21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
Tinjauan pustaka yang dibahas pada penelitian ini adalah penelitian sebelumnya tentang museum, peran, dan fungsinya yang dianggap relevan, terutama yang berhubungan dengan daya tarik wisata berupa museum sebagai daya tarik wisata budaya. Hasil-hasil penelitian tersebut selanjutnya dijadikan rujukan serta dipakai sumber untuk menemukan konsep-konsep
yang terkait
dengan penelitian ini. Tinjauan pustaka tersebut diuraikan sebagai berikut ini,
2.1
Penelitian tentang Museum di Bali Dinamika daya tarik wisata telah berubah dengan cepat khususnya pada
pariwisata budaya yang menjadikan museum sebagai daya tarik. Museum sebagai daya tarik wisata diharapkan mampu berkontribusi terhadap pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Indikator keberlanjutan daya tarik wisata berupa museum dapat diukur oleh pertumbuhan positif pengunjung yang datang ke sebuah museum. Usaha mempertahankan dan meningkatkan jumlah kunjungan berkaitan erat dengan tercapainya harapan para pengunjung terhadap berbagai faktor yang dipertimbangkan oleh para pengunjung terhadap museum sebagai daya tarik wisata budaya. Berikut dipaparkan beberapa penelitian yang berkaitan erat dengan museum, baik yang ada di luar negeri maupun di dalam negeri.
21
22
Penelitian terkait museum sebagai daya tarik wisata di Bali, tergolong masih sedikit. Penelitian tentang museum yang pernah dilakukan oleh Dinas Pariwisata Provinsi Bali (2011) tentang analisa pasar wisatawan mancanegara pengunjung museum mencatat bahwa persoalan utama yang dihadapi dalam menganalisis pasar wisata museum-museum di Bali adalah keterbatasan data komprehensif. Data yang berhasil dihimpun kurang lengkap, tidak menyeluruh, dan kurang akurat. Beberapa museum besar, pengelolaannya tampak profesional namun data kunjungannya tidak tersedia dengan lengkap sehingga menimbulkan pertanyaan dan keraguan terhadap keberlanjutannya sebagai daya tarik wisata budaya. Data yang tersedia juga kurang terklasifikasikan berdasarkan negara asal wisatawan. Klasifikasi terkadang dibuat dalam dua kategori yaitu wisatawan manca negara dan wisatawan domestik. Ada juga museum yang datanya tersedia penuh dalam rentang waktu tertentu tetapi sulit digunakan untuk membuat perbandingan dengan museum lain yang datanya tersedia secara fragmentaris. Hasil penelitian Dinas Pariwisata Provinsi Bali (2011) tersebut, juga mencatat bahwa kunjungan wisatawan ke museum-museum di Bali dari tahun 2000-2009 secara umum menunjukkan kecenderungan menurun. Hal ini cukup memprihatinkan karena tidak sejalan dengan kecenderungan umum jumlah kedatangan wisatawan ke Bali yang terus meningkat terutama pasca-tragedi bom Bali 2002 dan 2005. Pada tahun 2010, angka kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali melebihi angka dua juta orang, mestinya jika angka kunjungan wisatawan ke Bali meningkat, angka kunjungan ke museum semestinya meningkat pula. Statistik angka kunjungan yang tersedia kenyataannya menunjukkan bahwa
23
kecenderungan umum yang ada, pertumbuhan angka kunjungan wisatawan ke Bali tidak dirasakan atau tidak tampak pada peningkatan kunjungan museummuseum di Bali. Angka kunjungan ke museum-museum di Bali secara umum relatif kecil. Angka yang ada menunjukkan bahwa rata-rata kunjungan wisatawan ke sebuah museum di bawah 10 ribu per tahun. Kalau dibagi ke dalam 365, berarti dalam sehari sebuah museum kira-kira memperoleh kunjungan sekitar 30 orang. Jumlah ini tentu saja sedikit sekali dan tidak mungkin dapat memberikan pendapatan bagi pengelola museum untuk biaya operasi dan perawatan museum. Dinas Pariwisata Provinsi Bali (2011) juga mencatat bahwa angka kunjungan ke museum ditentukan oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan dengan kualitas koleksi museum, suasana dan kenyamanan ruang pameran, pelayanan, fasilitas umum buat pengunjung, serta popularitas museum. Faktor eksternal adalah akses lalu-lintas ke lokasi museum. Wisatawan mengunjungi museum tentulah disebabkan oleh rasa ingin tahu untuk menikmati koleksi museum, untuk menikmati karya master piece yang mungkin hanya ada di museum tersebut. Semakin bermutu, unik, otentik koleksi museum semakin kuat daya tariknya memikat pengunjung. Semakin popular atau terkenal sebuah museum, semakin kuat juga daya tariknya memikat pengunjung. Ada museum yang memberikan pengunjung segelas minuman penyambutan yang ongkosnya sudah termasuk dalam harga tiket. Pelayanan seperti ini telah membuat kesan yang positif pada pengunjung dan bisa menjadi dasar untuk pengalaman mendalam ketika menyimak atau menyaksikan koleksi.
24
Catatan lain dari hasil penelitian Dinas Pariwisata Provinsi Bali (2011) adalah wisatawan Jepang yang berkunjung ke Bali merupakan wisatawan yang paling dominan berkunjung ke museum-museum di Bali. Data yang ada menunjukkan paling tidak mereka menempati urutan pertama dalam jumlah angka kunjungan ke tiga museum utama di Bali yaitu Museum Bali, Museum Neka, dan Museum Puri Lukisan. Selain karena faktor internal museum (kualitas koleksi, pelayanan, fasilitas) dan eksternal (lokasi dan ruang parkir), kehadiran dalam jumlah tinggi wisatawan Jepang ke museum-museum di Bali juga terjadi karena faktor-faktor berikut. Pertama, karakter wisatawan Jepang yang senang berkunjung ke museum. Di negeri mereka sendiri, mereka juga mengunjungi museum dan tempat-tempat bersejarah. Kebiasaan ini sudah terjadi sejak anak-anak sekolah. Kedua, kehadiran wisatawan Jepang di Bali dalamg grup-grup yang perjalanan ke museum sudah merupakan paket yang dirancang biro perjalanan. Analisis pasar wisatawan yang berkunjung ke museum Bali oleh Dinas Pariwisata Provinsi Bali (2011) memberikan implikasi terhadap dua hal. Pertama, perlu dilakukan usaha-usaha untuk meningkatkan informasi mengenai museum ke dalam materi promosi pariwisata kepada wisaatwan yang gemar berkunjung ke museum. Termasuk dalam negara asal pasar pariwisata ini adalah negara-negara di benua Eropa seperti Jerman, Belanda, dan Perancis, sedangkan untuk di negara Asia adalah Jepang dan Korea. Kedua, bagi negara pasar wisatawan yang wisatawannya relatif rendah berkunjung ke museum saat berlibur ke Bali, fakta ini bisa dijadikan alasan untuk melakukan evaluasi apakah hal itu terjadi karena
25
promosi museum masih belum dilaksanakan dengan baik dan optimal. Peningkatan promosi museum di pasar wisata mancanegara diharapkan dapat meningkatkan minat wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke museum saat berlibur di Bali. Hal penitng bisa dilakukan adalah dengan mengajak biro perjalanan atau travel agent luar negeri untuk berkunjung ke museum ketika mereka melakukan familiarization trip ke Bali. Kalau mereka mengenal museum, besar kemungkinan mereka akan menjual, atau menawarkan ke dalam paket wisata yang mereka tawarkan. Jumlah museum di Bali terus bertambah termasuk yang didirikan terakhir adalah Museum Marketing yang lokasinya dalam areal Museum Puri Lukisan Ubud. Dalam museum ini dipamerkan audio visual perusahaan-perusahaan internasional yang sudah menerapkan sistem Marketing 3.0, yaitu sistem marketing yang tidak saja berusaha menjual barang dan memuaskan konsumen tetapi juga memperhatikan aspek spiritual. Bertambahnya museum di Bali berarti bertambah pula tenaga promosi Bali ke dunia internasional karena setiap museum berusaha melakukan promosi atas propertinya sendiri yang dengan sendirinya juga memperomosikan kekayaan seni dan keindahan alam Bali. Namun demikian, promosi dengan strategi khusus menjadikan museum sebagai menu utama dalam promosi pariwisata juga perlu dilakukan, antara lain bekerja sama dengan museum-museum besar di dunia, terutama di negara-negara pasar utama pariwisata Bali. Pada tahun 2011, ada dua museum terkemuka dunia yang menggelar pameran Bali, yaitu Asian Arts Museum di San Fransisco dengan tajuk "Bali: Art, Ritual, Performance" dan Hornimaan Museum London dengan judul
26
'Bali: Dancing for the Gods'. Yang kedua memamerkan kekayaan seni budaya Bali selama hampir setahun, diisi dengan beberapa pentas kesenian Bali. Pameran ini bukan saja memperkenalkan kesenian Bali tetapi sekaligus juga berarti penting bagi promosi pariwisata Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya. Promosi seperti ini perlu dilakukan secara terus menerus dengan sistem kolaborasi sehingga keterbatasan dana tidak menjadi hambatan. Kualitas, pengelolaan dan keunikan beberapa museum di Bali dapat dikatakan tidak kalah dengan museum internasional, oleh karena itu mengundang biro perjalanan ke museum akan membuat mereka terpikat untuk menawarkan museum kepada calon wisatawan di negerinya. Penelitian tentang museum di Bali oleh Mardika (2001) yang mengambil studi kasus di Museum ARMA menjelaskan bahwa pengelolaan sumber daya budaya lebih banyak menekankan perspektifnya dari sudut budaya sehingga ditemukan pemanfataannya sebagai sumber daya budaya. Pemanfaatan museum sebagai sumber daya budaya dalam upaya pelestarian sumber daya pada Museum Arma menerapakan model “subsidi silang” yang mengintegrasikan unsur-unsur budaya lokal dengan budaya global. Model integratif ini dapat diamati dari mekanisme pengelolaan museum Arma, baik di bidang pengelolaan koleksi, sumberdaya manusia, keuangan, dan bidang pemasarannya. Dalam pengelolaan koleksi, Museum Arma melakukan integrasi aspek-aspek seni budaya, seperti unsur seni visual, seni pertunjukan, seni kehidupan dan lingkungannya, dikemas menjadi satu kesatuan yang utuh berciri khas Arma. Demikian juga sistem pengelolaan yang memadukan museum dengan unit usaha berorientasi profit
27
(seperti hotel, restaurant, café, warung kopi, serta gallery) ternyata dapat saling memberikan kontribusi di bidang sumber daya manusia, sumber daya keuangan dan pemasarannya. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan lebih terfokus pada pengelolaan museum sebagai daya tarik wisata dari lima museum yang ada di kawasan Ubud serta kajian penelitian yang lakukan jauh lebih luas yakni dari perspektif pengelola dan wisatawan.
