PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP TEKNOLOGI SUMUR RESAPAN AIR HUJAN DAN LUBANG RESAPAN BIOPORI (Studi Kasus : Kabupaten Tangerang Selatan) Bastin Yungga Angguniko Balai Litbang Sosek Bidang SDA – Puslitbang Sosial,Ekonomi,Budaya dan Peran Masyarakat Jl. Sapta Taruna Raya No. 26, Jakarta Selatan 12310 Email :
[email protected] Abstract Water plays an important role in our living, people subtract it for our daily activity, but only a few think to preserve and conserve it. Nature has its own capacity to infiltrate the surface water did not equal with people activitie which led to increasingly scarce water. This lead to negative impact that could occur, such as: water shortage, flooding and land subsidence. By knowing, understand and implement the LRB as an applied technology development; people could save the water, save environment and eventually save the earth. The purpose of this study is to find out how far the public perception to date in technology dissemination and application of SRAH and LRB. This approach is expected to empower the local potential, foster a sense of self, increase the value of benefits, and ensure sustainability. This article uses the action research method with locations in South Tangerang. This study wants to observe the application of participatory and LRB SRAH technology as a form of public participation in every stage of project / development through a gradual process of trial at the neighborhood level, village / district, and housing. As a result, in addition to overcome the problem of garbage in the neighborhood from inundation, government officials stationed as a supporter / facilitator, while control of the development process is entrusted to the public. Perception greatest level of acceptance in the socialization phase 49.70% (168 people) and the application of 87.28% (295 people) is at the level Neighborhood / Pillars of Citizens. Keywords: perception, soil permeability, Lubang Resapan Biopori, infiltration well, technology Abstrak Air memainkan peran penting dalam hidup kita, tetapi hanya sedikit orang yang berpikir untuk menjaga dan melestarikannya. Namun, kemampuan alam meresapkan air tidak seimbang dengan kegiatan manusia yang menyebabkan semakin langkanya air. Ini dapat menimbulkan dampak negatif, seperti: kekurangan air, banjir dan penurunan tanah. Dengan mengetahui, memahami, dan melaksanakan pembuatan sumur resapan air hujan (SRAH) dan lubang resapan biopori (LRB) sebagai alternatif pengembangan teknologi terapan, manusia dapat menyimpan air, menyelamatkan lingkungan, dan mengatasi kelangkaan air tersebut. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui seberapa jauh persepsi masyarakat hingga saat ini dalam sosialisasi dan penerapan teknologi SRAH dan LRB. Pendekatan ini diharapkan untuk memberdayakan potensi lokal, memupuk rasa milik diri, meningkatkan nilai manfaat, dan menjamin keberlanjutan. Artikel ini menggunakan metode penelitian tindakan dengan lokasi di Tangerang Selatan. Kajian ini ingin mengobservasi penerapan partisipatif dalam teknologi SRAH dan LRB sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam setiap tahap proyek /pembangunan melalui proses uji coba secara bertahap pada tingkat RT/RW, kelurahan/kecamatan, dan perumahan. Sebagai hasil, selain mengatasi masalah sampah di lingkungan perumahan akibat genangan, pejabat pemerintah ditempatkan sebagai pendukung / fasilitator, sementara kontrol terhadap proses pembangunan lebih dipercayakan kepada publik. Persepsi tingkat penerimaan terbesar dalam tahap sosialisasi 49.70% (168 orang) dan penerapan 87.28% (295 orang) adalah pada tingkat Rukun Tetangga / Rukun Warga. Kata kunci: persepsi, permeabilitas tanah, Lubang Resapan Biopori, sumur resapan, teknologi.
