7
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Spons Spons merupakan kelompok porifera yaitu hewan yang mempunyai tubuh berpori-pori atau saluran. Spons sebagai invertebrata laut multi sel yang fungsi jaringan dan organnya sangat sederhana. Biota laut ini dikenal dengan filter feeders, yaitu mencari makanan dengan mengisap dan menyaring air melalui sel cambuk dan memompakan air keluar melalui oskulum. Makanan spons berupa zooplankton atau hewan kecil dan bakteri yang terbawa oleh arus serta masuk ke dalam tubuhnya (Amir, 1996). Tubuh spons terdiri dari jelly seperti mesohyl terjepit di antara dua lapisan tipis sel. Spons tidak memiliki saraf, pencernaan atau sistem peredaran darah. Sebaliknya, sebagian besar mengandalkan mempertahankan aliran air konstan melalui badan spons untuk mendapatkan makanan dan oksigen ataupun untuk menghilangkan limbah (Rosmiati dan Suryati, 2001). Larva spons dapat menyebar secara luas, terbawa arus dan bergerak sangat aktif, tetapi setelah dewasa hidup melekat dan menetap pada karang batu dan dasar laut. 2.1.1
Morfologi dan fungsi tubuh spons Morfologi luar spons sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi dan
biologis lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan yang terbuka dan berombak besar cenderung mengalami pertumbuhan yang pendek atau juga merambat. Sebaliknya spesimen dan jenis yang sama pada lingkungan yang 7
8
terlindung atau pada perairan yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya cenderung tegak dan tinggi. Pada perairan yang lebih dalam, spons cenderung memiliki bentuk tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari lingkungan yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada perairan yang dangkal. Spons pada jenis yang sama pertumbuhannya cenderung semakin besar dan semakin tinggi dengan bertambahnya kedalaman laut (Amir, 1992). Spons secara morfologi berbentuk sederhana seperti tabung dengan dinding tipis tidak teratur serta tubuhnya berpori (ostium). Spons membuat kerak pada batu, cangkang, tongkat atau tumbuh-tumbuhan (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Tubuh spons asimetri (tidak beraturan), meskipun ada yang simetri radial, berbentuk seperti tabung, vas bunga, mangkuk, atau tumbuhan, memiliki warna yang bervariasi. Dahuri (2003) melaporkan beberapa jenis spons ada yang bercabang seperti pohon, berbentuk seperti sarung tinju dan cawan sedangkan yang lainnya berbentuk kubah. Spons banyak dijumpai di laut dengan bentuk dan warna yang sangat beraneka dan sangat menarik, hal ini disebabkan oleh zooxanthellae yang hidup dalam jaringan tubuhnya. Spons yang hidup di lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah. Struktur tubuh spons terdiri dari tiga lapisan yaitu epidermis, mesoglea dan endodermis. Epidermis merupakan lapisan luar yang terdiri atas sel-sel epitelium berbentuk pipih (pinakosit). Pinakosit berfungsi sebagai pelindung. Endodermis terdiri atas sel berflagela yang berfungsi mencerna makanan dan
9
bercorong yang disebut sel leher atau koanosit. Struktur sel spons ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Struktur Sel Spons a. Oskula, b. Sel penutup (pinakosit), c. Sel amobosit, d. Sel pori (porosit), e. Pori saluran masuk (ostia), f. Telur, g. Spikula triaxon, h. Mesohil, i. Sel mesenkim, j. Bulu cambuk (flagela), k. Sel kolar (choanosit), 1. Sklerosit, m. Spikula monoaxon (Amir, 1996) Makanan spons berupa bahan-bahan organik dan organisme kecil yang masuk bersama air melalui pori-pori tubuhnya. Makanan ditangkap oleh flagela pada koanosit. Flagela yang bergerak pada koanosit berfungsi untuk membentuk aliran air satu arah sehingga air yang mengandung makanan dan oksigen masuk melalui pori ke spongosol. Di spongosol makanan ditelan secara fagositosis dan oksigen diserap secara difusi oleh koanosit. Sisa pembuangan dikeluarkan melalui lubang yang disebut oskulum. Zat makanan dan oksigen selain digunakan oleh
10
koanosit, sebagian juga ditransfer secara difusi ke sel-sel yang selalu bergerak seperti amoeba, yaitu sel amoebosit. Di antara lapisan epidermis dan endodermis terdapat bahan gelatin yang disebut mesoglea. Mesoglea terdiri atas beberapa macam sel, yakni: a.
Sel amoebosit, yaitu sel yang berfungsi mengangkut zat makanan dan zat sisa metabolisme dari satu sel ke sel yang lain
b.
Sel skleroblas, yaitu sel yang fungsinya membentuk spikula yang bisa terbuat dari zat kapur, kersik, atau sponging
c.
Porosit, sel yang fungsinya membuka dan menutup pori-pori
d.
Arkeosit, sel amebosit embrional yang tumpul dan dapat membentuk sel-sel reproduktif
e.
Spikula, sel pembentuk tubuh Porifera memiliki saluran air yang berfungsi sebagai jalan masuknya air ke
spongosol lalu dari spongosol dikeluarkan melalui oskulum. Saluran ini memiliki tiga bentuk yaitu: sikon, askon dan leukon. Tipe saluran air pada spons ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Sistem Saluran Air Pada Spons (a) Askon; (b) Sikon; (c) Leukon
11
a.
