8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Intention To Quit
2.1.1. Pengertian Intention To Quit Intention to quit adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti dari pekerjaannya secara sukarela menurut pilihannya sendiri. Keinginan untuk keluar sangat dipengaruhi oleh ketidakpuasan kerja, rendahnya tingkat komitmen organisasi dan tingginya stres kerja yang disebabkan oleh job stressors (Firth, 2004 ). Intention to quit menjelaskan
keinginan individu untuk
meninggalkan dan berhenti dari organisasi tempatnya bekerja. Studi yang dilakukan, variabel ini digunakan dalam cakupan luas meliputi keseluruhan tindakan penarikan diri (withdrawl cognitions) yang dilakukan karyawan, menurut (Abelson, 1987; dalam Nugroho, 2008). Menurut Mellor et al. (2004), intensi merupakan fungsi dari tiga determinan dasar yaitu pertama sikap individu terhadap perilaku, kedua adalah persepsi individu terhadap terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang bersangkutan dan yang ketiga adalah aspek control perilaku yang dihayati. Zeffane et al. (1995) mengartikan intention adalah keinginan yang timbul dari individu untuk melakukan sesuatu.
Sedangkan
Kitcapi et al. (2005) menyatakan intention adalah niat atau keinginan yang timbul dari individu untuk melakukan sesuatu. Dapat dinyatakan bahwa pengertian dari intention itu adalah niat atau keinginan yang timbul pada individu
8
9
untuk melakukan sesuatu. Intention to quit adalah kecenderungan karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya menurut pilihannya sendiri (Kurniasari, 2004),. Martin (2011) mempunyai pendapat bahwa suatu proses psikologis yang diikuti oleh individu saat karyawan mempertimbangkan pekerjaan alternatif dimana pada saat itu terjadi ketidakpuasan terhadap pekerjaannya sekarang. Intention to quit ini merupakan respon dari ketidakpuasan karyawan terhadap pekerjaannya (Martin, 2011). Seorang karyawan yang merasa puas dengan pekerjaannya akan menurunkan intention to quit (Nugroho, 2008). Glissmeyer et al. (2007) menyatakan bahwa intention to quit merupakan faktor mediasi antara keinginan keluar dan berhentinya karyawan dari pekerjaannya itu. Menurut Williams (2003), intention to quit merupakan persepsi internal dari seorang karyawan untuk mengakhiri hubungan kerjanya dengan perusahaan. Ali et al. (2010) mendefinisikan sebagai keinginan karyawan untuk keluar dari organisasinya. Ada pendapat sedikit lain dari Utami et al. (2006), dinyatakan bahwa keinginan berpindah adalah keinginan karyawan untuk mencari alternatif pekerjaan lain yang belum diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata. Aziz et al. (2010) menyimpulkan bahwa intention to quit adalah keputusan individu tentang keanggotaannya dalam suatu organisasi. Jadi intention to quit adalah suatu keinganan untuk berpindah tempat kerja atau pekerjaan dari seorang karyawan yang didahului oleh suatu ketidakpuasan terhadap pekerjaan atau tempat kerja yang sekarang tapi belum terwujud dalam suatu tindakan nyata. Abelson (1987 ; dalam Suhanto, 2009 ) juga menyatakan bahwa
10
sebagian besar karyawan yang meninggalkan organisasi karena alasan sukarela dapat dikategorikan atas perpindahan kerja sukarela yang dapat dihindarkan (avoidable voluntary turnover) dan perpindahan kerja sukarela yang tidak dapat dihindarkan (unavoidable voluntary turnover). Avoidable voluntary turnover dapat disebabkan karena alasan berupa gaji, kondisi kerja, atasan atau ada organisasi lain yang dirasakan lebih baik, sedangkan unavoidable voluntary turnover dapat disebabkan oleh perubahan jalur karir atau faktor keluarga. Turnover intention yang dibahas dalam penelitian ini adalah dalam konteks model Avoidable voluntary turnover. Robbins (2008:125) menjelaskan bahwa turnover pengunduran diri seorang karyawan untuk keluar dari suatu organisasi. Perpindahan itu dapat terjadi secara sukarela (voluntary turnover) maupun tidak sukarela (involuntary turnover). Voluntary turnover terjadi karena karyawan berpindah
atas
keinginannya sendiri disebabkan seberapa menarik alternatif pekerjaan lain. Sedangkan involuntary turnover terjadi karena terjadi pemecatan oleh atasan dan bersifat uncontrollable bagi karyawan yang mengalami. Keinginan untuk pindah adalah mengacu pada hasil evaluasi individu mengenai kelangsungan hubungan dengan tempat kerjanya tapi belum diwujudkan dalam tindakan nyata meninggalkan tempat kerjanya yang nyata (Hersusdadikawati, 2005) .
