BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemberian Makanan Tambahan Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang anak, karena anak yang sedang tumbuh kebutuhannya berbeda dengan orang dewasa. Kekurangan makanan yang bergizi akan menyebabkan retardasi pertumbuhan anak dan makanan yang berlebihan juga tidak baik karena menyebabkan obesitas. Kecukupan pemberian makanan pada anak sangat penting sebab kekurangan energi/zat gizi dapat mengganggu pertumbuhan yang optimal, dan dapat pula menimbulkan penyakit gangguan gizi, baik yang dapat disembuhkan ataupun tidak. Pemberian makanan pada anak tergantung dari beberapa hal sebagai berikut : pertama, jenis dan jumlah makanan yang diberikan. Jenis dan jumlah makanan tambahan yang diberikan pada anak tergantung dari kemampuan pencernaaan dan penyerapan saluran pencernaan. Kedua, kapan saat yang tepat pemberian makanan. Waktu yang tepat pemberian makanan pada anak tergantung pada beberapa faktor yaitu kemampuan pencernaan dan penyerapan saluran pencernaan serta kemampuan mengunyah dan menelan. Ketiga, umur anak pada saat makanan padat tambahan dini biasa diberikan. Pada umur berapa makanan padat tambahan biasanya diberikan kepada anak tergantung kebiasaan dan sosiokulltural masyarakat tersebut (Wiryo, 2002).
11
Universitas Sumatera Utara
Makanan tambahan merupakan makanan yang diberikan kepada balita untuk memenuhi kecukupan gizi yang diperoleh balita dari makanan sehari-hari yang diberikan ibu. Makanan tambahan yang memenuhi syarat adalah makanan yang kaya energi, protein dan mikronutrien (terutama zat besi, zink, kalsium, vitamin A, vitamin C dan fosfat), bersih dan aman, tidak ada bahan kimia yang berbahaya, tidak ada potongan atau bagian yang keras hingga membuat anak tersedak, tidak terlalu panas, tidak pedas atau asin, mudah dimakan oleh si anak, disukai, mudah disiapkan dan harga terjangkau. Makanan tambahan diberikan mulai usia anak enam bulan, karena pada usia ini otot dan syaraf di dalam mulut anak sudah cukup berkembang untuk mengunyah, menggigit, menelan makanan dengan baik, mulai tumbuh gigi, suka memasukkan sesuatu kedalam mulutnya dan suka terhadap rasa yang baru (Wiryo, 2002). Karena kebutuhan zat gizi tidak bisa dipenuhi hanya dengan satu jenis bahan makanan. Pola hidangan yang dianjurkan harus mengandung tiga unsur gizi utama yakni sumber zat tenaga seperti nasi, roti, mie, bihun, jagung, singkong, tepungtepungan, gula dan minyak. Sumber zat pertumbuhan, misalnya ikan, daging, telur, susu, kacang-kacangan, tempe dan tahu. Serta zat pengatur metabolisme, seperti sayur dan buah-buahan. Pola pemberian makanan pada bayi dan anak sangat berpengaruh pada kecukupan gizinya. Gizi yang baik akan menyebabkan anak bertumbuh dan berkembang dengan baik pula (Depkes RI, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Makin
bertambahnya
usia
anak
makin
bertambah
pula
kebutuhan
makanannya, secara kuantitas maupun kualitas. Untuk memenuhi kebutuhannya tidak cukup dari susu saja. Di samping itu anak mulai diperkenalkan pola makanan dewasa secara bertahap dan anak mulai menjalani masa penyapihan. Adapun pola makanan orang dewasa yang diperkenalkan pada balita adalah hidangan yang bervariasi dengan menu seimbang (Waryana, 2010). Masa balita merupakan awal pertumbuhan dan perkembangan yang membutuhkan zat gizi. Konsumsi zat gizi yang berlebihan juga membahayakan kesehatan. Misalnya konsumsi energi dan protein yang berlebihan akan menyebabkan kegemukan sehingga beresiko terhadap penyakit. Oleh karena itu untuk mencapai kesehatan yang optimal disusun Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan (Achadi, 2007). Dasar perhitungan AKG tahun 2004 dilakukan dengan cara : (1) Menetapkan berat badan untuk berbagai golongan umur. (2) Menggunakan rujukan WHO/FAO (2002) dimana AKG untuk energi dan protein disesuaikan dengan ukuran berat dan tinggi badan rata-rata penduduk sehat di Indonesia (Almatsier, 2009). Tabel 2.1 Angka Kecakupan Gizi
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 (Lanjutan)
Sumber : Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, 2004
Pola makan yang diberikan yaitu menu seimbang sehari-hari, sumber zat tenaga, sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur. Jadwal pemberian makanan bagi bayi dan balita adalah tiga kali makanan utama (pagi, siang dan malam) dan dua kali makanan selingan (diantara dua kali makanan utama). Berbagai kebijakan dan strategi telah diterapkan untuk mengurangi prevalensi terjadinya kekurangan gizi. Untuk itu masyarakat perlu diberi penyuluhan yaitu petunjuk dan ilmu pengetahuan tentang cara mengolah makanan dari bahan yang ada di sekitar (lokal) untuk bayi, balita, ibu hamil dan menyusui. Petunjuk tersebut harus disosialisasikan dengan lebih baik pada masyarakat (Wiryo, 2002). Di Indonesia upaya yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi permasalahan gizi adalah dengan program PMT. Dimana yang menjadi sasaran adalah penderita gizi kurang, baik itu balita, anak usia sekolah, ibu hamil dan pada penderita penyakit infeksi, misalnya penderita TB Paru. Dalam program ini memerlukan dana yang tidak sedikit dan sangat diperlukan kerjasama pihak terkait (lintas program dan lintas sektor) dan yang terpenting adalah kesadaran masyarakat itu sendiri dalam melakukan upaya-upaya penanggulangan masalah gizi.
