II. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Lubang Resapan Biopori
Lubang Resapan Biopori atau yang biasa disingkat LRB adalah sebuah rekayasa teknologi peresapan air tepat guna berupa lubang silindris berbentuk vertikal yang memiliki ukuran diameter yang relatif tidak terlalu besar namun dapat efektif untuk meresapkan air ke dalam tanah. Konversi penggunaan lahan untuk pemukiman menyebabkan fungsi hidrologis tanah terganggu. Sebagian permukaan lahan menjadi kedap ditutup tapak bangunan, perkerasan jalan, dan perkerasan lainnya. Bagian lahan terbuka juga mengalami proses pemadatan, dan biopori berkurang karena berkurangnya tanaman dan fauna tanah sebagai pelaku pembuat biopori di dalam tanah. Hal ini mengakibatkan sebagian besar air hujan tidak lagi meresap ke dalam tanah dan bahkan dibuang melalui saluran drainase. Peningkatan jumlah air hujan yang dibuang karena berkurangnya laju peresapan air ke dalam tanah, akan menyebabkan banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau, serta berkurangnya cadangan air bawah tanah. Teknologi konvensional yang telah diperkenalkan untuk peresapan air di kawasan pemukiman adalah pembuatan sumur resapan. Sayangnya dengan teknologi seperti ini tidak semua orang dapat menerapkannya. Sumur resapan memerlukan dimensi cukup besar, sebagian dindingnya perlu dibuat penguatan serta perlu diisi dengan pasir, kerikil, dan ijuk; hal ini dilakukan untuk menghindari longsornya dinding resapan. Bahan pengisi seperti itu tidak dapat digunakan oleh biota tanah sebagai sumber energi dalam penciptaan biopori. Oleh karena itu dalam kasus sumur resapan, biopori boleh dikatakan tidak akan terbentuk. Penyumbatan permukaan resapan oleh bahan-bahan halus yang terbawa air dan tersaring oleh ijuk sehingga menyumbat rongga diantara ijuk sangat rentan terjadi, hal ini akan menyebabkan laju peresapan air menjadi sangat lambat. Pengumpulan volume air yang cukup besar dalam sumur resapan menyebabkan beban resapan relatif besar. Beban resapan adalah volume air yang masuk dalam lubang dibagi luas permukaan resapan (dinding dan dasar lubang). Beban resapan akan meningkat sejalan dengan peningkatan diameter lubang. Peningkatan beban resapan mengakibatkan penurunan laju peresapan air karena terlalu lebarnya zone
jenuh air di sekeliling dinding lubang, apalagi bila sebagian permukaan resapan dikedapkan dengan penguat dinding. Mengingat kebutuhan air yang terus meningkat dan sumber air utama berasal dari curah hujan, perlu diupayakan rekayasa teknologi peresapan air tepat guna yang dapat efektif meresapkan air hujan ke dalam tanah. Peresapan air hujan yang efektif akan dapat memelihara kelembaban tanah, dan menambah cadangan air bawah tanah (ground water). Dengan demikian akan dapat mencegah banjir dan keretakan tanah yang memicu terjadinya longsor serta dapat mencegah penurunan permukaan tanah (subsidence) dan intrusi air laut karena kosongnya pori tanah akibat penyedotan air bawah tanah yang berlebihan. Peresapan air ke dalam tanah dapat diperlancar oleh adanya biopori yang dapat diciptakan oleh fauna tanah dan akar tanaman. Untuk menyediakan lingkungan yang kondusif bagi penciptaan biopori di dalam tanah perlu disediakan bahan organik yang cukup di dalam tanah. Untuk memudahkan pemasukan bahan organik ke dalam tanah perlu dibuat lubang silindris ke dalam tanah. Pembuatan lubang silindris akan menjadi simpanan depresi yang dapat menahan sementara aliran permukaan untuk memberi kesempatan meresap ke dalam tanah. Dinding lubang silindris menyediakan tambahan permukaan resapan air seluas dinding lubang yang dibuat. Bila lubang silindris diisi sampah organik, maka permukaan resapan tidak akan mengalami kerusakan atau penyumbatan karena dilindungi oleh sampah organik. Kumpulan sampah organik yang tidak terlalu besar dalam lubang silindris akan menjadi habitat yang baik bagi fauna tanah terutama cacing tanah yang memerlukan perlindungan dari panas matahari dan kejaran pemangsanya, serta memperoleh
makanan,
kelembaban
dan
oksigen
yang
cukup.
