BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Diabetes Melitus Tipe 2
2.1.1 Pengertian Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia yang terjadi akibat adanya kelainan sekresi insulin oleh pankreas, kelainan kerja insulin maupun keduanya. Insulin merupakan hormon yang memiliki fungsi untuk meregulasi kadar glukosa darah (Purnamasari, 2009). 2.1.2 Hiperglikemia dan Angiopati Diabetes Melitus Tipe 2 Hiperglikemia pada awalnya terjadi setelah makan ketika otot gagal melakukan ambilan glukosa darah secara optimal. Kemudian fase kedua ketika insulin mengalami penurunan, maka terjadi produksi glukosa hati yang berlebih sehingga mengakibatkan peningkatan glukosa darah pada saat puasa. Hiperglikemia tersebut memperberat gangguan sekresi insulin yang sudah terjadi yang disebut glukotoksisitas. Resistensi insulin juga terjadi pada jaringan adiposa yang merangsang proses lipolisis dan meningkatkan asam lemak bebas. Proses tersebut mengakibatkan lipotoksisitas yaitu gangguan ambilan glukosa dalam darah oleh sel-sel otot dan mengganggu sekresi insulin oleh sel beta pankreas (Soegondo, 2009).
9
10
Kondisi hiperglikemia yang terjadi secara kronis maupun hiperglikemia akut postprandial memberikan dampak buruk pada jaringan yang secara jangka panjang akan menimbulkan komplikasi kronis dari DM. Kadar glukosa darah yang tinggi (glukotoksisitas) yang kemudian diikuti dengan dislipidemia (lipotoksisitas) mengakibatkan kerusakan jaringan secara langsung melalui stress oksidatif dan proses meluasnya glikolisis. Kerusakan jaringan terutama terjadi yaitu mikrovaskular pada tahap DM, berbeda dengan gangguan makrovaskular yang dapat muncul pada tahap preDM (Manaf, 2009). Perubahan dasar atau disfungsi utama yang terjadi pada penderita DM yaitu pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal. Hal tersebut menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kesintasan sel kemudian menyebabkan komplikasi vaskular diabetik. Penyumbatan kapiler-kapiler darah terjadi akibat adanya hambatan pada aliran pembuluh darah yang akan menyebabkan mikrovaskular berupa lokus iskemik dan hipoksia lokal (Waspadji, 2009). Melalui jalur protein Kinase, hiperglikemia intraselular (hiperglisolia) akan menyebabkan meningkatnya disasilgliserol (DAG) intraselular, kemudian peningkatan protein Kinase C terutama PKC Beta. Proses tersebut akan mempengaruhi sel endotel dan menyebabkan perubahan vasoreaktivitas dengan meningkatkan endotelin 1 dan menurunnya e-NOS. Adanya peningkatan PKC akan mengakibatkan ploriferasi sel otot polos dan terbentuknya sitokin serta berbagai faktor pertumbuhan seperti TGF
11
Beta, dan VEGF. Protein Kinase C akan menurunkan aktivitas fibrinolisis. Proses-proses tersebut akan menyebabkan angiopati diabetik (Waspadji, 2009). Peningkatan stress oksidatif akan berpengaruh terhadap sel endotel pembuluh darah dengan peroksidasi membran lipid, aktivasi faktor transkripsi (NF-kB), peningkatan oksidasi LDL dan pembentukan produk glikasi lanjut. Proses glikasi lanjut akan menyebabkan pembentukan spesies oksigen reaktif yang akan merusak lipid dan protein melalui oksidasi, cross linking, dan fragmentasi yang memfasilitasi peningkatan produksi AGE (Waspadji, 2009). Peptida berpengaruh terhadap pengaturan pembuluh darah. Insulin merupakan peptida pengatur utama konsentrasi glukosa darah. Insulin dapat memfasilitasi ploriferasi sel otot polos pembuluh darah. Secara fisiologis melalui NO dari endotel berpengaruh terhadap vasodilatasi pembuluh darah yang bergantung pada banyaknya insulin dalam darah. Pada keadaan resistensi insulin, hiperinsulinemia pengaruh insulin untuk vasodilatasi akan menurun. Mekanisme hiperglikemia akan menyebabkan gangguan pengaturan fungsi trombosit yang memungkinkan terjadinya prokoagulasi dan penyumbatan pembuluh darah yang memicu berbagai komplikasi krosis pada DM (Waspadji, 2009).
