BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kecukupan Gizi Perbandingan antara konsumsi zat gizi (energi dan protein) dengan keadaan gizi seseorang biasanya dilakukan perbandingan pencapaian konsumsi zat gizi individu tersebut berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) (Supariasa, dkk., 2002). 2.1.1. Tingkat Kecukupan Energi Energi merupakan asupan utama yang sangat diperlukan oleh tubuh. Kebutuhan energi yang tidak tercukupi dapat menyebabkan protein, vitamin, dan mineral tidak dapat digunakan secara efektif. Untuk beberapa fungsi metabolisme tubuh, kebutuhan energi dipengaruhi oleh BMR (Basal Metabolic Rate), kecepatan pertumbuhan, komposisi tubuh dan aktivitas fisik. Energi yang diperlukan oleh tubuh berasal dari energi kimia yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi. Energi diukur dalam satuan kalori. Energi yang berasal dari protein menghasilkan 4 kkal/gram, lemak 9 kkal/gram, dan karbohidrat 4 kkal/ gram (Baliwati, 2004). Hasil penelitian Salmawati (2006) pada pasien penderita skizofrenia di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor diketahui bahwa pada umumnya tingkat kecukupan energi penderita skizofrenia ada pada kategori normal, sementara tingkat kecukupan protein ada pada kategori defisit berat, dan secara keseluruhan status gizi pasien penderita skizofrenia umumnya berada pada kategori kurus 24%, normal 68%, dan gemuk 8%. Standar tingkat kecukupan energi yang digunakan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara mengacu kepada Direktorat Kes. Jiwa Depkes, R.I., tahun 1986, yaitu 2500 kkal
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Tingkat Kecukupan Protein Protein merupakan zat gizi yang paling banyak terdapat dalam tubuh. Fungsi utama protein adalah membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. Fungsi lain dari protein adalah menyediakan asam amino yang diperlukan untuk membentuk enzim
pencernaan
dan
metabolisme,
mengatur
keseimbangan
air,
dan
mempertahankan kenetralan asam basa tubuh (Almatsier, 2005). Sumber makanan yang paling banyak mengandung protein berasal dari bahan makanan hewani, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sedangkan sumber protein nabati berasal dari tempe, tahu, dan kacang-kacangan. Catatan Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 1999, menunjukkan secara nasional konsumsi protein sehari rata-rata penduduk Indonesia adalah 48,7 gram sehari. Anjuran asupan protein berkisar antara 10 – 15% dari total energi (Almatsier, 2005). Standar tingkat kecukupan protein yang digunakan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara mengacu kepada Direktorat Kes. Jiwa Depkes, R.I., tahun 1986, yaitu 60 gr. 2.1.3. Tingkat Kecukupan Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi kehidupan manusia yang dapat diperoleh dari alam, sehingga harganya pun relatif murah (Djunaedi, 2001). Sumber
karbohidrat
berasal
dari
padi-padian
atau
serealia,
umbi-umbian,
kacangkacangan dan gula. Sumber karbohidrat yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sebagai makanan pokok adalah beras, singkong, ubi, jagung, talas, dan sagu. Karbohidrat menghasilkan 4 kkal / gram. Angka kecukupan karbohidrat sebesar 50-65% dari total energi. Almatsier, (2005) menganjurkan agar
Universitas Sumatera Utara
55-75% konsumsi energi total berasal dari karbohidrat kompleks. Karbohidrat yang tidak mencukupi di dalam tubuh akan digantikan dengan protein untuk memenuhi kecukupan energi. Apabila karbohidrat tercukupi, maka protein akan tetap berfungsi sebagai zat pembangun 2.1.4. Tingkat Kecukupan Lemak Lemak merupakan cadangan energi di dalam tubuh. Lemak terdiri dari trigliserida, fosfolipid, dan sterol, dimana ketiga jenis ini memiliki fungsi terhadap kesehataan tubuh manusia. Konsumsi lemak paling sedikit adalah 10% dari total energi. Lemak menghasilkan 9 kkal/ gram. Lemak relatif lebih lama dalam sistem pencernaan tubuh manusia. Jika seseorang mengonsumsi lemak secara berlebihan, maka akan mengurangi konsumsi makanan lain. Berdasarkan PUGS, anjuran konsumsi lemak tidak melebihi 25% dari total energi dalam makanan sehari-hari. Sumber utama lemak adalah minyak tumbuh-tumbuhan, seperti minyak kelapa, kelapa sawit, kacang tanah, jagung, dan sebagainya. Sumber lemak utama lainnya berasal dari mentega, margarin, dan lemak hewan (Almatsier, 2005).