Untuk
meminimalkan beban lingkungan oleh adanya pengumpulan volume air dan sampah organik di dalam lubang, maka dimensi lubang tidak boleh terlalu besar. Atas beberapa pertimbangan teknis seperti: (1) kemudahan pembuatan dan pemeliharaan lubang, (2) pengurangan beban resapan, (3) kemudahan penyebaran guna pengurangan beban lingkungan, dan (4) kecukupan ketersediaan oksigen bagi fauna tanah; lubang resapan sebaiknya berdiameter 10 cm dengan kedalaman lubang 100 cm atau tidak melebihi kedalaman air permukaan air bawah tanah.
2.2.
Latosol Merah
Latosol terbentuk dari bahan induk tufa vulkan, banyak dijumpai pada daerah dengan curah hujan tinggi (2000–7000 mm/tahun) dengan rata–rata bulan kering kurang dari tiga bulan, topografi bergelombang, berombak, berbukit dan bergunung. Dalam klasifikasi tanah di Indonesia, pada tingkat kelompok (subgroup) sifat–sifat latosol hanya dibedakan oleh warna pada horizon B. Oleh sebab itu muncul sistem penamaan seperti Latosol Merah, Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat dan Latosol Coklat Kemerahan. Sifat lain yang menonjol dan penting dari latosol ialah terbentuknya keadaan granular. Keadaan itu merangsang drainase dalam yang sangat baik. Ini memungkinkan pengolahan tanah latosol segera setelah hujan lebat tanpa menyebabkan keadaan fisik tanah yang tidak memuaskan. Karena iklim tropikbasah dan semi tropik-basah secara berangsur berubah menjadi keadaan baik kering maupun sedang-basah maka latosolisasi juga bervariasi mengikuti perubahan–perubahan tersebut. Dengan demikian dijumpai berbagai profil sesuai dengan iklim yang berubah. Sebenarnya, penentuan apakah suatu tanah adalah latosol atau podzolik seringkali sangat sukar. Jadi, tanah merah atau lempung merah dari daerah mediteran dianggap orang sebagai tanah transisi. Akan tetapi, jangan ditafsirkan bahwa semua tanah di daerah tropik adalah Latosol. Berbagai macam, baik tanah–tanah aluvial, kolovial maupun kipas, terdapat di daerah tropik. Mereka sedikit sekali mengalami latosolisasi. Selanjutnya, pada daerah tinggi seringkali podzolisasi merupakan tipe genesis tanah yang dominan (Soepardi, 1983). Proses penting dalam pembentukan tanah Latosol adalah proses laterisasi, yaitu
terjadinya
pencucian
basa–basa
dan
silika
yang
mengakibatkan
meningkatnya seskuioksida secara relatif pada horison penciri B. Tanah ini di dominasi mineral liat kelompok kaolinit. Tanah ini terbentuk pada ketinggian 220 m di atas permukaan laut dengan curah hujan 3552 mm/tahun. Latosol masuk ke dalam orde inceptisol menurut sistem klasifikasi USDA 1990 (Yogaswara, 1997).
2.3.
