7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Ginjal Diabetik Penyakit ginjal diabetik merupakan suatu sindroma klinik yang ditandai dengan keadaan mikroalbuminuria yang menetap pada keadaan diabetes yang tergantung dan tidak tergantung dengan pemberian insulin. DM merupakan penyebab terbanyak dari penyakit ginjal kronis stadium akhir. Serta merupakan salah satu faktor tradisional terjadinya penyakit jantung vaskuler, dengan adanya penurunan LFG dan mikroalbuminuria akan terjadi peningkatan resiko kardiovaskuler (Bloomgarden, 2008). Komplikasi pada ginjal terjadi akibat progresifitas penyakit DM yang tidak terkontrol. Derajat penyakit ginjal akibat penyakit DM dibagi menjadi 5. Tabel 2.1 Klasifikasi penyakit ginjal diabetik .
Derajat I Hiperfiltrasi II
The Silent Stage
III
Microalbuminuria
IV V
Macroalbuminuria Uremia
(Lubis, 2006)
Penjelasan Terjadi peningkatan LFG sampai 40% diatas normal disertai pembesaran ginjal. Terjadi perubahan struktur ginjal tapi LFG masih tinggi. Merupakan tahap awal nefropati, terjadi mikroalbuminuria yang nyata. Sudah terjadi penebalan membrana basalis, LFG masih tinggi dan terjadi peningkatan tekanan darah. Terjadi proteinuria yang nyata, tekanan darah yang meningkat dan LFG yang menurun dari normal. Terjadi gagal ginjal dan menunjukkan tandatanda sindroma uremik sehingga memerlukan terapi pengganti.
8
Pada pasien yang penurunan fungsi ginjal berjalan terus maka saat LFG mencapai 10-12 ml/menit setara dengan klirens kreatinin< 15 ml/menit atau serum kreatinin > 6 mg/dl dianjurkan untuk dialisis (Hendromartono, 2006).
Pada penyakit ginjal diabetik stadium V sudah terjadi keadaan uremia sehingga secara klinis sama seperti PGK stadium akhir, berupa sindroma uremia yaitu: lemah, letargia, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, pericarditis, kejang-kejang sampai koma. Tanda-tanda dapat berupa hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit. Pada pemeriksaan ultrasonografi didapatkan gambaran ginjal yang normal. Gambaran histologi tampak penebalan membran basalis, ekspansi mesangium berupa akumulasi matriks ekstra seluler, penimbunan kolagen tipe IV, laminin dan fibronektin yang akan menimbulkan glomerulosklerosis noduler dan atau difus, hialinosis arterioler aferen dan eferen serta fibrosis tubulointersisial (Hendromartono, 2006).
Pada pasien DM terjadi penurunan nilai total dari kadar monosit dalam darah, tapi aktifitas dari monosit akan meningkatkan sekresi dari mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1β dan prostaglandin E2 (Sentochnik dan Eliopoulos, 2006).
Penderita diabetes tanpa komplikasi mempunyai kadar advanced glycation end products (AGEs) 20–30% lebih tinggi dari pada nondiabetik dan 40–100% lebih tinggi pada DM tipe 2 dengan komplikasi penyakit jantung koroner dan mikroalbuminuria. Penderita PGK menunjukkan peningkatan AGEs 5 sampai 100 kali dalam sirkulasi dibanding dengan kontrol sehat. AGEs terbentuk oleh penurunan glukosa, lipid dan atau
9
asam amino pada protein, lipid dan asam nukleat secara non Enzimatik ( Gaede et al., 2003).
Gambar 2.1. Mekanisme pembentukan AGE (Huebschmann et al., 2006).
Mekanisne alternatif pembentukan AGEs termasuk carbonyl stress pathway dimana oksidasi dari gula dan atau lemak membentuk senyawa dicarbonyl intermediate yang menggunakan grup carbonil reaktif untuk berikatan dengan asam amino dan terbentuk AGEs. Mekanisme yang lain adalah melalui aldose reductase–mediated polyol pathway (Huebschmann et al., 2006). Advanced glycation end products membuat kerusakan pada sel melalui jalur dari reseptor AGE (RAGE) dan melalui reactive oxygen species (ROS) intrasel serta proses timbal balik AGE dengan ROS yang akan menghasilkan salah satu dari keduanya. ROS
10
mengaktifkan signaling pathway berupa mitogen-activated protein kinase (MAPK), protein kinase C (PKC), Janus kinase/signal transducer (JAK/STAT) dan aktivator dari transkripsi, yang berefek pada pengeluaran sitokin proinflamasi dan profibrotik (Uribarri dan Tuttle , 2006).