Universitas Sumatera Utara
PMT ada 2 (dua) macam yaitu PMT Pemulihan dan PMT Penyuluhan. PMT Penyuluhan diberikan satu bulan sekali di posyandu dengan tujuan disamping untuk pemberian makanan tambahan juga sekaligus memberikan contoh pemberian makanan tambahan yang baik bagi ibu balita. PMT Pemulihan adalah PMT yang diberikan selama 60 hari pada balita gizi kurang dan 90 hari pada balita gizi buruk dengan tujuan untuk meningkatkan status gizi balita tersebut. Dalam hal jenis PMT yang diberikan harus juga memperhatikan kondisi balita karena balita dengan KEP berat atau gizi buruk biasanya mengalami gangguan sistim pencernaan dan kondisi umum dari balita tersebut. Program PMT bertujuan untuk pemulihan berat badan balita gizi buruk dan gizi kurang menjadi membaik dalam satu periode 60 s/d 90 hari sesuai dengan kebijakan pemerintah setempat. Pelaksana adalah Dinas Kesehatan dalam hal ini Puskesmas yang diawali dengan penimbangan berat badan balita di posyandu. Pada anak usia 6 bulan s/d 11 bulan diberi makanan tambahan berupa bubur susu, pada anak usia 12 s/d 23 bulan dan pada anak usia 25 s/d 59 bulan diberi susu formula. PMT pada prinsipnya adalah untuk menambah kekurangan kalori dan protein dalam makanan si balita sehari-hari. Sebagai pedoman pelaksanaan distribusi asupan makan dalam kelompok umur di bawah ini ditampilkan tabel dari klasifikasi tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Pedoman PMT oleh Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi Usia Balita (bulan) ≥ 6 s/d 11 12 s/d 24 25 s/d 59
Jenis Asupan Makanan Bubur Susu Susu Formula Susu Formula
Volume x Freq (hari) 60 gr x 60 hr 60 gr x 60 hr 60 gr x 60 hr
Sumber : Dinas Kesehatan Tebing Tinggi (2010)
Untuk usia 6-11 bulan diberi Cerelac dimana takaran saji 5 sendok makan (50 gr). Nilai gizi persajian adalah Energi Total 210 kkal, Lemak 4,5gr, Protein 8gr, Natrium 65mg. Untuk usia 12-24 bulan diberi SGM Eksplor dimana takaran saji 1 sendok makan (35gr). Nilai gizi persajian adalah Energi Total 160 kkal, Lemak 5gr, Protein 6 gr, Karbohidrat 21gr. Untuk usia 25-59 bulan diberi SGM Aktif dimana takaran saji 3 sendok makan (32,5gr). Nilai gizi persajian adalah Energi Total 140 kkal, Energi dari lemak 35 kkal, Protein 5gr, Natrium 100gr dan Karbohidrat total 21gr. Pemerintah Kota Tebing Tinggi di dalam menindak lanjuti kerawanan gizi masyarakat khususnya balita gizi kurang memanfaatkan Sistim Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Dalam SKPG ditekankan perlunya kerjasama dengan pemerintah pusat khususnya program yang ditujukan bagi masyarakat miskin seperti Jaminan pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat miskin (Jamkesmas), antara lain : memberi pelayanan kesehatan dasar melalui Puskesmas dan Rumah Sakit sebagai pusat rujukan. Penatalaksanaan perbaikan gizi melalui pembentukan Tim Kewaspadaan Pangan dan Gizi, komitmen Pemda, peningkatan kemampuan teknis dan pemantauan.
Universitas Sumatera Utara
Intervensi pangan dan gizi berupa PMT bagi balita penderita gizi buruk dan gizi kurang serta Pemberian PMT penyuluhan yang dilakukan di posyandu setiap bulannya. Kegiatan PMT tersebut di atas didasarkan atas pendapat yang menyatakan bahwa penyuluhan gizi bagi golongan tidak mampu akan efektif jika disertai bantuan pangan berupa makanan tambahan. Makanan tambahan merupakan makanan bergizi yang diberikan kepada seseorang untuk mencukupi kebutuhannya akan zat - zat gizi agar dapat memenuhi fungsinya di dalam tubuh manusia (Depkes RI, 2000). Untuk mencapai keberhasilan program PMT, sangat diperlukan peran serta masyarakat, agar hasil yang diperoleh dapat maksimal. Kegiatan ini memerlukan kerja sama baik antar lintas sektoral (Rumah Sakit, PKK, Dinsos, LSM dll) dan lintas program, yang sejak tahun 2006 Pemerintah Kota Tebing Tinggi sudah melaksanakan PMT dalam penanggulangan kekurangan gizi pada balita (Dinkes Kota Tebing Tinggi, 2010). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian makanan tambahan balita gizi buruk/kurang adalah : (a) Apabila anak belum mancapai umur 2 tahun maka ASI tetap diberikan, (b) Balita gizi buruk/kurang perlu diperhatikan dan pengamatan secara terus menerus terhadap kesehatan dan gizi antara lain dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai, (c) Anak yang menderita gizi buruk/ kurang terkadang mempunyai masalah pada fungsi alat pencernaan, hingga pemberian makanan tambahan memerlukan perhatian khusus.
Universitas Sumatera Utara
Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) diberikan kepada bayi/anak selain ASI. MP-ASI diberikan mulai umur 6-24 bulan, merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlah. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan kemampuan alat cerna bayi dalam menerima MP-ASI (Depkes RI, 2005). Menurut Nasution (2009), dalam penelitiannya tentang PMT pada anak balita gizi kurang di Puskesmas Mandala Medan Sumatera Utara mendapatkan hasil bahwa PMT selama 90 hari memberikan hasil positif yaitu peningkatan dari status gizi kurang menjadi gizi baik sebanyak 70 %, sementara sisanya 30 % tetap bertahan di status gizi kurang. Ada dibuat suatu rekomendasi berdasarkan kesimpulan penelitian di atas agar upaya PMT terus dilakukan untuk menanggulangi masalah gizi kurang. Menurut Taopan (2005), menyatakan intervensi penanganan kasus gizi buruk yang melanda anak balita di Nusa Tenggara Timur (NTT), ternyata tidak cukup hanya dengan program PMT selama 90 hari. Alasannya adalah bahwa anak balita setelah diintervensi PMT selama 90 hari, kondisi gizi buruk anak tetap saja terjadi karena dalam keluarga tidak ada lagi makanan bergizi yang tersedia untuk dikonsumsi. Cara efektif untuk menangani kasus gizi buruk di NTT adalah memperbaiki kondisi ketahanan pangan masyarakat dengan cara mengubah pola tanam. Gagal panen kelihatannya memiliki hubungan kuat dengan kondis gizi buruk pada balita. Ia menambahkan kalau persediaan pangan masyarakat cukup maka kemungkinan munculnya kasus gizi buruk bisa ditekan. Ini yang bisa kita harapkan,
Universitas Sumatera Utara
karena intervensi PMT selama 90 hari ternyata belum mampu menekan angka gizi buruk.
2.2. Pengaruh PMT terhadap Status Gizi Balita PMT merupakan suatu program dalam rangka mencegah semakin memburuknya status kesehatan dan gizi masyarakat terutama keluarga miskin yang diakibatkan adanya krisis ekonomi. Adapun tujuan dari PMT tersebut adalah mempertahankan dan meningkatkan status gizi anak balita terutama dari keluarga miskin, meringankan beban masyarakat serta memotivasi ibu-ibu untuk datang ke posyandu. Untuk mencapai keberhasilan program ini sangat diperlukan peran serta masyarakat berhubung bahwa dana yang disediakan pemerintah terbatas. Sejalan dengan program PMT, maka petugas gizi lapangan yang ada di Puskesmas tetap melakukan pemantauan perkembangan berat badan balita sekali seminggu melalui penimbangan dan pengukuran tinggi badan. Studi Thaha dkk (2000), yang dilakukan di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan dan Kabupaten Tangerang Jawa Barat, memunculkan suatu fenomena bahwa jika perbaikan status gizi balita ingin tetap dipertahankan maka program PMT harus menjadi sebuah program yang berkesinambungan. Dengan kata lain, jangka waktu PMT harus diperhatikan. PMT sebaiknya diberikan terus menerus dengan mempertimbangkan masa pertumbuhan kritis anak.