Askon, tipe ini adalah tipe paling sederhana. Bentuk spons seperti jambangan bunga. Air yang masuk melewati saluran yang langsung terhubung dengan spongosol lalu keluar melalui oskulum. Saluran ini pendek dan tidak memiliki cabang maupun lekuk-lekuk. Contoh : Leucosolenia sp.
b.
Sikon, pada tipe ini air yang melalui ostium akan masuk ke spongosol melalui saluran yang bercabang-cabang. Setelah itu air akan keluar melalui oskulum. Tipe ini dimiliki oleh Scypha
c.
Leukon (ragon), tipe ini adalah tipe yang paling kompleks. Air masuk melalui ostium menuju ke rongga-rongga bulat yang saling berhubungan. Dari rongga ini barulah mengalir menuju spongosol dan keluar melalui oskulum.
2.1.2
Klasifikasi spons Menurut beberapa pakarnya, spons termasuk filum porifera yang dibagi
dalam tiga kelas, seperti di bawah ini: 2.1.2.1 Hexactinellida (Hyalospongiae) Hexactinellida (dalam bahasa Yunani, hexa = enam) atau Hyalospongiae (dalam bahasa yunani, hyalo = kaca/transparan, spongia = spons), disebut juga spons gelas. Kelas ini dibedakan menjadi dua subkelas, empat ordo, 19 famili dan 113 genus. Hexactinellida memiliki spikula yang tersusun dari silika. Ujung spikula berjumlah enam seperti bintang. Semua spons kaca berdiri tegak dan memiliki struktur khusus di pangkalnya untuk melekat kuat pada dasar laut. Secara morfologi bentuknya radial simetris, biasanya silinder, tetapi ada juga yang
12
berbentuk cangkir, guci atau bercabang. Tubuh spons ini tidak memiliki permukaan epitel. Hexactinellida kebanyakan berwarna pucat dengan bentuk vas bunga atau mangkuk. Tinggi tubuhnya rata-rata 10-30 cm dengan saluran tipe sikonoid. Spons ini hidup soliter di laut pada kedalaman 200-1.000 m. Hexactinellida memiliki rongga sentral yang luas (atrium) dimana air melewati rongga tersebut, spikula yang berbentuk seperti anyaman topi yang rapat melapisi osculum pada beberapa spesies. Contoh Hexactinellida adalah Euplectella yang terlihat seperti Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Spons Euplectella Hexactinellida hidup pada material detritus makroskopik, mengkonsumsi bahan selular, bakteri dan partikel abiotik yang sangat kecil. Hexactinellida kurang selektif terhadap makanan yang mereka telan (setiap makanan yang cukup kecil untuk menembus syncytium dicerna oleh mereka). Hal ini disebabkan oleh spons Hexactinellida memiliki sedikit membran luar dan kurangnya ostia, sehingga tidak dapat mengontrol seberapa banyak air yang melewati tubuh mereka.
13
2.1.2.2 Calcarea (Calcisspongiae) Calcarea (dalam latin, calcare = kapur) atau Calcisspongiae (dalam latin, calci = kapur, spongia = spons) memiliki rangka yang tersusun dari kalsium karbonat. Kelas ini terdiri atas dua subkelas, empat ordo, 19 famili dan 98 genus. Spons dari kelas ini memiliki jumlah kurang dari 10 % dari semua spons yang ada di laut (Amir dan Budiyanto, 1996). Tubuhnya kebanyakan berwarna pucat dengan bentuk seperti vas bunga, dompet, kendi, atau silinder. Tinggi tubuh kurang dari 10 cm. Struktur tubuh ada yang memiliki saluran air askonoid, sikonoid, atau leukonoid. Calcarea hidup di laut dangkal, contohnya Sycon, Clathrina dan Leucettusa lancifer. Elemen kerangka dari kelas Calcarea berbentuk spikula “triaxon”. Kelas Calcarea terlihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Spons Kelas Calcarea
2.1.2.3 Demospongiae Demospongiae (dalam bahasa Yunani, demo = tebal, spongia = spons) memiliki rangka yang tersusun dari serabut spongin. Demospongiae bertulang lunak karena tidak memiliki rangka, jika ada yang memiliki rangka terdiri atas serabut spongin dengan spikula dari silikat atau spongia. Tubuhnya berwarna
14
cerah karena mengandung pigmen yang terdapat pada amoebosit. Fungsi warna diduga untuk melindungi tubuhnya dari sinar matahari. Bentuk tubuhnya tidak beraturan dan bercabang. Tinggi dan diameternya ada yang mencapai lebih dari satu meter. Seluruh Demospongiae memiliki saluran air tipe leukonoid. Habitat Demospongiae umumnya di laut dalam maupun dangkal, meskipun ada yang di air tawar. Demospongiae dibagi menjadi tiga subkelas, 13 ordo, 71 famili dan 1.005 genus. Demospongiae merupakan kelas terbesar yang mencakup 90% dari seluruh total spesies yang hidup di dunia. Kelas Demospongiae adalah spons yang paling banyak ditemukan dan penyebarannya luas, jenis-jenisnya paling beragam dan relatif banyak mendapatkan perhatian dari para peneliti. Salah satu contoh spons dari kelas Demospongiae adalah genus Haliclona Grant, 1836. Taksonomi spons ini sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Porifera
