BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Pertumbuhan dapat dianggap sebagai hasil dari beberapa proses metabolisme tumbuhan (Gardner et al., 1991). Menurut Harjadi (1993), pertumbuhan tanaman didefinisikan sebagai pertambahan ukuran yang dapat diketahui dengan adanya pertambahan panjang, diameter, dan luas bagian tanaman. Parameter lain yaitu adanya pertambahan volume, massa, berat basah dan berat kering tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995). Pertumbuhan dipengaruhi
oleh
faktor
internal
dan
eksternal.
Faktor
internal
yang
mempengaruhi pertumbuhan antara lain umur, tanaman, faktor hereditas, dan zat pengatur tumbuh. Faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan adalah cahaya, temperatur, kelembaban, nutrisi atau garam-garam mineral, oksigen (Harjadi, 1993). Pertumbuhan menghasilkan penambahan ukuran dan berat. Kurva pertumbuhan tanaman dalam interval waktu yang teratur akan berbentuk S. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dimulai secara pelan kemudian melewati fase pertambahan besar yang cepat dan diikuti pertumbuhan rata-rata yang menurun secara gradual sampai ke titik berhentinya tumbuh (Gardner et al., 1991). 2.2. Rumput Benggala (Panicum maximum cv Trichoglume) Rumput Panicum maximum cv Trichoglume dikenal dengan sebutan guinea grass, rumput benggala dan suket londo. Rumput ini berasal dari Afrika tropika dan subtropika dan terdapat di seluruh wilayah tropika dan subtropika.
4
Karakteristik rumput benggala adalah tanaman tumbuh tegak membentuk rumpun mirip padi. Rumput Benggala (Panicum maximum) merupakan rumput unggulan alternatif yang dapat diintroduksikan kepada petani, yang selama ini cenderung hanya menanam rumput raja dan rumput gajah. Menurut Aganga & Tshwenyane (2004), Panicum maximum digunakan sebagai salah satu spesies rumput yang paling baik untuk produktivitas sapi potong. Beberapa kultivar rumput benggala yang telah dikenal adalah: 1. Tipe besar dengan tinggi tanaman antara 3,6-4,2 m seperti kultivar Hammil 2. Tipe sedang dengan tinggi tanaman 1,5-2,5 m seperti kultivar Gatton dan Common 3. Tipe pendek dengan tinggi tanaman 1,0 m seperti pada kultivar Sabi dan Trichoglume (Sajimin et al. 2005) Hasil penelitian di Indonesia diperoleh Middleton dan Mc Coskar (1975) produksi bahan kering rumput benggala sedikit dibawah rumput gajah yaitu 26,85– 60,0 t ha-1 tahun-1, kandungan nitrogen 2,7 – 3,0% pada interval potong 3 minggu dan 1,0 – 1,3% untuk 12 minggu. Thomas (1976), melaporkan bahwa jenis ini memiliki batang yang tidak terlalu keras sehingga hampir semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan secara maksimal, selain itu memiliki kandungan protein kasar 9,2-18,7% dan bahan kering per ha 4037 kg dengan kecernaan 58,6– 66,3%. Siregar et al. (1980) melaporkan bahwa dari rumput dengan sistem potong angkut diperoleh bahan kering 31,4 – 36,78 t ha-1 tahun-1. Suratmini et al. (1995) menyatakan bahwa pada perkebunan kelapa dengan intensitas cahaya 30% produksi rumput Panicum maximum cv Trichoglume
7,3 t ha-1 tahun-1 pada
5
intensitas cahaya 18% dan 11,7 t ha-1 tahun-1 pada intensitas cahaya 100%. Hasil yang diperoleh Bahar et al. (1994) menunjukkan rumput kultivar cv. Riversdale yang ditanam di daerah kering Sulawesi Selatan menghasilkan 656,7-743,3 g per 2,25 m2 atau 32,43–36,71 t ha-1. 2.3. Pupuk Organik Pupuk organik adalah pupuk yang dihasilkan dari sisa-sisa tanaman, hewan, dan manusia seperti pupuk hijau, kompos, pupuk kandang, dan hasil sekresi hewan dan manusia (Soedyanto et al., 1984). Pupuk organik mengandung banyak bahan organik daripada pupuk anorganik. Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota (sampah). Pupuk organik berperan cukup besar dalam memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologis tanah serta lingkungan. Pupuk organik memiliki fungsi kimia yang penting seperti penyediaan hara makro (nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, dan sulfur) dan mikro seperti zink, tembaga, kobalt, mangan, dan besi, meskipun jumlahnya relative (Suriadikarta et al, 2006). Di dalam tanah, pupuk organik akan dirombak oleh organisme menjadi humus atau bahan organik tanah. Bahan organik berfungsi sebagai pengikat butiran primer tanah menjadi butiran sekunder dalam bentuk agregat yang mantap. Meskipun mengandung unsur hara yang rendah, bahan organik penting dalam meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah, serta dapat bereaksi dengan ion logam untuk membentuk senyawa kompleks, sehingga ion logam yang meracuni