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pengalaman di Klinik Gizi Bogor, untuk meningkatkan status gizi dari gizi buruk ke gizi kurang diperlukan jangka waktu pelaksanaan PMT selama sekitar 6 bulan. Dalam program PMT skala besar yang dilakukan oleh petugas/kader setempat direkomendasikan untuk memperpanjang waktu PMT menjadi 10-12 bulan (Jahari, 2000). Penelitian Mualim (2000), menunjukkan bahwa status gizi balita sebelum PMT-P 100% KEP berat (55,86%) dan sesudah PMT-P meningkat ke KEP sedang (63,73%). Tingkat kecukupan energi balita sebelum PMT-P yang berada pada tingkat baik 0%, sedang 24,3% dan tingkat kurang 75,7%, sesudah mendapat PMT-P tingkat kecukupan energi menjadi ketingkat baik 27%, tingkat sedang 59,5% dan masih berada di tingkat kurang 13,5% Jadi dapat disimpulkan bahwa status gizi balita sebelum PMT-P program JPS-BK rata-rata adalah berstatus gizi buruk, sesudah PMT-P program JPS-BK rata-rata berstatus gizi KEP sedang. PMT-P program JPSBK sangat efektif digunakan sebagai media penyuluhan oleh petugas gizi terutama di masyarakat. Setelah berahirnya program JPS-BK pemerintah daerah agar menganggarkan dana untuk PMT melalui APBD. Penelitian Nuh (2006), menunjukkan bahwa proporsi balita sebelum intervensi termasuk gizi buruk dengan kelainan klinis 1%, gizi buruk 41,7% dan gizi kurang 57,9%. Setelah pemberian PMT-P oleh pemerintah, kenaikan berat badan hanya pada 104 balita (34,7%) , sedangkan 181 balita (60,3%) berat badan tetap dan yang mengalami penurunan berat badan sebanyak 15 balita (5%). Perubahan status gizi balita pasca intervensi sebelum seluruhnya membaik seperti yang diharapkan dan
Universitas Sumatera Utara
hanya 13% balita yang status giznya menjadi gizi baik. Sebanyak 61% masih berada pada level status gizi kurang dan 26% tetap berada pada level status gizi buruk. Untuk itu disarankan pemberian PMT-P diberikan secara terus menerus hingga kelompok sasaran dinyatakan berstatus gizi baik sesuai dengan aturan kesehatan. Melakukan monitoring dan evaluasi program secara rutin serta perlu pengembangan pusat rehabilitasi gizi di daerah, penyuluhan dan konseling gizi serta memanfaatkan potensi lokal yang ada di masyarakat, sehingga asupan gizi yang masuk lebih bervariasi dan tidak hanya didominasi oleh makanan pokok saja. Penelitian yang dilakukan oleh Rahfiludin dkk (2005), pada anak sekolah di 8 SD di Semarang dimana 4 SD penerima PMT-AS dan 4 SD tidak menerima PMT-AS dalam kurun waktu 3 bulan. Hasil menunjukkan rerata perubahan status gizi (BB/U) dan prestasi belajar SD penerima PMT-AS lebih tinggi dibandingkan SD yang tidak menerima PMT-AS. Hasil penelitian Wijayanti (2005), di Banyumas pada balita kelompok umur 12-24 bulan dengan rancangan penelitian pre dan post test dengan kelompok pembanding (kontrol). Analisa yang digunakan paired t test, independent t test dan regresi linier berganda. Hasil uji statistik paired t-test, ada perbedaan status gizi balita sebelum dan sesudah diberi PMT-P pada kelompok intervensi dan pada kelompok kontrol tidak ada perbedaan. Hasil uji statistik independent t-test menunjukkan tidak perubahan status gizi balita pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hasil uji statistik regresi linier berganda menunjukkan tidak ada pengaruh PMT-P dan tingkat kecukupan gizi harian terhadap perubahan status gizi
Universitas Sumatera Utara
balita. Berdasarkan hasil penelitian dihimbau kepada Dinas Kesehatan setempat agar melakukan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan gizi yang komunikatif dan efektih sehingga masyarakat mampu mengatasi masalah gizi keluarga sendiri.
2.3. Komunikasi Komuninaksi merupakan penyampaian informasi dari seseorang ke orang lain, ungkapan ekspresi wajah, sikap dan gerak-gerik, suara, kata-kata tertulis, dan lainlain (Uchjana; 2003). Dengan demikian komunikasi adalah suatu proses pembudayaan masyarakat yang terlibat komunikasi tertentu supaya ada pembaharuan tatacara dan prilaku masyarakat yang dipapar menjadi sesuai dengan prinsip budaya yang dianggap lebih baik (Yulifah dkk, 2009). Dan menurut Widjaja (2000), komunikasi adalah kontak antar dan antara manusia baik individu maupun kelompok yang dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan bagian dari kehidupan manusia itu sendiri, paling tidak sejak ia dilahirkan telah berkomunikasi dengan lingkungannya yang ditandai dengan gerak dan tangis saat ia dilahirkan. Banyak pakar mengklasifikasikan komunikasi berdasarkan konteksnya. Istilah-istilah lain juga lazim digunakan untuk merujuk pada konteks ini yaitu istilah tingkat, bentuk, keadaan, cara dan jenis. Indikator yang paling umum untuk mengklasifikasikan komunikasi adalah berdasarkan jumlah peserta yang terlibat dalam komunikasi. Maka dikenal komunikasi pribadi/interpersonal (konseling),
Universitas Sumatera Utara
komunikasi kelompok, komunikasi antar budaya dan komunikasi massa (Uchjana dkk, 2007). Dalam komunikasi terdapat sejumlah komponen atau unsur yang menjadi prasyarat untuk terjadinya sebuah komunikasi. Disadari atau tidak, saat ini anda sedang berkomunikasi melalui buku yang anda baca, karena komunikasi akan terjadi jika ada yang menyampaikan pesan, ada seorang atau lebih yang menerima pesan dan adanya pesan yang disampaikan. Adapun komponen atau unsur tersebut adalah komunikator (Who yaitu orang yang menyampaikan pesan), komunikan (Whom yaitu orang yang menerima pesan), pesan (Says What yaitu pernyataan yang didukung oleh lambang atau aksesoris lainnya), media (In Which Channel yaitu sarana yang mendukung pesan) dan efek (With What Effect yaitu dampak sebagai pengaruh dari pesan) (Enjang, 2009). Selain
untuk
menyampaikan
pesan
tujuan
dari
komunikasi
adalah
mengungkapkan perasaan, mempelajari atau mengajarkan sesuatu, menstimulasi minat pada diri sendiri atau orang lain, mempengaruhi perilaku orang lain, berhubungan dengan orang lain, menjelaskan perilaku diri sendiri atau perilaku orang lain, menyelesaikan sebuah masalah dan menurunkan ketegangan (Ahiro, 2010).
2.4. Konseling Berbicara tentang konseling tidak terlepas dari bimbingan, karena kedua kata ini selalu dikaitkan dan tidak terpisahkan. Meskipun ada yang berpendapat bahwa bimbingan dan konseling merupakan kata yang berbeda. Menurut Hallen (2002)
Universitas Sumatera Utara
istilah bimbingan selalu dirangkaikan dengan konseling. Hal ini disebabkan karena bimbingan dan konseling merupakan suatu kegiatan yang integral. Konseling adalah merupakan salah satu teknik dalam pelayanan bimbingan diantara beberapa teknik lainnya. Sedangkan bimbingan itu lebih luas dan konseling merupakan alat yang paling penting dari usaha pelayanan bimbingan. Pendapat yang sama juga dijelaskan oleh Sukmadinata (2005), yang menjelaskan bahwa konseling merupakan salah satu teknik layanan dalam bimbingan, tetapi karena peranannya yang sangat penting konseling disejajarkan dengan bimbingan. Konseling merupakan teknik bimbingan yang bersifat terapeutik karena yang menjadi sasarannya bukan perubahan tingkah laku, tetapi hal yang lebih mendasar dari itu yaitu perubahan sikap. Dengan demikian sesungguhnya konseling merupakan suatu upaya untuk merubah pola hidup seseorang. Untuk mengubah pola hidup seseorang tidak bisa hanya dengan teknik-teknik bimbingan yang bersifat informatif, tapi perlu teknik yang bersifat terapeutik atau penyembuhan. Walgito (2010) mengatakan, konseling adalah bantuan yang diberikan pada seorang klien untuk memecahkan masalah kehidupannya dengan cara wawancara (face to face) dan dengan cara yang sesuai dengan keadaan yang dihadapi klien untuk mencapai kesejahteraanya. Palmer (2011) mengatakan, konseling adalah bantuan yang diberikan oleh seorang konselor kepada kliennya yang terlebih dahulu melakukan janji pertemuan dengan waktu yang telah disepakati untuk menolong klien dalam beragam permasalahannya hingga klien dapat menjalani kehidupan dengan lebih memuaskan.