2.2
Penelitian tentang Museum di Luar Bali Berikut dipaparkan beberapa penelitian terkait museum yang dilakukan di
luar Bali, di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Markovic., et al (2013: 201-216) di Kroasia tentang investigasi terhadap kualitas layanan museum. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengukur harapan para pengunjung dan persepsinya terhadap layanan yang telah diterima. Pada akhir penelitian tersebut, dipaparkan perbedaan antara harapan dan kualitas layanan museum di Kroasia. Kajian yang mendasari penelitian Markovic., et al (2013: 201-216) adalah kajian terhadap kepuasan konsumen yang termasuk teori dasar perilaku konsumen. Menurutnya analisis kepuasan konsumen penting untuk dilakukan karena persaingan antara destinasi pariwisata semakin ketat, harapan para pengunjung semakin meningkat, dan persaingan antara daya tarik wisata selain museum juga semakin ketat. Penelitian tersebut mencatat bahwa harapan pengunjung yang paling tinggi adalah harapan terhadap kebebasan akses terhadap koleksi museum yang berarti pula bahwa pengunjung tidak berharap adanya larangan untuk melihat, mengambil gambar, dan mungkin juga harapan-harapan lainnya. Para pengunjung juga berharap untuk mendapatkan informasi yang lengkap tentang
28
pameran terhadap koleksi museum. Jika dilihat dari persepsi para pengunjung, para pengunjung yang usia lanjut mendapatkan banyak kesulitan untuk mengakses koleksi museum. Namun, jika dilihat dari penggunaan teknologi pada museum, mendapatkan persepsi yang cukup tinggi sebagai faktor penting untuk memikat para pengunjung. Secara keseluruhan, terdapat perbedaan antara persepsi dan harapan pengunjung. Harapan pengunjung lebih tinggi daripada persepsi sehingga dapat dikatakan bahwa pengunjung belum puas terhadap layanan yang diberikan oleh pengelola museum di Kroasia. Pada analisis faktor yang telah dilakukannya, terbentuk lima faktor penting yang menentukan para pengunjung mengunjungi sebuah museum. Lima faktor tersebut terdiri atas (1) fasilitas museum, (2) aksesibilitas, (3) penampilan dan pameran, (4) empati para pengelola, dan (5) komunikasi dan informasi untuk para pengunjung. Pratminingsih dan Soedijati (2014) menyatakan bahwa museum tidak hanya berupa tempat untuk memajang benda-benda yang dilestarikan namun sebenarnya menyediakan informasi tentang banyak hal berkaitan dengan kebesaran sebuah budaya masa lalu, mendidik, dan menghibur para pengunjung. Mirip dengan penelitian Markovic., et al (2013) bahwa keberlanjutan daya tarik wisata berupa museum dapat diukur berdasarkan pertumbuhan jumlah pengunjung. Kreativitas pengelola menjadi penting untuk dapat memikat para pengunjung datang berkunjung. Penelitian yang dilakukan oleh Pratminingsih dan Soedijati (2014) berlokasi di Kota Bandung pada tiga buah museum yang melibatkan 500 pengunjung sebagai responden. Analisis yang digunakan adalah analisis kinerja layanan dan korelasi. Hasil analisis yang telah dilakukannnya
29
menunjukkan terdapat hubungan positif antara kualitas layanan dan kepuasan terhadap loyalitas pengunjung. Hasil penelitiannya juga menyimpulkan bahwa faktor daya tanggap dan empati adalah faktor yang paling memperngaruhi kepuasan para pengunjung. Hasil penelitian yang telah dilakukannnya mengindikasikan bahwa saat ini, khususnya di Bandung, daya tarik wisata berupa museum bukanlah daya tarik yang populer bagi para wisatawan. Para pengelola museum
dapat
meningkatkan
jumlah
kunjungan
jika
mereka
mampu
meningkatkan kualitas layanan khususnya faktor daya tanggap dan empati terhadap para konsumennya. Ozer., et al (2013) pada penelitian yang telah dilakukannya di Turki yang meneliti tentang perbandingan harapan para pengunjung museum menunjukkan bahwa terdapat lima faktor yang menentukan para pengunjung datang ke sebuah museum. Lima faktor tersebut terdiri atas (1) perhatian dan empati, (2) impresi budaya, (3) ketenangan, (4) nilai sejarah, dan (5) nilai uang. Responden yang dilibatkan pada penelitiannya terdiri dari 163 wisatawan domestik dan 184 wisatawan asing. Delapan puluh persen menyatakan bahwa faktor informasi tentang Mevlana telah menjadi penentu mereka berkunjung, sedangkan 57% ditentukan oleh informasi tentang Mevleviyeh. Ada dua sisi yang berbeda antara wisatawan domestik dan wisatawan asing. Wisatawan domestik menganggap bahwa empati dan impresi budaya sebagai faktor penentu jika dibandingkan dengan wisatawan asing. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa faktor empati adalah faktor penentu para wisatawan mengunjungi sebuah museum sebagai daya tarik wisatawan.
30
Chan., et al (2014) pada penelitiannya tentang museum budaya sebagai penggerak baru bisnis di Hong Kong menjelaskan bahwa museum telah menjadi daya tarik yang diharapkan mampu meningkatkan fungsinya berkontribusi dalam peningkatan ekonomi dan pariwisata di Hong Kong. Penelitiannya menggunakan pendekatan kualitatif untuk melakukan investigasi tentang museum budaya sebagai produk pariwisata. Hasil penelitiannya mengindikasikan bahwa telah terjadi dikotomi antara museum-museum dan pariwisata yang diatur oleh kebijakan sektor museum di Hong Kong.
Dikotomi
terjadi pada museum-
museum milik pemerintah yang lebih banyak menuntup diri untuk bekerjasama dengan sektor pariwisata sehingga sulit untuk dijadikan bagian dari daya tarik wisata di Hongkong.
Kebanyakan museum pemerintah di Hong Kong telah
mendapat pendanaan yang memadai dari pemerintah, sehingga para pengelolanya belum menganggap penting menjadikan museum sebagai daya tarik wisata hanya tujuan mendapatkan keuntungan ekonomi saja. Chan., et al (2014) memberikan saran untuk melakukan pemotongan anggaran/pendanaan terhadap museum pemerintah sehingga para pengelola museum akan perlu menjadikan museum sebagai daya tarik wisata untuk keberlanjutan museum itu sendiri dan pembangunan pariwisata Hong Kong yang mengusung tema pariwisata budaya. Wickhama dan Lehman (2015) pada penelitiannnya tentang sektor museum di Australia menemukan bahwa keberlanjutan komunikasi praktis memegang peranan penting pada organisasi sektor warisan budaya. Menurutnya, pariwisata warisan budaya terdiri atas sosial, alam, museum seni, bangunan bersejarah, situs dan tempat bersejarah, desa, dan kompleks industri, dan lainnya.
31
Keberlanjutan museum sebagai daya tarik wisata menurut Wickhama dan Lehman (2015) terdiri atas (1) museum itu sendiri yang termasuk didalamnya ketenaran, fasilitas dan infrastrukturnya. (2) Jumlah dan variasi koleksi museum. (3) para pengelolannya termasuk para pengawai yang bekerja dan melayani para pengunjung. (4) pengelolaan lingkungan.
Empat faktor tersebut mestinya
terintegrasi dengan baik untuk keberlanjutan museum sebagai organisasi sektor warisan budaya khususnya untuk mendukung sektor pariwisata di Australia. Yulianto (2010:73-88) pada penelitiannya tentang kepuasan pengunjung museum menjelaskan bahwa sebagai lembaga pelestarian benda-benda budaya, museum tidak saja berfungsi sebagai pusat informasi, namun sekaligus sebagai media edukatif-kultural bagi masyarakat luas. Oleh karena itu, maka sarana pelayanan masyarakatnya yang utama adalah sistem pengelolaan yang baik dengan pusat perhatian pada: (1) registrasi koleksi yang sistematis serta mudah ditelusuri dan dirujuk silang; (2) teknik dan metode perawatan yang dapat diandalkan; dan (3) program pameran yang terarah sesuai dengan tujuan-tujuan yang harus ditetapkan untuk kurun-kurun waktu tertentu (Rosyadi 1991; Sedyawati 1996 dalam Yulianto 2010), sehingga terjadi hubungan fungsional yang akrab antara petugas dengan koleksi museum. Menurutnya, ada dua kata kunci dalam pemanfaatn museum, yaitu: (1) jasa, dan (2) pelayanan. Kualitas jasa akan berubah-ubah tergantung pada interaksi antara karyawan dan pelanggan, pengharapan mereka dibentuk oleh pengalaman masa lalu, kabar dari mulut ke mulut dan iklan perusahan jasa. Pengunjung museum seyogyanya diperlakukan sebagai pelanggan (customer) yang merupakan penggerak utama dalam perubahan
32
museum. Hal ini juga turut memberi sumbangan pada perubahan paradigma dari collection oriented menjadi visitor oriented. Menurut Irawan (dalam Yulianto 2010), terdapat lima dimensi kualitas pelayanan, yaitu: (1) tangible karena suatu pelayanan yang tidak bisa dilihat, dicium, diraba atau kemampuan perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal; (2) reliability yang mengukur kehandalan kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan yang terbaik sesuai yang dijanjikan secara akurat dan percaya; (3) responsiveness yaitu harapan pelanggan atau tanggapan suatu kemampuan untuk membantu dan memberikan palayanan yang cepat dan tepat kepada pelanggan, kesigapan dan ketulusan
dalam
menjawab
pertanyaan
atau
permintaan
pelanggan,
menyampaikan informasi yang jelas; (4) assurance yang merupakan keramahan atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan sopan santun kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada museum; dan (5) emphaty yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan pelanggan. Sementara faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan,
Yulianto (2010) menemukan beberapa faktor sebagai
berikut ini: (a) fitur produk dan jasa, (2) emosi pelanggan, (3) atribusi untuk keberhasilan atau kegagalan jasa, (4) persepsi terhadap kewajaran dan keadilan (equity and fairness), dan (5) pelanggan lain, keluarga, dan rekan kerja. Temuan hasil penelitian tentang museum di atas menunjukkan bahwa menjaga kualitas layanan museum adalah hal yang penting sehingga mampu menjadi daya tarik wisata budaya yang bekelanjutan.
Pemanfaatan museum
33
modern sebagai daya tarik wisata budaya yang ada di Ubud seperti: The Blanco Renaissance Museum, Museum Puri Lukisan, Agung Rai Museum of Art (ARMA), Museum Rudana, dan Neka Art Museum.
Kelima
museum ini
merupakan museum modern yang telah dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata budaya. Penelitian yang dilakukan ini terkait dengan persepsi pengunjung museum modern yang interpretatif, komunikatif dan kreatif karena penelitian yang dilakukan pada museum-museum tersebut terdapat interpretatif karya pelukis-pelukis terkenal yang merupakan bagian dari koleksi (Lukisan Arie Smit, Lempad, dan Walter Spies). Karya-karya pelukis tersebut merupakan pelukispelukis ternama yang merupakan koleksi pada museum Neka. Pada beberapa museum seperti Museum Agung Rai dan Rudana juga memamerkan karya-karya baru Young Artist yang merupakan karya para pelukis muda yang ada di Ubud yang juga mengisi pameran pada sudut-sudut pamer tertentu pada kurun waktu tertentu. Paparan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan museum mengindikasikan bahwa permasalahan yang mendesak untuk dituntaskan terkait keberlanjutan museum sebagai daya tarik wisata budaya. Indikasi lainnya adalah berhubungan dengan telah terjadinya dinamika harapan pengunjung terhadap eksistensi museum sebagai daya tarik wisata. Faktor kepuasan pengunjung telah menjadi indikator yang baik untuk mengukur keberlanjutan museum karena faktor kepuasan diukur berdasarkan tingginya harapan pengunjung dibandingkan dengan kinerja yang telah ditunjukkan oleh para pengelola museum. Berdasarkan paparan hasil penelitian terkait museum tersebut
34
di atas, dapat dikatakan bahwa penelitian yang dilakukan telah memiliki bahan komparasi yang layak secara ilmiah.
