BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Instrumen Moneter dan Indikator Ekonomi Makro Indonesia Bank sentral memiliki fungsi dan peranan yang strategis dalam mendukung perkembangan pasar keuangan dan perekonomian suatu negara. Hal ini antara lain karena kebijakan yang diterapkan oleh bank sentral dapat mempengaruhi suku bunga, jumlah kredit dan jumlah uang beredar yang pada gilirannya akan mempengaruhi tidak hanya perkembangan pasar keuangan, tetapi juga pertumbuhan ekonomi, inflasi dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Kebijakan yang diterapkan oleh bank sentral tersebut dikenal sebagai kebijakan moneter. Walaupun dampak dari pelaksanaan kebijakan moneter tersebut dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung, terlihat dari pemahaman masyarakat akan hakekat atas keberadaan kebijakan moneter itu sendiri. Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank sentral
dalam
bentuk
pengendalian
besaran
moneter
untuk
mencapai
perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan. Dalam pelaksanaannya, strategi kebijakan moneter dilaksanakan berbeda dari satu negara dengan negara lain, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan mekanisme transmisi yang diyakini berlaku pada perekonomian yang bersangkutan. Berdasarkan strategi dan transmisi yang dipilih, maka dirumuskan kerangka operasional kebijakan moneter. Kebijakan moneter adalah suatu tindakan yang dilakukan pemerintah (atau bank sentral) dalam upaya mempengaruhi situasi makro yang dilaksanakan melalui pasar uang. Kebijakan moneter juga bisa diartikan sebagai suatu tindakan
makro pemerintah (bank sentral) dengan cara mempengaruhi proses penciptaan uang (Boediono, 1993). Kebijakan moneter merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi, walaupun banyak faktor lain juga dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi. Akan tetapi kebijakan moneter merupakan faktor yang dapat dikontrol pemerintah dalam upaya mencapai sasaran ekonomi (Nopirin, 2000). Struktur formal dari bank sentral pada berbagai negara menganut suatu sistem tertentu. Pembentukan struktur formal bank sentral bertujuan untuk mengatur disribusi kekuasaan dalam penentuan kebijakan moneter. Pada umumnya bank sentral berfungsi sebagai check clearing, penerbitan uang baru, menarik mata uangnya yang berbahaya dari peredaran, evaluasi usul merger dan ekspansi aktifitas bank komersial, administrasi dan memberikan pinjaman pada bank komersial, penghubung antara masyarakat bisnis dengan bank sentral, memeriksa pemilik perusahaan bank, mengumpulkan data kondisi bisnis lokal, menggunakan staf ekonom profesional untuk meneliti topik yang berhubungan dengan pembentukan kebijakan moneter (Manurung, 2009). Kebijakan moneter sebagai salah satu kebijakan ekonomi yang berperan penting dalam perekonomian. Peranan tersebut tercermin pada kemampuannnya dalam mempengaruhi stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, perluasan kerja, neraca perdagangan dan neraca pembayaran. Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan. Dalam hal ini, besaran moneter (monetary aggregate) antara lain dapat berupa uang beredar, uang primer atau kredit perbankan (Sutardjo, 2005)
Lebih lanjut Boyes (1991) mengemukakan, bahwa kebijakan moneter yang diterapkan pada satu rentang waktu dan kondisi tertentu (ultimate goals) dari kebijakan makro yang meliputi: (a) Tingkat kesempatan kerja yang tinggi; (b) Laju inflasi yang rendah dan stabil; (c) Keseimbangan balance of payment; dan (d) Tingkat pertmbuhan ekonomi yang mantap. Kebijakan moneter itu merupakan bagian integral dari kebijakan ekonomi makro, yang pada umumnya dilakukan dengan mempertimbangkan siklus kegiatan ekonomi, sifat perekonomian suatu negara tertutup atau terbuka, serta faktor-faktor fundamental ekonomi lainnya. Dalam pelaksanaannya, strategi kebijakan moneter dilakukan berbeda-beda dari suatu negara dengan negara lain, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan mekanisme transmisi yang diyakini berlaku pada perekonomian yang bersangkutan. Berdasarkan strategi dan transmisi yang dipilih, maka dirumuskan kerangka opersional kebijakan moneter. Sasaran utama dari kebijakan moneter, hanya bisa dilihat pencapaiannya dalam perspektif jangka panjang. Artinya, bahwa segala sesuatunya dipersiapkan sekarang untuk mencapai sasaran utama dimasa yang akan datang. Sementara itu keterkaitan antara instrumen kebijakan dan sasaran utama melalui jalur-jalur transmisi yang dikenal dengan mekanisme transmisi kebijakan moneter. Sasaran utama sebagaimana disebutkan terakhir terletak pada posisi yang paling akhir dari sekian tahapan mekanisme transmisi kebijakan moneter yang diarahkan pada upaya untuk memenuhinya. Sasaran utama kebijakan meneter bisa diartikan sebagai variabel dimana otoritas moneter tidak bisa mempengaruhi secara langsung (Romer, 1996).
Penerapan kebijakan moneter tidak dapat dilakukan secara terpisah dengan penerapan kebijakan ekonomi makro lainnya, sepeti kebijakan fiskal, kebijakan sektor riil, dan lain-lain. Hal ini terutama mengingat keterkaitan antara kebijakan moneter dan bagian kebijakan ekonomi makro lain yang sangat erat. Selain itu, pengaruh kebijakan-kebijakan yang diterapkan secara bersama-sama mungkin mempunyai arah yang bertentangan sehingga saling memperlemah. Misalnya, dalam perekonomian yang mengalami tekanan inflasi, bank sentral melakukan pengetatan moneter. Pada saat yang bersamaan, pemerintah melakukan ekspansi disektor
fiskal
dalam
rangka
mendorong
pertumbuhan
ekonomi.
Ketidakharmonisan kedua kebijakan tersebut dapat mengakibatkan tujuan menekan inflasi tidak tercapai. Sementara itu, kombinasi kebijakan moneter dan fiskal yang terlalu ekspansif akibat tidak adanya koordinasi dapat mendorong pemanasan kegiatan perekonomian. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan kebijakan ekonomi makro secara optimal, biasanya diterapkan policy mix ”bauran kebijakan” yang terkoordinasi antara satu kebijakan dengan kebijakan-kebijakan lain (Warjiyo dan Solikin, 2003). Tujuan kebijakan secara umum adalah pencapaian stabilitas ekonomi makro, apakah itu kebijakan moneter maupun kebijakan ekonomi makro. Stabilitas ekonomi makro antara lain, stabilitas harga (rendahnya laju inflasi), pertumbuhan ekonomi, serta tersedianya lapangan/kesempatan kerja. Pencapaian seluruh sasaran secara serentak adalah hal yang mustahil, karena pencapaian seluruh sasaran bersifat kontradiktif. Jadi jika ingin mencapai suatu sasaran, maka sasaran lain harus dikorbankan. Misalnya jika pertumbuhan ekonomi dan
mengurangi pengangguran adalah tujuannya, maka usaha ini biasanya diikuti oleh peningkatan harga sehingga pencapaian stabilitas ekonomi makro tidak optimal. Hal ini wajar terjadi, sehingga nantinya bank sentral akan dihadapkan dua pilihan. Plihan pertama adalah memilih salah satu sasaran untuk dicapai optimal dengan mengabaikan sasaran lainnya, misalnya memilih tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengabaikan tingkat inflasi. Pilihan kedua adalah semua sasaran diusahakan untuk dapat dicapai, tetapi tidak ada satupun dicapai secara optimal; misalnya, menginginkan pertumbuhan ekonomi yang tidak terlalu tinggi demi terpeliharanya tingkat inflasi sesuai dengan yang ditetapkan. Menyadari kelemahan tersebut, dewasa ini beberapa negara secara bertahap telah bergeser menerapkan kebijakan moneter yang lebih memfokuskan pada sasaran tunggal, yaitu stabilitas harga. Instrumen kebijakan ekonomi moneter dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi makro secara tidak langsung. Berhasil atau tidaknya instrumen kebijakan moneter bekerja dapat diukur dari indikator ekonomi makro. Ketika terjadi pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil dalam jangka panjang, berarti instrumen kebijakan ekonomi moneter telah berhasil. Proses operasional pengendalian moneter diawali dengan penyusunan monetary programming ”program moneter”. Program moneter pada dasarnya merupakan suatu perencanaan kebijakan pengendalian jumlah uang beredar yang ditujukan untuk mencapai sasaran akhir kebijakan moneter. Program moneter ini mencakup penentuan sasaran operasional kebijakan moneter. Selanjutnya Bank Indonesia menerapkan langkah-langkah yang harus dilakukan serta menetapkan instrumen yang akan dipergunakan untuk
mempengaruhi sasaran operasional tersebut. Ada tiga instrumen utama dalam kebijakan moneter, yaitu : a.
Operasi pasar terbuka (open market operations), membeli atau menjual obligasi pemerintah.Kebijakan tingkat diskonto (penetapan tingkat bunga) dimana bank-bank anggota dapat memperoleh pinjaman cadangan dari bank sentral.
b.
Kebijakan cadangan wajib (reserve requairements policy), perubahan rasio cadangan wajib resmi untuk deposito bank dan lembaga keuangan lainnya. Dalam mengelola uang, pihak FED harus benar-benar memperhatikan seperangkat variabel yang disebut sasaran antara (intermediate targets). Sasaran antara ini adalah variabel-variabel ekonomi yang tidak merupakan instrumen kebijakan bank sentral dan tidak pula sebagai tujuan yang sebenarnya, akan tetapi hanya berfungsi sebagai perantara dalam mekanisme transmisi antara instrumen bank sentral dan tujuannya. Kalau bank sentral ingin mempengaruhi tujuan utamanya, maka pertama-tama bank sentral akan mengubah satu dari instrumen yang tersedia. Perubahan ini akan mempengaruhi salah satu variabel antara seperti tingkat bunga, syarat-syarat kredit, atau jumlah uang beredar (Samuelson dan Nordhaus, 1997). Dalam
pelaksanaannya,
hingga
saat
ini
Bank
Indonesia
masih
menggunakan uang primer sebagai sasaran operasional. Instrumen moneter yang digunakan untuk mempengaruhi sasaran operasional tersebut adalah Operasi Pasar Terbuka (OPT), Fasilitas Diskonto, Giro Wajib Minimum (GWM), ataupun imbauan. (Warjiyo dan Solikin, 2003).
