BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Diabetes Melitus (DM)
2.1.1. Pengertian DM DM merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah (hiperglikemia) serta gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh ketidakmampuan produksi insulin dan kerja insulin yang tidak optimal (WHO, 2014). Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (Perkeni, 2011). Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa DM merupakan suatu kelainan metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia dan terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua duanya. 2.1.2. Klasifikasi dan Etiologi DM Klasifikasi dan Etiologi DM menurut Perkeni (2011) dapat dibagi menjadi 4 yaitu:
9
10
a. DM tipe 1 Menurut Gibney (2008), DM tipe 1 ditandai dengan penurunan kadar insulin yang disebabkan oleh destruksi sel beta dan umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut. Pasien DM tipe 1 memerlukan insulin untuk tetap bertahan hidup dan tanpa adanya insulin dari luar, pasien DM tipe 1 akan mengalami ketoasidosis, koma dan kematian. b. DM tipe 2 DM tipe 2 terjadi ketika tubuh masih menghasilkan insulin tetapi tidak cukup dalam pemenuhannya atau insulin yang dihasilkan mengalami resistensi sehingga insulin tidak dapat bekerja secara optimal (Sutjahjo dkk, 2006). Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya DM tipe 2 meliputi faktor genetik, usia, obesitas dan kurangnya aktivitas fisik (Gibney, 2008). c. DM tipe lain DM tipe lain disebabkan oleh adanya defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, obat atau zat kimia, infeksi, dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM (Perkeni, 2011). d. DM gestasional Menurut Wilson (2005), DM gestasional dikenali pertama kali selama kehamilan dan mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor resiko
11
yang dapat menyebabkan DM gestasional adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga dan riwayat diabetes gestasional terdahulu. 2.1.3. Manifestasi Klinis DM Manifestasi klinis DM menurut Baradero, dkk (2005) dibagi menjadi 2 yaitu gejala awal dan gejala akhir. Gejala awal DM ditandai dengan poliuri (banyak kencing), polydipsia (banyak minum), polifagia (banyak makan), penglihatan kabur, kelelahan dan berat badan menurun. Sedangkan gejala akhir dari DM yaitu koma dan komplikasi kronis. Selain gejala tersebut DM juga menyebabkan pusing, keringat dingin dan tidak bisa berkonsentrasi akibat dari menurunnya kadar gula darah (Tobing, Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008). Pasien DM cenderung datang ke tenaga kesehatan setelah adanya keluhan pada beberapa organ tubuh yaitu gangguan penglihatan (katarak), kelainan pada kulit, kesemutan (rasa baal), kelemahan tubuh, luka yang tidak sembuh-sembuh dan infeksi saluran kemih (Misnadiarly, 2006). 2.1.4. Patofisiologi DM DM merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh peningkatan glukosa dalam darah atau hiperglikemi (Smeltzer & Bare, 2004). DM tipe 2 terjadi karena terdapat masalah yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin (Smeltzer & Bare, 2004). Selain kelaian pada insulin terdapat faktor resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe 2 yaitu pola makan, obesitas, faktor genetik dan bahan-bahan kimia dan obat-obatan (Wijayakusuma, 2005).
12
Pola makan yang tidak normal dapat menyebabkan terjadinya DM (Tobing, Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008). Menurut Wijayakusuma (2005), makan yang berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang dibutuhkan oleh tubuh dapat memicu timbulnya DM karena jumlah atau kadar insulin oleh sel β pankreas mempunyai kapasitas maksimum untuk disekresikan. Oleh karena itu, mengkonsumsi makanan secara berlebihan dan tidak diimbangi oleh sekresi insulin dalam jumlah memadai dapat menyebabkan kadar gula dalam darah meningkat dan menyebabkan DM. Selain pola makan obesitas memiliki hubungan yang erat dengan terjadinya DM tipe 2 (Dinkes Jogja, 2012). Pada orang yang mengalami obesitas, akan terjadi kelebihan kalori akibat dari makan yang berlebih dan akan menimbulkan penimbunan lemak di jaringan kulit (Dinkes Jogja, 2012). Resistensi insulin akan timbul pada daerah yang mengalami penimbunan lemak sehingga akan terjadi penurunan fungsi sel β di pankreas dan menurunnya sensifitas jaringan atau sel terhadap insulin (Tobing, Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008) serta dapat menghambat kerja insulin dijaringan tubuh dan otot yang menyebabkan glukosa tidak dapat dibawa ke dalam sel dan akan menimbun di dalam pembuluh darah (Dinkes Jogja, 2012). Penimbunan glukosa dalam pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya DM (Dinkes Jogja, 2012). Faktor keturunan juga merupakan penyebab terjadi DM dimana seseorang yang memiliki resiko tinggi untuk terserang DM jika salah satu atau kedua orangtuanya mengalami penyakit DM (Tobing, Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008). Bahan kimia dan obat-obatan dapat mengiritasi pankreas yang
13
menyebabkan terjadinya peradangan pada pankreas sehingga pankreas tidak berfungsi secara optimal dalam mensekresikan hormon yang diperlukan untuk metabolisme dalam tubuh, termasuk hormon insulin (Wijayakusuma, 2005). Menurut Smeltzer & Bare (2004), pada DM tipe 2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel yang menyebabkan terjadinya suatu rangkaian reaksi metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin merupakan keadaan berkurangnya kemampuan jaringan perifer untuk berespon terhadap hormon insulin (Mitchell, Kumar, Abbas, Fausto, 2008). Resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intrasel yang menyebabkan penurunan ambilan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin (Michael, 2005). Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan (Smeltzer & Bare, 2004). Pada penderita toleransi terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat dan apabila sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi DM tipe 2 (Smeltzer & Bare, 2004). Pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat (Price&Wilson,2005). Tingginya kadar gula dalam darah yang dikeluarkan lewat