2.3
Konsep Konsep yang dimaksud dalam penelitian ini adalah beberapa pengertian
dasar yang secara langsung terkait dengan topik penelitian. Konsep yang dijelaskan untuk mendapat gambaran ruang lingkup penelitian ini meliputi pemanfaatn museum sebagai daya tarik wisata budaya.
2.3.1
Kawasan Pariwisata Definisi konseptual kawasan pariwisata pada penilitian ini adalah kawasan
strategis pariwisata yang berada dalam geografis satu atau lebih wilayah administrasi Ubud yang di dalamnya terdapat potensi daya tarik wisata, aksesibilitas yang tinggi, ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas pariwisata serta aktivitas sosial budaya masyarakat yang saling mendukung dalam perwujudan kepariwisataan. Definisi konseptual tersebut di atas dirujuk dari Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 55 bahwa kawasan pariwisata adalah kawasan strategis pariwisata yang berada dalam geografis satu atau lebih wilayah administrasi desa/kelurahan yang di dalamnya terdapat potensi daya tarik wisata, aksesibilitas yang tinggi, ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas pariwisata serta aktivitas sosial budaya masyarakat yang saling mendukung dalam perwujudan kepariwisataan. Berdasarkan Peraturan Daerah
35
tersebut, dalam Lampiran XV. a tentang sebaran dan cakupan geografis kawasan pariwisata, Provinsi Bali memiliki 16 kawasan pariwisata. Ubud merupakan kawasan pariwisata yang terdaftar dalam urutan ke-5 terletak di Desa Ubud, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.
2.3.2 Daya Tarik Wisata Daya tarik wisata pada penelitian ini adalah museum yang dibangun dan dikelola serta diperuntukkan untuk para wisatawan yang berwisata di Kawasan Ubud. Definisi konseptual ini diadopsi dari beberapa rujukan diantaranya undangUndang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor
10
Tahun
2009
tentang
kepariwisataan, dan definisi para pakar pariwisata. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 (1) daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan; (2) menurut Yoeti (2001), daya tarik wisata atau “tourist attraction”, istilah yang lebih sering digunakan, yaitu segala sesuatu yang menjadi daya tarik bagi orang untuk mengunjungi suatu daerah tertentu. Lebih lanjut menurut Yoeti (2006) secara garis besar terdapat empat kelompok yang menjadi daya tarik bagi wisatawan yang mengunjungi suatu negara sebagai suatu daerah tujuan wisata yaitu : (1) natural attraction, yang termasuk dalam kelompok ini adalah pemandangan alam, pantai, laut, danau, air terjun, kebun raya, agrowisata, gunung berapi serta flora dan fauna, (2) Build Atraction, yaitu bangunan dengan arsitektur yang menarik, seperti rumah adat, bangunan kuno dan bangunan modern, (3) Cultural Atraction,
36
yaitu diantaranya peninggalan sejarah (historical heritage), ceritera rakyat (folklore), kesenian tradisional, museum, upacara keagamaan, festival kesenian, (4) Social Attraction, yaitu tata cara kehidupan suatu masyarakat (the way of life), ragam bahasa (languages), upacara perkawinan dan upacara keagamaan lainnya. Pendit (2003) menyatakan bahwa daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menarik dan bernilai untuk dikunjungi dan dilihat. Jadi berdasarkan ketiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang mempunyai daya tarik, keunikan dan nilai yang tinggi, yang menjadi tujuan wisatawan datang ke suatu daerah tertentu. Menurut Leiper (2006:17) daya tarik wisata adalah keistimewaan atau karakteristik suatu tempat yang formasinya difokuskan pada suatu kesenangan atau menarik perhatian wisatawan. Menurut Cooper (1993:80-81) menyatakan unsur-unsur yang menentukan keberhasilan suatu daerah tujuan wisata ditentukan oleh faktor 4 A’S yaitu: (1) Attractions (daya tarik wisata) yang meliputi daya tarik alam dan buatan; (2) Accessibilties (kemudahan untuk mencapai akses) seperti tersedianya transportasi baik darat, laut, udara maupun lokal serta sarana dan prasarana pendukungnya, (3) Amenities (fasilitas pendukung); tersedianya kualitas akomodasi, restoran, hiburan, jasa keuangan dan keamanan, serta jasa lainnya, (4) Ancilliary Services (jasa pendukung) dalam bentuk institusi (local organization) seperti Destination Management Organization (DMO), baik yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta termasuk di dalamnya ketentuan dan perundangan-undangan tentang kepariwisataan.
37
2.3.3
Museum sebagai Daya Tarik Wisata Walaupun sebenarnya terdapat definisi lainnya tentang museum, yang
dimaksud museum sebagai daya tarik wisata adalah museum yang dibangun dan dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata budaya serta diperuntukkan untuk para wisatawan yang berwisata di Kawasan Ubud. Museum-museum yang dimaksud pada penelitian ini adalah (1) Museum ARMA, (2) Museum Blanco, (3) Museum Neka, (4) Museum Puri Lukisan, dan (5) Museum Rudana. Museum adalah lembaga yang diperuntukkan untuk masyarakat umum. Museum berfungsi mengumpulkan, merawat, dan menyajikan serta melestarikan warisan budaya masyarakat untuk tujuan studi, penelitian dan kesenangan atau hiburan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 1995, museum adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa. Sedangkan menurut Intenasional Council of Museum (ICOM), museum adalah sebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, memperoleh, merawat, menghubungkan dan memamerkan artefak-artefak perihal jati diri manusia dan lingkungannya untuk tujuan studi, pendidikan dan rekreasi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995, museum bertugas untuk menyimpan, merawat, mengamankan dan memanfaatkan koleksi museum berupa benda cagar budaya. Dengan demikian museum mempunyai dua fungsi besar yaitu: (1) Sebagai tempat pelestarian, museum wajib melaksanakan
38
kegiatan yang meliputi pengumpulan benda untuk menjadi koleksi, pencatatan koleksi, sistem penomoran dan penataan koleksi. Perawatan, yang meliputi kegiatan mencegah dan menanggulangi kerusakan koleksi. Pengamanan, yang meliputi kegiatan perlindungan untuk menjaga koleksi dari gangguan atau kerusakan oleh faktor alam dan ulah manusia. (2) Sebagai sumber informasi, sehingga museum melakukan kegiatan pemanfaatan melalui penelitian dan penyajian. Penelitian dilakukan untuk mengembangkan kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyajian wajib tetap memperhatikan aspek pelestarian dan pengamanannya.
2.4
Teori Teori yang melandasi penelitian ini adalah teori manajemen museum,
pemasaran, dan daya tarik wisata budaya.
2.4.1
Manajemen Museum Manajemen menurut Leiper, 1990 (dalam Pitana, 2009:80), merujuk pada
seperangkat peranan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, atau bisa juga merujuk kepada fungsi-fungsi yang melekat pada peran tersebut. Fungsifungsi
manajemen tersebut
(mengarahkan),
organizing
meliputi: planning (termasuk
(perencanaan),
coordinating),
dan
directing controlling
(pengawasan). Follet, 1960 (dalam Pitana, 2009:80) menekankan bahwa koordinasi merupakan fungsi utama dan terpenting yang harus dipisahkan dan memerlukan pembahasan sendiri. Fungsi koordinasi merujuk kepada fungsi seorang manajer untuk menerjemahkan sebuah informasi, seperti perencanaan dan
39
pengawasan, dan mengaplikasikan informasi tersebut secara sistematis ke dalam semua fungsi manajerial yang diterjemahkan secara nyata dalam kegiatan pengarahan (directing), perencanaan (planning), dan pengawasan (controlling). Pengelolaan sebuah organisasi digambarkan dalam suatu struktur organisasi, dimana bagian-bagian dalam struktur organisasi tersebut memiliki tugas, fungsi dan wewenang masing-masing yang saling berkaitan dan saling membutuhkan sebagai satu kesatuan yang terintegritas. Teori manajemen dalam penelitian ini dipergunakan untuk mengetahui pengelolaan museum sebagai daya tarik wisata di kawasan Ubud. Moore (2000:1-13) menyatakan bahwa fokus manajemen saat ini tentang museum adalah untuk meningkatkan perannya berdasarkan apa yang ingin dicapai, dan bagaimana untuk dapat merealisasikannya secara efektif. Dari sisi perspektif manajemen, tantangannya berupa peluang sebagai suatu ancaman. Sementara kebanyakan museum selalu tergantung terhadap public funding dan pengurangan pendanaan memberi pengaruh yang buruk. Penekanan pada pendekatan efisiensi dalam penggunaan public funds melalui manajemen yang lebih efektif. Dengan hal yang sama, pemberian layanan dapat memberikan keuntungan dalam perbaikan kualitas dan harga terhadap pelanggan. Pada berbagai kasus, perkembangan menuju contract culture tidak begitu banyak sebagai hasil dari perubahan politik yang merupakan suatu kekuatan ekonomi, merefleksikan perubahan yang lebih luas dalam dunia kerja yang akan memberikan pengaruh terhadap museum. Manajemen yang benar dapat memungkinkan museum untuk menghentikan peluang-peluang, tidak hanya untuk
40
dapat hidup dalam era penuh tantangan, melainkan sejahtera di masa depan. Terdapat manajemen museum yang paling efektif saat ini untuk mengambil kesempatan-kesempatan ini, bila tidak bagaimana hal ini dapat berkembang. Untuk menjawab tantangan ini, sangat bermanfaat pertama-tama untuk memperhitungkan perkembangan manajemen dalam museum. Secara tradisional, dulunya museum tidak dikelola sama sekali tetapi teradministrasi. Posisi seperti manajer sebelumnya tidak pernah digunakan sebagai suatu title job pada museum. Dalam hal pengelolaan museum terdapat beberapa metode pengelolaan antara lain: (1) peran pelaksanaan, (2) manajemen koleksi (3) manajeman program umum, (4) manajemen akomodasi dan (5) manajeman keuangan (Lord, dan Barry Lord, 2000:47-158). McKinsey (dalam Moore, 2000:7) menyatakan bahwa pengenalan terhadap manajemen museum terstruktur dalam bentuk 7-S framework (kerangka kerja) yang terdiri dari tujuh elemen yang saling terkait: (1) shared values (nilai-nilai yang disepakati), (2) strategy (strategi), (3) staff (staf), (4) skills (ketrampilan), (5) style (gaya), (6) structure (struktur), dan (7) system (sistem) yang merupakan hal-hal penting pada manajemen yang baik (management excellent). McKinsey (dalam Sabardi, 2008:39) menyatakan bahwa keseluruhan 7-S tersebut adalah Budaya Korporat yang berintikan nilai-nilai yang disepakati bersama oleh semua anggota organisasi, kemudian dijabarkan melalui Strategy (strategi), Structure (struktur), System (sistem), Style (gaya), Staff (staf) dan Skills (ketrampilan) ke dalam program-program organisasi. Apabila 7-S tersebut merupakan pedoman, maka keserasian tercapai jika untuk semua posisi panah mengacu pada arah yang sama. Di dalam keadaan demikian organisasi tersebut
41
berposisi organized. Apabila posisinya tidak demikian disebut disorganized. Kedua istilah ini digunakan untuk mengemukakan bahwa organisasi dan struktur bukanlah hal yang identik. Organisasi mencakup konsep yang lebih luas. Dalam manajemen diperlukan proses. Proses yang harus dilakukan oleh seorang manajer, yaitu : (1) planning (perencanaan), meliputi pemilihan misi dan tujuan organisasi serta cara terbaik untuk mencapainya, (2) organizing (pengorganisasian), yaitu proses membagi pekerjaan, pengalokasian sumber daya, dan pengaturan serta koordinasi untuk melaksanakan rencana, (3) leading (kepemimpinan), adalah mempengaruhi anggota organisasi agar mereka memberikan kontribusi terhadap tujuan kelompok dan organisasi, (4) controlling (pengendalian), adalah pengukuran dan perbaikan unjuk kerja individu dan organisasi (Wiludjeng, 2007:8-9).
