BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prinsip Dasar Difusi Melalui Membran Difusi didefenisikan sebagai suatu proses perpindahan massa molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas (barrier), misalnya membran polimer. Sebagai contoh, perjalanan suatu zat melalui suatu batas bisa terjadi oleh suatu permeasi molekul sederhana atau oleh gerakan melalui pori dan lubang (saluran) (Martin, et al., 1993). 2.1.1 Hukum Fick pertama Sejumlah M benda yang mengalir melalui satu satuan penampang melintang, S, dari suatu pembatas dalam satu satuan waktu t dikenal sebagai aliran dengan simbol, J (Martin, et al., 1993).
dM S.dt
J=
(1)
Di mana: M = massa (gram) S = luas permukaan batas (cm2 ) Sebaliknya aliran berbanding lurus dengan perbedaan konsentrasi dC/dX: J= -D
dC dX
(2)
Di mana: D = koefisien difusi (cm2/detik) C = konsentrasi (gram/cm3) X = jarak (cm)
7
Universitas Sumatera Utara
Persamaan (2) dikenal sebagai hukum Fick pertama. Persamaan ini memberikan aliran (laju difusi melalui satuan luas) dalam aliran pada keadaan tunak. Dalam percobaan difusi, larutan dalam kompartemen reseptor yang diambil, diganti secara terus menerus dengan pelarut baru untuk menjaga agar selalu dalam keadaan sink. Parameter penetrasi perkutan secara in vitro dihitung dari data penetrasi dengan menggunakan persamaan berikut: D=
Js =
2 6
(3)
DK m C s = Kp Cs
(4)
Di mana: D
= koefisien difusi (cm2/jam)
= ketebalan membran (cm)
= lag time (jam)
Kp
= koefisien permeabilitas melalui membran (jam -1. cm -2)
Cs
= konsentrasi zat aktif dalam salep (mcg)
Js
= fluks (mcg/jam.cm2)
Km
= koefisien partisi kulit/pembawa (cm/jam2) (Martin, et al., 1993).
2.2 Kulit Kulit menutupi seluruh tubuh dan melindunginya dari rangsangan eksternal dan kerusakan serta dari kehilangan kelembaban. Luas permukaan kulit orang dewasa sekitar 1,6 m2. Ketebalan kulit bervariasi terhadap usia, jenis kelamin dan lingkungan hidup. Umumnya, kulit pria lebih tebal dibandingkan kulit wanita. Namun, wanita mempunyai lapisan lemak yang tebal pada subkutan.
8
Universitas Sumatera Utara
Secara umum, kulit pada kelopak mata adalah yang paling tipis dan kulit pada telapak kaki adalah yang paling tebal (Mitsui, 1997). 2.2.1 Anatomi dan fisiologi kulit Secara histopatologis kulit tersusun atas tiga lapisan utama yaitu: a. Lapisan epidermis b. Lapisan dermis c. Lapisan subkutan (Wasitaatmadja, 1997). Gambar 2.1 menunjukkan struktur anatomi kulit (Saurabh, et al., 2014).
Gambar 2.1 Struktur kulit 2.2.1.1 Lapisan epidermis Epidermis mempunyai ketebalan yang bervariasi, tergantung pada ukuran sel dan jumlah lapisan sel, mulai dari 0,8 mm pada telapak tangan dan 0,06 mm pada kelopak mata (Tortora dan Grabowski, 2006).
9
Universitas Sumatera Utara
Lapisan epidermis tersusun dari lima lapisan yaitu: a.
Lapisan tanduk (Stratum korneum) Stratum korneum merupakan lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas
beberapa lapis sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk) (Wasitaatmadja, 1997). b.
Lapisan lusidum (stratum lusidum) Stratum lusidum merupakan lapis sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma
yang berubah menjadi protein eleidin. Lapisan ini terdapat jelas di telapak tangan dan kaki. Stratum lusidum terdapat langsung di bawah stratum korneum (Wasitaatmadja, 1997). c.
Lapisan keratohialin (stratum granulosum) Stratum granulosum merupakan dua atau tiga lapis sel gepeng dengan
sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti sel di antaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin. Mukosa biasanya tidak mempunyai lapisan ini. Stratum granulosum juga tampak jelas di telapak tangan dan kaki (Wasitaatmadja, 1997). d.