6
tanaman atau menghambat penyediaan hara A1, Fe, dan Mn dapat dikurangi. Penggunaan pupuk organik dapat mengurangi pencemaran lingkungan karena bahan–bahan organik tersebut tidak dibuang sembarangan yang dapat mengotori lingkungan terutama pada perairan umum. Penggunaan bahan organik sebagai pupuk merupakan upaya penciptaan sumber daya alam yang terbarukan. Bahan organik juga dapat mengurangi unsur hara yang bersifat racun bagi tanaman serta dapat digunakan untuk mereklamasi lahan bekas tambang dan lahan yang tercemar (Diah, 2005). Berbagai hasil penelitian mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian di Indonesia, baik lahan kering maupun lahan sawah, mempunyai kandungan bahan organik tanah yang rendah (<2%). Oleh karena itu penggunaan bahan organik untuk memperbaiki produktivitas lahan perlu digalakkan. Pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan (Sutanto, 2002). Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. A. Pupuk Kandang Sapi Pupuk kandang sapi adalah limbah peternakan yang merupakan buangan dari usaha peternakan sapi yang bersifat padat dan dalam proses pembuangannya sering bercampur dengan urin dan gas seperti metana dan amoniak. Kandungan unsur hara dalam pupuk kandang sapi bervariasi tergantung pada keadaan tingkat produksinya, macam, jumlah makanan yang dimakannya, serta individu ternak
7
sendiri (Abdulgani, 1988). Undang (2002), melaporkan bahwa seekor sapi muda kebiri akan memproduksi 15-30 kg kotoran per hari. Tabel 2.1. Kandungan N, P dan K dalam kotoran sapi potong Bobot Badan (kg) 277 340 454 567
N (%) 28,1 42,2 56,2 70,3
P (%) 9,1 13,6 18,2 22,7
K (%) 20,0 30,0 39,9 49,9
Sumber : Vanderholm (1979) dalam Undang (2002).
Secara praktis rata-rata jumlah feses yang dihasilkan seekor sapi perah setiap hari mencapai 8% dari berat badannya (Foley et al., 1973). Kotoran sapi perah bila didiamkan begitu saja akan mengalami penyusutan unsur kimianya karena itu perlu diawetkan (Rynk et al., 1992). Komposisi kotoran sapi perah tergantung pada ransum yang diberikan dan alas lantai yang digunakan (Foley et al., 1973). Unsur kimia penyusun bahan ransum selain N, P, dan K adalah C. Jika kandungan C kotoran sapi perah dibandingkan terhadap kandungan N-nya maka ratio yang didapat dikategorikan rendah (Biddlestone et al., 1994). Di beberapa tempat kotoran ternak termasuk feses sapi perah sering dipakai memupuk tanaman dan dibuat kompos (Ap Dewi, 1994). B. Pupuk Kandang Kambing Pupuk kandang kambing mengandung bahan organik yang dapat menyediakan zat hara bagi tanaman melalui proses penguraian. Proses ini terjadi secara bertahap dengan melepaskan bahan organik yang sederhana untuk pertumbuhan tanaman. Feses kambing mengandung bahan kering dan nitrogen berturut – turut 40 –50% dan 1,2 – 2,1%. Kandungan tersebut bergantung pada bahan penyusun ransum, tingkat kelarutan nitrogen pakan, nilai biologis ransum,
8
