BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keterlibatan Orangtua Keterlibatan yang dikarakterisasikan berdasarkan positif dan negatif belief adalah bagaimana orangtua memandang potensi anak dan memperlakukan anak dipengaruhi oleh apa yang anak lakukan (Pomerantz et al., 2005 ; Wigfield et al., 2006, dalam Pomerantz & Mooreman, 2007). Walaupun kepercayaan tersebut seringkali berdasarkan performa anak, ada beberapa variabilitas dalam hal ini. Ada orangtua yang akurat (menilai anak apa adanya), namun ada juga yang meremehkan atau terlalu melebihkan potensi anak. Ketika keterlibatan orangtua diikuti dengan keyakinan yang positif akan potensi anak, orangtua akan meningkatkan motivasi anak dengan memberitahu bahwa mereka mampu untuk berprestasi (Eccles, 1983, dalam Pomerantz & Mooreman, 2007). Sebaliknya orangtua dengan kepercayaan yang negatif akan potensi anak akan menurunkan motivasi anak. Walaupun keterlibatan orangtua dalam kegiatan anak itu penting, namun bagaimana cara orangtua terlibat juga perlu diperhatikan. Keterlibatan orangtua yang positif adalah mendukung kemandirian, fokus pada proses, dikarakterisasikan oleh perlakuan yang positif dan diikuti oleh keyakinan yang positif kepada anak. Sementara keterlibatan orangtua yang negatif adalah terlalu mengatur, fokus pada pribadi, dikarakterisasikan oleh perlakuan negatif dan diikuti oleh keyakinan yang negatif. Ketika orangtua merasa tertekan untuk membuat anaknya sesuai dengan standart yang ditentukan, mereka akan menigkatkan kontrol dan aturan terhadap anaknya (Gurland &
Grolnick 2005, dalam Pomerantz & Mooreman, 2007). Keterlibatan negatif juga dapat muncul akibat kurangnya pengalaman keterampilan dalam membimbing anak (HooverDempsey, Bassler & Bissie 1992 ; Levin et al., 1997, dalam Pomerantz & Mooreman, 2007). Pomerantz, Wang, et al. (2005) menjelaskan bahwa alasan terbesar orangtua melakukan perlakuan negatif terhadap anaknya karena anak merasa frustasi. kefrustasian anak dapat meningkatkan orangtua menjadi banyak mengatur, tidak fokus pada proses belajar, dan menganggap anak tidak mampu. 2.1.1 Dengan Siapa Orangtua Terlibat Model sosialisasi orangtua dan anak penting untuk memahami efeknya pada anak atas keterlibatan orangtua dalam dunia akademik anak. Hal yang difokuskan adalah atribusi anak dalam perannya yang menentukan kualitas keterlibatan orangtua : pengalaman kompetensi anak (prestasi dan persepsi akan kemampuan yang dirasakan anak). Walaupun anak mendapatkan keuntungan dari keterlibatan orangtua dalam kehidupan akademik yang dikarakterisasikan oleh kualitas positif akan dukungan kemandirian, fokus pada proses, perlakuan yang positif dan keyakinan yang positif, keuntungan dari perlakuan yang positif mungkin dimoderatori oleh pengalaman kompetensi anak di sekolah (Pomerantz, Wang et al., 2005, dalam Pomerantz & Mooreman, 2007).