Bahan Organik
Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa tumbuhan dan binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Bahan demikian berada dalam proses pelapukan aktif dan menjadi mangsa serangan jazad mikro. Sebagai akibat, nahan itu berubah terus dan tidak mantap, dan selalu harus diperbaharui melalui penambahan sisa–sisa tanaman atau binatang (Soepardi, 1983) Kadar bahan organik tanah mineral tidak malebihi 3 atau 5 persen dari bobot tanah. Walaupun jumlahnya sedikit, pengaruh bahan organik terhadap sifat– sifat tanah dan pertumbuhan tanaman terlihat sangat nyata. Bahan organik merupakan perekat butiran lepas sehingga dapat meningkatkan sifat fisik tanah. Unsur hara seperti nitrogen, fosfor dan belerang merupakan unsur hara utama yang dapat di suply oleh bahan organik. Tanpa adanya bahan organik, semua kegiatan biokimia akan terhenti, karena bahan organik merupakan sumber energi dari jazad mikro. Bahan organik juga dapat meningkatkan jumlah air yang dapat dipegang oleh tanah dan jumlah air yang tersedia bagi tanaman. Seluruh bahan organik mengalami dekomposisi di dalam tanah. Bahanbahan yang terdiri dari sisa tanaman dan hewan yang telah mati biasanya di dekomposisi sangat cepat di dalam tanah. Bahan-bahan yang tertinggal di permukaan tanah akan terdekomposisi lebih lambat, sama halnya dengan bahan organik yang telah mengalami sedikit dekomposisi, prosesnya akan berjalan lebih lambat. Dekomposisi bahan yang masih segar bergantung pada jenis bahannya, usia, ukuran partikel, dan kadar N yang terkandung, tetapi kelembaban tanah, temperatur aerasi, pH dan kadar hara juga memberikan pengaruh terhadap pelapukan bahan organik. Bahan yang berasal dari sisa tanaman yang banyak mengandung air dan masih muda akan lapuk dengan cepat. Daun dan tanaman anggur dapat terlapuk lebih cepat dibandingkan akar. Tanaman gula, tepung, asam amino dan protein yang mengandung jaringan muda dalam jumlah besar dapat terlapuk dengan sangat cepat, terutama hemicelluloses dan lignin.
2.4.
Organisme Tanah Organisme tanah merupakan hal terpenting dari sebuah siklus di dalam sistem
tanah. Bahan organik memiliki pengaruh yang besar terhadap jumlah dan jenis organisme yang ada di dalam tanah. Organisme ini terdiri dari mikroflora dan mikrofauna yang tidak hanya hidup pasif di dalam tanah dalam melakukan fungsinya, tetapi organisme memiliki peranan yang dapat mempengaruhi satu dan yang lain baik itu berupa hubungan simbiotik maupun sebuah kompetisi. Organisme tanah lebih sering bersaing satu dan yang lain dalam memperebutkan unsur hara atau energi, yang mana banyak di dapatkan dari bahan organik, tetapi memang organisme tanah lebih sering mendapatkan unsur hara dari bahan organik yang kemudian dijadikannya sumber energi dan unsur hara bagi organisme lain. Dalam hal ini, ketergantungan atau persaingan dari berbagai organisme memberikan pengaruh terhadap tanah dan pertumbuhan tanaman. Banyak sekali aktivitas dari organisme tanah yang menguntungkan bagi tanaman pertanian. Kenyataannya, pemupukan tanah sering berhubungan dengan jumlah dan keragaman dari organisme yang dapat mendukung. Keragaman juga menjadi inti untuk sebuah proses dekomposisi dari bahan organik, dengan pelepasan elemen hara menjadi bentuk tersedia dan dalam pembentukan bahan organik tanah. Prosesnya dimulai dengan menyamankan bahan organik oleh fauna tanah yang lebih besar. Dekomposisi bahan organik membantu meningkatkan kadar O2 di dalam tanah yang berada liang dan rongga yang dibentuk oleh pergerakan organisme di dalam tanah. Liang dan rongga memainkan peranan yang signifikan dalam membantu proses drainase dan aerasi. Proses pencampuran bahan organik oleh pergerakan organisme di dalam tanah juga membantu proses dekomposisi, tanah yang sudah kaya akan mikroorganisme dapat disebut juga dengan bahan organik. Cacing tanah juga memainkan peranan yang penting di dalam perubahan bentuk excreta yang dihasilkan dari beberapa invertebrata yang akhirnya membentuk bahan organik tanah oleh mikroorganisme. Cacing tanah bersama dengan organisme mikroskopik seperti fungi, bakteri dan actinomycetes memelihara pengurangan C:N rasio dari bahan organik, hal ini sangat penting dalam hal produksi bahan organik tanah. Walaupun cacing tanah dapat mengurangi C:N rasio lebih besar daripada mikroorganisme, akhir dari perubahan bentuk dari bahan organik menjadi bahan organik tanah bergantung dari junlah populasi mahluk hidup mikro biologi dalam tanah.