12
2.2
Sekresi Saliva Pasien Diabetes Melitus Tipe 2
2.2.1 Pengertian Saliva merupakan cairan yang dihasilkan dan disekresikan oleh gabungan kelenjar saliva yang berfungsi melindungi gigi dan mukosa mulut (Whelton, 2012). Saliva yang dihasilkan pada manusia terdiri dari air, elektrolit, mukus, antibakteri dan berbagai enzim. Saliva disekresikan oleh tiga pasang kelenjar mayor, yaitu kelenjar parotid, submandibular dan sublingual yang selanjutnya didistribusikan oleh ratusan kelenjar saliva minor ke suluruh bagian mulut (Guggenheimer dan Moore, 2003; Ekstrom, et al, 2012). 2.2.2 Produksi Saliva Produksi saliva dalam keadaan normal sehari-hari berkisar antara 800 ml sampai 1500 ml (Guyton & Hall, 2007). Sekresi saliva dipengaruhi oleh saraf simpatis dan parasimpatis serta stimulus yang merangsang kerja saraf-saraf tersebut (Guggenheimer dan Moore, 2003). a. Anatomi Kelenjar Saliva Mayor dan Minor Kelenjar parotid, submandibular dan sublingual terletak disisi rongga mulut, sedangkan kelenjar-kelenjar minor terletak dibawah epitelium oral. Volume kelenjar parotis sekitar 2,5 kali kelenjar submandibular dan 8 kali volume kelenjar sublingual. Berat kelenjar parotid mencapai 15-30 gr.
13
Gambar. 1 Kelenjar Parotis (Ekstrom, et al, 2012) Saliva yang disekresikan parotis dan kelenjar submandibular berjalan melalui duktus eksresi sepanjang 7 dan 5 cm untuk mencapai rongga mulut. Duktus parotis (duktus Stensen’s) terbuka pada gigi geraham atas kedua (level of the second upper molar) dan duktus submandibular (duktus Wharton’s) terbuka diatas papila sublingual. Pengosongan saliva sublingual menuju duktus submandibular melalui duktus sublingual mayor (duktus Bartholin’s) atau langsung menuju ke rongga mulut melalui beberapa duktus eksresi kecil yang terbuka pada bagian sublingual. Sekresi saliva kelenjar minor mencakup kelenjar bukal, palatin, labial, lingual, dan molar. Pengosongan kelenjar-kelenjar tersebut menuju rongga mulut secara langsung melalui duktus-duktus kecil epitelium. Saliva dalam rongga mulut akan bercampur dengan cairan gingival crevicular, sel-sel darah, mikroba, antimikroba, sel dan sisa-sisa makanan serta sekresi nasofaring (Ekstrom, et al, 2012).
14
Gambar. 2 Kelenjar submandibular dan sublingual (Ekstrom, et al, 2012) Kelenjar saliva dibagi atas lobus-lobus. Setiap lobus memiliki unit sekresi yang terdiri dari acini dan duktus. Acini merupakan lumen yang dikelilingi oleh sel sekresi, saliva diproduksi melalui intercalated, intralobular dan duktus eksresi sebelum dialirkan ke duktus inti. Kelenjar saliva memiliki banyak kapiler yang sebanding dengan jantung. Kapilerkapiler tersebut bersifat permiabel terhadap air dan zat-zat terlarut kecuali makromolekul seperti albumin. Induksi saraf parasimpatis dapat memvasodilatasi kapiler-kapiler pada kelenjar saliva sehingga dapat meningkatkan aliran darah kelenjar sampai 20 kali lipat, sehingga sel-sel sekresi dapat menghasilkan volume saliva yang lebih banyak dalam waktu yang panjang. Selain asetilkolin, transmitter parasimpatis peptide intestinal vasoaktif mempunyai peran penting dalam respon vasodilator yang melibatkan NO. Stimulasi saraf simpatis menyebabkan vasokonstriksi oleh 1-adrenergik dan reseptor neuropeptidaY. Saraf simpatis pembuluh darah
15
kelenjar tidak diaktifkan sebagai respon terhadap makan, tetapi untuk merespon penurunan tekanan darah sistemik untuk mengembalikan tekanan darah (Ekstrom, et al, 2012). b. Sekresi Saliva Beberapa kelenjar saliva memiliki kemampuan berbeda dalam mensekresikan saliva. Pada manusia, hanya kelenjar minor yang mampu mensekresikan saliva secara spontan. Kelenjar minor menghasilkan saliva dalam jumlah yang kecil, tetapi sekresi bisa meningkat sebagai respon dari aktivitas saraf. Pada siang hari dan dalam keadaan istirahat, reflek saraf dipengaruhi oleh stimulasi mekanik dan pergerakan bibir serta lidah yang minimal dan keringnya mukosa berdampak pada sekresi sel-sel yang berhubungan dengan kelenjar submandibular secara partikuler (Ekstrom, et al, 2012). Kelenjar parotis berkontribusi besar dalam sekresi saliva yang dirangsang dengan stimulasi kuat, seperti asam sitrik. Dalam respon mengunyah, aliran saliva parotis dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelenjar submandibular. Kontribusi relatif masing-masing kelenjar saliva, yaitu kelenjar parotis 30%, kelenjar submandibular 60%, kelenjar sublingual 5% dan 5% dari kelenjar-kelenjar minor. Kelenjar saliva yang berbeda memiliki tipe sekresi yang berbeda pula. Terdapat dua tipe sel, basophilik atau serous dan eosinophilik atau sel mukus. Sel serous mengandungin persediaan protein granula dan sekresi air serta enzim, sedangkan sekresi sel mukus mengandung viscous mucins yang tersimpan