14
ginjal selalu diiringi oleh cairan tubuh sehingga buang air kecil akan menjadi lebih banyak atau lebih sering (polyuria) dan banyaknya urine yang keluar menyebabkan cairan tubuh berkurang sehingga timbul rasa haus (polydipsia) (Tobing, Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008). Glukosa yang hilang bersama urine akan menyebabkan pasien mengalami ketidakseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang sehingga mengakibatkan rasa lapar yang semakin besar (polifagia) yang mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori (Price & Wilson, 2005). Rasa lelah, pusing, keringat dingin dan tidak bisa berkonsentrasi disebabkan karena terjadinya penurunan kadar glukosa darah (Tobing, Alting, Krisnatuti, Mahendra, 2008). 2.1.5. Diagnosis DM Berbagai keluhan dapat ditemukan pada diabetisi dan kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti (Perkeni,2011) : a. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita Diagnosis DM dapat ditegakkan dengan cara: a. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir (Gibney, 2008).
15
b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L) dengan adanya keluhan klasik (Gibney, 2008). c. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air (WHO, 2006). 2.1.6. Penatalaksanaan DM Menurut Perkeni (2011) tujuan dari dari penatalaksanaan DM yaitu untuk menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah, serta untuk mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir dari penatalaksanaan DM yaitu untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas DM. The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan DM (Haeria, 2009) yaitu : a. Kadar Glukosa Darah Puasa 80–120mg/dl b. Kadar Glukosa Plasma Puasa 90–130mg/dl c. Kadar Glukosa Darah Saat Tidur (Bedtime blood glucose) 100–140mg/dl d. Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur (Bedtime plasma glucose) 110150mg/dl e. Kadar Insulin <7 %
16
f. Kadar HbA1c <7mg/dl g. Kadar Kolesterol HDL >45mg/dl (pria) dan >55mg/dl (wanita) h. Kadar Trigliserida <200mg/dl i. Tekanan Darah <130/80mmHg Menurut PERKENI (2011) terdapat empat pilar dalam penatalaksanaan DM yaitu: a. Edukasi DM tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan (Perkeni, 2011). Edukasi DM merupakan pendidikan dan latihan mengenai pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan DM yang diberikan kepada setiap pasien DM, keluarga, kelompok masyarakat beresiko tinggi dan pihak perencana kebijakan (Publichealth, 2013). Edukasi pada pasien DM sebaiknya dilakukan oleh semua pihak yang terkait dalam pengelolaan DM seperti dokter, perawat dan ahli gizi (Ambarwati, 2012). Pemberdayaan diabetisi memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat agar pengelolaan DM secara mandiri dapat berhasil (Misnadiarly, 2006). Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat dan untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif
dan
upaya
peningkatan
motivasi
(Perkeni,
2011).
Pengetahuan tentang penyakit DM, pemantauan glukosa darah mandiri, penyulit DM, intervensi farmakologis dan non farmakologis, hipoglikemia
17
dan perawatan kaki pada DM harus diberikan kepada pasien (Misnadiarly, 2006). Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus (Perkeni, 2011). b. Terapi gizi medis (diet) Diet dan pengendalian berat badan merupakan pinsip dasar dalam penatalaksanaan DM yang diarahkan untuk mencapai tujuan sebagai berikut (Smelter & Bare, 2004; Amalsier, 2006) : 1. Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin dan mineral). 2. Mencapai dan mepertahankan berat badan yang sesuai. 3. Memenuhi kebutuhan energi. 4. Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui caracara yang aman dan praktis. 5. Menurunkan kadar lemak darah. 6. Menghindari
dan
menangani
komplikasi
akut
pasien
yang
menggunakan insulin seperti hipoglikemia. 7. Meningkatkan derajat kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal. Menurut Perkeni (2011), prinsip pengaturan makan pada diabetisi hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang
18
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada diabetisi perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jumlah makanan, jenis, dan jadwal makan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. 1. Jumlah makanan Syarat kebutuhan kalori untuk penderita DM harus sesuai untuk mencapai kadar glukosa normal dan mempertahankan berat badan normal (Almatsier, 2006). Jumlah kalori yang diberikan harus sesuai, jangan sampai dikurangi atau ditambah (Widharto, 2007). Sebelum menghitung kebutuhan kalori pasien, terlebih dahulu harus mengetahui berat badan ideal dan status gizi pasien. Cara menetapkan berat badan ideal yang sederhana dengan menggunakan rumor Brocca, yaitu: Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm-100) x 1kg (Almatsier, 2006). Bagi laki-laki dengan tinggi badan dibawah 160cm dan perempuan dibawah 150cm, rumus dimodifikasi menjadi: berat badan ideal= (TB dalam cm – 100) x 1kg (Yunir dan Suharko, 2006). Cara lain untuk menilai berat badan ideal adalah dengan mengguankan Indeks Massa Tubuh (IMT) rumus berikut (Paran, 2008):
19
Berat Badan (Kg) IMT = --------------------------------------------------Tinggi Badan (m)x Tinggi Badan (m)
Tabel 2.1. Kategori Hasil Penghitungan IMT
Kategori
IMT
Kekurangan berat badan tingkat berat
<17,0
Kekurangan berat badan tingkat ringan
17,0-18,5
Normal
‘
>18,5-25,0
Gemuk
Kelebihan berat badan tingkat ringan
25,1-27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat.