Lapisan spinosum (stratum spinosum) Stratum spinosum terdiri atas beberapa lapis sel berbentuk poligonal dengan
ukuran bermacam-macam akibat proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen dan inti sel terletak di tengah. Sel-sel ini makin dekat ke permukaan kulit makin gepeng bentuknya. Di antara sel-sel stratum spinosum terdapat jembatan antarsel (intercellular bridges) yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin. Perlekatan antarjembatan membentuk penebalan bulat kecil yang disebut nodulus Bizzozero. Di antara sel-sel stratum
10
Universitas Sumatera Utara
spinosum terdapat sel-sel Langerhans yang mempunyai peran penting dalam sistem imun tubuh (Wasitaatmadja, 1997). e.
Lapisan basal (stratum basale) Lapisan basal merupakan dasar epidermis, berproduksi dengan cara mitosis.
Lapisan ini terdiri atas sel-sel kubus (kolumnar) yang tersusun vertikal, dan pada taut dermoepidermal berbaris seperti pagar (palisade) (Wasitaatmadja, 1997). 2.2.1.2 Lapisan dermis Dermis mempunyai lapisan yang jauh lebih tebal daripada epidermis, terbentuk oleh jaringan elastik dan fibrosa padat dengan elemen selular, kelenjar, dan rambut sebagai adneksa kulit. Lapisan ini terdiri atas: a.
Pars papilaris, yaitu bagian yang menonjol ke dalam epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah.
b.
Pars retikularis, yaitu bagian bawah dermis yang berhubungan dengan subkutis, terdiri atas serabut penunjang kolagen, elastin dan retikulin. Dasar (matriks) lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan
kondroitin sulfat dan sel-sel fibroblas. Kolagen muda bersifat lentur namun dengan bertambahnya umur menjadi stabil dan keras. Retikulin mirip dengan kolagen muda, sedangkan elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf, mudah mengembang, dan elastis (Wasitaatmadja, 1997). 2.2.1.3 Lapisan subkutan Lapisan subkutan merupakan kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir karena sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh
11
Universitas Sumatera Utara
trabekula yang fibrosa. Lapisan sel lemak disebut panikulus adiposus, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan saluran getah bening. Tebal jaringan lemak tidak sama bergantung pada lokasi, di abdomen 3 cm, sedangkan di daerah kelopak mata dan penis
sangat tipis. Lapis lemak
ini juga
berfungsi
sebagai bantalan
(Wasitaatmadja, 1997). 2.2.2 Sistem penyampaian obat melalui kulit Penyampaian obat secara transdermal menjadi alternatif yang lebih diinginkan untuk meningkatkan efisiensi pengobatan serta lebih aman daripada penyampaian obat secara oral. Pasien sering lupa meminum obat atau menjadi bosan harus mengkonsumsi beberapa jenis obat dengan frekuensi yang beberapa kali sehari. Selain itu, penyampaian obat oral sering menyebabkan gangguan lambung dan inaktivasi sebagian obat karena first pass metabolism di hati. Selain itu, absorpsi keadaan tunak suatu obat melalui kulit selama beberapa jam ataupun hari menghasilkan level dalam darah yang lebih disukai daripada yang dihasilkan dari obat oral (Kumar, et al., 2010). 2.2.3 Keuntungan sistem penyampaian obat melalui kulit Sistem penyampaian obat melalui kulit memiliki beberapa keuntungan, antara lain: a.
Durasi kerja yang panjang sehingga frekuensi pemberian obat berkurang
b.
Kenyamanan pemberian obat
c.
Meningkatkan bioavailabilitas
d.
Menghasilkan level plasma yang lebih seragam
12
Universitas Sumatera Utara
e.
Mengurangi
efek
samping
obat dan
meningkatkan terapi karena
mempertahankan level plasma sampai akhir interval terapi f.
Kemudahan penghentian pemakaian obat
g.
Meningkatkan kepatuhan pasien (Kumar, et al., 2010).
2.2.4 Kerugian sistem penyampaian obat melalui kulit Sistem penyampaian obat melalui kulit memiliki beberapa kerugian, antara lain: a.