Gambar 2.2 Jalur kerusakan sel akibat AGE (Uribarri, Tuttle , 2006).
Hiperglikemi, peningkatan asam lemak bebas, dislipidemi, dan resistensi insulin yang akan meningkatkan produksi ROS, AGEs, dan mengaktifasi protein kinase C (PKC), menurunkan bioavailabilitas dari NO dan menurunkan potensi vasodilatasi, antiinflamasi, dan efek antitrombotik. Sehingga terjadi penurunan fungsi endotel dan vasokonstriksi, inflamasi, dan trombosis. Penurunan NO dan peningkatan endothelin-1 (ET-1) dan konsentrasi angiotensin II (AT II) akan meningkatkan permaebilitas vaskuler dan terjadi pertumbuhan dan migrasi sel otot polos vaskuler (Krasniak et al., 2007).
11
Gambar 2.3 Disfungsi endotel pada diabetes mellitus (Beckman et al., 2008).
Aktifasi dari transkripsi nuclear factor-kB (NF-kB) dan activator protein1 (AP-1) memicu pengeluaran dari leukocyte-attracting chemokines, produksi sitokin inflamasi, dan ekspresi cell adhesion molecules. Penurunan NO dan prostasiklin mengaktifkan platelet bersamaan dengan peningkatan plasmin activator inhibitor-1 (PAI-1) dan tissue factor (TF) sehingga terjadi keadaan protrombotik (Beckman et al., 2008).
Interaksi dari AGEs dengan makrofag memicu dikeluarkannya plateletderived growth factor (PDGF), insulin-like growth factor-1 (IGF1), dan sitokin proinflamasi seperti IL-1β and TNF-α (Basta et al.,2004). 2.2 Inflamasi pada Penyakit Ginjal Diabetik Inflamasi nampaknya terdapat pada penyakit ginjal diabetik tanpa adanya infeksi akut atau penyakit sistemik aktif. Telah dibuktikan bahwa peningkatan hsCRP serum terdapat pada 30-60% pasien dialisis dan berkorelasi dengan
12
prevalensi penyakit kardiovaskuler (PKV) yang tinggi pada populasi tersebut. Hal tersebut tidak terbatas pada pasien dengan penyakit ginjal diabetik yang telah menjalani dialisis; bahkan pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang ringan menunjukkan tanda-tanda mikro-inflamasi (Sarnak, 2003). Tampaknya bahwa penurunan klirens sitokin proinflamasi yang bersirkulasi, endotoksemia akibat volume overload, dan stres oksidatif berkontribusi pada keadaan tersebut. Uremia yang terjadi pada pasien penyakit ginjal diabetik didefinisikan dengan peningkatan kadar nitrogen urea dalam serum (azotemia), gejala dari uremia muncul ketika LFG turun sampai kurang lebih 20% dari normal, keadaan uremia merupakan suatu keadaan inflamasi ringan yang berjalan kronik. Fungsi ginjal memegang peranan penting pada proses inflamasi dan fungsi ginjal yang menurun berhubungan dengan respon inflamasi misalnya, inflamasi uremia (Suliman dan Stenvinkel, 2008). Pada keadaan uremia akan terjadi peningkatan penanda proinflamasi kronik seperti hs-CRP dan meningkatnya kadar sitokin proinflamasi yang berhubungan dengan peningkatan angka kematian. Sitokin ini dan stimulus inflamasi diduga mempunyai peranan terhadap progresifitas dari proses aterosklerosis (Nolan, 2005). Meningkatnya kadar sitokin pada pasien yang menjalani hemodialisis diduga disebabkan oleh keadaan uremia dan proses dialisis itu yang memberikan konstribusi terhadap meningkatnya sekresi sitokin pada akhir sesi hemodialisis, dibanding dengan penderita penyakit ginjal diabetik stadium V yang diterapi konservatif. Membran dialisis itu sendiri dapat merangsang meningkatnya pelepasan sitokin. Tetapi dengan hemodialisis rutin dan jangka panjang akan
13