>27,0
Kurus
Sumber: Ambarwati, 2012; Almatsier, 2006
Cara untuk mengetahui status gizi pasien yaitu dengan perhitungan menggunakan rumus Brocca: BB Aktual Status gizi = ------------------- x 100% BB ideal
Tabel 2.2. Kategori Status Gizi Berdasarkan Rumus Brocca
Klasifikasi
Cut off
Berat badan kurang
BB aktual <90% BB ideal
Berat badan normal
BB aktual= 90-110% BB ideal
Berat badan lebih
BB aktual= 110-120% BB ideal
Gemuk
BB aktual >120 BB idel
Sumber: Yunir dan Suharko, 2006
20
Setelah mengetahui berat badan ideal dan status gizi pasien, ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan pasien DM diantaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal (25-30 kalori/kg BB ideal untuk perempuan dan untuk laki-laki sebesar 30 kal/kg berat badan ideal) kemudian ditambah atau dikurangi beberapa faktor koreksi. Faktor-faktor koreksi yang menentukan kebutuhan kalori antara lain (Perkeni, 2011). a) Jenis Kelamin Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB (Perkeni, 2011). b) Usia Kebutuhan kalori untuk pasien usia di atas 40 tahun (40-59 tahun) dikurangi 5%, usia 60-69 tahun dikurangi 10% dan diatas usia 70 tahun dikurangi 20% (Perkeni, 2011). c) Aktivitas Fisik atau Pekerjaan Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik yang dilakukan oleh diabetes. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan (mengendarai mobil, memancing, kerja lab,
21
kerja sekretaris dan mengajar), 30% dengan aktivitas sedang (kerja rumah tangga, bersepeda, bowling, jalan cepat dan berkebun), 40% dengan aktivitas berat (aerobik, bersepeda, memanjat, menari dan lari) dan 50% dengan aktivitas sangat berat (tukang becak, tukang gali dan pandai besi) (Waspadji, 2007; Perkeni, 2011). d) Berat Badan Diabetesi dengan berat badan berlebih atau kurang, dikurangi atau ditambah sekitar 20-30% tergantung kepada berat badan pasien (Perkeni, 2011). Apabila berat badan kurang ditambah 20%, berat badan lebih dikurangi 10% dan berat badan gemuk dikurangi 20% (Sudetjo, 2010). Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria (Perkeni, 2011).
Tabel 2.3. Standar Pengaturan Jumlah Makanan Dalam Sehari Diet DM Jenis diet Standar Kepatuhan at Gizi DM Energi 90Karbohidrat: Gula Murni: (kalori) 110% (kalori) 45-65% (gram) <5% (gram) 1100 990-1210 124-179 < 14 1300 1170-1430 146-211 < 16 1500 1350-1650 169-244 < 19 1700 1530-1870 191-276 < 21 1900 1710-2090 214-309 < 24 2100 1890-2310 236-341 < 26 2300 2070-2530 256-374 < 29 2500 2250-2750 281-406 < 31 Sumber : Almatsier, 2006
Lemak jenuh: <7% (gram) < 8,5 < 10,1 < 11,7 < 13,2 < 14,8 < 16,3 < 17,9 < 19,4
22
Jumlah makanan yang dianjurkan untuk pasien DM (Perkeni, 2011): a) Karbohidrat yang dianjurkan pada diabetisi sebesar 45-65% total asupan energi dan pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan. Makanan yang diberikan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi. Selain itu, penggunaan sukrosa (gula murni) tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi. b) Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi (Misnadiarly, 2006). Lemak jenuh <7% kebutuhan kalori, lemak tidak jenuh ganda <10% dan selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal (Reloith, Taylor, Olefsky, 2004). Asupan kolesterol makanan dibatasi yaitu ≤300 mg/hari (Almatsier, 2006). c) Jumlah protein yang dibutuhkan sebesar 10–20% total asupan energi (Reloith, Taylor, Olefsky, 2004).