Kemungkinan terjadinya iritasi lokal
b.
Kemungkinan terjadinya eritema, gatal, dan edema lokal yang disebabkan obat ataupun bahan tambahan dalam formulasi sediaan (Kumar, et al., 2010).
2.2.5 Rute penyampaian obat melalui kulit Ada dua jalur utama obat berpenetrasi menembus stratum korneum, yaitu: jalur transepidermal dan jalur pori. Gambar 2.2 menunjukkan jalur penetrasi obat (Trommer dan Neubert, 2006).
Gambar 2.2 Jalur penetrasi obat melalui stratum korneum
13
Universitas Sumatera Utara
Jalur transepidermal dibagi lagi menjadi jalur transselular dan jalur interselular. Pada jalur transelular, obat melewati kulit dengan menembus secara langsung lapisan lipid stratum korneum dan sitoplasma dari keratinosit yang mati. Jalur ini merupakan jalur terpendek, tetapi obat mengalami resistansi yang signifikan karena harus menembus struktur lipofilik dan hidrofilik. Jalur yang lebih umum bagi obat untuk berpenetrasi melalui kulit adalah jalur interselular (Hadgraft, 2004). Pada jalur ini, obat berpenetrasi melalui ruang antar korneosit. Jalur melalui pori dapat dibagi menjadi jalur transfolikular dan transglandular. Karena kelenjar dan folikel rambut hanya menempati sekitar 0,1% dari total luas kulit manusia, oleh karena itu kontribusi rute ini terhadap penetrasi dianggap kecil (Moser, et al., 2001). Tetapi, jalur transfolikular dapat menjadi jalur yang penting bagi penetrasi obat yang diberikan secara topikal (Lademann, et al., 2003).
2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelepasan Obat Secara Transdermal 2.3.1 Faktor kimia Faktor-faktor kimia obat yang dapat mempengaruhi pelepasan obat melalui kulit yaitu: a.
Berat molekul obat Absorpsi berhubungan terbalik dengan berat molekul dan semakin kecil
molekul semakin cepat penetrasinya kedalam kulit daripada yang berukuran besar. Semakin tinggi berat molekul semakin rendah tingkat penetrasi kedalam kulit (Lombry, et al., 2000).
14
Universitas Sumatera Utara
b.
Lipofilisitas Pengaruh koefisien partisi terhadap difusi molekul telah dipelajari. Dengan
mengacu pada difusi pasif, peningkatan lipofilisitas obat menyebabkan berkurangnya permeasi (Denet, et al., 2004). Sebuah studi serupa dengan nalbuphine dan prodrugnya yang menunjukkan bahwa peningkatan lipofilisitas menyebabkan rasio peningkatan penetrasi menurun (Sung, et al., 2003). c.
Formulasi Faktor lain yang mempengaruhi penetrasi senyawa bioaktif melalui kulit
adalah jenis formulasi yang dirancang untuk masuknya obat. Konsentrasi obat mempengaruhi penghantaran topikal dan formulasi memainkan peranan penting dalam pemasukan obat melalui kulit, dengan korelasi antara konsentrasi dan jumlah obat yang dihantarkan melalui kulit (Regnier, et al., 1998). Selanjutnya, peningkatan viskositas pada formulasi menurunkan penetrasi obat ke dalam kulit yang mungkin disebabkan oleh penurunan difusi. d.
Koefisien Partisi Koefisien partisi merupakan faktor yang penting untuk permeasi obat melalui
stratum korneum. Untuk pemberian obat pertama sampai terakhir, obat harus memiliki karakteristik tertentu yang meliputi massa molekul rendah, kelarutan yang cukup dalam minyak, dan koefisien partisi yang cukup tinggi. Hal ini diamati bahwa semakin tinggi nilai koefisien partisi, obat lipofilik tidak mudah masuk ke stratum korneum (Prakash dan Thiagarajan, 2012). 2.3.2 Faktor biologis Faktor-faktor biologis obat yang dapat mempengaruhi pelepasan obat melalui kulit yaitu:
15
Universitas Sumatera Utara
a.