9
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 9-20
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian persepsi masyarakat terhadap Teknologi Tepat Guna Sumur Resapan Air dan Lubang Resapan Biopori dengan lokasi Kabupaten Tangerang Selatan - Propinsi Banten penting dilakukan karena persepsi masyarakat terhadap pentingnya penerapan teknologi tepat guna resapan air untuk mengurangi kehilangan ruang terbuka hijau (RTH), daerah resapan air, situsitu (danau atau waduk kecil) dan lain-lain dirasakan kurang. Kejadian yang tidak terhindarkan tersebut karena bertambahnya penduduk dan kebutuhannya atas permukiman dan prasarana lainnya, sehingga telah mendesak lahan – lahan yang dahulunya merupakan daerah tempat penerapan resapan air (sumur resapan, dll) menjadi semakin sempit tertutupi bangunan-bangunan di atasnya. Perubahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Jabodetabek Tahun 1972 – 2002 dapat dilihat sebagai berikut : 1970 (37,2%), 1985 (26-30%), 1995 (24,9%), dan 2002 (9,6%) (Kamir R.Brata, 2009). Pembukaan lapisan tanah atas (top soil) yang meskipun akhirnya tidak dibangun bangunan diatasnya (sisa lahan yang dimanfaatkan menjadi halaman rumah), karena dibiarkan terbuka tanpa ditanami rumput atau tidak dilapisi pasir maupun kerikil yang pada saat tertentu disinari matahari dan disaat lain terteduhi oleh bangunan, serta tingginya kelembaban iklim Indonesia yang tropis juga telah memicu tumbuhnya lumut. Lumut yang tebal dan merata juga menutup permukaan tanah seolah-olah terjadi pembetonan halaman oleh alam sehingga juga mengurangi kemampuan tanah dalam meresapkan air (infiltrasi). “Betonisasi – jalan” sedang marak dilakukan dimana-mana saat ini, mulai dari jalan tol hingga jalan desa atau kampung, dengan keyakinan bahwa konstruksi ini akan lebih tahan terhadap daya rusak air dibanding konstruksi lain. Namun sering kita lupa bahwa dalam mendapat keuntungan juga diiringi kerugian yang merupakan dampak negatif dari pelaksanaan pembangunan tersebut. Dampak negatif dari betonisasi jalan dan pembangunan permukiman sangat jelas, yaitu berkurangnya air yang meresap ke dalam tanah yang kemudian akan mengganggu siklus hidrologi, dimana limpasan permukaan (run-off) menjadi lebih besar dan lebih cepat yang selanjutnya akan menimbulkan kekeringan di musim kemarau dan sebaliknya akan menimbulkan banjir di musim penghujan (Angguniko, 2009). Pada tahun 2004 pernah dilakukan kajian partisipatif teknologi sumur resapan air hujan, dimana masyarakatnya berperan aktif dan mau menyumbangkan tenaganya dengan bergotong royong dalam pembua-
10
tan sumur resapan (Krisbandono dan Nugroho, 2006). Sumur yang dibuat telah berhasil meresapkan air sehingga jalan tidak becek karena waktu genangan air menjadi lebih pendek dan manfaat tersebut telah dirasakan oleh masyarakat, namun jika dilihat dari perbanyakan atau replikasinya sampai saat ini (5 tahun) sangat kecil, mengingat setelah kegiatan tersebut tidak ditindak lanjuti oleh stakeholders maupun bentuk-bentuk program kegiatan konservasi air dan lingkungan lainnya. Sebetulnya masyarakat ingin berperan dalam konservasi air dan lingkungannya, namun mereka keberatan untuk mengadakan bahan bangunan sumur resapan yang dirasakan cukup mahal meskipun secara berkelompok dan mengharapkan fasilitasi dari pemerintah. Pada tahun 2009, pernah juga dilakukan penelitian tentang persepsi masyarakat terhadap teknologi tepat guna yang pernah dilakukan oleh Puslitbang Sebranmas, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pekerjaan Umum terkait dengan Pamsimas (Hastama, 2009) dan penelitian tentang persepsi masyarakat terhadap pembangunan rumah susun di Bali yang dilakukan oleh Puslitbang Permukiman, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum (Suprijanto, 2009). Penelitian persepsi masyarakat terhadap Teknologi Tepat Guna Sumur Resapan Air dan Lubang Resapan Biopori dengan lokasi Kabupaten Tangerang Selatan Propinsi Banten memang penting dilakukan, dengan harapan dapat memberikan rekomendasi mengenai langkah-langkah yang perlu diambil oleh pemerintah agar lebih efektif dan efisien. Memperhatikan masalah iklim, lingkungan dan keberadaan air, maka permasalahan kegiatan penelitian dan pengembangan adalah : bagaimana mengupayakan teknologi resapan air dapat diterima, dipahami, dicoba, diterapkan dan diperbanyak oleh masyarakat. Maksud dan tujuan dilakukan kegiatan ini adalah mengukur sejauh mana persepsi masyarakat sampai dengan saat ini dalam sosialisasi dan penerapan teknologi tepat guna resapan air sumur resapan dan lubang resapan biopori (LRB) yang dapat mendorong mereka untuk lebih mengenal dan menerapkan teknologi yang disosialisasikan melalui pendekatan uji coba. Tujuan khusus adalah memberi gambaran umum tentang kondisi wilayah penelitian, menerangkan proses sosialisasi teknologi resapan air yang dilakukan, mengukur tingkat tingkat penerimaan masyarakat terhadap teknologi sumur resapan dan lubang resapan, dan mengukur tingkat pemahaman materi sosialisasi teknologi sumur resapan dan lubang resapan biopori.