2.2. Tingkat Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Angka kecukupan gizi yang dianjurkan merupakan suatu ukuran kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari untuk semua orang yang disesuaikan dengan golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal dan mencegah terjadinya defisiensi zat gizi (Depkes, 2005). Angka Kecukupan Energi (AKE) merupakan rata-rata tingkat konsumsi energi dengan
Universitas Sumatera Utara
pangan yang seimbang yang disesuaikan dengan pengeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas fisik. Angka Kecukupan Protein (AKP) merupakan rata-rata konsumsi protein untuk menyeimbangkan protein agar tercapai semua populasi orang sehat disesuaikan dengan kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas fisik. Kecukupan karbohidrat sesuai dengan pola pangan yang baik berkisar antara 50-65% total energi, sedangkan kecukupan lemak berkisar antara 20-30% total energi (Hardinsyah dan Tambunan, 2004). Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan bagi Bangsa Indonesia (per orang per hari) dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1. Angka Kecukupan Gizi Rata-rata yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia (Per Orang Per Hari) No. Umur Energi (kkal) Protein (gr) Wanita 1. 10-12 th 2050 50 2. 13-15 th 2350 57 3. 16-18 th 2200 55 4. 19-29 th 1900 50 5. 30-49 th 1800 50 6. 50-64 th 1750 50 7. 65+ th 1600 45 Pria 8. 10-12 th 2050 50 9. 13-15 th 2400 60 10. 16-18 th 2600 65 11. 19-29 th 2550 60 12. 30-49 th 2350 60 13. 50-64 th 2250 60 14. 65+ th 2050 60 Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, 2004.
Universitas Sumatera Utara
2.3. Status Gizi Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi lebih. Status gizi normal merupakan suatu ukuran status gizi dimana terdapat keseimbangan antara jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh dan energi yang dikeluarkan dari luar tubuh sesuai dengan kebutuhan individu. Energi yang masuk ke dalam tubuh dapat berasal dari karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi lainnya. Status gizi normal merupakan keadaan yang sangat diinginkan oleh semua orang (Almatsier, 2005). Status gizi kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari energi yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari anjuran kebutuhan individu. Status gizi lebih (overnutrition) merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dari jumlah energi yang dikeluarkan. Hal ini terjadi karena jumlah energi yang masuk melebihi kecukupan energi yang dianjurkan untuk seseorang, akhirnya kelebihan zat gizi disimpan dalam bentuk lemak yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi gemuk (Almatsier, 2005). Hasil survei Wasingun (1998) dalam Eka (2009), tentang pengukuran status gizi dengan menggunakan metode indeks masa tubuh diperoleh bahwa 40% penderita
Universitas Sumatera Utara
skizofrenia yang dirawat inap di RSJ Prof. dr. Soeroyo Magelang menderita kurang energi kronis (IMT kurang dari 18,5). 2.3.1. Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi merupakan penjelasan yang berasal dari data yang diperoleh dengan menggunakan berbagai macam cara untuk menemukan suatu populasi atau individu yang memiliki risiko status gizi kurang maupun gizi lebih. Antropometri merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang berhubungan dengan ukuran tubuh yang disesuaikan dengan umur dan tingkat gizi seseorang. Pada umumnya antropometri mengukur dimensi tubuh dan komposisi tubuh seseorang. Metode antropometri sangat berguna untuk melihat ketidakseimbangan energi dan protein. Akan tetapi, antropometri tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi zatzat gizi yang spesifik (Supariasa, 2002). Indeks antropometri adalah pengukuran dari beberapa parameter. Indeks antropometri bisa merupakan rasio dari satu pengukuran terhadap satu atau lebih pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur dan tingkat gizi. Salah satu contoh dari indeks antropometri adalah Indeks Massa Tubuh (IMT) atau yang disebut dengan Body Mass Index (Supariasa, 2002). IMT merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup yang lebih panjang. IMT hanya dapat digunakan untuk orang dewasa yang berumur di atas 18 tahun.