Kondisi Kulit Kulit yang utuh berfungsi juga sebagai pelindung yang kuat tetapi banyak
bahan yang diketahui dapat merusak pelindung tersebut. Beberapa asam maupun basa dapat melukai sel pelindung dan mengizinkan penetrasi obat. Penyakit umumnya mengubah kondisi kulit yang dapat meningkatkan permeabilitas obat. Penyakit yang ditandai dengan kerusakan stratum korneum, permeasi meningkat. Karena lapisan pertama dari stratum korneum yang baru terbentuk, tingkat permeasi menurun. Difusi pasif maksimum terjadi pada area yang memiliki banyak folikel rambut daripada area yang memiliki lapisan stratum korneum yang tebal (Prakash dan Thiagarajan, 2012). b.
Usia Kulit Hal ini sering diasumsikan bahwa kulit muda dan tua lebih permeabel
dibandingkan orang dewasa setengah baya, tapi tidak ada bukti konklusif untuk fenomena ini. Anak-anak lebih rentan terhadap efek toksik obat dan pada bayi prematur, stratum korneum tidak ada. Ini mungkin merupakan keuntungan untuk mengobati beberapa penyakit melalui aplikasi topikal (Prakash dan Thiagarajan, 2012). c.
Aliran Darah Perubahan sirkulasi perifer tidak mempengaruhi penyerapan transdermal.
Tetapi peningkatan aliran darah dapat mengurangi waktu molekul terdifusi untuk bertahan pada dermis, juga meningkatkan konsentrasi gradien melalui kulit. Aliran darah lokal tidak mempengaruhi penetrasi epidermis dari kation monovalen melalui kulit (Cross dan Roberts, 1995). Namun, penetrasi dalam kasus diklofenak, asam salisilat dan antipyrine ditemukan dan ditingkatkan
16
Universitas Sumatera Utara
dengan pengurangan aliran darah ke kulit dengan menggunakan fenilefrin, vasokonstriktor (Higaki, et al., 2005). d.
Metabolisme kulit Beberapa proses metabolisme terjadi pada kulit akibat enzim yang terletak di
epidermis yang menentukan efikasi terapetik dari obat yang diaplikasikan secara topikal dengan memodulasi biotransformasi kulit (Schaefer dan Filaquier, 1992). 2.3.3 Karakteristik molekul obat yang cocok untuk diformulasi menjadi sediaan transdermal Ada 4 karakteristik molekul obat yang cocok untuk diformulasi menjadi sediaan transdermal, yaitu (Barry, 1983): a.
Memiliki massa molekul yang rendah, yaitu lebih kecil dari 600 Da
b.
Memiliki kelarutan yang cukup, baik dalam minyak maupun dalam air
c.
Memiliki koefisien partisi yang cocok
d.
Memiliki titik lebur yang rendah, titik lebur yang rendah menunjukkan kelarutan yang ideal.
2.4 Enhancer (Peningkat Penetrasi) Enhancer atau peningkat penetrasi adalah bahan yang dapat meningkatkan permeabilitas kulit. Bahan peningkat penetrasi tidak memiliki efek terapi, tetapi dapat mentransport obat dari bentuk sediaan ke dalam kulit (Kushwaha dan Sharma, 2012). Alasan dibutuhkan penggunaan bahan peningkat penetrasi adalah adanya barier penetrasi, yaitu stratum korneum. Peningkatan penetrasi obat dapat dilakukan menggunakan peningkat penetrasi kimia maupun fisika (Sharma, et al., 2012).
17
Universitas Sumatera Utara
2.4.1 Peningkat penetrasi secara fisika Peningkat penetrasi secara fisika dapat dilakukan dengan (Sharma, et al., 2012): a.
Tato obat (medicated tattoos)
b.
Gelombang tekanan
c.
Frekuensi radio
d.
Magnetoforesis
e.
Iontoforesis
f.
Elektroporasi
g.
Mikroporasi
h.
Injeksi tanpa jarum
i.
Sonoforesis / Fonoforesis
2.4.2 Peningkat penetrasi secara kimia Tujuan peningkat penetrasi adalah untuk meningkatkan permeabilitas barier stratum korneum tanpa merusak sel. Sifat enhancer kimia yang ideal adalah: a.
Inert secara farmakologi.
b.