Kelas
: Demospongiae
Sub kelas
: Ceractinomorpha
Ordo
: Haplosclerida
Subordo
: Haplosclerina
Familia
: Chalinidae Gray, 1867
Genus
: Haliclona Grant, 1836
15
Genus Haliclona Grant, 1836 berbentuk lembaran polimorpik, seperti bantal tipis, terdapat percabangan, dengan cabang-cabang anastomosing. Tumbuh dari kerak dan tersebar di daerah bebatuan. Warna orange, krem, coklat muda. Batas antara zona warna biasanya tajam, terdapat karakter diagnostik berupa: tidak berbau, konsistensi keras, rapuh, mampat, permukaan halus, aperture dengan oskula secara teratur tersebar disepanjang cabang, biasanya pada gundukan kecil, tidak ada kontraksi, skeleton pada permukaan kerangka sangat teratur dapat berupa retikuler, dan unispikuler, pada bagian interior berupa jaringan polyspicular padat, dengan jumlah spongin yang cukup, terutama pada nodus jaring. Identitas: cukup keras, bercabang, oskula yang terstruktur tetap terbuka ketika spons diawetkan, kerangka biasanya Haplosclerid (Ackers et al., 2007). Genus Haliclona Grant, 1836 dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Spons Genus Haliclona Grant, 1836 (Sumber: Dokumen Pribadi)
16
2.2 Kandungan Kimia Spons dan Aktivitas Sebagai Antikanker Invertebrata laut mempunyai struktur pergerakan fisik lebih terbatas dibanding dengan vertebrata laut. Oleh karena itu, untuk mempertahankan diri dilakukan dengan memproduksi senyawa kimia (chemical defense) (Murniasih, 2005). Motomasa (1998) menyebutkan sistem biodefense yang dikembangkan oleh spons berupa zat racun dari dalam tubuhnya, zat ini umumnya dimanfaatkan sebagai bahan obat. Nybakken (1993) melaporkan bahwa spons memiliki kemampuan untuk menyaring bakteri dalam lingkungannya hingga 77% melalui utilitas makanan yang dicerna secara enzimatik. Senyawa bioaktif yang dimiliki oleh spons kemungkinan bermanfaat dalam proses pencernaan, sehingga senyawa bioaktif yang diperoleh diperkirakan bervariasi sesuai dengan kebiasaan makan masingmasing jenis spons (Hanani et al., 2005). Spons mengandung senyawa aktif yang persentase keaktifannya lebih besar dibandingkan dengan senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan darat (Muniarsih dan Rachmaniar, 1999). Ekstrak metabolit sekunder dari spons mengandung senyawa bioaktif yang diketahui mempunyai sifat aktifitas seperti sitotoksik dan antitumor (Kobayashi dan Rahmat, 1999), antivirus dan antibakteri (Munro et al., 1989), anti HIV dan antiinflamasi (Haefner, 2003), antifungi (Muliani et al., 1998), antileukemia (Trianto, 2005), antibiofouling (Suryati et al., 2000), penghambat enzim (Soest dan Braekman, 1999).
17
Beberapa senyawa yang berhasil diisolasi dari biota spons telah terbukti menghambat pertumbuhan sel kanker. Berikut adalah senyawa yang diisolasi dan aktivitas sitotoksik yang dimiliki oleh spons: a)
Spongouridin dan spongothymidine, adalah senyawa yang disintesa dari spons Cryptotetis crypta yang mempunyai keaktifan sitotoksik terhadap sel karsinoma pada manusia. Senyawa ini merupakan sebuah nukleosida yang berbeda dari biasanya dan dapat berfungsi sebagai terapi terhadap nukleosida virustatik Ara-A. Kedua senyawa ini merupakan zat aktif terhadap virus harpes simplex (Bergman dan Feeny, 1951).
Gambar 2.6 Struktur Kimia Senyawa Spongouridine dan Spongothymidine b)
Adociaquinon B diisolasi dari spons Xestospongia sp. Senyawa ini aktif dalam menghambat pertumbuhan sel tumor manusia (Human Colon Tumor) (Swersey, 1988). Di bawah ini adalah gambar struktur kimia dari senyawa Adociaquinon B. O O2 S
O N H O
O
Gambar 2.7 Struktur Adociaquinon B
18
c)
Nursid et al. (2006) melaporkan bahwa fraksi metanol spons Petrosia nigricans dari Perairan Gosong Pulau Pramuka Kepulauan Seribu memiliki aktifitas sitotoksik terhadap sel tumor Hela dengan nilai LC50 sebesar 11,9 μg/mL.
d)
Bistratamide D diisolasi dari senyawa Lissoclinum bistratum. Senyawa ini aktif menghambat sel tumor HCT (Human Colon Tumor) (Concepcion et al., 1995).
Gambar 2.8 Struktur Bistratamide D e)
Spons Hyrtios erecta menghasilkan spongistatins yang merupakan metabolit yang paling penting dari spons ini. Senyawa spongistatins merupakan senyawa antikanker.
f)
Makaluvamine N, senyawa ini diisolasi dari Zyzzyafiiliginosa dikumpulkan dari Filipina, mempunyai keaktifan menghambat aktifitas katalitik topoisomerase II (Foster et al., 1992). Berikut ini adalah struktur kimia dari senyawa makaluvamine N.