Universitas Sumatera Utara
Dua parameter yang berkaitan dengan pengukuran Indeks Massa Tubuh terdiri dari (Supariasa, 2002): 1. Berat Badan Berat badan merupakan salah satu parameter massa tubuh yang paling sering digunakan dan dapat mencerminkan jumlah dari beberapa zat gizi seperti protein, lemak, air, dan mineral. Untuk mengukur Indeks Massa Tubuh, berat badan dihubungkan dengan tinggi badan. 2. Tinggi Badan Tinggi badan merupakan parameter ukuran panjang dan dapat merefleksikan pertumbuhan skeletal (tulang). Indeks Massa Tubuh diukur dengan cara membagi berat badan dalam satuan kilogram dengan tinggi badan satuan meter kuadrat (Supariasa, 2002). IMT =
Berat badan (kg) Tinggi badan (m) x tinggi badan (m) Untuk mengetahui status gizi seseorang maka ada kategori ambang batas IMT
yang digunakan, seperti yang terlihat pada tabel 2.1. yang merupakan ambang batas IMT untuk Indonesia. Tabel 2.1. Kategori Ambang Batas IMT Untuk Indonesia Kategori Kekurangan berat badan tingkat berat Kurus Kekurangan berat badan tingkat ringan Normal Kelebihan berat badan tingkat ringan Gemuk Kelebihan berat badan tingkat berat
IMT (kg/m2) < 17,0 17,1-18,4 18,5-25,0 25,1-27,0 ≥ 27,1
Sumber : Depkes, 1994 dalam Supariasa, 2002
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Masalah Gizi 1. Masalah Gizi Kurang Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Gizi kurang merupakan suatu keadaan yang terjadi akibat tidak terpenuhinya asupan makanan. Gizi kurang dapat terjadi karena seseorang mengalami kekurangan salah satu zat gizi atau lebih di dalam tubuh (Almatsier, 2005). Akibat yang terjadi apabila kekurangan gizi antara lain menurunnya kekebalan tubuh (mudah terkena penyakit infeksi), terjadinya masalah dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, kekurangan energi yang dapat menurunkan produktivitas tenaga kerja, dan sulitnya seseorang dalam menerima pendidikan dan pengetahuan mengenai gizi (Sediaoetama, 2008). Gizi kurang merupakan salah satu masalah gizi yang banyak dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang. Hal ini dapat terjadi karena tingkat pendidikan yang rendah, pengetahuan yang kurang mengenai gizi dan perilaku belum sadar akan status gizi. Contoh masalah kekurangan gizi, antara lain KEP (Kekurangan Energi Protein), GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium), Anemia Gizi Besi (AGB) (Sediaoetama, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2. Masalah Gizi Lebih Status gizi lebih merupakan keadaan tubuh seseorang yang mengalami kelebihan berat badan, yang terjadi karena kelebihan jumlah asupan energi yang disimpan dalam bentuk cadangan berupa lemak. Ada yang menyebutkan bahwa masalah gizi lebih identik dengan kegemukan. Kegemukan dapat menimbulkan dampak yang sangat berbahaya yaitu dengan munculnya penyakit degeneratif, seperti diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan ginjal dan masih banyak lagi (Sediaoetama, 2008). Masalah gizi lebih ada dua jenis yaitu overweight dan obesitas. Batas IMT untuk dikategorikan overweight adalah antara 25,1 – 27,0 kg/m2, sedangkan obesitas adalah ≥ 27,0 kg/m2. Kegemukan (obesitas) dapat terjadi mulai dari masa bayi, anakanak, sampai pada usia dewasa. Kegemukan pada masa bayi terjadi karena adanya penimbunan lemak selama dua tahun pertama kehidupan bayi. Bayi yang menderita kegemukan maka ketika menjadi dewasa akan mengalami kegemukan pula. Kegemukan pada masa anak-anak terjadi sejak anak tersebut berumur dua tahun sampai menginjak usia remaja dan secara bertahap akan terus mengalami kegemukan sampai usia dewasa. Kegemukan pada usia dewasa terjadi karena seseorang telah mengalami kegemukan dari masa anak-anak (Soerjodibroto, 1993).