Universitas Sumatera Utara
Mundakir (2006) mengatakan, bahwa konseling adalah bantuan yang diberikan oleh seorang perawat (konselor) kepada pasiennya (klien) melalui interaksi yang mendalam dalam bentuk kesiapan perawat untuk menampung ungkapan perasaan dan masalah kliennya dan kemudian perawat berusaha keras untuk memberikan alternatif pemecahan masalah untuk menunjang kestabilan emosi dan motivasi klien. Berbagai rumusan tentang konseling yang berbeda-beda, akan tetapi pada intinya sama dan saling melengkapi. Konseling merupakan suatu hubungan profesional antara seorang konselor terlatih dengan seorang klien. Hubungan ini biasanya dilakukan orang per orang (komunikasi antar personal). Meskipun sering kali melibatkan lebih dari dua orang, hubungan dirancang untuk membantu klien memahami dan memperjelas pandangan hidupnya, belajar mencapai tujuan yang ditentukan sendiri melalui pilihan-pilihan yang bermakna dan penyelesaian masalah emosional atau antar pribadi. Dalam hubungan tersebut konselor harus profesional dan terlatih sehingga dapat membina hubungan baik dan harmonis, hingga proses yang dirancang dan direncanakan untuk membantu klien dalam menetukan pilihan dan memecahkan masalahnya dapat berjalan dengan baik (Yuswanto dkk, 2009). Menurut Susanto (2004) seperti yang dikutip oleh Yulifah dan Yulianto (2009), dalam proses konseling terjadi komunikasi. Model komunikasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah komunikasi pribadi/personal atau lebih dikenal komunikasi interpersonal yang merupakan dasar penting dalam melakukan konseling. Bentuk komunikasi ini yang paling tepat karena komunikator langsung berhadapan
Universitas Sumatera Utara
(face to face) dengan komunikan (ibu balita yang mengalami gizi kurang). Diharapkan nantinya terjadi perubahan perilaku ibu dalam pengasuhan balita dan ahirnya berdampak pada pertambahan berat badan balita. Mekanisme perubahan perilaku tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Stimulus Rangsangan
Reaksi Tingkah Laku (terbuka)
Proses Stimulus
Sikap (tertutup) Gambar 2.1. Mekanisme Perubahan Perilaku
Menurut pendapat Notoatmodjo (2007), yang mengutip pendapat ahli psikologi Skiner (1938) perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena itu, perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus Organisme Respon. Stimulus (rangsangan) berupa pesan, dalam hal ini pesan kesehatan yang menyangkut pengetahuan tentang pemeliharaan dan perawatan anak balita yang mengalami gizi kurang. Pengetahuan yang disampaikan dapat dilakukan dengan berbagai metode (cara) yaitu dengan metode perorangan (individual), kelompok atau massa. Metode individual atau komunikasi interpersonal atau disebut juga konseling adalah metode yang paling efektif karena kontak klien (ibu balita) dengan petugas
Universitas Sumatera Utara
lebih intensif, karena masalah yang dihadapi oleh klien dapat digali dan dibantu penyelesaiannya (Notoatmodjo, 2003). Agar pesan (pengetahuan) yang disampaikan dapat dimengerti dan dipahami oleh klien sangat diperlukan suatu alat bantu (alat peraga). Menurut Notoatmodjo (2007), yang mengutip pendapat Elgar Dale, alat peraga dibagi menjadi 11 macam.
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1. Kata - kata 2. Tulisan 3. Rekaman , Radio 4. Film 5. Televisi 6. Pameran 7. Field Trip 8. Demonstrasi 9. Sandiwara 10. Benda Tiruan 11. Benda Asli
10 11
Gambar 2.2 Kerucut Edgar Dale
Dari gambar kerucut tersebut dapat dilihat bahwa lapisan paling dasar adalah “benda asli” dan yang paling atas adalah “kata-kata”. Hal ini berarti bahwa dalam proses perubahan perilaku benda asli mempunyai intensitas yang paling tinggi untuk mempersepsi pesan yang disampaikan. Sedangkan penyampaian pesan yang hanya dengan kata-kata saja sangat kurang efektif atau intensitasnya paling rendah. Jelas
Universitas Sumatera Utara
bahwa menggunakan alat peraga (media) adalah salah satu prinsip perubahan perilaku. Kondisi di Kota Tebing Tinggi dalam proses konseling gizi alat peraga yang sering digunakan adalah kata-kata (disampaikan langsung). Jika alat peraga yang digunakan adalah benda asli akan memberikan hasil yang maksimal. Karena pesan yang disampaikan akan lebih dimengerti dan dipahami oleh ibu. Tetapi kenyataan di lapangan akibat dari keterbatasan dana dan sarana, konseling lebih sering menggunakan kata-kata. Penggunaan alat peraga seperti poster, leaflet, tulisan, demonstrasi, benda tiruan ataupun benda asli hanya dilakukan pada acara tertentu yang melibatkan lintas sektor dan tidak dilakukan secara interpersonal. Sebagai contoh melakukan demonstrasi pengolahan makanan sehat dengan menggunakan bahan-bahan alami, contoh buah-buahan dan jenis-jenis bahan makanan yang sehat yang mudah didapat disertai dengan memberikan daftar menu makanan. Respon yang diterima klien akibat dari pesan yang telah disampaikan dapat bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap) maupun bersifat aktif (tindakan nyata). Menurut Notoatmodjo (2007) mengutip pendapat Robert Kwick (1974), menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu kecenderungan untuk mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Sikap adalah hanya sebagian dari perilaku manusia.
Universitas Sumatera Utara
Perilaku (respon) yang ditunjukkan oleh klien sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor tersebut adalah : (1) faktor internal yakni tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan sebagainya; (2) faktor eksternal yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Menurut Willis (2004) dan Enjang (2009), bahwa konseling tidak sama dengan memberikan informasi dan nasihat saja, meskipun informasi atau nasihat dapat diberikan jika memang dibutuhkan dalam proses konseling. Juga tidak sama dengan meyakinkan atau membujuk untuk bersikap dan bertingkah laku tertentu, serta tidak sama pula dengan memperingatkan, mengancam atau memaksa. Justru sebaliknya, dalam konseling seseorang meminta bantuan karena ingin mendapatkan satu perubahan atas kesadaran serta kemauan sendiri, dengan cara meminta bantuan dari konselor. Berdasarkan pendapat Liliweri (2009) yang mengutip pendapat Walstroom (1992), efektivitas konseling interpersonal ditentukan oleh : (1) menghormati pribadi orang lain; (2) mendengarkan dengan senang hati; (3) mendengarkan tanpa menilai; (4) empati; (5) bersikap tegas dan (6) mempunyai kompetensi dalam berkominikasi. Atau dengan kata lain konseling interpersonal yang efektif akan terjadi manakala dua pihak memberikan makna yang sama atas pesan yang mereka percakapkan, mereka diskusikan dan mereka dialogkan, atau yang lebih utama lagi adalah apa yang mereka pertukarkan itu diterima, dipahami dan dilaksnakan sebagai
Universitas Sumatera Utara
wujud perubahan sikap dan perilaku oleh komunikan sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh komunikator.