terjadi penurunan jumlah sitokin secara bermakna bila dibanding dengan yang diterapi konservatif (Malaponte, 2002). Penyakit ginjal diabetik stadium V menstimulasi akumulasi toksin ureum, peningkatan produksi ROS, dan gangguan metabolisme mineral. Sebagai akibatnya, menstimulasi sitokin pro-inflamasi sistemik (TNF- α dan IL-1), merangsang pembentukan hs-CRP, fibrinogen dan respon vaskuler (MCP-1, IL1β, ICAM-1, dan VICAM-1), yang menyebabkan disfungsi endotel, memudahkan terjadinya pembentukan plak dan proses terjadinya aterosklerosis (Stinghen, 2007). Tumor necrosis Factor sendiri terdiri dua jenis yaitu TNF α dan TNF β. ( Guntur, 2008). Baru –baru ini telah ditemukan TNF family receptor yang melalui TRAF akan merangsang IKKβ dan IKKα yang menjadikan NF-kB inaktif menjadi aktif. Juga ditemukan Antigen eseptor melalui molekul MALT 1, CARMA, Bcl-10 melewati TRAF akan merangsang pembentukan IKKβ dan IKKα yang dibungkus oleh NEMO ( Abbas et al., 2015) Selain dialisis adanya faktor risiko tradisional pada proses aterosklerosis, termasuk hipertensi, dan diabetes yang menyebabkan penyakit ginjal diabteik dapat menyebabkan disfungsi endotel. Adanya disfungsi endotel berperan penting pada patogenesis, perkembangan, dan prognosis dari penyakit reno kardio serebro vaskuler (Gross et al., 2008). Pada penyakit reno kardiovaskuler, peningkatan produksi superoksida sangat berperan pada penurunan bioaktifitas dari NO dan disfungsi endotel yang bersifat sistemik. Disfungsi endotel merupakan respon inflamasi yang merubah
14
homeostasis normal endotel yang menyebabkan terjadinya albuminuria pada nefropati diabetik (Kikkawa et al., 2003) Dengan mengetahui Albuminuria pada penyakit ginjal diabetik yang dimulai dengan mikro-albuminuria, (Bawazier, 2006; Chen et al., 2003; Weir, 2007; Loscalzo, 2009). Albuminuria sesuai dengan hukum homeostasis akan direabsorbsi oleh sel-sel tubulus proksimal. Albuminuria akan menyebabkan selsel tubulus proksimal bekerja keras mereabsorbsi protein tersebut akibatnya selsel tubulus proksimal mengalami stres oksidatif dan akan mengeluarkan sitokin pro-inflamasi (TNF-α1, IL-1β, IL-6,TGF-β1). Sitokin-sitokin tersebut akan merusak ginjal baik mekanisme fibrosis. apoptosis, onkosis, maupun nekrosis
Struktur Fenestra Struktur Fenestra (Robbins dan Cotran, 2005; De Zeeuw et al., 2006; Loscalzo, 2009).
Robbin, 2005
Gambar 2.4 Fenestra (Robbins dan Cotran, 2005).
ROS merupakan molekul yang kekurangan elektron akibatnya ROS akan selalu mengambil elektron dari molekul sekitarnya termasuk membran sel, reseptor, enzim intra sel, organela, DNA, RNA berarti akan merusak seluruh
15
komponen dari sel. ROS juga merusak membran filtrasi glomerolus sehingga albuminuria makin berat. (Guntur, 2006; Ziyadeh dan Wolf, 2008) Aterosklerosis merupakan salah satu penyebab utama dari kesakitan dan kematian pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Kejadian yang tinggi dari kejadian dan lesi vaskuler telah banyak didokumentasikan secara studi retrospektif dan analisis prospektif (Mayes, 2005). Tiga faktor yang punya peran penting dalam kerusakan vaskuler pada penyakit ginjal kronis yaitu (1) Faktor resiko klasik (framingham ) yaitu hipertensi, dislipidemi, merokok dan diabetes; (2) kelainan pada penyakit ginjal kronis
yaitu:
anemia,
sekunder
hiperparatiroid,
dan
paparan
pada
bioincommpabilitas membran dialisis dan cairan dialisat tidak steril; (3) Faktor resiko yang muncul seperti hiperhomosisteinemia, aktifitas simpatik yang meningkat, dan akumulasi dari inhibisi endogen dari sintesis nitic oxide (NO), asimetric dimethylarginine (ADMA) (Zoccali, 2003). Banyaknya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi patogenesis CVD pada pasien PGK stadium akhir dan faktor klasik yang berhubungan dengan CVD ( Gambar 2.4).
