam.
17
2.3.3
Deskripsi Bawang Merah Herba semusim, tidak berbatang. Daun tunggal memeluk umbi lapis. Umbi
lapismenebal dan berdaging, warna merah keputihan. Perbungaan berbentuk bongkol, mahkota bunga berbentuk bulat telur. Buah batu bulat, berwarna hijau. Biji segi tigawarna hitam. Bagian yang Digunakan Umbi lapis. 2.3.4
Kandungan Kimia Bawang Merah Umbi bawang merah mengandung zat-zat gizi dan zat-zat non gizi
(fitokimia). Bahan-bahan bergizi dalam bawang merah bisa dimanfaatkan oleh tubuh untuk menyediakan energi, membangun jaringan, dan mengatur fungsi tubuh. Sementara senyawa fitokimia memiliki efek farmakologis dalam penyembuhan penyakit. Senyawa fitokimia yang terdapat dalam bawang merah yaitu allisin, alliin, allil propel disulfide, asam fenolat, asam fumarat, asam kafrilat,
dihidroalin,
floroglusin,
fosfor,
fitosterol,
flavonol,
flavonoid,
kaempfenol, kuersetin, kuersetin glikosida, pectin, saponin, sterol, sikloaliin, triopropanal sulfoksida, propel disulfide, dan propel-metil disulfida (Jaelani, 2007). 2.3.5
Efek Farmakologis Terhadap Kesehatan Bawang merah mengandung bahan-bahan aktif yang mempunyai efek
farmakologis terhadap tubuh. Beberapa bahan aktif yang berguna tersebut adalah sebagai berikut.
18
a.
Allisin dan alliin Senyawa ini bersifat hipolipidemik, yaitu dapat menurunkan kadar
kolesterol darah. Menurut dr. Widjaja Kusuma (1991), mengkonsumsi satu suing bawang merah segar dapat meningkatkan kadar kolesterol ‘baik’ (HDL, high density lipoprotein) sebesar 30%. Senyawa ini juga berfungsi sebagai antiseptic, yaitu menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Allisin dan alliin diubah oleh enzim allisin liase menjadi asam piruvat, ammonia, dan allisin antimikroba yang bersifat bakterisidal (dapat membunuh bakteri) (Jaelani, 2007). b.
Flavonoid Bahan aktif ini dikenal sebagai antiinflamasi atau antiradang. Jadi, bawang
merah bisa digunakan untuk menyembuhkan radang hati (hepatitis), radang sendi (arthritis), radang tonsil (tonsillitis), radang pada cabang tenggorokan (bronchitis), serta radang anak telinga (otitis media). Flavonoid juga berguna sebagai bahan antioksidan alamiah, sebagai bakterisida, dan dapat menurunkan kadar kolesterol ‘jahat’ (LDL, low density lipoprotein) dalam darah secara efektif (Jaelani, 2007). c.
Alil profil disulfida Seperti flavonoid, senyawa ini juga bersifat hipolipidemik atau mapu
menurunkan kadar lemak darah. Khasiat lainnya yaitu sebagai antiradang. Kandungan sulfur dalam bawang merah sangat baik untuk mengatasi reaksi radang, terutama radang hati, bronchitis, maupun kengesti bronchial (Jaelani, 2007).
19
d.
Fitoterol Fitosterol adalah golongan lemak yang hanya bisa diperoleh dari minyak
tumbuh-tumbuhan atau yang lebih dikenal sebagai ‘lemak nabati’. Jenis lemak ini cukup aman untuk dikonsumsi, termasuk oleh para penderita penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu, penggunaannya justru akan menyehatkan jantung (Jaelani, 2007). e.
Flavonol Senyawa ini bersama kuersetin dan kuersetin glikosida, memiliki efek
farmakologis sebagai bahan antibiotic alami (natural antibiotic). Hal ini dikarenakan kemampuannya untuk menghambat pertumbuhan virus, bakteri maupun cendawan. Senyawa ini juga mampu bertindak sebagai antikoagulan dan antikanker (Jaelani, 2007). f.
Kalium Salah satu unsur penting dalam kandungan gizi bawang merah dan terdapat
dalam jumlah besar adalah kalium. Menurut Food and Nutrition Research Center, Manila (1964), kandungan unsur kalium dalam bawang merah biasa lebih tinggi daripada bawang Bombay, masing-masing 334 mg dan 102 mg dalam setiap 100 gram. Kalium berperan dalam mempertahankan keseimbangan elektrolit tubuh. Unsure ini juga bermanfaat untuk menjaga fungsi saraf dan otot (Jaelani, 2007). g.
Pektin Bahan ini merupakan senyawa golongan polisakarida yang sukar dicerna.
Oleh karena itu, seperti pada flavonoid, pektin bersifat menurunkan kadar
20
kolesterol darah (hipolipidemik). Senyawa ini juga mempunyai kemampuan mengendalikan pertumbuhan bakteri (Jaelani, 2007). h.