19
Gambar 2.9 Struktur Makaluvamine g)
Alluri
(2012)
dalam
jurnal
Cytotoxic
Activity
of
Methanol
and
Dichloromethane Extracts Soft Halicona Species menyebutkan ekstrak metanol dan diklorometana spons spesies Halicona lunak dapat memberikan efek menghambat sel HeLa. Persentase kelangsungan hidup sel Hela ditentukan menggunakan metode kolorimetri. Sitotoksik sel Hela dihitung dengan uji MTT. Persentase penghambatan sel HeLa dari ekstrak metanol 61,40 % dan ektrak diklorometana 46,98 %. h) Dua senyawa golongan alkaloid isoquinolin diisolasi dari fraksi sitotoksik spons Haliclona sp. Struktur senyawa tersebut terdiri dari 1-hydroxymethyl-7methoxyisoquinolin-6-ol dan mimosamycin. Mimosamycin adalah sitotoksin utama dengan IC50 sekitar 10 µg/mL terhadap melanoma dan kultur sel tumor ovarium manusia (Rashid et al., 2001). i) Dua senyawa baru, makrolida yang bersifat sitotoksik yaitu salicylihalamida A dan B diisolasi dari spons Haliclona sp (Erickson, 1997). Kelas makrolida ini menggabungkan asam salisilat, cincin lakton dan rantai amida. Profil skrining grafik salicylihalamida A tidak menunjukkan adanya korelasi yang signifikan terhadap profil senyawa antitumor yang dikenal dalam database agen standar NCI, sehingga mendukung kesimpulan bahwa salicylihalamides merupakan
20
senyawa baru yang berpotensi penting untuk optimasi antitumor lead dan penyelidikan in vivo. Kelas baru obat antikanker yang diisolasi dari spons telah terbukti memiliki aktivitas sitotoksik. Hussain et al. (2011) melaporkan senyawa yang diisolasi dari spons dan mekanisme reaksinya tercantum pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Senyawa Hasil Isolasi dari Spons (Hussain et al., 2011) No
Golongan Senyawa
Senyawa Kimia
Mekanisme Reaksi
1.
Alkaloid
Aaptamin
Induksi gen p21 dan penghambatan terhadap siklus sel G2/M
2.
Steroid
Agosterol A dari spongia sp.
Agosterol A menghambat fungsi MRPI (trans-membrane glycol-protein)
3.
Alkaloid
Garam alkilpiridinim
Menghambat apoptosis dan mengurangi adhesi sel
4.
Alkaloid
Bastadin 6
Menghambat angiogenesis invitro dan invivo yang melibatkan apoptosis
5.
Alkaloid
Kortistatin A
Menghambat selektif
angiogenesis
secara
6.
Makrolida
Diktiostatin-1
Pengikatan tubulin oleh situs toksoid dan memiliki efek antiproliferasi yang sebanding dengan discodermolida
7.
Poliketida
Discodermolida
Mengikat residu asam amino 305 – 359 dalam lingkaran S9 – S10 b-tubulin
8.
Poliketida
Onnamida A
Menghambat sintesis apoptosis pada sel HeLa
9.
Makrolida
Pelorusida A
Memiliki efek sinergetik dengan situs taksoid obat.
protein
dan
21
2.3 Teknik Isolasi Senyawa Metabolit Sekunder 2.3.1 Ekstraksi Ekstraksi adalah cara untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam sampel dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan organik dan daya penyesuaian dengan tiga macam metode ekstraksi (Stahl, 1985) yaitu: 1)
Maserasi Maserasi digunakan dengan cara merendam sampel dengan pelarut yang
sesuai, baik murni maupun campuran. Setiap waktu tertentu filtratnya diambil dan residunya ditambahi pelarut baru. Demikian seterusnya sampai semua metabolit yang diperkirakan ada dalam sampel tersebut terekstrak. Rendaman disimpan agar terlindung dari cahaya langsung sehingga mencegah reaksi yang dikatalis cahaya atau perubahan warna. 2)
Sokletasi Metode sokletasi digunakan untuk mengekstrak komponen kimia dengan
menggunakan alat soklet. Penggunaan soklet dapat menghemat pelarut yang digunakan. Alat ini bekerja cukup sederhana dengan cara menguapkan pelarut (dalam labu yang direndam penangas air pada suhu tertentu), lalu uap pelarut yang naik ke bagian atas soklet akan didinginkan oleh air dingin yang mengalir secara terus menerus sehingga uap pelarut tersebut mengembun kembali dan mengalir ke bawah membasahi atau merendam sampel. Dengan demikian sampel yang akan diekstraksi terendam secara kontinyu di dalam pelarut yang selalu dalam keadaan bersih.