PLANNING Setting performance Objectives and deciding how to achieve them
ORGANIZING Arranging tasks, people,and other resources to accomplish the work
CONTROLLING THE MANAGEMENT PROCESS
LEADING Inspiring people to work hard to achieve high performance
Gambar 2.1 Fungsi Manajemen Sumber: Wiludjeng (2007:9)
Measuring performance and taking action to ensure desired results
42
2.4.2
Fungsi Museum Aktivitas berkaitan dengan museum saat ini makin meluas sebagai akibat
dari terjadinya perubahan cara pandang dan persepsi terhadap keberadaan museum. Pada awalnya aktivitas berkaitan dengan museum hanya berpusat pada koleksi, namun dalam perkembangannya aktivitas museum lebih dipusatkan pada masyarakat. Museum tidak lagi sekedar menjadi tempat penyimpanan benda langka, melainkan sebagai sebuah institusi kebudayaan yang melayani masyarakat (Magetsari, 2008). Dengan demikian, museum mulai mengembangkan dirinya menjadi institusi yang lebih terbuka bagi masyarakat.
2.4.2.1 Fungsi Pendidikan Menurut Ambrose dan Paine, (2006) perubahan aktivitas museum juga membuat misi pendidikan museum mengalami perubahan. Selama ini fungsi pendidikan museum berperan untuk menyampaikan pendidikan kepada anakanak, namun dengan perkembangan dan perubahan jaman, museum juga mesti dapat menyampaikan misi pendidikannya kepada semua lapisan masyarakat. Museum tidak lagi sekedar menjadi tempat untuk mendidik masyarakat, tetapi menjadi tempat pembelajaran, yang termasuk di dalamnya tempat di mana pengunjung dapat memperoleh pengalaman yang berharga dari perkunjungannya. Peran museologi baru kemudian mendasari peran museum sebagai suatu lembaga yang melayani masyarakat dengan memusatkan perhatian pada pengembangan hubungan timbal balik antara museum dengan masyarakat (Magetsari, 2008). Bagi dunia pendidikan, keberadaan museum tidak dapat dipisahkan dengan sejarah perkembangan manusia, budaya, dan lingkungannya.
43
Museum merupakan wahana untuk mengabdikan dan mendokumentasikan aktivitas-aktivitas maupun peristiwa-peristiwa dan benda-benda bersejarah. Agar terjadi hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara museum dengan masyarakat, pengelolaan museum perlu diatur dengan prinsip pengelolaan yang mampu menyampaikan berbagai macam informasi dan pengalaman kepada pengunjungnya. Belajar di museum merupakan salah satu cara belajar yang memberikan pengalaman langsung kepada pengunjung, karena di museum pengunjung dapat belajar pada obyek dan informasi yang ada. Benda-benda yang ada di museum merupakan benda yang dapat dilihat dan sebagian diantaranya dapat dipegang atau diraba,
sehingga pengunjung dapat mengerti secara tepat tentang yang
dipelajarinya secara langsung. Kontribusi yang diberikan oleh museum dalam fungsi pendidikan ini adalah menyediakan kesempatan bagi pengunjung untuk belajar langsung dari obyek, menstimulasi rasa keingintahuan dan ketertarikan mereka, mengenalkan cara belajar dengan menggunakan indera dan persepsi melalui pengalamannya, serta mendukung belajar secara mandiri (Beer, 1994).
2.4.2.2 Fungsi Komunikasi Menurut Eilean Hooper - Greenhill, (1996), salah satu perbedaan antara museum tradisional dengan museum baru adalah bahwa pada museum tradisional terjadi proses komunikasi searah, sedangkan pada museum baru lebih menekankan terjadinya proses komunikasi timbal balik. Jika perbedaan itu ditelusuri, maka dapat dilihat dua ciri yang terdapat pada museum tradisional,
44
yaitu: (1) penyajian koleksinya masih secara transmisi searah, bukan komunikasi dua arah, dan (2) berkonsentrasi kepada koleksi. Untuk
berkomunikasi
dengan
para
pengunjungnya,
museum
menggunakan berbagai cara, yakni menetapkan kerjasama dengan media lokal dan nasional, membangun jaringan pendukung lokal dan nasional, bisnis, pendidikan dan komunikasi budaya, dan penggunaan berbagai teknik pemasaran, Museum juga dapat membuat aktivitas program yang diorganisir oleh museum tetapi dilaksanakan di tempat umum seperti pusat perbelanjaan, sekolah, atau rumah sakit (Plant,1992). Beberapa museum menggunakan unit-unit mobil yang membawa koleksi-koleksi dan kegiatan ke perusahaan, perumahan, tempat bermain di sekolah, bazar atau konser.
Beberapa museum juga mempunyai
koleksi-koleksi pinjaman yang tersedia dari sekolah-sekolah dan lembaga lain (Greenhill,1996).
2.4.2.3 Fungsi Pembelajaran Konstruktivis Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang begitu pesat pada era globalisasi ini membawa perubahan yang radikal. Perubahan itu telah berdampak pada setiap aspek kehidupan, termasuk pada sistem pendidikan dan pembelajaran. Dampak dari perubahan yang luar biasa itu adalah dengan terbentuknya “komunitas global” yang tiba lebih cepat dari yang diperhitungkan. Revolusi informasi telah mengakibatkan dunia baru yang benar-benar menjadi kenyataan (Gasong, 2007). Dalam pandangan konstruktivis, peran edukator di museum adalah memfasilitasi cara belajar aktif melalui penanganan obyek dan diskusi, yang dihubungkan dengan pengalaman konkret. Dalam konteks edukasi
45
di museum, dengan didasarkan pada paragdima konstruktivis, museum atau edukator dapat bertindak sebagai fasilitator. Walaupun demikian, pihak museum dapat menggunakan cara didaktik sebagai aspek lain dalam hubungannya dengan publik (Greenhill, 1994).
2.4.3
Pemasaran Museum Neil., et al (1998:219-263) menyatakan bahwa dalam pemasaran museum
dan hal-hal yang terkait dalam mendukung pemasaran antara lain: (1) advertising, (2) image dan branding building, (3) public relation, (4) pemasaran langsung (direct marketing and sales). Advertising dapat dikatakan sebagai suatu representasi non-personal dalam bentuk pembayaran dan promosi produk, jasa, ide atau organisasi oleh sponsor tertentu. Advertising atau periklanan dapat menambahkan nilai usaha-usaha suatu museum dalam beberapa hal, yaitu: sebagai suatu pembangunan image museum dalam waktu jangka panjang (institutional advertising), membangun suatu koleksi khusus (product advertising), desiminasi informasi tentang even khusus (classified advertising atau pengumunan tentang pembentukan anggota baru (promotional advertising) yang dapat dijabarkan sebagai berikut ini:
2.4.3.1 Periklanan Museum memasang iklan pada media cetak (koran) dan majalah pada billboard, radio dan sewaktu-waktu memasang di televisi. Museum juga mencetak brosur, mail letters (surat elektronik), melakukan komunikasi melalui telepon untuk berkomunikasi dengan anggota. Periklanan merupakan media komunikasi
46
memberikan mereka yang memasang iklan memberikan mereka keuntungan: mendapatkan sebuah kontrol tingkat tinggi dalam isi pesan dan media yang dipilih, begitu pula dengan pengawasan terhadap penjadwalan terhadap pesan (iklan). Pada kenyataannya periklanan merupakan pemberitahuan kepada umum tentang standar dan legitimasi dari produk yang diiklankan. Pada museum periklanan bisanya ditangani oleh marketing personel yang bekerjasama dengan agen periklanan. Dalam pengembangan program periklanan yang efektif melibatkan beberapa hal: (1) menetapkan tujuan daripada iklan, (2) menentukan anggaran periklanan, (3) merancang pesan (disigning the message), (4) menentukan media, (5) menentukan waktu pemunculan pada media dan (6) mengevaluasi keefektifan dari iklan tersebut.
2.4.3.2 Pencitraan dan Membangun Branding Sebuah Museum atau perusahaan lainnya dapat menentukan piranti apa yang dipergunakan untuk melakukan komunikasi dan promosi sebaiknya memiliki sebuah pencitraan atua pesan tertentu tentang suatu produk, jasa, pengalaman yang akan dipomosikan. Citra ini harus merupakan sesuatu yang akan mendapat tanggapan dari pelanggan, menarik atau menimbulkan suatu keinginan membeli atau berpartisipasi di dalamnya. Citra suatu produk, jasa atau perusahaan (yang biasa disebut dengan brand image) merupakan suatu cara untuk menarik perhatian dan membangun kepercayaan terhadap produk tersebut. Dalam membangun pencitraan tersebut yang bermanfaat sebagai piranti komunikasi dan informasi, tercakup di dalamnya suatu simbol visual atau logo dan pesan/message, yang dituangkan ke dalam sebuah slogan atau tag line yang
47
secara keseluruhan dapat menarik perhatian. Image tersebut sebaiknya dikemas secara sederhana, langsung, menarik, penting dan mudah diingat.
2.4.3.3 Kehumasan Pemasaran dengan kehumasan atau marketing Public Relations (PR) merupakan proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program yang mendorong pembelian dan kepuasan pelanggan melalui kredibilitas komunikasi informasi dan kesan yang mengidentifikasikan produk dan kepentingan, keinginan, kepedulian, dan ketertarikan dari masyarakat. Tugas public relations adalah untuk membentuk, menjaga, atau mengubah perilaku masyarakat terhadap produk. Dapat dikatakan bahwa public relations merupakan sebuah fungsi pengelolaan untuk melanjutkan dan merancang suatu pencitraan melalui suatu cara bagaimana perusahaan mendapatkan keunggulan dan memelihara pengertian simpati dan dukungan dari para pelanggan. Seorang PR dalam museum, berhadapan langsung dengan anggota, donatur, dimana museum sangat tergantung dalam pemerolehan pendapatan (income). Tugas-tugas seorang PR pada museum antara lain: (1) sebagai image PR terkait dengan revitalisasi citra museum dan membangun citra dari kepercayaan pelanggan. (2) routine PR. Seorang PR memerlukan rutinitas usaha dari hari ke hari untuk mempromosikan museum dan koleksinya, pamerannya, event-eventnya, dan programnya. Memperkenalkan produk baru dengan cara menulis artikel di media tentang pameran yang akan datang. Merupakan hal yang penting untuk membangun daya tarik penjualan tiket sebelum pameran berlangsung serta WOM (word of mouth) sebagai suatu cara untuk
48
menyebarluaskan berita tentang pameran yang akan dilaksanakan. (3) crisis PR bertujuan untuk memproteksi museum dan pengelolaannya, staff, keanggotaan secara luas dari publisitas yang dapat mengurangi pencitraan, reputasi dan dukungan
terhadap
museum.
Hall
tersebut
membantu
museum
untuk
mengantisipasi dan dapat menangani secara strategis dengan media stakeholders (pemangku kepentingan) bila suatu masalah serius muncul.