Pada pasien dengan nefropati
perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi (Perkeni, 2011). d) Asupan natrium untuk diabetisi sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur. Klien dengan hipertensi diajurkan untuk pembatasan natrium sampai 2400 mg.
23
e) Asupan serat untuk diabetisi yang dianjurkan adalah 20-35 g/hari, sama seperti populasi pada umumnya (Reloith, Taylor, Olefsky, 2004). f)
Penggunaan gula murni dalam minuman dan makanan tidak diperbolehkan kecuali jumlahnya sedikit sebagai bumbu. Bila kadar glukosa darah sudah terkendali, diperbolehkan mengkonsumsi gula murni sampai 5% dari kebutuhan energi total (Almatsier, 2006).
2. Jenis makanan Pada diabetisi terdapat beberapa jenis makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan atau dibatasi, yaitu : a) Jenis bahan makanan yang dianjurkan untuk diabetisi adalah (Almatsier, 2006) : Sumber karbohidrat kompleks seperti nasi, roti, mie, kentang, singkong, ubi dan sagu. Sumber protein rendah lemak seperti ikan, ayam tanpa kulit, susu skim, tempe, tahu dan kacang-kacangan. Sumber lemak dalam jumlah terbatas yaitu bentuk makanan yang mudah dicerna dan mudah diolah dengan cara dipanggang, dikukus, disetup, direbus dan dibakar. Penggunaan gula murni diperbolehkan hanya sebatas sebagai bumbu (Waspadji et al, 2010).
24
b) Jenis bahan makanan yang tidak dianjurkan atau dibatasi untuk penyandang DM adalah (Dewi, 2009) : Sumber karbohidrat sederhana seperti gula pasir, gula jawa, gula batu, madu, sirup, cake, permen, minuman ringan, selai dan lain-lain. Sayuran dengan kandungan karbohidrat tinggi seperti buncis, kacang panjang, wortel, kacang kapri, daun singkong, bit dan bayam harus dibatasi tidak boleh dalam jumlah banyak (Waspadji et al, 2010). Buah-buahan berkalori tinggi seperti nanas, angur, manga, sirsak, pisang, alpukat dan sawo sebaiknya dibatasi (Waspadji et al, 2010). Mengandung asam lemak jenuh seperti mentega, santan, kelapa, keju, krim, minyak kelapa dan minyak kelapa sawit. Mengandung lemak trans seperti margarin. Mengandung banyak natrium seperti ikan asin, telur asin dan makanan yang diawetkan. Makanan megandung kolesterol tinggi seperti kuning telur, jeroan, lemak daging, otak, durian dan susu fullcream.
25
3. Jadwal makan Diabetisi hendaknya mengkonsumsi makanan dengan jadwal waktu yang tetap sehingga reaksi insulin selalu selaras dengan datangnya makanan dalam tubuh (Nurjanah & Jualianti, 2006). Jadwal makan pada diabetisi dibagi ke dalam 3 porsi besar, yaitu makan pagi (20%), makan siang (30%), makan malam (25%), dan 2-3 porsi kecil untuk makanan selingan (masing-masing 10-15%) dengan interval waktu 3 jam (Rusilanti, 2008). Tabel 2.4. Jadwal Makan Pasien DM tipe 2 Jadwal Makan 1.
Jenis Makanan
Makan pagi jam 06.00-08.00
Makanan utama yang terdiri dari : Makanan pokok (nasi) Lauk pauk Sayuran
2.
Selingan I jam 10.00-11.00
Selingan
3.
Makan siang jam 12.00-13.00
Makanan utama
4.
Selingan II jam 16.00-17.00
Selingan
5.
Makan malam jam 18.0019.00
Makanan utama
6.