Instrumen OPT dilakukan melalui lelang surat-surat berharga, yang ditujukan untuk menambah atau mengurangi likuiditas di pasar uang. Operasi Pasar Terbuka (OPT) adalah pembelian dan penjualan obligasi pemerintah oleh bank sentral. Ketika bank sentral membeli obligasi dari publik, jumlah uang yang dibayarkan untuk obligasi itu akan meningkatkan basis moneter sekaligus meningkatkan jumlah uang beredar. Ketika bank sentral menjual obligasi kepada publik, jumlah uang yang diterima menurunkan basis moneter dan dengan demikian menurunkan jumlah uang yang beredar. Operasi pasar terbuka adalah instrumen yang paling sering digunakan oleh bank sentral AS. Dalam kenyataannya, bank sentral AS melakukan operasi pasar terbuka (OPT) di pasar obligasi New York hampir setiap pekan . Sementara itu fasilitas diskonto adalah fasilitas kredit yang diberikan kepada bank-bank dengan tingkat diskonto yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank meminjam kepada bank sentral ketika cadangan mereka terlalu sedikit untuk memenuhi persyaratan cadangan. Semakin kecil tingkat diskonto, semakin murah cadangan yang dipinjamkan , dan semakin banyak bank yang meminjam dengan fasilitas discount window bank sentral. Jadi, penurunan tingkat diskonto meningkatkan basis moneter dan jumlah uang beredar. (Mankiw, 2007) Giro Wajib Minimum (reserve requirements) adalah peraturan bank sentral yang menuntut bank-bank untuk memiliki rasio deposito-cadangan minimum. Kenaikan dalam persyaratan cadangan akan meningkatkan rasio deposito-cadangan dan menurunkan pengganda uang serta jumlah uang beredar. Perubahan-perubahan dalam persyaratan cadangan paling jarang digunakan dari ketiga instrumen kebijakan bank sentral AS. (Mankiw, 2007). GWM juga
merupakan merupakan jumlah alat likuid minimum yang wajib dipelihara oleh bank di bank Indonesia. Selanjutnya imbauan digunakan oleh Bank Indonesia dengan tujuan agar semua bank-bank dapat mengikuti langkah kebijakan moneter yang diinginkan bank Indonesia. Keseluruhan indikator kebijakan moneter ini secara langsung akan mempengaruhi sasaran berikutnya, yaitu sasaran antara. Sasaran antara bukan merupakan tujuan akhir dari kebijakan moneter, tetapi hanya merupakan intermediate target. Yang menjadi sasaran antaranya adalah jumlah uang beredar dan tingkat suku bunga Bank Indonesia (SBI). Jumlah uang beredar terdiri dari dua komponen, yaitu komponen M1 dan M2. M1 terdiri dari aset-aset yang dapat digunakan secara langsung, instan dan tanpa hambatan dalam melakukan pembayaran. Aset ini bersifat likuid. Aset dikatakan likuid jika dapat dengan cepat, mudah dan murah digunakan dalam melakukan pembayaran. M1 berhubungan dengan kebanyakan defenisi tradisional mengenai uang sebagai alat pembayaran. Sementara M2 memasukkan aset yang tidak likuid secara instan. Jika bank sentral ingin mengubah sasaran akhir, maka yang harus dilakukan adalah mengubah instrumen kebijakan moneter yang tersedia. Diagram dibawah ini menunjukkan bagaimana sasaran akhir itu dicapai.
Instrumen: (OPT, GWM, Tingkat Diskonto)
Sasaran Antara: (Jumlah uang beredar dan suku bunga M1, M2)
Harga stabil, pertumbuhan GNP riil, Pengangguran rendah
Gambar 2.1. Proses Pencapaian Sasaran Akhir
Dalam menetapkan kebijakan moneter, Bank Sentral secara langsung menggunakan instrumen atau variabel yang ada dalam kendalinya, yaitu operasi
pasar terbuka, tingkat diskonto dan cadangan bank yang diperlukan. Variabelvariabel ini membantu dalam masalah penentuan besarnya cadangan bank, uang yang beredar dan suku bunga-yaitu sasaran antara dalam kebijakan moneter. Pada akhirnya, Bank sentral merupakan partner dengan kebijakan fiskal dalam menuju tujuan akhir pada pertumbuhan GNP yang cepat, tingkat pengangguran rendah serta harga stabil. Akan tetapi biasanya Bank sentral memusatkan perhatiannya pada sasaran antara yaitu menetapkan tujuan pertumbuhan uang atau tingkat suku bunga (Samuelson dan Nordhaus, 1997). 2.1.2. Efektifitas Suku Bunga Dan Uang Beredar Sebagai Sasaran Antara Manakah yang lebih efektif sebagai sasaran antara (indikator) suku bunga atau uang beredar atau monetary aggregate. Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu penjelasan yang lebih rinci dan penjelasan yang rasional. Berikut ini diuraikan lebih rinci mengenai penjelasan pengendalian stok uang melalui analisis permintaan dan penawaran uang. Model permintaan uang secara empiris adalah fungsi dari tingkat harga, tingkat pendapatan riil dan tingkat bunga nominal. Model penawaran uang secara empiris adalah fungsi dari stok uang dalam arti paling luas dan tingkat bunga, yaitu :
mt − pt = α 0 +α 1y t − α 2 Rt + ε t mt = pt + α 0 + α 1 y t − α 2 Rt + ε t
(2.1)
mt = θ 0 + θ1 H t + θ 2 Rt + µ t
(2.2)
Dampak ε t , µ t , y t danPt mengakibatkan nilai ekspektasi stok uang sama dengan stok uang riil aktual ( M te = M t ) masing-masing sebagai berikut:
mte = pte + π 0 + π 1 y te − π 3 Rt + 0
(2.3A)
mte = θ 0 +θ 1H t + θ 2 Rt + 0
(2.3B)
Dengan asumsi bahwa nilai rata-rata E [ε t ]danE [µ t ] sama dengan nol, akibatnya permintaan dan penawaran uang stok seimbang dengan mengeliminasi tingkat bunga [Rt ] karena permintaan dan penawaran stok uang serta tingkat bunga adalah variabel endogen. Jumlah stok uang dalam arti paling luas sebagai berikut:
R=
[π 2 + θ 2 ]mte − θ 2 [Pt e + π 1 yte ] − [π 0θ 2 + π 2θ 0 ] π 2θ1
(2.4)
Substitusi persamaan (2.4) ke persamaan (2.1) dan (2.2) akan menghasilkan keseimbangan permintaan dan penawaran stok uang nominal sebagai berikut:
mt =
π 2θ1 H t + θ 2 [Pt − π 1 y t ] + π 0θ 2 + π 2θ 0 + π 2 µ t π 2 + θ2
(2.5)
Dan substitusi (2.4) ke (2.5) akan menghasilkan perbedaan jumlah permintaan stok uang nominal dengan target penawaran stok uang, yaitu : mt = mte +
π 2 [ Pt − Pt e ] + θ 2π 1 [ y t − y te ] + θ 2 ε t + π 2 µ t π 2 + θ2
(2.6)
Kuadrat perbedaan permintaan uang dengan penawaran uang disebut rata-rata kesalahan kuadrat atau Mean Square Error (MSE), yaitu:
MSE = E[mt − mte ] 2 Misalkan
z t = [ Pt − Pt e + π 1 [ y t − y te ] + ε t
(2.7) sehingga pengendalian perbedaan
permintaan dan penawaran stok uang dapat diformulasikan menjadi: mt − mte =
π 2 µt + θ 2 zt π 2 + θ2
(2.8)
Persamaan (2.8) menjelaskan kesalahan pengendalian stok uang adalah rata-rata tertimbang dari kejutan penawaran uang [µt] dan kejutan permintaan uang [zt]. Secara formal, E[zt] = 0, E[zt2] = σz2, dan E[zt zt-i] = 0 untuk i = 1, 2, 3, .., n. Aplikasikan rumus varians dua variabel untuk memperoleh MSE adalah π2 E [mt − m ] = π 2 + θ2 e 2 t
2
2 θ2 σ µ + π 2 + θ2
2π 2 θ 2 + 2 (π 2 + θ 2 )
2
2 σ ε
cov [ µ t , z t ]
(2.9)
Diketahui bahwa nilai zt dan µt adalah independen atau tidak berkorelasi sehingga cov[zt, µt] = 0. Oleh sebab itu persamaan (2.11) dapat dituliskan menjadi:
π 22 σ µ2 + θ 22 σ z2 E[mt − m ] = (π 2 + θ 2 ) 2 e 2 t
(2.10)
Persamaan (2.10) menjelaskan bahwa kesalahan pengendalian stok uang ditentukan oleh kejutan pada perilaku bank-bank komersial [µt] dan kejutan pada perilaku masyarakat dalam memegang uang [zt]. Bagaimana efektifitas pengendalian stok uang dengan instrumen tingkat bunga [Rt]? Kesalahan pengendalian stok uang dengan tingkat bunga diperoleh dengan mengurangkan persamaan (2.3A) dari (2.1), yaitu:
mt − mte = [ Pt − Pt e ] + π 1 [ y t − y te ] + ε t
E[mt − mte ] 2 = σ z2 (2.11) Dari persamaan (2.10) dan (2.11) dapat disimpulkan bahwa kebijakan pengendalian stok uang dengan:
1. Instrumen stok uang dalam arti paling luas lebih baik dibandingkan dengan instrumen tingkat bunga jika σµ2 ≤ σz2 atau kejutan pada perilaku bank-bank komersial lebih kecil atau sama dengan kejutan pada perilaku masyarakat memegang uang. 2. Instrumen tingkat bunga lebih baik dibandingkan dengan stok uang dalam arti paling luas jika σµ2 > σz2 atau kejutan pada perilaku bankbank komersial lebih besar dari kejutan pada perilaku masyarakat memegang uang. 3. Lebih jauh dapat didefinisikan jika besar parameter α2 lebih besar dari parameter θ2 atau skedul permintaan uang lebih elastis dibandingkan dengan skedul penawaran uang. Instrumen tingkat bunga lebih efektif dibandingkan dengan instrumen stok uang dalam arti paling luas. Sebaliknya jika besar parameter α2 lebih kecil dari θ2 atau skedul permintaan uang lebih inelastis dibandingkan dengan skedul penawaran uang maka instrumen stok uang dalam arti paling luas lebih efektif dibandingkan dengan instrumen tingkat bunga (Manurung, 2009). Maka untuk menstabilkan tingkat pendapatan, monetaris lebih cenderng memilih uang beredar sebagai indikator ketimbang suku bunga. Lebih lanjut mereka berargumen bahwa tingkat harga yang bergejolak sebagai akibat tindakan moneter yang dimaksudkan untuk mempertahankan kestabilan tingkat bunga justru dikemudian hari akan menyebabkan bergejolaknya suku bunga. Alasan tambahan ini lebih memperkuat pendapat mereka untuk menolak suku bunga sebagai indikator (Pohan, 2008).
Poole (1970) mengidentifikasikan tiga alternatif strategi kebijakan moneter,yaitu: strategi jangkar uang beredar (money stock targetting), strategi jangkar suku bunga (interest rate targetting), dan strategi kombinasi sistematis antara sasaran volume uang beredar dan tingkat suku bunga. Ketiga strategi tersebut lebih relevan diterapkan di dalam suatu perekonomian tertutup (derajat mobilitas rendah) atau didalam suatu perekonomian terbuka yang menerapkan kebijakan nilai tukar mengambang karena hanya di dalam kedua bentuk perekonomian tersebut otoritas moneter memiliki independensi penuh dalam mengendalikan jumlah uang beredar dan/atau suku bunga domestik. Dengan menggunakan kerangka model IS-LM, Poole (1970) menunjukkan bahwa di antara dua pilihan ekstrim: jangkar uang beredar dan jangkar suku bunga, strategi yang tepat tergantung kepada jenis tekanan ekonomi makro yang terjadi. Apabila suatu perekonomian mengalami tekanan-tekanan riil (real shocks) sehingga kurva IS mengalami pergeseran maka strategi jangkar uang beredar adalah pilihan yang lebih tepat karena perubahan suku bunga (bagi perekonomian tertutup) atau perubahan nilai tukar (bagi perekonomian terbuka) akan meredam tekanan-tekanan tersebut dan meminimalkan dampak negatifnya terhadap stabilitas harga atau produksi. Sebaliknya, apabila yang terjadi adalah tekanantekanan moneter (monetary shocks) yang menggeser kurva LM maka yang lebih tepat adalah strategi jangkar suku bunga karena perubahan uang beredar atau neraca pembayaran akan meredam tekanan–tekanan tersebut dan meminimalkan dampak negatifnya terhadap stabilitas harga atau produksi. Selain alternatif strategi di atas, terdapat dua pilihan strategi lain, yaitu strategi jangkar nilai tukar dan jangkar laju inflasi (inflation targeting) (Houben,
1997). Sebagaimana halnya strategi jangkar suku bunga, strategi jangkar nilai tukar lebih cocok diterapkan pada perekonomian yang mengalami tekanantekanan moneter khususnya dalam bentuk fluktuasi permintaan uang. Dalam hal ini,tekanan-tekanan tersebut akan diredam oleh penyesuaian pada neraca pembayaran sehingga dampak negatifnya terhadap stabilitas harga dan produksi dapat diminimalkan. Alternatif strategi jangkar laju inflasi terutama tepat untuk diterapkan di dalam perekonomian yang mengalami tekanan-tekanan besar baik moneter maupun riil pada saat bersamaan. Keunggulan utama strategi ini terletak pada kemampuannya untuk secara langsung mempengaruhi ekspektasi inflasi dan pada saat yang sama tetap memberikan keleluasaan kepada otoritas dalam menyusun respon yang tepat terhadap berbagai tekanan yang melanda perekonomian. 2.1.3.Model Mundell-Fleming Model Mundell-Fleming menguraikan bagaimana keseimbangan pasar uang dan pasar barang dalam perekonomian yang terbuka, dan menganut suatu rezim nilai tukar (Mankiw, 2000; Taylor, 1999). Asumsi Utama dari model ini diuraikan sebagai berikut. 1.