16
Gambar 2. 5 Patogenesis CVD pada PGK (Nolan, 2005).
Faktor resiko penyakit jantung dan aterosklerosis pada pasien dengan keadaan hiperuremia yang kronis sebagai akibat dari faktor-faktor renal dan non renal yang saling mempengaruhi sebagai komorbiditas.
Gambar 2.6 Faktor-faktor risiko terhadap atherosklerosis pada keadaan uremia dan dialisis (Santoro, Mancini, 2002).
17
Perbandingan aterektomi koroner pada subyek nondiabetik dan diabetik terjadi peningkatan prosentase dari total area yang ditempati oleh jaringan lipidrich atheromatous dari 2%±1% ke 7%±2% (p=0.01) dan peningkatan insiden thrombus dari 40% ke 62% (p=0.04) untuk nondiabetik dan diabetik. Infiltrasi Makrofag meningkat mendekati 2 kali (p=0.003) pada subyek diabetik (Feener dan Dzau, 2006). Secara garis besar efek diabetes pada patogenesis aterosklerosis. ( Gambar 2.7)
Gambar 2.7 Efek aterogenik pada diabetes (Feener dan Dzau, 2006).
2.3 Stress oksidatif pada penyakit ginjal diabetik Ketidakseimbangan antara produksi ROS dan pertahanan antioksidan menghasilkan kondisi stres oksidatif, yang dapat muncul baik dari defisiensi antioksidan (seperti glutation, askorbat, atau α-tokoferol) atau peningkatan
18
pembentukan ROS seperti peroksinitrit (OONO-), asam hipoklorin (HOCL), atau anion superoksida (Nanayakkara, 2010). Tingkat seluler ROS dikendalikan oleh enzim antioksidan dan antioksidan molekul kecil. Enzim utama antioksidan, dismutases superoksida (sods), termasuk tembaga-seng superoksida dismutase (Cu / ZnSOD, SOD1), mangan superoksida dismutase (MnSOD, SOD2) dan extracel¬lular superoksida dismutase (SOD EC-, SOD3
Penurunan hasil aktivitas SOD dalam tingkat yang lebih tinggi dari
superoksida
yang pada gilirannya menyebabkan penurunan NO
tetapi
meningkatkan konsentrasi peroxynitrite. Produksi yang berlebihan dari hasil anion superoksida dalam formasi spesies oksigen reaktif sekunder (ROS) termasuk peroxynitrite dan radikal hidroksil, menyebabkan kerusakan DNA, protein, dan lipid, dan menyebabkan injury.6 sel vaskular Jadi, superoksida overproduksi dianggap sebagai pathogeni utama pathway in diabetic vascular complication. (Zoccali, 2003). Adanya peningkatan produksi ROS, transisi dari sel-sel epitel tubulus ginjal untuk mesenchymal sel telah dibuktikan. Proses ini menyebabkan fibrosis interstitial. Dalam sel-sel endotel, ROS meningkat sebagai respon terhadap hiperglikemia. Superoksida menekan GAPDH, mengaktifkan PKC, dan meningkatkan pembentukan AGE, sehingga menyebabkan kerusakan jaringan (Gross et al., 2008).