2.4.3.4 Pemasaran Langsung Pemasaran dilakukan melalui surat elektronik, tele-marketing, dan personal contact sering lebih efektif dalam memupuk kerja sama dengan patron, donatur, anggota dan pengunjung. Penjualan melalui komunikasi personal telah berhasil dengan baik dilakukan dari waktu ke waktu, dan dengan piranti telekomunikasi, surat elektronik dna berbagai aplikasi dari database pelanggan, jangkauan teknik pemasaran langsung hampir tak terbatas. Pemasaran langsung memberikan beberapa keuntungan dengan berbagai modus komunikasi, antara lain: (1) prospect selectivity, (museum dapat mengirim sebuah surat kepada bukan pengunjung, kepada pengunjung yang sering datang, surat lainnya kepada para pendonor baru dan masih ada
juga
pendonor-pendonor lainnya),
(2)
personalization, (museum dapat menyesuaikan pesan-pesan dari orang atau kelompok yang berbeda), (3) relationship building, (museum dapat membangun hubungan yang lebih kuat dengan setiap pengunjung dan anggota), (4) timing, (museum dapat merancang waktu pemasaran langsung secara lebih meyakinkan dibandingkan dengan iklan untuk menjangkau prospek pada momen terbaik), (5) attention, (materi pemasaran langsung museum menerima keterbacaan lebih
49
tinggi dibandingkan dengan iklan karena hal tersebut ditujukan langsung kepada prospek yang lebih tertarik), dan (6) research opportunities, (museum dapat menguji alternatif media pemasaran langsung dan pesan-pesan untuk mengetahui pendekatan yang paling efektif). Di samping teori pemasaran dari Kotler dan Kotler (1998) tentang Museum Strategy and Marketing, tulisan Bradford (dalam Moore, 2000:41-50) tentang a new framework for museum marketing juga dipakai acuan teori dalam penelitian ini, menyatakan bahwa terdapat beberapa katagori yang penting dalam kajian museum dan menetapkan ciri-ciri yang penting bagi kurator yang berhasil. Katagori tersebut mengacu pada tiga orientasi penting dalam aktivitas museum yang berhasil, antara lain: (1) pengelolaan museum, (2) reputasi museum, dan (3) hubungannya dengan patron. Istilah patron dipergunakan untuk seseorang yang menyediakan dana bagi museum. Hal ini termasuk pemerintah setempat, grant awarding body atau a paying visitor. Salah satu ciri dari katagori tersebut adalah pemisahan antara siapa yang menetapkan reputasi museum (audience) dari mereka yang menyediakan dana (pemerintah, sponsor, funding agencies, dan benefactors). Dalam membangun reputasi dengan pengunjung sangatlah penting. Hal ini tidak perlu untuk meyakinkan pendanaan dan kesuksesan finansial khususnya pada museum yang tidak mengenakan tiket masuk. Hal ini merupakan kontras langsung terhadap consumer good sector di mana reputasi yang baik di antara pelanggan dan penjualan yang tinggi merupakan pondasi bagi kesuksesan finansial. Bagi museum-museum yang dikaji, kesuksesan finansial paling tidak
50
dalam hal viabilitas sangat tergantung terhadap kelompok patron. Hal ini berarti museum memahami pentingnya untuk menjaga hubungan yang positif dengan para patron.
Grant Awarding Bodies
Tourist Board
Trustees
Media Management of the Relationship with Patrons
Local Authority y
Management of the Museum Reputation Visitors
Sponsors Curator
Objectives
Management of the Museum
Staff
Local Community
Exhibition Programm
Collections
Gambar 2.2 Diagram Pengelolaan Museum Integratif Sumber : Bradford (dalam Moore, 2000:47)
Diagram pada Gambar 2.2 di atas menunjukkan pengelolaan museum yang baik beserta alur pengelolaan, patron, kurator, serta awarding bodies, yang juga menunjukkan bahwa pengelolaan masing-masing bagian: (a) dalam hal pengelolaan hubungan dengan patron hal ini sangat terkait dengan pemerintah setempat (local authority), para sponsor yang menyumbangkan dananya, grand awarding bodies serta trustees yang merupakan patron daripada museum harus tetap dikelola dengan baik sehingga museum memiliki cukup dana untuk operasional keberlanjutannya, (b) dalam hal pengelolaan reputasi museum terkait
51
dengan media, Tourism Board, pemerintah setempat dan pengunjung; dalam pengelolaan ini media memegang peranan penting baik di bidang promosi atau di bidang pencitraan didukung oleh lembaga pariwisata serta masyarakat setempat sehingga keberlanjutan kunjungan pengunjung selalu ada baik berupa repeated visitors maupun pengunjung baru, (c) pengelolaan museum tergantung pada koleksi, program eksibisi, tujuan dan staf. Semua bagian ini saling mendukung untuk pencapaian kesuksesan pengelolaan
sebuah museum. Kurator seperti
tertera pada diagram di depan memegang peranan penting baik dalam pengelolaan hubungan dengan patron, pengelolaan reputasi museum maupun pengelolaan museum itu sendiiri.
2.4.4
Daya Tarik Wisata Daya tarik wisata pada awal perkembangan pariwisata di Indonesia adalah
untuk mengistilahkan objek wisata, namun setelah Peraturan Pemerintah (PP) pada tahun 2009 diterbitkan, kata objek wisata selanjutnya tidak digunakan lagi untuk menyebut kata objek wisata yang merupakan suatu daerah tujuan para wisatawan. Untuk memahami pengertian dan makna dari kata daya tarik wisata tersebut, berikut dijabarkan pengertian daya tarik wisata dari beberapa sumber berikut ini: Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009, daya tarik wisata bisa dijelaskan sebagai segala sesuatu yang mempunyai keunikan, kemudahan, dan nilai yang berwujud keanekaragaman, kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau kunjungan para wisatawan. Sedangkan menurut Yoeti (2006:164), menyatakan bahwa daya tarik wisata
52
adalah segala sesuatu yang menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk mengunjungi suatu daerah tertentu. Begitu juga dengan Pendit (2003: 35), menyatakan bahwa daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menarik dan mempunyai nilai untuk dikunjungi dan dilihat. Pada dasarnya, daya tarik wisata dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yakni daya tarik wisata alamiah, dan daya tarik wisata buatan. Daya tarik wisata alamiah adalah daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang terdiri dari keadaan alam, flora dan fauna, sedangkan daya tarik wisata buatan merupakan hasil karya manusia yang terdiri dari museum, peninggalan sejarah, seni dan budaya, wisata agro, wisata buru, wisata petualangan alam, taman rekreasi, dan kompleks hiburan. Lebih lanjut Pendit (2003) juga menyatakan bahwa terdapat daya tarik wisata lainnya yakni minat khusus yang merupakan suatu hal yang menjadi daya tarik sesuai dengan minat dari wisatawannya seperti berburu, mendaki gunung, menyusuri gua, industri dan kerajinan, tempat perbelanjaan, sungai air deras, tempat-tempat ibadah, tempat ziarah dan lainnya. Paparan beberapa pengertian yang diberikan di atas tentang daya tarik wisata, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan daya tarik wisata adalah segala sesuatu disuatu tempat yang memiliki keunikan, keindahan, kemudahan dan nilai yang berwujud keanekaragaman kekayaan alam maupun buatan manusia yang menarik dan mempunyai nilai untuk dikunjungi dan dilihat oleh wisatawan. Lebih lanjut tentang faktor-faktor yang dapat menjadi daya tarik wisata, menurut Pitana dan Gayatri, (2005: 56) mengidentifikasikan terdapat 10 faktor yang menjadi faktor penarik suatu daerah menjadi daya tarik wisata, yaitu:
53
(1) iklim suatu daerah, (2) gencarnya usaha promosi, (3) produk barang maupun jasa pada suatu daerah, (4) even-even khusus, (5) insentif potongan harga dan sejenis, (6) ajakan teman, (7) mengunjungi kerabat dan teman, (8) daya tarik wisata, (9) budaya, dan (10) lingkungan alamiah maupun buatan manusia. Dalam kaitannya dengan faktor-faktor yang menentukan wisatawan untuk membeli atau mengunjungi daya tarik wisata, Ariyanto (2005), menyatakan ada lima faktor yang menentukan seseorang untuk membeli jasa atau mengunjungi objek wisata, yaitu: (1) lokasi, (2) fasilitas, (3) citra atau image, (4) harga atau tarif, dan (5) pelayanan. Jika melihat pengertian dan pendapat di atas, mengindikasikan bahwa tidak semua tempat yang ada di suatu kawasan wisata dapat dikelompokkan sebagai daya tarik daerah tujuan wisata. Terdapat syarat-syarat yang mesti dapat dipenuhi untuk menjadi daya tarik wisata pada tujuan wisata. Daya tarik daerah untuk tujuan wisata akan mampu menarik wisatawan untuk mengunjunginya jika memenuhi syarat-syarat untuk pengembangan daerahnya, Maryani (1991:11) menyatakan syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: [1] Daya tarik yang dapat disaksikan (what to see), hal ini mengisyaratkan bahwa pada daerah harus ada sesuatu yang menjadi daya tarik wisata, atau suatu daerah mestinya mempunyai daya tarik yang khusus dan atraksi budaya yang bisa dijadikan sebagai hiburan bagi wisatawan. Apa yang disaksikan dapat terdiri dari pemandangan alam, kegiatan, kesenian, dan atraksi wisata. [2] Aktivitas wisata yang dapat dilakukan (what to do), hal ini mengisyaratkan bahwa di tempat wisata, menyaksikan sesuatu yang menarik, wiatawan juga
54
mesti disediakan fasilitas rekreasi yang bisa membuat para wisatawan betah untuk tinggal lebih lama di tempat tujuan wisata. [3] Sesuatu yang dapat dibeli (what to buy), hal ini mengisyaratkan bahwa tempat tujuan wisata mestinya menyediakan beberapa fasilitas penunjang untuk berbelanja terutama barang souvenir dan kerajinan rakyat yang bisa berfungsi sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ketempat asal wisatawan. [4] Alat transportasi (what to arrived), hal ini mesti mampu dijelaskan bahwa untuk dapat mengunjungi daerah daya tarik tujuan wisata tersebut, kendaraan apa yang digunakan dan berapa lama wisatawan tiba ke tempat tujuan wisata yang akan dituju. [5] Penginapan (where to stay), hal ini menunjukkan bagaimana wisatawan akan dapat tinggal untuk sementara selama mereka berlibur. Untuk menunjang keperluan tempat tinggal sementara bagi wisatawan yang berkunjung, daerah tujuan wisata perlu mempersiapkan penginapan-penginapan, seperti hotel berbintang atau hotel tidak berbintang dan sejenisnya.
2.4.5
Museum sebagai Daya Tarik Wisata Leiper (2006:17) membahas tentang museum seni sebagai daya tarik
wisata menerapkan teori yang berkaitan dengan : (1) struktur dan design fisik, (2) sebab akibat (causation), (3) proses, (4) evolusi, (5) herarki dan (6) keaslian, yang dijabarkan sebagai berikut ini: 1) Struktur dan Design Fisik: terkait dengan struktur dan design fisik sebuah daya tarik wisata terdapat tiga buah komponen penting yang perlu diperhatikan antara lain: (1) nucleus, (2) inviolate belt dan (3) zone of closure.