Non-toksik, non-iritasi dan non-alergenik.
c.
Onset of action obat cepat dan durasi kerja obat yang digunakan sesuai dan dapat diperkirakan.
d.
Dengan penghilangan enhancer, stratum korneum segera pulih kembali.
e.
Bekerja saru arah, yaitu dapat membantu masuknya zat dari luar ke dalam tubuh, tapi mencegah keluarnya material endogen dari dalam tubuh.
f.
Memiliki efikasi yang baik dan kompatibel secara fisika dan kimia dengan berbagai bahan obat.
18
Universitas Sumatera Utara
g.
Merupakan pelarut yang baik bagi obat sehingga hanya dibutuhkan jumlah obat yang minimal.
h.
Mudah disapukan pada kulit dan cocok dengan kulit.
i.
Dapat di formulasi dengan mudah pada lotion, suspensi, salep, krem, gel dan aerosol.
j.
Tidak mahal, berbau, berasa dan berwarna (Ramteke, et al., 2012)
2.4.3 Mekanisme kerja enhancer kimia Enhancer kimia dapat bekerja dengan salah satu atau lebih mekanisme utama berikut ini: a.
Merusak struktur lipid stratum korneum yang rapat
b.
Berinteraksi dengan stuktur protein intraselular
c.
Meningkatkan partisi obat atau pelarut ke dalam stratum korneum (Bhowmik, et al., 2013).
2.4.4 Jenis-jenis enhancer kimia Beberapa senyawa telah diketahui berperan sebagai enhancer kimia seperti: a.
Sulfoksida dan senyawa yang mirip
b.
Azone
c.
Pirolidon
d.
Asam lemak
e.
Ester
f.
Minyak atsiri, terpen, dan terpenoid
g.
Surfaktan
h.
Propilen glikol
i.
Urea dan turunannya (Trommer dan Neubert, 2006).
19
Universitas Sumatera Utara
2.4.4.1 Lemak Efek peningkat penetrasi dari lemak telah banyak disebutkan dalam literatur. Lemak dapat mengoklusi (menutup permukaan kulit), dengan demikian dapat meningkatkan hidrasi jaringan dan dapat meningkatkan permeasi obat ketika digunakan pada stratum korneum sebagai pembawa, lemak dapat menyatu dengan lipid stratum korneum dan merusak struktur stratum korneum sehingga pembawa bebas menembus ke dalam kulit di mana obat mungkin kurang larut dan karenanya meningkatkan aktivitas termodinamika obat (Williams dan Barry, 2004).
2.5 Indometasin 2.5.1 Uraian bahan a. Rumus bangun
:
Gambar 2.3 Rumus bangun indometasin b. Rumus molekul : C19H16 ClNO4 c. Berat molekul
: 357,80
d. Nama kimia
: Asam 1-(4-klorbenzoil)-5-metoksi-2metilindol-3-il-asetat
e. Pemerian
: Hablur atau serbuk kuning pucat hingga kuning kecoklatan, tidak berbau atau hampir tidak berbau, hampir tidak mempunyai rasa.
20
Universitas Sumatera Utara
f. Kelarutan
: Praktis tidak larut dalam air; larut dalam 50 bagian etanol (95%) P, dalam 30 bagian kloroform P, dan dalam 45 bagian eter P (Ditjen POM, 1979).
2.5.2 Efek indometasin terhadap inflamasi Indometasin merupakan salah satu obat antiinflamasi nonsteroid yang paling efektif untuk pengobatan reumatoid artritis, ankylosing spondylitis, osteoartritis, dan acute gouty arthritis (Ramarao dan Diwan, 1998). Mekanisme kerja indometasin sebagai antiinflamasi yaitu dengan cara menghambat kedua isoenzim siklooksigenase (COX), COX-1 dan COX-2 secara kompetitif. Di mana enzim COX-1 dan COX-2 dapat mengkatalisis perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin G-2 (PGG-2), dan tromboksan yang digunakan oleh tubuh untuk menjalankan berbagai respon fisiologis (Tjay dan Rahardja, 2008).