22
Cara sokletasi baik digunakan untuk mengektrak komponen kimia yang kandungannya dalam jumlah yang sedikit. Swantara (2005) menyebutkan kelemahan metode sokletasi adalah adanya perlakuan suhu tinggi yang dapat mengakibatkan terjadinya proses degradasi atau penguraian senyawa-senyawa dalam ekstrak. 3)
Perkolasi Perkolasi digunakan dengan cara melewatkan pelarut tetes demi tetes pada
sampel yang diekstrak. Pelarut yang digunakan sebaiknya tidak mudah menguap. Pada metode ini dibutuhkan pelarut yang lebih banyak. Hasil ekstraksi dari ketiga metode berupa filtrat. Setelah pelarut diuapkan dengan menggunakan penguap putar vakum akan menghasilkan ekstrak yang dapat berbentuk padatan atau cairan. Pada umumnya ekstrak yang dihasilkan dari ekstraksi awal disebut ekstrak kasar (crude extract). 2.3.2 Metode pemisahan dan pemurnian Pemisahan kandungan kimia dari suatu sampel dapat dilakukan dengan cara berikut: 1)
Partisi Pemisahan kandungan senyawa organik pada tahap awal biasanya
dilakukan dengan metode partisi, yang bertujuan untuk mengelompokkan senyawa-senyawa
yang
terdapat
di
dalam
ekstrak
kasar
berdasarkan
kepolarannya. Umumnya partisi dimulai dengan pelarut nonpolar seperti nheksana atau petroleum eter, kemudian dilanjutkan dengan pelarut semipolar seperti kloroform, etil asetat atau aseton dan terakhir dengan pelarut polar seperti
23
metanol atau n-butanol. Senyawa-senyawa nonpolar akan larut ke dalam pelarut nonpolar sedangkan senyawa-senyawa polar akan larut ke dalam pelarut polar (Sudjadi, 1992). Teknik yang paling umum untuk metode partisi menggunakan corong pemisah dengan memasukkan dua pelarut yang saling tidak tercampur. Untuk senyawa-senyawa yang berwarna, partisi dihentikan bila ekstrak terakhir sudah tidak berwarna. Sedangkan untuk senyawa yang tidak berwarna, partisi dihentikan setelah tiga sampai empat kali penggantian pelarut (Sudjadi, 1992). 2)
Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar
dengan fase diam berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik. Pemisahan terjadi karena adanya perbedaan afinitas masing-masing komponen terhadap fase diam dan fase gerak. Jenis interaksi yang terjadi pada teknik ini adalah adsorpsi. Senyawa yang teradsorpsi lebih kuat dalam fase diam tidak akan bergerak jauh dibandingkan dengan senyawa yang teradsorpsi lebih lemah. Pemisahan secara KLT memiliki kelebihan yaitu peralatan yang digunakan sederhana, waktu analisis cepat, ketajaman pemisahan yang besar, kepekaan yang tinggi serta hanya menggunakan sampel dalam jumlah sedikit (Sudjadi, 1992). Campuran yang akan dipisahkan secara KLT berupa larutan yang ditotolkan berupa bercak. Setelah pelat diletakkan di dalam bejana tertutup rapat yang berisi fase gerak yang sesuai, pemisahan komponen akan terjadi. Setelah elusi selesai, noda diamati dengan lampu UV atau pereaksi penampak noda
24
(Anwar, 2004). Noda-noda yang terbentuk diberi tanda dan karena pengaruh adsorpsi masing-masing senyawa berbeda-beda, maka hambatan pergerakan juga berbeda. Besarnya hambatan ditentukan dengan harga Retardation factor (Rf) (Gritter et al., 1991; Sudjadi, 1992). 𝑅𝑓 =
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢 𝑚𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔 − 𝑚𝑎𝑠𝑖𝑛𝑔 𝑘𝑜𝑚𝑝𝑜𝑛𝑒𝑛 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡
Kromatografi lapis tipis dapat digunakan dengan dua tujuan. Pertama, digunakan sebagai metode untuk tujuan kualitatif, kuantitatif atau preparatif. Kedua, digunakan untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi (Gritter et al., 1991). 3)
Kromatografi Kolom Kromatografi kolom adalah teknik kromatografi yang didasarkan pada
pemisahan komponen senyawa organik karena adanya perbedaan serapan masingmasing komponen zat pada fase diam. Sebagai fase diam biasanya digunakan silika atau alumina. Pada proses pemisahan ini, kolom diletakkan pada posisi vertikal dan dimasukkan glasswool untuk menyangga zat penyerap yang digunakan. Selanjutnya dimasukkan fase gerak terbaik yang diperoleh dari hasil KLT. Fase gerak dicampur dengan silika gel, diaduk hingga homogen dan menjadi bubur. Bubur ini dimasukkan ke dalam kolom sambil mengalirkan fase gerak sampai terjadi pemampatan sempurna. Senyawa yang akan dipisahkan bergerak karena adanya gaya gravitasi bumi. Zat yang akan dianalisis dimasukkan ke dalam kolom dengan pipet tetes melalui bagian atas kolom, kemudian dialiri fase gerak yang akan membawa
25
komponen-komponen turun. Komponen yang diserap lemah oleh fase diam akan keluar lebih cepat bersama fase gerak, sebaliknya komponen yang diserap kuat akan keluar lebih lambat. Komponen-komponen keluar satu per satu dan dapat ditampung pada wadah yang berbeda-beda. Komponen dianalisis dengan KLT, dan komponen yang memiliki pola noda dengan Rf yang sama dapat digabungkan dalam satu fraksi (Sastroamidjojo, 1991). 2.4 Metode Analisis Senyawa Bahan Alam Identifikasi senyawa bahan alam dapat dilakukan dengan uji fitokimia dan kromatografi gas-spektroskopi massa. 2. 4. 1 Uji fitokimia Uji fitokimia dilakukan dengan menggunakan pereaksi pendeteksi golongan pada piring tetes atau dengan teknik penyemprotan pada pelat KLT. Pengamatan pada pelat KLT dilakukan di bawah lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm atau 366 nm. Pengamatan pada piring tetes dapat dilakukan dengan melihat perubahan warna yang terjadi. Reaksi warna dapat memberikan informasi mengenai golongan senyawa berdasarkan warna yang khas yang diberikan oleh pereaksi spesifik dari senyawa tersebut. Dalam Harborne (1987) disebutkan pereaksi pendeteksi yang digunakan untuk uji fitokimia antara lain: a.