Selingan III jam 21.00-22.00
Selingan
Sumber: Depkes RI, 2011
c. Latihan jasmani Latihan
jasmani
merupakan
salah satu
cara
pengelolaan
dalam
mengendalikan gula darah pada penyakit DM (Tobing dkk, 2008). Saat
26
melakukan latihan jasmani, akan terjadi peningkatan pemakaian glukosa oleh otot yang aktif sehingga secara langsung dapat menurunkan kadar glukosa darah (Indriyani, Supriyno dan Santoso, 2007) dan latihan jasmani dapat mempermudah transport glukosa ke dalam sel-sel dan meningkatkan kepekaan terhadap insulin (Price & Wilson, 2005). Latihan jasmani yang dilakukan oleh diabetisi harus teratur 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit) dan kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga dan berkebun harus tetap dilakukan (Perkeni, 2011). Latihan jasmani yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training) (Depkes, 2005). Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan diabetisi berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, berenang dan sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. (Perkeni, 2011) d. Intervensi farmakologis Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat) (Perkeni, 2011). Terapi farmakologis diberikan dalam bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi insulin atau kombinasi keduanya (Depkes, 2005). 1. Terapi obat hipoglikemik oral (OHO)
27
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien DM Tipe 2 dan keberhasilan terapi DM ditentukan dengan pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat. Pemilihan dan penentuan
obat
hipoglikemik
yang
digunakan
harus
mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakitpenyakit lain dan komplikasi yang ada. (Depkes, 2005) Berdasarkan cara kerjanya, obat hipoglikemik oral dibagi menjadi 5 golongan (Perkeni, 2011) : a) Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid b) Peningkat
sensitivitas
terhadap
insulin:
metformin
dan
tiazolidindion c) Penghambat glukoneogenesis (metformin) d) Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa. e) DPP-IV inhibitor 2. Terapi insulin Terapi insulin dibutuhkan oleh diabetesi karena ketidakmampuan tubuh menyekresikan insulin cukup untuk mempertahankan glokosa darah (Price & Wilson, 2005). Indikasi penggunaan insulin yaitu pada keadaan penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non
28
ketotik dan hiperglikemia dengan asidosis laktat. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal, stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke), DM gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat dan kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO juga merupakan indikasi penggunaan insulin. Insulin berdasarkan waktu yang digunakan untuk mencapai efek penurunan glukosa yang maksimal dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu insulin dengan masa kerja pendek, insulin dengan masa kerja sedang dan insulin dengan masa kerja panjang (Smeltzer dan Bare, 2005). 3. Terapi kombinasi Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa OHO atau OHO dengan insulin (Depkes, 2005). Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah (Perkeni, 2011). Kombinasi yang umum adalah antara golongan sulfonilurea dengan biguanida. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk senyawa biguanida bekerja efektif. Kedua golongan obat hipoglikemik oral ini memiliki efek terhadap sensitivitas reseptor insulin, sehingga
29
kombinasi keduanya mempunyai efek saling menunjang (Depkes, 2005). Menurut Perkeni (2011) untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 610 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin. 2.1.7. Komplikasi DM Komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori mayor yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikasi kronik jangka panjang (Price & Wilson, 2005). Komplikasi metabolik akut terdiri dari : a. Ketoasidosis diabetika (KDA) Ketoasidosis Diabetik merupakan komplikasi yang ditandai dengan perburukan semua gejala diabetes yang terjadi setelah stress fisik seperti kehamilan atau penyakit akut dan trauma (Corwin, 2008). Ketoasidosis metabolik disebabkan karena kadar insulin yang sangat rendah yang
30
menyebabkan
pasien
mengalami
hiperglikemia,
glukosuria
berat,
peningkatan lipolysis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas yang disertai pembentukan benda keton (Price & Wilson, 2005). Peningkatan produksi keton dapat mengakibatkan ketosis dan meningkatkan beban ion hydrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilagan elektrolit (Price & Wilson, 2005). Pasien dapat mengalami hipotensi dan mengalami syok yang akhirnya mengakibatkan penurunan penggonaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan meninggal (Price & Wilson, 2005). b. Hiperglikemia, hyperosmolar, koma nonketotik (HHNK) HHNK merupakan komplikasi akut yang dijumpai pada diabetisi tipe 2 dan merupakan petunjuk perburukan drastis penyakit (Corwin, 2009). Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul
tanpa
ketosis
(Price
&
Wilson,
2005).
Hiperglikemia
menyebabkan hiperosmolaritas, diuresis osmotik dan dehidrasi berat sehingga pasien menjadi tidak sadar dan meninggal apabila tidak tertangani dengan cepat (Price & Wilson, 2005). c. Hipoglikemia Menurut Price & Wilson (2005), hipoglikemia merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada DM terutama komplikasi terapi insulin. Gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat,
31
gemetar, sakit kepala dan palpitasi) dan kekurangan glukosa pada otak (tingkah laku aneh, sensorium yang tumpul dan koma). Hipoglikemia apabila sering terjadi atau terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen bahkan kematian. Komplikasi vascular jangka panjang terdiri dari: a. Mikroangiopati Mikroangiopati merupakan lesi spesifik DM yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomelurus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot serta kulit (Price & Wilson, 2005). 1. Retinopati diabetic Retinopati diabetik disebabkan oleh memburuknya kondisi mikro sirkulasi sehingga terjadi kebocoran pada pembuluh darah retina dan merupakan saah satu penyebab kebutaan (Tobing dkk, 2008). Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma dari arteriola retina yang mengakibatkan perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut retina yang akhirnya menyebabkan kebutaan (Price & Wilson, 2005).
32
2. Neuropati diabetik Menurut Tobing dkk (2008), neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi DM yang mengacu pada saraf sensorik yang menimbulkan rasa sakit kesemutan, serta mati rasa pada kaki dan tangan. DM juga dapat mengganggu fungsi saraf otonom yang mempengaruhi fungsi organ seperti organ pencernaan (sakit maag, mual, kembung, konstipasi dan diare), keluhan pada jantung (berdebar-debar dan sesak nafas), gangguan pada sistem urinari (inkontinensia urin dan infeksi kandung kemih), gangguan pada aktivitas seksual serta ganggua psikologis. 3. Nefropati diabetik Manifestasi dini dari nefropati diabetik berupa proteuria dan hipertensi. Fungsi nefron yang hilang secara terus-menerus akan menyebabkan pasien menderita insufisiensi ginjal dan uremia (Price & Wilson, 2005). b. Makroangiopati. Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologi berupa arterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufisiensi insulin merupakan penyebab dari makroangiopati diabetik. Gangguan- gangguan ini berupa penimbunan sorbitol dalam intima vaskular, hiperlipoproteinemia dan kelainan pembekuan darah yang pada
33
akhirnya makroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan vaskular (Price dan Wilson, 2005).