2.1.2 Tahapan Intention to Quit Triaryati (2003) mengungkapkan beberapa tahapan yang dilalui seorang karyawan sebelum memutuskan tetap bekerja pada pekerjaan yang sekarang atau berhenti bekerja, adalah:
11
1) Mengevaluasi pekerjaan yang sekarang 2) Mengalami
job
dissatisfaction
atau
satisfaction,
merupakan
pernyataan emosional mengenai tingkat kepuasan dan ketidak puasan seseorang. 3) Berpikir untuk keluar dari pekerjaan saat ini/ thinking of quiting, salah satu konsekuensi dari ketidakpuasan adalah menstimulasi pemikiran untuk keluar dari pekerjaan saat ini. Ada bentuk lain dari withdrawal sebagai konsekuensi
dari
ketidakpuasan
yang
tidak
se-extreme
keluar dari pekerjaan, seperti; absen dan perilaku kerja yang pasif. 4) Evaluasi dari manfaat yang mungkin didapatkan dari mencari pekerjaan lain (memperkirakan kemungkinan untuk menemukan pekerjaan lainnya, evaluasi terhadap alternatif yang ada, termasuk biaya pencarian) dan biaya yang pekerjaan
saat
ini
ditanggung
karena
keluar
dari
(seperti; pertimbangan karena kehilangan
senioritas, kehilangan kepangkatan dan lainnya). 5) Jika ada kesempatan untuk menemukan alternatif dan jika biaya tidak menjadi halangan, yang timbul selanjutnya adalah perilaku yang bermaksud untuk mencari alternatif. Beberapa faktor di luar pekerjaan yang juga dapat mempengaruhi pencarian alternatif seperti; pemindahan pasangan ke tempat lain, masalah kesehatan, dan lainnya. 6) Perilaku
tersebut
sesungguhnya.
kemudian
dilanjutkan
oleh
pencarian
yang
12
7) Jika tidak menemukan alternatif, individu terus mengusahakan pencarian, meng-evaluasi kembali manfaat yang diperoleh dari mencari pekerjaan lainya, mengevaluasi kembali pekerjaan saat ini, mengurangi pikiran untuk berhenti, menarik diri (withdrawal behavior). 8) Jika alternatif tersedia, maka evaluasi alternatif dilakukan. Tiap individu memiliki faktor-faktor yang spesifik untuk mengevaluasi alternatif yang ada. 9) Evaluasi alternatif yang dilanjutkan dengan membedakan alternatif hasil pilihan dengan pekerjaan saat ini. 10) Jika alternatif
lebih baik dibandingkan pekerjaan saat ini, maka
akan menstimulasi perilaku yang bermaksud untuk keluar dari pekerjaan, yang akan diikuti oleh penarikan diri yang sesungguhnya. Sedangkan jika pekerjaan saat ini lebih baik dari alternatif yang ada, terdapat beberapa kemungkinan perilaku, seperti; individu terus mengusahakan pencarian, mengevaluasi diperoleh
dari
mencari
kembali
manfaat
yang
pekerjaan lainya, mengevaluasi kembali
pekerjaan saat ini, mengurangi pikiran untuk berhenti, dan menarik diri (withdrawal behavior).