Uji senyawa alkaloid Uji kualitatif terhadap senyawa golongan alkaloid dapat dilakukan dengan
menggunakan pereaksi Mayer. Reaksi dikatakan positif apabila terbentuk endapan berwarna putih. Selain itu, dapat juga digunakan pereaksi Wagner yang akan
26
membentuk endapan berwarna coklat dan pereaksi Dragendorff yang akan membentuk endapan berwarna merah jika isolate positif mengandung alkaloid. b.
Uji senyawa flavonoid Uji kualitatif terhadap senyawa golongan flavonoid dapat dilakukan
dengan test Bate Smith-Metcalfe, yaitu uji warna dengan menggunakan HCl pekat sebagai pereaksi dengan bantuan pemanasan, jika reaksinya positif akan memberikan warna merah. Test Wilstatter merupakan pengembangan dari teknik Bate Smith, yang selain penambahan HCl juga ditambahkan logam Mg. Warna merah sampai jingga diberikan oleh senyawa flavon, warna merah tua diberikan oleh flavonol atau flavonon, warna hijau sampai biru diberikan oleh aglikon atau glikosida. Uji warna yang lain yaitu menggunakan NaOH 10% yang reaksinya positif jika terjadi perubahan warna yang spesifik. c.
Uji senyawa triterpenoid atau steroid Uji kualitatif terhadap senyawa golongan triterpenoid dapat dilakukan
dengan menggunakan pereaksi Liebermann-Buchard, dikatakan reaksi yang positif apabila terbentuk warna merah-ungu untuk triterpenoid dan warna biru hijau untuk steroid. Selain itu dapat juga digunakan pereaksi asam sulfat 10 % dalam alkohol yang akan memberikan hasil positif bila terbentuk warna ungumerah-coklat untuk triterpenoid dan warna biru-hijau bila positif steroid. d.
Uji senyawa saponin Keberadaan senyawa saponin pada sampel bahan alam dapat diketahui
dengan uji busa. Uji ini dilakukan dengan cara menambahan sedikit sampel dengan air, kemudian dipanaskan kira-kira lima menit dan dikocok kuat-kuat,
27
maka akan terbentuk busa stabil kira-kira sepuluh detik yang tidak akan hilang bila ditambahkan HCl encer. e.
Uji senyawa polifenol Senyawa fenol dapat dideteksi dengan menggunakan pereaksi besi (III)
klorida 1 % dalam air atau etanol yang menimbulkan warna hijau, merah, ungu, biru atau hitam yang kuat. 2.4.2 Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa Kromatografi gas merupakan jenis kromatografi dengan fase diam berupa cairan sedangkan fase geraknya adalah gas, sehingga sering disebut kromatografi gas-cair. Kromatografi gas bertujuan untuk analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif, kromatografi gas bertujuan untuk mengidentifikasi komponen senyawa yang terdapat dalam suatu cuplikan. Identifikasi kualitatif didasarkan pada perbandingan waktu retensi komponen yang tidak dikenal dengan waktu retensi komponen standar. Secara kuantitatif dengan membandingkan kelimpahan suatu puncak senyawa yang belum diketahui terhadap kelimpahan suatu puncak standar (Gritter et al., 1991). Pada GC-MS, alat kromatografi gas disambungkan dengan spektrometer massa
sebagai
mengidentifikasi
detektor. massa
Spektroskopi molekul
relatif
massa
dapat
digunakan
untuk
(Mr)
suatu
senyawa
dengan
membandingkan pola fragmentasi dengan pola fragmentasi senyawa standar. Dari data yang diperoleh, apabila terdapat kesamaan dapat dianggap bahwa senyawa tersebut kemungkinan sama atau mirip (Creswell, 1982).
28
2.5 Kanker Kanker adalah segolongan penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak terkendali tersebut disebabkan oleh kerusakan DNA, sehingga menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembelahan sel yang disebabkan oleh zat karsinogen (Krishna dan Hayashi, 2000). Sel-sel kanker menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan memusnahkannya (Tjay, 2002). Kanker terjadi melalui beberapa tingkat yaitu: a.
Fase inisiasi: DNA dirusak akibat radiasi atau zat karsinogen. Zat-zat inisiator ini mengganggu proses reparasi normal, sehingga terjadi mutasi DNA dengan kelainan pada kromosomnya.
b.
Fase promosi: zat karsinogen tambahan diperlukan sebagai promotor untuk mencetuskan proliferasi sel sehingga sel-sel rusak menjadi ganas.
c.
Fase progesi: gen-gen pertumbuhan yang diaktivasi oleh kerusakan DNA mengakibatkan mitosis dipercepat dan pertumbuhan liar dari sel-sel ganas. Salah satu penyakit kanker adalah kanker serviks yang merupakan salah
satu penyakit kanker yang paling banyak ditakuti kaum wanita. Menurut para ahli kanker, kanker serviks termasuk salah satu jenis kanker yang paling dapat dicegah dan disembuhkan dari semua kanker. Kanker ini terjadi pada serviks uterus, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk kearah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dengan vagina (Riono, 1999).
29
Kanker serviks disebabkan oleh infeksi Human Papiloma Virus (HPV) terutama tipe 16, 18, 31, 35, 45, 51, 52, 56 dan 58. HPV adalah virus DNA yang menimbulkan proliferasi pada permukaan epidermal dan mukosa. Faktor resiko lain dari kanker serviks diantaranya perilaku seksual, merokok, nutrisi dan perubahan sistem imun (Diananda, 2007).