19
2.4 Hemodialisis Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal buatan dengan tujuan untuk eliminasi sisa-sisa produk metabolisme (protein) dan koreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara kompartemen darah dan dialisat melalui selaput membran semipemiabel yang berperan sebagai ginjal buatan (Cohen, 2007). Hemodialisis pada umumnya sudah dilakukan pada pasien penyakit ginjal diabetik dengan bersihan kreatinin < 10 ml/ menit (< 15 ml/menit pada pasien dengan penyakit ginjal diabetik) atau bila kadar kreatinin serum mencapai 8-10 mg/ dL (Ross and Caruso, 2005). Sebagian besar pasien dengan penyakit ginjal diabetik dalam satu minggu membutuhkan hemodialisis 9-12 jam dibagi dalam 3 sesi yang sama (Sculman dan Himmelfrab, 2004; Singh dan Brenner, 2006). Komplemen yang teraktivasi dan leukosit, menyebabkan reaksi inflamasi yang disebut dengan bioinkompatibilitas. Dimana proses ini tidak terlalu kuat bila menggunakan membran sintetik dan membran selulosa yang telah dimodifikasi. Beberapa membran sintetik mempunyai ukuran pori-pori yang besar yang memudahkan aliran air dan meningkatkan kekuatan ultrafiltrasi sehingga dapat memindahkan molekul besar seperti solute uremia dibandingkan dengan membran dengan ukuran pori yang kecil (Boure´ T and Vanholder R, 2004). 2.5 Super Oxide Dismutase (SOD) 2.5.1 Senyawa SOD Oksigen merupakan elemen yang sangat penting untuk mahluk hidup terutama manusia. Selama digunakan dalam tubuh, oksigen akan
20
menghasilkan bentuk yang sangat reaktif yang disebut “radikal bebas”. Jika mekanisme pertahanan tubuh tidak segera mengeluarkan radikal bebas, selsel tubuh akan terganggu oleh “okxidative stress” yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Radikal bebas ini akan dirusak oleh sistem pertahanan alamiah tubuh yang disebut “antioksidan” (Nakajima et al., 2009). Antioksidan
dapat
diklasifikasi
menjadi
2
(dua)
kelompok:
Antioksidan yang berasal dari makanan (eksogen): makanan tertentu yang kaya akan antioksidan seperti vitamin (Vitamin C, Vitamin E dan Vitamin A atau prekursornya beta-carotene), mineral (Selenium, Zinc, Copper dan Manganese) dan substansi lain termasuk polifenol yang ditemukan dalam jeruk dan teh hijau. Antioksidan dalam bentuk enzim yang dibentuk oleh tubuh (endogen): tiga enzim utama, yaitu: Super Oxide Dismutase (SOD), Catalase dan Gluthatione Peroxidase ( Nikil dan Ravinder, 2008). Di antara enzim-enzim ini, SOD berperan pada tahap awal transformasi – yaitu melakukan dismutasi bentuk oksigen yang paling reaktif (radikal Super Oksida) menjadi ion-ion oksigen yang kurang reaktif yang kemudian akan dihancurkan oleh kedua enzim yang lain. Transformasi ini disebut dismutasi, sehingga enzimnya disebut Dismutase. (Boure´ T and Vanholder R, 2004). 2.5.2 Farmakodinamik SOD a. Meningkatkan aktivitas enzim SOD yang beredar, katalase dan Gpx Aktivasi ini akan menginduksi pelepasan oksida nitrat (NO) dan H2O2, pada gilirannya mendorong aktivasi katalase dan Gpx, diikuti oleh aktivasi ekspresi INF-gamma dan IL-4.
21
b. SOD mengontrol pelepasan mediator pro-inflamasi sistemik seperti kemokin, sitokin (TNF, interleukin, interferon) agar bekerja tidak berlebihan sehingga menurunkan inflamasi kronik (Borras, 2004). c. Meningkatkan khususnya produksi tipe 1 helper limfosit T (Th1) serta ekspresi INF-gamma dan IL-4 dan untuk merangsang respon imunoglobulin G. d. Meningkatkan status antioksidan sel dan melindungi mereka terhadap Risiko kerusakan atau kematian akibat stres oksidatif ( Santoro, Mancini, 2002).