16
dalam vakuola. Kelenjar parotis termasuk dalam kelenjar serous, submandibular termasuk dalam kelenjar seromukus (10% sel mucus, 90% sel serous) dan sublingual serta sebagian besar kelenjar minor termasuk kelenjar mukus (Ekstrom, et al, 2012). Kelenjar minor memiliki kontribusi yang kecil tetapi secara kontinyu mensekresikan saliva selama siang dan malam pada permukaan oral dengan lapisan protektif kaya mucin yang mencegah munculnya mulut kering. Aliran saliva tanpa atau dengan stimulasi lebih tinggi pada siang hari dibandingkan dengan pagi hari. Jumlah saliva yang disekresikan dan komposisinya merupakan bentuk respon fisik dan kimia secara alami terhadap stimulus. Sekresi saliva tidak hanya sebagai adaptasi keadaan akut, tetapi juga berupa respon dalam jangka waktu panjang yang dapat mempengaruhi ukuran kelenjar dan kemampuan sekresi. Respon saliva yang berbeda-beda dipengaruhi oleh perbedaan tipe kelenjar, tipe sel dalam kelenjar, tipe reflek saraf berdasarkan intensitas, durasi, dan hubungan dua saraf otonom, tipe transmitter dan rationya, perbedaan tipe reseptor, dan perbedaan pathway intrasel (Ekstrom, et al, 2012). 1) Stimulasi Afferent Makan merupakan stimulus yang kuat untuk sekresi saliva. Makan dapat
mengaktifkan
respon
sensori
yaitu
reseptor
gustatory,
mechanoreceptors, nociceptors, dan reseptor olfaktori. Rasa asam dan asin merupakan stimulus yang paling efektif. Mengunyah menyebabkan gigi untuk bergerak dengan menstimulasi mechanoreceptors dari ligamen
17
periodontal kemudian selama mengunyah diaktifkan mechanoreceptors dari jaringan mukosa gingival. Reseptor olfaktori terletak pada dasar rongga nasal dan berespon terhadap aliran udara yang mengandung molekul pada nasal dan retrinasal. Peningkatan aliran udara dapat menjadi stimulus bagi reseptor. Epitelium yang memiliki reseptor olfaktori kaya akan pembuluh darah yang alirannya dapat menstimulasi reseptor (Ekstrom, et al, 2012). 2) Stimulasi Efferent Elemen
sekresi
kelenjar
seperti
acinar,
duktus
dan
sel
myoepitelium difasilitasi oleh saraf parasimpatis. Intensitas inervasi simpatik berbeda antar kelenjar. Elemen sekresi kelenjar parotis pada manusia difasilitasi beberapa saraf simpatik dibandingkan dengan kelenjar submandibular dan kelenjar labial yang lebih sedikit memiliki inervasi simpatik. Saraf parasimpatis bertanggung jawab atas sekresi saliva dalam volume yang banyak. Saraf simpatis dan parasimpatis menghasilkan sekresi protein. Reflek gustatory mengaktifkan kedua saraf otonom tersebut, reflek masticatory meningkatkan aktivitas saraf parasimpatis. Aliran saliva lebih banyak berasal dari respon stimulasi parasimpatis dibandingkan stimulasi simpatis, sedangkan konsentrasi protein lebih rendah pada saliva parasimpatis dibandingkan saliva simpatis. Sekresi saliva membutuhkan suplai air dari sirkulasi dan aktivitas parasimpatis menyebabkan vasodilatsi serta memungkinkan meningkatnya aliran darah pada kelenjar 20 fold. Asetilkolin merupakan transmiter postganglion
18
parasimpatis dan noradrenalin merupakan transmiter postganglion simpatis yang beraksi dalam elemen sekresi kelenjar. Noradrenaline beraksi terhadap 1-adrenoceptor dan 1-adrenoceptor, sedangkan asetilkolin beraksi terhadap reseptor muscarinic M1 and M3 (Ekstrom, et al, 2012). c. Sekresi Cairan dan Protein Sekresi air dan protein merupakan proses aktif yang bergantung pada energi. Sel acinar bertanggung jawab atas sekresi cairan dan sebagian besar protein, sedangkan sel-sel duktus memiliki kontribusi minimal dari total protein yang disekresikan. Volume air berjumlah besar diangkut dari interstitium menuju lumen oleh paraseluler dan transseluler passage sebagai respon osmotik oleh NaCl intraluminal (Ekstrom, et al, 2012).