Perekonomian domestik adalah perekonomian negara kecil jika dibandingkan dengan perekonomian seluruh dunia, sehingga variabel seperti pendapatan, harga dan suku bunga bersifat eksogen.
2.
Perekonomian
domestik memproduksi barang-barang yang mengandung
bahan baku impor yang diperdagangkan di pasaran internasional dan merupakan substitusi sempurna untuk barang di pasaran internasional. 3.
Permintaan dalam negeri ditentukan dengan harga P konstan.
Harga mata uang asing dari produksi dunia P* juga diasumsikan kontan. Representasi Nilai Tukar e = nilai tukar nominal, diukur sebagai jumlah unit mata uang domestik per unit mata uang asing, misalnya £ 0,645 = 1 Euro. Kenaikan nilai tukar merupakan depresiasi nilai mata uang domestik. Keseimbangan Pasar Barang dan Kurva IS. Pada perekonomian tertutup, kondisi keseimbangan adalah: Y=E
(2.12)
Dimana, Y = Output Rill E = Pengeluaran Riil Pada perekonomian terbuka, kondisi keseimbangan adalah: Y=D
(2.13)
Dimana, D = Permintaan Domestik E
T
D=C+I+G+X–M
(2.14)
T = Real Trade balance Real Private Sector Consumption
C = c0 + c1Y
(2.14A)
Real Private Sector Investment
I = i0 − i1r
(2.14B)
Real Government Expenditure
G =G
(2.14C)
X = Nilai ekspor riil Z = Nilai impor riil ( diukur dalam output domestic) Ekspor eP * X = X , Yw P
eP * P
Nilai tukar riil
Yw
Pendapatan dunia riil
Nilai dari pendapatan dunia diasumsikan konstan. Dengan P dan P* juga konstan, argumen inilah yang menekankan jika variabel ini dimasukkan kedalam fungsi.
X = X (e )
dX 0 de
(2.14D)
Impor eP * Z = Z , Y P
Begitu juga dengan P dan P*, dan ini dapat disederhanakan
Z = z 0 (e, Y )
dz o 0; de
(2.14E)
z1 = marginal propensiti to import 0< z1 <1
Keseimbangan Pasar Barang Karena persamaan keseimbangan pasar barang adalah: Y =D
atau Y = C + I + G + X − Z
Selanjutnya substitusi persamaan (2.14 A- 2.14E) kedalam persamaan (2.14), maka akan dihasilkan:
Y = c0 + i0 + G + X (e) − z 0 (e) − (1 − c1 + z1 )Y
(2.15)
Di sederhanakan menjadi: r=
c0 + i0 + G + X (e) − z 0 (e) − (1 − c1 + z1 )Y i1
Persamaan ini menguraikan perekonomian terbuka kurva IS. Keseimbangan Pasar Uang dan Kurva LM Keseimbangan untuk Permintaan Uang Rill
(2.16)
MD = m0 + m1Y − m2 r P
(2.17)
Penawaran Uang Riil
Ms MD = P P
(2.18)
Atau
M = m0 + m1Y − m2 r P
(2.19)
Disusun kembali
r=
m0 −
M + m1Y P m2
(2.20)
Persamaan ini menguraikan Kurva LM dalam Perekonomian Terbuka. Keseimbangan Kurva Neraca Pembayaran Neraca Pembayaran Secara Keseluruhan B=T+K B = Surplus Neraca Pembayaran T = Neraca perdagangan/Surplus Current account K = Surplus Capital Acccount
(2.21)
(Catatan capital account merefleksikan transaksi dalam keuangan) Neraca Perdagangan T=X–Z
(2.22)
Atau
T = X (e) − z 0 (e) − z1Y
(2.23)
Capital Account Arus modal diasumsikan merespon perbedaan suku bunga antara mata uang domestic dan mata uang asing.
K = k (r − r * )
(2.24)
Dimana; r = tingkat suku bunga domestic r* = tingkat suku bunga dunia k (≥ 0 ) = sensitivitas bunga internasional yang merupakan gambaran mobilitas modal. Keseimbangan BOP secara keseluruhan
B ≡T + K =0
(2.25)
Substitusi persamaan (2.23) dan (2.24) kedalam persamaan (2.25) menghasilkan:
X (e) − z 0 (e) − z1Y + k (r − r*) = 0
(2.26)
Atau k (r − r*) = z 0 (e) − X (e) + z1Y
(2.27) r = r *+
z 0 (e) − X (e) + z1Y k
Persamaan ini mendefenisikan kurva BB (Keseimbangan Neraca Pembayaran) Ketidakseimbangan
BOP
mengakibatkan
kenaikan
kepada
ketidakseimbangan nilai tukar internasional. BOP Surplus adalah
kelebihan
permintaan uang domestik di pasar valuta asing. Keinginan warga asing membeli barang dan jasa domestik lebih besar dibandingkan keinginan penduduk domestik membeli barang dan jasa dari luar negeri. BOP defisit adalah
kelebihan
penawaran uang domestik di pasar valuta asing. Keinginan penduduk dalam negeri membeli barang dan jasa dari luar negeri lebih besar dibandingkan dengan keinginan warga asing membeli dari dalam negeri. Pada Nilai Tukar Mengambang ada istilah BOP Surplus, yaitu kelebihan permintaan mata uang domestik. Mata uang domestik terapresiasi : ∆e < 0 . Sedangkan BOP Defisit
adalah kelebihan penawaran mata uang domestik. Mata uang domestik terdepresiasi: ∆e 0 . Penyesuaian
nilai
tukar
dimasukkan
oleh
incipient
BOP
ketidakseimbangan ini mengakibatkan pergerakan terhadap kurva IS. Jika BOP surplus ; ∆e < 0 , kurva IS akan bergerak ke kiri. Dan jika BOP defisit ; ∆e 0 kurva IS akan bergerak ke kanan. 2.1.4. Model Inflasi Jika kuantitas keseimbangan uang riil yang diinginkan tergantung pada biaya memegang uang, tingkat harga tergantung pada suplai uang sekarang dan suplai uang masa depan (Mankiw, 2007). Model Cagan menunjukkan secara lebih eksplisit bagaimana hal ini bekerja. Untuk menjaga persamaaan matematis semudah mungkin, kita menganggap fungsi permintaan adalah linear dalam logaritma dari seluruh variabel Fungsi uang adalah mt – pt = - γ (pt+1) – pt)
(2.28 )
mt − pt − γpt = −γpt + 1
− (1 + γ ) pt = −γpt +1 − mt
(1 + γ ) pt
= γpt +1 + mt
γ pt = 1+ γ
1 pt +1 + 1+ γ
mt
(2.29)
dimana mt adalah log dari kuantitas uang pada waktu t, pt adalah log harga pada waktu t, dan γ adalah parameter yang mengarahkan sensitivitas permintaan uang pada tingkat inflasi.
Dengan piranti logaritma, mt – pt adalah log dari
keseimbangan uang riil, dan pt+1 – pt adalah tingkat inflasi antara periode t dan
periode t + 1. persamaan ini menyatakan bahwa jika inflasi meningkat sampai 1 titik persentase, keseimbangan uang riil turun sampai γ persen. Kita telah membuat sejumlah asumsi dalam menulis fungsi permintaan uang dalam cara ini.
Pertama, dengan mengeluarkan tingkat output sebagai
determinan dari permintaan uang, kita secara implisit mengasumsikan bahwa tingkat output adalah konstan. Kedua, dengan memasukkan tingkat inflasi bukan tingkat bunga nominal, kita mengasumsikan bahwa tingkat inflasi riil adalah konstan. Ketiga, dengan memasukkan inflasi aktual bukan inflasi yang diharapkan, kita mengasumsikan pandangan ke depan yang sempurna. Seluruh asumsi membuat analisa menjadi mudah. Persamaan (2.29) ini menyatakan bahwa tingkat harga sekarang adalah rata-rata tertimbang dari suplai uang sekarang dan tingkat harga periode berikutnya. Tingkat harga berikutnya akan ditentukan dengan cara yang sama seperti tingkat harga periode ini:
1 Pt +1 = 1+ γ
γ mt +1 + 1+ γ
Pt + 2
(2.30)
Menggunakan Persamaan (2.30) untuk mengganti pt+1 dalam Persamaan (2.29) untuk mendapatkan persamaan (2.31).
Pt =
γ γ2 1 mt + m p + 1+ γ (1 + γ )2 t +1 (1 + γ )2 t + 2
(2.31)
Persamaan (2.31) menyatakan bahwa tingkat harga sekarang adalah rata-rata tertimbang dari suplai uang sekarang, suplai uang periode berikutnya, dan tingkat harga periode selanjutnya. Sekali lagi, tingkat harga pada t+2 ditentukan seperti dalam Persamaan (2.30):
1 Pt + 2 = 1+ γ
γ mt + 2 + 1+ γ
pt +3
Sekarang Persamaan (2.32) disubtitusi ke dalam
(2.32) Persamaan (2.29) untuk
mendapatkan
Pt =
γ γ2 γ3 1 mt + m m p + + 1+ γ (1 + γ )2 t +1 (1 + γ )3 t + 2 (1 + γ )3 t +3
(2.33)
Kita bisa teruskan untuk menggunakan Persamaan (2.33) untuk melakukan subtitusi untuk tingkat harga masa depan. Jika kita lakukan ini dalam jumlah waktu tidak terbatas, kita temukan persamaan (2.34).
1 Pt = 1+ γ
γ mt + 1+ γ
γ mt +1 + 1+ γ
2
γ mt + 2 + 1+ γ
3 mt +3 + ......
(2.34)
Menurut Persamaan (2.34), tingkat harga sekarang adalah rata-rata tertimbang dari suplai uang sekarang dan seluruh suplai uang masa depan. Pentingnya γ, parameter yang mengarahkan sensitivitas keseimbangan uang riil terhadap inflasi. Bobot pada suplai uang masa depan menurun secara geometris pada tingkat γ / (1+ γ). Jika γ adalah kecil, maka γ / (1+ γ ) adalah kecil, dan bobotnya turun dengan cepat. Dalam hal ini, suplai uang sekarang adalah determinan primer dari tingkat harga. (jika γ sama dengan 0, maka kita dapatkan teori kuantitas uang: tingkat harga adalah proporsional terhadap suplai uang sekarang, dan suplai uang masa depan). Jika γ adalah besar, maka γ / (1+γ) adalah dekat ke 1, dan bobot turun dengan lambat. Dalam hal ini, suplai uang masa depan memainkan peran penting dalam menentukan tingkat harga hari ini.
Dengan asumsi untuk pandangan ke depan yang sempurna. Jika masa depan tidak diketahui dengan pasti, maka kita harus menulis fungsi permintaan uang sebagai:
mt ± pt = ±γ (Ept +1 ± pt ) di mana Ep
t+1
(2.35)
adalah tingkat harga yang diharapkan.
Persamaan
(2.35)
menyatakan bahwa keseimbangan uang riil tergantung pada inflasi yang diharapkan.