2.2.
Kepatuhan Penatalaksanaan Diet DM
2.2.1. Pengertian kepatuhan Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat medis atau kesehatan dan menggambarkan penggunaan obat sesuai dengan petunjuk pada resep serta mencangkup penggunaannya pada waktu yang benar (Siregar, 2006). Kepatuhan telah didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku pasien secara sukarela, berhubungan dengan rekomendasi klinis dari penyedia pelayanan kesehatan dan menunjukan bahwa pasien mandiri dan berperan aktif dalam menetapkan tujuan untuk menjalani perawatan kesehatan mereka (Saborit & Theofiliu, 2012). Menurut Stanley (2007) kepatuhan merupakan tingkat perilaku pasien yang tertuju terhadap instruksi atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi yang sudah ditentukan baik diet, latihan, pengobatan maupun kontrol dengan tenaga kesehatan. Pada DM tipe 2, diet merupakan salah satu pilar yang penting dalam penatalaksanaan DM yang meliputi jenis makan, jadwal makan dan jumlah makan (Perkeni, 2011). Jadi dapat disimpulkan bahwa kepatuhan diet DM merupakan sejauh mana perilaku individu secara sukarela untuk
34
mengikuti diet yang telah dianjurkan sesuai dengan jenis, jumlah dan jadwal makan. 2.2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Pola makan diabetisi sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari dalam diri pasien maupun dari luar diri pasien (Knienfild, 2006). Berikut faktorfaktor yang memengaruhi kepatuhan : a. Faktor internal 1. Pendidikan dan pengetahuan Menurut Winkleby et al (1992) dalam Lestari (2012) menyebutkan bahwa pendidikan tinggi akan mempunyai kesempatan untuk berperilaku baik. Orang yang berpendidikan tinggi lebih mudah untuk memahami perilaku diet dibandingkan dengan orang yang tingkat pendidikannya
rendah
(Ouyang,
2007).
Notoatmodjo
(2007)
menyatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku hidup sehat. Pengetahuan merupakan hasil pengindraan manusia atau hasil tau seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya dan perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasai oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2010). Kepatuhan diabetisi dalam pelaksanaan diet DM secara tidak langsung dipengaruhi oleh hasil tahu pasien DM yang didapatkan dari pendidikan, sumber informasi maupun media massa (Purwanto, 2011).
35
2. Keyakinan dan sikap positif Suatu syarat untuk menumbuhkan kepatuhan adalah mengembangkan tujuan kepatuhan dimana seseorang akan patuh apabila memiliki keyakinan dan sikap positif dari dalam diri sendiri terhadap diet. Rotter (1996) menyatakan bahwa keyakinan atau harapan-harapan individu mengenai penyebab peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya disebut dengan locus of control (Widodo, 2007) dan derajat keyakinan dalam mempersepsikan kualitas kesehatan dirinya disebut dengan health locus of control (Sweeting dalam Mandasari, 2012). Menurut konsep model kepercayaan kesehatan, persepsi yang positif dari seseorang merupakan unsur penting yang melandasi untuk mengambil tindakan yang baik dan sesuai untuk melakukan tindakan pencegahan atau penyembuhan penyakit dan pengobatan untuk DM (Rosesnstock et al, 1998 dalam Lestari, 2012). Kepuasan dan ketaatan dapat ditingkatkan dengan memastikan bahwa anjuran dan komunikasi dan pendidikan kesehatan berhubungan langsung dengan keyakinan yang mendasari suatu perilaku sehat dan sakit (Bidari, 2010). 3. Tipe kepribadian Kepribadian mencangkup sistem fisik dan psikologis meliputi perilaku yang terlihat dan pikiran yang tidak terlihat, serta tidak hanya merupakan sesuatu tetapi melakukan sesuatu (Feist & Feith, 2009). Tipe kepribadian berguna untuk mengetahui kecenderungan pola pikir
36
dan perilaku seseorang sehingga menumbuhkan kepatuhan dengan mengembangkan tujuan kepatuhan dan mengembangkan strategi untuk merubah perilaku (Lestari, 2014). b. Faktor eksternal 1. Dukungan keluarga Faktor psikososial yang erat kaitannya dengan perilaku kesehatan adalah adanya interaksi sosial dalam bentuk dukungan baik dukungan keluarga maupun dukungan secara sosial dan kaitannya dengan perilaku diet (Hendro, 2010). Peranan keluarga terhadap keberhasilan diet penderita DM sangat besardan keterbatasan peran keluarga akan menurunkan kepatuhan diet diabetisi (Tera, 2011). 2. Pendapatan Dalam berbagai macam literatur menyebutkan bahwa pendapatan merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kepatuhan (Lestari, 2012). Berdasarkan penelitian Ellis (2010) bahwa diabetisi dengan pendapatan rendah lebih tidak patuh (51,4%) dibanding yang mempunyai pendapatan tinggi karena orang yang mempunyai pendapatan yang rendah peluang untuk membeli makanan sesuai diet DM lebih sedikit dengan yang berpendapatan tinggi. 3. Interaksi profesional kesehatan dengan pasien Peranan petugas kesehatan sangat penting dalam upaya peningkatan pengetahuan diabetisi mengenai pengaturan makan. Hal tersebut dapat