2.4. Skizofrenia Menurut Morel (dalam Coleman, dkk, 1980) menggunakan istilah demence precoce atau gangguan mental dini untuk melukiskan bentuk psikosis tertentu yang sesuai dengan pengertian skozofrenia sekarang. Hal tersebut dilaporkan dalam bentuk
Universitas Sumatera Utara
kasus yang terjadi pada seorang pemuda yang ditandai adanya kemunduran/ keruntuhan fungsi intelek yang gawat sekali. Berikutnya Kraeplin (dalam Coleman, dkk, 1980) mensistematiskan istilah tersebut menjadi dementia praecox yang merupakan kamerosotan otak (dementia) yang diderita oleh orang muda (praecox) yang pada akhirnya dapat menyebabkan kekaburan keseluruhan kepribadian. Kraeplin percaya bahwa halusinasi, delusi dan tingkah laku yang aneh pada penderita skizofrenia dapat dikatakan sebagai kelainan fisik atau suatu penyakit. Pada akhirnya Eugen Bleuler (dalam Coleman, dkk, 1980) memperkenalkan istilah skizofrenia atau .jiwa yang terbelah., sebab gangguan ini ditandai dengan disorganisasi proses berpikir, rusaknya koherensi antara pikiran dan perasaan, serta berorientasi diri kedalam dan menjauh dari realitas yang intinya terjadi perpecahan antara intelek dan emosi. Sesuai dengan perkembangannya pengertian skozofrenia semakin meluas, seperti yang diberikan oleh Kaplan dan Sadock (1994) bahwa skozofrenia adalah sebagai suatu gangguan dengan etiologi tidak diketahui yang ditandai oleh gejala psikotik yang secara berarti mengganggu fungsi dan menyangkut gangguan dalam perasaan, berpikir dan berperilaku. Gangguan ini kronik dan umumnya memiliki fase prodromal, fase aktif dengan delusi, halusinasi atau keduanya dan suatu fase residual dimana gangguan itu mungkin dalam keadaan remisi. Halgin dan Whitbourne (1995) menyatakan skizofrenia merupakan gangguan akibat suatu rangkaian simptom seperti gangguan dalam isi pikiran, bentuk pikiran, persepsi, afeksi, kepekaan diri, motivasi, tingkah laku dan fungsi interpersonal. Selanjutnya Freud (dalam Roan, 1979) mengatakan bahwa skozofrenia adalah suatu
Universitas Sumatera Utara
peristiwa regresi atau penarikan diri yang narsistik akibat kelemahan struktur ego karena faktor psikogen atau somatik. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Cameron dan Rychlak (1985) yaitu gangguan skizofrenia adalah usaha regresi untuk melarikan tension dan kecemasan dengan cara mengabaikan hubungan realitas objek interpersonal dan membentuk delusi dan halusinasi. Defenisi yang lebih rinci mengenai skizofrenia bersumber dari Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Indonesia (PPDGJ-III) yang mengemukakan bahwa gangguan skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan gangguan dasar pada kepribadian, terjadi distorsi khas proses pikir, kadangkadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, paham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, efek abnormal yang tidak terpadu dengan situasi nyata/sebenarnya dan autisme. 2.4.1. Etiologi Skizofrenia Skizofrenia merupakan gangguan yang tidak ditimbulkan oleh satu factor saja, setiap subtipe mempunyai sebab-sebab sendiri. Davidoff (1991) mengulas beberapa penemuan yang menonjol mengenai penyebab gangguan skizofrenia. a. Keterlibatan faktor keturunan Secara umum dapat dikatakan semakin dekat hubungan genetiknya dengan pasien, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk menderita gangguan tersebut. Hal ini sering disebut concordant, yaitu anak kembar dari satu telur mempunyai kemungkinan tiga sampai enam kali lebih besar untuk sama-sama menderita gangguan skizofrenia dibandingkan dengan anak kembar dari dua telur.