2.2 Perkembangan Sosio-Emosional Anak (3-5 tahun) Berbagai perubahan mengkarakterisasi perkembangan sosio-emosional anak di usia dini (3-5 tahun). Perkembangan pemikiran dan pengalaman sosial mereka menghasilkan kemajuan luar biasa dalam pengembangan diri, kematangan emosional, pemahaman moral dan kesadaran gender (Santrock, 2008). Selama tahun kedua
kehidupan anak membuat kemajuan yang cukup besar dalam self-recognition. Dalam early childhood, perkembangan mereka memungkinkan anak menghadapi initiatif vs. guilt dan meningkatkan self-understanding (Santrock, 2008). 2.2.1 Inisiatif versus Rasa Bersalah Berdasarkan teori Erik Erikson (1968), tahap ketiga dari 8 tahap perkembangan Erikson sangat antusias dalam memulai aktifitas baru tetapi dapat merasa bersalah ketika ketika usaha mereka gagal atau dikritik. Anak-anak telah menjadi yakin bahwa mereka adalah seseorang dari mereka sendiri, selama tahapan ini mereka harus menentukan orang seperti apa mereka akan menjadi. Semasa early childhood, anak-anak menggunakan perseptual, motor, kognitif, dan kemampuan bahasa untuk mencapai sesuatu. Dalam inisiatif mereka sendiri, anak dalam tahap ini masuk dalam dunia sosial yang lebih luas. Kekecewaan yg besar dalam tahapan ini menimbulkan perasaan bersalah yang dapat menurunkan kepercayaan diri anak (Santrock, 2008). Anak akan meninggalkan tahapan ini dengan rasa inisiatif yang meringankan rasa bersalah bergantung pada bagaimana orangtua merespon inisiatif aktifitas anak. Anak yang diberi kebebasan dan kesempatan untuk melakukan permainan motor seperti, berlari, meluncur, bergulat, memiliki rasa inisiatif yang didukung. Inisiatif juga dapat didukung ketika orangtua menjawab pertanyaan anak dan tidak mencemooh serta menghambat fantasi atau aktifitas bermain. Jika anak dibuat merasa bahwa permainan motor mereka buruk, pertanyaan mereka mengganggu, permainan mereka konyol dan bodoh, maka anak akan mengembangkan perasaan bersalah atas aktifitas inisiatif mereka yang kemudian akan mengganggu tahapan perkembangan selanjutnya (Elkind, 1970, dalam Santrock, 2008). Menurut Erikson, usia bermain merupakan sebuah periode yang meliputi masa yang sama dengan fase falik Freud, berkisar dari usia 3 sampai 5 tahun. Namun terdapat
perbedaan antara teori Freud dan Erikson. Freud menempatkan Oedipus Complex di inti tahap falik, sedangkan Erikson percaya bahwa Oedipus Complex bukan satu-satunya perkembangan penting selama usia bermain. Menurut Erikson (1968) anak-anak di usia prasekolah ini selain mengidentifikasikan diri dengan orangtuanya, mereka juga mengembangkan
otot-otot
gerak
mereka
(locomotion),
kemampuan
bahasa,
keingintahuan, imajinasi, dan kemampuan menetapkan tujuan-tujuan (Feist & Feist, 2005). Ketika anak-anak mulai bergerak kesana-kemari dengan lebih mudah dan ketertarikan genital mulai terbangun, mereka mengadopsi mode maju terus pantang mundur (intrusive head-on) untuk mendekati dunia. Meskipun mereka mulai mengadopsi inisiatif dalam penyeleksian mereka dan mengejar suatu tujuan, namun beberapa tujuan dapat tertunda atau tidak tercapai. Konsekuensi dari tujuan yang tidak tercapai ini menjadi rasa bersalah. Konflik antara inisiatif dan rasa bersalah menjadi krisis psikososial yang dominan di usia bermain. Jika rasa bersalah menjadi elemen dominan, anak menjadi moralistik yang kompulsif atau terlalu banyak merasa dilarang. Pelarangan/hambatan (inhibition, merupakan antipati tujuan, melandasi patologi inti pada usia bermain. Konflik inisiatif versus rasa bersalah menghasilkan kekuatan berupa tujuan. Anak-anak bermain dengan suatu tujuan, bersaing di setiap permainan untuk menang atau menjadi nomor satu. Usia bermain juga merupakan tahapan dimana anak mengembangkan suara hati dan mulai melekatkan pelabelan seperti benar dan salah pada tindakan-tindakan mereka melalui pengalaman. Suara hati kecil inilah yang dikemudian hari menjadi “batu penjuru moralitas” (Feist & Feist, 2005).
2.2.2 Kondisi Pendukung dan Penghambat Perkembangan Sosial Emosional Anak Hurlock
(1978) mengungkapkan
berbagai kondisi yang mempengaruhi
perkembangan social emosional anak menyebutkan 3 kondisi utama : 1. Kondisi Fisik Apabila kondisi keseimbangan tubuh terganggu karena kelelahan, kesehatan yang buruk atau perubahan yang berasal dari perkembangan, maka mereka akan mengalami emosi yang sangat meningkat. a. Kesehatan yang buruk, disebabkan oleh gizi yang buruk, gangguan pencernaan atau penyakit b. Gangguan kronis seperti asma c. Perubahan kelenjar, terutama pada masa puber 2. Kondisi psikologis Kondisi psikologis yang dapat mempengaruhi antara lain tingkat inteligensi, tingkat aspirasi dan kecemasan, berikut adalah penjelasannya : a. Perlengkapan intelektual yang buruk. Anak yang tingkat intelektualnya rendah, ratarata mempunyai pengendalian emosi yang kurang dibandingkan dengan anak yang pandai pada tingkat umur yang sama. b. Kegagalan mencapai tingkatan aspirasi kegagalan yang berulang-ulang dapat mengakibatkan timbulnya keadaan cemas.