2.1.3. Indikator Intention To Quit Intention to Quit
merupakan keinginan karyawan untuk keluar dari
keanggotaan suatu organisasi secara sukarela (voluntary turnover). Variabel turnover intentions diukur dengan empat indikator (Mobley et al., 1978), yaitu:
13
1) Kecenderungan meninggalkan organisasi (Y2.1), yaitu kecenderungan karyawan untuk berpikir meninggalkan organisasi. 2) Kemungkinan mencari pekerjaan lain (Y2.2), yaitu kemungkinan karyawan untuk mencari pekerjaan pada organisasi lain. 3) Kemungkinan meninggalkan organisasi (Y2.3), yaitu kemungkinan karyawan untuk meninggalkan organisasi dalam waktu dekat. 4) Adanya alternatif pekerjaan yang lebih baik (Y2.4), yaitu kemungkinan meninggalkan organisasi apabila terdapat alternatif pekerjaan yang lebih baik.
2.1.4. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Intention To Quit Ada banyak faktor yang membuat individu memiliki keinginan untuk berpindah/ intention to quit. Menurut Wijaya (2010), Mellor et al. (2004), Moore (2002), Arnold et al. (2010) faktor faktor tersebut adalah kepuasan kerja, komitmen organisasi dari karyawan, kepercayaan terhadap organisasi, job insecurity dan job stress. Shields & Ward (2001) dan Tzeng (2002) menulis bahwa ketidakpuasan kerja adalah faktor yang paling utama yang mempengaruhi intention to quit pada perawat. Faktor faktor lain yang mempengaruhi adalah gaji yang rendah dan balas jasa, jadwal kerja yang tidak fleksibel (Coomber & Barriball, 2007; Hayes et al., 2006). Prospek peningkatan karir (Tzeng, 2002; Rambur et al., 2003) berpengaruh negatif terhadap intention to quit. Kepemimpinan yang jelek, job stress, kewajiban keluarga dan pensiun dini berpengaruh positif terhadap intention to quit (Rambur et al., 2003). Rendahnya motivasi kerja, kelelahan emosi dan burn out juga merupakan predictor dari intention to quit (Tzeng, 2002). Beberapa alasan lain yang disampaikan oleh
14
peneliti sebagai predictor intention to quit adalah kondisi pasar tenaga kerja, panjangnya masa kerja dalam suatu organisasi .dan kesempatan kerja alternative (Andini, 2006). Triaryati (2003) menyebutkan bahwa masalah keluarga secara langsung akan berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan secara tidak langsung mempengaruhi keinginan berpindah seseorang.
2.2.
Kepuasan Kerja
2.2.1. Definisi Kepuasan Kerja Kepuasan kerja merupakan orientasi individu yang berpengaruh terhadap peran dalam bekerja dan karakteristik dari pekerjaanya. Handoko (1998), mendefinisikan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja merupakan cermin perasaan seseorang terhadap pekerjaanya. Menurut Hasibuan (1998), mendefinisikan kepuasan kerja sebagai keadaan emosi positif atau menyenangkan yang diakibatkan oleh penghargaan atas pekerjaan seseorang atau pengalaman pekerjaannya. Kepuasan kerja merupakan sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. Kepuasan kerja karyawan harus diciptakan dengan baik supaya moral kerja, dedikasi, kecintaan dan kedisiplinan karyawan meningkat. Berdasarkan teori di atas bahwa kepuasan kerja merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kepuasan hidup karena sebagian besar waktu manusia dihabiskan di tempat kerja.
15
Robbins (2001), mendefinisikan kepuasan kerja adalah suatu sikap umum seseorang individu terhadap pekerjaannya, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Penilaian (assesment) seorang karyawan terhadap puas atau tidak puas akan pekerjaannya merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaaan yang diskrit (terbedakan atau terpisah satu sama lain).