Persepsi Masyarakat Terhadap Teknologi Sumur Resapan Air Hujan Dan Lubang Resapan Biopori (Studi Kasus : Kabupaten Tangerang Selatan) Bastin Yungga Angguniko 2. METODE PENELITIAN Lokasi penelitian dilaksanakan di tiga wilayah kecamatan di Kota Tangerang Selatan, yaitu Kecamatan Pamulang, Kecamatan Ciputat, dan Kecamatan Ciputat Timur. Kegiatan sosialisasi dan penerapan akan dilaksanakan di tingkat kecamatan, kelurahan, RW/RT, dan kompleks perumahan.. Waktu pelaksanaan penelitian Bulan April – September 2009 (6 bulan).
Gambar 2. Denah Lokasi Menurut metode, jenis penelitian ini digolongkan sebagai penelitian aksi (action research) karena sangat terkait dengan tindakan sosialisasi (social action) dan dilihat dari pemanfaatannya masuk dalam jenis penelitian sosial terapan (Aplied social research), karena setelah pengenalan teknologi langsung dilanjutkan dengan penerapan (sebagai contoh praktik pembelajaran) di lapangan. Metodologi penelitian dilakukan melalui sosialisasi, dan pendampingan penerapan TTG sumur resapan dan lubang resapan biopori. Jenis data dan analisis dilakukan secara kualitatif (forum group discussion dan wawancara) dan kuantitatif (survei kuesioner). Pengumpulan data primer (wawancara dan survei kuesioner) dan data sekunder. Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini menerapkan kaidah-kaidah dalam penelitian kualitatif, yaitu dengan
cara mengumpulkan data, mengklasifikasikan data, kemudian menafsirkan data dan yang terakhir membuat kesimpulan dari data tersebut. Untuk menganalisis data kuantitatif, dilakukan perhitungan keeratan hubungan (asosiatif). Pada bagian ini, penulis akan menyajikan penghitungan keeratan hubungan (asosiasi) dari beberapa faktor sosio demografi responden untuk menampilkan kaitan antara dua variabel, atau menghitung apakah ada hubungannya dengan tingkat partisipasi. Data yang diinput berskala nominal atau ordinal. Pembuatan penghitungan keeratan hubungan (asosiasi) antarisi tabulasi silang. Di dalam analisa ini, faktor-faktor tersebut adalah jenis kelamin, level jabatan dalam masyarakat, prosentase tingkat (jenjang) partisipasi. Pendekatan penelitian adalah pendekatan eksploratif lebih kepada memahami fenoma dengan cara melakukan diagnosa terhadap suatu fenomena, menjaring alternatif serta menemukan ide-ide baru melalui observasi, wawancara, dan alat analisis lainnya. Persepsi Persepsi adalah suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Karena itu, proses penginderaan merupakan proses yang mendahului terjadinya persepsi. Proses penginderaan terjadi setiap saat, yaitu pada waktu individu menerima stimulus yang mengenai dirinya melalui alat indera. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya (Branca,1964; Woodworth dan Marquis, 1957). Stimulus yang mengenai individu itu kemudian diorganisasikan, diinterpretasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderanya itu. Proses inilah yang dimaksud dengan persepsi. Jadi stimulus diterima oleh alat indera, kemudian melalui proses persepsi sesuatu yang diindera tersebut menjadi sesuatu yang berarti setelah diorganisasikan dan diinterpretasikan (Davidoff, 1981). Persepsi juga merupakan proses yang intergrated dari individu terhadap stimulus yang diterimanya (Moskowitz dan Orgel, 1969). Kondisi Kondisi dikategorikan menjadi dua yaitu, kondisi masyarakat dan kondisi daerah. Kondisi Masyarakat (Susila,Anik:2008) dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: Kondisi sosial ekonomi masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah struktur ekonomi, pola mata pencaharian, kelembagaan (koperasi, lembaga keuangan mikro dll); Kondisi sosial budaya masyarakat. Meliputi adat budaya dan tradisi yang hidup di tengah masyarakat dan potensi budaya yang lain. Terma-
11
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 9-20