c. Kecemasan setelah pengalaman emosi tertentu yang sangat kuat, sebagai contoh akibat lanjutan dari pengalaman yang menakutkan. 3.Kondisi lingkungan Ketegangan yang terus menerus, jadwal yang ketat, dan terlalu banyaknya pengalaman menggelisahkan yang merangsang anak secara berlebihan akan berpengaruh pada emosi anak . Berikut penjelasannya : a. Ketegangan yang disebabkan oleh pertengkaran dan perselisihan yang terus menerus. Pertengkaran atau perselisihan dalam konteks interaksi social, sebetulnya wajar, tetapi jika terus menerus akan mengakibatkan timbulnya emosi dan akibatnya merusak hubungan sosial, ,kekesalan yang amat kuat, akan menimbulkan keinginan anak melukai orang yang berselisih dengannya. b. Ketegangan yang berlebihan serta disiplin yang otoriter. Disiplin ini apabila dipaksakan akan menimbulkan dampak buruk bagi pihak yang dikenalnya, lama kelamaan akan timbul keinginan untuk memberontak dan keluar dari aturan norma atau aturan yang ada tersebut. c. Sikap orang tua yang selalu mencemaskan atau terlalu melindungi. Melindungi orang yang sangat disayang itu baik, tetapi jika terlampau (over protective) akan mengakibatkan penolakan dari orang yangdisayangi dan sesungguhnya sudah menjadi sifat yang alamiah bahwa manusia tidak mau terlampau dilindungi dan diatur oleh pihak luar. d. Suasana otoriter disekolah. Guru yang terlalu menuntut atau pekerjaan sekolah yang tidak sesuai dengan kemampuan anak akan menimbulkan kemarahan. Kemudian anak
pulang kerumah dalam keadaan kesal. Faktor penyebab terjadinya gangguan tingkah laku:
Efek disiplin orang tua yang terlalu ketat Untuk mendisplinkan seseorang jika dilakukan dengan cara memaksa dan menekan tidak akan pernah berhasil, tekanan –tekanan akan melahirkan tekanan maksudnya tekanan disiplin akan ditolak dengan tekanan untuk melanggar jalan terbaik adalah mengembangkan disiplin dengan penuh pemahaman dankesadaran dan tanggung jawab. Hukuman terhadap respon sosial yang kurang tepat Hukuman itu seharusnya sesuatu yang harus dilakukan pada suatu kesalahan, tetapi bagaimana mengukur menimbang dan menentukan bobot dan jenis hukuman merupakan hal yang yang pelik. Jenis hukuman dan cara menghukum keliru, hukuman itu tidak akan mampu memperbaiki perilaku, tetapi justru akan melahirkan pelanggaran baru karena ketidak puasan pelaksanaanatau penertiban hukum tersebut. Konsentrasi pemberian hadiah sebagai ganjaran bagi tingkahlaku yang menisolasi diri dari orang lain. Cara ini adalah suatu kekeliruan dalam memahami perilaku yang berguna dan fungsional bagi anak. Pandangan yang keliru bahwa diam itu emas, sendiri lebih baik dari bergabung dan akan mengakibatkan kekeliruan dalam menilai hakikat sosial dan akan menyertai kekeliruan selanjutnya. Kurangnya kesempatan untuk belajar dan melatih keahlian Emosi dan sosial lebih pada suatu bentuk perilaku yang membutuhkan latihan dan pembiasan-pembiasan yang bersifat khusus.