2.2.2. Dimensi Kepuasan Kerja Kepuasan kerja (job satisfaction) adalah suatu sikap umum seorang individu terhadap aspek-aspek pekerjaannya yang dapat menimbulkan perasaan menyenangkan atau tidak menyenangkan. Kepuasan kerja merupakan salah satu komponen yang mendukung tercapainya produktivitas, baik pada individu maupun organisasi. Terdapat lima dimensi untuk mengukur variabel kepuasan kerja (Weiss et al., 1967; Yuli, 2005), antara lain : 1. Kepuasan terhadap gaji (X1), yaitu imbalan finansial yang diterima oleh karyawan meliputi upah, premi bonus, dan tunjangan keuangan, (diukur melalui rasa keadilan, sebanding dengan tempat kerja lain yang sejenis, dan jumlah gaji yang di berikan sesuai dengan profesi). 2. Kesempatan promosi karir (X2), yaitu kesempatan untuk maju dan mengembangkan diri dalam organisasi. 3. Kepuasan terhadap supervisi (X.3), yaitu kemampuan supervisor untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku melalui proses komunikasi untuk tujuan tertentu, (diukur melalui pemberiaan arahan oleh atasan dengan
16
obyektif, menegur ketika bersalah, dan umpan balik positif ketika bekerja dengan benar). 4. Kepuasan terhadap hubungan personal (X.4), yaitu interaksi dan keterlibatan dengan rekan kerja, atasan, bawahan dan lain-lain, dalam melakukan suatu pekerjaan, (diukur melalui komunikasi dengan atasan, bekerjasama dengan sesama karyawan dan sikaf saling menghargai). 5. Pekerjaan itu sendiri (X.5), yaitu variasi pekerjaan dan kontrol atas metoda serta langkah-langkak kerja. Variabel kepuasan kerja dapat juga diukur dengan menggunakan instrumen JDI (Job Descriptive Index) yang dikembangkan oleh Robbins (2003). Instrumen ini mengukur lima dimensi kepuasan karyawan meliputi: 1. Pekerjaan Merupakan suatu kondisi atau tingkat dimana tugas dan pekerjaan itu dianggap menarik dan memberikan peluang untuk belajar dan menerima tanggung jawab isi dari pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama kepuasan kerja. 2. Penggajian. Gaji atau upah adalah jumlah gaji atau upah yang diterima dan kelayakan imbalan tersebut. Upah dan gaji diakui memiliki hubungan signifikan, dan merupakan faktor multidimensional dalam kepuasan kerja. Uang tidak hanya membantu orang memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi merupakan instrumen dalam menyediakan tingkat kebutuhan. Pekerja sering melihat penggajian sebagai refleksi cara pandang manajemen terhadap kontribusi pekerja kepada organisasi.
17
3. Pengembangan karir dan promosi. Pengembangan karir dan promosi merupakan suatu peluang yang ada untuk mencapai kemajuan dalam jabatan atau kesempatan untuk maju dan mengembangkan potensi diri dalam melaksanakan pekerjaan yang meliputi: mendapat kesempatan pelatihan, mendapat kesempatan pendidikan, dan dipromosikan ketika berhasil dalam suatu pekerjaan khusus. Peluang promosi mempunyai dampak yang berbeda terhadap kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan promosi mengambil bentuk yang berbeda dan jenis imbalan yang menyertainya. 4. Supervisi. Supervisor adalah kemampuan seseorang dalam memberikan supervisi, panutan, dan perhatian kepada karyawannya. Supervisi ini merupakan hal yang sangat penting dalam kepuasan kerja. Ada dua dimensi yang dipertimbangkan yaitu: gaya supervisor dan keikutsertaan anggota dalam mengambil keputusan. 5.
Rekan kerja dan kelompok kerja. Merupakan suatu kondisi dimana para rekan sekerja bersikap saling bersahabat, kompeten, dan saling membantu. Secara alamiah kelompok kerja akan mempengaruhi kepuasan kerja. Kerjasama kelompok yang baik merupakan sumber kepuasan kerja bagi setiap individu.