2.5. Konseling Gizi Konseling gizi adalah suatu proses komunikasi antara petugas penyuluh gizi (konselor atau komunikator) dengan klien (orang tua balita dalam hal ini ibu balita) yang bertujuan untuk membantu ibu untuk memutuskan apa yang akan dilakukan dalam mengatasi masalah kekurangan gizi yang dialami oleh balita. Dalam proses konseling ini konselor bukan memberi nasihat tetapi memberikan informasi dan alternatif pemecahan masalah, selanjutnya ibu balita memilih dan memutuskan sendiri alternatif yang terbaik untuk dirinya (Depkes, 2000). Konselor (”Counselor”) gizi adalah ahli gizi yang bekerja untuk membantu orang lain (klien) mengenali, mengatasi masalah gizi yang dihadapi dan mendorong klien untuk mencari dan memilih cara pemecahan masalah gizi secara mudah sehingga dapat dilaksanakan oleh klien secara efektif dan efisien. Dalam disertasinya Notoatmodjo (1987), menyatakan bahwa ada suatu bukti bahwa PMT saja tidak akan menunjukkan perubahan status gizi balita tanpa dibarengi dengan upaya pembekalan pengetahuan ilmu gizi pada
ibu. Untuk memperkuat manfaat PMT, dibutuhkan
program konseling yang variatif dan efektif terhadap ibu-ibu dari anak balita gizi kurang yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Berbagai upaya dilakukan untuk penanggulangan masalah gizi salah satunya adalah posyandu sebagai garda terdepan dan terdekat dengan masyarakat memiliki
Universitas Sumatera Utara
peran penting. Namun dibeberapa tempat, berbagai keluhan terhadap layanan kesehatan seperti posyandu masih sering terdengar, terutama dalam hal komunikasi. Sikap tidak ramah dan kaku, kurang senyum dan cerewet dan sejenisnya adalah sebagian gambaran yang diberikan petugas di tempat pelayanan kesehatan. Termasuk istilah medis yang sering dikemukakan tanpa penjelasan yang benar pada ahirnya menjadi istilah umum dikalangan masyarakat yang sebenarnya kurang tepat (Alven, 2008). Seorang konselor gizi diharapkan mempersiapkan diri dengan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam memberikan konseling. Adapun syarat sebagai konselor adalah sebagai berikut : Pertama, bahwa materi dan pengetahuan yang sebaiknya dimiliki dan dikuasai konselor diantaranya pengetahuan tentang bahan makanan yang tersedia di wilayah tersebut lengkap dengan harga dan jenisnya, kebiasaan mengolah dan cara menyiapkan makanan yang baik. Mereka juga perlu memiliki wawasan tentang ilmu gizi dasar, ilmu bahan pangan, ilmu penyakit, ilmu sanitasi, ilmu kesehatan masyarakat dan materi tentang masalah gizi di Indonesia, yaitu: gizi buruk,gizi kurang, gizi lebih dan obesitas, anemia gizi besi, kurang vitamin A, gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY), dan penyakit degeneratif atau penyakit terkait gizi lainnya. Hal kedua adalah konselor memiliki sikap dan keterampilan meliputi penampilan rapi, sopan dan sederhana. Menghindari pakaian dan perhiasan yang dapat menyolok perhatian klien. Selalu tepat waktu dan tidak membuat klien
Universitas Sumatera Utara
menunggu. Terbiasa memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan bertemu klien serta menunjukkan sikap membantu. Konselor juga perlu bijaksana menjelaskan perkiraan waktu yang diperlukan untuk wawancara dan diskusi. Menggunakan komunikasi verbal maupun non verbal. Konselor diupayakan dapat bertatap muka langsung dengan klien dengan bahasa verbal yang mudah dimengerti. Menciptakan suasana lingkungan konseling yang nyaman dan terjalin hubungan yang baik antara klien dan konselor. Menjadi pendengar yang baik dan aktif dalam menerima keluhan klien. Menunjukkan kepada klien bahwa permasalahannya sudah dimaklumi. Jelaskan bahwa semua informasi yang diberikan klien dijamin kerahasiaannya. Sasaran konseling adalah pasien/orang sakit dan atau keluarganya, mereka yang sedang menjalani rawat jalan di puskesmas, atau mereka yang datang karena membutuhkan informasi tentang masalah kesehatan atau masalah gizi yang dihadapi. Bagi pasien balita biasanya klien adalah orang tua/keluarga/orang yang mengasuh anak tersebut (Depkes dan Kessos RI, 2000). Penyampai pesan pada penelitian ini adalah petugas gizi puskesmas bersama tim, sementara komunikan adalah ibu yang mempunyai anak balita gizi kurang. Pesan yang diberikan terlebih dahulu ditata supaya mudah dimengerti. Tujuannya untuk memberi keterangan, dan diharapkan ibu balita menerima pesan, menyikapi dan merubah prilaku mereka seperti yang dipesankan. Tidak semua ibu mudah mengerti karena berbagai macam alasan atau permasalahan yang dihadapi seperti tingkat pengetahuan, perhatian dan lingkungan ketika berkomunikasi seperti bising atau
Universitas Sumatera Utara
ruangan yang pengap dan sesak. Pada proses konseling berbagai macam respon yang diberikan ibu balita seperti sikap menerima, acuh tak acuh atau bingung karena mungkin tidak dapat memahami apa yang dipesankan. Petugas penyuluh harus memantau respons dari ibu balita secara langsung, apakah mereka mau menurut dan merubah prilaku terhadap masalah gizi, atau sama sekali tidak berbuat apa-apa. Semua respons menjadi masukan dan selanjutnya petugas dapat merubah cara yang lebih efektif dan efisien (Liliweri, 2005). Pesan harus dikemas sesuai dengan masalah yang dihadapi hingga memberi jalan keluar yang baik. Dalam hal ini petugas gizi harus menjelaskan: Pertama, pengertian aneka ragam makanan bergizi seimbang yang meliputi makanan pokok, lauk pauk, sayur-syuran, buah-buahan dan susu. Manfaat, akibat dan tindakan yang perlu dilakukan bila keluarga belum makan aneka ragam makanan. Kedua, agar memantau kesehatan dan pertumbuhan anggota keluarganya, akibat dan tindakan yang perlu dilakukan bila hal tersebut belum dilaksanakan (Depkes, 2007). Masa balita adalah masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, untuk itu kebutuhan akan zat gizi harus terpenuhi dan masa balita juga merupakan masa yang rentan mengalami masalah gizi. Adapun manfaat zat gizi bagi balita adalah: (1) untuk proses pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, (2) memelihara kesehatan dan memulihkan kesehatan bila sakit, (3) melaksanakan berbagai aktivitas dan (4) mendidik kebiasaan makanan yang baik dengan menyukai makanan yang mengandung gizi yang diperlukan oleh tubuh (Lailiyana, dkk, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Setelah anak berumur 1 tahun menu makanan harus bervariasi untuk mencegah kebosanan dan diberi susu. Makanan padat tidak perlu dilumat lagi supaya anak yang sudah mempunyai gigi dapat belajar mengunyah. Adakalanya anak tidak mau makan makanan padatnya, ibu harus menyikapinya tidak memberi susu sebagai pengganti. Akan tetapi makanan disimpan dahulu lalu coba lagi jika anak sudah mulai lapar (Sibagariang, 2010). Ada beberapa hal yang perlu dihindari bagi anak agar makannya tidak berkurang, seperti membatasi makanan yang kurang menguntungkan, misalnya coklat, permen, kue-kue manis, karena dapat membuat kenyang sehingga nafsu makan berkurang. Menghindari makanan yang merangsang seperti yang pedas dan terlalu panas, menciptakan suasana makan yang tentram dan menyenangkan, memilih makanan dengan nilai gizi tinggi, memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan, tidak memaksa anak untuk makan serta tidak menghidangkan porsi makanan yang terlalu banyak (Waryanan, 2010). Agar konseling memberikan hasil yang maksimal sebaiknya menggunakan media komunikasi. Alat bantu ini memudahkan menyampaikan pesan dari sumber kepada penerima. Yang digunakan sebagai media dalam konseling adalah brosur, leaflet, poster dan lain-lain yang dapat memudahkan petugas kesehatan memberi penjelasan apa-apa yang harus dilakukan ibu, jenis-jenis atau menu makanan sehat apa yang harus diberikan kepada anak dan perlu juga disampaikan gambar-gambar anak yang mengalami kurang gizi agar dapat memotivasi ibu untuk mengadakan perubahan perilaku dalam pengasuhan anak.
