BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Respon Kedukaan 2.1.1 Pengertian Kedukaan (Grief) Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan ketika seseorang
mengalami
suatu
kehilangan
yang
kemudian
dimanifestasikan dalam bentuk perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain sebagainya (Potter & Perry, 2005). Menurut Braker (2000), kedukaan (grief) dapat diarahkan sebagai proses kognitif dan perasaan (emosi) dalam menghadapi kehilangan sesuatu yang berharga. Seseorang yang berduka akan mengalami penderitaan fisik, psikologis, sosial dan spiritual sebagai reaksi penyesuaian diri terhadap hilangnya sesuatu yang sangat bernilai baginya. Sanders
(1998)
menambahkan
bahwa
grief
adalah
penderitaan yang emosional yang kuat dan mendalam, yang dialami seseorang akibat suatu peristiwa seperti menghadapi kematian atau kematian orang yang dicintai. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
grief
adalah proses psikologis, sosial, dan reaksi
fisik
seseorang sebagai akibat dari persepsi terhadap kehilangan. Dalam
11
penelitian
ini,
kehilangan
dimaksudkan
adalah
menghadapi
kematian. 2.1.2. Tahap Respon Kedukaan (Grief) Respon psikologis yang dialami seseorang oleh Kubler-Ross (1969) dikemukakan dalam teori yang disebut “ The Five Stages of Grief ”. Teori ini membagi respons psikologis dalam lima tahap, yaitu penyangkalan (denial), marah (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression) dan penerimaan (acceptance). Kelima tahap respons psikologis ini sering diidentikkan dengan lima tahap model duka cita yang disebabkan oleh proses kematian. Namun akhirnya berkembang tidak hanya sebatas itu, lima tahap respons psikologis ini juga bisa digunakan untuk mengidentifikasi individu pasca pemutusan hubungan kerja, adanya bencana sehingga terpaksa harus mengungsi, kehilangan anggota tubuh, hukuman, kebangkrutan, korban kejahatan atau kriminal dan keputusasaan menghadapi masalah. Sehingga teori ini berkembang lebih luas dan dapat digunakan untuk memahami reaksi pasca kejadian traumatik yang dialami oleh seseorang. Tahap respon menurut Kubler-Ross (1969) : 1. Tahap Penyangkalan (Denial) Reaksi pertama individu yang kehilangan adalah terkejut, tidak percaya, merasa terpukul dan menyangkal pernyataan bahwa 12
kehilangan itu benar-benar terjadi (Suliswati, 2005). Secara sadar maupun tidak sadar seseorang yang berada pada tahap ini menolak semua fakta, informasi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang dialaminya. Individu merasa hidupnya menjadi tidak berarti lagi. Pada saat itu dia dalam keadaan terguncang dan pengingkaran, merasa ingin mati saja. Pada tahap ini seseorang tidak mampu berpikir apa yang seharusnya dia lakukan untuk keluar dari masalahnya. Dia tidak siap untuk menerima kondisinya (Kozier, 2004). Oleh karenanya tahap pengingkaran merupakan suatu tahap yang sangat tidak nyaman dan situasi yang sangat menyakitkan (French, 1992) Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini biasanya berupa keletihan, kelemahan, pucat, mual, diare, sesak napas, detak jantung cepat, menangis, gelisah. Reaksi ini dapat berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa tahun (Suliswati, 2005). 2. Tahap Marah (Anger) Kemarahan yang dialami oleh seseorang dapat diungkapkan dengan berbagai cara. Individu mungkin menyalahkan dirinya sendiri dan atau orang lain atas apa yang terjadi padanya, serta pada lingkungan tempat dia tinggal. Pada kondisi ini individu tidak memerlukan nasihat, baginya nasihat adalah sebuah bentuk pengadilan (judgement) yang sangat membuatnya menjadi lebih terganggu. Reaksi fisik yang sering terjadi pada tahap ini antara lain 13
wajah merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur dan tangan mengepal (Suliswati, 2005) 3. Tawar-Menawar (Bargaining) Apabila
individu
telah
mampu
mengungkapkan
rasa