Jumlah dan aktivitas dari mikroorganisme berbeda pada tanah yang berbeda. Jumlah dan aktivitas organisme dipengaruhi oleh tanah dan penerimaan rangsang dari tanaman atau organisme lain. Banyak organisme yang relatif tidak aktif walaupun mendapatkan rangsang dari eksudat akar atau sisa tanaman yang sedang mengalami dekomposisi. Kehadiran dan aktivitasnya juga sering dalam keadaan bebas, menjadikan kehadiran dan jumlahnya menjadi penting pada saat itu, yang mungkin menguntungkan bagi kelompok organisme yang lain. Kelompok utama dari organisme tanah yang memberikan pengaruh terhadap bahan organik tanah adalah binatang kecil, artropoda, cacing tanah, nematoda, alga, protozoa, jamur, aktinomicetes dan bakteri. 2.5.
Infiltrasi
Infiltrasi adalah air cair yang diterima pada permukaan bumi akhirnya, jika permukaannya tidak kedap air, dapat bergerak ke dalam tanah dengan gaya gerak gravitasi dan kapiler dalam suatu aliran (Seyhan, 1977). Pada proses infiltrasi, air bergerak secara vertikal ke dalam tanah karena adanya gaya gravitasi ataupun karena adanya gaya sedotan matrik tanah. Karena tanah yang bersifat poreus atau memiliki rongga–rongga yang dapat diisi dengan udara atau/dan air sehingga air yang air yang masuk ke dalam tanah akan mampu disimpan oleh tanah hingga keadaan kapasitas lapang. Infiltrasi memiliki peranan yang sangat penting di alam dan dalam kehidupan manusia karena mampu menyediakan air untuk pertumbuhan tanaman, mampu menyumbangkan air ke dalam air bawah tanah (ground water) sehingga melestarikan aliran air dimusim kemarau, dapat menurunkan aliran permukaan, erosi dan pergerakan sedimen dan bahan polutan ke dalam sistem perairan permukaan tanah. Air infiltrasi merupakan agen pencucian unsur hara, selain itu juga dapat memberikan informasi yang berguna untuk perencanaan pengunaan lahan, perencanaan irigasi dan pemilihan komuditas. Kapasitas infiltrasi atau laju infiltrasi maksimum adalah kemampuan tanah menyerap air per satuan waktu tertentu (l/menit, cm3/menit, m3/jam, inci/jam atau cm/menit), sedangkan laju infiltrasi adalah banyaknya air yang masuk ke dalam tanah per satuan waktu tertentu (l/menit, cm3/menit, m3/jam, inci/jam atau cm/menit). Jika hujan kecil atau lebih kecil dari kapasitas infiltrasi, maka kapasitas infiltrasi tidak terpenuhi, sehingga lajui infiltrasi sama dengan intensitas
hujan. Jika intensitas hujan besar atau lebih dari kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan kapasitas infiltrasi. Kapasitas infiltrasi tanah juga dipengaruhi oleh porositas tanah, semakin besar porositasnya maka semakin besar kapasitas air infiltrasi yang dapat ditampung. Proses infiltrasi akan meningkatkan kadar air pada kondisi kapasitas lapang, dimana kandungan air dalam tanah maksimum yang dapat di tahan oleh partikel tanah terhadap gaya tarik bumi. Pada awal infiltrasi, laju infiltrasi sangat tinggi, kemudian menurun hingga akhirnya konstan pada laju minimum. Pada awal infiltrasi gaya yang bekerja adalah gaya gravitasi dan gaya sedotan matrik tanah, semakin basah, gaya matrik semakin berkurang, akhirnya mencapai nilai 0 (nol) pada saat tanah jenuh. Pada kondisi demikian, gaya yang bekerja hanya gaya gravitasi. 2.6.