Universitas Sumatera Utara
Tahap awal respon ibu dapat langsung dilihat dari sikapnya pada saat konseling berlangsung apakah ibu antusias dalam mengikuti proses konseling atau bahkan memperlihatkan sikap acuh tak acuh. Disini sangat diperlukan sikap cermat dari petugas bagaimana agar tercipta suasana konseling yang dapat membangkitkan semangat si ibu atau merubah suasana konseling yang tadinya tegang menjadi kekeluargaan dengan memberi kesempatan bagi ibu untuk menceritakan keluhan atau masalah yang dihadapinya selama ini. Keberhasilan proses konseling sangat tergantung pada sikap petugas dalam memberikan penjelasan pada ibu. Untuk itu diperlukan pengetahuan dan pengalaman petugas agar hasil yang diharapkan dapat tercapai. Tidak hanya sampai disini tindak lanjut perlu dilakukan yaitu dengan mendatangi rumah ibu balita untuk melihat secara langsung apakah yang disampaikan pada saat konseling dilaksanakan oleh ibu. Ini dapat dinilai dari sikap dan perilaku ibu pada saat sebelum dilakukan konseling dengan setelah dilakukan konseling.
2.6. Manfaat Konseling Komunikasi dan konseling seperti yang diulas pada sub paragraf terdahulu dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan dalam hal ini Puskesmas dengan harapan bahwa proses tersebut akan dapat memperbaiki status gizi anak-anak balita secara terpadu dan proporsional. Pada hakekatnya setiap pekerjaan dalam manajemen organisasi memerlukan kerja sama demi mencapai tujuan. Tujuan tersebut bila tercapai, dapat disebut sebagai salah satu indikator kinerja dari tim. Nilainya harus dapat dan selalu
Universitas Sumatera Utara
diukur, apakah cukup efektif berdasarkan rasio antara pencapaian dengan target standar. Artinya konseling harus juga dievaluasi bagaimana aspek kinerjanya terkait dengan variabel-variabel yang berpengaruh. Untuk melakukan teknik evaluasi tersebut di bawah ini dipaparkan paradigma Harold Lasswell, seorang pakar komunikasi. Harold Lasswell’s (1948) seperti yang dikutip oleh Watson dan Hill (1996) mengungkapkan: “Who Says What, In Which Channel, To Whom and With What Effect ?, Teori tersebut dapat ditulis secara sederhana terkait dengan penelitian: “Siapa komunikatornya yang mengatakan pesan apa, dengan cara atau jalur yang sesuai bagimana, kepada komunikan para ibu-ibu balita gizi kurang dan bagaimana efek atau akibatnya, apakah sesuai dengan harapan atau tidak”. Jadi ada 5 faktor yang berpengaruh dalam proses komunikasi yaitu: (1) konselor; (2) isi pesan tentang gizi, asupan makanan dan kesehatan; (3) sikap konselor (simpatik dan empatik); (4) penerima pesan (ibu balita); (5) kemudian dievaluasi bagaimana efeknya terhadap pebaikan gizi anak balita yang mengalami gangguan gizi. Pada saat pertama kali klien bertemu dengan konselor, berbagai perasaan ada pada klien seperti rasa takut, tidak menentu, cemas, bingung, malu, apatis, dll. Oleh karena itu, perlu strategi untuk menghadapi agar klien merasa siap untuk bertemu konselor, diantaranya: mengenal klien lebih awal dengan menggali data klien selengkap mungkin, misalnya nama orang tua, nama klien, alamat, keadaan sosial ekonomi, kondisi penyakit, sikap penerimaan klien terhadap proses perawatan pada
Universitas Sumatera Utara
waktu di RS/Puskesmas. Untuk pasien rawat inap informasi dapat diperoleh dengan membaca buku rekam medik/catatan medik, dari perawat dan dokter yang merawatnya. Untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan menghubungi dokter atau perawat yang pernah menanganinya, atau kader posyandu/dasawisma. Tempat yang baik untuk konseling, (a) Ruang tersendiri/terpisah dengan ruangan lain, sehingga klien merasa nyaman, (b) Ukuran besar kecilnya ruang konseling tergantung dari jumlah klien yang dilayani atau jumlah konselor yang akan memberikan konseling, (c) Ada tempat/meja untuk mendemonstrasikan materi konseling, (d) Ruangan sebaiknya dihias/dekor dengan pesan-pesan gizi yang atraktif, (e) Lokasi mudah dijangkau oleh klien termasuk klien yang mempunyai keterbatasan fisik, (f) Ruangan mempunyai lampu dan sirkulasi udara yang cukup, (g) Ruangan didukung dengan fasilitas peralatan belajar yang cukup memadai antar lain poster, leaflet, majalah dll Waktu konseling yang baik adalah 30 menit sampai dengan 60 menit. Pembagian waktu kira – kira 30 menit untuk menggali data, dan selebihnya untuk diskusi dan pemecahan masalah. Menurut Notoatmodjo (2005), bahwa telah ditempuh salah satu cara perbaikan gizi terhadap balita melalui usaha intervensi konseling terhadap prilaku ibu. Menurut Notoatmodjo bahwa program seperti itu, lebih dikenal sebagai bagian usaha pendidikan gizi masyarakat, telah terbukti mampu meningkatkan pengetahuan dan prilaku ibu, dan berdampak positif terhadap gizi anak balita di berbagai negara.
Universitas Sumatera Utara
Upaya PMT kepada anak balita tanpa dibarengi dengan pendidikan gizi kepada ibu anak balita, tidak dapat meningkatkan status gizi anak balita secara bermakna. . Sejumlah 234 pasangan ibu dan bapa serta anak balita mereka, tersebar dalam 3 kelompok. Dua (2) kelompok dijadikan sebagai kelompok eksperimen, sementara kelompok ke 3 adalah kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak membuktikan ada perbedaan peningkatan jumlah ibu yang mempunyai pengetahuan gizi baik dengan kelompok yang diberi pendidikan gizi melalui metode permainan dengan kelompok yang diberi pendidikan dengan metode ceramah. Perbedaan peningkatan pengetahuan gizi diantara kelompok yang diberi ceramah ataupun permainan dengan kelompok kontrol menunjukkan ada perbedaan yang bermakna. Beberapa hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan pengaruh yang secara statistik bermakna tentang pengaruh konseling dan penyuluhan kelompok terhadap sikap dan perilaku ibu dalam masalah gizi balita. Konseling menghasilkan sikap 13 poin dan perilaku 15 poin lebih tinggi dari pada penyuluhan kelompok (Wijayanti, 2010). Responden overweight dan obes dilakukan konseling gizi secara berkala setiap minggu selama 8 (delapan) kali dilakukan penimbangan berat badan. Hasil menunjukkan perubahan berat badan sebesar 0,72 kg (sebelum konseling 62,74 kg dan sesudah konseling 63,46 kg). Penelitian ini membuktikan bahwa konseling gizi dapat memberikan perubahan konsep dan perilaku responden yang overweight dan obes untuk menurunkan berat badannya (Podojoyo dkk, 2007). Proses konseling bermanfaat karena ada nuansa pemberian pesan dibuat secara khusus terhadap individu (komunikasi interpersonal). Keakraban dapat
Universitas Sumatera Utara
diciptakan disini sehingga effek empati dan perasaan dilayani secara simpatik akan lebih memberi pengaruh positif terhadap materi yang dipesankan oleh komunikan kepada para ibu. Kerahasiaan pribadi yang ada kalanya menghambat komunikasi terbuka dengan banyak orang, jadi lebih terbuka dan dapat dicarikan solusi.