2.6 Pengobatan Kanker Serviks Pengobatan kanker dapat dilakukan dengan cara pembedahan, radiasi, kemoterapi, terapi gen dan imunoterapi. a.
Pembedahan Pada kanker in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar),
seluruh kanker sering kali dapat diangkat dengan bantuan pisau bedah ataupun melalui LEEP (Loop Electrosurgical Excision Procedure) atau konisasi. Pembedahan merupakan salah satu terapi yang bersifat kuratif maupun paliatif. Kuratif adalah tindakan yang langsung menghilangkan penyebabnya sehingga manifestasi klinik yang ditimbulkan dapat dihilangkan. Sedangkan tindakan paliatif adalah tindakan yang berarti memperbaiki keadaan penderita. b.
Radioterapi (Terapi penyinaran) Radioterapi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks serta
mematikan parametrial dan nodus limpa pada pelvik. Terapi penyinaran efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih terbatas pada daerah panggul. Efek samping dari terapi penyinaran adalah iritasi rektum dan vagina, kerusakan kandung kemih, rektum dan ovarium berhenti berfungsi.
30
c.
Kemoterapi Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat
melalui infus, tablet, atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan utamanya untuk membunuh sel kanker dan menghambat perkembangannya. Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan untuk mengontrol penyakit dalam periode waktu yang lama walaupun tidak mungkin sembuh. Efek samping kemoterapi adalah terjadinya penurunan jumlah sel-sel darah (akan kembali normal sekitar seminggu kemudian), infeksi (ditandai dengan panas, sakit tenggorokan, rasa panas saat kencing, menggigil dan luka yang memerah, bengkak, dan rasa hangat), anemia, pendarahan seperti mimisan, rambut rontok, kadang ada keluhan seperti kulit yang gatal dan kering, mual dan muntah. Antikanker adalah senyawa kemoterapi yang digunakan untuk pengobatan kanker. Pertumbuhan sel kanker yang cepat dan tidak normal menyebabkan terapi kanker secara kimia ditujukan untuk menghambat pertumbuhan sel kanker. Mekanisme antikanker dapat dibedakan menjadi: 1) Antikanker yang bekerja dengan cara mempengaruhi DNA atau biosintesis protein 2) Antikanker sebagai penghambat polimerisasi dan depolimerasi pada mikrotubula 3) Antikanker sebagai penghambat enzim 4) Antikanker sebagai pengikat khas dan pengubah reseptor
31
5) Antikanker produk alami, mekanisme kerjanya dengan mengikat tubuli dan menghambat pembentukan mikrotubuli pada siklus mitosis, sehingga proses metaphase terhenti (Siswandono, 1995).
Proliferasi sel dikendalikan oleh faktor pertumbuhan yang mengikat reseptor permukaan sel yang terhubung ke molekul sinyal. Untuk mempelajari induksi dan inhibisi proliferasi sel pada beberapa model in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan proliferasi assay kit.
Salah satunya adalah MTT cell
proliferasi assay. Pengujian dengan menggunakan MTT didasarkan pada pemecahan garam tetrazolium yang berwarna kuning dan larut dalam air menjadi kristal biru keunguan (formazan) yang tidak larut dalam air.
2.7 Uji Toksisitas terhadap Larva Artemia salina Leach Uji toksisitas dengan menggunakan larva Artemia salina Leach merupakan metode skrining awal untuk menentukan sifat sitotoksik suatu ekstrak ataupun senyawa. Penggunaan larva Artemia salina Leach sebagai bioindikator pertama kali dilakukan pada tahun 1956, kemudian penggunaannya meluas untuk toksintoksin alami dan sebagai skrining umum untuk substansi bioaktif yang terdapat pada ekstrak tanaman (Meyer et al., 1982). Artemia salina Leach termasuk organisme omnivora dan bersifat non selective feeder sehingga semua bahan yang masuk ke dalam tubuhnya dianggap sebagai makanan, begitu juga dengan senyawa toksik. Mekanisme kematian Artemia salina Leach diperkirakan berhubungan dengan fungsi senyawa yang terkandung pada ekstrak yang dapat menghambat daya makan (antifeedant). Cara
32
kerja senyawa-senyawa tersebut adalah bertindak sebagai stomach poisoning atau racun perut. Oleh karena itu, bila senyawa-senyawa ini masuk ke dalam tubuh Artemia salina Leach, alat pencernaannya akan terganggu. Selain itu, senyawa ini menghambat reseptor perasa pada daerah mulut. Hal ini mengakibatkan Artemia salina Leach gagal mendapatkan stimulus rasa sehingga tidak mampu mengenali makanannya sehingga akan mati kelaparan (Rita et al., 2008). Metode pengujian dengan larva Artemia salina Leach merupakan cara yang paling efektif dan sederhana karena ketersediaan telur-telur udang yang mudah menetas, pertumbuhannya cepat dan relatif mudah pengaturan populasinya pada kondisi laboratorium. Uji ini menggunakan larva Artemia salina Leach yang telah berumur 48 jam yang diuji pada konsentrasi ekstrak 10 ppm, 100 ppm, dan 1000 ppm selama 24 jam. Dalam setiap vial konsentrasi, percobaan ini diulang sebanyak 3 kali. Data mortalitas larva selanjutnya dianalisis untuk memperoleh nilai LC50 (konsentrasi yang menyebabkan kematian 50% larva). Apabila LC50 kurang dari 1000 ppm, dikatakan mempunyai potensi sebagai antikanker (Steven, 1993 dan Meyer, 1982).