19
Gambar. 3 Saraf aferen, eferen, dan elemen kelenjar saliva (Ekstrom, et al, 2012) 2.2.3 Fungsi Saliva Kecepatan sekresi stimulasi saliva normal pada orang dewasa adalah 1 sampai 2 mL/menit. Pada orang dengan gangguang fungsi kelenjar saliva berat, sekresi saliva dapat menurun sampai kurang dari 0,1 ml/menit dan dalam kondisi yang tidak berat sekresi saliva bisa mencapai 0,7 sampai 0,1 mL/menit (Kidd, 1991). Saliva melindungi dan melubrikasi
20
rongga mulut, membantu proses bicara, mengunyah dan menelan. Saliva membantu membuang sisa-sisa makanan dan bakteri dalam mulut, membantu melindungi gigi dari pengeroposan serta meremineralisasi enamel gigi. Saliva juga membantu mencegarh infeksi mulut (Rondon, 2013). Berikut peran primer saliva : a. Pembersih Sisa Makanan Aliran saliva membantu membersihkan virus, bakteri dan fungi yang dapat menyebabkan penyakit bagi gigi dan permukaan rongga mulut. Saliva dapat membawa mikroba bersama sisa-sisa makanan tertelan sebelum menempel pada permukaan gigi dan rongga mulut. b. Agen Pelindung dan Sistem Buffer Saliva memiliki pelindung yang efektif untuk melawan mulut kering dan membatasi masuknya iritan fisik, toksin, dan zat karsinogenik dalam makanan, serta tembakau. Saliva memiliki sistem buffer yang membantu menetralisir makanan dan minuman yang bersifat asam untuk melindungi gigi dan permukaan rongga mulut. Saat saliva tertelan, saliva akan melindungi esofagus dengan sistem buffer tersebut dan membantu menetralisir asam akibat refluks. c. Pelindung Karies Saliva di dalam mulut merupakan pertahanan primer melawan pengeroposan gigi. Karies sebagai akibat dari bakteri yang bersifat asam yang mengikis mineral gigi. Sistem buffer yang dimiliki saliva membantu
21
mengurangi pembentukan asam. Aliran saliva membersihkan gula dan sisa-sisa makanan yang mana dapat meningkatkan asam yang berbahaya untuk gigi. Garam mineral dalam saliva seperti ion kalsium dan fosfat menghambat demineralisasi gigi dan mendorong mineralisasi enamel gigi. d. Fostering Biofilm Plak Sehat Protein imun pada saliva mengatur pertumbuhan, menjaga dan membersihkan biofilm plak sehat. Mikroba dan sistem imun bekerjasama untuk menghilangkan dan mencegah mikroorganisme tinggal di dalam mulut.
Protein dalam saliva dapat membentuk perlindungan terhadap
enamel gigi yang mencegah menempelnya bakteri. Biofilm plak bergantung pada aliran saliva untuk dapat membuang sisa makanan. Perlindungan tersebut membatasi pengikisan asam terhadap mineral gigi. Penurunan
aliran
saliva
akan
mempermudah
perkembangan
mikroorganisme pada biofilm dan menimbulkan inflamasi. e. Penyembuh Luka Saliva mengandung molekul-molekul seperti epidermal growth factor (EGF) and vascular endothelial growth factor (VEGF) yang dapat membantu memperbaiki dan meregenerasi lapisan permukaan rongga mulut (Rondon, 2013). 2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sekresi Saliva Kecepatan aliran saliva banyak dipengaruhi oleh keadaan sistemik (Kidd, 1991). Terganggunya fungsi kelenjar saliva disebabkan oleh :
22
a. Terapi Sinar Terapi radiasi kelenjar saliva pada daerah leher menyebabkan penurunan aliran saliva sampai dibawah 0,1 mL/menit. Sebaliknya, pada saliva akan terjadi peningkatan kadar protein total yang menyebabkan saliva lebih kental. Xerostomia dapat menetap jika terjadi atrofi pada kelenjar saliva. b. Obat-obatan Terdapat banyak obat yang dapat mempengaruhi kecepatan aliran dan komposisi saliva. Beberapa obat-obatan yang menghambat produksi saliva antara lain antidepresan, antipsikotik, tranquilizer, hipnotika, antihistamin, antikholinergi, antihipertensi, diuretika, anti parkinson, obat pengurang nafsu makan. c. Penyakit Inflamasi kelenjar saliva baik akut maupun kronis, tumor ganas dan jinak serta sindrom Sjogren dapat menyebabkan gangguan kemampuan saliva untuk melindungi gigi dan rongga mulut. Sindrom Sjogren adalah gangguan sistem kekebalan tubuh yang diidentifikasi dengan gejala mata kering dan mulut kering (Ratnadita, 2011). d. Umur Penurunan produksi saliva dikaitkan dengan proses penuaan. Perubahan
atrofi
pada
kelenjar
submandibular
sesuai
dengan
bertambahnya usia akan menurunkan produksi saliva dan mengubah
23
komposisinya. Tetapi penurunan sekresi saliva akibat penuaan lebih kecil dibandingkan dengan penurunan saliva oleh karena konsumsi obat maupun penyakit sistemik (Kidd, 1991). Berikut beberapa keadaan sistemik yang mempengaruhi sekresi saliva : Tabel 1. Keadaan Sistemik yang Mempengaruhi Sekresi Saliva (Kidd, 1991).