2.7. Faktor Penghambat Konseling Ada beberapa faktor yang menghambat proses berlangsungnya konseling yaitu faktor individual, faktor yang berkaitan dengan interaksi, faktor situasi dan kompetensi dalam melakukan konseling. Faktor individual disini termasuk keterikatan budaya, dan ini merupakan gabungan dari faktor fisik (kemampuan melihat, mendengar, usia, jenis kelamin dan sudut pandang) serta faktor sosial (sejarah keluarga, status sosial dan peran dalam masyarakat). Faktor yang berkaitan dengan interaksi adalah tujuan, harapan, sikap dan pembawaan. Faktor situasi yang berpengaruh adalah keadaan lingkungan dimana proses konseling dilakukan. Faktor kompetensi adalah merupakan sikap kompeten dari kedua belah pihak. Dimana proses komunikasi dapat terputus karena adanya kegagalan menyampaikan informasi, perpindahan topik pembicaraan dan salah pengertian (Enjang, 2009). Di Kota Tebing Tinggi sendiri faktor penghambat konseling itu terjadi disebabkan oleh kemampuan petugas penyuluh yang kurang akibat dari latar belakang pendidikan yang tidak kompeten, sikap dan keterbatasan jumlah sumber daya manusia yang tidak sebanding dengan jumlah balita gizi kurang yang ada hingga penyuluhan tidak maksimal dilakukan. Faktor pengahambat dari si ibu balita itu
Universitas Sumatera Utara
sendiri adalah kemampuan menerima informasi yang berbeda-beda, kesibukan dari si ibu balita yang bekerja mencari nafkah hingga waktu yang tersedia terbatas, sikap ibu yang acuh tak acuh terhadap kondisi kesehatan anaknya hingga bagaimanapun proses konseling dilakukan tidak akan merubah perilaku pola asuh ibu pada anak balita. Hal ini juga diperkuat dari hasil penelitian Pujiati (2008), yang megatakan selain pengetahuan petugas , peran orang tua dan keluarga, kondisi kemiskinan juga berperan dalam penanggulan kasus gizi kurang dan gizi buruk.
2.8. Pengaruh Konseling terhadap Perubahan Status Gizi Balita Salah satu upaya penanggulangan masalah gizi adalah menyelenggarakan pendidikan gizi pada masyarakat khususnya ibu-ibu yang mempunyai anak balita, contohnya adalah konseling. Agar terjadi perubahan perilaku kearah konsumsi pangan dan gizi yang sehat. Ini dicapai dengan menyusun model-model pendidikan yang efektif dan efisien. Dengan konseling, ibu dapat mempraktekkan perilaku gizi yang baik untuk anak, seperti menimbang berat badan balita secara rutin ke posyandu atau puskesmas, memberi ASI saja kepada bayi sejak dilahirkan sampai usia 6 bulan (ASI Eksklusif), makan beraneka ragam makanan, menggunakan garam beryodium dan minum suplemen gizi sesuai anjuran (Depkes RI, 2007). Hasil penelitian Graf, dkk (2009), dengan judul Pengaruh konseling gizi pada ibu terhadap perbaikan status gizi balita gizi kurang usia 6-11 bulan dan usia 12-24 bulan yang mendapat MP-ASI di Yogyakarta, menunjukkan bahwa kelompok
Universitas Sumatera Utara
perlakuan konseling dan MP-ASI lebih baik dari kelompok perlakuan hanya MP-ASI. Ini berarti perbaikan status gizi lebih baik pada kelompok anak yang ibunya diberi konseling gizi sebelum dan selama pemberian MP-ASI dibandingkan status gizi pada kelompok anak yang ibunya tidak diberi konseling gizi sebelum dan selama pemberian MP-ASI.
2.9. Pengaruh PMT dan Konseling terhadap Perubahan Status Gizi Balita Berbagai strategi pemerintah dalam penanggulangan masalah gizi di Indonesia diantaranya peningkatan pelayanan kesehatan, PMT, revitalisasi posyandu dan lain-lain tidak akan berhasil tanpa ada kerjasama antar lintas sektor. Disamping itu
partisipasi
masyarakat
dalam
menyikapi
langkah-langkah
yang
telah
disosialisasikan oleh Pemerintah dalam hal ini Puskesmas. PMT adalah salah satu langkah, tapi bila PMT yang diberikan tanpa adanya penyuluhan atau konseling pada masyarakat khususnya ibu-ibu yang mempunyai balita gizi kurang tidak akan memberi efek yang maksimal. Karena PMT tanpa pengawasan dari petugas kesehatan akan diberikan ibu dengan sesuka hati, bahkan ada ibu yang memberikan PMT kepada anaknya yang lain. Agar upaya yang dilakukan Pemerintah tidak sia-sia, untuk itu monitoring dan konseling tetap dilakukan sampai PMT dapat memberikan dampak pertambahan berat badan balita. Dari hasil penelitian Wanatorey, dkk (2006), tentang pengaruh konseling gizi terhadap pengetahuan gizi ibu dan perbaikan status gizi balita gizi buruk yang mendapatkan PMT Pemulihan di Kota Sorong, Irian Jaya Barat menunjukkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
konseling gizi secara individual melalui kunjungan rumah lebih baik dari konseling gizi secara berkelompok untuk meningkatkan pengetahuan gizi ibu dalam penanganan balita gizi buruk. Peningkatan asupan energi dan protein dapat dipengaruhi oleh pengetahuan gizi ibu balita. Hasil analisis tingkat konsumsi energi dan protein dari ketersediaan energi dan protein paket PMT Pemulihan yang dilaksanakan selama 3 bulan intervensi menunjukkan ada perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok. Dengan rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein dari ketersediaan energi dan protein dari paket PMT Pemulihan yaitu 50-60% pada kedua kelompok.
2.10. Kemiskinan Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah nilai garis standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan. Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kkal per orang per hari dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (Suharto, 2005). Seseorang/rumah tangga dikatakan miskin bila kehidupannya dalam kondisi serba kekurangan, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Batas kebutuhan dasar minimal dinyatakan melalui ukuran garis kemiskinan yang disertakan dengan jumlah rupiah yang dibutuhkan.