37
dilakukan dengan edukasi dan konseling yang melibatkan berbagai pihak seperti dokter, ahli gizi, maupun edukator non institusi lainnya (Tera, 2011). Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dengan pasien merupakan hal yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan pasien (Niven, 2002). 2.2.3. Alat Ukur Tingkat Kepatuhan Diet DM Penilaian kepatuhan diet DM mencangkup jumlah, jenis dan jadwal makan sesuai yang dianjurkan. Alat ukur yang digunakan unutuk menilai kepatuhan diet DM adalah dengan menggunakan form food recall 24 jam dan food frequency questionnaire 1 bulan terakhir. a. Food Recall 24 jam Food Recall 24 jam adalah cara termudah dan tercepat yang tersedia untuk menilai asupan makanan dan gizi (Dunford, 2006). Metode food recall 24 jam digunakan untuk mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi dalam periode 24 jam yang dilakukan dengan cara wawancara dengan meminta responden untuk menyebutkan semua makanan dan minuman yang dikonsumsinya dalam waktu 24 jam sebelumnya (Gibney, 2008). Metode ini akan menghasilkan data yang cenderung kualitatif dan untuk mendapatkan data kuantitatif maka harus ditanyakan jumlah konsumsi makanan dengan ukuran rumah tangga (URT) atau ukuran yang biasa digunakan sehari-hari. Untuk penelitian dalam sebuah populasi dibutuhkan metode yang mewakili gambaran asupan dalam satu minggu
38
maka dikembangkan metode anydate-of-the-week, yaitu responden dapat memilih satu hari dalam seminggu untuk diceritakan (Gibson, 2005). Keberhasilan food recall 24 jam tergantung pada ingatan klien, motivasi untuk merespon secara akurat dan kemampuan menyampaikan informasi secara tepat (Dunford, 2006). b. Food Frequency Questionnarie Menurut Supariasa (2001) dalam Lestari (2012) metode food frequency adalah metode penilaian konsumsi makanan untuk memperoleh data frekuensi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode waktu tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Informasi yang dikumpulkan dapat digunakan untuk melengkapi jumlah dan jenis makanan yang mungkin tidak jelas dari food recall 24 jam (Dunford, 2006). 2.3.
Health Locus Of Control
2.3.1. Pengertian Health Locus of Control Konsep tentang Locus of control (pusat kendali) pertama kali dikemukakan oleh Rotter (1966) yang merupakan seorang ahli teori pembelajaran sosial. Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility), yang didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap mampu tidaknya mengontrol peristiwa yang terjadi dalam hidupnya (Kreitner dan Kinicki, 2005).
39
Penelitian empiris menunjukkan bahwa health locus of control berperan penting dalam menentukan perilaku kesehatan masyarakat (Bonichini dkk, 2009). Individu dengan health locus of control dapat mempengaruhi perilaku mereka sendiri yang berhubungan dengan kesehatan, termasuk perilaku kesehatan yang beresiko dan kepatuhan terhadap anjuran perawatan kesehatan (Bonichini dkk, 2009). Menurut Sweeting dalam Mandasari (2012), Health Locus of Control menggambarkan
derajat
keyakinan
yang
dimiliki
individu
dalam
mempersepsikan kualitas kesehatan dirinya sebagai hasil dari tindakannya sendiri, sehingga dapat dikontrol, atau sebagai sesuatu yang tidak berhubungan dengan perilakunya sendiri, sehingga berada pada kontrol di luar dirinya. Health locus of control juga didefinisikan sebagai harapan umum tentang kesehatan seseorang yang dikendalikan oleh perilakunya sendiri atau dari luar dirinya
(Morowatisharifabad,
Mahmoodabad,
Baghianimoghadam,
Tonekaboni, 2010) dan sebagai seperangkat keyakinan seseorang tentang pribadinya yang memiliki pengaruh terhadap kesehatan (Bonichini dkk, 2009). Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa health locus of control merupakan suatu keyakinan yang dimiliki individu sehingga individu dapat mengontrol kesehatan dirinya.