Universitas Sumatera Utara
b. Faktor lingkungan Beberapa penelitian menyatakan bahwa ibu yang terlalu melindungi, hubungan perkawinan orang tua yang kurang sehat, kesalahan dalam pola komunikasi diantara anggota keluarga dapat menimbulkan skizofrenia. Skizofrenia tidak diduga sebagai suatu penyakit tunggal tetapi sebagai sekelompok penyakit dengan ciri-ciri klinik umum. c. Teori biologik dan genetik Penelitian keluarga (termasuk penelitian kembar dan adopsi) sangat mendukung teori bahwa faktor genetik peran penting dalam transmisi skizofrenia atau paling tidak memberi suatu sifat kerawanan dan juga dapat menjadi penyebab peningkatan insidens dari sindrom mirip-mirip skizofrenia (gangguan kepribadian skizoafektif, skizotipik dan lainnya) yang terjadi dalam keluarga. d. Hipotesis neurotransmitter Penelitian terakhir memperlihatkan adanya kelebihan reseptor dopaminergik dalam susunan syaraf pusat (SSP) penderita skizofrenik. Pada hakekatnya neuroleptik diduga efektif karena kemampuannya memblokir reseptor dopaminergik. Penelitian mengenai skizofrenik yang tidak di obati juga mengungkapkan suatu kelebihan dari reseptor dopaminergik yang secara langsung berlawanan dengan teori bahwa temuan ini berhubungan dengan pemberian neuroleptik. e. Pencetus psikososial Stressor sosiolingkungan sering menyebabkan timbulnya serangan awal dan kekambuhan skizofrenia serta dapat diduga sebagai suatu terobosan kekuatan protektif dengan tetap mempertahankan kerawanan secara psiko biologik dalam
Universitas Sumatera Utara
pengendalian. Tiga tindakan emosi yang dinyatakan (EE) di lingkungan rumah: komentar kritis, permusuhan dan keterlibatan emosional yang berlebihan terbukti menyebabkan peningkatan angka kekambuhan skizofrenia. Etiologi atau penyebab skizofrenia yang lebih rinci dijelaskan oleh Kaplan dan Sadock (1997) sebagai berikut: a. Model diatesis-stress Suatu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan lingkungan adalah model diatesis-stress. Model ini merumuskan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress akan memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia. b. Faktor biologis Semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofiologis untuk daerah tertentu di otak termasuk sistem limbik, korteks frontalis dan ganglia basalis. Ketiga daerah tersebut saling berhubungan sehingga disfungsi pada salah satu daerah tersebut mungkin melibatkan patologi primer di daerah lainnya sehingga menjadi suatu tempat potensial untuk patologi primer pasien skizofrenik. c. Genetika Penelitian klasik awal tentang genetika dari skizofrenia dilakukan di tahun 1930-an yang menemukan bahwa seseorang kemungkinan menderita skizofrenia jika anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia adalah berhubungan dengan dekatnya hubungan persaudaraan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
d. Faktor psikososial Klinisi harus mempertimbangkan faktor psikologis yang dapat mempengaruhi skizofrenia karena para ahli telah membuktikan bahwa terapi obat saja tidak cukup untuk mendapatkan perbaikan klinis yang maksimal. Secara historis telah diperdebatkan bahwa suatu faktor psikososial secara langsung dan secara kausatif berhubungan dengan perkembangan skizofrenia. 