Penyebab sistemik mulut kering Obat-obatan Faktor psikologis Sindrom Sjogren Perubahan hormone (pasca menopause) Diabetes Melitus Penyakit neurologic Gangguan pada pancreas Gangguan pada hati Kekurangan nutrisi Lupus erythematosus sistemik (SLE) Usia
2.2.5 Kondisi Pasien Diabetes Melitus yang Mempengaruhi Sekresi Saliva Penurunan produksi dan atau kerja insulin pada DM menyebabkan tingginya kadar glukosa di dalam darah. Penumpukan glukosa darah tersebut menyebabkan kerusakan pada pembuluh-pembuluh darah kecil atau mikrovaskuler di dalam tubuh. Gangguan pada mikrovaskuler tersebut yang mendasari komplikasi neuropati. Peningkatan glukosa darah juga
berpengaruh
pada
penyempitan
pembuluh
darah
sehingga
menghambat aliran nutrisi pada ujung-ujung saraf (Mandal, 2013). Neuropati juga terjadi pada saraf otonom yang berpengaruh pada proses digestif termasuk sekresi kelenjar saliva (NIDDK,2009).
24
Deuretik atau dehidrasi pada DM dapat menyebabkan penurunan sekresi saliva. Keadaan deuresis berpengaruh pada transport air dan elektrolit melalui membran sel pada sel acinar kelenjar saliva yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah pada kelenjar saliva (Tschoppe, 2009). Sirkulasi pembuluh darah sangat penting karena mempengaruhi sekresi saliva. Kelenjar membutuhkan nutrisi yang adekuat dari darah sehingga dapat menghasilkan saliva. Sinyal-sinyal saraf parasimpatis merangsang salivasi, dan melebarkan pembuluh-pembuluh darah. Selain itu, salivasi sendiri secara langsung melebarkan pembuluh-pembuluh darah, sehingga menyediakan peningkatan nutrisi kelenjar saliva seperti yang juga dibutuhkan sel penyekresi. Sebagian dari tambahan efek vasodilator ini disebabkan oleh kalekerin yang disekresikan oleh sel-sel saliva yang aktif, yang kemudian bekerja sebagai suatu enzim untuk memisahkan satu protein darah, yaitu alfa2-globulin, untuk membentuk bradikinin, suatu vasodilator yang kuat sehingga dapat mensekresikan saliva lebih banyak (Guyton dan Hall 2007). Proses sekresi saliva membutuhkan aliran nutrisi yang adekuat dari pembuluh-pembuluh darah kelenjar sehingga penyempitan dan masalah mikrovaskuler pada DM akan menyebabkan penurunan produksi saliva serta penurunan aliran saliva tidak dapat menstimulasi produksi saliva yang lebih banyak.
25
2.2.6 Metode Pengukuran Sekresi Saliva Pengukuran sekresi saliva tergantung dari usia responden yang terlibat. Untuk orang dewasa dan remaja, terdapat dua metode yang dapat digunakan : a. Passive Drool Passive drool merupakan metode yang efektif yang sering digunakan untuk pengumpulan sekresi saliva. Passive drool menggunakan vial kecil direkomendasikan untuk pengumpulan saliva karena dapat digunakan untuk semua jenis analisis. Metode ini dilakukan dengan cara mengumpulkan saliva di dalam rongga mulut kemudian memiringkan kepala ke arah depan sehingga saliva mengalir ke bawah dan terkumpul di dalam vial (Salimetrics, 2009). b. Oral Swab (OS) Oral swab merupakan metode alternatif yang dapat digunakan untuk mengumpulkan saliva bagi responden yang tidak mampu untuk melakukan passive drool pada vial. Metode ini dilakukan dengan meletakkan swab di dalam rongga mulut sesuai dengan waktu yang dibutuhkan. Swab tersebut akan menyerap saliva yang sekresikan oleh kelenjar (Salimetrics, 2009; Astiti, 2010).