55
Pertama, komponen nucleus terkait dengan konseptualisasi daya tarik wisata sebagai unsur nucleusnya adalah pusat perhatian utama wisatawan yang menjadi basis berkenaan dengan kreasi mereka atau pengalaman budayanya. Yang menjadi nucleus dalam museum seni adalah koleksi yang dipajang yang merupakan refleksi yang dihadapkan pada kenyataan yang tidak saja menyangkut barang seni yang dipajang dalam museum karena rekreasi wisata dan pengalaman budaya dapat difokuskan dalam fenomena yang lain. Dalam sebuah museum sebagai daya tarik wisata tidak saja terfokus pada barang yang dipajang tetapi terkait dengan hal-hal yang ada di sekeliling lokasi yang disebut dengan inviolate belt di mana secara keseluruhan nucleus beserta inviolate beltnya merupakan satu zone of closure.
Misalnya di
Museum Neka, sebagai elemen nucleus dalam sistem daya tariknya adalah ketika seorang wisatawan berfikir tentang tempat untuk dikunjungi saat mereka datang ke sana masuk ke lokasi melihat kebun, bangunan, koleksi seni dan stafnya dapat menjadi dasar pengalaman bagi wisatawan. Nucleus yang lain adalah keseluruhan koleksi seni pada museum tersebut. Nucleus terdiri dari bagian-bagian kecil seperti penataan barang seni berdasarkan lukisan tradisional Bali dalam satu ruangan, lukisan gaya Young Artists, lukisan pelukis ternama I Gusti Nyoman Lempad dalam satu ruangan, dan lukisan pelukis terkenal seperti Abdul Azis. Museum sebagai suatu daya tarik dapat memikat wisatawan yang menjadi elemen utama dalam sejenis daya tarik terjadi dalam dua arah: pertama, wisatawan sering memperhatikan wisatawan lainnya dan tertarik pada suatu perilaku atau penampilan mereka; kedua,
56
percakapan yang sering dimulai dengan pembicaraan antara orang asing yang mengunjungi satu museum khususnya diawali dengan perhatian terhadap lukisan tertentu yang istimewa. Kedua, Inviolate belt dalam daya tarik wisata merupakan hal-hal yang ada di sekeliling masing-masing nucleus; hal-hal ini harus dimanfaatkan sebagai sesuatu yang efektif. Beberapa jenis inviolate belt dan fungsi gandanya dapat dilihat pada museum; salah satu fungsinya adalah menjaga nucleus dan yang lainnya membantu wisatawan untuk mendapatkan pengalaman, misalnya: lukisan yang memiliki nilai tinggi harus dilindungi dalam satu museum dan memerlukan beberapa jenis pengamanan sehingga lukisan tersebut terhindar dari kerusakan dan pencurian. Ketiga, Zone of closure
dalam daya tarik wisata merupakan
komponen-komponen daya tarik wisata di luar inviolate belt yang berfungsi sebagai lokasi dan waktu yang cocok untuk aktivitas komersial dan pendukung fasilitas yang digunakan oleh pengunjung. Seperti di Museum Neka, yang menjadi zone of closure adalah yang menghubungkan beberapa tempat seperti lobi dengan meja informasi, tempat yang berisi buku-buku dan foster yang dijual, toko, teras dari cafe, public toilet dan tempat parkir. Tidak satupun dari bagian-bagian ini penting bagi wisatawan untuk dialami, tetapi bagian-bagian ini dapat memberikan kontribusi terhadap pengalaman wisatawan secara keseluruhan.
2) Sebab Akibat (Causation) dalam Daya Tarik Wisata: wisatawan akan tertarik pada suatu tempat jika ada fenomena yang memotivasinya. Motivasi
57
memerlukan penerimaan informasi yang akurat atau yang benar yang bereaksi secara positif pada keperluan individu dan menimbulkan motivasi. Daya tarik suatu tempat dapat menimbulkan pengaruh pada calon wisatawan yang akan mengunjungi suatu tempat, misalnya: seseorang yang ingin mengunjungi satu museum tentunya sebelumnya sudah memiliki sekurang-kurangnya informasi yang menarik tentang museum tersebut. Jika seseorang ingin berkunjung ke the Blanco Renaissance Museum tentunya ingin mengetahui lebih detail dan secara mendalam tentang gaya lukisan erotis dari pelukisnya.
3) Proses dalam Daya Tarik Wisata: Daya tarik tidak pernah terjadi secara harafiah dalam konteks pariwisata, sebagai gantinya daya tarik merupakan proses yang mengakibatkan wisatawan tertuju ke arah atau mengarah ke suatu necleus atau obyek utama. Suatu proses daya tarik diakibatkan oleh tiga elemen: seorang pengunjung (a tourist), a sight, dan a marker (merupakan informasi tentang the sight yang diterima oleh seorang wisatawan). Hal ini terkait dengan proses informasi merupakan hal yang penting dalam daya tarik wisata. Kemudian sight menjadi sebuah marker yang merupakan tindakan informasi tentang suatu kota, misalnya suatu museum, merupakan site dari tempat tersebut.
4) Evolusi dalam Daya Tarik Wisata: Evolusi dalam daya tarik wisata umumnya menyangkut lima fase: naming (penamaan), framing (pembingkaian), elevation (penempatan obyek pada satu posisi sehingga lebih gampang untuk diketahui), shrinement (suatu proses dimana situs dikenal sebagai suatu shrine
58
atau peninggalan suci) dan duplication (menduplikasikan dalam satu reproduksi dalam replikasi, fotografi, poster, kartu pos atau model). Fase-fase tersebut terakumulasi sehingga pada fase ke lima sebuah daya tarik sudah memiliki nama, kerangka, elevation, shrine dan duplication.
5) Daya Tarik Terpadu dan Herarkinya: Seorang wisatawan mungkin muncul dalam benaknya dari rumah yang dipusatkan dalam satu pengalaman terfokus pada daya tarik tertentu. Lazimnya ketika seorang wisatawan memilki pikiran multi daya tarik dapat dilakukan satu urutan dari yang utama, sekunder, tersier yang relevan untuk wisatawan perorangan atau populasi dalam satu arus. Daya tarik pertama mempengaruhi keputusan wisatawan untuk mengunjungi tempat tersebut di mana nucleus berada. Hal ini memerlukan informasi yang diterima oleh seorang wisatawan yang berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu menstimulasi motivasinya sehingga membuat keputusan untuk pergi ke suatu tempat.
6) Keaslian dalam Daya Tarik Wisata: Reputasi museum seni berkaitan dengan keaslian
adalah
penting
dalam
mendukung
reputasi
museum
dan
keberhasilannya. Di museum, wisatawan memperoleh pengetahuan, kesan sejarah, kultur atau fenomena alam sebuah negara atau daerah yang dikunjungi. Museum adalah sumber yang efisien untuk memuaskan tentang perlunya belajar sesuatu mengenai tempat yang dikunjungi khususnya budaya dan hal-hal lain yang diperlukan untuk pengalaman yang otentik. Reputasi sebuah museum sangat dekat dengan perannya sebagai tolok ukur keaslian
59
(arbitrator of authentic city). Seni yang dianggap berharga untuk ditempatkan dalam satu museum biasanya dipertimbangkan keasliannya atau asli dari beberapa segi: keaslian gaya, mutu intelektual dan diciptakan oleh senimannya sendiri.
2.4.6
Peran Museum dalam Kluster Industri Pariwisata Budaya Menurut
Tien (2003) pada awalnya museum didirikan untuk tujuan
pendidikan, pembelajaran, koleksi, konservasi, penelitian dan kesenangan (enjoyment), namun saat ini telah mengalami perubahan peran di bidang ekonomi yang menjadi lebih ditonjolkan. Beberapa museum telah menyadari potensinya untuk mendapatkan nilai tambah bagi masyarakat dengan menarik wisatawan yang tertarik dengan budaya (cultural tourist) karena budaya merupakan faktor kunci dalam kompetisi antara kota untuk menarik wisatawan yang ditekankan pada bagian penting jasa pelayanan ekonomi (service-based economy). Fenomena pariwisata budaya telah banyak menarik perhatian dan dapat dikatakan bahwa pariwisata budaya sebagai satu sektor yang sedang tumbuh pada industri pariwisata (tourism industry). Dengan meningkatnya permintaan pariwisata budaya yang sedang berkembang maka museum merupakan mitra penting dalam pariwisata dan lebih ditekankan pada fungsingya sebagai leisure. Untuk meningkatkan kunjungan, museum dapat bekerjasama dengan industri pariwisata dengan berbagai cara: melakukan kerjasama dengan institusi budaya lainnya, leisure venue, dan kabupaten dengan mendukung festival daerah. Sehingga dari sudut ekonomi museum dapat dikatakan sebagai produk budaya yang menarik wisatawan.