suk pula pola relasi antar individu sebagai anggota masyarakat (paguyuban atau patembayan); Kondisi daerah : Tahun 2002 menunjukkan terjadinya penurunan cadangan air tanah yang diindikasikan oleh turunnya muka air tanah yang cukup drastis di sejumlah daerah di Tangerang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Banten tahun 2002 juga menunjukkan bahwa intrusi air laut sudah mendekati Kota Tangerang. Selain itu, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum, pada tahun 2006 tercatat ada 24 situ di Tangerang. Akan tetapi, kini hanya tersisa beberapa situ karena telah beralih fungsi menjadi perumahan, perkantoran, sarana olah raga, dan terkena jalan tol. Banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau sering terjadi di lokasi tersebut. Lokasi ini pada saat hujan pasti timbul genangan air bahkan banjir yang lama surutnya. Genangan air yang muncul setelah hujan mengganggu aksesibilitas warga terutama di jalan masuk kampung. Lokasi rawan banjir di Tangerang Tahun 2008 dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4.2 Lokasi Rawan Banjir di Kota Tangerang Selatan 2008
Sumber : Hasil Olah Potensi Desa 2006 dalam Kompilasi Data Untuk Penyusunan RTRW Kota Tangerang Selatan Tahun 2006
Manfaat Manfaat yang didapatkan masyarakat dari penggunaan sumur resapan dan LRB adalah: memaksimalkan air yang meresap ke dalam tanah sehingga menambah cadangan air tanah, mengurangi genangan air yang menimbulkan penyakit, mengurangi air hujan yang dibuang percuma ke laut, mengurangi resiko banjir di musim hujan, maksimalisasi peran dan aktivitas flora dan fauna tanah, mencegah terjadinya erosi tanah dan bencana tanah longsor. Khusus untuk lubang resapan biopori (LRB) dapat dipakai untuk membuat kompos alami dari sampah organik daripada dibakar. Analisis potensi LRB sebagai pengurang volume sampah dapat dijelaskan sebagai berikut : volume lubang biopori diameter 10 cm dengan kedalaman 100 cm terdapat ruang sebesar 7,85 liter. Sementara keuntungan-keuntungan yang didapat dari sumur resapan adalah:
12
• • • • • • •
Memanfaatkan material dan sumber daya lokal Ramah lingkungan dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara mudah Menghasilkan nilai tambah dari aspek ekonomi dan aspek lingkungan hidup. Sedangkan keuntungan-keuntungan yang didapat dari Lubang Resapan Biopori adalah: Memerlukan biaya yang relatif murah dan terjangkau. Dapat diterapkan lebih luas dimana-mana Persyaratan teknis sederhana.
Kebutuhan Penerapan Salah satu perbedaan persepsi disebabkan oleh kebutuhan, yaitu kebutuhan sesaat maupun yang menetap pada diri seseorang yang akan mempengaruhi persepsi orang tersebut untuk menerapkan (Banteng,2004). Kemauan Penerapan Faktor yang mempengaruhi kemauan penerapan di masyarakat diantaranya : kepadatan penduduk, ketersediaan air bersih, kondisi tanah, tinggi muka air tanah, topografi, kondisi sosial ekonomi, dan kemampuan membangun dan mengelola. Pengetahuan TTG Sumur Resapan Sumur resapan air hujan sebagai salah satu TTG yang dihasilkan oleh Badan Litbang Departemen PU merupakan prasarana untuk menampung dan meresapkan air hujan ke dalam tanah (SNI 06-2459-2002). Sesuai dengan Inpres. No. 3 Tahun 2001, yang dimaksud TTG adalah teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan memanfaatkan material dan sumber daya lokal, dapat menjawab permasalahan masyarakat, tidak merusak lingkungan dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara mudah serta menghasilkan nilai tambah dari aspek ekonomi dan aspek lingkungan hidup. Pengetahuan TTG Lubang Resapan Biopori Munculnya gagasan pembuatan lubang biopori adalah belum terwujudnya penerapan sumur resapan secara menyeluruh di Indonesia meskipun beberapa daerah seperti DKI Jakarta telah membuat peraturan yang mewajibkan pembuatan sumur resapan dalam pemberian ijin bangunan . Tetapi tidak dapat dipungkiri untuk membuat sumur resapan memerlukan biaya yang relatif mahal dan memberatkan. Berangkat dari hal tersebut muncul pemikiran meresapkan air melalui lubang yang lebih kecil sehingga terjangkau oleh masyarakat dan dapat diterapkan lebih luas dimana-mana dengan persyaratan teknis yang tidak terlalu pelik.