marahnya, maka ia maju ke tahap tawar-menawar (Suliswati, 2005). Pada tahap ini seseorang berpikir seandainya dia dapat menghindari kehilangan itu. Reaksi yang sering muncul adalah dengan mengungkapkan perasaan bersalah atau ketakutan pada dosa yang pernah dilakukan, baik itu nyata ataupun hanya imajinasinya saja (Kozier, 2004). Seringkali seseorang yang berada tahap ini berusaha tawar menawar dengan Tuhan agar merubah apa yang telah terjadi supaya tidak menimpanya. Sering juga dinyatakan dengan katakata“seandainya saya hati-hati”, “kenapa harus terjadi pada keluarga saya”. Sesungguhnya bargaining yang dilakukan seseorang tidak memberikan solusi apapun bagi permasalahan yang dia hadapi. 4. Tahap Depresi (Depression) Individu pada tahap ini mengalami disorganisasi dalam batas tertentu dan merasa bahwa mereka tidak mampu melakukan tugas yang di masa lalu dilakukan dengan sedikit kesulitan (Niven, 2002). Individu sering menunjukkan sikap menarik diri, tidak mau berbicara, takut, perasaan tidak menentu dan putus asa. Seseorang yang berada pada tahap ini setidaknya sudah mulai menerima apa yang
14
terjadi padanya adalah kenyataan yang memang harus dia hadapi. Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makan, susah tidur, letih dan libido menurun (Suliswati, 2005). 5. Tahap Penerimaan (Acceptance) Tahap
ini
berkaitan
dengan
reorganisasi
perasaan
kehilangan. Individu akan menyadari bahwa hidup mereka harus terus berlanjut dan mereka harus mencari makna baru dari keberadaan mereka. Pikiran yang selalu terpusat pada obyek atau orang yang hilang akan mulai berkurang atau menghilang. Individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya, gambaran tentang obyek atau orang yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatian dialihkan kepada obyek yang baru (Suliswati, 2005). Seseorang yang berada pada tahap ini mulai menyusun rencana yang akan dilakukan pasca kehilangan (Kozier, 2004). Tahap penerimaan ini biasanya diungkapkan dengan kalimat “apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh” atau “yaah, akhirnya saya harus dioperasi juga”.
15
2.2 Pasien saat terdiagnosa HIV positif Istilah pasien berasal dari kata kerja bahasa latin yang artinya “ menderita”, secara tradisional telah digunakan untuk menggambarkan orang yang menerima perawatan. Konotasi yang melekat pada kata itu adalah ketergantungan. Karena alasan inilah banyak perawat memilih kata pasien, yang berasal dari kata kerja bahasa latin yang artinya “bersandar” dan berkonotasi bekerja sama dan independen. Figur
sentral
dalam
pelayanan
perawatan
kesehatan
adalah pasien. Pasien yang datang ke rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan dengan masalah kesehatan juga datang sebagai individu, anggota keluarga atau anggota dari komunitas. Tergantung pada masalahnya, keadaan yang berhubungan, dan pengalaman masa lalu, kebutuhan pasien akan beragam. 2.3 HIV/AIDS 2.3.1 Pengertian HIV/AIDS AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya kekebalan tubuh. Berkurangnya kekebalan tubuh itu sendiri disebabkan virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Pada dasarnya HIV adalah jenis parasit obligate yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup. Virus ini “senang” hidup dan berkembang baik pada sel darah putih manusia. HIV akan ada pada cairan tubuh yang 16
mengandung sel darah putih, seperti darah, cairan plasenta, air mani atau cairan sperma, cairan sumsum tulang, cairan vagina, cairan susu ibu dan cairan otak. HIV menyerang salah satu jenis dari sel – sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk limfosit yang disebut “sel T-4” atau disebut pula “sel CD-4” (DepKes RI, 2007). HIV dalam bahasa inggris merupakan singkatan dari Human Imunnodeficiency Virus
dalam bahasa Indonesia berarti virus
penyebab menurunnya kekebalan tubuh manusia. HIV adalah Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. Virus HIV menyerang salah satu jenis sel darah putih yang berpungsi untuk kekebalan tubuh (Maryunani, 2009). Kecepatan reproduksi HIV diperkirakan berkaitan dengan status kesehatan orang yang terjangkit infeksi tersebut. Jika orang tersebut tidak sedang berperan melawan infeksi yang lain, refroduksi HIV berjalan dengan lambat, namun reproduksi HIV tampaknya akan dipercepat kalau penderitanya sedang menghadapi infeksi lain atau kalau sistem imunnya terstimulasi keadaan ini dapat menjelaskan periode laten yang diperlihatkan sebagian penderita sudah terinfeksi HIV. Sebagai contoh, seorang pasien mungkin bebas dari gejala selama sepuluh tahun, meskipun demikian sebagian besar orang yang terinfeksi HIV (sampai 65%) tetap menderita penyakit HIV atau