2.4.2. Kriteria Diagnostik Skizofrenia Kriteria diagnostik skizofrenia yang dikemukakan oleh Halgin dan Whithbourne (1995) adalah sebagai berikut: a. Gangguan pada isi pikiran Delusi atau kepercayaan salah yang mendalam merupakan gangguan pikiran yang paling umum dan sering dihubungkan dengan skizofrenia. Delusi ini mencakup delusi rujukan, penyiksaan, kebesaran, cinta, kesalahan diri, kontrol, nihil atau dosa dan pengkhianatan. Delusi lain berkenan dengan kepercayaan irasional mengenai suatu proses berpikir, seperti percaya bahwa pikiran bisa disiarkan, dimasuki yang lain atau hilang dari alam pikirannya karena paksaan dari orang lain atau objek dari luar. Delusi somatik meliputi kepercayaan yang salah dan aneh tentang kerja tubuh, misalnya pasien skizofrenia menganggap bahwa otaknya sudah dimakan rayap. b. Gangguan pada bentuk pikiran, bahasa dan komunikasi Proses berpikir dari pasien skizofrenia dapat menjadi tidak terorganisasi dan tidak berfungsi, kemampuan berpikir mereka menjadi kehilangan kohesivitas dan logika, cara mereka mengekspresikan ide dalam pikiran dan bahasa dapat menjadi tidak dapat dimengerti, akan sangat membingungkan jika kita berkomunikasi dengan
Universitas Sumatera Utara
penderita gangguan pikiran. Contoh umum gangguan berpikir adalah inkoheren, kehilangan asosiasi, neologisme, blocking dan pemakaian kata-kata yang salah. c. Gangguan persepsi halusinasi Halusinasi adalah salah satu simpton skizofrenia yang merupakan kesalahan dalam persepsi yang melibatkan kelima alat indera kita, walaupun halusinasi tidak begitu terikat pada stimulus yang di luar tetapi kelihatan begitu nyata bagi pasien skizofrenia. Halusinasi tidak berada dalam control individu, tetapi terjadi begitu spontan walaupun individu mencoba untuk menghalanginya. d. Gangguan afeksi (perasaan) Pasien skizofrenia selalu mengekspresikan emosinya secara abnormal dibandingkan dengan orang lain. Secara umum, perasaan itu konsisten dengan keadaan emosi, tetapi reaksi yang ditampilkan tidak sesuai dengan perasaannya. e. Gangguan psikomotor Pasien skizofrenia kadang akan berjalan dengan aneh dan cara yang berantakan, memakai pakaian aneh atau membuat mimik yang aneh atau pasien skizofrenia akan memperlihatkan gangguan katatonik stupor (suatu keadaan di mana pasien tidak lagi merespon stimulus dari luar, mungkin tidak mengetahui bahwa ada orang di sekitarnya), katatonik rigid (mempertahankan suatu posisi tubuh atau tidak mengadakan gerakan) dan katatonik gerakan (selalu mengulang suatu gerakan tubuh). f. Gangguan kemampuan hubungan interpesonal Pasien skizofrenia mengalami kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan orang lain karena ketidakmampuan mengontrol keadaan emosi dan karena keanehan dari pikiran dan tingkah laku mereka. Akhirnya orang lain menjauhi mereka dan
Universitas Sumatera Utara
bagian terpenting kesempatan dari hubungan dengan realita menjadi hilang. Ada juga pasien skizofrenia yang mengadakan isolasi dengan sendirinya. Isolasi sosial akan selalu menyebabkan kerusakan dalam hubungan sosial, setelah sekian lama mereka akan ditolak dan diperlakukan jauh kedalam alam fantasi dan delusi. g. Gangguan kepekaan diri Pasien skizofrenia selalu bingung akan identitas keberadaan mereka dan mereka tidak begitu pasti akan keberadaan diri mereka yang benar atau tidak dan selalu bertanya-tanya keberadaan dirinya yang pasti. h. Gangguan motivasi Pasien skizofrenia mungkin akan mendapatkan bahwa dirinya tidak termotivasi yang dikarenakan kekurangan dorongan atau interest (keinginan) dalam mengikuti suatu kejadian tingkah laku atau karena adanya ambivalensi dalam suatu pemilihan. 2.4.3. Tipe-tipe Skizofrenia Tipe skizofrenia menurut ICD-X dan PPDGJ III meliputi: a. Skizofrenia Paranoid (F2.0) Skizofrenia jenis ini yang paling sering dijumpai di negara manapun. Gambaran klinis didominasi oleh waham yang secara relatif stabil, sering kali bersifat paranoid diserta oleh halusinasi, terutama halusinasi pendengaran. Gangguan-gangguan afektif, dorongan kehendak (volition) dan pembicaraan serta gejala-gejala katatonik tidak menonjol.