Persepsi Masyarakat Terhadap Teknologi Sumur Resapan Air Hujan Dan Lubang Resapan Biopori (Studi Kasus : Kabupaten Tangerang Selatan) Bastin Yungga Angguniko Disebut biopori menurut penggagasnya karena lubang vertikal yang kita buat akan dilanjutkan oleh makhluk hidup lainnya dalam tanah yang ukurannya kecil, sangat kecil sampai halus sekali atau mikro, di mana organisme tersebut akan membuat lubanglubang kecil ke segala arah yang diyakini akan memperbesar rembesan air ke dalam tanah. Selain binatang-binatang kecil, tertampungnya air akan memicu pergerakan akar tanaman kearahnya sehingga bio pori didefinifikan sebagai ”Pori berbentuk liang (terowongan-terowongan kecil) di dalam tanah yang dibuat oleh akar tanaman dan fauna tanah”. Dengan terbentuknya liang silindris yang kontinyu ke segala arah, maka pergerakan air dan udara di dalam tanah menjadi lebih lancar. Liang-liang tersebut menjadi lebih kuat karena dindingnya dilapisi oleh senyawa organik dan tidak mudah tertutup meskipun pada tanah labil, yang mudah mengembang dan menyusut.
Gambar 3.3 Biopori dan Organisme dalam tanah
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kota Tangerang Selatan merupakan kota termuda di Propinsi Banten karena baru terbentuk pada tanggal 26 Nopember 2008 yang mempunyai luas 147,19km2 dengan penduduk 1.241.441 jiwa terdiri dari 7 (tujuh) Kecamatan dengan 49 (empat puluh sembilan) Kelurahan dan 5 (lima) desa.
Adapun lokasi sosialisasi/pengenalan sumur resapan dan lubang resapan biopori dilaksanakan di 3 (tiga) kecamatan dengan perincian sebagai berikut :
13
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 9-20
Tabel 2. Lokasi sosialisasi/pengenalan sumur resapan dan lubang resapan biopori
Pemilihan lokasi kegiatan didasarkan pada strategi yang dibedakan dalam tingkatan kepengurusan masyarakat sesuai tempat tinggalnya. Strategi pemilihan lokasi tersebut adalah pada : • Masyarakat di tingkat Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) • Masyarakat dan perangkat/aparat Kelurahan • Masyarakat dan perangkat/aparat Kecamatan • Masyarakat Perumahan Dengan perbedaan pemilihan masyarakat peserta pengenalan dan penerapan sumur resapan dan lubang resapan biopori tersebut, maka akan lebih mudah untuk melakukan evaluasi efektivitasnya kedepan, sehingga rekomendasi dari kegiatan ini dapat lebih disempurnakan.
Koordinasi Stakeholders Sebelum dimulai pelaksanaan kegiatan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan pihakpihak terkait (stakeholders) baik dengan instansi maupun tokoh masyarakat yang berpengaruh di lokasi setempat. Dalam koordinasi tersebut diutarakan maksud dan tujuan kegiatan pengenalan dan penerapan TTG tesebut, dan setelah didapat persetujuan, maka perencanaan sosialisasi atau pengenalan (dua TTG resapan air) dapat direncanakan dengan membuat jadwal dan agenda pelaksanaannya termasuk perencanaan petugas dan peserta sosialisasi di mana jumlahnya akan sangat mempengaruhi besarnya biaya pelaksanaan. Dalam koordinasi tersebut juga dibicarakan menge-
14
nai siapa yang mengundang dan siapa yang diundang. Contoh : bila peserta dari kelurahan maka undangan dikeluarkan oleh Kecamatan, demikian pula dengan Ketua Rukun Warga (RW) mengundang Ketua dan perwakilan rukun tetangga (RT) binaannya. Memang kelihatannya sepele namun koordinasi awal ini merupakan kunci yang menentukan kesuksesan pelaksanaan selanjutnya yang sangat tergantung dari kehadiran peserta undangan tersebut yang sering dilupakan oleh petugas pelaksana/peneliti.
Sosialisasi Teknologi Sumur Resapan Dan Biopori Sosialisasi pengenalan sumur resapan dan lubang resapan air biopori merupakan langkah kedua yang wajib dilaksanakan bila kita akan menyelamatkan lingkungan kita khususnya dalam konservasi air untuk menambah cadangan air dalam tanah dan mengurangi limpasan permukaan sehingga dampak kemarau dan banjir dapat diperkecil. Melalui kegiatan sosialisasi atau pengenalan ini diharapkan dapat membentuk pemahaman mengenai pentingnya menyelamatkan lingkungan atau sadar lingkungan (darling) yang kemudian menciptakan keinginan peserta untuk mencoba mempraktekkan penerapannya. Kegiatan sosialisasi diakhiri dengan kesepakatan rencana penerapan percontohan (jumlah alat dan bahan untuk pembuatan contoh lapangan) termasuk konfirmasi waktu pelaksanaannya secara bersama.