26
2.3
Mengunyah
2.3.1 Definisi Mengunyah merupakan kegiatan gigi memotong, menggiling makanan dalam mulut yang bekerjasama dengan rahang bawah untuk mengatupkan gigi. Rahang bawah dapat mengatupkan gigi dengan kekuatan 55 pound pada insisivus dan 200 pound pada molar (Guyton & Hall, 2007). Mengunyah atau mastikasi merupakan suatu proses penghancuran makanan yang melibatkan organ-organ di dalam mulut dan saliva sehingga dapat mengubah ukuran dan konsistensi makanan. Organ yang membantu proses mastikasi yaitu gigi-gigi, otot-otot mastikasi, rahang, sistem persarafan, jaringan lunak rongga mulut dan bibir (Ningsih, 2008; Pramonon, 2014). Mastikasi merupakan aktivitas terintergrasi oleh otot-otot rahang dalam merespon aktivitas saraf eferen pada saraf motorik pada pergerakan mandibular yang mengontrol hubungan antara gigi rahang atas dan rahang bawah. Pergerakan rahang merupakan suatu pergerakan yang terintegrasi dari lidah dan otot-otot lain yang mengontrol area perioral, faring dan laring (Biyantini, 2007). 2.3.2 Proses Mengunyah Pergerakan otot rahang terhubung pada midline. Otot rahang tidak dikontrol secara resiprokal, tetapi terorganisir secara bilateral. Pembukaan
27
dan penutupan rahang merupakan gerakan sederhana dengan pengaturan pada limb sebagai penggerak (Biyantini, 2007). Otot-otot pengunyah difasilitasi oleh cabang saraf motoris dari saraf kranial kelima. Proses mengunyah dikontrol oleh nukleus pada batang otak. Pergerakan mengunyah yang ritmis ditimbulkan oleh rangsangan daerah retikularis spesifik pada pusat pengecapan batak otak. Gerakan mengunyah juga dapat ditimbulkan karena rangsangan area di hipotalamus, amigdala dan korteks serebri yang dekat dengan area sensoris pengecapan dan penghidu (Guyton & Hall, 2007). Mengunyah disebabkan oleh suatu refleks. Adanya bolus makanan di dalam rongga mulut merupakan hambatan refleks otot untuk mengunyah. Hal tersebut menyebabkan rahang bawah bergerak kebawah. Penurunan rahang bawah menimbulkan refleks dan meregangkan otot-otot rahang bawah dan menimbulkan kontraksi rebound. Kontraksi tersebut menyebabkan rahang bawah secara otomatis terangkat dan menimbulkan pengatupan gigi yang kemudian menekan makanan melawan dinding mulut. Proses tersebut berulang-ulang sebagai refleks adanya bolus di dalam mulut. Proses mengunyah dipengaruhi oleh konsistensi makanan dan umur individu (Ningsih, 2008; Guyton & Hall, 2007). a. Pergerakan Mengunyah Rahang bergerak membuka dan menutup dengan irama saat proses mengunyah.
Karakteristik
pengunyahan
bergantung
pada
tingkat
penghancuran makanan. Fase kunyah dibagi menjadi tiga tahap. Pada
28
tahap pertama, makanan ditransportasikan ke bagian posterior gigi dan makanan dihancurkan dalam periode reduksi. Bolus akan dibentuk selama periode final sebelum ditelan. Tahap pergerakan dapat berbeda tergantung dari jenis makanan. Pada periode reduksi terdapat fase opening, fastopening dan slow-opening. Pergerakan dan pembentukan makanan dibantu oleh lidah. Selama fase slow-opening pengunyahan, lidah bergerak ke depan dan memperluas permukaan makanan. Ketika fast-opening dan fase closing tulang hyoid dan lidah kembali tertarik sehingga memindahkan makanan ke bagian posterior pada rongga mulut. Makanan akan berpindah ke belakang di bawah soft palate oleh gerakan menekan oleh lidah (Biyantini, 2007). b. Aktivitas Otot Proses mastikasi atau mengunyah merupakan gabungan aktivitas otot, yaitu otot trigeminal, hypoglossal, facial dan nuklei motorik lain pada batang otak. Selama proses mengunyah kontraksi otot yang mengontrol rahang merupakan aktivitas pola asynchronous dengan variabilitas yang luas pada permulaan, waktu puncak, puncak dan tingkat penurunan aktivitas. Pola aktivitas otot dipengaruhi oleh faktor jenis makanan, tipe makanan, tingkat penghancuran makanan dan faktor individu. Otot penutupan rahang relaksasi selama rahang terbuka dan otot pembuka rahang berkontraksi. Aktivitas otot penutup rahang dimulai pada saat rahang mulai menutup. Aktivitas otot penutup rahang meningkat secara lambat sejalan dengan bertemunya makanan diantara gigi. Otot penutupan
29
rahang pada bagian gigi penghancuran makanan lebih aktif dibandingkan dengan otot penutup rahang dibagian kontralateralnya (Biyantini, 2007). c. Kontrol Mengunyah Kontrol mastikasi atau pengunyahan dilakukan oleh nuklei sensorik dan motorik yang ada pada brain stem. Pola oscillatory pergerakan mengunyah berasal dari generator neural yang ada pada batang otak. Input sensori aferen pada nuklei ini mempengaruhi proses mengunyah. Pusat otak akan mempengaruhi sistem koordinasi brain stem mastikatori (Biyantini, 2007). 1)
Nukleus Trigeminal Sensorik Nukleus trigeminal sensorik adalah kolom neuron yang berada
disepanjang batas lateral batang otak, dari pons hingga spinal cord. Inervasi perifer dari kolom sel ini muncul dari nervus trigeminus. Cabang utama turun memasuki batang otak membentuk traktus trigeminal menutupi aspek lateral dari nukleus sensori utama. Limb descending membentuk traktus spinal trigeminal sepanjang aspek lateral nukleus spinal. Cabang akson kolateral dari traktus trigeminal memasuki nukleus sensori membentuk sumbu terminal. Akson yang menginervasi rostral mulut dan wajah berakhir dimedial dan akson yang menyerupai wajah kaudal berakhir lebih lateral.