Universitas Sumatera Utara
b. Skizofrenia Hebefrenik (F20.1) Suatu bentuk skizofrenia dengan perubahan afektif yang jelas dan secara umum juga dijumpai waham dan halusinasi yang bersifat mengambang serta terputusputus (flagmentar), perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan serta umumnya mannerisme. Suasana perasaan (mood) pasien dangkal dan tidak wajar (inappropriate) sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self satisfied), senyum sendiri (self-absorbed smilling) atau sikap yang angkuh dan agung (lofty manner). Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu serta inkoheren. Ada kecenderungan tetap menyendiri (solitary) dan perilaku tampak hampa tujuan dan hampa perasaan. c. Skizofrenia Katatonik (F20.2) Gangguan psikomotor yang menonjol merupakan gambaran yang penting dan dominan serta dapat bervariasi antara kondisi ekstrim seperti hiperkinesis dan stupor atau antara sifat penurut yang otomatis dan negativisme. Sikap dan posisi tubuh yang dipaksakan dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang lama. Episode kegelisahan disertai kekerasan (violent) mungkin merupakan gambaran keadaan ini yang menyolok. d. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated) (F20.3) Kondisi-kondisi yang memenuhi kriteria diagnostik umum untuk skizofrenia tetapi tidak sesuai dengan subtipe paranoid, hebefrenik dan katatonik atau memperlihatkan gejala lebih dari satu sub tipe tanpa gambaran predominasi yang jelas untuk suatu kelompok diagnosis yang khas.
Universitas Sumatera Utara
e. Depresi Pasca-Skizofrenik (F20.4) Suatu episode depresif yang mungkin berlangsung lama dan timbul sesudah suatu serangan penyakit skizofrenia. Beberapa gejala skizofrenik harus tetap ada tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya. Gangguan depresif ini disertai oleh suatu peningkatan resiko bunuh diri. f. Skizofrenia Residual (F20.5) Suatu stadium kronis dalam perkembangan gangguan skizofrenia, di mana telah terjadi progresi yang jelas dari stadium awal (terdiri dari satu atau lebih episode dengan gejala psikotik yang memenuhi kriteria umum untuk skizofrenia) ke stadium lebih lanjut yang ditandai secara khas oleh gejala-gejala negatif jangka panjang walaupun belum tentu ireversibel. g. Skizofrenia Simpleks (F20.6) Suatu kelainan yang tidak lazim ada perkembangan yang bersifat perlahan tetapi progresif mengenai keanehan tingkah laku, ketidakmampuan untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan penurunan kinerja secara menyeluruh, tidak terdapat waham dan halusinasi. Ciri-ciri negatif yang menonjol adalah afek yang menumpul, hilangnya dorongan kehendak dan bertambahnya kemunduran sosial. h. Skizofrenia lainnya (F20.8) Termasuk skizofrenia senestopatik, gangguan skizofreniform yang Tak Tergolongkan. Tidak termasuk gangguan skizofrenia akut, skizofrenia siklik, skizofrenia laten. i. Skizofrenia YTT (F20.9) Tipe-tipe skizofrenia yang tak tergolongkan
Universitas Sumatera Utara
2.4.4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis Perjalanan penyakit skizofrenia yang dijelaskan oleh Kaplan dan Sadock (1997) bahwa suatu pola gejala premorbid mungkin merupakan tanda pertama dari penyakit, walaupun gejala biasanya dikenali secara retrospektif. Secara karakteristik, gejala dimulai pada masa remaja diikuti dengan perkembangan gejala prodromal dalam beberapa hari sampai beberapa tahun. Onset gejala yang mengganggu terlihat disesuaikan oleh suatu perubahan sosial atau lingkungan seperti pindah sekolah, pengalaman dengan kematian sanak saudara. Sindroma prodromal (fase awal penyakit) dapat berlangsung selama satu tahun atau lebih sebelum onset gejala psikotik yang jelas. Setelah episode psikotik yang pertama, pasien memiliki periode pemulihan yang bertahap yang dapat diikuti oleh lamanya periode fungsi yang relatif normal, tetapi relaps biasanya terjadi jika pola umum dari penyakit yang ditemukan dalam lima tahun pertama setelah diagnosis biasanya memperkirakan perjalanan yang diikuti pasien. Masing-masing relaps psikosis diikuti oleh pemburukan lebih lanjut pada fungsi dasar pasien. Perjalanan klasik skizofrenia adalah satu eksaserbasi dan remisi. Perbedaan utama antara skizofrenia dan gangguan mood adalah pasien skizofrenia gagal untuk kembali ke fungsi dasar setelah masing-masing relaps. Seringkali suatu depresi pasca psikotik yang dapat diobservasi secara klinis mengikuti suatu episode psikotik dan kerentanan pasien skizofrenik terhadap stress biasanya selama hidup. Gejala positif cenderung menjadi parah dengan berjalannya waktu, tetapi gejala negatif yang menimbulkan ketidakmampuan secara sosial atau gejala defisit