17
AIDS yang simtomatik dalam waktu 10 tahun sesudah orang tersebut terinfeksi (Smaltzer & Bare, 2001). Perjalanan klinis pada pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS, sejalan dengan penurunaan sederajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler dan menunjukkan gambaran penyakit yang kronis. Penurunan imunitas biasanya diikuti adanya peningkatan resiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan (Depkes RI, 2003). Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang menjadi AIDS pada tiga tahun pertama, 50% menjadi AIDS sesudah sepuluh tahun, dan hampir 100% pasien HIV menunjukkan gejala AIDS setelah 13 tahun. Dalam tubuh ODHA, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga orang yang terinfeksi HIV seumur hidup akan bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga orang yang yeng terinfeksi HIV seumur hidup akan tetap terinfeksi, sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas seperti demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk pada 3-6 minggu setelah infeksi kondisi ini dikenal dengan dengan infeksi primer. Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu dimana HIV pertama kali masuk kedalam tubuh. Fase awal proses infeksi (imunokompeten) akan terjadi respon imun berupa penigkatan aktivitas imun, yaitu pada tingkat seluler (HLA-DR; sel T; IL-2R) serum atau humoral (beta-2 18
mikroglobulin, neopterin, CD8, IL-R dan antibodi upregulation (gp 120, anti p24; IgA). Selama infeksi primer jumlah limpisit CD4+ dalam darah menurun dengan cepat. Target virus ini adalah limposit CD4+ pada nodus limpa dan thymus selama waktu tersebut yang membuat individu yang terinfeksi HIV akan mungkin terkena infeksi oportunistik dan membatasi kemampuan thymus untuk memproduksi limposit T. Tes antibodi HIV menggunakan enzyme linked imunoabsorbent assay (ELISA) yang menunjukkan hasil positif. Setelah
infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa
gejala) ini berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok orang yang perjalanan penyakitnya sangat cepat, hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya sangat lambat (Nursalam, 2009). Berikut ini tabel perjalanan virus HIV : 3 bulan
10 – 15 tahun
1 – 2 tahun
Terinfeksi HIV
HIV Positif
AIDS
Tanpa gejala
- Gejala ringan
- Infeksi oportunistik
- Belum perlu ke RS
- Perlu ke RS
19
2.3.2 Diagnosa HIV/AIDS Menurut Barakbah et al (2007) karena banyak negara berkembang, yang belum memiliki fasilitas pemeriksaan serologi maupun antigen HIV yang memadai, maka WHO menetapkan kriteria diagnosis AIDS sebagai berikut: Dewasa Definisi kasus AIDS dicurigai bila paling sedikit mempunyai 2 gejala mayor dan 1 gejala minor dan tidak terdapat sebab-sebab penekanan sistem imun lain yang diketahui, seperti kanker, malnutrisis berat atau sebab-sebab lainnya. 1. Gejala Mayor a. Penurunan berat badan > 10% berat badan per bulan b. Diare kronis lebih dari 1 bulan c. Demam lebih dari 1 bulan 2. Gejala Minor a. Batuk selama lebih dari 1 bulan b. Pruritus dermatitis menyeluruh c. Infeksi umum yang rekuren, misalnya herpes zoster d. Kandidiasis orofaringeal e. Infeksi herpes simpleks kronis progresif atau yang meluas f.
Limfadenopati generalisata
20
Adanya
Sarkoma
Kaposi
meluas
atau
meningitis
cryptococcal sudah cukup untuk menegakkan AIDS. Anak Definisi kasus AIDS terpenuhi bila ada sedikitnya 2 tanda mayor dan 2 tanda minor dan tidak terdapat sebab-sebab penekanan imun yang lain yang diketahui, seperti kanker, malnutrisi berat atau sebab-sebab lain. 1. Gejala Mayor a. Berat badan turun atau pertumbuhan lambat yang abnormal b. Diare kronis lebih dari 1 bulan c. Demam lebih dari 1 bulan 2. Gejala Minor a. Limfadenopati generalisata b. Kandidiasis orofaringeal c. Infeksi umum yang rekuren d. Batuk-batuk selama lebih dari 1 bulan e. Ruam kulit yang menyeluruh Konfirmasi infeksi HIV pada ibunya dihitung sebagai kriteria minor.