Saponin Saponin termasuk senyawa penting dalam bawang merah, yang memiliki
cukup banyak khasiat. Senyawa ini terutama berperan sebagai antikoagulan, yang berguna untuk mencegah penggumpalan darah. Saponin juga dapat berfungsi sebagai ekspektoran, yaitu mengecerkan dahak (Jaelani, 2007). i.
Tripropanal sulfoksida Ketika umbi bawang merah diiris atau dilukai, akan keluar gas tripropanal
sulfoksida. Gas ini termasuk salah satu senyawa aktif eteris dalam bawang merah yang menyebabkan keluarnya air mata (lakrimator). Agar mata tidak pedih dan berair saat mengiris bawang merah, simpanlah bawang merah dalam lemari pendingin selama kurang lebih 30 menit. Bersamaan dengan keluarnya tripropanal sulfoksida, akan muncul pula bau menyengat yang merupakan aroma khas bawang merah. Bau ini berasal dari senyawa propil disulfida dan propil-metil disulfida. Ketika bawang merah ditumis atau digoreng, senyawa ini akan menebarkan aroma harum. Baik tripropanal sulfoksida, propil disulfida, maupun propil metal disulfida dapat berfungsi sebagai stimulansia atau perangsang aktifitas fungsi organ-organ tubuh. Jadi, senyawasenyawa itu sangat berguna untuk merangsang fungsi kepekaan saraf maupun kerja enzim pencernaan (Jaelani, 2007).
21
2.3.6
Penggunaan Bawang Merah Sebagai Obat Penggunaan bawang merah sebagai obat bisa sangat menolong dan
menguntungkan, mengingat tanaman ini banyak tersedia di hampir setiap keluarga. Demikian juga, harganya relatif terjangkau oleh kamampuan keluarga, walaupun kadang-kadang melambung tinggi. Manfaat bawang merah ini semakin terasa terutama pada saat biaya pengobatan semakin tinggi akibat krisi ekonomi (Jaelani, 2007). Tanpa disadari oleh masyarakat, ternyata bawang merah memiliki potensi yang cukup penting bagi kesehatan keluarga. Yakni, memberikan solusi hidup sehat dengan cara yang relatif mudah dan murah. Selain itu, bawang merah juga dapat memberikan banyak manfaat sebagai bahan baku alternative dalam pengobatan keluarga. Penyembuhan dengan bawang merah tergolong sangat efektif, efisien, dan relative aman (Jaelani, 2007). Bawang merah yang berkualitas memiliki bentuk normal (tidak cacat), dengan kondisi cukup kering dan agak keras jika dipencet. Aromanya kuat, kulit umbi berwarna terang, dan tidak sedang berkecambah (Jaelani, 2007). Berikut beberapa tips jika menggunakan bawang merah sebagai bahan obat. a.
Bahan bahan yang akan digunakan harus terbebas dari zat-zat toksik, seperti pestisida atau senyawa beracun lainnya, dan harus dibersihkan atau dicuci terlebih dahulu agar higienis.
b.
Gunakan jenis dan jumlah bawang merah sesuai keperluan. Jangan sampai berlebihan kareana akan membebani fungsi metabolism. Pengobatan
22
menggunakan bawang merah mesti dilakukan secara kontinu agar efek penyembuhan tercapai. c.
Jangan memasak bawang merah dalam kondisi terlalu panas karena akan merusak ikatan kimia dari zat-zat yang ada di dalamnya. Kecuali, jika sediaan memang berupa air rebusan (decoctum), yakni untuk mengeluarkan zat-zat aktif hingga larut dalam air perebus.
d.
Jangan disimpan terlalu lama di dalam freezer karena akan menghilangkan sebagian kandungan zat aktifnya. Ini akan mengurangi daya khasiatnya.
e.
Bawang merah hanyalah berperan sebagai terapi pendukung (support therapy) dari terapi medis yang tingkat akurasi penyembuhannya lebih meyakinkan (Jaelani, 2007).
2.3.7
Komponen bawang merah (Allium ascalonicum L.) yang berpotensi sebagai antipiretik Komponen bawang merah yang mempunyai potensi sebagai antipiretik
adalah flavonoid. Flavonoid merupakan golongan terbesar senyawa fenol alam. Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang mudah larut dalam air dan cukup stabil dalam pemanasan yang mencapai suhu 1000C selama lebih dari 30 menit. Senyawa fenol mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Semua senyawa fenol berupa senyawa aromatik. Flavonoid dapat diekstraksi dengan etanol 70% (Ermawati, 2010). Efek flavonoid terhadap bermacam-macam organisme sangat banyak macamnya dan dapat menjelaskan mengapa tumbuhan yang mengandung flavonoid dipakai dalam pengobatan tradisional. Beberapa flavonoid menghambat fosfodiesterase,
23
sedangkan flavonoid lain menghambat aldoreduktase, monoaminoksidase, protein kinase, DNA polimerase dan lipooksigenase. Penghambatan siklooksigenase dapat menimbulkan pengaruh lebih luas karena reaksi siklooksigenase merupakan langkah pertama pada jalur yang menuju ke hormone eikosanoid seperti prostaglandin dan tromboksan. Prostaglandin sendiri penting dalam peningkatan hypothalamic
therm
set
point.