Dengan mengikuti langkah-langkah seperti diatas, kita bisa
tunjukkan bahwa
1 Pt = 1+ γ
γ mt + 1+ γ
γ Emt +1 + 1+ γ
2
γ Emt + 2 + 1+ γ
3 Emt +3 + ...... (2.36)
Persamaan (2.36) menyatakan bahwa tingkat harga tergantung pada suplai uang sekarang dan suplai uang masa depan yang diharapkan. Dengan menggunakan model ini untuk menyatakan bahwa kredibilitas adalah penting untuk mengakhiri hiperinflasi. Karena tingkat harga tergantung pada pertumbuhan uang sekarang dan uang masa depan yang diharapkan, inflasi tergantung pada pertumbuhan uang sekarang dan uang masa depan yang diharapkan. Karena itu, untuk mengakhiri inflasi tinggi, pertumbuhan uang yang diharapkan harus turun. Ekspektasi, sebaliknya, tergantung pada kredibilitaspersepsi bahwa bank sentral adalah benar-benar komit pada kebijakan baru yang lebih stabil. Upaya bank sentral untuk bisa mencapai kredibilitas di tengah-tengah hiperinflasi, kredibilitas sering dicapai dengan mengubah sebab-sebab yang mendasari hiperinflasi-kebutuhan pada seignorage. Jadi, reformasi fiskal yang andal seringkali diperlukan untuk perubahan yang bisa diandalkan dalam
kebijakan moneter. Reformasi fiskal ini bisa berbentuk mengurangi pengeluran pemerintah dan membuat bank sentral lebih independent dari pemerintah. Berkurangnya pengeluaran menurunkan kebutuhan terhadap seignorage saat ini. Meningkatkan independensi membuat bank sentral mampu meredam keinginan pemerintah terhadap seigniorage di masa depan. 2.1.5.Teori Pertumbuhan Sollow Swan Seiring perjalanan waktu dan dengan terjadinya pergeseran dalam aliran pemikiran dari Klasik ke Neo-Klasik, proses perkembangan ekonomi Neo-Klasik terjadi karena adanya akumulasi kapital, dimana perkembangan tersebut merupakan proses yang gradual dan harmonis serta kumulatif. Teori Neo-Klasik optimis terhadap perkembangan ekonomi, menurut mereka perkembangan ekonomi merupakan suatu proses peningkatan produksi barang dan jasa yang disebabkan perkembangan dalam jumlah dan kualitas faktor produksi. Pada tahun 1960-an, teori pertumbuhan ekonomi didominasi oleh model Neo-Klasik. Kontribusi terpenting dilakukan oleh Solow dan Swan, dengan menitikberatkan
pentingnya
pembentukan
tabungan
dan
modal
untuk
pembangunan ekonomi serta sumber-sumber pertumbuhan suatu negara. Dengan menggunakan
fungsi
produksi
Neo-Klasik,
dimana
spesifikasi
model
mengasumsikan constant return to scale, diminishing return untuk setiap input, dan elastisitas positif dari substitusi antar input. Mankiw (2007); Romer (1996) menguraikan bagaimana akumulasi modal, pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi mempengaruhi pertumbuhan perekonomian suatu negara. Penawaran barang
pada Model Solow-Swan
mengasumsikan penggunaan dua macam input dari fungsi produksi yang
digunakannya, yaitu modal (K) dan tenaga kerja (L); dalam bentuk fungsi produksi berikut: Y = F (K,L)
(2.37)
diasumsikan fungsi produksi ini adalah konstan (constan return to scale), hal ini dilakukan untuk mempermudah analisis. Fungsi produksi ini dikatakan memenuhi asumsi constan return to scale jika memenuhi persamaan ini : (2.38) Dimana
, dan jika variabel-variabel ini dibagikan kedalam jumlah per
pekerja, sehingga z=1/L maka persamaannya menjadi: (2.39) Dari persamaan ini diketahui bahwa jumlah output per pekerja Y/L adalah fungsi dari jumlah modal per pekerja K/L ( angka satu menunjukkan konstan sehingga bisa
ditiadakan) dan persamaan ini tidak dipengaruhi oleh kondisi
perekomian. Karena besarnya perekonomian tidak menjadi masalah, maka cukup beralasan jika menyatakan seluruh variabel dalam istilah jumlah per pekerja, dan dinyatakan dengan huruf kecil, dimana γ=Y/L adalah output per pekerja dan k = K/L adalah modal per pekerja, selanjutnya fungsi produksi bisa dituliskan kembali menjadi : (2.40) Dimana nilai
= F( k,1). Kemiringan dari fungsi ini menunjukkan berapa
banyak output tambahan yang dihasilkan seorang pekerja ketika mendapat satu unit modal tambahan. Angka yang diperoleh merupakan produk marjinal modal MPK. Secara matematis dapat ditulis:
(2.41) Ketika jumlah modal meningkat, kurva fungsi produksi menjadi lebih datar, yang mengindikasikan bahwa fungsi produksi mencerminkan produk marjinal modal yang kian menurun. Ketika jumlah k masih rendah tambahan satu unit modal saja sudah dapat meningkatkan tambahan output yang besar, tetapi ketika jumlah k sudah tinggi, tambahan satu unit modal hanya meningkatkan sedikit output. Berbeda dengan model permintaan barang. Pada
model Solow,
permintaan uang berasal dari konsumsi dan investasi. Dengan kata lain, output per pekerja γ merupakan konsumsi per pekerja c dan investasi per pekerja i: (2.42) Dalam model Solow diasumsikan perekonomian tertutup dan sebagian pendapatan ditabung sebesar s sedangkan sebagian lagi di konsumsi yaitu
, sehingga
fungsi konsumsi bisa dituliskan menjadi: ,
(2.43)
Besarnya nilai s diantara nilai nol dan satu dan besarnya sudah baku. Selanjutnya untuk mengetahui apakah fungsi konsumsi berpengaruh terhadap investasi substitusi persamaan
untuk c dalam identitas perhitungan pendapatan
nasional : (2.44) Dan diubah menjadi (2.45) Persamaan ini menunjukkan bahwa investasi sama dengan tabungan.
Persediaan modal dipengaruhi oleh investasi dan depresiasi. Substitusi fungsi produksi untuk γ pada persamaan (2.44), sehingga bisa ditunjukkan investasi per pekerja sebagai fungsi dari persediaan modal per pekerja. (2.46) Persamaan ini mengkaitkan persediaan modal yang telah ada k dengan akumulasi modal baru i. Selanjutnya dapat dilihat dampak investasi dan depresiasi terhadap persediaan modal yaitu: Perubahan persediaan modal = Investasi – Depresiasi ∆k
= i
Karena i sama dengan ∆k =
-
δk
(2.47)
, sehingga bisa dituliskan kembali:
– δk
(2.48)
Persamaan ini menunjukkan semakin tinggi persediaan modal, semakin besar jumlah output dan investasi, tetapi semakin besar juga depresiasinya. Ketika jumlah investasi sama dengan jumlah depresiasi, tingkat persediaan modal ini disebut tingkat modal pada kondisi mapaan (steady state level of capital) disebut juga k * atau∆k=0. Kondisi ini menunjukkan equilibrium perekonomian jangka panjang. Mengikuti kemajuan perekonomian selama bertahun-tahun adalah salah satu cara untuk mencapai tingkat persediaan modal pada kondisi mapan, tetapi ada cara lain yang memerlukan sedikit perhitungan. Menurut defenisi kondisi mapan k* adalah pada saat∆k = 0, jika nilai ini disubst ituisi ke persamaan (2.48) maka diperoleh bahwa: (2.49) Atau , sama dengan;
(2.50) Sejauh ini kita akan berfikir bahwa tabungan yang tinggi adalah selalu baik, selama mengarah kepada pendapatan yang tinggi. Tetapi jika satu negara mempunyai tingkat tabungan 100 persen, memungkinkan akan mempunyai persediaan modal yang tinggi, tetapi seluruh pendapatan ditabung dan tidak pernah dikonsumsi apakah hal ini baik ? Jika diasumsikan pembuat kebijakan bisa menentukan besarnya jumlah tabungan perekonomian, sehingga bisa ditetapkan kondisi mapan perekonomian. Kondisi yang seharusnya dipilih oleh pembuat kebijakan adalah kondisi mapan dengan tingkat konsumsi yang tinggi, disebut dengan tingkat modal kaidah emas (Golden Rule Level of capital) dan dinyatakan dengan
.
Untuk menentukan kondisi perekonomian pada kaidah emas, harus dicari terlebih dahulu konsumsi per pekerja pada kondisi mapan, selanjutnya baru dapat dilihat kondisi mapan mana yang memberi konsumsi yang paling besar. Dimulai dengan identitas perhitungan pendapatan nasional. (2.51) atau (2.52) Output per pekerja pada kondisi mapan adalah f(k*), dimana k* adalah modal per pekerja pada kondisi mapan. Selanjutnya, karena persediaan modal per pekerja tidak berubah dalam kondisi mapan, maka investasi sama dengan penyusutan δk*. Dengan mengganti f(k*) untuk γ dan δk*untuk I, sehingga persamaan (2.52) dapat ditulis kembali menjadi: (2.53)
Dari persamaan ini diketahui bahwa konsumsi kondisi mapan adalah sisa dari output kondisi mapan setelah dikurangi depresiasi pada kondisi mapan. Konsumsi pada kondisi mapan akan maksimal jika turunan pertama persamaan (2.53) sama dengan nol. Sehingga dapat dituliskan kembali:
Untuk mendapatkan k* yang memaksimalkan c* maka: dc*/dk* = f’(k*) – δ = 0
(2.54) Jadi, pengaruh neto dari unit modal tambahan terhadap konsumsi adalah . Jika
, maka kenaikan modal akan meningkatkan
konsumsi sehingga k* dibawah tingkat Kaidah Emas. Jika
, maka
kenaikan modal akan mengurangi konsumsi, sehingga k* pasti berada diatas tingkat kaidah emas. Karena itu, kondisi
menjelaskan Kaidah
Emas. Sebelumnya telah dijelaskan bagaimana pertumbuhan ekonomi pada kondisi mapan pada tingkat kaidah emas itu dicapai. Pada saat itu diasumsikan bahwa jumlah populasi dan angkatan kerja adalah konstan sementara tingkat tabungan yang tinggi hanya bisa mencapai pertumbuhan yang tinggi yang sifatnya sementara dan tidak berkelanjutan. Sehingga untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan model Solow harus diperluas lagi mencakup dua sumber lain yaitu pertumbuhan populasi dan kemajuan teknologi. Dimulai dengan bagaimana pertumbuhan populasi bisa mempengaruhi akumulasi modal per pekerja. Sekarang ada tiga variabel yang mempengaruhi