dan kemampuan ternak untuk mencerna ransum. Produksi urin kambing dan domba mencapai 0,6 – 2,5 liter/hari dengan kandungan nitrogen 0,51 – 0,71%. Variasi kandungan nitrogen tersebut bergantung pada pakan yang dikonsumsi, tingkat kelarutan protein kasar pakan, serta kemampuan ternak untuk memanfaatkan nitrogen asal pakan. Kotoran kambing dan domba yang tersusun dari feses, urin dan sisa pakan mengandung nitrogen lebih tinggi daripada yang hanya berasal dari feses (Litbang, 2014). Jumlah nitrogen yang dapat diperoleh dari kotoran kambing dan domba dengan total bobot badan ± 120 kg dan dengan periode pengumpulan kotoran selama tiga bulan sekali mencapai 7,4 kg. Jumlah ini dapat disetarakan dengan 16,2 kg urea (46% nitrogen) (Ditjen Peternakan 1992). Tekstur dari kotoran kambing sangatlah khas, karena berbentuk butiran-butiran yang sukar dipecah secara fisik sehingga berpengaruh terhadap proses dekomposisi dan proses penyediaan haranya. Kandungan hara dari pupuk kandang kambing mengandung rasio yaitu C/N ± 20-50 (Hartatik dan Widowati, 2009). C. Kotoran Ayam Pupuk kandang ayam terdiri dari sisa pakan dan serat selulosa yang tidak dicerna. Kotoran ayam mengandung protein, karbohidrat, lemak dan senyawa organik lainnya. Protein pada pupuk kandang ayam merupakan sumber nitrogen selain ada pula bentuk nitrogen inorganik lainnya. Komposisi kotoran ayam sangat bervariasi bergantung pada jenis ayam, umur, keadaan individu ayam, dan makanan (Foot et al., 1976). Dalam pemeliharaan ayam pedaging maupun ayam petelur (unggas) akan menghasilkan limbah yang mempunyai nilai nutrisi yang cukup tinggi. Jumlah 9
kotoran ayam/limbah yang dikeluarkan setiap harinya banyak, rata-rata per ekor ayam 0,15 kg (Charles dan Hariono, 1991). Fontenot et al. (1983) melaporkan bahwa rata-- rata produksi buangan segar ternak ayam petelur adalah 0,06 kg/hari/ekor, dan kandungan bahan kering sebanyak 26%, sedangkan dari pemeliharaan ayan pedaging kotoran yang dikeluarkan sebanyak 0,1 kg/hari/ekor dan kandungan bahan keringnya 25%. Pakan yang diberikan pada ayam pedaging biasanya dengan kualitas atau kandungan zat gizi pakan terdiri dari protein 28-24%, lemak 2,5%, serat kasar 4%, kalsium (Ca) 1%, phosfor (P) 0,7-0,9%, ME 2800-3500 Kcal. Dengan melihat pakan yang demikian bagus maka kita dapat menyimpulkan limbah yang dihasilkan masih mempuyai nilai nutrisi yang tinggi, apalagi sistem pencernaan unggas lambung tunggal dan proses penyerapan berjalan sangat cepat sehingga tidak sempurna masih banyak kandungan nutrisi yang belum terserap dan di buang bersama dengan feses. Dalam pemeliharan ayam kita juga masih banyak melihat pakan yang tercecer jatuh kedalam feses sekitar 5-15% dari pakan yang diberikan, atau pun telur yang pecah dalam kandang hal ini akan meningkatkan nilai nutrisi yang ada dalam feses. Menurut Haesono (2009) kandungan kotoran ayam adalah sebagai berikut: 2,79 % N, 0,52 % P2O5, 2,29 % K2O. Maka dalam 1000 kg (1 ton) kompos akan setara dengan 62 kg urea, 14,44 kg SP 36, dan 38,17 kg MOP. 2.4.
Pemanfaatan Pupuk Organik Untuk Pertumbuhan dan Produksi Rumput Peningkatan produksi hijauan pakan ternak tidak terlepas dari peranan
pupuk sebagai bahan penyubur, karena dengan memberikan unsur hara akan
10
memberikan pertumbuhan dan perkembangan tanaman agar tercapai hasil lebih tinggi. Peningkatan produktivitas pada tanaman rumput dapat diusahakan dengan pengelolaan tanah yang baik, pemupukan dan pemeliharaan tanaman. Dengan pemupukan kesuburan lahan garapan dapat dipertahankan atau bahkan dapat ditingkatkan sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman rumput yang dibudidayakan (Rustandi et al., 1982). Sajimin et al. (2001) menyatakan bahwa untuk memperoleh produksi yang tinggi pada lahan yang tingkat kesuburannya rendah dapat dilakukan dengan penggunaaan pupuk organik. Pemberian
pupuk
kandang
pada
rumput
sangat
memperngaruhi
produktivitas dari tanaman rumput yang dibudidayakan. Hal ini karena penggunaan pupuk kandang bagi tanah secara kimia memberikan keuntungan, yaitu menambah unsur hara terutama N, P, dan K dan meningkatkan KTK serta secara biologi dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme tanah (Allison, 1973). Hasil penelitian Lugiyo (2004) menunjukkan bahwa bahwa pemupukan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan, jumlah tunas maupun produksi hijauan berat segar dan berat kering rumput benggala. Sementara tanpa pupuk kandang memberikan hasil yang terendah.
11