Universitas Sumatera Utara
dapat meningkat keparahannya. Walaupun kira-kira sepertiga dari semua pasien skizofrenik mempunyai eksistensi sosial yang marginal atau terintegrasi, sebagian besar memiliki kehidupan yang ditandai oleh tidak adanya tujuan, inaktivitas, perawatan di rumah sakit yang sering dan tinggal di lingkungan perkotaan, tunawisma dan kemiskinan. 2.4.5. Prognosis Beberapa penelitian telah menemukan bahwa lebih dari periode 5 sampai 10 tahun setelah perawatan psikiatrik pertama kali di rumah sakit karena skizofrenia, hanya kira-kira 10% sampai 20% pasien dapat digambarkan memiliki hasil yang baik, lebih dari 50% pasien dapat digambarkan memiliki hasil yang buruk dengan perawatan di rumah sakit yang berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan mood berat dan usaha bunuh diri. Rentang angka pemulihan yang dilaporkan di dalam literatur adalah 10% sampai 60% dan perkiraan yang beralasan adalah bahwa 20% sampai 30% dari semua pasien skizofrenia mampu menjalani kehidupan yang agak normal. Kira-kira 20% sampai 30% dari pasien terus mengalami gejala yang sedang dan 40% sampai 60% dari pasien terus terganggu secara bermakna oleh gangguannya selama seumur hidupnya (Kaplan dan Sadock, 1997). Gambaran yang menunjukkan prognosis baik dan buruk dalam skizofrenia (Kaplan dan Sadock, 1997) digambarkan di bawah ini. a. Skizofrenia prognosis baik Berkaitan dengan onset lambat, faktor pencetus yang jelas, onset akut, riwayat sosial, seksual dan pekerjaan pramorbid yang baik, gejala gangguan mood (terutama
Universitas Sumatera Utara
gangguan depresif), menikah, riwayat keluarga gangguan mood, sistem pendukung yang baik dan gejala positif. b. Skizofrenia prognosis buruk Berkaitan dengan onset muda, tidak ada faktor pencetus, onset tidak jelas, riwayat sosial, seksual dan pekerjaan pramorbid yang buruk, perilaku menarik diri, austistik, tidak menikah, bercerai, atau janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia, sistem pendukung yang buruk, gejala negatif, tanda dan gejala neurologist, riwayat trauma prenatal, tidak ada remisi dalam tiga tahun, sering relaps dan riwayat penyerangan.
2.5. Konsumsi Pangan Penderita Skizofrenia Almatsier, (2005 ) menyatakan bahwa beberapa penyakit kronis berat, stress akut dan operesi berat dapat mengakibatkan keadaan gizi kurang atau buruk sehingga akan menghambat penyembuhan penyakit. Hal itu juga dapat terjadi pada penderita skizofrenia jika tidak mendapat perhatian dan pertolongan yang sesuai dan cepat. Bahkan jika konsumsi makannya tidak terkontrol akan mengakibatkan berbagai macam masalah gizi diantaranya adalah kurang energi protein (KEP) yang akan berpengaruh pada status gizinya. Hasil penelitian Salmawati (2006) pada pasien penderita skizofrenia di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor diketahui bahwa pada umumnya tingkat kecukupan energi penderita skizofrenia ada pada kategori normal, sementara tingkat kecukupan protein ada pada kategori defisit. Namun sebagian besar status gizi pasien
Universitas Sumatera Utara
penderita skizofrenia berada pada kategori normal (68%), dan ada beberapa yang memiliki status gizi kategori gemuk (8%).
2.6. Kerangka Konsep Penelitian a. Tingkat kecukupan energi b. Tingkat kecukupan protein
Status Gizi Pasien Skizofrenia paranoid
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Status gizi pasien Skizofrenia paranoid rawat inap dapat dipengaruhi oleh tingkat kecukupan energi dan tingkat kecukupan protein.
Universitas Sumatera Utara