akumulasi modal per pekerja selain k atau K/L dan γ atau Y/L, yaitu pertumbuhan jumlah pekerja yang memiliki hubungan negatif dengan akumulasi modal per pekerja. Sehingga bisa dituliskan menjadi: (2.55) Pertumbuhan populasi mempengaruhi kriteria kita untuk menentukan tingkat modal Kaidah Emas (memaksimalkan konsumsi). Untuk mengetahui bagaimana kriteria ini berubah, dimulai dari konsumsi per pekrja adalah : (2.56) Karena output kondisi mapan adalah f(k*) dan investasi pada kondisi mapan adalah
, maka dapat ditulis kembali persamaan konsumsi per pekerja
adalah : (2.57) Sebelumnya telah dijelaskan bahwa tingkat k* yang memaksimumkan konsumsi adalah : MPK = δ +n, atau MPK-δ = n Dalam kondisi mapan kaidah emas, produk marginal modal (MPK)
(2.58) setelah
terdepresiasi sama dengan tingkat pertumbuhan. Sekarang akan dijelaskan pula bagaimana teknologi yang merupakan variabel eksogen akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk meningkatkan produksi. Bentuk awal dari fungsi produksi adalah: Y = F(K,L) Jika variabel teknologi dimasukkan maka akan menjadi: Y = F(K,L x E)
(2.59)
Dimana E adalah variabel baru dan abstrak, yaitu efisiensi tenaga kerja. Fungsi ini mencerminkan bahwa output total Y, bergantung kepada unit modal K dan jumlah pekerja efektif L X E. Asumsi yang paling sederhana tentang kemajuan teknologi adalah kemajuan teknologi menyebabkan efisiensi tenaga kerja E tumbuh pada tinkgat konstan g. Bentuk kemajuan teknologi itu disebut pengoptimalan tenaga kerja, dan g disebut tingkat kemajuan teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja (labour-augmenting technological progress). Karena angkatan kerja L, tumbuh pada tingkat n, dan efisiensi dari setiap unit tenaga kerja E tumbuh pada tingkat g, maka jumlah pekerja efektif L x E tumbuh pada tingkat n+g. Jika sebelumnya dianalisis dengan kuantitas per pekerja, karena sudah memasukkan variabel teknologi, maka sekarang dapat diubah menjadi: (2.60) Sedangkan output per pekerja adalah: (2.61) Sementara evolusi k sepanjang waktu sekarang menjadi: (2.62) Artinya bahwa perubahan persediaan modal ∆k sama dengan investasi sf(k) dikurangi investasi pulang pokok
. Namun karena
,
maka investasi pulang pokok meliputi tiga kaidah: untuk menjaga k tetap konstan, δk dibutuhkan untuk mengganti modal yang terdepresiasi, nk dibutuhkan untuk member modal bagi “para pekerja efektif” baru yang diciptakan oleh kemajuan teknologi. Pada kondisi mapan modal per pekerja efektif k adalah konstan. Karena , maka output per pekerja efektif juga konstan. Variabel inilah yang
menunjukkan kuantitas per pekerja efektif yang stabil pada kondisi mapan. Berdasarkan hal ini, variabel lain juga dapat diduga, misalnya pekerja aktual . Karena γ konstan pada keadaan stabil dan E tumbuh sebesar g, output per pekerja juga harus tumbuh sebesar g pada saat stabil. Demikian pula, total output perekonomian adalah
karena γ adalah konstan pada
keadaan stabil, E tumbuh pada tingkat g, dan L tumbuh pada tingkat n, maka output total tumbuh sebesar n+g pada keadaan yang stabil. Sehingga bisa disimpulkan bahwa kemauan teknologi bisa mengarahkan kepada pertumbuhan yang berkelanjutan dalam output per pekerja, sebaliknya tingkat tabungan yang tinggi mengarah ke pertumbuhan yang tinggi hanya jika kondisi mapan dicapai. Jika perekonomian sudah berada dalam kondisi mapan tingkat pertumbuhan output per pekerja hanya bergantung pada tingkat kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi juga memodifikasi kriteria Kaidah Emas. Konsumsi per perkerja efektif pada kondisi mapan adalah: (2.63) Konsumsi pada kondisi mapan dimaksimalkan jika (2.64) Atau (2.65) Yaitu; pada tingkat modal Kaidah Emas, produk marginal modal neto, MPK – δ, sama dengan tingkat pertumbuhan output total, n+g. Karena perekonomian aktual mengalami pertumbuhan populasi dan kemajuan teknologi, maka harus digunakan
kriteria ini untuk mengevaluasi apakah hal ini memiliki modal yang lebih besar atau lebih kecil dari kondisi mapan Kaidah Emas. 2.1.6. Inflasi, Pertumbuhan dan Pengangguran Dalam jangka panjang, pendapatan riil atau tingkat kesempatan kerja pada dasarnya ditentukan oleh sisi penawaran, faktor lain seperti kebijakan kesejahteraan dan kebijakan lainnya menentukan fleksibilitas pasar (ECB, 2004, hal. 41). Di sisi lain, Olivier Blanchard, Chief Economist IMF, berpendapat bahwa kebijakan moneter mempengaruhi tingkat pengangguran, baik secara aktual maupun secara alamiah (Blanchard, 2011). Perkembangan dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa pengangguran tumbuh secara bertahap. Pengangguran tumbuh secara dramatis selama resesi dan dapat kembali ke tingkat semula setelah masa resesi. Kebijakan moneter mempengaruhi kegiatan ekonomi melalui beberapa saluran termasuk suku bunga, kredit bank, harga aset, nilai tukar dan ekspektasi (Mishkin, 1996; ECB, 2004). Romer dan Romer (1994) berpendapat bahwa kebijakan moneter merupakan variabel kunci untuk mengakhiri resesi. Ada bukti kuat bahwa kebijakan moneter merupakan kebijakan yang paling efektif selama masa resesi (Lo and Piger, 2005). Peersman dan Smets (2001) menemukan bahwa untuk negara-negara Eropa, efek dari guncangan suku bunga terhadap output hampir dua kali lipat selama masa resesi. Ini menunjukkan bahwa reaksi kebijakan moneter mungkin penting dalam memahami perilaku pengangguran dari waktu ke waktu (Stockhammer and Simon, 2008). NAIRU (Non-Accelerating Inflation Rate of Unemployment) didefinisikan sebagai tingkat pengangguran di mana kondisi inflasi dalam keadaan stabil.
Kondisi ini terkadang juga disebut sebagai pengangguran jangka panjang atau struktural. Jika pengangguran turun di bawah NAIRU, pekerja dapat meminta upah yang yang lebih tinggi yang pada gilirannya menyebabkan perusahaan meningkatkan laju pertumbuhan harga. Bila inflasi naik lagi akan menyebabkan meningkatnya klaim upah nominal dan memicu spiral upah-harga (Layard et al, 1991; Carlin dan David, 2006). Model NAIRU adalah kerangka ekonomi makro yang umum, sehingga dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda. Secara khusus ada perdebatan tentang determinan dari NAIRU itu sendiri dan pada dinamika disekuilibrium (Stockhammer dan Engelbert, 2008; Staiger et al, 1997). Menurut Model Konsensus Baru, Bank Sentral (dengan asumsi mereka mengikuti Aturan Taylor atau inflasi-penargetan) akan bereaksi terhadap spiral upah-harga dengan menaikkan suku bunga riil. Secara umum diasumsikan bahwa Bank Sentral mampu menaikkan tingkat suku bunga riil (jangka pendek) melalui berbagai variasi suku bunga nominal. Tingkat bunga yang menaik akan mempengaruhi output riil secara negatif dan akhirnya menaikkan jumlah pengangguran. Meningkatnya pengangguran akan mengurangi posisi tawar pekerja. Mekanisme ini diasumsikan bekerja secara simetris sehingga Bank Sentral dapat merangsang pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan suku bunga. Beberapa variabel ekonomi makro yang dapat mempengaruhi NAIRU adalah adalah akumulasi modal dan tingkat bunga. Pengurangan modal selama masa resesi akan menyebabkan penurunan modal saham (secara paralel dengan meningkatnya pengangguran). Jika tingkat substitusi antara modal dan tenaga kerja terbatas, maka guncangan positif dari permintaan akan memiliki efek inflasi
di tingkat pekerja rendahan dan NAIRU akan meningkat (Rowthorn dan Robert, 1995, 1999; Bean, 1989). Peningkatan suku bunga dapat mempengaruhi NAIRU secara langsung (Hein, 2006) dan memiliki efek negatif pada akumulasi modal. Para penganut faham Keynesian menafsirkan NAIRU bukan merupakan tingkat ekuilibrium jangka panjang dari pengangguran, tetapi sebagai penghalang inflasi jangka pendek yang menggeser aktivitas ekonomi dan tergantung pada tingkat suku bunga riil (Arestis and Malcolm, 2005; Hein, 2004, 2006; Lavoie, 2006; Stockhammer, 2008). Model NAIRU digunakan untuk menganalisis kebijakan moneter dengan model kurva Phillips sebagai suatu karakteristik tetap, yaitu perlakuan ekspektasi inflasi dan derajat ketidakpastian tentang NAIRU. Variasi waktu dan akurasi dalam menaksir NAIRU telah mendorong ekonom berkesimpulan menolak paradigma kurva Phillips (Issard, Laxton dan Eliasson, 1999). NAIRU merupakan batas dimana tingkat pengangguran tidak menyebabkan percepatan laju deviasi inflasi agregat dengan inflasi inti. Hasil simulasi probabilitas aturan konvensional dari Taylor (1993; 1999), aturan IFBI (inflation-forecast based) dengan perataan tingkat bunga dari Clarida, aturan IFB2 (inflation-forecast based) dengan tingkat bunga dari Isard dan Laxton, (1998) dan aturan beda pertama dengan tingkat bunga dari Levin, Wieland dan Williamson (1999) telah mendemonstrasikan bahwa ekspektasi inflasi mempunyai model komponen konsisten dengan pertimbangan komponen maju (forward-looking) dan pedoman kebijakan moneter pertimbangan komponen mundur (backward looking) untuk mengukur tingkat bunga riil.