Mekanisme
penghambatan
inilah
yang
menerangkan efek antipiretik dari flavonoid (Freddy, 2007). 2.3.8
Penentuan Dosis Ekstrak Bawang Merah Volume cairan maksimal yang dapat diberikan per oral pada tikus putih
adalah 5ml/100 g BB (Ermawati, 2010). Jadi dalam memperkirakan dosis bawang merah ( Allium ascalonicum L.) tidak boleh melebihi 5 ml/100g BB. Takaran bawang merah yang biasa digunakan adalah 20 gram (Jaelani, 2007). Faktor konversi dosis untuk manusia dengan berat badan 70 kg pada tikus putih dengan berat badan 200 g adalah 0,018. Sedangkan berat rata-rata manusia Indonesia adalah ± 50 kg (Imono, 1986). Dosis bawang merah untuk tikus adalah: = ( 20 x 1000 mg x 70/50 x 0,018)/200 g BB = 504 mg/200 g BB = 252 mg/100 g BB Dosis ekstrak bawang merah untuk tikus dibedakan menjadi 3 dosis, yaitu dosis pertama setengah dari dosis normal, dosis kedua sebesar dosis normal dan dosis ketiga yaitu dosis normal ditambah setengah dari dosis normal, sehingga didapatkan perhitungan sebagai berikut : a.
Dosis 1 = Ekstrak bawang merah 126 mg dalam 2 ml larutan /100 gr BB tikus
24
b.
Dosis 2 = Ekstrak bawang merah 252 mg dalam 2 ml larutan /100 gr BB tikus
c.
Dosis 3 = Ekstrak bawang merah 378 mg dalam 2 ml larutan /100 gr BB tikus
2.4 Hewan Percobaan Berikut ini akan dipaparkan mengenai sistematika hewan percobaan dan karakteristik utama hewan uji. 2.4.1 Sistematika hewan percobaan Tikus putih dalam sistematika hewan percobaan (Sugiyanto, 1995) diklasifikasikan sebagai berikut: Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Classis
: Mammalia
Subclassis
: Placentalia
Ordo
: Rodentia
Familia
: Muridae
Genus
: Rattus
Species
: Rattus norvegicus
2.4.2 Karakteristik utama hewan uji Tikus putih merupakan hewan percobaan relatif resisten terhadap infeksi dan sangat cerdas. Tikus putih lebih tidak bersifat fotofobik jika dibandingkan dengan mencit dan kecenderungaan untuk berkumpul dengan sesamanya tidak begitu besar. Dilihat dari sisi lain, aktifitas dari tikus putih tidak dipengaruhi oleh adanya manusia di sekitarnya. Terdapat dua perbedaan sifat dari tikus hewan
25
percobaan lainnya dimana tikus putih tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lubang dan tikus putih tidak mempunyai kandung empedu (Setiawan, 2010). Jenis kelamin tikus yang digunakan adalah tikus jantan. Tikus jantan dipilih untuk menghindari adanya kesalahan hasil karena pada tikus putih betina mempunyai siklus menstruasi, dimana siklus ini dapat menaikkan temperatur tubuh tikus serta dilihat dari penelitian sebelumnya yang menggunakan tikus putih jantan, didapatkan bahwa tikus putih jantan dapat memberikan hasil penelitian yang lebih stabil. Selain itu, kecepatan metabolisme obat pada tikus putih lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibandingkan dengan tikus jenis betina (Syarifah, 2010). Tikus putih laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus putih dapat tinggal sendirian dalam kandang dan hewan ini lebih besar dibandingkan dengan mencit, sehingga untuk percobaan laboratorium, tikus putih lebih menguntungkan daripada mencit (Setiawan, 2010) Menurut intanowa (2012), tipe bentuk badan tikus putih kecil, mudah dipelihara dan obat yang digunakan di badannya dapat relatif cepat termanifestasi, karena alasan fisiologis yang mirip dengan kondisi tubuh manusia. Tikus putih memiliki organ yang terlengkap sebagai mamalia. Oleh karena itu, sering dipilih sebagai makhluk percobaan untuk obat-obatan atau makanan yang nantinya akan digunakan atau dikonsumsi oleh manusia (Intanowa, 2012). Selain itu juga, percobaan menggunakan tikus putih jantan sebagai binatang percobaan karena tikus putih jantan dapat memberikan hasil penelitian yang lebih stabil karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus menstruasi dan kehamilan seperti pada tikus putih
26
betina. Tikus putih jantan juga mempunyai kecepatan metabolisme obat yang lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibanding tikus putih betina (Setiawan, 2010). Pada penelitian ini suhu tubuh tikus akan diinduksi dengan vaksin DPT. Menurut penelitian yang dilakukan oleh syarifah (2010), rata-rata penurunan suhu rektal tikus putih setelah diberikan vaksin DPT adalah 2 jam. Jadi pada penelitian ini suhu rektal tikus putih akan diukur setiap 30 menit sampai menit ke 120.