21
Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan diagnosis dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain (cerebrospinal fluid) penderita. 1. ELISA (enzyme linked immunosorbent assay) ELISA digunakan untuk menemukan antibodi (Baratawidjaja). Kelebihan teknik ELISA yaitu sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %100% (Kresno). Biasanya memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Tes ELISA telah menggunakan antigen recombinan, yang sangat spesifik terhadap envelope dan core (Hanum, 2009). 2. Western Blot Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari suatu protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain. Biasanya protein HIV yang digunakan dalam campuran adalah jenis antigen yang mempunyai makna klinik, seperti gp120 dan gp41 (Kresno, 2001). Western blot
mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6% -
100%. Namun pemeriksaan cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24 jam (Hanum, 2009). 3. PCR (Polymerase Chain Reaction) Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat zat antibodi maternal masih ada pada bayi dan menghambat pemeriksaan secara serologis maupun status infeksi individu yang 22
seronegatif pada kelompok risiko tinggi dansebagai tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab sensitivitas ELISA rendah untuk HIV-2 (Kresno, 2001). Pemeriksaan
CD4
dilakukan
imunophenotyping yaitu dengan
dengan
flow cytometry dan
melakukan cell sorter.
Prinsip flowcytometry dan cell sorting (fluorescence activated cell sorter, FAST) adalah menggabungkan kemampuan alat untuk mengidentifasi
karakteristik
permukaan
setiap
sel
dengan
kemampuan memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu suspensi menurut karakteristik masing-masing secara otomatis melalui suatu celah, yang ditembus oleh seberkas sinar laser. Setiap sel yang melewati berkas sinar laser menimbulkan sinyal elektronik yang dicatat oleh instrumen sebagai karakteristik sel bersangkutan. Setiap karakteristik molekul pada permukaan sel manapun yang terdapat di dalam sel dapat diidentifikasi dengan menggunakan satu atau lebih probe yang sesuai. Dengan demikian, alat itu dapat mengidentifikasi setiap jenis dan aktivitas sel dan menghitung jumlah masing-masing dalam suatu populasi campuran (Kresno, 2001). Menurut Kresno (2001) aplikasi FACS banyak sekali, diantaranya adalah: a.
Analisis
dan
pemisahan
subpopulasi
limfosit
dengan
menggunakan antibodi monoklonal terhadap antigen permukaan (CD) yang dilabel dengan zat warna fluorokrom. 23
b.
Pemisahan
limfosit
yang
memproduksi
berbagai
kelas
imunoglobulin dengan menggunakan antibodi monoklonal terhadap kelas dan subkelas Ig spesifik dan tipe L-chain. c. Memisahkan sel hidup dari sel mati. d. Analisis kinetik atau siklus sel dan kandungan DNA atau RNA. e. Analisis fungsi atau aktivasi sel dengan mengukur produk yang disintesis oleh sel setelah distimulasi. Selain uji fungsi limfosit, uji fungsi fagositosis juga dapat dilakukan dengan menggunakan flowcytometry. 2.3.3 Cara Penularan HIV/AIDS Virus HIV menular melalui enam cara penularan, yaitu : a. Hubungan seksual dengan mengidap HIV/AIDS Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tampa perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput lender vagina, penis, dubur, atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut masuk kealiran darah. Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual (Syaiful, 2000).
24
b. Ibu dan bayinya Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0.01% sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai 50%. Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui transfusi fotomaternal atau kontak antara kulit dan memberan mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan, semakin lama proses melahirkan, semakin besar risiko penularan. Oleh karena itu, lama persalinan bisa dipersingkatan dengan operasi
section caesaria.
Transmisi lain terjadi selam periode post partum melalui ASI. Resiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10% (Lily V, 2004). Di negara-negara industri, transmisi HIV dari ibu ke janin sebesar kira-kira 15 sampai 25%. Hal ini tergantung pada status viremia ibu. Ada berbagai kemungkinan transmisi, tetapi infeksi transplasenta dengan HIV selama atau segera sebelum kelahiran tampaknya menjadi yang paling sering. Infeksi sering juga terjadi selama berjalannya anak melalui jalan lahir ibu (HIV dalam lendir leher rahim) Patterson BK, et al (2000).
25
c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS Sangat cepat menularnya HIV karena Virus langsung ke pembuluh darah dan menyebar keseluruh tubuh. d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, dan alat-alat lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bisa menularkan HIV. e. Alat-alat untuk menoreh kulit Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang membuatato, dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu. f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian. Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh para penguna narkoba (injecting Drug UserIDU) sangat berpotensi menular HIV. Selain jarum suntik, pada para pemakai IDU secara bersama-sama juga menggunakan tempat penyampuran, pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan HIV (Nursalam, 2009).
26