2.6 Minyak Wijen Minyak wijen adalah minyak lemak yang diperoleh dengan pemerasan bijibiji sesami/wijen, berupa cairan yang warnanya kuning pucat, berbau lemah, dan rasanya tawar. Berbeda dengan minyak-minyak nabati lainnya, minyak wijen tidak membeku dalam keadaan temperatur udara 0 °C (Sutedjo, 2004). Zat-zat yang terkandung dalam minyak wijen, yaitu: a. Gliserida dari asam oleat (75%). b. Gliserida asam linoleat, asam palmitat, asam stearat, dan asam miristat (Sutedjo, 2004).
21
Universitas Sumatera Utara
2.7 Minyak Almond Minyak almond diperoleh dari kernel yang telah dikeringkan dari tumbuhannya. Minyak almond digunakan dalam dunia pemijatan tradisional karena kemampuannya melubrikasi kulit selama pemijatan sehingga minyak almond dianggap sebagai salah satu emolien yang efektif. Minyak almond memiliki kandungan vitamin E yang tinggi yaitu 39,2 mg dalam 100 g almond. Minyak almond mengandung asam lemak penting dimana dibutuhkan karena tidak dapat disintesis tubuh. Minyak almond kaya akan beta-zoozteril, squalene dan alfa tokoferol, semua ini merupakan konstituen penting untuk kulit yang sehat. Minyak almond kaya akan asam lemak penting, karbohidrat dan protein mengandung vitamin dan mineral yang tinggi (Zeeshan, 2010). Minyak almond bersifat tidak meracuni, tidak mengiritasi, tidak larut dalam air dan merupakan pengemulsi yang baik, dimana memiliki kemampuan seperti: a.
Memiliki sifat pelumas yang kering meskipun diaplikasikan dalam jumlah banyak dibandingkan dengan minyak mineral.
b.
Pelarut yang unggul pada bahan baku lipofilik terutama untuk sediaan tabir surya.
c.
Stabil terhadap hidrolisis di pH 2-12 (Zeeshan, 2010).
2.8 Minyak Zaitun Ekstra Murni Minyak zaitun ekstra murni (Extra Virgin Olive Oil) adalah minyak zaitun yang didapat dari ekstraksi buah zaitun segar, yang menggunakan proses mekanik tanpa pemanasan dan tanpa penambahan zat aditif, serta tanpa pelarut apapun (Agung, 2014). Minyak zaitun mengandung zat-zat penting lainnya, seperti
22
Universitas Sumatera Utara
nutrisi, squalene, zat besi, kalsium, potassium, polifenol, asam lemak, dan omega9 (Khadijah, 2012). Tabel 2.1 menunjukkan kandungan nutrisi dari minyak zaitun per 100 gram. Kandungan vitamin E dalam minyak zaitun mencapai 14 mg/100 g. Tabel 2.1 Kandungan nutrisi minyak zaitun per 100 g Energi Karbohidrat Lemak Jenuh Tak jenuh tunggal Tak jenuh ganda Lemak omega-3 Lemak omega-6 Protein Vitamin E Vitamin K
3,701 kJ (885 kcal) 0g 100 g 14 g 73 g 11 g < 1,5 g 3,5 – 21 g 0g 14 mg 62 µg
Keterangan: Setiap 100 g minyak zaitun sama dengan 109 ml (Agung, 2014). 2.9 Kandungan Asam Lemak (%) dalam Minyak Wijen, Minyak Almond dan Minyak Zaitun Kandungan asam lemak terbanyak pada minyak wijen, minyak almond, dan minyak zaitun adalah asam oleat. Tabel 2.2 menunjukkan kandungan asam lemak (%) dalam minyak wijen, minyak almond dan minyak zaitun (Alvarez dan Rodriguez, 2000; Khadijah, 2012). Tabel 2.2 Kandungan asam lemak (%) dalam minyak wijen, minyak almond dan minyak zaitun SFA
PUFA
Minyak
Palmitat (C 16:0)
Stearat (C 18:0)
Palmitoleat (C 16:1)
Oleat (C 18:1)
Wijen Almond Zaitun
7-12 4-9 11
3,5-6 2,5 max 2
0,5 0,6 1
35-50 80-86 79
23
Linoleat (C 18:2) 35-50 7-30 7
Linolenat (C 18:3) 1 max 0,1-1,0 1
Universitas Sumatera Utara