Tinjauan Statistik
2.6.1. Analisis Regresi
Analisis regresi merupakan sebuah alat statistik yang memberikan penjelasan tentang pola hubungan (model) antara dua variabel atau lebih. Dalam analisis regresi, dikenal dua jenis variabel yaitu variabel respon yang disebut juga variabel dependent yaitu variabel yang keberadaannya diperngaruhi oleh variabel lainnya dan dinotasikan dengan Y, dan variabel predictor yang disebut juga variabel independent yaitu variabel yang bebas (tidak dipengaruhi oleh variabel lainnya) dan dinotasikan dengan X. 2.6.2. Analisis Regresi Linier Berganda (Multiple Linier Regression)
Analisis regresi linier berganda memberikan kemudahan bagi pengguna untuk memasukkan lebih dari satu variabel prediktor hingga ρvariabel prediktor dimana banyaknya ρ kurang dari jumlah observasi (n). Sehingga model regresinya dapat ditunjukkan sebagai berikut : Y = β0 + β1X1 + β2X2 + .... + βpXp +ε Karena model diduga dari sampel, maka secara umum ditunjukkan sebagai berikut : Ŷ = b0 + b1X1 + b2X2 + .... + bpXp
Salah satu prosedur pendugaan model untuk regresi linier berganda adalah dengan prosedur Least Square (kuadrat terkecil). Konsep dari metode least square adalah menduga koefisien regresi (β) dengan meminimumkan kesalahan (error). Sehingga dugaan bagi β (atau dinotasikan dengan b) dapat dirumuskan sebagai berikut (Draper and Smith, 1992) : b = (X‘X)-1 X’Y Dimana : X : Matriks 1 digabung dengan p-variabel prediktor sebagai kolom dengan n buah observasi sebagai baris Y : Variabel respon yang dibentuk dalam vektor kolom dengan n buah observasi Untuk menilai apakah model regresi yang dihasilkan merupakan model yang paling sesuai (memiliki error terkecil), dibutuhkan beberapa pengujian dan analisis terhadap nilai R2 dan R2adj, uji multikolinieritas dan uji autokorelasi. 2.6.2.1. Analisis terhadap nilai R2 dan R2adj
R2 dapat diartikan sebagai suatu nilai yang mengukur proporsi atau variasi total di sekitar nilai tengah Ŷ yang dapat dijelaskan oleh model regresi. Nilai R2 berkisar antara 0 sampai dengan 1. 2
R2 = b’X’Y – n Ŷ Y’Y – n Ŷ2 R2adj disebut sebagai R yang disesuaikan dan didefinisikan sebagai : R2adj = 1 – (1 – R2)
(n – 1)
(n – p) Dalam statistik ini telah dilakukan penyesuaian terhadap derajat bebas jumlah kuadrat sisa (JKSp) dan jumlah kuadrat total terkoreksi (Drapper and Smith, 1992). 2.6.2.2. Uji Multikolinieritas
Multikolinearitas adalah kondisi terdapatnya hubungan linier atau korelasi yang tinggi antara masing-masing variabel independen dalam model regresi. Multikolinearitas biasanya terjadi ketika sebagian besar variabel yang digunakan saling terkait dalam suatu model regresi. Oleh karena itu masalah multikolinearitas tidak terjadi pada regresi linier sederhana yang hanya melibatkan satu variabel independen (Anderson dkk, 1993)..
Adanya korelasi yang tinggi antar variabel prediktor dinamakan multikolinieritas. Jika kasus ini terjadi dalam regresi linier, maka variabilitas bi akan tidak efisien (overweight). Untuk melihat adanya multikolinieritas dapat digunakan VIF (Variance Inflation Factor) dengan rumus sebagai berikut : 1
VIF =
.
1 - Rj 2 Dimana, VIF = 1 mengindikasikan tidak ada korelasi yang signifikan antar variabel prediktor; VIF > 1 mengidikasikan bahwa ada korelasi antar variabel prediktor; VIF > 5 - 10 mengindikasikan bahwa ada salah satu variabel prediktor merupakan fungsi dari variabel prediktor yang lain. 2.6.2.3. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi digunakan untuk melihat apakah ada hubungan linier antara error serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (data time series). Uji autokorelasi perlu dilakukan apabila data yang dianalisis merupakan data time series (Anderson dkk, 1993).
dimana: d = nilai Durbin Watson Σei = jumlah kuadrat sisa Nilai Durbin Watson kemudian dibandingkan dengan nilai d-tabel. Hasil perbandingan akan menghasilkan kesimpulan seperti kriteria sebagai berikut : 1. Jika d < dl, berarti terdapat autokorelasi positif 2. Jika d > (4 – dl), berarti terdapat autokorelasi negatif 3. Jika du < d < (4 – dl), berarti tidak terdapat autokorelasi 4. Jika dl < d < du atau (4 – du), berarti tidak dapat disimpulkan