2.5.3 Keamanan dan dosis SOD SOD merupakan molekul besar yang, ketika secara langsung dikonsumsi, tidak mudah diserap oleh tubuh. Namun, kemajuan teknologi telah memungkinkan SOD (diambil dari jenis melon yang secara alami menghasilkanenzim yang tinggi) ke biopolimer yang diekstrak dari gandum biasa. Penelitian telah menunjukkan bahwa komponen gandum, yang dikenal sebagai gliadin, melindungi molekul rapuh SOD dari kerusakan akibat asam lambung dan enzim usus, sehingga memungkinkan molekul untuk memasuki aliran darah secara utuh ( Nakajima et al., 2009). Pada beberapa uji klinik kontrol internasional yang telah dilakukan pada lebih dari 3000 pasien, tidak ada reaksi efek samping bermakna secara statistik. Banyak uji klinik SOD dengan indikasi khusus menggunakan dosis tinggi atau dalam pengobatan jangka panjang telah memperlihatkan bahwa
22
obat SOD ditoleransi dengan sangat baik bila diberikan secara oral ( Caroline dan Stephen, 2004). Pada penelitian lain diberikan pada penderita dengan osteoarthritis selama 2 minggu dengan dosis 2000mg SOD dapat memberikan effek menurunkan rasa nyeri. Dan dari beberapa penelitian lain penggunaan SOD selama jangka waktu 3 bulan dengan dosis 2000mg perhari belum dilaporkan adanya effek samping ( Mahmut et al., 2008) 2.6 Glicated Albumin Glicated Albumin (GA), adalah sebuah ketoamine yang dibentuk oleh glikasi non-enzimatik albumin serum, mencerminkan tingkat glikemik jangka pendek (23 minggu). Nilai GA tidak terpengaruh oleh perubahan umur eritrosit umur. Selanjutnya, GA dapat dipakai sebagai indikator kontrol glikemik yang baik pada pasien Diabetes Mellitus. Glikasi adalah ikatan molekul gula, seperti glukosa, molekul lipid atau protein seperti albumin. Dengan demikian, GA adalah glukosa yang terikat dengan albumin. Peningkatan perhatian pada penggunaan Glicated Albumin sebagai indikator status glikemik. Albumin merupakan komponen terbesar dari plasma protein, yang mewakili lebih dari 80% dari total molekul dan 60% dari konsentrasi protein total plasma anemia, hemoglobinopati, dan nephropati (Huebschmann et al., 2006). GA dalam serum, dengan paruh2-3 minggu, merupakan indeks yang sangat baik dari glikemia. Selain langsung mengukur efek dari hiperglikemia pada protein plasma, GA telah terlibat langsung sebagai faktor penyebab di beberapa komplikasi
23
utama diabetes, terutama dalam nefropati karena interaksinya dengan reseptor pada cells mesangial ( Vernon et al., 2013) Dalam sistem kardiovaskular, makrofag di dinding arteri juga dapat mengenali GA melalui reseptor spesifik dan merangsang inflamasi respon, akhirnya menyebabkan evolusi ateroma plak. Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat GA secara signifikan lebih tinggi pada penyakit arteri koroner (CAD) pasien ( Nuthiron, 2013).
2.7 Hs-CRP (High Senstif C –Reactive Protein ) High Sensitif C- Reactive Protein (hs-CRP) adalah protein darah yang terikat dengan C-polisakarida, pentamer 120 kDa dan merupakan salah satu protein fase akut di mana kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai respons
imunitas
nonspesifik.
High
Senstif
CRP
mengikat
berbagai
mikroorganisme yang membentuk kompleks dan mengaktifkan Komplemen C3 jalur klasik ( Edward T, 2004; Baratawidjaja, 2006 ). High Sensitif C- Reactive Protein merupakan petanda inflamasi yang paling stabil, di mana kadarnya meningkat 100-200 kali atau lebih tinggi pada keadaan inflamasi sistemik yang menyebabkan kerusakan endotel. Berdasarkan rekomendasi dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), cut offs point kadar hs-CRP 3 mg/L digunakan untuk membedakan kelompok penderita risiko rendah dan risiko tinggi terjadinya penyakit kardiovaskular (Edward T, 2004; Roberts W, 2004). IL-6 akan menstimulir hepatosit sehingga hepatosit akan mengekspresikan hs-CRP. High Sensitif C- Reactive Protein akan menghambat enzim NO Synthase (
24
NOS ) sehingga produksi NO berkurang. High Sensitif C- Reactive Protein akan mengaktifkan Nuclear Factor Kappa Beta ( NFKβ ) yang akan mengakibatkan ekspresi sitokin pro-inflamasi makin bertambah. High Sensitif C- Reactive Protein merangsang endothel pembuluh darah menghasilkan ICAM, serta merangsang reseptor AT-1R sehingga menghasilkan ROS, Vascular Endothel Growth Factor (VEGF) yang akan mengakibatkan restenosis pembuluh darah (Malaponte G, 2002). High Sensitif C- Reactive Protein merupakan suatu tanda ( marker ) dari proses inflamasi. Dari beberapa penelitian, hs-CRP memainkan peran langsung terhadap inflamasi vaskuler, kerusakan pembuluh darah serta klinis PJV ( Zoccalli et al, 2004 ). High Sensitif C- Reactive Protein merupakan marker inflamasi yang sudah diakui dan dapat menjadi prediktor kejadian PJV. High Sensitif C- Reactive Protein juga dapat digunakan untuk menilai perkembangan penyakit jantung koroner dan gagal jantung (Koenig, 2003 ). High Sensitif C-Reactive Protein bersifat ateriosklerogenik, maka apabila kadarnya meningkat memudahkan terjadi kelainan aterosklerosis atau penyakit jantung koroner. Kadar hs-CRP menurut Centers for Disease Control/ American Heart Association (CDC/AHA) merupakan marker pilihan untuk stratifikasi resiko PJV. Jika kadar hs-CRP >3 mg/l adalah high risk, hs-CRP 1-3 mg/l adalah intermediate risk, sedamgkan kadar hs-CRP <1 mg/l adalah low risk terhadap penyakit jantung koroner (Shishehbor dan Bhatt, 2004; Guntur, 2007).