Model kurva Phillips konvex dikembangkan oleh Laxton Rose dan Tambakis (1999) mencakup penaksiran dua persamaan, yaitu kurva Phillips dengan indeks harga konsumen agregat dan indeks harga konsumen tanpa makanan dan energi. Model kurva Phillips ini menjelaskan dinamisasi ekspektasi inflasi dan tingkat pengangguran. Pada Gambar 2.2 dijelaskan bahwa deviasi inflasi agregat dengan inflasi inti (sumbu vertikal) dan tingkat pengangguran (sumbu horizontal). Inflasi inti merupakan sinonim dari ekspektasi inflasi (the expected-augmented Phillips curve) konsisten dengan persamaan (2.43). Kurva Phillips jangka pendek adalah konvex dengan asimptotis horisontal adalah pada
π − π e = −λ dengan asimptotis vertikal pada u = θ . π-πc
π- πc = γ [u-ut]/[ut-θ]
1
0
u2
u1
u
-1 -γ DNAIRU [u]
DNAIRU [μ-0.5(u1+u2)]
Gambar 2.2. Kurva Phillips Menurut Laxton, Meredith and Rose (1995), parameter Ө dapat diinterpretasikan sebagai elastisitas permintaan tenaga kerja terhadap permintaan agregat (wall parameter) atau kendala jangka
pendek penurunan tingkat
pengangguran akibat peningkatan permintaan agregat sebelum kendala kapasitas penuh mendorong tekanan inflasi agregat menjadi tak terbatas. Besaran u berhubungan dengan tingkat pengangguran dimana inflasi agregat sama dengan inflasi inti, sehingga tidak ada tekanan sistematis terhadap peningkatan atau penurunan inflasi agregat apabila kejutan penawaran agregat tidak ada. Hal ini berhubungan dengan NAIRU deterministik atau u = DNAIRU (deterministic nonaccelerating-inflation rate of unemployment). Hal penting dari DNAIRU adalah rerata tingkat pengangguran μ konsisten dengan percepatan inflasi agregat secara probabilistik sebagai referensi bahwa NAIRU lebih besar dari DNAIRU ketika kurva Phillips konvex. Gambar 2.2. mengasumsikan bahwa inflasi agregat mendekati ± 1 persen dari inflasi inti atau ekspektasi inflasi dengan inplikasi rerata tingkat pengangguran µ = 0,50(u1 + u 2 ) . Apabila tambahan adalah bahwa komponen siklus bisnis ε mengikuti proses stasioner, sehingga perbedaan NAIRU dengan DNAIRU adalah konstan, yaitu :
u = µ +ε
(2.66)
Model kurva Phillips konvex jangka pendek untuk tujuan heteristik ditentukan oleh invers deviasi tingkat pengangguran dengan tingkat pengangguran pada inflasi agregat tak berhingga dan rasio tingkat pengangguran terhadap deviasi tingkat pengagguran dengan tingkat pengangguran pada inflasi agregat tak berhingga serta kejutan penawaran agregat atau siklus bisnis, yaitu:
1
u
t π − π tc = δ −γ + εt − − θ u u t t θ
(2.67)
dimana δ dan γ adalah parameter variasi waktu. Hasil penaksiran persamaan (2.85) secara langsung akan menghasilkan tingkat pengangguran alamiah atau
tingkat pengangguran yang menghasilkan deviasi inflasi agregat dengan inflasi inti sama dengan nol (asumsi ε stasioner), yaitu:
1 ut 0=δ −γ ut − θ ut − θ u= δ
(2.68)
γ
Persamaan (2.68) menjelaskan parameter tingkat penganguran alamiah den deviasi inflasi agregat dengan inflasi inti ditentukan oleh invers deviasi tingkat pengangguran dengan tingkat pengangguran pada inflasi agregat takberhingga (wall parameter = θ). Semakin tinggi deviasi tingkat pengagguran dengan tingkat pengangguran pada inflasi agregat tak berhingga maka semakin tinggi parameter
δ , akibatnya tingkat pengangguran alamiah semakin tinggi. Sebaliknya γ semakin rendah deviasi tingkat pengangguran dengan tingkat pengangguran pada inflasi agregat tak berhingga maka semakin rendah parameter parameter δ , γ akibatnya tingkat pengangguran alamiah semakin rendah. Kurva Phillips NAIRU menggunakan spesifik model Debelle and Laxton (1997), yaitu dinamisasi inflasi inti dan rasio deviasi tingkat pengangguran alamiah, rasio tingkat pengangguran
terhadap deviasi tingkat pengangguran
dengan tingkat pengangguran pada inflasi agregat tak berhingga menentukan inflasi agregat, yaitu:
u − ut + εt ut − θ
π t = λπ te + [1 − λ ]π t −1 + γ π te =
1 N E t −i π t + i NΣ i −1
(2.69A)
π tc = λπ te + [1 − λ ]π t −1 u − u
t π t − π tc = γ + εt ut − θ
(2.69B)
(2.69C)
Dimana π t ,π t + 4 , Et π t + 4 dan π tc masing-masing inflasi agregat sebagai ukuran inflasi per tahun, ekspektasi inflasi dari masyarakat per kuartal dan inflasi inti serta u t , λ dan γ masing-masing adalah tingkat pengangguran dengan parameter yang akan ditaksir. Persamaan (2.69C) menjelaskan bahwa deviasi inflasi agregat dengan inflasi inti ditentukan oleh rasio deviasi tingkat pengangguran alamiah dan riil terhadap deviasi tingkat pengangguran dengan tingkat pengangguran pada inflasi agregat tak berhingga. Tingkat penangguran alamiah (u=δ/γ=DNAIRU) adalah batas deterministik dimana penurunan tingkat pengangguran tidak mengakibatkan peningkatan laju inflasi agregat. Asumsi implisit yang digunakan model ini adalah kontrak standar upah dilakukan selama waktu horison N kuartal. Oleh sebab itu defenisi ekspektasi inflasi adalah rerata ekspektasi inflasi satu tahun kedepan menurut pelaku ekonomi selama N kuartal. Dinamisasi inflasi agregat juga diasumsikan tergantung pada tenggang waktu inflasi agregat sebelumnya dengan jumlah koefisien λ + (1- λ) =1 adalah konsisten dengan hipotesis tingkat alamiah jangka panjang. Hipotesis tingkat alamiah menyatakan bahwa fluktuasi permintaan agregat mempengaruhi output agregat dan penggunaan tenaga kerja hanya pada periode jangka. Sedangkan pada periode jangka panjang perekonomian kembali ke tingkat output agregat dan penggunaan tenaga kerja alamiah. Inflasi dan pengangguran merupakan dua hal yang tidak diharapkan dalam suatu perekonomian. Inflasi yang tinggi dapat menyebabkan penurunan daya beli
nominal, seperti uang dan upah. Inflasi juga dapat menyebabkan ketidakpastian harga di masa depan karena tidak semua harga cenderung naik pada tingkat yang sama. Oleh karena itu perusahaan mengalami kesulitan dalam menentukan perencanaan produksi di masa depan. Dalam banyak kasus, kebijakan menaikkan inflasi dengan tujuan untuk menurunkan pengangguran justru mengakibatkan inflasi yang lebih tinggi tanpa menurunkan pengangguran. Di beberapa negara kebijakan ini menyebabkan hiper inflasi, runtuhnya sistem mata uang dan perbankan lokal yang akhirnya menyebabkan naiknya angka pengangguran.
2.1.7.Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter. Mekanisme transmisi moneter pada dasarnya menggambarkan bagaimana kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral ditransmisikan dan mempengaruhi berbagai aktifitas ekonomi dan keuangan sehingga pada akhirnya dapat mencapai tujuan akhir dari kebijakan moneter. Secara spesifik, Taylor (1993) menyatakan bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah “the process through which monetary policy decisions are transmitted into changes in real GDP and inflation”. Transmisi kebijakan moneter pada dasarnya menunjukkan interakasi antara bank sentral, perbankan dan lembaga keuangan lain, dan pelaku ekonomi disektor riil melalui dua tahap proses perputaran uang dalam ekonomi. Pertama, interaksi yang terjadi di pasar keuangan, yaitu interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan lembaga keuangan lainnya dalam berbagai aktifitas transaksi keuangan. Kedua, interaksi yang berkaitan dengan fungsi intermediasi, yaitu
interaksi antara perbankan dan lembaga keuangan lainnya dengan para pelaku ekonomi dalam berbagai aktifitas ekonomi disektor riil. Transaksi melalui pasar keuangan terjadi karena, disatu sisi bank sentral melakukan pengendalian moneter melalui transaksi keuangan yang dilakukan dengan perbankan, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabahnya. Disisi lain perbankan dan lembaga keuangan lainnya melakukan transaksi keuangan untuk portfolio investasinya. Interaksi ini dapat terjadi melaui pasar uang rupiah, pasar valuta asing, maupun pasar modal. Dengan demikian, adanya interaksi antara bank sentral dengan perbankan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap perkembangan baik volume maupun harga-harga yang terjadi di ketiga pasar keuangan tersebut. Bank-bank dalam operasinya melakukan transaksi valuta asing baik untuk kepentingannya sendiri ataupun untuk memenuhi permintaan nasabahnya. Interaksi antara bank sentral dengan perbankan ini akan berpengaruh terhadap perkembangan nilai tukar dan volume transaksi valuta asing (spot, forward, swap) maupun
posisi
cadangan
devisa
yang
dimiliki
bank
sentral
dan
perbankan.Interaksi antara bank sentral dengan perbankan di pasar uang rupiah dan valuta asing tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan di pasar modal. Hal ini terjadi karena investor pada umumnya menanamkan dananya dalam suatu portofolio investasi yang terdiri dari instrument atau produk yang di transaksikan di pasar uang, pasar valas, dan pasar modal. Mekanisme transmisi kebijakan moneter pada dasarnya mengkaji lima jalur transmisi moneter, yang dimaksud adalah jalur uang (money chanel), jalur suku bunga (interest rate
chanel), jalur harga asset (asset price chanel), jalur kredit (credit chanel), dan jalur ekspektasi (expectation chanel).
BANK SENTRAL
NFA NCG NCB
Pasar Uang Rupiah
PERBANKAN
NFA Reserves SB&PUAB Kredit
BM OPT NOI
M1,M2
Modal
Pasar Uang Valas
Pasar Dana dan Kredit
Pasar Modal
PELAKU EKONOMI
• Konsumsi • Investasi • Ekspor-Impor
• Output • Inflasi • Employment
Sumber: Sutardjo, 2005
Gambar 2.3.Transmisi Moneter Dalam Proses Perputaran Uang
2.2. Landasan Penelitan Terdahulu Sutardjo (2005) menganalisis suatu model kebijakan moneter yang mempengaruhi ekspor baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang menggunakan Vector Error Correction Model (VECM). Isu statistik model dinamis digunakan untuk melihat kemungkinan adanya hubungan jangka pendek dan jangka panjang. Pembahasan dilakukan pada periode sebelum, sesudah krisis, dan periode sebelum sampai dengan sesudah krisis. Untuk periode sebelum krisis, dalam jangka pendek instrumen moneter yang berpengaruh signifikan hanya
variabel rasio kecukupan modal, inflasi dan kredit ekspor. Sedangkan dalam jangka panjang Giro Wajib Minimum, rasio pinjaman dan simpanan, nilai tukar, inflasi, kredit ekspor, suku bunga pinjaman dan Jumlah Uang Beredar (M2) signifikan terhadap ekspor. Pada periode sesudah krisis, dalam jangka pendek hanya Giro Wajib Minimum dan inflasi yang signifikan terhadap ekspor. Sedangkan untuk jangka panjang hanya kredit ekspor yang tidak signifikan. Untuk periode sebelum sampai dengan sesudah krisis, dalam jangka pendek hanya Jumlah Uang beredar (M2) yang signifikan terhadap ekspor. Sedangkan dalam jangka panjang semua instrumen moneter signifikan terhadap ekspor. Kajian ini juga menemukan bahwa pada periode sebelum krisis (Januari 1990 sampai dengan Mei 1997), dalam jangka pendek CAR mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap ekspor, demikian juga dengan variabel antara seperti CPI dan KDEX. Sedangkan dalam jangka panjang yang signifikan mempengaruhi ekspor adalah GWM dan LDR serta semua variabel antara (EXRATE, CPI, KDEX, M2 dan LEDR). Selain itu terdapat hubungan negatif antara EXRATE, LEDR dan M2 terhadap ekspor. Pada periode sesudah krisis (Oktober 1998 sampai dengan Desember 2004), dalam jangka pendek GWM dan CPI mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap ekspor. Sedangkan dalam jangka panjang, variabel SBI, GWM, CAR dan LDR serta semua variabel antara kecuali KADEX, CPI dan M2 mempunyai hubungan positif terhadap ekspor, sedangkan EXRATE dan LEDR mempunyai hubungan negatif terhadap ekspor. Dari hasil Impulse Respon Function pada periode sebelum krisis terlihat bahwa pengaruh suku bunga SBI lebih kuat dibandingkan dengan Giro Wajib
Minimum (GWM), rasio kecukupan modal (CAR) dan rasio simpanan dan pinjaman (LDR). Sedangkan periode sesudah krisis diperoleh informasi bahwa shock SBI mempunyai pengaruh yang lebih kuat dibandingkan dengan variabel kebijakan GWM, CAR atau LDR. Mahendra (2008), melakukan penelitian tentang analisis kebijakan moneter dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Menggunakan model ekonometrik, penelitian ini menemukan bahwa SBI, kredit dan investasi mampu menjelaskan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan dengan nilai R2 sebesar 0,9758. Selain itu, tingkat SBI memiliki hubungan yang negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan jumlah kredit dan investasi berpengaruh positif terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi. Dampak ketidakstabilan nilai tukar rupiah terhadap permintaan uang M2 di Indonesia, diteliti oleh Lestari (2008). Dengan menggunakan model ECM, ia menemukan bahwa kecepatan penyesuaian menuju keseimbangan di antara variabel-variabel permintaan uang riil, pendapatan nasional, kurs, inflasi dan suku bunga membutuhkan waktu tiga kuartal dan tidak ditemukan hubungan kausalitas dua arah di antara kelima variabel yang dipakai dalam penelitian. Selain itu, dari impulse response diketahui bahwa respon variabel M2 terhadap empat variabel lainnya sangat fluktuatif terutama ketika variabel lain mengalami shock, namun kondisi ini pada akhirnya akan kembali stabil Hubungan antara nilai tukar dan jumlah uang beredar di Indonesia selama periode pengamatan tergantung pada harapan (expectation) pemegang uang sehingga sulit untuk mempertahankan hubungan yang stabil antara nilai tukar dan permintaan uang M2. Masyarakat Indonesia cenderung berpendapat bahwa