Persepsi Masyarakat Terhadap Teknologi Sumur Resapan Air Hujan Dan Lubang Resapan Biopori (Studi Kasus : Kabupaten Tangerang Selatan) Bastin Yungga Angguniko
Gambar 2: Sosialisasi/pengenalan lubang resapan biopori di Kec.Ciputat Timur
Penerapan Teknologi Sumur Resapan Dan Lubang Resapan Biopori Ketika kesepakatan dari masyarakat sudah didapat (rencana waktu praktek pembuatan sumur resapan dan lubang resapan biopori), maka harus segera disiapkan alat pembuat lubang (bor tangan) dan bahanbahan lainnya untuk sumur resapan. Pembuatan sumur resapan disesuaikan dengan kondisi fisik berupa : keadaan lahan, kondisi topografi, kemiringan slope aliran bawah permukaan, tinggi muka air tanah, dan kondisi ekonomi dan lingkungan hidup berupa : tingkat ekonomi warga di Kabupaten
Tangerang Selatan. Dengan hasil survei pendapatan upah minimum regional (UMR) daerah tersebut berkisar antara Rp 1-1,5juta per bulan, maka desain sumur resapan harus didesain seefektif dan seefisien mungkin. Kalau tidak, pemasyarakatan TTG tidak akan dapat diterapkan dan diduplikasikan masyarakat. Untuk menghemat biaya pembuatan diefektifkan melalui pembuatan lubang penutup menggunakan beton bertulang ringan dan paving block yang cetakannya dengan sangat mudah dibuat warga. Selain itu, spasi antar paving block dan balok bisa digunakan untuk melalukan air.
Gambar 3.1 Sumur Resapan
15
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 9-20
Tabel 3. Perbedaan biaya pembuatan sumur resapan dari bata merah dan buis beton
Rincian dari penyedianmodel sumur resapan dan alat bor tangan adalah sebagai berikut : Tabel 3. Jumlah dan Pemodelan Sumur Resapan
Tabel 4. Jumlah dan Pendistribusian Alat Bor LRB
Peserta dan Tingkat Partisipasi Prosentase jenis kelamin partisipan pada kegiatan sosialisasi dan penerapan sumur resapan dan lubang resapan biopori adalah 492 orang laki-laki dan 16 orang perempuan. Partisipasi masih banyak laki-laki dikarenakan proses penerapan sumur resapan dan LRB dirasakan merupakan pekerjaan kasar (konstruksi) dan dikerjakan laki-laki.
Grafik 1. Prosentase Jenis Kelamin
Gambar 3. Praktek Penerapan Lubang Biopori
16
Persepsi Masyarakat Terhadap Teknologi Sumur Resapan Air Hujan Dan Lubang Resapan Biopori (Studi Kasus : Kabupaten Tangerang Selatan) Bastin Yungga Angguniko
Grafik 2. Prosentase Jenis Pekerjaan
Prosentase jenis pekerjaan partisipan pada kegiatan sosialisasi dan penerapan adalah 2 orang akademisi, 3 orang Pemerintahan Kecamatan, 23 orang Pemerintahan Kelurahan, 475 orang masyarakat RT/RW, 5 orang organisasi masyarakat.
Grafik 3. Prosentase Tingkat Partisipasi Prosentase tingkat partisipasi pada kegiatan sosialisasi dan penerapan adalah 24.30% orang tingkat kecamatan, 4.96% orang tingkat kelurahan, dan 70.74% orang tingkat perumahan RT/RW.
Tingkat Pemahaman dan Penerimaan Masyarakat terhadap Sumur Resapan & Lubang Biopori Dalam praktek penerapan pembuatan sumur resa-
pan dan lubang biopori di halaman (outdoor), peserta mempunyai kesempatan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ke narasumber mengenai hal-hal yang kurang jelas. Dan dari diskusi berkelompok (Focuss Group Discussion) tersebut telah membawa peserta kepada pemahaman dan peningkatan keinginan untuk menerapkan sumur resapan dan lubang biopori di rumahnya masing-masing. Sumur resapan dan lubang biopori yang semula ditujukan untuk membantu peresapan air ke dalam tanah. Namun dalam perkembangannya muncul pemikiran pada lubang biopori untuk mengkombinasikan dengan pengurangan sampah rumah tangga khususnya sampah sayuran/dapur atau daun-daunan yang jatuh dipekarangan sebagai sampah organik. Dari pencatatan hasil Focus Group Discussion dan memperhatikan jalannya diskusi (pertanyaan dan jawaban) saat kegiatan sosialisasi dan penerapan sumur resapan dan lubang resapan biopori dapat digambarkan pengenalan, pandangan, pemahaman dan sikap peserta/masyarakat pada awalnya terlihat pada tabel 5. Dari hasil perhitungan rerata didapat Ṝ= 47,92 %, yang menunjukkan nilai pemahaman masyarakat terhadap bahan materi sosialisasi pada skala interval (1-100 %). Dengan demikian dapat diketahui bahwa tingkat pemahaman masyarakat berada pada kisaran dibawah titik tengah (mid point) frekuensi kumulatif dari pernyataan tersebut, yaitu separoh pemilihan ada di atasnya dan separoh ada di bawahnya. Nilai pemahaman materi sosialisasi kurang, ditunjukkan dengan nilai rerata dari nilai skala atau pernyataan yang disetujui. Tabel 6. menggambarkan hasil perhitungan analisis keterikatan antarisi (asosiasi) antara jenjang jabatan responden terhadap tingkat penerimaan sumur resapan dan alat biopori.