60
Museum memberikan dampak ekonomi dan sebagai pusat dari pertumbuhan ekonomi baru di beberapa kota, serta sebagai institusi budaya yang menjadi katalisator bagi pembangunan kota dan peningkatan yang signifikan dari kekuatan ekonomi daerah. Manfaat ekonomi yang didatangkan oleh sektor museum pada ekonomi lokal saat ini mendapat perhatian dan museum dapat meminta bantuan kepada umum (public support) dan subsidi dari pemerintah daerah. Manfaat ekonomi (economic benefit) ini juga menarik perhatian para pengelola museum dan orang-orang profesional di bidang ekonomi. Myerscough et. al. (dalam Tien, 2003) menyatakan museum sebagai institusi budaya merupakan dasar perkembangan ekonomi di banyak kota dan sangat penting melakukan promosi pada bidang industri pariwisata, seperti diketahui bahwa wisatawan yang berkunjung ke museum di London yaitu 3 dari 10 wisatawan berkunjung ke museum. Nilai ekonomi dari industri budaya seperti institusi seni dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan menyediakan nilai yang memacu perkembangan pariwisata dan pembangunan daerah. Dalam hal ini museum sebagai bagian pokok dari industri pariwisata dapat mendorong wisatawan membelanjakan uangnya lebih banyak. Manfaat ekonomi yang terkait langsung terhadap pariwisata budaya mereka lebih berpendidikan dan memiliki pendapatan lebih tinggi dibandingkan wisatawan lainnya. Hal ini berarti lebih banyak uang yang dibelanjakan per kunjungan dengan masa tingal rata-rata lebih lama. Bila wisatawan pergi ke suatu daerah untuk mengunjungi museum-museum mereka biasanya makan, minum dan menginap. Museum juga dapat menarik wisatwan dan para pelancong yang hanya menghabiskan waktu sehari ke daerah
61
tujuan wisata dan membelanjakan uang untuk tiket masuk, hotel, berbelanja, dan restoran sehingga dapat meningkatkan perkembangan ekonomi di daerah tersebut. Manfaat positif pada ekonomi daerah disebut dampak ekonomi, besarnya dampak ini dapat diteliti sehingga memberikan fakta yang kuat untuk meyakinkan publik untuk memberikan dukungan pada museum tersebut. Dampak ekonomi dapat didefinisikan sebagai jumlah tambahan pengeluaran yang didapat pada satu kota yang dapat secara langsung dikaitkan dengan even; untuk membuktikan tentang dampak ekonomi harus dibuktikan bahwa museum dapat menarik jumlah kunjungan yang lebih dan lebih banyak uang yang dibelanjakan oleh wisatawan di daerah tersebut. Pengeluaran tahap kedua, misalnya ketika restoran yang ada di museum membeli bahan-bahan dari suplayer setempat disebut dengan dampak tidak langsung, sedangkan pegawai museum membelanjakan gajinya di daerah tersebut disebut dampak sampingan (induced impact). Forter (dalam Tien, 2003) memperkenalkan istilah kluster sebagai suatu kelompok secara geografis yang terdiri dari perusahaan-perusahaan yang secara berinterkoneksi dan institusi terkait di satu bidang tertentu. Kerjasama seperti ini membangun struktur yang stabil dan efisiensi serta fleksibilitas untuk ekonomi seperti halnya dalam satu kluster, beberapa perusahaan-perusahan atau institusiinstitusi dapat dipacu untuk menjadi lebih kompetetitif sehingga terbangun kompetesi ekonomi baru. Komponen-komponen yang menentukan terbentuknya sebuah kluster termasuk pemilihan tempat, tingkat keterlibatan masyarakat lokal, perbaikan di bidang kualitas dari kelompok tersebut dan peningkatan kerjasamanya. Daerah-daerah yang menerapkan kluster budaya yang terkenal
62
memiliki label, mixed use area di kota yang dapat memiliki konsentrasi tinggi fasilitas budaya sebagai daya tarik khusus. Adanya kluster budaya di kota-kota besar memudahkan institusi tersebut untuk mendapatkan peningkatan ekonomi; biaya per unit dapat ditekan bila institusi-institusi tersebut berbagi sumber daya tarik. Kluster budaya merupakan suatu revitalisasi strategis ekonomi jika semua institusi bekerjasama. Tujuan kluster budaya secara umum adalah untuk merevitalisasi suatu daerah di kota dengan menyediakan fasilitas seni dan aktivitas untuk penduduk dan wisatawan. Dampak dari kluster budaya sebagai berikut: kota-kota yang indah dan hidup, menyediakan lapangan kerja, menarik penduduk dan wisatawan ke kota tersebut, melengkapi antara usaha-usaha terkait, meningkatkan nilai properti, memperluas pendapatan pajak, menarik karyawan yang berpendidikan dan berkontribusi yang inovatif pada lingkungan. Mekanisme kerjasama kluster budaya dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu dengan packaging, promosi dan kemitraan (partnership). Misalnya kolaborasi antara beberapa museum dan sektor lain seperti contoh yang terjadi di di Taipe, Taiwan: Museum Shung Ye Aborigin Formosa dengan National Palace Museum: harga tiket masuk untuk National Palace Museum NT $ 160, dan 150 untuk Shung Ye Museum Aborigin Formosa. Mereka melakukan kerjasama yaitu satu tiket masuk yang berlaku untuk dua museum dengan harga lebih murah yitu NT $ 245. Dalam hal ini pengunjung merasa mendapat harga yang lebih murah untuk dua tempat dibandingkan dengan membeli tiket masuk masing-masing. Hasil dari kerjasama ini dapat meningkatkan kunjungan ke kedua museum tersebut sebesar 17 % dari
63
jumlah pengunjung dari tiga bulan yaitu dari bulan April sampai Juni 2008 dibanding pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pada saat penjajagan awal, peneliti menemukan masing-masing museum yang ada di Ubud menerapkan single entry admision begitu pula dengan cultural attraction lainnya seperti: Wayang Puppet Show, Legong Dance in Ubud Palace, Topeng Dance, Painting and Carving Practice, Traditional Busket Weaving in Puri Lukisan Museum, Bali Cooking Lesson in Paon Bali Class, dan Casa Luna Cooking School in Casa Luna Restaurant, belum ada ya membuat kolaborasi atau kerjasama secara kluster. Museum-museum di Ubud dapat melakukan kerajasama secara kluster budaya dengan lembaga-lembaga yang mengelola cultural atraction, sehingga dapat dilakukan satu museum dengan museum lainnya atau dengan daya tarik seperti Puppet Shadow Show dan Balinese Cooking Lesson dalam satu packaging, kemitraan dan promosi, sehingga dapat melakukan kerjasama dengan menggunakan satu tiket masuk untuk dua museum atau dengan daya tarik budaya lainnya, sehingga wisatawan dapat merasakan harga tiket masuk lebih murah dan mendapatkan manfaat yang lebih bervariasi; kunjungan bisa meningkat dan lama tinggal (length of stay) lebih lama serta pengeluaran (expenditures) wisatawan akan menjadi lebih banyak. Hal ini akan dapat memberikan implikasi terhadap dampak ekonomi langsung (direct economy impact), dampak ekonomi tidak langsung (indirect economy impact) dan dampak ekonomi sampingan (induced economy impact).
64
2.4.7
Museum dalam Pariwisata Budaya Sektor pariwisata merupakan sektor bisnis jasa yang paling rentan
terhadap perubahan kondisi sosial, ekonomi, politik dan keamanan, yang sifatnya tidak saja lokal atau regional namun bahkan sudah mengglobal menyebabkan kunjungan wisatawan berfluktuasi. Adat istiadat dan Budaya Bali yang dijiwai oleh
Agama
Hindu
merupakan kekuatan
yang cukup
penting dalam
pengembangan pariwisata, mengingat pariwisata yang dikembangkan di Bali adalah pariwisata budaya. Terkait dengan pariwisata budaya, Rosenfeld (2002:1-5) menyatakan bahwa yang termasuk dalam konsep cultural and heritage tourism meliputi berbagai industrial cultural district, institutional cultural district, museum cultural district, dan metropolitan cultural district.
Museum yang termasuk
dalam cultural district biasanya merupakan suatu lokasi yang terletak pada kota sejarah (historical downtown) dengan keramaian penduduk. Kebijakan pemerintah diperlukan untuk membentuk district ini karena mereka tergantung pada zona dan perencanaan kebijakan. Pembentukan suatu museum cultural district akan menimbulkan keperluan adanya jasa hotel, kerajinan, dan jasa budaya lainnya. Demikian pula halnya dengan cultural district lainnya, suatu masyarakat akan menyadari berbagai konsumsi luar yang diminati dalam skala ekonomi dan jangkauan waktu serta jaringan eksternal. Di beberapa daerah, masyarakat memiliki museum-museum kecil yang merupakan tantangan dalam mewujudkan suatu museum cultural district dan merupakan suatu yang lebih besar dibandingkan kepemilikan secara individu. Terkait dengan pernyataan di atas,
65
Ubud sebagai suatu daerah tujuan wisata yang merupakan suatu desa yang penuh dengan kegiatan budaya, terdapat berbagai museum sebagai daya tarik wisata, diantaranya: Museum Blanco, Museum Puri Lukisan, ARMA, Museum Rudana, dan Neka Art Museum. Taylor (2004:417-433) menyatakan bahwa warisan budaya sangat terkait dengan kepariwisataan, pemanfaatn warisan budaya (heritage) sebagai suatu hal yang berkelanjutan bukan semata-mata untuk kunjungan wisatawan, di sini yang dimaksudkan adalah tidak mengeksploitasi warisan budaya secara berlebihan dan lebih ditekankan pada konservasi dan pelestarian. Seperti misalnya: Candi Borobudur dengan cultural landscape setting, Muang Boran Floating Market di Bangkok yang merupakan refleksi kehidupan tradisional bangsa Thai sepanjang aliran sungai. Situs-situs ini dilestarikan dan dikonservasi bukan semata-mata untuk kunjungan wisatawan namun lebih ditekankan pada konservasi dan pelestarian yang dilindungi oleh dunia (UNESCO).
Dengan adanya upaya
oraganisasi perlindungan dunia terhadap situs heritage yang diberikan aturanaturan pemanfaatn secara global dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat tentang pemahaman pentingnya melakukan konservasi terhadap nilai-nilai situs warisan budaya sebagai suatu refleksi sejarah masa lalu yang diwariskan oleh nenek moyang bangsa tersebut. Hal-hal yang terkait dengan penentuan suatu situs yang dilindungi UNESCO serta tertuang dalam piagam harus memiliki arti penting mengenai nilai-nilai generasi masa lalu, saat ini, atau masa mendatang yang meliputi: (a) nilai seni untuk melakukan persepsi sensori; (b) memiliki nilai sejarah terkait dengan kejadian sejarah, tokoh sejarah, kejadian sejarah dan fase-
66
fasenya; (c) memilki nilai sosial yang kualitasnya terkait dengan suatu tempat yang diperuntukkan untuk kegiatan spritual, politik, nasional atau budaya lainnya; (d) memiliki nilai ilmiah tergantung dengan pentingnya data, kelangkaan, kualitas, keterwakilan dan kemampuan untuk memberikan kontribusi informasi penting. Terkait dengan penelitian tentang museum yang merupakan suatu konservasi dan pelestarian keberlanjutan dapat menjadi suatu pedoman dalam pelestarian sejarah masa lalau tentang karya-karya seni pada kurun waktu tertentu yang merefleksikan kekhasan jamannya. Ardiwidjaja (2010:101-115) menyatakan bahwa untuk mewujudkan keberlanjutan museum diperlukan sistem informasi yang tepat tentang museum dalam pemanfaatnnya. Museum sebagai pusat informasi dan pendidikan budaya bagi masyarakat merupakan bagian dari preservasi dan konservasi, pengumpulan dan pengamanan warisan alam dan budaya, penyimpanan dokumentasi dan penelitian ilmiah, penyebaran dan pemerataan ilmu untuk umum, pengenalan dan penghayatan kesenian, pengenalan budaya antar daerah dan bangsa, visualisasi alam dan budaya, dan cermin pertumbuhan peradaban umat manusia. Di Indonesia, pemahaman terhadap museum jika dibandingkan dengan di negaranegara maju, sangat berbeda, di mana di Indonesia museum secara umum memberi kesan hanya sebagai penyimpanan benda-benda bersejarah saja. Agar museum memiliki peran maksimal, maka perlu ditata secara baik tanpa mengabaikan peran pendidikannya.
67
TOP LEVEL Informasi internal dan eksternal Keputusan jangka panjang Analisis masa lalu-kini Proyeksi ke depan
ESS
STRATEGIC MANAGEMENT
DSS
MIS
MID LEVEL Informasi internal, sedikit eksternal Analisis detail masa lalu-kini Keputusan jangka pendek
TACTICAL MANAGEMENT
TPS LOW LEVEL Informasi aktual dan detail Hanya informasi internal Keputusan operasional Topik spesifik
OPERATIONAL MANAGEMENT
Gambar 2.3 Level Pengelolaan dan Hubungan Sistem Informasi Sumber: Szymansky et al, (1991) Sejalan dengan perkembangan teknologi dan informasi seperti alat yang digerakkan dengan komputer, presentasi audio visual, pajangan video secara interaktif akan membuat aset basis data koleksi menjadi lebih menarik. Sistem informasi yang dapat dimanfaatkan pada museum meliputi: (a) sistem pengelolaan dokumen, (b) sistem informasi publik, dan (c) sistem otomasi perkantoran (Lihat Gambar 2.3). Daftar singkatan dalam Gambar 2.3 di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut: (a) ESS= Executive Support System (Sistem Pendukung Eksekutif) merupakan sistem informasi yang mendukung pengelolaan tingkat pimpinan dengan informasi strategis yang mencakup perencanaan, pemantauan dan anlisis. (b) DSS=Decision Support System (Sistem Pendukung Keputusan) merupakan sistem yang terkait dengan sistem informasi eksekutif dan sistem pakar.