2.3. Komitmen Organisasional 2.3.1. Pengertian Komitmen Organisasional Komitmen organisasional menurut Lum, et al. (1998) didefinisikan tingkat kekerapan identifikasi dan keterikatan individu terhadap organisasi yang dimasukinya, dimana karakteristik komitmen organisasional antara lain adalah loyalitas seseorang terhadap organisasi, kemauan untuk mempergunakan usaha
18
atas nama organisasi, kesuaian antara tujuan seseorang dengan tujuan organisasi. Komitmen organisasional merupakan hubungan kekuatan relatif yang luas antara individu dengan organisasi, dengan karakteristik meliputi (Mowday, et al. 1982): 1. Adanya keyakinan yang kuat dan penerimaan atas tujuan nilai organisasi, 2. Kesediaan untuk berusaha yang sebesarnya untuk organisasi, dan 3. Adanya keinginan yang pasti untuk mengetahui keikutsertaan dalam organisasi. Anggota organisasi yang loyalitas dan kesetiaannya tinggi terhadap organisasi akan mempunyai keinginan yang tinggi terhadap organisasi dan membuat organisasi menjadi sukses. Makin kuat pengenalan dan keterlibatan individu dengan organisasi akan mempunyai komitmen yang tinggi. Seseorang yang tidak puas akan pekerjaannya atau yang kurang berkomitmen pada organisasi akan terlihat menarik diri dari organisasi baik melalui ketidakhadiran dalam kegiatan organisasi sampai kepada turnover (Mathis & Jackson, 2001). 2.3.2. Dimensi Komitmen Organisasional Komitmen dapat diukur dengan instrumen Organizational Commitment Scale (OCQ) dari Mowday, et al. (1982). Komitmen organisasi terbangun apabila setiap individu mengembangkan tiga sikap yang saling berhubungan terhadap organisasi dan atau profesi diantaranya adalah: 1. Identification, yaitu pemahaman atau penghayatan terhadap tujuan organisasi. 2. Involvement, yaitu perasaan terlibat dalam suatu pekerjaan atau perasaan bahwa pekerjaan tersebut menyenangkan. 3. Loyalty, perasaan bahwa organisasi adalah tempatnya bekerja dan tinggal.
19
Menurut Mobley (1986) komitmen sebagai “strength of an individual’s identification with, and involvement in, the goal and values of the organization”, sebuah keinginan seseorang dalam berpartisipasi untuk mencapai tujuan dan nilai sebuah organisasi dan berusaha untuk memberi pelayanan pada organisasi. Komitmen organisasional (organizational commitment) adalah kekuatan relatif dan keterlibatan yang dalam dari diri seorang individu ke dalam organisasi tertentu. (Wayne, 1997) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai derajat seberapa jauh pekerja
mengidentifikasi
dirinya dengan organisasi
dan
keterlibatannya dalam organisasi tersebut, menurutnya ada 3 komponen, yaitu: 1.
Affective Organizational Commitment (AOC). Affective Organizational commitment adalah suatu pendekatan emosional dari individu dalam keterlibatannya dengan organisasi, sehingga individu akan merasa dihubungkan dengan organisasi.
2. Continuance Organizational Commitment (COC). Continuance Organizational Commitment adalah hasrat yang dimiliki oleh individu untuk bertahan dalam organisasi, sehingga individu merasa membutuhkan untuk dihubungkan dengan organisasi. 3. Normative Organizational Commitment (NOC). Normative Organizational Commitment adalah suatu perasaan wajib dari individu untuk bertahan dalam organisasi.
20
2.3.3. Komitmen Karyawan Terhadap Pekerjaan Komitmen terhadap pekerjaan yaitu kesetiaan, kepatuhan dan ketaatan serta dedikasi untuk mencurahkan segala pikiran dan kemampuannya pada bidang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Bagi seseorang yang telah menetapkan pilihannya untuk mengabdikan diri pada profesi atau pekerjaan yang telah dipilih, tentu saja harus memiliki komitmen yang tinggi. Perhatian, motivasi, loyalitas dan dedikasinya secara maksimal dicurahkan pada bidang pekerjaan yang ditekuninya (Prihastuti, 1991). Pemahaman mengenai komitmen pekerjaan penting karena beberapa alasan : 1) pekerjaan merupakan fokus yang berarti bagi beberapa orang. Hal ini sebagai akibat meningkatnya tingkat pendidikan dan pekerjaan yang lebih mengkhusus; 2) komitmen pekerjaan penting karena adanya keterikatan antara pekerjaan dan keanggotaan organisasi; 3) komitmen pekerjaan penting karena memiliki hubungan dengan performance kerja; dan 4) konstruk komitmen pekerjaan penting karena memberikan sumbangan pada pemahaman mengenai bagaimana beberapa orang mengembangkan, merasakan dan mengintegrasikan komitmen yang berkaitan dengan kerja yang meliputi batas organisasi. Komitmen pekerjaan didefinisikan sebagai hubungan psikologis antara seseorang dan pekerjaannya yang berdasarkan reaksi afektif terhadap pekerjaan.