Tabel 5. Nilai Pemahaman Materi
17
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 9-20
Tabel 6. Tingkat Penerimaan Sumur Resapan dan Alat Biopori
Dapat dilihat pada tabel di atas menunjukkan bahwa yang mempunyai persepsi tingkat prosentase penerimaan terbesar dalam tahap sosialisasi 49.70% (338 orang) dan penerapan 87.28% (338 orang) adalah tingkat Rukun Tetangga / Rukun Warga. Hal ini dikarenakan jenjang masyarakat terbesar yang tergerak mengaplikasikan secara langsung TTG ini adalah pada level RT/RW dibanding tingkatan jenjang lainnya. Di samping itu, kepadatan tingkat rutinitas pekerjaan pada kantor kecamatan dan kelurahan tidak memungkinkan waktu yang diberikan untuk sosialisasi dan penerapan seluas pada tingkat RT/RW. KESIMPULAN Kondisi pemilihan lokasi dan wilayah penelitian dibagi bertahap sebagai berikut : masyarakat di tingkat
18
Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) di Kec. Ciputat Kelurahan Cipayung, masyarakat di tingkat perangkat/aparat Kecamatan/Kelurahan bertempat di Kec. Ciputat Timur dengan Kelurahan : Cempaka Putih, Rempoa, Pondok Ranji, Rengas, Pisangan, dan Cirendeu, masyarakat di tingkat Perumahan berlokasi di Perumahan Taman Kedaung, Kel. Kedaung, kec. Ciputat Timur. Pemilihan lokasi kegiatan didasarkan pada strategi yang dibedakan dalam tingkatan kepengurusan masyarakat sesuai tempat tinggalnya. Proses dilakukan melalui tahap-tahap koordinasi stakeholders, sosialisasi, dan penerapan teknologi sumur resapan dan lubang resapan biopori. Pertama, koordinasi stakeholders instansi maupun tokoh masyarakat yang berpengaruh di lokasi setempat. Dalam koordinasi tersebut diutarakan maksud dan tujuan ke-
Persepsi Masyarakat Terhadap Teknologi Sumur Resapan Air Hujan Dan Lubang Resapan Biopori (Studi Kasus : Kabupaten Tangerang Selatan) Bastin Yungga Angguniko giatan pengenalan dan penerapan TTG, dan setelah didapat persetujuan, maka perencanaan sosialisasi atau pengenalan (dua TTG resapan air) dapat direncanakan dengan membuat jadwal dan agenda pelaksanaannya termasuk perencanaan petugas dan peserta sosialisasi dimana jumlahnya akan sangat mempengaruhi besarnya biaya pelaksanaan. Dalam koordinasi tersebut juga dibicarakan mengenai siapa yang mengundang dan siapa yang diundang. Kedua, sosialisasi pengenalan sumur resapan dan lubang resapan air biopori merupakan langkah kedua yang wajib dilaksanakan. Melalui kegiatan sosialisasi atau pengenalan ini diharapkan dapat membentuk pemahaman mengenai pentingnya menyelamatkan lingkungan atau sadar lingkungan (darling) yang kemudian menciptakan keinginan peserta untuk mencoba mempraktekkan penerapannya. Kegiatan sosialisasi diakhiri dengan kesepakatan rencana penerapan percontohan (jumlah alat dan bahan untuk pembuatan contoh lapangan) termasuk konfirmasi waktu pelaksanaannya secara bersama. Ketiga, ketika kesepakatan dari masyarakat sudah didapat (rencana waktu praktek pembuatan sumur resapan dan lubang resapan biopori), maka harus segera disiapkan alat pembuat lubang (bor tangan) dan bahan-bahan lainnya untuk sumur resapan. Pembuatan sumur resapan disesuaikan dengan kondisi fisik berupa : keadaan lahan, kondisi topografi, kemiringan slope aliran bawah permukaan, tinggi muka air tanah, dan kondisi ekonomi dan lingkungan hidup berupa : tingkat ekonomi warga di Kabupaten Tangerang Selatan. Dengan hasil survei pendapatan upah minimum regional (UMR) daerah tersebut