40
2.3.2. Dimensi health locus of control Wallston, Wallston & DeVellis dalam Mandasari (2012) membagi dimensi Health Locus of Control (HLOC) menjadi 3 yaitu Internal health locus of control, powerful others health locus of control dan chance health locus of control. a. Internal health locus of control (IHLC) merupakan pandangan seseorang yang meyakini bahwa kendali atas kejadian-kejadian dalam hidupnya termasuk kualitas kesehatannya ditentukan oleh kemampuan dirinya sendiri. b. Powerful others health locus of control (PHLC) merupakan pandangan seseorang yang meyakini bahwa kendali atas kejadian-kejadian dalam hidupnya termasuk kesehatannya ditentukan oleh orang lain yang lebih berkuasa. c. Chance health locus of control (CHLC) merupakan pandangan seseorang yang meyakini bahwa kendali atas kejadian-kejadian dalam hidupnya termasuk kesehatannya ditentukan oleh nasib, peluang dan keberuntungan. 2.3.3. Alat ukur health locus of control Multidimensional Health Locus of Scale Control (MHLC) pertama kali diciptakan oleh Barbara Wallston, Kenneth Wallston dan Robert DeVellis di Vanderbilt University. Kuisioner terdiri dari tiga bagian yaitu A, B dan C dan masing-masing kuisioner terdiri dari 18 item yang digunakan pada populasi umum
untuk
menilai
keyakinan
individu
terhadap
peristiwa
yang
41
mempengaruhi kesehatan. Kuisioner A dan B merupakan kuisioner HLOC yang paling umum digunakan pada lebih dari seribu penelitian dan telah diikuti pada ratusan literatur. Skala ini terdiri dari 3 dimensi yaitu internal health locus of control , chance health locus of control dan powerfull other health locus of control (Wallston, Wallston, & DeVellis, 1978). Wallston mengatakan pada akhir penyelesaian kuisioner, tidak ada total skor MHLC, karena tidak ada batas yang memisahkan antara internal dan eksternal. Hasil dari kuisioner ini nantinya berupa internal tinggi atau eksternal tinggi (Lestari, 2014). Kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah form A MHLC yang terdiri dari 18 item pertanyaan yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan model skala likert. Model asli dari skala MHLC menggunakan enam pilihan dengan skala likert yang terdiri dari 18 pertanyaan yang diklasifikasikan menjadi tiga subskala yaitu internal HLOF, powerfull others HLOC dan Chance HLOC. Setiap pertanyaan dari kuisioner menggunakan enam pilihan jawaban yaitu “sangat tidak setuju”, “agak tidak setuju”, “tidak setuju”, “setuju”, “agak setuju” dan “sangat setuju”. Tabel 2.5. Petunjuk Skoring Untuk MHLOC Form A
Sub skala Kemungkinan skor Internal 6-36 Chance 6-36 Powerful Others 6-36 Sumber: Wallston & Wallston, 1978
Nomor soal 1,6,8,12,13,17 2,4,9,11,15,16 3,5,7,10,14,18
42
Setelah responden menyelesaikan 18 item pernyataan tersebut, maka nilai setiap item akan dimasukan ke dalam kolom skoring sesuai dengan sub skala yang diwakili oleh item tersebut dan sub skala yang memiliki skor tertinggi akan digunakan sebagai health locus of control responden (Lestari, 2014).
2.4.
Hubungan Health Locus of Control dengan Kepatuhan Psikologi kesehatan menawarkan sejumlah model yang digunakan untuk membantu memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan individu yaitu salah satunya adalah health locus of control (Theofilau dan Saborit, 2012). Wallston, Wallston & DeVellis (1978) dalam Mandasari (2012) mengemukakan bahwa health locus of control sebagai sesuatu yang digunakan untuk mengevaluasi apakah kesehatan manusia dapat dikendalikan oleh manusia itu sendiri, apakah di tangan takdir, atau mereka menganggap kesehatan mereka berada di bawah kendali hal lain yang berkuasa. Menurut Rodin dalam Theofilau dan Saborit (2012) menyatakan bahwa individu dengan locus of control yang tinggi mungkin memiliki kesehatan yang lebih baik karena individu cenderung untuk mengambil tindakan yang meningkatan kesehatannya. Lavenson (1981), mengelompokan orientasi locus of control menjadi dua yaitu orientasi locus of control internal dan orientasi locus of control eksternal yang terdiri dari powerful others (P) dan chance (C). Menurut Lavenson, individu yang berorientasi pada locus of control internal lebih yakin bahwa peristiwa yang
43
dialami dalam kehidupan mereka terutama ditentukan oleh kemampuan dan usahanya sendiri. Individu yang berorientasi pada locus of control eksternal, dikelompokan dalam dua kategori yatu powerful others dan chance. Individu dengan orientasi powerful others meyakini bahwa kehidupan mereka ditentukan oleh orang-orang yang lebih berkuasa yang ada di sekitarnya, sedangkan individu yang berorientasi pada chance meyakini bahwa kehidupan dan kejadian yang dialami sebagian besar ditentukan oleh takdir, nasib, keberuntungan dan kesempatan. (Safitri, 2013) Penelitian empiris menunjukkan bahwa health locus of control memainkan peran penting dalam menentukan perilaku kesehatan masyarakat (Bonichini, Axia, Bornstein, 2009). Health Locus of Control memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan kepatuhan (Pratita, 2012), dimana individu dengan health locus of control internal memiliki tingkat kepatuhan lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang memiliki health locus of control eksternal powerful others dan health locus of control eksternal chance (Safitri, 2013).