68
(c) MIS= Management Information System (Sistem Informasi Pengelolaan) merupakan sistem informasi yang mendukung pengelolaan tingkat teknis dan taktis dengan informasi pemecahan masalah yang terstruktur, terjadwal dan terkait erat dengan proses usaha dan kerja. (d) TPS= Transaction Process System (Sistem Pemrosesan Transaksi) meliputi data koleksi, validasi data, proses informasi, proses kalkulasi hingga proses penyimpulan (Ardiwidjaja, 2010:105-106). Rancangan sistem informasi museum merupakan sistem informasi pengelolaan data dan informasi untuk kepentingan manajerial level teknis dan taktis serta untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas operasional di seluruh jajaran museum yang mendukung fungsi yang ada di divisi administrasi. Sedangkan master plan informasi meliputi rancangan induk yang menjadi acuan atau pedoman dalam melaksanakan kegiatan pengembangan sistem informasi yang berisi strategi dan penjabaran yang cukup. Cakupan sistem informasi museum ditinjau dari aspek misi atau peran museum mencakup: (a) pembinaan fungsi permuseuman (informasi koleksi, informasi penelitian, informasi pameran, informasi konservasi); (b) misi pengelolaan sumber daya merupakan misi yang diemban untuk mendukung pengelolaan sumber daya yang dimiliki museum agar seluruh tugas dan fungsinya dapat dilaksanakan secara optimal. Kelompok sistem informasi untuk mendukung misi pengelolaan sumber daya museum antara lain meliputi: informasi pemasaran, kepegawaian, keuangan, perlengkapan, hukum dan organisasi, informasi pendidikan dan latihan, informasi dokumentasi dan kepustakaan, dan informasi
69
perencanaan; (c) misi pelayanan yang diemban untuk memberikan layanan informasi kepada masyarakat terkait dengan kegiatan pembangunan museum. Kelompok layanan informasi publik untuk mendukung informasi pelayanan museum, antara lain: layanan informasi kegiatan museum, perpustakaan museum, informasi komunitas museum, serta layanan interaktif. Menurut
Ardiwidjaja
(2010:115),
keberhasilan
museum
dalam
mengembangkan sistem informasi dapat mendukung pencapaian tujuan lembaga yang bertanggungjawab tidak hanya kepada pengelolaan museum dalam mendukung efektivitas dan efisiensi proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan pengelolaan, tetapi juga kepada pemahaman kepedulian dan wawasan ilmu pengetahuan, sejarah dan budaya komunitas/publik melalui layanan penyampaian data dan informasi untuk kepentingan pendidikan, penelitian, dan hiburan. Untuk mengakomodasi kebutuhan informasi baik di lingkungan internal maupun eksternal, museum selain didukung oleh sistem dan teknologi informasi yang memadai juga harus menjadi kesepakatan teknologi informasi digunakan secara konsisten sebagai sarana strategis dalam memenuhi kebutuhan data dan informasi. Tulisan ini bermanfaat untuk meneliti apakah museum-museum yang ada di Ubud telah menggunakan sistem teknologi dan informasi dalam sistem pengelolaan maupun dalam sistem pemasaran melalui situs jejaring sosial.
2.4.8
Museum sebagai Daya Tarik Wisata Budaya Menurut
Suryasih
(2010:91),
untuk
menarik
minat
masyarakat
berkunjungan ke museum sebagai daya tarik wisata, perlu dilakukan terobosan-
70
terobasan baru. Suryasih (2010:71) merekomendasi beberapa langkah untuk dapat menarik kunjungan ke museum di antaranya adalah sebagai berikut ini: 1) Melengkapi museum dengan berbagai koleksi benda-benda tinggalan budaya, sehingga di museum dapat dilihat berbagai jenis, bentuk, ukuran, asal-usul dan nilai sejarahnya. Dengan koleksi
yang menarik,
pengunjung dapat
memberikan apresiasi, pemahaman, pengetahuan dan dapat memaknai koleksi tersebut. 2) Pengelolaan museum dengan tetap memperhatikan unsur koleksi, bangunan, penataan, informasi dan pelayanan yang memuaskan para pengunjungnya. 3) Pengelola museum menghidupkan berbagai aktivitas dengan cara membuat berbagai atraksi atau aktivitas yang berkaitan dengan koleksi museum sehingga pengunjung lebih tertarik untuk berkunjung. Hal-hal yang bisa dilakukan diantaranya; kursus singkat menari, melukis, memasak, bertani, membuat kerajinan tangan dan lain-lain. Membuat berbagai perlombaan yang disesuaikan juga dengan koleksi museum. 4) Sesuai dengan persyaratan daya tarik wisata, museum juga dapat dilengkapi dengan some thing to see, some thing to do and some thing to buy. 5) Penerapan manajemen satu pintu dalam suatu destinasi pariwisata, sehingga perlu dibuatkan kebijakan yang sebaiknya dilakukan oleh stakeholders pariwisata agar selalu mencantumkan museum sebagai paket wisata. 6) Melengkapi dengan teknologi informasi dengan peralatan modern misalnya video player berbagai bahasa untuk menginformasikan keberadaan koleksi museum, juga dapat dilakukan dengan pertunjukan boneka yang bergerak
71
secara komunikatif yang menceritakan koleksi museum sehingga menarik bagi anak-anak. Sunarto (2012) menyatakan bahwa salah satu potensi budaya adalah budaya tangible (bendawi) banyak tersimpan di museum-museum, meskipun masih banyak juga masih tersimpan di lokasi aslinya (insitu) yang ada di berbagai daerah yang acapkali sulit dijangkau untuk dikunjungi. Kesulitan tersebut dapat diatasi dengan mengunjungi museum yang memiliki koleksi yang dimaksud sebagai tugas dan fungsi museum untuk memamerkan dan menginformasikan potensi budaya dan alam kepada masyarakat. Koleksi museum yang disajikan di suatu ruang pamer, diharuskan bukan saja memamerkan benda (artefak) tetapi juga harus menyampaikan informasi dan nilai-nilai yang terkandung dari suatu koleksi museum yang berkaitan dengan artefak lainnya di suatu koleksi yang ada di museum ataupun mungkin benda budaya lainnya yang masih berada
di
lapangan. Pengelola museum dituntut untuk menata koleksinya agar semaksimal mungkin menjangkau semua tipe pengunjung. Sunarto (2012) menyarankan metode yang dapat digunakan sebagai pendekatan dalam penataan agar berbagai kepentingan pengunjung terakomodir. Metode yang dimaksud meliputi: (1) metode pendekatan romantika yaitu penyajian koleksi disusun sedemikian sehingga dapat mengungkap suasana tertentu yang berhubungan dengan benda yang dipamerkan atau penataan evokatif. (2) metode pendekatan Intelektual yaitu penyajian koleksi disusun agar dapat mengungkap dan memberikan informasi ilmu pengetahuan tentang koleksi yang dipamerkan. (3) metode pendekatan estetis
72
yaitu penyajian yang lebih memunculkan segi-segi keindahan atau nilai artistik koleksi yang ditata. (4) metode pendekatan simbolik yaitu penyajian koleksi dengan menggunakan simbol-simbol tertentu sebagai media interpretasi pengunjung. (5) metode pendekatan kontemplatif yaitu penyajian koleksi yang ditata sedemikian untuk membangun imajinasi pengunjung terhadap koleksi yang dipamerkan. (6) metode pendekatan interaktif yaitu penyajian koleksi yang memungkinkan pengunjung untuk dapat berinteraksi langsung dengqn koleksi yang dipamerkan. Penyajian ini dapat menggunakan teknologi informasi. Idealnya, museum mesti dapat berfungsi sebagai institusi pelestari sumber daya budaya (culture resources) dan alam tetapi juga dapat menjadi sebagai media pembinaan edukasi baik budaya maupun ilmu pengetahuan bagi masyarakat tertama pada generasi muda, memperkokoh ketahanan atau jatidiri bangsa, serta sekaligus dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar museum. Idealisme tersebut menunjukkan bahwa museum memiliki peran ganda sebagai jendela informasi alam dan budaya serta promosi kepariwisataan sekaligus sebagai benteng dan penangkal bagi generasi muda terhadap pengaruh negatif yang merupakan dampak kemajuan teknologi dan tingginya intensitas interaksi dengan budaya luar. Museum sebagai daya tarik wisata budaya mestinya tetap dapat mempertahankan idealisme tanpa menutup kemungkinan melakukan penambahan fungsi yang masih terkait dengan fungsi utamanya yakni fungsi preservasi, konservasi, edukasi, dan rekreasi berbasis budaya masyarakat lokal. Untuk dapat menjadikan museum sebagai daya tarik wisata budaya, pengelolaan museum membutuhkan usaha dan upaya pelestarian nilai-nilai luhur budaya lokal
73
untuk ditranformasikan pada masyarakat sebagai benteng terhadap pengaruh budaya negatif dampak interaksi.
2.5 Model Penelitian
Pariwisata Budaya
Museum sebagai daya tarik wisata budaya
Masalah 1: Bagaimanakah museum menurut pengelola?
Metode: Kualitatif didukung dengan data kuantitatif
Masalah 2: Bagaimanakah museum menurut wisatawan?
Masalah 3: Bagaimanakah hubungan museum dengan komponen kepariwisataan?
Teori: 1. Manajemen Museum 2. Kawasan Pariwisata dan Daya Tarik Wisata 3. Museum sebagai Daya Tarik Wisata
Analisis Kualitatif Museum sebagai daya tarik wisata budaya menurut pengelola Temuan dan Kebaharuan Museum sebagai daya tarik wisata budaya menurut wisatawan
Pola hubungan museum-museum dengan komponen kepariwisataan di Ubud
Gambar 2.4 Model Penelitian Museum sebagai Daya Tarik Wisata Budaya
74
Dari rumusan masalah yang dikaji dengan berbagai indikatornya dan mengacu pada konsep dan teori yang mendasari dalam penelitian ini, diharapkan menghasilkan temuan penelitian (output) yang dapat digunakan sebagai rekomendasi pengelolaan museum sebagai daya tarik wisata. Gambar 2.4 adalah model penelitian yang disajikan secara grafis. Model tersebut dapat dijelaskan bahwa museum sebagai daya tarik wisata memiliki hubungan yang erat dengan pariwisata budaya. Museum sebagai daya tarik wisata bertujuan dan menjalankan fungsi mulia yakni pendidikan, rekreasi, dan konservasi budaya. Ubud sebagai kawasan wisata memiliki keunikan dibandingkan dengan kawasan wisata lainnya di Bali terutama tentang museum-museum sebagai daya tarik wisata. Beberapa museum berusaha menambah koleksinya, dan menambahkan atribut selain koleksi utamanya sehingga berpotensi berubahnya idealisme, fungsi, dan peran museum. Tantangan yang dihadapi oleh para pengelola museum adalah semakin berkembangnya daya tarik wisata lainnya, seperti adanya penambahan atribut destinasi wisata Ubud, semula dikenal sebagai destinasi wisata dengan daya tarik kesenian seperti tari, museum, dan kini bertambah menjadi destinasi yoga, adevneture, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut penelitian tentang museum penting untuk dilakukan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjawab tiga pokok permasalahan. Pokok-pokok permasalahan tersebut adalah sebagai berikut: (1) museum sebagai daya tarik wisata budaya menurut pengelola, (2) museum sebagai daya tarik wisata budaya menurut wisatawan, dan (3) pola hubungan museum-museum dengan komponen kepariwisataan di Ubud.
75
Penelitian ini diharapkan mampu menjawab pokok permasalahan sehingga dihasilkan temuan penelitian tentang museum sebagai daya tarik wisata budaya yang berkelanjutan, dan diharapkan dapat menjadi model pengembangan museum yang berkelanjutan. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat secara teoritis dan praktis demi kelangsungan pariwisata budaya khususnya pariwisata yang berwawasan budaya.