25
Kemampuan Memprediksi HCRP Terhadap Morbiditas dan Mortalitas Kejadian Kardiovaskuler
IL-6 Sel Hepar
HCRP Disfungsi endothel NFkβ aktif
↓ eNOS mRNA ↓ NO
↑ ET-1
↑ VCAM
↑ ekspresi Sitokin ↑ ICAM
↑ MCP-1
↓ BCL-2 ↑ Apoptosis Endothel
↑ AT-1R
↑ ROS ↑ VSM proliferasi ↑ Restenosis
(Szmitko PE, 2003)
Gambar 2.8 Pengaruh hs-CRP terhadap disfungsi endotel dan produksi sitokin (Szmitko, 2003) Hs-CRP juga dapat menunjukkan perkembangan aterosklerosis melalui aktivasi Komplemen C3, kerusakan jaringan dan aktivasi endotelial sel (Koenig, 2003). Produksi hs-CRP oleh hepatosit terjadi secara perlahan dalam 24 jam setelah acute tissue injury, yaitu setelah dilakukan hemodialisis dengan membrane selulosa selama 4 jam (Raka, 2008). Hal ini sama seperti penelitian Schouten et al, dimana pada pasien hemodialisis dengan mengunakan membran Cuprophan didapatkan peningkatan kadar hs-CRP secara perlahan dan meningkat 24 jam setelah hemodialisis ( Schouten, 2000).
26
Gambar 2.9. Struktur hs-CRP (schouten, 2000)
27
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
PENYAKIT GINJAL DIABETIK STADIUM V
UREMIA
HIPERGLIKEMIA
ROS
HIPERTENSI
SOD
IKK
IKB
NFkβ
IL-6
TNF-α
Hepatosit
Smooth Muscle Cell
Sensitifitas Reseptor Insulin
Glicated Albumin
hs-CRP
Disfungsi Endotel
Aterogenesis
Gambar 10.
Kerangka Pikir
IL-1
28
Keterangan : 1
:
Mengaktivasi
2
:
Menghambat
3
: Meningkatkan
4
: Menurunkan : Variabel yang diperiksa
5
Penjelasan kerangka konseptual IB
: inhibitor of kappa B
M
: makrofag
IKK
: IB kinase
NfB : nuclear factor-kappa B
TNF
: Tumor necrosis factor
TLRs
: toll-like receptors
SOD
: Superoksida Dismutase
IL
: Interleukin
ROS
: Reaktif oksigen spesies
CRP
: C-Reactive protein
1. Penyakit ginjal diabetik adalah komplikasi dari Diabetes mellitus yang pada suatu derajat memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. (Suwitra, 2006). Terdapat peningkatan stres oksidatif dan inflamasi kronis pada pasien nefropati diabetik dan dialisis (Oberg, 2004; Silverstein, 2009; Nanayakkara, 2010; Fontanet, 2011). 2. Penanda inflamasi seperti TNF-α dan hs-CRP meningkat seiring dengan penurunan fungsi ginjal menunjukkan bahwa PGK merupakan proses inflamasi derajat rendah. Beberapa faktor dapat terlibat dalam memicu proses inflamasi termasuk stres oksidatif (Cachofeiro, 2008). Di samping itu, proses inflamasi sendiri juga dapat memicu pembentukan ROS terutama melalui myeloperoxidase (Himmelfarb, 2005). 3. Hs-CRP yang merupakan acute phase reactant, diproduksi di liver yang diaktivasi oleh berbagai sitokin, terutama IL-6. Saat terjadinya reaksi inflamasi, kadar hs-CRP dapat
29
meningkat sampai 1000 kali. Pada pasien-pasien yang didialisis, adanya peningkatan kadar hs-CRP menunjukkan adanya proses inflamasi. Hs-CRPmerupakan marker inflamasi yang sudah diakui dan dapat menjadi prediktor kejadian penyakit jantung vaskuler. Hs-CRP juga merupakan faktor yang kuat untuk memprediksi komplikasi dan kematian akibat penyakit kardiovaskuler (Honda, 2006). Hs-CRP dapat secara langsung mengakibatkan perkembangan aterosklerosis, melalui aktivasi komplemen, kerusakan jaringan dan aktivasi endotel sel (Koenig, 2003). 