30
2)
Nukleus Trigeminal Mesencefalik Nukleus mesencefalik merupakan lokasi badan sel dari serabut
aferen yang menginervasi otot penutup rahang dan badan sel dari ligamen periodontal, gingival dan mekanoreseptor palatal. Cabang sentral mengeluarkan sejumlah cabang kolateral yang berakhir pada nukleus motorik, spinal cord dan area lain batang otak. Sepanjang nukleus ditemukan badan sel neuron yang menginervasi otot dan badan sel yang berasal dari reseptor ligamen periodontal dibatasi setengah kaudalnya. 3)
Nukleus Trigeminal Motorik Nukleus trigeminal motorik merupakan tempat motoneuron yang
mengatur otot-otot pengunyahan. Nukleus trigeminal motorik terdiri dari motoneuron gamma dan alfa. Motoneuron penutup rahang terdapat pada dorsolateral dan motoneuron pembuka rahang terdapat pada divisi ventromedial nukleus. Aktivitas yang menyebabkan otot untuk menutup rahang tidak mempengaruhi motoneuron pembuka rahang. Aktivitas neural yang memicu mekanoreseptor pada oral dan fasial akan menyebabkan hambatan otot penutup rahang dan meningkatkan aktivitas otot pembuka rahang. 4)
Nukleus Hypoglossal Motorik Nukleus hypoglossal motorik merupakan kontrol otot lidah yang
bersifat lebih homogeny dibandingkan dengan nukleus trigeminal motorik.
31
Nukleus hypoglossal motorik terbentuk dari motoneuron besar dan multipolar serta kumpulan interneuron kecil. 5)
Nukleus Fasial Motorik Nukleus Fasial Motorik merupakan bentuk kumpulan tiga kolom
motoneuron longitudinal. Kolom-kolom medial dan lateral dipisahkan oleh kolom
yang
lebih
direpresentasikan
kecil
secara
yaitu topografi
kolom
intermediet.
dalam
nukleus.
Otot
fasial
Otot
yang
menggerakkan bibir atas dan nares memiliki motoneuron pada bagian ventral dan dorsal kolom sel lateral. Otot bibir bawah disuplai motoneuron pada kolom sel intermediet. Otot-otot yang berhubungan dengan telinga dikontrol oleh motoneuron pada kolom sel medial. Gerakan mastikasi atau mengunyah dapat terjadi tanpa input sensori dalam rongga mulut. Gerakan rahang ke atas dan ke bawah merupakan aktivitas brain stem. Proses mengunyah diinisiasi stimuli elektrik korteks yang menyokong jaw-closing dan jaw-opening. Ritme kunyahan dihasilkan generator pada brain stem yang diaktivasi oleh pusat bantu dengan input perifer yang kemudian menghasilkan output ritmis dengan frekuensi yang sesuai dengan input (Biyantini, 2007). 2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fungsi Mengunyah Fungsi mastikasi atau mengunyah dapat mengalami gangguan. Berikut beberapa keadaan yang dapat mengganggu proses mastikasi atau mengunyah, yaitu :
32
a. Kehilangan Gigi Gigi merupakan organ penting dalam proses pencernaan. Gigi berfungsi untuk mengunyah makanan setiap makanan masuk ke dalam mulut. Fungsi utama gigi adalah untuk mengunyah beraneka ragam makanan dengan tekstur yang berbeda-beda. Kondisi kehilangan gigi dapat menurunkan efisiensi proses mengunyah. Penyebab terbanyak menurunnya fungsi mastikasi adalah kehilangan anatomi gigi. Kehilangan gigi dapat disebabkan oleh beberapa masalah seperti karies dan penyakit-penyakit periodontal. Proses mengunyah bergantung pada kelengkapan susunan gigi. Susunan gigi yang tidak lengkap mengakibatkan penurunan efektivitas proses mengunyah. b. Penyakit Rongga Mulut Proses mengunyah melibatkan banyak organ termasuk di dalamnya bibir, gigi, palatum, lidah, tenggorokan, sistem saraf, otak, hormon dan enzim.