memegang uang bukan hanya untuk tujuan transaksi, tetapi lebih kepada tujuan untuk berjaga-jaga, bahkan tidak tertutup kemungkinan untuk motif spekulasi. Adisti (2004) melakukan penelitian tentang perubahan GWM terhadap inflasi di Indonesia, dengan menggunakan model persamaan simultan. Dalam penelitian ini, inflasi dideskripsikan sebagai fungsi dari harga, nilai tukar dan jumlah uang beredar (M1), sedangkan jumlah uang beredar sendiri merupakan fungsi dari pendapatan nasional, lag jumlah uang beredar, GWM, nilai tukar, harga dan suku bunga deposito. Perubahan dari GWM mempengaruhi penawaran uang secara negatif, yang akhirnya akan mempengaruhi inflasi. Banjarnahor (2008), melakukan studi tentang Mekanisme Suku Bunga SBI Sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Makroekonomi Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah SBI dengan tenor satu bulan, suku bunga deposito menurut kelompok bank umum dengan tenor satu bulan, nilai tukar (KURS) rupiah terhadap dolar Amerika, uang beredar dalam arti sempit (M1), PDB menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan tahun 2000, dan IHK berdasarkan harga konstan tahun 2000.Menggunakan alat analisis VAR, IRF dan FEDV, disimpulkan bahwa dari hasil analisis IRF ditemukan perubahan suku bunga deposito, perubahan persentase nilai tukar, perubahan persentase jumlah uang beredar, perubahan persentase nilai PDB, dan perubahan persentase nilai IHK memberikan respon terhadap shock perubahan suku bunga SBI dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, pengaruh shock dari perubahan suku bunga SBI tidak bersifat permanen terhadap semua variabel analisis tersebut, melainkan akan menghilang dan tidak lagi mempengaruhi respon variabelvariabel tersebut. Sedangkan dari hasil nilai FEVD dapat dinyatakan bahwa shock
perubahan suku bunga SBI menjadi penjelas terbesar fluktuasi perubahan suku bunga deposito dalam jangka pendek. Dampak shock perubahan suku bunga SBI terhadap fluktuasi perubahan suku bunga deposito dalam jangka panjang semakin menurun namun tetap memberikan pengaruh yang besar. Sementara itu, pengaruh shock perubahan suku bunga SBI terhadap variasi perubahan persentase nilai tukar, perubahan persentase jumlah uang beredar, perubahan persentase nilai PDB, dan perubahan persentase nilai IHK secara umum mengalami peningkatan selama periode pengamatan. Pada jangka pendek, shock perubahan suku bunga SBI memberikan pengaruh yang kecil dalam menjelaskan variasi perubahan persentase nilai tukar, perubahan persentase jumlah uang beredar, dan perubahan persentase nilai IHK. Namun, pada jangka panjang kemampuan shock tersebut semakin meningkat. Sementara itu, variasi perubahan persentase nilai PDB sangat kecil dijelaskan oleh shock perubahan suku bunga SBI, baik pada jangka pendek maupun pada jangka panjang. Dalam kajian ini disimpulkan bahwa secara umum, shock perubahan suku bunga SBI memberikan pengaruh yang besar terhadap variasi perubahan suku bunga deposito. Sementara itu, shock perubahan suku bunga SBI memiliki kemampuan yang kecil dan butuh waktu yang lama dalam mempengaruhi variasi variabel analisis lainnya. Namun, variasi variabel analisis lainnya cukup besar dijelaskan oleh shock perubahan suku bunga deposito. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan suku bunga SBI dapat memberikan pengaruh secara tidak langsung pada variabel makroekonomi lainnya, yaitu melalui perubahan suku bunga deposito. Sutawijaya dan Zulfahmi (2010), melakukan penelitian tentang Pengaruh Ekspor terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia tahun 1980-2006. Untuk
melihat pengaruh investasi swasta, investasi pemerintah, ekspor migas dan ekspor non migas terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, digunakan metode OLS diestimasi model berikut: LnYt = α + α1LnIPt + α2LnIGt + α3LnXMGt + α4LnXNMGt + et
(2.70)
dengan Y adalah Produk Domestik Bruto, IP adalah investasi swasta, IG adalah investasi pemerintah, XMG adalah ekspor migas, dan XNMG adalah ekspor non migas. Sedangkan α1, α2, α3, dan α4 adalah koefisien regresi dari masing-masing variabel, e adalah variabel pengganggu (error term), dan t menunjukkan indikasi waktu. Dari hasil penelitian diketahui bahwa investasi swasta, investasi pemerintah, ekspor migas, ekspor non migas secara bersamasama berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Variabel investasi swasta, investasi pemerintah dan ekspor non migas berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan ekspor migas tidak berpengaruh secara statistik terhadap pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya Sutawijawa dan Zulfahmi (2010) menemukan bahwa investasi swasta memberi dampak yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi dibanding variabel lainnya, diikuti oleh variabel investasi pemerintah dan ekspor non migas. Syahza (2003) menggunakan data time series dan metode OLS untuk mengestimasi Perkembangan Ekspor dan Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Riau. Model estimasi yang digunakan terdiri dari dua jenis, yaitu: ln M't = a + b1 ln Yt + b2 ln Xt + b3 ln M't-1 + ln et ln M't = a + b2 ln Xt + b3 ln M't-1 + ln et ln It = a + b1 ln M't + b2 ln It-1 + ln vt ln Yt = a + b1 ln It + b2 ln Xt + b3 ln Yt-1 + ln ut
(2.71) (2.72) (2.73) (2.74)
Model pertama menggunakan persamaan (2.69), (2.70) dan (2.71), sedangkan model ke dua menggunakan persamaan (2.72), (2.73), dan (2.74). Dari hasil
estimasi model diketahui bahwa ekspor sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah Riau, baik menggunakan model pertama maupun model ke dua. Selain itu, pertumbuhan investasi juga mendorong pertumbuhan ekonomi. Soenhadji (2003), menggunakan analisis regresi log untuk mengestimasi jumlah uang beredar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Model persamaan estimasinya adalah:
ln M 2 = α 0 + α1 ln G + α 2 ln Rd + α 3 ln mm
(2.75)
dengan M2 adalah jumlah uang beredar dalam arti luas, G adalah pengeluaran pemerintah, Rd merupakan cadangan devisa, dan mm merupakan angka pengganda uang. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa pengeluaran pemerintah secara positif dan signifikan berpengaruh terhadap jumlah uang monesy supply untuk periode 1990-2002, sedangkan pengganda uang justeru tidak berpengaruh signifikan. Julaiha dan Insukrindo (2004), melakukan penelitian untuk mengetahui dampak kebijakan moneter terhadap perekonomian Indonesia serta untuk mengetahui instrumen moneter yang paling baik dalam menjelaskan variasi dari variabel makroekonomi. Penelitian ini menggunakan model VAR/VECM, dengan analisis IRF dan VD. Menggunakan dua jenis model, yaitu VECM Model 1, dengan variabel independen adalah M0 (sebagai variabel kebijakan) dan variabel dependen adalah DEP1 (suku bunga deposito satu bulan) , IHK, PDB, dan ER (nilai tukar). Sedangkan model kedua adalah VECM dengan variabel independen adalah SBI (sebagai variabel kebijakan) dan variabel dependen adalah DEP1, IHK, PDB, dan ER.
Berdasarkan hasil IRF, ditemukan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak merespon adanya shock satu standar deviasi dari uang primer. Sedangkan pengaruh shock uang primer terhadap inflasi yang terlihat cukup signifikan, ternyata menghasilkan prize puzzle, yaitu kondisi dimana ekspansi moneter yang dilakukan oleh otoritas moneter direspon dengan penurunan inflasi. Penggunaan suku bunga SBI sebagai variabel kebijakan memberikan hasil yang lebih baik daripada penggunaan uang primer, sehingga interpretasi ekonomi dari hasil IRF lebih mudah dan sesuai dengan teori. Penggunaan agregat moneter untuk kasus di Indonesia, hanya berdampak pada inflasi dan tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya berdasarkan analisis VD,ditemukan bahwa uang primer tidak mampu memberikan kontribusi terhadap variasi pertumbuhan ekonomi, dan hanya berkontribusi terhadap variabilitas inflasi. Sedangkan SBI memiliki kemampuan untuk menjelaskan variabilitas pertumbuhan ekonomi dan SBI terlihat lebih mampu memberi kontribusi terhadap pertumbuhan ketika penggunaan waktu semakin panjang. Hal yang menarik dari VD, bahwa nilai tukar ternyata sangat dipengaruhi oleh variabel kebijakan, baik ketika menggunakan variabel kebijakan uang primer maupun ketika menggunakan SBI, sehingga disimpulkan bahwa adanya shock kebijakan moneter akan direspon lebih cepat oleh nilai tukar dibandingkan dengan variabel makroekonomi yang lain. Wardhana dan Nugroho (2006), melakukan penelitian untuk mengetahui dampak shock penawaran tenaga kerja terhadap perekonomian. Variabel yang digunakan adalah tingkat upah rata-rata nasional tahunan, PDB riil, dan tingkat pengangguran
nasional
tahunan.
Dengan
model
SVAR,
penelitian
ini
menyimpulkan bahwa perubahan tingkat pengangguran kurang dipengaruhi oleh
tingkat perubahan PDB. Komponen pembentuk PDB bukan didominasioleh sektor riil atau kegiatan yang kurang memiliki mutiplier dan spilover yang tinggi seperti kegiatan konsumsi. Selain itu, gejala hysteresis (perkembangan angka pengangguran yang terus meningkat) diduga muncul karena adanya kebijakan moneter yang ketat guna menekan laju inflasi yang tidak diiringi oleh kebijakan fiskal ekspansif. Lebih ringkas, penelitian sebelumnya disajikanpada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Ringkasan Penelitian Sebelumnya No 1
Peneliti/Tahun/Judul Sutarjo; 2005; Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Perkembangan Ekspor Indonesia Selam Periode 19902004 (Suatu Analisis Vector Error Correction Model)
Variabel Giro Wajib Minimum, rasio pinjaman dan simpanan, nilai tukar, inflasi, kredit ekspor, suku bunga pinjaman, jumlah uang beredar (M2), dan rasio kecukupan modal Pertumbuhan ekonomi, SBI, investasi,dan kredit
Metode VAR/VECM
2
Mahendra; 2008 Analisis Kebijakan Moneter dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
3
Lestari; 2008 Dampak Ketidak Stabilan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Permintaan Uang M2 di Indonesia
Permintaan uang riil, pendapatan nasional, kurs, inflasi, suku bunga.
VAR/ECM
4
Adisti; 2004 Analisis Pengaruh Perubahan Giro Wajib Minimum (GWM)
Inflasi, nilai tukar, GWM, pendapatan nasional, JUB
Model Persamaan Simultan
Model Ekonometrik
Kesimpulan pada periode sebelum krisis: (a) pengaruh SBI lebih kuat dibandingkan dengan GWM, CAR dan LDR; (b) dalam jangka panjang GWM, LDR, EXRATE, INF, KDEX, r dan M2 signifikan terhadap ekspor. Periode sesudah krisis: (a) shock SBI mempunyai pengaruh yang lebih kuat dibandingkan dengan variabel GWM, CAR atau LDR; (b) dalam jangka panjang, SBI, GWM, CAR dan LDR dan semua variabel antara kecuali KADEX, CPI dan M2 mempunyai hubungan positif terhadap ekspor, sedangkan EXRATE dan LEDR mempunyai hubungan negatif terhadap ekspor SBI, kredit dan investasi mampu menjelaskan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan dengan nilai R2 sebesar 0,9758. Selain itu, tingkat SBI memiliki hubungan yang negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan jumlah kredit dan investasi berpengaruh positif terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi. (a) Kecepatan penyesuaian menuju keseimbangan di antara variabel permintaan uang riil, pendapatan nasional, kurs, inflasi dan suku bunga membutuhkan waktu tiga kuartal; (b) tidak ditemukan hubungan kausalitas dua arah di antara kelima variabel; (c) respon variabel M2 terhadap empat variabel lainnya sangat fluktuatif terutama ketika variabel lain mengalami shock, namun kondisi ini pada akhirnya akan kembali stabil; (d) hubungan antara nilai tukar dan jumlah uang beredar tergantung pada expectation pemegang uang. Perubahan dari GWM mempengaruhi penawaran uang secara negatif, yang akhirnya akan mempengaruhi inflasi.