4. Penyakit Ginjal Kronis menginduksi kondisi stres oksidatif yang dapat dideteksi jauh sebelum menjalani terapi hemodialisis dan memburuk seiring dengan progresi gagal ginjal (Santangelo, 2004). Pasien uremia, terutama mereka yang menjalani dialisis teratur, berada pada risiko tinggi untuk kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas (Nanayakkara, 2010). Sistem antioksidan glutation (GSH) merupakan salah satu sistem antioksidan yang banyak diteliti pada uremia. GSH merupakan salah satu antioksidan dengan konsentrasi tertinggi intraseluler (Kidd, 1997). Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa pasien uremia dan dialisis mengalami penurunan yang signifikan kadar GSH total, juga gangguan enzim metabolisme GSH (Alhamdani, 2005). 5.penyakit ginjal diabetik stadium V menstimulasi akumulasi toksin ureum, peningkatan produksi ROS, dan gangguan metabolisme mineral. Sebagai akibatnya, menstimulasi sitokin pro-inflamasi sistemik (TNF- α dan IL-1), merangsang pembentukan hs-CRP, fibrinogen dan respon vaskuler (MCP-1, IL-1β, ICAM-1, dan VICAM-1), yang menyebabkan disfungsi endotel, memudahkan terjadinya pembentukan plak dan proses terjadinya aterosklerosis (Stinghen, 2007).
30
6. Dari beberapa penelitian menyatakan GA dapat menjadi salah satu prediktor untuk progrefitias dari penyakit ginjal diabetik yang pada ahkirnya juga dapat dijadikan prediktor progresivitas peningkatan proses inflamasi pada nefropati diabetikdengan melakukan pemeriksaan ini kita juga 7. Antioksidan dapat diklasifikasi menjadi 2 (dua) kelompok: Antioksidan yang berasal dari makanan (eksogen): makanan tertentu yang kaya akan antioksidan seperti vitamin (Vitamin C, Vitamin E dan Vitamin A atau prekursornya beta-carotene), mineral (Selenium, Zinc, Copper dan Manganese) dan substansi lain termasuk polifenol yang ditemukan dalam jeruk dan teh hijau. Antioksidan dalam bentuk enzim yang dibentuk oleh tubuh (endogen): tiga enzim utama, yaitu: Super Oxide Dismutase (SOD), Catalase dan Gluthatione Peroxidase. 8. Tingkat seluler ROS dikendalikan oleh enzim antioksidan dan antioksidan molekul kecil. Enzim utama antioksidan, dismutases superoksida (sods), termasuk tembagaseng superoksida dismutase (Cu / ZnSOD, SOD1), mangan superoksida dismutase (MnSOD, SOD2) dan extracel¬lular superoksida dismutase (SOD EC-, SOD3), semua memainkan kritis peran dalam pemulungan O2 • -. Penurunan hasil aktivitas SOD dalam tingkat yang lebih tinggi dari superoksida yang pada gilirannya menyebabkan penurunan NO tetapi meningkatkan konsentrasi peroxynitrite. Produksi yang berlebihan dari hasil anion superoksida dalam formasi spesies oksigen reaktif sekunder (ROS) termasuk peroxynitrite dan radikal hidroksil, menyebabkan kerusakan DNA, protein, dan lipid, dan menyebabkan kerusakan sel. Jadi, superoksida overproduksi dianggap sebagai pathogeni utama pathway in diabetic vascular complication. (Agrawal,N .,et al 2009).
31
3.2 HIPOTESIS PENELITIAN 1. Ada pengaruh pemberian SOD terhadap kadar Glicated Albumin pada penyakit ginjal diabetik stadium V yang menjalani haemodialisis. 2. Ada pengaruh pemberian SOD terhadap kadar hs-CRP pada pasien penyakit ginjal diabetik stadium V yang menjalani haemodilaisis.