Gangguan
yang
terjadi
pada
organ-organ tersebut
akan
mempengaruhi proses mengunyah. Berikut beberapa kelainan atau penyakit pada rongga mulut yang dapat mempengaruhi proses mastikasi atau mengunyah : 1) Kelainan bawaan seperti bibir sumbing (labioschizis), frenulum lidah pendek, makroglosia 2) Penyakit infeksi; stomatitis, gingivitis, tonsillitis 3) Kelainan neuromuskuler yang disebabkan oleh paresis atau paralisis lidah dan otot-otot faring dan laring
33
4) Kelainan non infeksi termasuk penyakit bawaan diluar rongga mulut dan saluran cerna seperti penyakit jantung bawaan, down syndrome, serta penyakit neuromuskuler seperti palsi serebral. c. Faktor Psikologis Gangguan fungsi mengunyah atau mastikasi juga dapat disebabkan oleh proses perkembangan selera dan kemampuan makan yang sejalan dengan perkembangan anatomi dan fungsi organ-organ fisik yang termasuk didalamnya fungsi sistem perncernaan. Permasalahan susah makan juga disertai oleh gangguan psikologis. Permasalahan psikologis dapat disebabkan oleh kompleksitas masalah kehidupan yang dihadapi yang menjadi stressor sehingga mempengaruhi selera makan dan kegiatan mastikasi atau mengunyah. Seseorang dengan gangguan psikologis mengalami kunyahan yang kurang sempurna (Taufan, 2009). 2.2.4 Pengaruh Mengunyah terhadap Sekresi Saliva Sekresi saliva merupakan respon kerjasama sistem saraf dan pembuluh darah pada kelenjar. Kelenjar saliva mayor dipersarafi oleh saraf parasimpatis
yang
merupakan
cabang
dari
saraf
facial
dan
glossopharyngeal. Aktivitas acinar kelenjar saliva dan duktus yang menransportasikan saliva akan meningkat dengan menstimulasi saraf parasimpatis tersebut. Stimulasi tersebut akan memvasodilatasi pembuluhpembuluh darah pada kelenjar saliva (Christopher, 2010). Pembuluhpembuluh darah kelenjar saliva yang mengalami vasodilatasi akan
34
mempermudah aliran darah yang member pasokan nutrisi bagi kelenjar saliva untuk dapat memproduksi saliva (Guyton & Hall, 2007). Aktivitas mengunyah dapat menjadi stimulan untuk merangsang saraf parasimpatis kelenjar saliva. Sekresi saliva dalam proses mengunyah berlangsung dalam dua fase yaitu fase asinus dan fase saluran pembuangan. Pada saat mastikasi atau mengunyah, kecepatan aliran saliva dapat meningkat mencapai 0,6 mL/menit yang diproduksi oleh kelenjar parotis. Pada saat mastikasi dengan sensasi rasa kecepatan aliran saliva dapat meningkat mencapai 0,9 mL/menit yang diproduksi oleh kelenjar submandibularis dan kelenjar sublingual (Ningsih, 2008). Ketika mengunyah, sekresi saliva mengalami peningkatan dan memberikan stimulasi yang kuat pada saliva. Komposisi saliva dan konsentrasi bikarbonat, fosfat dan kalsium meningkat ketika stimulasi mengunyah. Mengunyah permen karet bebas gula merupakan salah satu cara aplikatif untuk menstimulasi saliva karena dapat meningkatkan sekresi saliva sehingga dapat membersihkan sisa-sisa gula dan asam pada gigi dan rongga mulut. Mengunyah permen karet tersebut dilakukan tidak kurang dari 10 menit (Holgerson, 2007). Mengunyah permen dapat menstimulasi aliran saliva serta meningkatkan pH saliva (Dewi, 2008). Mengunyah dapat menjadi stimulasi untuk meningkatan sekresi saliva. Kegiatan mengunyah dapat menggunakan permen karet bebas gula, permen bertekstur keras dan
35
permen mint. Penelitian menunjukkan mengunyah permen karet secara rutin dapat meningkatkan fungsi kelenjar parotis dan pH saliva. Permen karet dengan gula alkohol seperti xylitol dan sorbital dapat mencegah pertumbuhan karies (Northern Territory Government, 2011).