berkisar antara Rp 1-1,5juta per bulan, maka desain sumur resapan harus didesain seefektif dan seefisien mungkin. Kalau tidak, pemasyarakatan TTG tidak akan dapat diterapkan dan diduplikasikan masyarakat. Untuk menghemat biaya pembuatan diefektifkan melalui pembuatan lubang penutup menggunakan beton bertulang ringan dan paving block yang cetakannya dengan sangat mudah dibuat warga. Selain itu, spasi antar paving block dan balok bisa digunakan untuk melalukan air. Tingkat persepsi tingkat prosentase penerimaan terbesar dalam tahap sosialisasi 49.70% (338 orang) dan penerapan 87.28% (338 orang) adalah tingkat Rukun Tetangga / Rukun Warga. Hal ini dikarenakan jenjang masyarakat terbesar yang tergerak mengaplikasikan secara langsung TTG ini adalah pada level RT/RW dibanding tingkatan jenjang lainnya. Di samping itu, kepadatan tingkat rutinitas pekerjaan pada kantor kecamatan dan kelurahan tidak memungkinkan waktu yang diberikan untuk sosialisasi dan penerapan seluas pada tingkat RT/ RW. Tingkat pemahaman masyarakat terhadap bahan materi sosialisasi terhadap teknologi resapan air (sumur resapan air hujan dan lubang resapan biopori) dari hasil perhitungan rerata didapat Ŗ= 47,92 % (skala inter-
val 1-100 %). Dengan demikian dapat diketahui bahwa tingkat pemahaman masyarakat berada pada kisaran dibawah titik tengah (mid point) frekuensi kumulatif dari pernyataan tersebut, yaitu separuh pemilihan ada di atasnya dan separoh ada di bawahnya. Nilai pemahaman materi sosialisasi kurang, ditunjukkan dengan nilai rerata dari nilai skala atau pernyataan yang disetujui.
DAFTAR PUSTAKA
Adji Krisbandono dan Radityo Aji Nugroho, 2006. Kajian Penerapan Partisipatif Teknologi Tepat Guna Sumur Resapan Air Hujan. Jurnal Komunitas Volume 2. No.I April 2006. Bastin Yungga Angguniko, 2009. Laporan Akhir Penerapan dan Pemasyarakatan TTG Resapan Air. Jakarta : Balai Litbang Sosek Bidang SDA. Branca,1964; Woodworth dan Marquis, 1957 dalam Walgito, Bimo, 1978. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar).Yogyakarta : Andi. Davidoff, 1981 dalam Walgito, Bimo, 1978. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta : Andi. Dimas Hastama, 2009. Kajian Sosek Pengelolaan Pamsimas. Yogyakarta : Balai Litbang Sosek Bidang Permukiman. Iwan Suprijanto, 2009. Persepsi Masyarakat Terhadap Pembangunan Rumah Susun di Bali. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum Vol. 1 No. 1 April 2009. Kamir R.Brata, 2009. Implementasi Lubang Resapan Biopori Untuk Perbaikan Lingkungan (bahan presentasi dalam kegiatan ”Pemasyarakatan dan Penerapan Teknologi Tepat Guna Resapan Air” yang diselenggarakan oleh Balai Litbang Sosek Bidang SDA, Puslitbang Sebranmas, Balitbang Dep.PU, di Tangerang Selatan 22 Juni 2009). Kota Tangerang Selatan (diakses dari http://id.wikipedia. org/wiki/Kota_Tangerang_Selatan, tanggal 29 September 2009) _____, Pedoman Penerapan Teknologi Tepat Guna Bidang Pekerjaan Umum, Pd T-09-2005-A, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, 2005. _____, Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan Air Hujan untuk Lahan Pekarangan, SNI 06-2459-2002, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, 2002. Moskowitz dan Orgel, 1969 dalam Walgito, Bimo, 1978. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta : Andi. Susila,Anik 1978. Studi Kelayakan Sosial Ekonomi Kampung Teknologi Jepara (KTJ). Jawa Tengah : UPT Litbang Jepara.
19