Terhadap Inflasi Indonesia
di
(M1), Suku bunga deposito, penawaran uang SBI, suku bunga deposito, kurs, jumlah uang beredar (M1), IHK dan PDB
5
Banjarnahor; 2008 Mekanisme Suku Bunga SBI Sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.12007.4
6
Sutawijaya dan Zulfahmi; 2010 Pengaruh Ekspor dan Investasi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 19890-2006
PDB, investasi swasta, investasi pemerintah, ekspor migas, dan ekspor non migas
OLS
7
Syahza; 2003 Perkembangan Ekspor dan Pertumbuhan Ekonomi di Riau Soeanhadji; 2003 Jumlah Uang Beredar dan faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
Pertumbuhan ekonomi, investasi, ekspor,
OLS
M2, pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah, sadangan devisa, pengganda uang. Jumlah uang primer (M0), SBI, suku bunga deposito, inflasi, PDB, dan nilai tukar
OLS
pengeluaran pemerintah secara positif dan signifikan berpengaruh terhadap jumlah uang monesy supply untuk periode 19902002, sedangkan pengganda uang justeru tidak berpengaruh signifikan.
VAR/VECM
Tingkat upah rata-rata nasional, PDB riil, dan tingkat pengangguran
SVAR
(a) penggunaan SBI sebagai variabel kebijakan, memberikan hasil yang lebih baik daripada penggunaan uang primer; (b) uang primer tidak mampu memberikan kontribusi terhadap variasi pertumbuhan ekonomi, uang primer hanya berkontribusi terhadap variabilitas inflasi; (c) SBI memiliki kemampuan untuk menjelaskan variabilitas pertumbuhan ekonomi; (d) shock kebijakan moneter ternyata direspon secara cepat oleh nilai tukar dibandingkan variabel lain. (a) perubahan tingkat pengangguran kurang dipengaruhi oleh tingkat perubahan PDB; (b) perkembangan angka pengangguran yang terus meningkat diduga dipengaruhi oleh kebijakan moneter yang ketat, tanp[a diiringi oleh kebijakan fiskal ekspansif.
8
9
Julaihah dan Insukindro; 2004 Analisis Dampak Kebijakan Moneter terhadap Variabel Makroekonomi di Indonesia Tahun 1983.1 – 20
10
Wardhana dan Nugroho; 2006 Pengangguran Struktural di Indonesia: Keterangan dari Analisis SVAR
VAR
(a) jangka panjang: pengaruh shock perubahan SBI tidak bersifat permanen terhadap semua variabel; (b) jangka pendek: shock perubahan SBI memberikan pengaruh yang kecil dalam menjelaskan variasi perubahan nilai tukar, jumlah uang beredar, dan IHK; (c) perubahan SBI dapat memberikan pengaruh tidak langsung pada variabel makroekonomi lainnya melalui suku bunga deposito. (a) investasi swasta, investasi pemerintah, ekspor migas, ekspor non migas secara bersamasama berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi; (b) investasi swasta, investasi pemerintah dan ekspor non migas berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan ekspor migas tidak berpengaruh secara statistik; (c) investasi swasta memberi dampak lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi dibanding variabel lainnya, diikuti oleh variabel investasi pemerintah dan ekspor non migas (a) ekspor sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi; (b) pertumbuhan investasi mendorong pertumbuhan ekonomi
11
12
13
14
15
dalam Kerangka Hysteresis. FR. Haryanto; 2007 Dampak Insrumen Kebijakan Moneter TerhadapPerekonomi an Indonesia: Suatu Analisis Jalur Mekanisme Transmisi Moneter Hakim, 2003; Kebijakan Moneter Ekspansif Dan Volatilitas Harga – Harga Aset 1990-2001 Truhadmini, 2008; Pemilihan Inflation Targetting Framework, Respon variabel Makro Terhadap Inflasi, serta determinan inflasi di Indonesia
Triyono, 2008; Analisis Perubahan Kurs Rupiah Terhadap Dollar Amerika Satria dan Juhro, 2011; Perilaku Risiko Dalam Mekanisme transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
16
Arifiin,1998, Efektifitas Suku Bunga dalam Rangka Stabilisasi Rupiah di masa Krisis,
17
Natsir, 2008, Analisis Efektivitas Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Indonesia melalui jalur nilai tukar, periode 19902007
Nilai Tukar, Tingkat bunga, IHK, Ekspor, Impor,Investasi, uang kartal, uang giral, deposito, deposito, penawaran, uang Uang Luas, IHSG, Nilai Tukar Nominal, PUAB
VAR
Pengaruh perubahan instrumen kebijakan moneter dalam jalur-jalur mekanisme moneter menunjukkan dampak yang bervariasi pada kinerja perekonomian, tidak seluruh jalur mekanisme transmisi moneter menunjukkan efektifits efektivitasyang sama terhadap pencapaian target makro ekonomi tersebut.
VAR
Nilai tukar rupiah/USD, suku bunga SBI, M0,M1, M2, IHK, PDB riil, Pengeluaran konsumsi, Pengeluaran Konsumsi, Investasi, Sukubunga Deposito 1,3,6,12 bulan, Suku Bunga PUAB /ON, Suku Bunga KMK` Kurs, JUB, Inf, SBI, SBI, Impor, Jub
VAR
Kredit riil, GDP, Indeksnpersepsi resiko pelaku di sektor perbankan, tingkat resiko,stance kebijakan moneter Suku bunga, Inflasi dan Nilai Tukar
VECM
Kebijakan moneter berpengaruh terhadap volatilitas harga-harga aset, Pengaruh kebijakan moneter terhadap volatilitas pasar modal paling kuat dibandingkan dengan pasar uang. Super Neutrality terjadi di Indonesia, Kebijakan Moneter yang aktif, berdampak pada ketidak stabilan makro, Inflasi mempengaruhi kestabilan makro, perubahan framework kebijakan moneter menjadi inflation targetting adalah sesuatu yang relevan, Price Channel lebih efektif metransmisikan kebijakan moneter menuju sasaran inflasi, Shock yang terjadi pada inflasi, pada tahap awal menimbulkan penurunan uang beredar, pengeluaran konsumsi, investasi serta pertumbuhan ekonomi, determinan inflasi di Indonesia pada periode prakrisis dipengaruhi oleh jumlah uang beredar, sedangkan pada periode krisis nilai tukar SBI, Impor mempunyai pengaruh signifikan dan positif terhadap kurs, regressi Jangka pendek inflasi, sbi dan kurs tidak signifikan terhadap JUB. Persepsi resiko pelaku ekonomi dan tingkat resiko disektor perbankan memiliki peran yang signifikan dalam transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit Indonesia, stance kebijakan moneter indonesia yang longgar memiliki efek perilaku perbankan risk averse
SBI, INF, PSB, Nilai Tukar, Capital Inflow, Output Gap
VAR
VECM
UREM
Suku Bunga efektif mempengaruhi nilai tukar apabila tidak ada variabel lain yang mengganggu,BLBI memberi kontribusi terhadap ekspansi uang beredar,nilai tukar dan inflasi saling mempengaruhi. Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar membutuhkan time lag atau kecepatan sekitar 16 triwulan hingga terwujudnya sasaran akhir kebijakan moneter (inflasi). Respons variabel-variabel pada jalur nilai tukar terhadap perubahan instrumen
18
19
20
21
22
moneter (Suku Bunga SBI) relatif lemah dan variabel utama jalur ini yaitu nilai tukar/kurs hanya mampu menjelaskan variasi inflasi sebesa 19,70% lebih kecil dibandingkan dengan porsi yang dapat dijelaskan oleh Paritas Suku Bunga (PSB) yakni sebesar 43,27%. Hasil ini menunjukkan Granger causalitydan predictive poweryang lemah antara Kurs dan Inflasi. Ekspor berhubungan positif dan signifikan terhadap ketiga kredit, tingkat bunga dan nilai tukar berhubungan negatif dengan ketiga macam kredit.
Ditria dkk,2008. Pengaruh Tingkat Suku Bunga,Nilai Tukar dan Jumlah Ekspor Terhadap Tingkat Kredit Perbankan Sutikno, 2007. “Dampak Kebijakan Moneter Terhadap Performance Makro Ekonomi Indonesia Sebelum dan Pasca Krisis) Fajar, 2010, Studi Empiris Efek Fisher Di Indonesia (1986 – 2010 Ruslan.D, Albar A, dan Khusayiri A, 2013, Regional Macroeconomic Model Of Bank Indonesia (REMBI) Wilayah Provinsi Sumatera Bagian Utara
SBI 1 M, Kurs, Ekspor, Kredit Investasi, Kredit Konsumsi, Kredit Modal Kerja
Regresi Linier Berganda
Inflasi, M1, PDB, Nilai tukar, suku bunga SBI, nilai tukar
VAR
Output gap dan nilai tukar dapat dijadikan sebagai leading indicator inflasi yang terjadi di Indonesia.
Inflasi rate
VECM
BI rate dan inflasi saling mempengaruhi, efek fisher terjadi di Indonesia, dalam jangka pendek ada hubungan antara infasi.
PDRB, BI rate, volume kredit, Investasi, Nilai tukar
ECM
Ruslan.D, Manurung.J, Sihombing.B, dan Albar.A, 2008. Model Ekonomi Makro Provinsi Sumatera Utara Proyeksi Dengan Stochastic Simulation
Penawaran Agregat terdiri dari;Produktivitas Tenaga Kerja, Penawaran Tenaga Kerja, Penggunaan Tenaga Kerja, Tingkat Upah, Tingkat Pengangguran, Stok Modal Manusia, Stok Modal Fisik, PDRB, Pengangguran. Permintaan
Two-stage Least Square (2SLS) dan Three-Stages Least Square (3SLS)
REMBI Sumut memiliki akurasi cukup baik dalam estimasi dan proyeksi variabel utama ekonomi makro, ditandai dengan fitted value, yang cukup baik, dan nilai U theilyang secara umum bernilai dibawah 0,1 baik in sample maupun out sample. Simulasi REMBI Sumut menunjukkan hasil yang sesuai dengan teori ekonomi dan hipotesis. REMBI Sumut dapat menggambarkan karakteristi perekonomian wilayah Sumut yang didominasi oleh sektor pertanian. Hasil penaksiran MODESU secara baik dapat menjelaskan bagaimana proses mekanisme transmisi dan pengaruh perubahan supply side policy, demand side policy dan external change terhadap aktifitas agregat daerah.
dan
BI
23
Sutawijaya.A., Lestari EP,2013, Penerapan Metode VAR dalam Interaksi Fiskal dan Moneter di Indonesia.
24
Fitrawaty
Agregat terdiri dari; nilai residual atau persediaan, konsumsi rumah tangga, ekspor dan impor, investasi, pendapatan dan belanja daerah, surplus dan defisit anggaran, tingkat bunga deposito, tingkat suku bunga SBI, inflasi, IHK Tingkat Suku bunga, Pengeluaran Pemerintah, Inflasi dan Pendapatan Nasional. Opt, gwm, rdiskonto, JUB, Exc, Expor, Imp, Inv, Inf, Grow, Unemp, Bop
VAR
SVAR
Kebijakan Fiskal merupakan guncangan negatif dan direspon dengan kebijakan moneter ketat, sedangkan guncangan kebijakan moneter akan mengurangi pendapatan nasional. Penerapan kebijakan moneter dan fiskal akan menaikkan pertumbuhan ekonomi secara efektif. Pada periode jangka pendek dan jangka menengah, varians investasi (INV) secara dominan mengkontribusi pengangguran, tetapi pada jangka panjang varians impor secara dominan mengkontribusi terhadap pengangguran. Untuk variabel BOP, pada jangka pendek dan menengah dipengaruhi dominan oleh BOP, sedangkan pada jangka panjang dipengaruhi oleh varians impor. Selanjutnya variabel inflasi, pada jangka pendek