Pada usia pra sekolah keadaan emosi anak penuh dengan ketidakseimbangan karena anak-anak mudah keluar dari fokus dalam arti bahwa ia gampang terbawa ledakan -ledakan emosi sangat menjadikan mereka sulit dibimbing dan diarahkan. Untuk memicu emosi anak dalam kehidupan sosialnya yang terpenting bagi orang tua atau guru adalah dapat menyediakan kondisi ideal yang
dapat mengatasi berbagai hambatan
perkembangan emosi maupun perilaku sosial anak secara efektif . Perkembangan positif dalam konteks perkembangan emosi maksudnya adalah mampu menciptakan dan menyediakan kondisi yang dapat menjamin terkendalinya ekspresi emosi dari setiap anak sehingga emosi anak terlindungi, lebih stabil dan seimbang serta wajar dalam tampilannya, sedangkan terkait dengan pengembangan dimensi sosial anak maksudnya adalah mampu anak melakukan interaksi sosial serta meningkatkan keterampilan anak dalm bersosialisasi. Hal yang terpenting adalah perkembangan emosi dan sosial anak dapat saling terbangaun secara utuh dalam suatu kondisi yang diciptakan seperti disebutkan diatas berbagai keadaan yang dapat merusak perkembangan emosi dan sosial anak dapat di hindarkan. Dalam Sujiono (2009) memaparkan standar pola perkembangan anak usia tiga sampai empat tahun. Pola ini dapat dilihat pada tabel 2.1
Tabel 2. 1 Pola Perkembangan Sosio-Emosional
Perkembangan Sosial
Perkembangan Emosional
-Menjadi lebih sadar akan diri sendiri
-Dapat memaklumi frustasi
-Mengembangkan perasaan rendah hati
-Mulai mengembangkan pengendalian diri
-Menjadi sadar akan rasial dan perbedaan -Menghargai kejutan dan peristiwa tertentu seksual -Dapat mengambil arah dan mengikuti aturan
-Mulai menunjukkan selera humor
-Menunjukkan suatu pertumbuhan dalam hal -Mulai mengungkapkan tentang kasih sayang perasaan dan kepercayaan diri -Bermain paralel
2.3 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Berdasarkan undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) yang dimaksud dengan Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang
dilakukan
melalui
pemberian
rangsangan
pendidikan
untuk
membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki perndidikan lebih lanjut (Sujiono, 2009). Penyelenggaraan pendidikan bagi anak usia dini dapat dilakukan dalam bentuk formal, nonformal, dan informal. Setiap bentuk penyelenggaraan memiliki kekhasan tersendiri. Pendidikan bagi anak usia dini pada jalur formal adalah Taman Kanak-kanak atau RA dan lembaga sejenis. Pendidikan bgi anak usia dini pada jalur nonformal diselenggarakan oleh masyarakat atas kebutuhan dari masyarakat sendiri, khususnya bagi anak-anak yang dengan keterbatasannya tidak terlayani di pendidikan formal (TK dan
RA). Sedangkan pada jalur informal dilakukan ileh keluarga atau lingkungan. Pendidikan informal bertujuan memberikan keyakinan agama, menanamkan nilai budaya, nilai moral, etika dan kepribadian, estetika serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional (Sujiono, 2009). Standar PAUD merupakan bagian integral dari Standar Nasional Pendidikan sebagaimana yang diamanatkan dalam peraturan pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang dirumuskan dengan mempertimbangkan karakteristik penyelenggaraan PAUD. Standar PAUD terdiri atas empat kelompok yaitu: (1) Standar tingkat pencapaian perkembangan ; (2) Standar pendidik dan tenaga kependidikan ; (3) Standar isi, proses, dan penilaian ; (4) Standar sarana, prasarana, pengelola, dan pembiayaan. Standar tingkat pencapaian pengembangan berisi kaidah pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini sejak lahir hingga usia 6 tahun. Tingkat perkembangan yang dicapai merupakan aktualisasi potensi semua aspek perkembangan yang diharapkan dapat dicapai anak pada setiap tahap perkembangannya, bukan merupakan suatu tingkat pencapaian kecakapan akademik. Standar pendidik (guru, guru pendamping, dan pengasuh) dan tenaga kependidikan memuat kualifikasi dan kompetensi yang disyaratkan. Standar isi, proses, dan penilaian meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian program yang dilakasanakan secara terintegrasi/terpadu sesuai dengan kebutuhan anak. Standar sarana, prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan mengatur persyaratan fasilitas, manajemen, dan pembiayaan agar dapat menyelenggarakan PAUD dengan baik.