Universitas Sumatera Utara
Kriteria penduduk miskin dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu (BPS, 2005) : 1. Penduduk dikatakan miskin apabila kebutuhan untuk memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai 1900 kal per orang per hari plus kebutuhan dasar non makanan, atau setara dengan Rp 120.000 per orang per bulan. 2. Penduduk dikatakan miskin apabila kemampuan memenuhi konsumsi makan hanya mencapai 1900-2000 kal per orang per hari plus kebutuhan dasar non makanan, setara dengan Rp 150.000 per orang per bulan. 3. Penduduk dikatakan mendekati miskin apabila kemampuan memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai 2100-2300 kal per orang per hari plus kebutuhan dasar non makanan, setara dengan Rp 175.000 per orang per bulan. Bila diasumsikan suatu rumah tangga memiliki jumlah anggota keluarga rumah tangga rata-rata 4 orang, maka batas garis kemiskinan rumah tangga adalah : 1. Rumah tangga yang dikatakan sangat miskin apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sebesar 4 x Rp 120.000 = Rp 480.000 per rumah tangga per bulan. 2. Rumah tangga yang dikatakan miskin apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sebesar 4 x Rp 150.000 = Rp 600.000 per rumah tangga per bulan. 3. Rumah tangga dikatakan mendekati miskin apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sebesar 4 x Rp 175.000 = Rp 700.000 per rumah tangga per bulan.
Universitas Sumatera Utara
2.11. Landasan Teori Ketersediaan pangan dalam keluarga akan menjamin asupan zat gizi pada anak ditambah lagi dengan adanya program PMT yang diberikan oleh pemerintah akan memenuhi kecukupan zat gizi dan kalori yang pada ahirnya akan memperbaiki status gizi. PMT yang diberikan dapat dalam bentuk makanan olahan ataupun pabrikan yang mengandung bahan makanan sumber kalori (karbohidrat,protein dan lemak) tanpa mengenyampingkan sumber zat gizi lainnya serta mudah disiapkan. Makanan harus bersih dan aman, terhindar dari pencemaran mikroorganisme serta tidak kadaluwarsa. PMT saja tidak cukup tapi harus dibarengi dengan pemberian penyuluhan atau konseling gizi pada ibu. Konseling merupakan suatu roses penyampaian pesan dalam hal ini pengetahuan tentang makanan sehat bergizi dan seimbang serta bagaimana memelihara dan merawat anak agar tetap sehat dan terhindar dari penyakit yang secara langsung dapat mempengaruhi status gizi anak. Dengan adanya pesan tersebut ibu memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang pada ahirnya berpengaruh terhadap perilaku ibu. Dalam konseling gizi perubahan sikap yang diharapkan adalah perubahan perilaku ibu dalam perawatan anak balita, bagaimana cara mengasuh, merawat, menilai pertumbuhan dan perkembangan anak. Konseling jika dilakukan dengan baik maka akan meningkatkan pengetahuan gizi ibu, memperbaiki pola pengasuhan dan perawatan anak khususnya yang terkait dengan cara pemberian makan anak, memelihara kebersihan anak dan memberikan pengobatan jika anak
Universitas Sumatera Utara
sakit. Apabila praktek pengasuhan anak dapat diperbaiki maka akan meningkatkan status gizi anak. Pola asuh gizi merupakan praktek rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan. Pola asuh gizi juga merupakan sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lainnya dalam hal kedekatan dengan anak, memberikan makan, menjaga kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya. Agar pola hidup anak sesuai dengan standar kesehatan, disamping harus mengatur pola makan yang baik dan juga harus mengatur pola asuh yang baik. Pola asuh yang baik bisa ditempuh dengan memberikan perhatian yang penuh serta kasih sayang pada anak, memberinya waktu yang cukup untuk menikmati kebersamaan dengan seluruh anggota keluarga. Melalui keluarga dalam hal ini orang tua , anak beradaptasi dengan lingkungannya untuk mengenal dunia sekitarnya. Dengan demikian dasar pengembangan diri seorang individu telah diletakkan oleh orang tua melalui praktek pengasuhan anak sejak ia masih bayi (Soekirman, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Gambar 2.3).
STATUS GIZI
ASUPAN PANGAN
AKSES KE PANGAN
Efek
PENYAKIT INFEKSI
PENGASUHAN ANAK
Penyebab langsung
AKSES KE PELAYANAN KESEHATAN
Penyebab Tidak langsung PMT
KONSELING
Gambar 2.3. Pohon Masalah Faktor-Faktor yang Memengaruhi Status Gizi Balita (Modifikasi dari UNICEF, 1998) Perubahan perilaku tersebut sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Kesemua faktor harus saling mempengaruhi dan saling mendukung untuk mencapai hasil yang diharapkan. Hal ini berarti meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-tiap orang akan berbeda. Tapi faktor lingkungan sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Menurut pendapat Notoatmodjo (2007) mengutip hasil penelitian
Universitas Sumatera Utara
Rogers (1974), mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni: (1) awareness (kesadaran); (2) interest (tertarik); (3) evaluation (menimbang); (4) trial (mencoba) dan (5) adaptation (berperilaku baru). Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap di atas tetapi juga dapat melewati fase (1) knowledge (pengetahuan); (2) persuassion (perhatian); (3) decission (memutuskan) dan (4) confirmation (berperilaku baru) . Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positip, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama. Menurut Menteri Kesehatan RI, pemerintah bertanggung jawab dalam penanggulangan masalah kurang gizi masyarakat khususnya masyarakat miskin melalui program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), membuat standard pelayanan, buku pedoman serta melakukan supervisi program ke provinsi, kabupaten/kota, dalam kaitannya dengan gizi kurang dan gizi buruk, Depkes sejak tahun 2005 telah mencanangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009. Program yang dicanangkan adalah: (1) meningkatkan cakupan deteksi dini gizi buruk melalui penimbangan di posyandu; (2) meningkatkan tata laksana penanggulangan gizi buruk di puskesmas dan rumah sakit; (3) PMT; (4) meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu dalam
Universitas Sumatera Utara
memberikan asuhan gizi anak balita; dan (5) memberikan suplemen gizi (Vitamin A) pada semua anak balita.
2.12. Kerangka Konsep Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan maka kerangka konsep bagi pengaruh pemberian makanan tambahan pada balita dan konseling ibu terhadap status gizi balita gizi kurang dari keluarga miskin adalah sebagai berikut :
Variabel Independen
Variabel Antara
Variabel Dependen
Asupan Gizi Balita
Status Gizi Balita
PMT
Konseling
Pola Asuh
Karakteristik Ibu : - Sikap - Status bekerja Karakteristi Keluarga : - Jumlah Keluarga - Pendapatan
Keterangan :
: tidak diteliti Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Konseling merupakan proses penyampaian pesan yang dilakukan dengan cara saling berhadapan antara klien dengan komunikator (petugas gizi). Penyampaian pesan ini dipengaruhi oleh sikap dari petugas dan waktu konseling. Dengan konseling, pesan kesehatan yang disampaikan diharapkan dapat merubah pola asuh ibu pada anak balitanya (cara merawat, cara memelihara, cara mengolah makanan yang baik dan benar serta cara memberikan makanan tersebut pada balita). Perubahan perilaku ibu yang diharapkan sangat dipengaruhi oleh karakteristik ibu (pendidikan ibu, sikap ibu dan status bekerja ibu), juga dipengaruhi oleh karakteristik keluarga (jumlah anggota keluarga dan pendapatan). Perubahan perilaku ibu dalam pemberian makan pada balita baik itu makanan sehari-hari yang disajikan dengan variasi sesuai dengan kondisi keluarga serta PMT yang berasal dari pemerintah bila diolah, disajikan dan diberikan sesuai dengan kebutuhan anak dan memenuhi syarat-syarat kesehatan akan berpengaruh pada staqtus gizi balita.
Universitas Sumatera Utara