2.8 Uji in vitro terhadap Sel HeLa Kultur sel HeLa atau HeLa cell line merupakan continuous cell line yang diturunkan dari sel epitel kanker leher rahim (cervix) seorang wanita penderita kanker leher rahim bernama Henrietta Lacks yang meninggal akibat kanker pada tahun 1951 (Amalia, 2008). Sel HeLa ini cukup aman dan merupakan sel manusia yang umum digunakan untuk kepentingan kultur sel.
33
Penggunaan kultur sel untuk pengujian sitotoksik pada penentuan aktivitas antikanker didasarkan atas beberapa alasan. Diantaranya dengan menggunakan kultur sel, mekanisme toksisitas biokimia dapat dikerjakan dengan lebih efektif karena kondisi lingkungan sel mudah dikontrol. Metode in vitro sebagai alternatif pengganti uji menggunakan hewan uji mempunyai relevansi yang cukup baik untuk mendeteksi potensi suatu obat pada manusia. Wilson (2000) menyebutkan bahwa pengujian secara in vitro menggunakan kultur sel memiliki kelebihan dibandingkan secara in vivo yaitu bahan uji yang dibutuhkan lebih sedikit, murah, dan waktu pengujian relatif lebih singkat. Sel HeLa mempunyai telomerase aktif selama pembelahan sel, sehingga mencegah pemendekan telomer yang menyangkut penuaan dan kematian sel (Sharrer, 2006). Dengan demikian HeLa bersifat imortal yang tidak dapat mati karena tua dan dapat membelah secara tidak terbatas selama memenuhi kondisi dasar bagi sel untuk tetap hidup masih ada. Sel HeLa telah mengalami transformasi akibat infeksi human papilloma virus 18 (HPV 18) dan berbeda dengan sel leher rahim yang normal. Sel kanker leher rahim yang diinfeksi HPV diketahui mengekspresikan dua onkogen, yaitu E6 dan E7. Protein E6 dan E7 menghambat aktivitas tumor supresor p53 dan protein Rb (Chakrabarti O and Krishna S, 2003). Protein p53 adalah protein tumor supresor yang berperan penting pada siklus sel. P53 berfungsi sebagai faktor transkripsi gen-gen yang terlibat pada fase checkpoint siklus sel dan proses apoptosis. Scheffner et al. (1993) melaporkan pada kanker serviks, modifikasi p53 sebagian besar adalah modifikasi posttranslasional, dimana protein onkogenik E6
34
bekerjasama dengan E6AP sebagai E3 ubikuitin ligase memediasi degradasi proteosomal dari p53. Proliferasi sel yang tidak terkontrol serta penurunan apoptosis merupakan salah satu fungsi seluler yang berubah pada kanker serviks yang diakibatkan degradasi p53 (SchmittE, 2007). Protein E6 dan E7 terbukti dapat menyebabkan sifat imortal pada kultur primer keratinosit manusia, namun sel yang imortal ini tidak bersifat tumorigenik hingga suatu proses genetik terjadi. Jadi, viral onkogen tersebut tidak secara langsung menginduksi pembentukan tumor, tetapi menginduksi serangkaian proses yang pada akhirnya dapat menyebabkan sifat kanker (Sukardiman, 2006). Gambar sel HeLa dapat dilihat pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10 Sel HeLa
Sel HeLa dapat tumbuh dengan agresif dalam media kultur. Media yang digunakan adalah media DMEM (Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium. Media DMEM terdiri dari nutrisi yang dibutuhkan sel seperti asam amino, vitamin, garam-garam organik dan glukosa. Serum yang dicampurkan dalam media kultur adalah Fetal Bovine Serum sebagai protein pembawa hormon untuk menstimulasi pertumbuhan sel dan faktor yang membantu pelengketan sel dari jaringan.
35
Metode yang digunakan dalam uji in vitro umumnya melalui uji antiproliferatif kultur sel. Proliferasi merupakan kemampuan sel untuk bertahan hidup. Kemampuan proliferasi sel dapat diukur dari bertambahnya jumlah sel, meningkatnya jumlah protein atau DNA yang disintesis. Kemampuan sel untuk bertahan hidup inilah yang menjadi dasar uji antikanker (Freshney,1992). Metode kuantifikasi sel yang banyak digunakan diantaranya metode MTT. MTT (3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromide) merupakan garam tetrazolium yang berwarna kuning dan larut dalam air. Reaksi MTT merupakan reaksi reduksi seluler yang didasarkan pada pemecahan garam tetrazolium (MTT) yang berwarna kuning menjadi kristal formazan yang berwarna biru. Reaksi ini terjadi pada mitokondria sel yang hidup oleh enzim suksinat dehidrogenase. Kristal formazan yang terbentuk dapat dilarutkan dalam pelarut organik, yang kemudian dapat dibaca absorbansinya menggunakan ELISA microplates reader. Absorbansi yang dihasilkan sebanding dengan jumlah sel yang hidup. Semakin banyak sel yang hidup, semakin banyak kristal formazan yang terbentuk, semakin tinggi nilai absorbansi yang diperoleh dan mengindikasikan mortalitas yang rendah (Sukardiman, 2006).