2.3.1 Tujuan Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Sujiono (2009) tujuan PAUD yang ingin dicapai adalah untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman orangtua dan guru serta pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan dan perkembangananak usia dini. Secara khusus tujuan yang ingin dicapai adalah : 1. Dapat mengidentifikasi perkembangan fisiologis anak usia dini dan mengaplikasikan hasil identifikasi tersebut dalam pengembangan fisiologis yang bersangkutan. 2. Dapat memahami perkembangan kreativitas anak usia dini dan usaha-usaha yang terkait dengan pengembangannya. 3. Dapat memahami kecerdasan jamak dan kaitannya dengan perkembangan anak usia dini. 4. Dapat memahami arti bermain bagi perkembangan anak usia dini. 5. Dapat
memahami
pendekatan
pembelajaran
dan
aplikasinya
bagi
penembangan anak usia dini. Tujuan pendidikan anak usia dini secara umum adalah mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Secara khusus kegiatan pendidikan bertujuan agar : 1. Anak mampu melakukan ibadah, mengenal dan percaya akan ciptaan Tuhan dan mencintai sesama. 2. Anak mampu mengelola keterampilan tubuh termasuk gerakan-gerakan yang mengontrol gerakan tubuh, gerakan halus, dan gerakan kasar, serta menerima rangsangan sensorik (panca indera).
3. Anak mampu menggunakan bahasa untuk pemahaman bahasa pasif dan dapat berkomunikasi secara efektif yang bermanfaat untuk berpikir dan belajar. 4. Anak mampu mengenal lingkungan alam, lingkungan sosial, peranan masyarakat dan menghargai keragaman sosial dan budaya serta mampu mengembangkan konsep diri, sikap positif terhadap belajar, kontrol diri dan rasa memiliki. 5. Anak memiliki kepekaan terhadap irama, nada, birama, berbagai bunyi, bertepuk tangan, serta menghargai hasil karya yang kreatif. 2.3.2 Fungsi Pendidikan Anak Usia Dini Filosofi pada anak usia dini adalah pendidikan yang berpusat pada anak yang mengutamakan kepentingan bermain. Permainan yang diperuntukkan bagi anak memberikan peluang untuk menggali dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Permainan pada anak dapat menimbulkan rasa nyaman, untuk bertanya, berkreasi, menemukan dan memotivasi mereka untuk menerima segala bentuk resiko dan menambah pemahaman mereka. Selain itu, dapat menambah kesempatan untuk meningkatkan pemahaman dari setiap kejadian terhadap orang lain dan lingkungan (Sujiono, 2009). Beberapa fungsi pendidikan bagi anak usia dini yang harus diperhatikan dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Untuk mengembangkan seluruh kemampuan yang dimiliki anak sesuai dengan tahapan perkembangannya. 2. Mengenalkan anak dengan dunia sekitar. 3. Mengembangkan sosialisasi anak. 4. Mengenalkan peraturan dan menanamkan disiplin pada anak. 5. Memeberikan kesempatan pada anak untuk menikmati masa bermainnya.
6. Memberikan stimulus kultural pada anak.
2.4 Kerangka Berpikir Terdapat
dua
bentuk
keterlibatan
orangtua
yaitu,
keterlibatan
yang
dikarakterisasikan oleh positif belief dan negatif belief. Keterlibatan orangtua yang positif adalah mendukung kemandirian, fokus pada proses, dikarakterisasikan oleh perlakuan yang positif dan diikuti oleh keyakinan yang positif terhadap anak. Sementara keterlibatan orangtua yang negatif adalah terlalu mengatur, fokus pada pribadi, dikarakterisasikan oleh perlakuan negatif dan diikuti oleh keyakinan yang negatif. Anak usia prasekolah yaitu 3-5 tahun menurut Erikson berada pada tahap Inisiative vs guilt dimana anak akan mengembangkan rasa inisiatif atau rasa bersalah bergantung pada bagaimana orangtua merespon inisiatif aktifitas anak. Konsekuensi dari tujuan yang tidak tercapai ini menjadi rasa bersalah. Konflik antara inisiatif dan rasa bersalah menjadi krisis psikososial yang dominan di usia bermain. Jika rasa bersalah menjadi elemen dominan, anak menjadi moralistik yang kompulsif atau terlalu banyak merasa dilarang. Pelarangan/hambatan (inhibition), merupakan antipati tujuan, melandasi patologi inti pada usia bermain. Anak usia dini juga berada dalam periode golden age, dimana rangsangan belajar pada usia dini memberikan pengalaman yang sangat berharga untuk perkembangan berikutnya.
Perkembangan SosioKeterlibatan Orangtua emosional
Anak Usia Dini
Golden Age
Stimulus